LAPORAN KASUS FARMASI
TYPHUS ABDOMINALIS
Oleh:
Annisa Rizkia Fitri
G99131018
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2014
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi
akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih
dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran.1
B. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi
lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang
menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Ada dua
sumber penularan S. Typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih
sering adalah pasien karier (pasien karier adalah orang yang sembuh dari
demam tifoid dan masih terus mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih
selama lebih dari satu tahun). Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air
yang tercemar. Di derah nonendemik penyebaran terjadi melalui tinja.2,3
C. ETIOLOGI
Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan infeksi akut usus
halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi, atau jenis yang virulensinya
lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi. 2
Gambar 1. Bakteri Salmonella Typhi
2
D. PATOFISIOLOGI
Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak terdapat di
masyarakat dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Bakteri Salmonella
typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke tubuh manusia melalui makanan
atau minuman yang tercemar dan dapat juga melalui kontak langsung dengan
jari penderita yang terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau pus.
Selain itu, transmisi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu
hamil ke janin. Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian
lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. 3, 4
Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal
yang berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus.
Sedangkan untuk imunitas humoral sistemik diproduksi IgM dan IgG untuk
memudahkan fagositosis kuman oleh makrofag. Imunitas seluler sendiri
berfungsi untuk membunuh kuman intraseluler.5
Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman
akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina
propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag. Selanjutnya dibawa ke plaque
peyeri ileum distal dan ke kelenjar limfe mesenterika. Melalui duktus
torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia ke-1 yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hepar, lien, dan sumsum tulang. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid kemudian masuk ke sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakterimia ke-2 dengan disertai tanda dan gejala klinis. 3, 4
Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang
biak kemudian disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke
lumen usus, sebagian keluar bersama feses, dan sebagian lagi menembus usus
kembali dan difagosit oleh makrofag yang sudah teraktivasi dan hiperaktif
sehingga melepaskan sitokin reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu timbul
demam, sakit kepala, sakit perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler,
3
gangguan koagulasi, dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di plaque
peyeri, makrofag hiperaktif sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan
perdarahan saluran cerna (erosi vaskuler di sekitar plaque peyeri). Jika kuman
terus menembus lapisan usus hingga lapisan otot dan serosa usus, dapat
mengakibatkan perforasi.4 Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler sehingga dapat timbul komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain.
Kuman dapat menetap atau bersembunyi pada 1 tempat dalam tubuh
penderita. Hal ini mengakibatkan terjadinya relaps atau karier. 3
4
Skema 1. Patogenesis typhus abdominalis
5
E. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi hingga
kematian. 3,6
Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama
ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas
berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 10C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 9 kali per menit), lidah yang berselaput,
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis.3,6,7
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan
hematologi, urinalisis, kimia klinis, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi
molekuler. Pemeriksaan ini untuk membantu menegakkan diagnosis,
menentukan prognosis, serta memantau perjalanan penyakit, hasil pengobatan,
dan timbulnya komplikasi.
1. Hematologi
a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi
perdarahan atau perforasi usus.
b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.
c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.
d. Laju endap darah (LED) meningkat.
e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). 8
6
2. Urinalisis
a. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).
b. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi.4
3. Kimia klinis
Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran
radang sampai hepatitis akut. 7
4. Imunoserologi
a. Widal
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah
terhadap antigen bakteri Salmonella typhi atau paratyphi (reagen).
Pada uji ini hasil positif jika terjadi reaksi aglutinasi antara antigen
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Oleh karena itu, antibodi jenis
ini dikenal sebagai febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh
banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau
negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan pernah vaksinasi,
reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi
anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor reumatoid (RF). Hasil
negatif palsu dapat disebabkan sudah mendapatkan terapi antibiotik,
waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum
buruk, dan adanya penyakit imun lain.8,9
Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
tifoid. Makin tinggi titer, makin besar kemungkinan menderita demam
tifoid. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu ke-1
demam kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu ke-4 serta tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut
mula-mula timbul aglutinin O dan diikuti aglutinin H. Orang yang
sembuh, aglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama 9-12 bulan. 8,9
Jika titer O sekali periksa ≥ 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4
kali, diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dikaitkan
7
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau sedangkan Vi untuk
deteksi pembawa kuman (karier). 8
b. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM
Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk
mendiagnosis demam tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut
sedangkan lgG positif menandakan pernah kontak, terinfeksi, reinfeksi,
atau di daerah endemik. 4
5. Mikrobiologi (kultur)
Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk
demam tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika
hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif
palsu dapat disebabkan jumlah darah terlalu sedikit (< dari 2 ml), darah
tidak segera dimasukkan ke media gall (darah membeku dalam spuit
sehingga kuman terperangkap dalam bekuan), saat pengambilan darah
masih dalam minggu ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotik, dan
sudah vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera
diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (positif antara 2-
7 hari, jika belum ada ditunggu 7 hari lagi). Spesimen yang digunakan
pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium lanjut atau carrier
digunakan urin dan feses.5,9,10
6. Biologi molekular
PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan. Cara ini
dilakukan dengan perbanyakan DNA kuman kemudian diindentifikasi
dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi
kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitivitas) dan spesifisitas
tinggi. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh
lain, dan jaringan biopsi.11
G. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias
diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan
gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi
8
secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan
untuk membantu menegakkan diagnosis. 6,12
Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji
sampel feses atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp
dengan membiakkan pada 14 hari awal setelah terinfeksi.4
Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif pada hari ke-10
dan titer akan meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal
selang 2 hari jika peningkatan aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan
diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid. Biakan feses dilakukan pada
minggu ke-2 dan ke-3 serta biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4 dapat
mendukung diagnosis dengan ditemukannya bakteri Salmonella.8,9
Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat
leukopenia polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-
10 dari demam, arah demam tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis
PMN, berarti terdapat infeksi sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan
cepat dari leukositosis PMN waspada akan terjadinya perforasi usus. Tidak
mudah mendiagnosis karena gejala yang timbul tidak khas. Ada penderita
yang setelah terpapar kuman hanya mengalami demam kemudian sembuh
tanpa diberi obat. Hal itu dapat terjadi karena tidak semua penderita yang
secara tidak sengaja menelan kuman langsung sakit, tergantung dari
banyaknya kuman dan imunitas seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang
