SAMPUL
Seminar Studi Pustaka
KAJIAN PELUANG PENERAPAN KONSEP HURDLE DALAMPENGAWETAN DANGKE DENGAN PENAMBAHAN ASAM
ASKORBAT
Oleh:
FITRAH ISYANAI 411 06 028
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAKJURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKANUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2011
1
KAJIAN PELUANG PENERAPAN KONSEP HURDLE DALAMPENGAWETAN DANGKE DENGAN PENAMBAHAN ASAM
ASKORBAT1
Fitrah Isyana2, Hikmah M Ali3
ABSTRAK
Dangke, suatu produk tradisional yang berasal dari Kabupaten Enrekang adalahsalah satu bentuk diversifikasi produk olahan susu yang diminati, khususnya dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Karena perluasan area pemasaran, produkini harus melalui proses pengawetan sebelum dipasarkan. Metode pengawetantradisional yang paling umum dilakukan oleh produsen dangke adalah denganmerendam produk dalam garam. Penggunaan garam dalam hal ini menyebabkanadanya prosedur tambahan sebelum pengolahan lebih lanjut, selain itupenggaraman dapat menyebabkan rasa asin yang tidak disukai. Namun demikiangaram juga berperan juga memiliki kelebihan tersendiri, sehingga untukmengatasi masalah tersebut maka konsentrasi garam dalam pengawetan harusdikurangi dan disubstitusi dengan bahan pengawet alternatif lain. Salah satubahan pengawet alternatif yang dapat digunakan untuk mensubtitusi garam adalahasam askorbat. Kombinasi garam dan asam askorbat dapat diimplementasikandengan konsep Hurdle, dengan konsep ini faktor-faktor yang mempengaruhikualitas pengawetan lainya juga akan dioptimalkan sehingga pengawetan yangdilakukan dapat member hasil yang maksimal. Hasil penelusuran kepustakaanmenunjukkan bahwa dengan konsep Hurdle asam askorbat dapat digunakansebagai bahan pengawet untuk dikombinasikan dengan garam dan produk dangkeyang dihasilkan memiliki nilai tambah dengan adanya kandungan asam askorbatatau vitamin C di dalamnya.
Kata Kunci: Dangke, Pengawetan, Asam Askorbat
PENDAHULUAN
Permintaan akan produk dangke terus mengalami peningkatan, saat ini
produk bukan hanya diproduksi untuk kebutuhan lokal namun juga untuk
memenuhi permintaan konsumen di luar daerah. Agar dapat bertahan lebih lama,
1 Judul2 Pemakalah3 Pembimbing
2
produk dangke yang akan dipasarkan di luar daerah terlebih dahulu direndam
dalam larutan garam dapur, bahkan sebagian diantara pengrajin dangke
menaburkan garam dapur disekeliling dangke tersebut, kemudian dikeringkan.
Metode pengawetan dengan menggunakan garam dapur inilah yang menjadi
kebiasaan oleh sebagian besar pengrajin dangke di Kabupaten Enrekang. Metode
pengawetan ini mempunyai kelemahan tersendiri yaitu dangke yang akan
dikonsumsi harus melalui proses penyiraman air panas untuk mengurangi
kandungan garam didalam bahan pangan itu sendiri. Metode ini juga dapat
berpengaruh negatif terhadap cita rasa dangke, produk terasa asin.
Namun demikian, penggaraman bukan hanya ditujukan untuk
mengawetkan dangke. Disamping efisiensi biaya pengawetan dalam
penggunaanya, kehadiran garam juga berperan dalam menekan rasa amis susu
yang berlebih pada produk. Berdasarkan gambaran tersebut dianggap perlu untuk
melakukan introduksi bahan pengawet alternatif untuk mengurangi penggunaan
garam dalam pengawetan dangke, disamping itu beberapa komponen atau tahapan
pembuatan dangke yang berperan dalam preservasi perlu diperhatikan, sehingga
terbentuk suatu metode pengawetan sebagai hasil kombinasi dari beberapa faktor
yang berperan dalam pengawetan.
Optimalisasi faktor-faktor yang berperan dalam pengawetan ini melalui
kombinasi berbagai faktor tersebut dikenal dengan konsep Hurdle atau Hurdle
technology, dengan tekhnologi ini maka konsentrasi suatu bahan pengawet
tertentu dapat dikurangi dan pengawetan akan menjadi lebih maksimal karena
3
tertutupnya jalan untuk kontaminasi dan pertumbuhan miktroorganisme pathogen
pada produk.
Tulisan ini akan mencoba untuk melakukan pengkajian kombinasi
penggunaan garam dengan bahan pengawet alternatif lain yaitu Asam Askorbat
(Ascorbic Acid) berdasarkan Konsep Hurdle atau Hurdle Technology, guna
melihat sejauh mana peluang penggunaan asam askorbat dalam pengawetan
dangke berdasarkan hasil penelurusan pustaka.
