Transcript
  • 8

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Tinjauan Tentang Diare

    2.1.1 Definisi Diare

    Diare didefinisikan sebagi suatu kondisi dimana seseorang mengalami

    buang air besar (BAB) dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat

    berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya tiga kali atau lebih )

    dalam sehari (Depkes RI, 2011). Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja

    dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling

    sedikit 3 kali dalam 24 jam. Sementara untuk anak-anak, diare didefinisikan

    sebagai pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran

    tinja normal bayi sebesar 5-10 g/kg/ 24 jam (Juffrie, 2010).

    Diare didefinisikan sebagai buang air besar yang terjadi dengan frekuensi

    tiga kali atau lebih dalam sehari. Keluarnya feses disertai dengan feses yang

    menjadi cair dengan atau tanpa lender dan darah. Pengeluaran cairan yang

    berlebihan melebihi pemsukan pada diare akan menyebabkan terjadinya deficit

    cairan tubuh, sehingga berakibat timbulnya dehidrasi (Yusuf, 2011).

    Berdasarkan Depkes RI, 2011 Lima Langkah Tuntaskan Diare (Lintas

    Diare) perlu dilakukan penanganan yang cepat dan tepat pada diare anak.

    Penanganan pertama yang harus dilakukan apabila terjadi diare pada anak yaitu

    mencegah terjadinya dehidrasi akibat banyaknya cairan dan elektrolit yang hilang

    saat diare dengan penggunaan oralit dan suplemen zinc.

    2.1.2 Etiologi

    Diare dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (Widjaja,

    2002):

  • 9

    a. Faktor infeksi

    Infeksi saluran pencernaan menjadi penyebab utama terjadinya diare

    pada anak. Infeksi yang terjadi dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

    Infeksi yang disebabkan oleh bakteri: Eschechia coli, Salmonella

    thyposa, Vibrio cholera, dan bakteri lainnya dengan jumlah yang

    berlebihan dan bersifat patogenik seperti Pseudomonas.

    Infeksi basil (disentri)

    Infeksi virus rotavirus

    Infeksi parasit oleh cacing (Ascaris lumbricoides)

    Infeksi jamur (Candida albicans)

    Infeksi yang disebabkan oleh organ lain, sepeti radang tonsil,

    bronchitis, dan radang tenggorokan

    Keracunan makanan

    b. Faktor malabsorpsi

    Malabsorpsi menjadi faktor yang dapat menyebabkan diare, faktor

    malabsorpsi sendiri dibedakan menjadi dua yaitu lemak dan karbohidrat.

    Malbasorpsi akibat karbohidrat seperti kepekaan terhadap lactoglobulis

    dalam susu formula yang dapat menyebabkan diare. Gejala yang

    ditimbulkan berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di

    daerah perut.

    Malabsorbsi akibat lemak seperti makanan yang mengandung

    trigliserida akan menyebabkan diare. Maknisme trigliserida dapat

    menyebabkan diare dengan bantuankelenjar lipase yang akan mengubah

    lemak menjadi micelles yang sudah siap di absorpsi usus. Apabila

    kelenjar lipase tidak ada dan terjadi kerusakan mukosa usus, hal ini lah

  • 10

    yang akan menyebabkan diare akan muncul akibat lemak tidak dapat

    diabsorpsi usus.

    c. Faktor makanan

    Makanan dapat menyebabkan diare, namun tidak semua

    makanan. Makanan yang menyebabkan diare adalah makan yang

    tercemar, basi, terlalu banyak lemak, mentah (sayuran) dan kurang

    matang. Seringkali makanan yang banyak terkontaminasi lebih mudah

    menyebabkan diare pada anak.

    d. Faktor psikologis

    Tidak hanya faktor infeksi, malabsorpsi, dan makanan yang dapat

    menyebabkan diare. Faktor psikologis juga memiliki peranan penting

    dikarenakan apabila anak merasakan takut, cemas, dan tegang akan

    menyebabkan diare kronis. Namun hal tersebut jarang terjadi pada anak-

    anak.