masuk saluran cerna, dapat langsung dimatikan oleh sistem imun.4
H. DIAGNOSIS BANDING
Paratifoid A, B, dan C, Infeksi virus dengue, malaria, influenza.1
I. TERAPI
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid
yaitu :3
1. Istirahat dan perawatan dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan.
9
2. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan mengikuti
petunjuk diet berikut:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan tidak
merangsang saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk menghindari
terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus.13
3. Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu13,14:
Gambar 2. Antibiotik untuk demam tifoid
a. Kloramfenikol.
Dosis orang dewasa 4 x 500 mg per hari oral atau intravena
sampai 7 hari bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan
karena dapat terjadi hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri.
Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit memanjang,
10
karier kronis, depresi sumsum tulang (anemia aplastik), dan angka
mortalitas yang tinggi merupakan perhatian yang perlu terhadap
kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang
sama.Penurunan demam terjadi pada hari ke-5.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir
sama dengan kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti
anemia aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis
tiamfenikol 4 x 500 mg. Demam menurun pada hari ke-6.
c. Ampisilin dan kotrimoksazol
Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis
orang dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400
mg dan trimetoprin 80 mg) diberikan selama 2 minggu. Diberikan
karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol.
Munculnya strain Salmonella typhi MDR menjadikan ampisilin dan
kotrimoksazol resisten.
d. Kuinolon
Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in
vitro serta mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu.
Siprofloksasin mempunyai efektivitas tinggi terhadap strain
Salmonella typhi MDR dan tidak menyebabkan karier. Kuinolon yang
dapat digunakan untuk demam tifoid meliputi:
1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.
2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.
3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.
4) Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
5) Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari
Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan
demam sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin.
e. Sefalosporin generasi III
11
Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon digunakan selama 3
hari dan memberi efek terapi sama dengan obat yang diberikan 10-14
hari. Respon baik juga dilaporkan dengan pemberian seftriakson dosis
3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama 30 menit per infus 1 x
diberikan 3-5 hari.
f. Antibiotik lainnya
Beberapa studi melaporkan keberhasilan pengobatan demam
tifoid dengan aztreonam (monobaktam). Antibiotik ini lebih efektif
daripada kloramfenikol. Azitromisin (makrolid) diberikan dengan
dosis 1 x 1 gram per hari selama 5 hari. Aztreonam dan azitromisin
dapat digunakan anak-anak, ibu hamil, dan menyusui.
g. Kombinasi antibiotik
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada
keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok
septik di mana pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam
kultur darah selain bakteri Salmonella typhi.
Sedangkan untuk simtopmatik dapat diberikan antipiretik:
Paracetamol dengan dosis 3x 500-1000 mg sehari.
12
BAB II
ILUSTRASI KASUS
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. J
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Surakarta
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan toko
2. Keluhan Utama : Demam
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan utama demam yang dirasakan ± 2
minggu SMRS. Demam dirasakan hilang timbul terutama jika sore hingga
malam hari dan turun pada pagi hari, tetapi suhu badan tidak pernah
kembali ke suhu normal tubuh. Demam menggigil (-).
Pasien sudah meminum obat penurun panas (panadol) dan panasnya
sempat turun tapi naik lagi setelah beberapa jam minum obat. Pasien juga
mengeluhkan nyeri perut dan mual, nafsu makan berkurang, dan badan
terasa lemah. Muntah (-), batuk (-), pilek (-), nyeri telan (-), mimisan (-),
gusi berdarah (-).
BAK 4-5 x/hari @ ½-1 gelas blimbing, warna kuning jernih, nyeri
saat BAK (-), BAK panas (-), BAK berpasir (-), BAK darah (-), BAK
menetes (-), anyang-anyangan (-), BAK tidak tuntas (-), BAK mengejan
(-), nyeri pinggang (-). Sejak mengeluh demam, pasien BAB 2x/hari,
warna kuning kecoklatan, konsistensi lunak hingga cair.
13
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat jantung : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat sakit maag : disangkal
f. Riwayat sakit kuning : disangkal
g. Riwayat mondok : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat hipertensi : (+), pada ibu, tidak terkontrol
b. Riwayat sakit jantung : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat sakit kuning : disangkal
6. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat minum obat-obatan bebas : disangkal
b. Riwayat minum jamu : disangkal
c. Riwayat minum-minuman keras : disangkal
d. Riwayat merokok : disangkal
e. Olahraga : jarang
7. Riwayat Gizi
Pasien sehari makan tiga kali, porsinya sedang dengan nasi sayur,
lauk pauk tempe dan tahu kadang-kadang daging. Penderita jarang makan
buah-buahan dan minum susu.
8. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang laki-laki umur 35 tahun, bekerja sebagai
karyawan toko. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS PBI.
14
9. Anamnesis Sistem
Keluhan utama : demam
Kepala : sakit kepala (-), pusing (-), nggliyer (-).
Mata : pandangan kabur (-), penglihatan ganda (-), mata
kuning (-), berkunang - kunang (-).
Hidung : pilek (-), mimisan (-)
Telinga : pendengaran berkurang (-), pendengaran
berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-).
Mulut : gusi berdarah (-), sariawan (-), mulut kering (-),
luka pada sudut bibir (-), gigi goyah (-) sulit
berbicara (-), gigi caries (-), papil lidah atrofi (-),
lidah kotor (+)
Tenggorokan : sakit menelan (-), terasa gatal tenggorokan (-).