PEMBAHASAN
Pengawetan Bahan Pangan dan Teknologi Hurdle
a. Tinjauan Umum Pengawetan
Pengawetan adalah suatu teknik atau tindakan yang digunakan oleh
manusia pada bahan pangan sedemikian rupa sehingga bahan tersebut tidak
mudah rusak (Winarno, 1983). Ishak (1985) mengemukakan bahwa prinsip-
prinsip pengawetan adalah : 1) Menghambat terjadinya penguraian oleh mikroba
dengan membunuh atau mengurangi jumlah mikroba pada bahan pangan; 2)
Menghambat dekomposisi sendiri dari bahan pangan misalnya dengan
pembusukan atau menginaktifkan enzim di dalam bahan pangan; 3)
Memperlambat proses pernapasan atau reaksi biokimia lainnya; 4) Mencegah
kerusakan karena adanya faktor-faktor dari luar seperti serangan oleh serangga,
parasit maupun kerusakan mekanis.
4
Pengawetan bertujuan untuk menghambat atau mencegah terjadinya
kerusakan, mempertahankan mutu, menghindarkan terjadinya keracunan serta
mempermudah penanganan dan penyimpanan bahan makanan (Winarno, 1983).
Menurut Buckle (1985) bahwa tujuan pengawetan bahan pangan secara komersial
adalah: 1) Untuk mengawetkan bahan pangan selama perjalanan dari produsen ke
konsumen, dengan menghindarkan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan
dalam hal keutuhannya, nilai gizi atau mutu organoleptis secara metode ekonomis
yang mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme, mengurangi perubahan-
perubahan kimia, fisik, fisiologis, faal, dan pencemaran; 2) Untuk mengisi
kekurangan produksi terutama kesulitan akibat musim; 3) Untuk menjamin sejauh
mungkin, agar kelebihan produksi lokal atau kelebihan musim tidak terbuang; 4)
Untuk memudahkan penanganan, yang dilakukan terutama melalui perbagai
bentuk pengemasan.
b. Teknologi Hurdle (Hurdle Technology)
Teknologi Hurdle (Hurdle technology) atau dikenal juga dengan teknologi
kombinasi adalah metode yang mengkombinasikan dua atau lebih metode
pengawetan pada level yang lebih rendah dibandingkan bila pengawetan tersebut
dilakukan dengan metode pengawetan tunggal. Tidak ada faktor tunggal yang
bertanggung jawab untuk membuat produk stabil, melainkan hasil stabilitas
produk diperoleh dengan menggabungkan beberapa metode pengawetan (Leistner,
2000). Lebih lanjut Bazhal, et. al. (2003) mengemukakan, bahwa yang menjadi
perhatian utama pada penerapan teknologi Hurdle pada pengolahan pangan,
5
terutama produk pangan segar adalah minimalisasi penggunaan senyawa kimia
yang dikenal dengan minimal processing.
Pengawetan pada pangan secara tradisional dilakukan berdasarkan
beberapa faktor pengawetan yang dikombinasikan untuk memastikan keamanan
pangan tersebut. Kombinasi faktor yang biasa digunakan seperti pemanasan,
penurunan aw, dan pH rendah. Faktor-faktor pengawetan ini juga dapat
berpengaruh terhadap karakteristik sensori produk dan memberikan kontribusi
terhadap flavor, tekstur atau warna pada produk (Leistner, 1995). Pengembangan
teknologi ini bukan hanya pada metode pengawetan tradisional, namun juga dapat
dilakukan dengan metode pengawetan modern seperti irradiasi pangan, ultra high
pressure, dan pulsed technologiest (Leistner, 2000). Lebih lanjut Suh-Young
(2004) mengemukakan bahwa bahan atau metode preservasi yang digunakan
bergantung pada: 1) jenis mikroba yang kemungkinan besar mengkontaminasi
selama proses produksi produk; 2) sejauhmana daya dukung produk untuk
pertumbuhan mikroorganisme; dan 3) kemungkinan kerusakan oleh pengaruh dari
dalam produk itu sendiri (self-life).
Hurdle effect menggambarkan keberhasilan dalam mengkombinasikan
beberapa faktor seperti nilai F (nilai pemanasan), t (chilling), aw, pH, bahan
pengawet dan flora pada produk pangan yang bersifat kompetitif (contohnya
Bakteri Asam Laktat / BAL). Saat ini pabrik-pabrik pangan telah menyadari akan
berhasilnya aplikasi teknologi kombinasi dalam hal menghasilkan produk pangan
yang stabil selama penyimpanan dan aman. Pendekatan dalam metode kombinasi
umumnya adalah menemukan interaksi antara penggunaan senyawa pengawet
6
kimiawi dengan proses fisik yang paling disukai atau diantara beberapa bahan
pengawet, yang dapat dapat mengurangi resiko pada proses tanpa mengorbankan
keamanan atau stabilisasi dari pangan itu sendiri (Leistner, 2000).
Gambar 1. Ilustrasi Kerja Pengahambatan Jumlah Bakteri Kontaminanpada Teknologi Hurdle. Ket: Presv=Pengawet/MetodePengawetan; 1= Total Cemaran Bakteri; 2= Mikroba A; 3=Mikroba B; dan 4= Mikroba C. (Sumber: Leistner (2003) danBazhal, et. al. (2003)).