    2.1.3 Patofisiologi

    Terdapat empat mekanisme yang paling umum yang dapat menyebabkan

    terjadinya diare dengan mengganggu keseimbangan air dan elektrolit,

    diantaranya diare sekretori, osmotik, eksudatif dan perubahan transit usus

    (Spruill M.J and William E.W, 2008).

    Pada diare sekretori, diare terjadi ketika suatu zat merangsang sekresi

    atau menurunkan penyerapan air dan elektrolit dalam jumlah yang besar. Apabila

    zat tersebut meningkatkan VIP (Vasoactive Intestinal Pepitide) dari tumor

    pancreas akan menyebabkan tidak terabsorpsinya makanan yang mengandung

    banyak lemak di steatorrhea, obat pencahar (laksatif), hormone, racun bakteri,

    dan garam empedu yang berlebihan. hal-hal tersebut akan merangsang

  • 11

    intraseluler siklik adenosine monofosfat dan menghambat Na+/K+-adenosin

    trifostfatase (ATPase) sehingga akan menyebakan eksresi meningkat. Selain itu,

    juga dapat menghambat penyerapan ion secara bersamaan. Diare sekretorik

    biasanya ditandai dengan volume feses yang besar (>1L/ hari) dengan ion

    normal dan osmolalitas kurang lebih sama dengan plasma. Perlu diingat dalam

    keadaan puasa tidak akan mengubah volume feses (Spruill M.J and William E.W,

    2008).

    Diare osmotic terjadi akibat zat berupa cairan tidak mampu diserap akibat

    absorpsi usus yang buruk. Akibtanya akan menimbulkan sindrom malabsorpsi,

    intoleransi laktosa, masuknya ion divalent ke dalam tubuh seperti antasida yang

    mengandung magnesium atau mengkonsumsi karbohidrat yang memiliki

    kelarutan yang buruk atau sulit dicerna seperti laktulosa. Zat yang berupa larutan

    yang memiliki kelarutan yang buruk akan dibawa menuju ke usus untuk

    menyesuaikan osmolalitas dengan plasma, dengan demikian pada saat yang

    bersamaan air dan elektrolit akan mengalir kedalam lumen (Spruill M.J and

    William E.W, 2008).

    Inflamasi pada saluran pencernaan menyebakan lendir pada saluran

    pencernaan, protein serum, dan aliran darah ke usus terhambat. Saat buang air

    besar tekadang hanya terdiri dari lendir, eksudat, dan darah. Diare eksudatif ini

    mempengaruhi daya serap (absorpsi), sekretorik, ataupun fungsi motilitas lainnya

    untuk memperhitungkan volume feses yang besar (Spruill M.J and William E.W,

    2008).

    Perubahan motilitas usus akan menghasilkan tiga mekanisme,

    diantaranya pengurangan waktu kontak di usus kecil, pengosongan usus besar

    secara cepat, dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Normalnya Chyme

  • 12

    (makanan sudah melewati lambung berubah bentuk menjadi bubur) harus

    melewati epitel usus dalam jangka waktu yang cukup lam untuk agar proses

    penyerapan (absorpsi) dan eksresi terjadi secara normal. Apabila waktu kontak

    dengan epitel usus menurun tau terjadi secra cepat, maka akan menyebabkan

    terjadinya diare. Reaksi usus atau operasi bypass dan penggunaan obat-obatan

    seperti metokloperamid akan menyebabkan diare. Namun disisi lain,

    meningkatnya waktu paparan akan memungkinkan bakteri fecal tumbuh secara

    berlebihan (Spruill M.J and William E.W, 2008).

    2.1.4 Jenis Diare

    Berdasarkan Depkes RI, 2011 diare dibedakan atas dua jenis, yaitu diare

    akut, diare kronik (presisten), dan disentri. Diare akut merupakan diare yang

    berlangsung selama kurang dari 14 hari, akibatnya dapat terjadi dehidrasi yang

    menjadi penyebab utama kematian bagi penderita diare. Diare kronik (presisten)

    merupakan diare yang berlangsung selama lebih dari 14 hari, akibatnya akan

    terjadi penurunan berat badan dan gangguan metabolisme. Disentri merupakan

    diare yang disertai darah dalam tinjanya, akibatnya akan terjadi anoreksia,

    penurunan berat badan dengan cepat, dan kemungkinan terjadinya komplikasi

    pada mukosa (Depkes RI, 2007; Depkes RI, 2011).