Sistem Respirasi : sesak napas (-), batuk (-), mengi (-)
Sistem Cardiovaskuler : nyeri dada (-), dada ampeg (-), berdebar-debar
(-), sesak nafas (-), terbangun malam hari
karena sesak (-)
Sistem Gastrointestinal : nafsu makan berkurang (-), mudah haus (-),
mudah lapar (-), mual (+), muntah (-), muntah
darah (-), nyeri ulu hati (+), perut sebah (-),
Sistem Muskuloskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-),
badan lemas (+), kejang (-), jimpe-jimpe pada
kedua kaki.
Sistem Genitourinaria : BAK 4-5x sehari @ 1/2 gelas belimbing, warna
kuning jernih, nyeri saat BAK (-), BAK panas (-),
BAK berpasir (-), BAK darah (-), BAK menetes (-
), anyang-anyangan (-), BAK tidak tuntas (-), BAK
mengejan (-).
Ekstremitas
Atas : luka (-/-), kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari
terasa dingin (-/-), bengkak (-/-), lemah (-/-).
15
Bawah : luka (-/-), kesemutan (-/-), tremor (-/-), ujung jari
terasa dingin (-/-),, bengkak (-/-), lemah
Sistem Neuropsikiatri : kejang (-), emosi tidak stabil (-), kesemutan (-/-),
gelisah (-), mengigau.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 September 2014
1. Keadaan Umum : Compos mentis, sakit sedang, gizi kesan cukup
2. Tanda Vital
Tensi : 120/80 mmHg
Respirasi : 20x / menit
Nadi : 92x / menit, isi cukup, reguler
Suhu : 38,4°C (axiller)
3. Status Gizi
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 160 cm
BBI : 83,33 %
BMI : 19,53 kg/m2
Kesan : normoweight
4. Kulit : warna sawo matang, ikterik (-), turgor kurang (-),
hiperpigmentasi (-).
5. Kepala : bentuk mesocephal, rambut hitam, uban (+), lurus, mudah
rontok (-), mudah dicabut (-), moon face (-).
6. Mata : conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
katarak (-/-), perdarahan palpebra (-/-), pupil isokor
dengan diameter (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), edema
palpebra (-/-).
7. Telinga : sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoideus (-).
8. Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi
pembau baik, foetor ex ore (-).
9. Mulut : sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), pucat (-), lidah
16
tiphoid (+), papil lidah atrofi (-), stomatitis (-), luka pada
sudut bibir (-), foetor ex ore (-).
10. Leher : JVP tidak meningkat (R+2), trachea ditengah, simetris,
pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-).
11. Limfonodi : kelenjar limfe retroaurikuler, submandibuler, servikalis,
supraklavikularis, aksilaris dan inguinalis tidak membesar
12. Thorax : bentuk simetris, retraksi intercostal (-), spider nevi (-),
pernafasan toracoabdominal, sela iga melebar (-),
muskulus pektoralis atrofi (-), ginekomasti (-),
pembesaran KGB axilla (-/-).
Cor :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak, pulsasi precardial, epigastrium
dan parasternal tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di spatium intercostale V, 1 cm medial
linea medio clavicularis sinistra, tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kiri atas : spatium intercostale II, linea
parasternalis sinistra
batas jantung kiri bawah : spatium intercostale VI, 1 cm
medial linea medio clavicularis
sinistra
batas jantung kanan atas : spatium intercostale II, linea
parasternalis dextra
batas jantung kanan bawah : spatium intercostale V, linea
parasternalis dextra
Kesan : konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Heart Rate 92 kali/menit, reguler. Bunyi jantung I-II murni,
intensitas tidak meningkat, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo :
Depan
Inspeksi
17
Statis : normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak
mendatar.
Dinamis : pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-).
Palpasi
Statis : simetris
Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
Kanan : sonor
Kiri : sonor, mulai redup sesuai pada batas jantung, batas paru
lambung di Spatium Inter Costale (SIC) VI linea
medioclavicularis sinistra.
Auskultasi
Kanan : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi basah
kasar (-), ronchi basah halus (-) di daerah basal, eksperium
diperpanjang (-), wheezing (-).
Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi basah
kasar (-), ronchi basah halus (-) di daerah basal, wheezing (-).
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dari dinding dada, ikterik (-),
venectasi (-), cicatrix (-), striae (-), edema (-) bekas luka
biopsi (-).
Auskultasi : peristaltik (+), nyeri ketok costovertebral (-), Bruit (-) di
hepar
Perkusi : tympani, pekak sisi (-), pekak alih (-), undulasi (-).
Palpasi : dinding perut supel, nyeri tekan (-) , hepar dan lien tidak
teraba.