Konsep mengkombinasikan beberapa faktor untuk mengawetkan produk
pangan telah dikembangkan menjadi Hurdle effect, yaitu bahwa masing-masing
faktor adalah rintangan yang harus diatasi oleh mikroorganisme. Berawal dari
sinilah istilah Hurdle technology menjadi populer dalam pengolahan pangan.
Teknologi kombinasi juga dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas produk
pangan dan juga dapat bertujuan meperoleh teknik pengawetan pangan yang lebih
ekonomis (Gambar 1) (Leistner, 2000).
7
Gambar 1 menunjukkan beberapa tipe mikroba dan atau mikroflora yang
memiliki resistensi yang berbeda-beda (2-4) dan total kontaminan yang terdapat
dalam suatu produk (1). Saat Preservasi 1 dilakukan, mikroorganisme 2 secara
spontan menunjukkan penurunan jumlah, sementara itu mikrroorganisme 3
menunjukkan resistensi pada preservasi 1, namun menurun pada preservasi 2 dan
terus menurun hingga pada preservasi 3. Mikroorganisme 4 menunjukkan
resistensi pada preservasi 1 dan 2, namun menurun pada preservasi 3 dan semakin
menipis pada preservasi 4. Sehingga secara umum, metode ini juga bekerja untuk
menekan pertumbuhan beberapa mikroorganisme.
Suatu penelitian yang dilaporkan oleh Leistner and Rodel (1976) pada
sosis hati sapi (perlakuan perbandingan lemak, garam dan suhu yang berbeda),
menunjukkan bakteri Clostridium Sporogenes dapat bertahan setelah pemanasan
(95oC) yang diikuti penyimpanan pada suhu ruangan; dengan objek penelitian
yang sama Leistner (1992) menemukan Clostridium Sporogenes dan Bacillus
ternyata dapat ditekan dengan perlakuan kombinasi suhu pada kisaran suhu
rendah (0-5oC). Sebagai golongan bakteri vegetative perlakuan suhu tinggi yang
diberikan ternyata memicu pembentukan spora oleh C. Sporogenes, sementara
penyimpanan pada suhu rendah dapat menekan aktifitas mikroba tersebut bahkan
menurunkan jumlahnya.
Tinjauan Umum Dangke
Menurut Marsoeki (1978) Dangke adalah sejenis makanan bergizi yang
dibuat dari susu kerbau. Kadang-kadang dangke juga dibuat dari susu sapi.
Dangke dibuat di Kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan). Daerah yang terkenal
8
sebagai penghasil dangke di Kabupaten Enrekang adalah Kecamatan Baraka,
Kecamatan Anggeraja, dan Alla.
Dangke telah dikenal sejak sebelum tahun 1905. Adapun nama dangke
berasal dari bahasa Belanda. Waktu Belanda melihat jenis makanan yang terbuat
dari susu itu Belanda mengatakan “DANK WELL” yang artinya terima kasih.
Rakyat yang mendengar kata dangke mengira itulah nama makanan tersebut.
Khususnya di Kabupaten Enrekang, susu sapi dan kerbau segar yang
diperah sebagian besar diperuntukkan untuk pembuatan dangke dalam skala usaha
rumah tangga. Untuk menghasilkan sebuah dangke berukuran setengah batok
kelapa, dibutuhkan sekitar 1,25 - 1,50 liter susu segar, tergantung breed sapi,
getah papaya dan garam melalui proses pemanasan/pemasakan yang selanjutnya
dikemas menggunakan daun pisang.
Kuantitas produksi yang dihasilkan tiap unit usaha rumah tangga
bergantung pada jumlah induk laktasi yang dimiliki. Data yang tercatat pada
Januari 2008 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 256 unit usaha pengrajin
dangke dan berdasarkan jumlah populasi yang ada sekarang (Dinas Pertanian
Kabupaten Enrekang, 2009): dapat dihasilkan susu murni sekitar 672.000
liter/tahun yang diolah menjadi dangke. Dari tahun 2008 hingga pertengahan
tahun 2009, tercatat angka produksi susu antara 3.287 sampai 3.376 liter/hari se-
Kabupaten Enrekang. Jika diasumsikan untuk menghasilkan sebuah dangke
dibutuhkan 1,5 liter susu segar, berarti sekitar 2000 Dangke di produksi setiap
harinya (Anonim 2010).
9
Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan dangke adalah: Susu
segar, enzim papain (getah papaya), daun pisang dan air; alat-alat yang digunakan
adalah peralatan dapur saderhana. Ilustrasi proses pembuatan dangke hingga
pemasarannya dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Bagan Alir Proses Pembuatan Dangke
Sebagai salah satu produk olahan susu, dangke memiliki nilai tambah
(added value) tersendiri dari limbahnya yakni berupa whey dangke yang juga
dapat diolah menjadi produk olahan bergizi tinggi lainnya, misalnya dalam bentuk
nata de whey. Namun untuk saat ini, whey hanya dimanfaatkan untuk dijadikan
sebagai susu subtitusi (tambahan/pengganti) bagi pedet sapi perah.
10
Asam Askorbat dalam Pengawetan Pangan
Vitamin C atau L-ascorbic atau L-ascorbate adalah senyawa nutrisi
esensial bagi manusia dan spesies hewan lainnya dan berfungsi sebagai vitamin.