    Diare yang berlangsung hanya sekali-sekali tidak berbahaya dan dapat

    sembuh dengan sendirinya. Namun diare yang berat akan menyebabkan

    dehidrasi dan dapat mengancam jiwa. Dehidrasi sendiri diartikan sebagai

    kurangnya cairan tubuh yang bisa berakibat fatal pada kematian, terutama pada

    anak atau bayi jika tidak segera ditasi (Depkes RI, 2007). Terdapat tiga derajat

    dehidrasi yaitu, diare tanpa dehidrasi, diare dengan dehidrasi ringan atau

    sedang, dan diare dengan dehidrasi berat (Depkes RI, 2011). Dehidrasi

  • 13

    dikatakan ringan jika cairan tubuh hilang sebanyak 5% dan dikatakan dehidrasi

    berat jika cairan tubuh hilang sebanyak >10%, pada dehidrasi berat juga disertai

    dengan volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah cepat tapi

    melemah, tekanan darah merendah, penderita lemah, kesadaran menurun, dan

    pucat (Widjaja, 2002).

    2.1.5 Gejala

    Gejala yang dapat terjadi saat diare, yaitu (Depkes RI, 2007; Widjaja, 2000):

    1. Frekuensi buang air besar melebihi normal

    2. Kotoran/ tinja encer atau cair

    3. Sakit atau kejang perut (pada beberapa kasus)

    4. Demam dan muntah (pada beberapa kasus)

    5. Warna tinja berwana kehijauan akibat bercampur dengan empedu

    6. Lecet pada anus

    7. Nafsu makan menurun

    8. Muntah sebelum dan sesudah diare

    9. Dehidrasi

    Gejala diare pada anak diantaranya sebagai berikut (Depkes RI, 2007):

    1. Dehidrasi ringan atau sedang : gelisah, rewel, mata cekung, mulut kering,

    sangat haus, turgor kering.

    2. Dehidrasi berat : lesu, tak sadar, mata sangat cekung, mulut sangat

    kering, malas atau tidak bisa minum, turgor sangat kering.

    2.1.6 Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium

    2.1.6.1 Pemeriksaan Fisik

    Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu dengan melihat keadaan

    umum, kesadaran dan tanda vital, tanda-tanda utama seperti gelisah atau

  • 14

    cengeng, lemah/letargi/koma, rasa harus, turgor kulit abdomen menurun, kelopak

    mata, mukosa bibir, mulut, dan lidah, berat badan selain itu perlu juga memeriksa

    tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit seperti nafas cepat dan

    dalam (menunjukkan asidosis metbolik), kembung (menunjukkan hipokalemia),

    dan kejang (menunjukkan hiponatermia atau hipernatermia) (Pudjiadi, dkk.,

    2009).

    Pemeriksaan dehidrasi dapat dilihat diantaranya, diare tanpa dehidrasi

    tanda yang terlihat tidak terlihat tanda utama dan tanda tambahan, ubun-ubun

    besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada, mukosa mulut dan bibir

    basah, turgor abdomen baik, bising usus normal, akral hangat. Apabila diare

    dengan dehidrasi ringan/sedang terdapat 2 tanda utama dan 2 atau lebih tanda

    tambahan, keadaan umum gelisah atau cengeng, ubun-ubun besar sedikit

    cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang, mukosa mulut dan bibir sedikit

    kering, turgor sangat kurang, dan akral hangat. Apabila diare dengan dehidarasi

    berat terdapat 2 tanda utama dan 2 atau lebih tanda tambahan, keadaan umum

    lemah, letargi atau koma, ubun-ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air

    mata tidak ada, pengeluaran urin berkurang, mukosa mulut dan bibir sangat

    kering, turgor sangat kering, akral dingin, dan pasien diharuskan rawat inap

    (Pudjiadi, dkk., 2009).