14. Genitourinaria : ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-), NKCV (-/-)
15. Ekstremitas :
18
Extremitas superior Extremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Pucat - - - -
Akral dingin - - - -
Luka - - - -
Deformitas - - - -
Ikterik - - - -
Petekie - - - -
Spoon nail - - - -
Kuku pucat - - - -
Clubing finger - - - -
Hiperpigmentasi - - - -
Fungsi motorik 5 5 5 5
Fungsi sensorik Normal Normal Normal Normal
Reflek fisiologis +2 +2 +2 +2
Reflek patologis - - - -
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Patologi Klinik
Pemeriksaan 23/09/14 Satuan Rujukan
Hb 15,6 g/dl 12-16
Hct 44,4 % 37-47
AE 5,31 10^6/uL 4,2-5,4
AL 6100 /ul 4800-10800
AT 118 10^3/uL 150-450
MCV 83,6 fL 80-100
MCH 29,4 pg 27-32
MCHC 35,1 g/dL 32-36
Neutrofil segmen % 50,1 % 50-70
19
Limfosit 44,6 % 20-40
Monosit 5,3 % 2-8
Eosinofil 0 % 1-3
Basofil 0 % 0-1
SGOT 21 u/L <31
SGPT 23 u/L <31
LED 7
Widal
Typhi O
Typhi H
Paratyphi
Negatif
1/100
1/200
IgM Salmonela +6
0-2 : negatif
3 : borderline
4-5 : positif lemah
6-10 : Positif kuat
D. DAFTAR ABNORMALITAS
1. Demam
2. Mual
3. Nyeri perut
4. Badan lemas
5. Tinja lunak-cair
6. Lidah tifoid (+)
7. Widal Thypi H = 1/100
8. Widal Parathypi = 1/200
9. IgM Salmonela = +6
E. ANALISIS DAN SINTESIS
Abnormalitas 1,2,3,4,5,6,7,8,9 Demam typhoid
F. DIAGNOSIS
Typhus abdominalis
20
G. RENCANA PEMECAHAN MASALAH
Problem : Typhus abdominalis
Assesment : Demam, mual, sakit perut, lemas, tinja lunak-cair, lidah
tifoid (+), widal typhi h = 1/100, widal paratyphi = 1/200,
IgM ssalmonela = +6
Terapi :
1. Non medikamentosa
a. Bed rest total hingga 7 hari bebas panas, mobilisasi bertahap mulai dari
duduk sampai pulihnya kekuatan
b. Diit TKTP 1500 kkal, rendah serat, lunak sampai 7 hari bebas panas,
setelah itu ganti bubur kasar, setelah 7 hari ganti nasi
2. Medikamentosa
a. Infus NaCl 0,9% → rehidrasi
b. Kloramfenikol 4 x 500mg → drug of choice Typhus
c. Pamol 3x500 mg → Demam
d. Injeksi ranitidin→ Mual
3. Monitoring
Keadaan umum, vital sign, adanya komplikasi, dan hepatomegali
4. Edukasi
Penjelasan mengenai penyakit dan komplikasinya. Typhus
abdominalis merupakan penyakit infeksi yang memerlukan kepatuhan
pasien dalam melaksanakan terapi untuk mencegah komplikasi, seperti
gangguan saluran cerna.
21
Penulisan Resep
RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Poli Klinik Interna
23 September 2014
Dokter : dr. Annisa
R / Infus Natrium Chlorida 0,9% fl No II
Cum infuse set No I
Iv catheter no 20 No I
Three way No I
S imm
R / Kloramfenikol tab mg 500 No XXX
S 4 dd tab I
R/ Pamol tab mg 500 No. XV
S 3 dd tab I
R/ Ranitidin inj amp No. V
Cum disposable syringe cc 3 No. V
S imm
Pro : Tn. J (35 tahun)
Alamat : Surakarta
22
BAB III
PEMBAHASAN
Tata laksana pada typhus abdominalis yang masih sering digunakan adalah
istirahat, perawatan, diet, terapi penunjang, serta pemberian antibiotik.
A. Tindakan Umum
Tujuan pengobatan adalah untuk membasmi infeksi, mengurangi
morbiditas dan mencegah komplikasi. Untuk membasmi infeksi dan mencegah
komplikasi, maka pemberian antibiotika yang tepat adalah hal yang terpenting
dan menjadi inti farmakoterapi terhadap typhus abdominalis. Antibiotik
diberikan secara empiris bila bukti-bukti klinis menyokong diagnosa typhus
abdominalis .
Untuk mengurangi morbiditas, pemberian glukokortikoid
(Dexamethasone) dapat diberikan pada pasien yang mengalami demam
toksemik yang berat. Pemberian harus dengan indikasi dan dosis yang tepat
karena dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi usus. Pemberian asam
salisilat dan antipiretik lain tidak dianjurkan kaena dapat menyebabkan
perdarahan dan perforasi usus disamping memang tidak banyak berguna.
Untuk mengurangi demam dapat dilakukan kompres dengan air hangat .
B. Terapi Antibiotik
Rasionalitas antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang didasarkan
asas tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, serta waspada terhadap
efek samping yang mungkin timbul dari pemberian antibiotik tersebut.
Orientasi penggunaan antibiotik secara rasional lebih diarahkan pada pasien
agar didapatkan hasil yang aman, efektif, dan efisien.
Terapi antibiotik merupakan inti dari farmakoterapi dan harus dimulai
jika bukti klinis mendukung gambaran typhus abdominalis. Sejak tahun 1960,
telah muncul strain S.typhii yang resisten terhadap kloramfenicol dan pada
tahun 1989, strain S. typhii Multi Drugs Resistance (MDR) yang kebal
terhadap Chloramphenicol, Amoxicillin dan Cotrimoxazol muncul dan
menyebar di anak benua India dan beberapa negara di Asia Tenggara. Untuk
23
kasus typhus MDR ini maka obat pilihan utamanya adalah Flouoroquinolone
dan Cepholosporin generasi ketiga karena kemanjuran serta rendahnya angka
kasus relaps dan carrier.
Kloramfenikol terutama digunakan pada daerah-daerah dimana strain
lokal masih sensitif. Pada kasus typhus abdominalis MDR pada anak, karena
penggunaan quinolone tidak dianjurkan, maka cephalosporine generasi ketiga
menjadi pilihan utama .
C. Pembahasan Obat
Obat yang dipilih sebagai antibiotik pada kasus di atas adalah
Kloramfenikol, dimana obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan subunit
ribosom 50 S bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan
menghambat sintesa protein . Efektif untuk bakteri gram positif dan negatif ,
namun jika ada antibiotik lain yang lebih aman, dianjurkan untuk tidak
menggunakan kloramfenikol. Saat ini terutama digunakan untuk demam
typhoid, infeksi Salmonella yang lain, serta H. influenzae.
Kloramfenikol merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam
tifoid. Kloramfenikol mempunyai ketersediaan biologik 80% pada pemberian
iv. Waktu paruh plasmanya 3 jam pada bayi baru lahir, dan bila terjadi sirosis
hepatis diperpanjang sampai dengan 6 jam.