Pada mahluk hidup asam sakorbat berperan sebagaio antioksdan dimana ia
berperan dalam menekan laju tekanan oksidasi. Asam askorbat juga merupakan
salah satu dari 8 (delapan) co-faktor dalam reaksi enzimatik, seperti pada sintesis
kolagen. Reaksi-reaksi yang melibatkan asam askorbat sangat penting khususnya
pada penyembuhan luka dan proses koagulasi darah (Padayatty et. al., 2003).
Lebih lanjut Auer, et. al. (1998) mengemukakan L-askorbat merupakan senyawa
yang dapat disintesis dalam tubuh sebagian besar mahluk hidup (kecuali babi dan
primate) melalui metabolism glukosa dan galaktosa.
Saat ini asam ascorbat telah diintroduksi kedalam teknik pengawetan
pangan karena kemampuannya dalam mengatasi oksidasi baik oleh pengaruh
lingkungan maupun oleh reaksi alami yang terdapat dalam produk itu sendiri.
Anonim (2008) menyatakan bahwa asam askorbat sebagai bahan tambahan dalam
produk pangan berperan dalam mencegah kerusakan jaringan yang mengandung
lemak dan protein akibat proses autoksidasi dan oksidasi pada lingkungan
terbuka.
Kikuzaki and Nagatani (1993) menggolongkan asam askorbat dan asam
sorbat termasuk garam-garamnya kedalam satu golongan bahan aditif organik.
Pada aplikasinya kedua senyawa ini mempunyai peran sebagai: alat bantu dalam
proses sterilisasi dengan adanya kation H+ yang dilepaskan saat proses sterilisasi;
membentuk pH lingkungan yang tidak kondusif bagi mikroba; mencegah
11
perubahan warna menjadi gelap setelah pemanasan (chelating agent); dan
meningkatkan rasa khas atau member tambahan rasa produk (potensiator flavor).
Lebih lanjut, Morris et. al. (2004) mengemukakan bahwa asam-asam seperti asam
asam sitrat, asam asetat, dan asam askorbat berperan dalam sebagai pencegah
terjadinya perubahan produk, menekan keasaman pada pH yang rendah sehingga
dapat mencegah pertumbuhan dan pembelahan bakteri.
A B
Gambar 3. Struktur Molekul Ascorbic acid (A); Dehidroascorbic Acid(Oxidative Form) (B).
Asam askorbat dan asam sorbat mencegah pertumbuhan mikroba dengan
mencegah kerja enzim dehidrogenase terhadap asam-asam lemak yang terkandung
dalam produk. Struktur karbonil dengan rantai panjang (6 ikatan karbon)
didalamnya (Gambar 3) dapat mencegah oksidasi asam lemak oleh enzim
tersebut. Pada prinsipnya asam-asam ini berperan sebagai agen pereduksi
okseigen akibat aktifitas oksidasi oleh metabolit yang dihasilkan oleh mikroba.
Sehingga apabila ikatan rangkap pada askorbat/sorbat telah terputus (berikatan
dengan O2+) pada kuantitas tertentu, maka pada kuantitas mikroorganisme akan
mulai tumbuh. Saat dimana fungsi preservasi (perlindugan) asam-asam tersebut
sudah hilang (Morris, et. al., 2004). Anonim (2008) menambahkan bahwa asam
12
askorbat juga mempunyai kelebihan dengan daya larut garamnya yang tinggi,
sehingga residual bahan dalam penggunaannya dapat dihindari.
Kinerja asama askorbat juga memiliki batasan-batasan. Morris, et. al.
(2004) mengemukakan bahwa pada kondisi kontaminasi yang tinggi, asam akan
ternetralisis sebelum pertumbuhan mikroorganisme dapat ditekan; hal ini karena
kerja menghambat aktivitas katalase dan dehidrogenase dari mikroorganisme
bergantung pada ketersediaan ikatan rangkap dalam senyawa ini.
Uji coba pengunaan asam askorbat untuk tujuan pengawetan pada produk
tanaman telah secara luas dilakukan. Suatu penelitian yang dilakukan oleh
Adelodun dan Sanni (2003) yang membandingkan kinerja preservasi ekstrak
tanaman gringer dan asam askorbat menunjukkan bahwa buah Soyiru yang
ditambahi dengan asam askorbat mempunyai masa simpan yang lebih lama
(P<0,05) dan warna yang lebih terjaga (P<0,05) dibandingkan dengan buah yang
diberi ekstrak gringer.
Penggunaan pada produk hewani saat ini juga mulai dikembangkan.
Morris, et. al. (2004), sebagai bahan aditif asam askorbat telah mulai meluas
digunakan, terutama untuk memberi nilai tambah pada daya tarik produk seperti
yogurt, atau susu segar kemasan berasa buah.. Diduga terdapat kerjasama yang
menguntungkan antara sistem laktoperoksidase (LP) pada susu dengan asam
askorbat. Satu sisi askorbat menjadi antioksidan sementara LP melakkukan
dekontaminasi secara almi dalam susu segar kemasan.