    2.1.6.2 Pemeriksaan Laboratorium

    Menurut Spruill M.J and William E.W, 2008 pemeriksaan laboratorium

    berupa, yaitu:

    1. Pemeriksaan feses untuk mengetahui jenis mikroorganisme, darah,

    mukus, lemak, osmolalitas, pH, konsentrasi elektrolit dan mineral, dan

    hasil kultur

  • 15

    2. Pemeriksaan feses yang menggunakan metode kits tes, untuk melihat

    atau mendeteksi virus di gastrointestinal dan pratikular rotavirus.

    3. Volume total harian feses

    4. Endoskopi dan biopsi usus besar untuk melihat keberadaan kondisi

    seperti kolitis atau kanker

    5. Radiografi untuk kondisi neoplastik dan inflamasi

    2.1.7. Terapi Farmakologi

    2.1.7.1 Opiat dan Derivatnya

    Dalam mengatasi diare opiat dan turunannya bekerja dengan menunda

    transit dari isi intraluminal atau meningkatkan kapasitas usus, memperpanjang

    waktu kontak dan penyerapan. Enkephalins sebagai zat opioid endogen

    berfungsi untuk mengatur gerakan fluida di mukosa dengan merangsang proses

    absorpsi. Pada penggunaanya, opiat berpotensi menyebabkan kecanduan pada

    penggunaan jangka panjang sehingga tidak dianjurkan untuk diberikan pada

    anak-anak dan dapat memperburuk diare pada kondisi diare dengan infeksi

    (Spruill M.J and William E.W, 2008).

    Contoh dari opiat yang dapat digunakan untuk mengatasi diare yaitu

    Difenoksilat dengan dosis 2,5 mg/tablet dan 2,5 mg/5 ml larutan. Penggunaan

    obat ini pada beberapa pasien akan menimbulkan atropinism seperti penglihatan

    kabur, mulut kering, dan sulit berkemih). Penggunaannya tidak disarankan untuk

    pasien yang beresiko enteritis bakteri E. coli, Shigella, atau Salmonella. Difenoxin

    juga dapat diberikan sebagai pengobatan untuk mengatasi diare. Difnoxin ini

    merupakan turunan difenoksilat, obat ini memiliki kegunaan, tindakan

    pencegahan, dan efek samping yang sama seperti Difenoksilat. Dosis yang

    dapat diberikan 1 mg/ tablet. Sediaan tingtur juga dapat diberikan contohnya,

  • 16

    Paregoric (penghilang rasa sakit) dengan dosis 2 mg/5 ml yang diindikasikan

    untuk diare akut dan kronis (Spruill M.J and William E.W, 2008).

    Contoh lainnya adalah Loperamid yang merupakan derivat difenoksilat

    (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini lebih efektif untuk menangani diare dibanding

    difenoksilat, karena penetrasi loperamid ke SSP buruk sehingga kecenderungan

    untuk menyalahgunakannya kecil (Hardman dan Limbrid, 2007). Loperamid tidak

    bisa menyeberangi sawar darah otak, oleh karena itu menyebabkan efek sedasi

    dan efek ketergantungannya kurang dibanding difenoksilat (Katzung, 2004).

    Loperamid merupakan antisekresi yang bekerja dengan menghambat ikatan

    protein pengikat kalsium dan mengendalikan sekresi klorida. Loperamid memiliki

    efek samping seperti pusing dan sembelit. Apabila diare diikuti dengan demam

    tinggi atau feses berdarah disarankan untuk ke dokter. Loperamid juga dapat

    diberikan pada kondisi diare traveler (Spruill M.J and William E.W, 2008).

    Bentuk sediaan loperamid yaitu kaplet dan tablet salut selaput. Dosis

    lopermid untuk anak-anak tergantung usia dan jenis diare. Dosis loperamid untuk

    diare akut yaitu, anak-anak usia 2-5 tahun 1 mg sehari tiga kali, anak-anak usia

    6-8 tahun 2 mg sehari dua kali, anak-anak usia 8-12 tahun 2 mg sehari tiga kali,

    dan untuk dosis pemeliharaan diberikan 0,1 mg/kgBB setelah BAB. Dosis

    maksimum yang diberikan pada diare akut adalah 16 mg/hari. Dosis loperamid

    untuk diare kronis yaitu, anak-anak udia 5 tahun 2 mg sehari empat kali, dan dosis pemeliharaan diberikan 2

    mg/ hari setelah BAB. Dosis maksimum untuk diare kronis adalah 4-12 mg/ hari

    (Katzung, 2004).