Dosis yang diberikan secara per oral pada dewasa adalah 20-30(40)
mg/kg/hari. Pada anak berumur 6-12 tahun membutuhkan dosis 40-50
mg/kg/hari. Pada anak berumur 1-3 tahun membutuhkan dosis 50-100
mg/kg/hari. Pada pemberian secara intravena membutuhkan 40-80 mg/kg/hari
untuk dewasa, 50-80 mg/kg/hari untuk anak berumur 7-12 tahun, dan 50-100
mg/kg/hari untuk anak berumur 2-6 tahun.
Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 250 mg, 500 mg,
suspensi 125 mg/5 ml, sirup 125 ml/5ml, serbuk injeksi 1 g/vail. Penyuntikan
intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hirolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.
Dari pengalaman obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.
Untuk menghindari reaksi Jarisch-Herxheimer pada pengobatan demam tifoid
24
dengan kloramfenikol, dosisnya adalah sebagai berikut: hari ke 1 : 1g, hari ke
2 : 2 g, hari ke 3: 3 g, hari kemudian diteruskan 3 g sampai dengan suhu badan
normal. Beberapa efek samping yang mungkin timbul pada pemberian
kloramfenikol adalah mual, muntah, mencret, mulut kering, stomatitis,
pruritus ani, penghambatan eritropoiesis, Gray-Syndrom pada bayi baru lahir,
anemia hemolitik, exanthema, urticaria, demam, gatal-gatal, anafilaksis, dan
terkadang Syndrom Stevens-Johnson. Reaksi interaksi kloramfenikol dengan
paracetamol akan memperpanjang waktu paruh plasma dari kloramfenikol.
Interaksinya dengan obat sitostatika akan meningkatkan resiko suatu
kerusakan sumsum tulang.
D. Alasan pemilihan Kloramfenikol untuk kasus ini
1. Diharapkan adanya perbaikan keadaan klinis yang lebih cepat
dibandingkan jika diberikan antibiotik lain (Amoxicillin, Amphicillin,
Kotrimoxazol).
2. Harga lebih murah dibanding golongan Quinolon dan Cephalosporin
generasi ketiga.
3. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya tanda kerusakan hepar.
4. Dapat diberikan peroral.
5. Masih merupakan obat pilihan utama untuk typhus abdominalis di
Indonesia.
Pada pasien ini harus dilakukan pemantauan darah rutin (Hb, HCt,
AL, AT). Jika terdapat penurunan dapat diganti dengan obat antibiotik
lain.
E. Antibiotika alternatif untuk kasus ini
1. Thiamphenicol
Dosis thiamfenikol untuk orang dewasa adalah 500 mg tiap 8 jam,
dan untuk anak 30-50mg/kg/hari yang dibagi menjadi 4 kali pemberian
sehari. Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 500 mg.
Beberapa efek samping yang mungkin timbul pada pemberian
kloramfenikol adalah mual, muntah, diare, depresi sumsum tulang yang
bersifat reversibel, neuritis optis dan perifer, serta dapat menyebabkan
25
Gray baby sindrom. Interaksi tiamfenikol dengan rifampisin dan
fenobarbiton akan mempercepat metabolisme tiamfenikol. Dengan
tiamfenikol demam pada demam tifoid dapat turun setelah 5-6 hari
Kelebihan Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang benar-
benar sensitif
Komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol
Kekurangan Perbaikan klinis lebih lambat
Kasus relaps lebih banyak.
2. Cotrimoxazol
Nama obat Kombinasi dua obat antibiotik, yaitu trimetroprim
dan sulfametoksazol. Kombinasi obat ini juga dikenal
sebagai TMP/SMX, dan beredar di masyarakat
dengan beberapa nama merek dagang misalnya
Bactrim.
Menghambat pertumbuhan bakteri dengan
menghambat sintesis dari asam dihidrofolik.
Aktivitas antibakteri dari TMP –SMZ meliputi
bakteri patogen saluran kemih kecuali Pseudomonas
aeruginosa. Sama efektif seperti chloramphenicol
dalam penurunan panas dan pencegahan relaps.
Trimethoprim sendiri juga efektif pada kelompok
kecil pasien.
Dosis Dosis untuk pemberian per oral pada orang dewasa
dan anak adalah trimetroprim 320 mg/hari,
sufametoksazol 1600 mg/hari. Pada anak umur 6
tahun trimetroprim 160 mg/hari, sufametoksazol 800
mg/hari. Pada pemberian intravena paling baik
diberikan secara infus singkat dalam pemberian 8-12
26
jam.
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap obat ini;
anemia megaloblastik pada pasien dengan defisiensi
folat.
Interaksi
Obat
Interaksi kotrimoksazol degan antasida menurunkan
resorbsi sulfonamid. Pada pemberiaan yang
bersamaan dengan diuretika thiazid akan
meningkatkan insiden thrombopenia, terutama pada
pasien usia tua.
Perhatian Hentikan pada timbulnya rash kulit pertama kali atau
tanda reaksi adverse: lakukan kotrol keadaan darah
dengan pemeriksaan Hitung Datrah lengkap secara
rutin, hentikan terapi jika timbul perubahan
hematologis yang signifikan; goiter, diuresis, and
hipoglikemia dapat terjadi pada terapi dengan
sulfonamides; pemberian per IvV yang
berkepanjangan atau dosis yang tinggi dapat
menyebabkan depresi sumsum tulang (jika tanda-
tanda muncul berikan leucovorin 5-15 mg/hari);
perhatian pada defisiensi folat (contoh pada pasien
alkoholisme, geriatri, pasien yang mendapat terapi
antikonvulsan, atau pada pasien dengan sindroma
malabsorbsi); hemoloisis dapat terjadi pada pasien
dengan defisiensi G-6-PD; pasien dengan AIDS
dapat tidak toleran atau merespon pemberian TMP-
SMZ; perhatian pada pasien dengan kerusakan ginjal
atau hepar (lakukan urinanalysis dan tes fungsi renal
selama terapi); pemberian cairan untuk mencegah
terbentuknya kristaluria dan batu saluran kemih.