Pada produk daging dan kaldu asam askorbat biasa digunakan dalam
bentuk garam natrium dan kaliumnya. Kikuzaki and Nagatani (1993)
13
menambahkan bahwa asam askorbat atau Na-askorbat (garamnya) bekerja
bersaing dengan senyawa fenol untuk memperoleh O2 pada proses pembusukan,
senyawa ini juga berperan dalam diskolorasi akibat oksidasi yang diakibatkan
oleh pemanasan. Pada produk yang berukuran besar (dipotong-potong) asam
askorbat digunakan dengan media air, sedangkan pada produk cair hasil
penggilingan atau cair, asam askorbat biasanya langsung dicampurkan sesuai
dengan kebutuhan dalam proses pembuatan produk.
Pengawetan Dangke dengan Kombinasi Garam dan Asam Askorbat
a. Kerusakan pada Dangke
Dangke merupakan produk berbahan dasar susu yang juga mudah
mengalami kerusakan. Salah satu kendala yang dihadapi dalam pemasaran
produk dangke adalah singkatnya masa simpan produk. Dangke paling tidak
dapat bertahan hingga sore saat dujual dipasar bahkan beberapa jam saja saat
dangke dijajalkan di pasar, bagian permukaan dangke sudah mulai nampak
kekuningan (Marsoeki, 1987), dan pada penyimpanan dalam suhu dingin dapat
bertahan hingga 5 (lima) hari (Kasmiati, 1997; Anonim, 2010).
Berbagai bentuk kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh kehadiran
mikroba perusak dalam dangke. Perubahan secara fisik yang terjadi pada
karakteristik dangke pada dasarnya bermula dari kerusakan secara kimiawi yang
terjadi. Widharetna (1996) mengemukakan, bahwa kondisi mikrobiologi susu
sangat erat kaitannya dengan penanganan produk. Mengingat susu merupakan
media terbaik untuk kehidupan mikroba, maka kontaminasi bakteri pada produk
14
dapat menyebabkan bakteri bertumbuh sangat cepat. Secara teoritis setiap 20-30
menit jumlah bakteri akan berlipat ganda.
Selain perubahan warna, ketengikan juga dapar terjadi pada dangke.
Kandungan asam-asam lemak dalam dalam dangke dapat dipecah oleh berbagai
bakteri, khamir dan kapang. Rahman, dkk. (1992) mengemukakan bakteri
pemecah lemak kebanyakan bersifat aerobik fakultatif, proteolitik dan tidak
membentuk asaro. Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada lemak susu
jika terkontaminasi oleh mikroba yaitu: 1) Oksidasi asam lemak tidak jenuh,
diikuti dengan dekomposisi selanjutnya menghasilkan aldehida, asam dan keton
sehingga menyebabkan perubahan rasa dan bau. Reaksi ini dirangsang oleh
adanya logam, sinar dan mikroba yang dapat melakukan oksidasi; 2) Hidrolisis
lemak menjadi asam-asam lemak dan gliserol oleh enzim lipase. Enzim lipase
tersebut dapat berasal dari mikroba atau terdapat secara alami di dalam susu;
3) Kombinasi oksidasi dan hidrolisis menghasilkan ketengikan.
Penggaraman merupakan cara pengawetan yang telah dipraktekkan orang
berabad-abad yang lalu hingga kini masih merupakan cara pengawetan yang
penting. Disamping penggaraman dikenal pula cara pengawetan lain yaitu
pengasaman, pengawetan dengan gula, pengasapan, dan penggunaan berbagai
bahan kimia. Garam khususnya garam dapur (NaCl), dapat mengawetkan bahan
pangan. Garam dapat menghambat pertumbuhan mikroba-mikroba pembusuk
yang mengkontaminasi bahan makanan. Berbagai mikroba pembusuk khususnya
proteolitik sangat peka terhadap kadar garam. Winarno (1986) mengemukakan,
bahwa Mikroba penting seperti C. Botulinum dapat dihambat dengan larutan
15
garam 10 – 12 %. Garam juga dapat mempengaruhi aktivitas air (Aw) bahan
makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri yang tidak
dikehendaki. Leistner (2000) mengemukakan, bahwa garam dan asam-asam
organik dapat digunakan dalam menekan pertumbuhan mikroba pada produk.
Garam juga tidak menunjukkan kontraindikasi atau pengaruh negatif terhadap
kinerja pada asam-asam organik tersebut.
Upaya menambah daya tahan dangke, oleh ibu rumah tangga atau
pengrajin biasanya merendam dangke dalam larutan garam sebelum disimpan.
Saat akan dikonsumsi dangke direndam terlebih dahulu dalam air panas untuk
menghilangkan rasa garam berlebih pada produk. Untuk tujuan pemasaran di luar
daerah, dangke biasanya ditaburi dengan garam sebelum dikemas, atau direndam
dengan larutan garam, kemudian dijemur dan setelah kering lalu dikemas
(Kasmiati, 1997). Kondisi ini selain menurunkan nilai efisiensi pengolahan
produk, juga dapat mempengaruhi citarasa asli produk, sehingga pengurangan
kadar garam dalam pengawetan dangke perlu diupayakan, dalam hal ini adalah
asam askorbat.