    Loperamid bekerja cepat setelah pemberian oral, dan kadar puncak

    plasma dicapai dalam 3-5 jam. Loperamid mengalami metabolisme ekstensif di

  • 17

    hati, oleh karena itu loperamid tidak boleh digunakan untuk anak usia dibawah 2

    tahun (Hardman dan Limbrid, 2007). Hal tersebut karena fungsi hatinya belum

    berkembang dengan sempurna untuk menguraikan obat ini (Tjay dan Rahardja,

    2002).

    2.1.7.2 Adsorben

    Pada kondisi diare, adsorben digunakan untuk mengurangi gejala-gejala

    yang timbul saat diare. Kerja dari obat golongan ini tidak spesifik yaitu dengan

    penyerapan nutrient, toksin, obat-obatan yang dapat menimbulkan diare, dan

    sari-sari makanan. Produk ini tidak memerlukan resep dokter dan tidak beracun.

    Contoh dari produk ini yaitu Polycarbophil yang bekerja menyerap 60 kali

    beratnya dalam air dan dapat digunakan untuk mengatasi diare sekligus

    sembelit. Dosis yang tersedia yaitu 500 mg/ tablet kunyah. Selain itu juga produk

    nonsorable hydrophilic dapat digunakan untuk mengatasi diare dengan dosis 6 g/

    hari untuk orang dewasa, digunakan empat kali sehari. Produk nonsorable

    hydrophilic ini termasuk produk yang aman (Spruill M.J and William E.W, 2008).

    Contoh lain dari golongan adsorben ini adalah kaolin-pektin. Bentuk

    sediaan kaolin pectin terdapat dua macam yaitu tablet dan suspensi. Dosis kaolin

    pectin sediaan suspensi yaitu anak-anak usia 6-12 tahun 1 sendok makan/hari

    setelah BAB maksimal 6 sendok makan/hari, dosis anak-anak usia >12 dan

    dewasa yaitu 2 sendok makan/hari setelah BAB maksimal 12 sendok makan/hari.

    Dosis kaolin pectin sediaan tablet yaitu anak-anak usia 6-12 tahun 1 tablet setiap

    setlah BAB maksimum 6 tablet/24 jam, dosis anak-anak usia >12 tahun dan

    dewasa 2 tablet setiap setelah BAB maksimum 12 tablet/24 jam (MIMS, 2014).

    Selain kaolin pectin, contoh obat golongan adsorben adalah attapulgit.

    Attapulgit berbentuk sebagai serbuk tanah lempung dan terdiri dari magnesium-

  • 18

    aluminium silikat. Attapulgit ini digunakan dalam bentuk tablet atau suspendi

    sebagai absorben kuman dan toksin yang menyebabkan diare. Disamping itu

    juga mengurangi cairan tubuh, mengurangi frekuensi diare dan memperbaiki

    konsistensi feses. Efek samping yang biasanya timbul yaitu sembelit (Tan dan

    Rahardja, 2010). Bentuk sediaan attalpugit yaitu tablet. Dosis attapulgit untuk

    anak-anak usia 6-12 tahun 1 tablet setiap setlah BAB maksimal 6 tablet/hari.

    anak-anak usia>12 tahun dan dewasa 2 tablet setiap setelah BAB maksimal 12

    tablet/hari (MIMS, 2014).

    2.1.7.3 Antisekretorik

    Salah satu contoh dari antisekretori adalah Bismuth subsalisilat, obat ini

    memiliki antisekresi, antiinflmasi, dan efek antibakteri. Obat ini biasanya

    digunakan untuk menghilangkan kram perut dan mengendalikan diare termasuk

    diare akibat traveler. Dosis dari Bismuth subsalisilat ini yaitu 262 mg/tablet

    kunyah, 262 mg/5 ml dan 542 mg/5 ml larutan. Penggunaannya akan berefek

    menimbulkan keracunan jika dikonsumsi secara berlebihan dalam mencegah

    atau mengobati diare.