Kelebihan Dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap
Chloraphenicol, Thiamphenicol, dan golongan
27
Penicillin
Kekurangan Perbaikan klinis lebih lambat
3. Golongan Penicillin
Nama obat Amoxicillin– Mempengaruhi sintesis dinding sel
mucopeptides selama multiplikasi aktif,menghasilkan
aktivitas bakterisidal pada bakteri yang sensitif.
Kurang efektif dibandingkan dengan
Chloramphenicoldalam menurunkan panas dan kasus
relaps. Angka Carrier lebih sedikit dibandingkan
antibiotik lain pada bakteri yang benar- benar sensitif.
Biasanya diberikan per oral dengan dosis harian 75-
100 mg/kgBB untuk 14 hari.
Dosis Dosis untuk pemberian per oral dalam lambung yang
kosong dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam sekitar 1/2 jam sebelum makan. Untuk orang dewasa 2-8
g/hari, sedangkan pada anak 100-200 mg/kg/hari. Pada
pemberiaan secara intravena paling baik diberikan
dengan infus singkat yang dibagi dalam pemberiaan
setiap 6-8 jam. Untuk dewasa 2-8 g/hari, sedangkan
pada anak 100-200 mg/kg/hari.
BSO Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 250
mg, 500 mg; Kaptab 250 mg, 500 mg; Serbuk Inj.250
mg/vial, 500 mg/vial, 1g/vial, 2 g/vial; Sirup 125 mg/5
ml, 250 mg/5 ml; Tablet 250 mg, 500 mg.
Kontraindikasi Riwayat hipersensitivitas terhadap golongan penicillin
Interaksi obat Mengurangi kemanjuran kontrasepsi oral
Interaksinya dengan allopurinol dapat memudahkan
munculnya reaksi alergi pada kulit. Eliminasi
ampisilin diperlambat pada pemberian yang
bersamaan dengan urikosuria (misal: probenezid),
28
diuretik, dan obat dengan asam lemah
Perhatian Penyesuaian dosisi pada pasien dengan kerusakan
ginjal; dapat meningkatkan kemungkinan candidiasis
Kelebihan Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang benar-
benar sensitif
Kekurangan Perbaikan klinis lebih lambat
Kasus relaps lebih banyak.
4. Golongan Quinolone (Flouroquinolone)
Nama obat Ciprofloxacin -- Fluoroquinolone dengan aktivitas
terhadap pseudomonas, streptococci, MRSA,
Staphylococcus epidermidis, dan kebanyakan
organisme gram negatif tapi tidak efektif untuk
kuman anaerobe. Menghambat sintesa DNA bakteri
dan juga pertumbuhannya. Terapi dilanjutkan setelah
tanda dan gejala hilang selama sekurantg- kurangnya
2 hari (biasanya 7-14 hari). Terbukti sangat efektif
untuk demem typhoid dan para typhoid. Panas turun
pada hari ke 3- 5, dan angka kejadian relaps dan
carrier jarang. Quinolone lain (seperti Ofloxacin,
norfloxacin, pefloxacin) biasanya juga efekti. Jika
pasien meneluh mual atau mengalami diare dapat
diberikan per IV. Fluoroquinolone sangat efektif
terhadap strain yang multiresistendan mempunyai
aktivitas antibakteri intraselluler.
Tidak dianjurkan diberikan pada anak dan wanita
hamil karena potensial untuk menyebabkan
kerusakan kartilago pada percobaan terhadap hewan.
Tetapi arthropati tidak dilaporkan pada penggunaan
asam nalidiksat (quinolon awal yang dikenal
menyebabkan kerusakan sendi yang sama pada
29
hewan muda) pada anak atau pada anak dengan
fibrosis kistik yang memerlukan pengobatan dosis
tinggi.
Dosis Dewasa 20-30 mg/kgBB/hari bid untuk 14 hari, tapi jangka
pengobatan yang lebih pendek dapat adekuat; 250-
500 mg PO bid untuk 7-14 hari.
Dosis anak <18 tahun: pemberian tidak dianjurkan
>18 tahun: dosis sama dengan dewasa
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
Interaksi
Obat
Antasid, garam besi dan seng dapat menurunkan
kadar serum; pemberian antasid 2-4 jam sebelum atau
sesudah meminum flouruquinolone; cimetidine dapat
mempengaruhi metabolisme dari fluoroquinolone;
mengurangi efek terapi dari phenytoin; pemberian
bersama dengan probenesid dapat meningkatkan
konsentrasi serum; dapat mengingkatkan toksisitas
dari theophylline, caffeine, cyclosporine dan digoxine
(monitor kadar digoxine pada pemberian bersama);
dapat meningkatkan efek dari koagulan (monitor PT)
Perhatian Pada terapi yang jangka panjang lakukan evaluasi
periodik terhadam fungsi sistem organ(seperti ginjal,
hepar, dan hematopoetik); sesuaikan dosisi pada
kerusakan fungsi renal; superinfeksi dapat terjadi
pada terapi antibiotik yang berulang atau jangka
panjang.
Kelebihan Angka relaps dan carier lebih sedikit
Perbaikan klinis lebih cepat
Obat pilihan untuk kasus Typus abdominalis MDR
Kekurangan Tidak dapat diberikan untuk anak usia dibawah 18
tahun
Harga lebih mahal
30
5. Golongan Cephalosporine generasi ketiga
Nama obat Cefotaxime (Claforan) – menghentikan sintesis
dinding bakteri, yang akan menghambat
pertumbuhan bakteri. Merupakan cephalosporine
dengan spektrum gram negatif. Kemanjuran terhadap
bakteri gram positif kurang. Sangat baik terhadap S
typhi In vitro dan salmonella lain dan kemanjuran
untuk demam typhoid telah diterima. Hanya tersedia
sediaan untuk injeksi per IV. Saat ini kemunculan
infeksi Salmonella domestik yang resisten terhadap
ceftriaxone telah ditemukan.