Penggunaan senyawa kimia selain garam dapur telah pernah diujicobakan
pada produk dangke, penelitian yang dilaporkan oleh Fajar (2005) menunjukkan
adanya pengaruh yang positif pada daya tahan dan citarasa dangke yang
diawetkan dengan menggunakan asam sorbat. Namun demikian, penggunaan
asam sorbat dapat mempengaruhi komposisi nutrisi yang terkandung dalam
produk, terutama kandungan tiamin (B1) (Anonim, 2008; Padayatty, et. al., 2003).
16
Sedangkan pada penggunaan asam askorbat pengaruh ini tidak ditemukan
(Adelodum and Sanny, 2005; Morris et. al., 2004; Padayatty, et. al., 2003).
b. Peluang Penggunaan Kombinasi Asam Askorbat dan GaramBerdasarkan Konsep Hurdle dalam Pengawetan Dangke
Pada dasarnya konsep hurdle ini telah diterapkan dalam pengawetan
dangke, jika diperhatikan proses pembuatan dangke pada Gambar 2 terlihat bahwa
sebagian besar rangkaian proses pembuatan dangke juga merupakan cara untuk
mengurangi faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Mulai
dari saat penggaraman, pemasakan, penirisan/pencetakan, penambahan garam,
dan refrigerasi. Parameter-parameter konsep hurdle yang secara umum sudah
diterapkan pda pengawetn dangke dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tinjauan Aplikasi Pengawetan Kombinasi pada DangkeBerdasarkan Parameter Konsep Hurdle.
Parameter Aplikasi padaDangke Keterangan
Temperatur Tinggi (F)* Pemanasan Pada saat prosespembuatan
Temperatur Rendah (T)* Peti Es/ Refrigerasi Pada saat pengangkutanPenurunan Aktifitas Air(Aw)* Penggaraman Pada saat pembuatan dan
sebelum pengemasanPeningkatan Keasaman(pH)* Belum ada -
Penurunan PotensiRedoks (Eh)* Belum ada -
Preservatif Lainnya* Belum ada -Keterangan: *Liestner (1995)
Tabel 1 menunjukkan bahawa parameter temperatur tinggi (F), temperatur
rendah (T) dan upaya untuk menurunkan aktifitas air (Aw), namun untuk
17
parameter peningkatan keasaman (pH), penuruanan potensi redoks dan atau
penggunaan preservatif lain belum dilakukan, dengan kata lain masih terdapat
berbagai kelemahan dalam model pengawetan tersebut. Kelemahan tersebut anara
lain pemanasan yang dilakukan adalah pemanasan pada suhu ±70oC, suhu yang
digunakan masih merupakan suhu toleran untuk pertumbuhan beberapa
mikroorganisme lain. Bahza, et. al., (2003) mengemukakan bahwa pemanasan
tidak seluruhnya efektif terutama jika kontaminan adalah bakteri-bakteri
vegetative. Kelemahan lain adalah tingginya kuantitas garam yang digunakan
dalam pengawetan, Kasmiati (1997) melaporkan bahawa daya tahan dangke
meningkat sejalan dengan kuantitas garam yang digunakan (P<0,01), namun
berpengaruh negatif terhadap nilai kesukaan (P<0,01); nilai kesukaan tersebut
kembali mengalami kenaikan apabila dangke telah direbus selama 5 menit dalam
air mendidih sebelum dikonsumsi atau diolah lebih lanjut. Suatu hal yang
menjadi catatan adalah bahwa penggaraman yang dilakukan pada proses awal
pembuatan dangke lebih ditujukan untuk penambahan citarasa dan menekan rasa
amis susu, bahkan beberapa diantara pengerajin ada yang tidak melakukan
penambahan garam pada tahapan pembuatan dangke ini.
Penggaraman merupakan aspek utama yang berperan dalam pengawetan
dangke tersebut, baik untuk tujuan pemasaran luar daerah atau disimpan untuk
konsumsi, pada penyimpanan dingin (refrigerasi), penaburan garam tetap
dilakukan. Dangke yang telah ditabaturi atau dilumuri dengan garam (garam
halus) akan menjadi lebih keras (padat) dan rasa garam yang berlebihan serta
bentuknya akan kembali lebih lunak setelah direbus dalam air mendidih.
18
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dalam pengawetan dangke dan
tetap dapat menjaga kualitas rasa dan kekhasan produk, maka mengoptimalkan
dan mengapikasikan teknologi pengawetan hurdle sangat cocok untuk dilakukan.
Jika dilakukan modifikasi pada bagan alir peses pembuatan dangke (Gambar 2)
kedalam bentuk yang mengoptimalkan pengawetan berdasarkan konsep hurdle
dengan penggunaan kombinasi asam askorbat dan garam, maka penerapan konsep
hurdle pada dangke ini dapat dilakukan sebagaimana yang ditunjukkan pada
Gambar 4.