    Bahan aktif dari obat ini salah satunya salisilat akan berinteraksi dengan

    antikoagulan atau dapat menghasilkan salicylism (seperti tinnitus, mual, dan

    muntah). Bismuth juga dapat mengurangi penyerapan dari tetrasiklin sehingga

    menurunkan konsentrasi tetrasiklin. Efek samping dari penggunaan obat ini akan

    timbul tanda-tanda seperti warna lidah dan feses menjadi gelap. Bahan aktif

    salisilat juga akan menginduksi gout pada individu yang sensitif. Sediaan

    Bismuth subsalisilat dalam bentuk suspensi lebih efektif untuk mengatasi diare

    yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun penggunaannya di Indonesia tidak

    digunakan (Spruill M.J and William E.W, 2008).

  • 19

    2.1.7.4 Probiotik

    Lactobacillus merupakan agen probiotik yang mengandung bakteri

    seperti bakteri asam laktat atau jamur. Penggunaan agen ini bertujuan untuk

    mengembalikan fungsi usus normal dan menekan pertumbuhan mikroorganisme

    patogen. Produk ini mengandung 200-400 g laktosa atau dekstrin pada tiap

    kemasannya yang mana jumlah tersebut sama efektifnya dengan memproduksi

    rekolonisasi dari flora normal. Dosis yang digunakan bervariasi tergantung

    sediaan apa yang digunakan (susu, jus, air, atau seral).

    Produk enzim laktase juga dapat membantu dalam mengatas diare untuk

    pasien yang intoleransi laktosa dan diare sekunder. Enzim laktase diperlukan

    untuk mencerna karbohidrat. Saat pasien tidak memiliki atau kekurangan enzim

    ini, jika mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidart akan

    menyebabkan terjadinya diare osmotik. Contoh yang sering digunakan di

    Indonesia adalah Lacto-B (Spruill M.J and William E.W, 2008). Dosis Lacto-B

    yang digunakan untuk anak-anak usia

  • 20

    enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase) meningkat dan mengakibatkan

    hipereksresi epitel usus. Pemberian suplemen Zinc ini bertujuan untuk

    menghambat ezim INOS dan juga berperan dalam epitelisasi dinding usus yang

    mengalami kerusakan fungsi selama diare. Diketahui pada penelitian oleh Black,

    2003 pemberian Zinc selama diare mampu mengurangi lama dan tingkat

    keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume

    tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan. Penelitian

    yang dilakukan oleh Hidayat tahun 1998 dan Soenarto tahun 2007, menunjukkan

    bahwa Zinc mempunyai efek protektif terhadap diare sebanyak 11% dan 67%

    mempunyai tingkat hasil guna (berdasrkan hasil pilot study). Pemberian

    suplemen Zinc diberikan 10 hari berturut-turut walaupun diare sudah berhenti.

    Penggunaan Antibiotik pada diare diberikan hanya atas indikasi (Depkes RI,

    2011).

    Dosis Zinc untuk usia 6 bulan-5 tahun : 10 per hari selama diare dan usia

    2-6 bulan : 5 ml per hari. Suplemen zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut

    walaupun diare sudah berhenti (MIMS, 2014).

    2.1.7.6 Antibiotik

    Penggunaan antibiotik biasanya diberikan secara empiris karena belum

    ada metode pemeriksaan diagnostik cepat yang akurat untuk patogen enterik.

    Terapi antimikrobial empirin mungkin diberikan pada kondisi pasien dengan

    demam, feses berdarah, terdapat darah samar atau leukosit pada feses.