Dosis Dewasa 2 g IV setiap 6 jam
Dosis anak 200 mg/kgBB/hari pada dosis terbagi selama 14 hari
bayi dan anak- anak: 50-180 mg/kgBB/hari IV/IM
dosis terbagi setiap 4- 6 jam>12 tahun: dosis sama
dengan dewasa
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
Interaksi
Obat
Probenecid dapat meningkatkan kadar; pemberian
bersama dengan furosemide dan aminoglykoside
dapat meningkatkan toksisitas terhadap ginjal.
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal;
berhubungan dengan colitis yang parah.
Nama obat Ceftriaxone -- Cephalosporin generasi ketiga dengan
aktivitas spektrum luas terhadap gram negatif dan
gram positif; aktivitas invitro sangat baik terhadap S
typhi dan salmonella yang lain.
Dosis Dewasa 1-2 g IV setiap 12 jam
Dosis anak >7 hari: 25-50 mg/kgBB/hari IV/IM; tidak melebihi
125 mg/hari
31
Bayi dan anak: 50-75 mg/kgBB/hari IV/IM terbagi
setiap 12 jam; tidak melebihi 2g/ hari
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
Interaksi
Obat
Probenecid dapat meningkatkan kadar; pemberian
bersama dengan ethacrynic acid, furosemide, and
aminoglycoside dapat meningkatkan toksisitas
terhadap ginjal.
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal;
pseudobiliary lithiasis; diare non–Clostridium
difficile ; ibu menyusui.
Nama obat Cefoperazone -- Cephalosporin generasi ketiga
dengan spektrum gram-negatif. Kurang efektif
terhadap organisme gram positif.
Dosis
Dewasa
2-4 g/hari dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 12
g/hari
Dosis anak Belum dipastikan, disarankan 100-150 mg/kgBB/hari
dosis terbagi setiap8- 12 jam; tidak melebihi 12
g/hari
Kontraindika
si
Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
Interaksi
Obat
Probenecid dapat meningkatkan kadar; pemberian
bersama dengan furosemide dan aminoglykoside
dapat meningkatkan toksisitas terhadap ginjal.
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal;
berhubungan dengan colitis yang parah.
Kelebihan Obat pilihan untuk kasus Typus abdominals MDR
Angka carrier dan relaps rendah
Perbaikan klinis lebih cepat
Kekurangan Tidak tersedia dalam sediaan oral
Harga lebih mahal
32
F. Infus NaCl 0,9%
Pemberian infus pada kasus ini bertujuan untuk mencegah dehidrasi,
sebagai tambahan nutrisi dan mencegah asidosis.
G. Pamol
Nama obat Pamol (Paracetamol) – Parasetamol adalah drivat p-
aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik / analgesik.
Sifat antipiretiknya disebabkan oleh gugus aminobenzen
dan mekanismenya diduga berdasarkan efek
sentral. Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena,
tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan atom nitrogen
dari gugus amida pada posisi para (1,4). Senyawa ini
dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan
menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat. Parasetamol
dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-aminofenol
direaksikan dengan senyawa asetat anhidrat.
Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa
nyeri ringan sampai sedang. Paracetamol sebagai
analgetik memiliki khasiat sama seperti aspirin atau obat-
obat non steroid antiinflamatory drug (NSAID) lainnya.
Seperti aspirin, parasetamol berefek menghambat
prostaglandin (mediator nyeri) di otak tetapi sedikit
aktivitasnya sebagai penghambat postaglandin perifer.
Namun, tak seperti obat-obat NSAIDs.
Sifat antiinflamasinya sangat rendah sehingga tidak
digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan per oral,
Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna.
Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30
menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parasetamol
diekskresikan melalui ginjal, kurang dari 5% tanpa
33
mengalami perubahan dan sebagian besar dalam bentuk
terkonjugasi.
Karena Parasetamol memiliki
aktivitas antiinflamasi (antiradang) rendah, sehingga tidak
menyebabkan gangguan saluran cerna maupun efek
kardiorenal yang tidak menguntungkan. Karenanya cukup
aman digunakan pada semua golongan usia.
Dosis Dewasa Dosis umum untuk orang dewasa adalah 500 mg sampai
1000mg setiap empat jam serta dikonsumsi tidak lebih
dari 10 hari.
Dosis anak analgesik, antipiretik: oralDosis anak 6-12 bulan 60
mg/kali, maks. 6 kali sehari; 1-6 tahun 60-120 mg/kali,
maks. 6 kali/hari; 6-12 tahun 150-300 mg/kali, maks. 1,2
g/hari; dewasa 300 mg 1 g/kali, maks. 4 g/hariSediaan :
tab. 100 mg, 500 mg; sir. 120 mg/5 ml
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat gangguan fungsi hati dan ginjal
Interaksi
Obat
Paracetamol sering dikombinasikan dengan aspirin untuk
mengatasi rasa nyeri pada rematik sebab paracetamol
tidak mempunyai efek anti inflamasi seperti aspirin
sehingga bila kedua obat ini digabung maka akan
didapatkan sinergi pengobatan yang bagus pada penyakit
rematik. Paracetamol aman diberikan pada wanita hamil
dan menyusui namun tetap dianjurkan pada wanita hamil
untuk meminum obat ini bila benar benar membutuhkan
dan dalam pengawasan dokter. Paracetamol
dikombinasikan dengan opiod codein.