Gambar 4. Implementasi Penerapan Teknologi Hurdle pada PengawetanDangke
19
Tabel 1 menunjukkan bahwa parameter peningkatan keasaman, penurunan
potensi redoks dan preservasi lain belum dilakukan pada proses pengawetan
dangke kontemporer. Gambar 4, mengilustrasikan bagaimana parameter yang
belum dipenuhi dan bagaimana optimalisasi pengawetan dengan konsep hurdle
dilakukan. Penyempurnaan konsep hurdle pada pengawetan dangke tersebut
dititik beratka pada introduksi bahan alternatif lain untuk menekan penggunaan
garam hingga level yang tidak mengganggu citarasa asli produk dan tidak
diperlukannya lagi proses perebusan untuk menghilangkan rasa asin dangke
setelah pengawetan.
Beberapa asumsi dan landasan teori sebagaimana yang telah diurai diatas
yang mengindikasikan peluang pemanfaatan asam askorbat sebagai bahan
pengawet alternatif yang dikombinasikan (pensubstitusi) garam dapat
dikelompokksn kedalam beberapa hal sebagai berikut:
1. Aspek keamanan produk;
Asam askorbat maupun dalam bentuk garamnya bersifat mudah larut dalam
air sehingga residual bahan dapat dihindari (Anonim, 2008). Hal ini pula
sehingga dalam aplikasinya, konsentrasi asam askorbat hingga 3000 mg masih
dibolehkan (Auer et. al., 1998).
2. Aspek Diskolorasi
Asam askorbat mempunyai peran dalam mencegah perubahan warna produk
dengan terhambaatnya kerja enzim Katalase, Peroksidase, Fenolase,
Lipoksigenase (Morris et. al., 2004; Kikuzaki and Nagatani, 1993).
3. Kemampuan asam askorbat dalam mempolarisasi logam
20
Unsur logam dalam produk merupakan salah satu media yang dibutuhkan
dalam pertumbuhan bakteri dan ikut memicu terjadinya oksidasi asam lemak
(Kikuzaki and Nagatani, 1993).
4. Menekan pertumbuhan mikroba pathogen
Mencegah kerja enzim dehidrogenase terhadap asam-asam lemak; membentuk
lingkungan dangan keasaam (pH) yang tidak kondusif untuk pertumbuhan
bakteri sehingga menghambat laju pertumbuhan bakteri (Morris et. al., 2004;
Kikuzaki and Nagatani, 1993).
5. Penganekaragaman produk
Pada dua tehun terakhir baik pengrajin dan pemerintah Kabupaten Enrekang
sedang mengembangkan diversifikasi teknologi pengolahan dangke,
contohnya adalah produk keripik dangke. Penggunaan asam askorbat selain
untuk pengawetan juga dapat menjadikan dangke sebagai produk yang
mengandung vitamin C.
Berdasarkan uraian di atas, maka Asam askorbat dapat menjadi bahan
untuk mengoptimalkan teknologi hurdle dalam pengawetan dengan memenuhi
parameter penurunan keasaman (pH) dan mencegah reaksi oksidasi reduksi pada
bahan pangan akibat potensi redoks. Implementasi penggunaan asam askorbat
ditinjau dari sudut pandang efisiensi dan efektifitas kerja pengawetan, dalam hal
ini masih belum konkrit (belum diteliti). Namun pertimbangan perbandingan atau
komposisi penggunaan asam askorbat dalam pengawetan dangke dapat merujuk
pada penggunaan asam sorbat seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Fajar
(2005) maka dosis yang digunakan sebanyak 100, 200, dan 300 mg/liter air; untuk
21
penerapan pada asam-askorbat dosis yang digunakan bisa saja lebih rendah atau
lebih tinggi. Penggunaan Dosis lebih rendah dilakukan jika kita
mempertimbangjan daya larutnya yang lebih tinggi, sehingga senyawa akan lebih
mudah menempel pada permukaan produk; sedangkan Penggunaan Dosis lebih
tinggi jika mempertimbangkan waktu paruh dan cepatnya laju reasksi asam-
askorbat dibandingkan dengan asam sorbat. Semakin cepat laju reaksi yang
terjadi berarti kinerja bakteriostatik senyawa ini lebih singkat dibandigkan dengan
asam askorbat. Untuk lebih tepatnya, kiranya memang perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai penggunaan asan askorbat.
22
KESIMPULAN
Berdasarkan penelusuran pustaka dan pembahasan yang telah dilakukan
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pengawetan dengan mempergunakan garam membutuhkan prosedur
tambahan dan dapat mempengaruhi citarasa khas dangke, sehingga
konsentrasi garam dalam pengawetan harus dikurangi;
Pengawetan dengan Konsep Hurdle pada dasarnya telah digunakan dalam
proses pembuatan dangke, namun masih terdapat berbagai kelemahan-
kelemahan dan belum optimalnya penerapan konsep hurdle tersebut.
Asam askorbat dapat menjadi bahan pengawet alternatif dalam proses
pengawetan produk dangke dan berpeluang untuk mengoptimalisasi
pengawetan dengan konsep hurdle;
Produk dangke yang diawetkan dengan menggunakan asam askorbat juga
dapat member nilai tambah pada produk dengan adanya kandungan asam
askorbat atau vitamin C di dalamnya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Adelodun E. K. and Sanni, O.M., 2005. The preservation of Soyiru withdichloromethane extract of ginger. African Crop Science ConferenceProceedings, 7: 673-676.