    Pemberian antimikrobial juga mungkin diberikan pada kondisi pasien dengan

    buang air besar >8 kali/hari, dehidrasi, gejala >1 minggu, yang memerlukan

    perawatan, atau immunocompromise. Pemberian antimikrobial sebaiknya

    mempertimbangkan manfaat klinik dengan biaya, resiko efek samping, eradikasi

  • 21

    flora normal usus yang mebahayakan, induksi produksi toksin Shiga, dan

    meningkatknya resistensi terhadap antimikrobial (Medicinus, 2009).

    Terapi antimikroba biasanya tidak dianjurkan untuk anak-anak.

    Penggunaannya hanya diberikan pada kodisi kondisi diare disertai darah yang

    kemungkinan besar akibat dari Shigella dan Colera dengan dehidrasi berat, serta

    infeksi nonintestinal serius seperti, pneumonia. Secara spesifik, antimikroba

    diberikan sesuai dengan mikroba yang menyebabkan diare. Diare yang

    disebabkan oleh Cholera, diberikan Doksisiklin atau Tetrasiklin sebagai lini

    pertama, jika tidak berhasil alternatif pengobatan yang dapat diberikan berupa

    Azitromisin atau Siprofoksasin. Diare yang disebabkan oleh Shigella dapat

    diatasi dengan pemberian antimikroba Siprofloksasin sebagai lini pertama, jika

    tidak berhasil alternatif pengobatan yang dapat diberikan berupa Seftriakson.

    Diare yang disebabkan oleh Amoebiasis dan Giardiasis dapat diberikan

    Metronidazol. Diare yang disebabkan oleh Campylobacter dapat diberikan

    Azitromisin (World Gastrointestinal Organisation, 2008).

    Metronidazol merupakan salah satu antimikroba yang efektif terhadap

    bakteri anaerob dan protozoa. Penggunaannya efektif untuk pengobatan awal

    dalam mengatasi diare yang disertai darah atau kendir akibat infeksi Amoeba.

    Dosis yang dianjurkan untuk digunakan pada anak-anak yaitu 10 mg/kgBB tiga

    kali sehari selama lima hari. Dosis Metronidazol 5 mg/kgBB tiga kali sehari

    selama lima hari efektif untuk mengatasi diare yang disebabkan oleh Giardia

    lambia (World Gastrointestinal Organisation, 2012).

    Contoh antibiotika lain untuk mengatasi diare anak yaitu Kotrimoksazol.

    Metronidazol-kotrimoksazol terindikasi infeksi Amoebiasis atau protozoa kista

    Entamoeba histolytica. Infeksi Amoeba (amoebiasis) dan infeksi Giardia

  • 22

    (Giardiasis) disebabkan oleh protozoa. Agen protozoa dalam bentuk kista masuk

    ke intestinal beserta makanan dan minuman yang terkontaminasi. Dalam usus

    halus, protozoa memperbanyak diri dan melakukan invasi ke sel mukosa usus.

    Kemudian terjadi kerusakan yang menyebabkan terjadinya diare (Muttaqin dan

    Sari, 2011).

    Bentuk sediaan kotrimoksazol yaitu tablet (tiap tablet mengandung

    Trimethoprim 80 mg dan Sulfamethoxsazole 400 mg), tablet/kaplet forte (tiap

    tablet/kaplet mengandung Trimethoprim 160 mg dan Sulfamethoxsazole 800

    mg), sirup ( tiap 5 ml/1 sendok takar mengandung Trimethoprim 40 mg dan

    Sulfamethoxsazole 200 mg), dan suspense (tiap 5 ml suspense mengandung

    Trimethoprim 40 mg dan Sulfamethoxsazole 200 mg). Dosis tablet

    kotrimoksazole untuk dewasa dan anak usia >12 tahun 2 tablet sehari 2 kali.

    Dosis tablet/kaplet kotrimoksazol untuk dewasa dan usia >12 tahun 1-2

    tablet/kaplet 2-3 kali sehari, anak-anak usia 6-12 tahun ½-1 tablet/kaplet 2-3 kali

    sehari. Dosis kotrimoksazol sirup untuk anak usia 6-12 tahun 5-10 ml sehari dua

    kali dan untuk anak usia 5 bulan-6 tahun 5ml sehari dua kali. Dosis kotrimksazol

    suspensi untuk anak-anak usia 6-12 tahun 1-2 sendok takar (5 ml/sdt) sehari dua

    kali, anak-anak usia 6 bulan-5 tahun 1 sendok takar sehari dua kali, dan anak-

    anak usia 6 minggu-5 bulan ½ sendok takar sehari dua kali (MIMS, 2014).