Paracetamol dokombinasikan dengan codein dan
penenang (syndol atau mersyndol). Parasetamol umumnya
digunakan untuk mengobati demam, sakit kepala, dan rasa
nyeri ringan. Senyawa ini bila dikombinasikan dengan
obat anti inflamasi non steroid (NSAID) atau obat pereda
34
nyeri opioid, dapat digunakan untuk mengobati nyeri yang
lebih parah.
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal dan
alkoholik
H. Ranitidin
Nama obat (Ranitidine HCl) – suatu penghambat aktivitas histamin
yang kompetitif dan reversibel pada reseptor H2
histamin, termasuk reseptor pada sel-sel lambung dan
bukan suatu zat antikolinergik, Ranitidin bekerja dengan
cara menghambat sekresi asam lambung basal dan
nokturnal melalui peng -hambatan kompetitif terhadap
kerja histamin pada reseptor - H2 histamin di sel-se!
parietal. Ranitidin juga menghambat sekresi asam
lambung yang dirangsang oieh makanan, betazole,
pentagas-trln, kofein, insulin dan refleks vagal fisiologis.
Efek penghambatan terhadap histamin bersifat
kompetitif, sedangkan terhadap pentagastrin bersifat
non-kompetitif.
Kadar puncak dalam darah setelah pemakaian oral,
tercapal dalam 1 - 2 jam dan tidak dipengaruhi oleh
adanya makanan..
Dosis Dewasa Injeksi:
Harus diberikan secara perlahan-lahan (-2'menit)
Dewasa: Intramuskular: 50mg/2ml, setiap 6-8 jam, tanpa
pengenceran.
Intravena:
- Intermittent bolus: 50 mg (2 ml) setiap 6'- 8 jam.
Larutkan ranitidin injeksi dalam 0,9% larutan NaCI atau
larutan i,v, yang cocok lainnya hingga konsen-trasi
tldak lebih besar dari 2,5 mg/ml (20 ml). •
35
Suntikkan dengan kecepatan tidak lebih dari 4 ml/
menit(5menit),
- Intermittent infusion: 50 mg/2 ml setiap 6 - 8 Jam,
Larutkan ranitidin injeksi dalam dekstrosa 5% atau
larutan i.v, yang cocok lainnya hingga konsentrasi tidak
lebih dari 0,5 mg/ml ( 100 ml).
Diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 5 - 7
ml/menif(15-20menit),
- Injeksi i.v. kontinyu; tambahkan injeksi ke dalam
larutan dekstrosa 5% ( atau larutan untuk injeksi i.v. lain
yang cocok), dengan kecepatan Infus 6,25 mg/jam,
- Pada penderita sindroma Zollinger - Ellison: encer-kan
injeksi ke daldm larutan dekstrosa 5% (atau larutan untuk
injeksi i.v. lain yang cocok) sampai di -peroleh
konsentrasi tidak lebih dari 2,5 mg/ml. Ke -cepatan infus
pertama 1,0 mg/kg/jam,setelah 4 jam (bila pada
pengukuran asam lambung diper -oleh> lOmEq/jam)
dosis dapat ditingkatkan 0 5 mg/kg/jam.
Dosis maksimal sampai 2,5 mg/kg/jam dengan
kecepatan infus 220 mg/jam,
- Pada penderita gagal ginjal (bila bersihan kreatinin < 50
mg/menit): dosis yang dianjurkan i.m. atau i.v, adalah 50
mg trap 18-24 jam (bila perlu interval pemberian
ditingkatkan menjaditiap 12 jam ). Karena Ranitidin turut
terdialisa maka waktu pemberian harus disesudikan,
yaitu bertepatan dengan akhirhemodialisa.
Dosis anak analgesik, antipiretik: oralDosis anak 6-12 bulan 60
mg/kali, maks. 6 kali sehari; 1-6 tahun 60-120 mg/kali,
maks. 6 kali/hari; 6-12 tahun 150-300 mg/kali, maks. 1,2
g/hari; dewasa 300 mg 1 g/kali, maks. 4 g/hariSediaan :
tab. 100 mg, 500 mg; sir. 120 mg/5 ml
36
Efek samping Perubahan reversible pada fungsi hati, reaksi
hipersensitivitas, sakit kepala, ruam kulit, dan reversible
mental confusion
Interaksi Obat Dengan diazepam, metoprolol, lignokain, fenitoin,
propanolol, teofilin, warfarin, midazolam, fentanyl, ni-
fedipin.
Ranitidine tidak menghambat kerja dari
sitokrom P450 dalam hati.
Pemberian bersama warfarin dapat
meningkatkan atau menurunkan waktu protrombin
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal, disfungsi hati, hamil dan masa laktasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer, A. 2008. Demam Tifoid: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FK
UI.
2. Parry CM. 2002. Typhoid fever. NEJM 347(22): 1770-82
3. Widodo, Djoko. 2006. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
FKUI Jilid III.Jakarta : IPD FKUI
4. Chin, J. 2006. Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta:
Infomedika.
37
5. Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current
Medical Diagnosis and Treatment 45th Ed. 1425-6.
6. Lifshitz, Edward I. Travel trouble: Typhoid fever--a case presentation and
review. Journal of American College Health, 07448481, Vol. 45, Issue 3
7. Antony S.Fauci t al. Harrison’s Manual of Medicine 17th Edition. 2008.
McGraw Hill
8. Rampengan, T. H. 2007. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi II. Jakarta:
EGC.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis
2nd Ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
10. Cammie, F.L. & Samuel, I.M. 2005. Salmonellosis: Principles of Internal
Medicine: Harrison 16th Ed. 897-900.
11. Lentnek, A.L. 2007. Typhoid Fever: Division of Infection Disease.
www.medline.com.
12. Baker et al. 2010.Searching For The Elusive Typhoid Diagnostic. BMC
Infectious Diseases
13. Alan, R.T. 2003. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid: Pediatrics
Update. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
14. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Standar
Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI.
38