Anonim, 2008. Food Additive. Learning Seed. Copyright © 2008 Learning SeedSuite 301 641 W. Lake Street Chicago, IL 60661. www.learningseed.com.
Anonim, 2010. Potensi Peternakan Kabupaten Enrekang. Situs resmi PemerintahKabupaten Enrekang. http://www.enrekang.go.id/enrekang /index.php?option= com_content&task=view&id=53&Itemid=130.
Auer, B.L., Auer, D. and Rodgers, A.L., 1998. The effect of ascorbic acidingestion on the biochemical and physiochemical risk factors associatedwith calcium oxalate kidney stone formation. Clinical Chemistry andLaboratory Medicine 36, 143-148.
Bazhal, M.I., M.O. Ngadi, and G.S.V. Raghavan., 2003. Minimal processing offoods using Hurdle technologies. Written for presentation at The CanadianSociety for Enggeneering in Agricultural, Food, and Biological System(CSAE) 2003 Meeting, Quebec, Montreal, July 6 - 9.
Buckle.1985. Penerjemah Purnomo dan Adiono. Ilmu pangan . UI press, Jakarta.
Fajar, A., 2005. Pengawetan Dangke dengan Asam Sorbat. Makalah disajikandalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Universitas, Universitas NegriMakassar, Makassar. Tanggal 26-28 Juli 2005.
Ishak, E., 1985. Ilmu dan Teknologi Pangan. Badan kerja sama perguruan TinggiNegeri Indonesia Timur, Ujung pandang.
Kasmiati. 1997. Pengaruh Penambahan Garam Dapur dan Lama perendamanterhadap daya tahan dangke selama penyimpanan. Skripsi. Makassar:UNM.
Kikuzaki, H. and Nakatani, N. 1993. Antioxidant effects of some gingerconstituents. J Food Sci 58: 1407-1410 .
Legowo, A. M. 2004. Kajian pengembangan produk olahan hasil ternak untukmenunjang ketahanan pangan. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis(Edisi: Seminar Nasional Pangan Hewani) : 240-245.
Leistner, L., 1995. Principles and applications of Hurdle technology. In GouldGW (Ed.) New Methods of Food Preservation, Springer, pp : 1–21.
24
_________, 2000. Basic aspects of food preservation by Hurdle Technology.International Journal of Food Microbiology, 55:181–186.
_________, and Rodel, W., 1976. The stability of intermediatemoisture foodswith respect to micro-organisms. In: Davies, R., Birch, G.G., Parker, K.J.(Eds.), Intermediate Moisture Foods,Applied Science Publishers, London,pp. 120–137.
_________, 1992. Food preservation by combined methods. Food. Res. Internat.25, 151–158.
Marsoeki, A. 1978. Penulisan Peningkatan Mutu Dangke. DepartemenPerindustrian.Balai Penulisan Kimia, Ujung Pandang.
Morris, A., A. Barnett and Olive-Jean, B. 2004. Food Preservation (Review). JFood Preserv., 37: 119-127.
Padayatty, Sebastian J.; Katz, Arie; Wang, Yaohui; Eck, Peter; Kwon, Oran; Lee,Je-Hyuk; Chen, Shenglin, and C. Christopher. 2003. Vitamin C as anantioxidant: evaluation of its role in disease prevention. Journal of theAmerican College of Nutrition 22 (1): 18–35. PMID 12569111.
Widharetna, T. 1996. Jaminan Mutu dalfu'11 Sistem Pemasaran Susu. KursusSingkat Jarninan Mutu. dalam Industri Susu. Gabungan Koperasi SUSUIndonesia. Jakarta.
Winarno. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.
25
DAFTRAR PETANYAAN
Nama Mahasiswa: Khaeria Nur
Pertanyaan: Jenis-jenis atau contoh mikroba apa saja yang mungkin dapatmenimbulkan kerusakan pada dangke?
Jawab: Sebagaimana bakteri yang biasa ditemukan pada susu, kemungkinanbakteri pathogen yang dapat mengkontaminasi dangke antar lainadalah: 1) Clostridium Batulinum; 2) E. Coli; 3) Staphylococcusaureus; 4) Spesies bacillus; 5) Listeria monocytogenes; 6)Salmonellae Sp, dll..
Nama Mahasiswa: Selvin Tala
Pertanyaan: Bagaimana asam askorbat dapat berfungsi sebagai bahan pengawet,padahal asam-askorbat lebih dikenal sebagai bahan obat-obatan?
Jawab: Fungsi yang paling utama adalah fungsi asam askorbat sebagai antioksidan, yang dapat menekan kerusakan produk akibat potensiredoks. Potensi redoks atau kemungkinan berlangsungnya reaksioksidasi-reduksi baik oleh pengaruh kontaminasi mikroba ataupunreaksi enzimatik yang berlangsung dalam produk itu sendiri. Asam-askorbat juga bekerja menurunkan pH (6,4-6,7)* sehinggamembentuk lingkungan yang tidak mendukung untuk pertumbuhanatau perkembangan mikroba.
Recommended