Pada intinya, konseling person-centred
adalah terapi hubungan.
Karakteristik hubungan yang dapat
menghasilkan efek ini dirangkum Rogers
(1957-1995) dalam formulasi “kondisi yang
disyaratkan dan layak bagi perubahan
kepribadian secara tera-peutik”.
Agar perubahan kepribadian konstruktif dapat terjadi, harus ada beberapa faktor di bawah ini dan harus terus ada selama beberapa waktu:
1. dua orang berada dalam kontak psikologis.2. yang pertama, mereka yang kita sebut
dengan istilah klien, dalam status tidak menentu, rapuh dan cemas.
3. orang kedua, kita sebut sebagai terapis, harmonis atau terintegrasi dalam hubungan.
4. terapis merasakan sikap positif tak bersyarat terhadap klien.
5. terapis merasakan pemahaman empatik terhadap kerangka rujukan internal klien, dan berusaha mengkomunikasikan hal ini kepada klien.
6. terjadinya pengkomunikasian pemahaman empatik terapis dan sikap positif tidak bersyarat terapis kepada klien, walaupun pada tingkatan yang paling minim.
Tiga komposisi hubungan terapeutik yang
memiliki kecenderungan untuk menarik
perhatian paling besar dalam pendidikan
maupun riset person-centered adalah
kualitas penerimaan konselor, empati, dan
keaslian.
Dalam pendekatan person-centered terdapat perdebatan tentang akurasi dan komprehensivitas keharusan dan kesempurnaan model kondisi.
Rogers mendeskripsikan hubungan pendukung yang mencakup kualitas empati, keharmonisan, dan penerimaan.
Karakteristik pendukung lainnya seperti konsistensi, kesadaran akan batasan, sensitivitas interpersonal dan terpusat pada kekinian.
Thorne berpendapat “kesabaran” seharusnya dianggap sbg kondisi inti.
Bagi klien, pengalaman “didengar” atau
dipahami akan mengarahkannya kepada
kemampuan lebih besar untuk
mengeksplorasi dan menerima aspek diri
yang sebelumnya ditolak.
Konsep „lingkaran empati”oleh Barrett-Lennard (1981):
1. Langkah 1: pengaturan empati oleh konselor. klien aktif mengekspresikan pengalaman, konselor aktif hadir dan menerima.
2. Langkah 2: Menggemakan empati Konselor menggetarkan aspek pengalaman klien yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung.
3. Langkah 3 : Mengekspresikan empati konselor mengkomunikasikan perasaan kesadarannya terhadap apa yang dirasakan oleh klien.
4. Langkah 4: Menerima empati frekuensi kehadiran klien sudah cukup untuk membentuk perasaan atau persepsi pemahaman personal seketika konselor.
5. Langkah 5 : Lingkaran empati berlanjut klien kemudian meneruskan ekspresi diri yang menyajikan umpan balik kpd konselor berkenaan dengan akurasi respon empati dan kualitas hubungan terapeutik.
Model ini mendeskripsikan proses yang
mencakup keterbukaan netral serta
penerimaan terhadap apa pun yang
ditawarkan oleh klien.
Ini juga proses yang secara harmonis
membuat seorang konselor menjadi sadar
akan perasaan terdalamnya, serta
menggunakannya dalam hubungan
konseling.
Mearns dan Thorne (1988) mendefenisikan kongruen sebagai “ kondisi saat menjadi seorang konselor ketika respons keluarnya terhadap klien sesuai dengan perasaan sisi terdalam diri dan sensasi yang dimilikinya dalam hubungan dengan klien”.
Seorang konselor yang kongruen bisa memiliki beberapa efek berharga dalam terapi:
Kondisi tsb membantu membangun kepercayaan dalam hubungan;
Jika seorang konselor engekspresikan dan menerima perasaan bahwa dirinya rapuh dan tidak tetap, maka akan lebih mudah bagi klien untuk menerima perasaan yang mereka miliki;
Kondisi tsb merupakan representasi salah satu hasil terapi yang diharapkan;
Jika diindikasi dari bicara, nada, dan gerak tubuh selaras atau konsisten, maka komunikasi akan lebih jelas dan dapat dipahami;
Konselor menjadi mampu menarik kesimpulan dari elemen yang tidak diucapkan atau „sub-vocal” (Gendlin, 2967) dalam hubungan;
Kondisi tsb dapat memfasilitasi aliran positif energi dalam hubungan.
Dari perspektif person-centered, proses perubahan terapeutik dalam klien digambarkan dalam terminologi proses keterbukaan yang lebih besar terhadap pengalaman.
Rogers (1961) mengkonseptualisasikan proses konseling sebagai serangkaian langkah.
Tujuh langkah meningkatkan keterlibatan klien dalam sisi terdalam dirinya dirangkum sebagai brk:
1. Komunikasi merupakan peristiwa eksternal. Perasaan dan makna personal tak “dimiliki”. Hubungan intim dianggap sbg sesuatu yang berbahaya. Rigiditas dalam pemikiran. Impersonal, terpisah . Tidak menggunakan kata ganti orang pertama.
2. Ekspresi mulai mengalir lebih bebas dalam topik yang tidak menyangkut diri. Perasaan dapat diungkapkan tapi tidak dimiliki. Intelektualisasi. Lebih menggambarkan perilaku ketimbang perasaan sisi dalam diri. Mungkin sudah menunjukkan ketertarikan serta partisipasi yang lebih kepada terapi.
3. Menggambarkan reaksi personal sbg peristiwa eksternal. Deskripsi diri dalam jumlah yang terbatas. Mengkomunikasikan perasaan yang sudah lalu. Mulai menyadari kontradiksi dalam pengalaman.
4. Deskripsi perasaan dan pengalaman personal. Mulai merasakan perasaan yang ada sekarang, tapi takut dan tidak percaya ketika hal ini terjadi. Kehidupan batin dipresentasikan dan didata atau digambarkan, tapi tidak secara sengaja dieksplorasi.
5. Diekspresikannya perasaan saat ini. Peningkatan rasa memiliki perasaan. Semakin tepat dalam membedakan antara makna dan perasaan. Secara sengaja mulai mengeksplorasi problem dengan cara personal, didasarkan lebih kepada pemprosesan perasaan ketimbang logika.
6. Merasakan “rujukan batin‟, atau aliran perasaan yang memiliki hidupnya sendirri. Pelepasan psikologis, sepertisembab, air mata, isak atau lemasnya otot yang menyertai pengekspresian perasaan. Berbicara dengan struktur sekarang atau menawarkan representasi masa lalu yang jelas.
7. Rangkaian perasaan yang dirasakan terhubung dengan berbagai aspek dari isu. Kepercayaan dasar terhadap proses sisi dalam dari diri. Merasa berpengalaman dengan nilai penting dan kekayaan detail.
Rogers menyatakan bahwa perubahan
yang terjadi pada tahap keenam bersifat
permanen, dan karena itu para klien
mungkin dapat bergerak ke langkah
ketujuh tanpa bantuan konselor.
Proses dalam diri klien difasilitasi oleh
empati, kongruen, dan penerimaan
konselor.