    2.1.7.7 Oral Rehydration Solution (ORS)

    Keseimbangan cairan dan elektrolit pada penderita diare perlu

    diperhatikan sebagai tujuan utama pengobatan. Keterkaitan antara terjaganya

    keseimbangan cairan dan elektrolit dengan kondisi diare berpengaruh pada

    kejadian dehidrasi. Keadan dehidrasi yang meyertai diare akan menimbulkan

    rasa lemas akibat kehilangan cairan dan garam mineral dan juga dapat

  • 23

    menimbulkan kejang dikarenakan cairan ekstra sel masuk ke intra sel secara

    berlebihan. Sehingga, rehidrasi harus segera diberikan untuk menggantikan

    cairan dan elektrolit untuk kembali pada keadaan normal. Pemberian rehidrasi

    oral harus diberikan pada semua pasien diare, kecuali jika pasien tidak dapat

    minum atau mengalami diare yang hebat maka hidrasi diberikan melalui

    intravena (Amin, 2015).

    Pemberian oralit dapat diberikan untuk mengatasi dehidrasi. Orait

    merupakan pengganti cairan dan elektrolit yang tepat saat diare, karena jika

    diberikan air minum yang tidak mengandung garam elektrolit tidak akan

    mempertahankan keseimbangan elektrolit dalam tubuh. Campuran glukosa dan

    garam yang terkandung dalam oralit dapat diserap dengan baik oleh penderita

    diare. Pemberian oralit diberikan sampai diare berhenti (Depkes RI, 2011).

    Idealnya cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida,

    2,5 gram natrium bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per

    liter air. Cairan heridrasi oral juga dapat dibuat sendiri dengan menambahkan ½

    sendok teh garam, ½ sendok teh soda kue, dan 2-4 sendok makan gula per liter

    air. Penggunaan cairan rehidrasi oral ini harus diberikan sebanyak mungkin,

    dimulai saat pasien merasa haus pertama kali (Amin, 2015). Dosis oralit untuk

    mengatasi diare dibedakan menjadi (Depkes RI, 2011):

    Tanpa dehidrasi: Usia 5 tahun : 200-300 ml atau 1/2 – 1½ gelas setiap habis BAB

    Dehidrasi ringan/sedang: 75 ml/kg BB diberikan dalam 3 jam pertama

    diare selanjutnya diberikan dosis oralit tanpa dehidrasi

    Dehidrasi berat: Dirujuk ke puskesmas

  • 24

    2.1.7.8 Tanin

    Tanin bekerja dengan cara mengecilkan pori-pori usus sehingga gerak

    peristaltik usus berkurang. Tanin juga mempunyai daya antibakteri dengan cara

    mengendapkan protein. Efek anti bakteri tanin ini antara lain melalui, reaksi

    dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktvasi materi

    genetik. Tanaman yang banyak diuanakan dan memiliki efektifitas yang tinggi

    untuk mengatasi diare adalah Psidium guajava L. (Sugiarto, 2008; Fratiwi, 2015).

    2.1.8 Terapi Non Farmakologi

    Untuk mencegah terjadinya diare, dapat dilakukan berbagai cara

    diantaranya dengan menggunakan air bersih yang cukup karena penyebab diare

    dapat melalui face-oral yang ditularkan bila masuk ke dalam mulut melalui

    perantara makanan, minuman, atau benda yang tercemar dengan tinja seperti

    jari-jari tangan, makanan yang wadah atau tempatnya dicuci dengan air

    tersemar. Sehingga ketersediaan air bersih harus cukup. Hal yang harus

    diperhatikan yaitu, ambil air dari sumber air bersih, simpan air dalam tempat yang

    bersih, jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk mandi bagi

    anak-anak, minum air yang sudah matang, dan cuci semua peraltan masak dan

    peraltan makan dengan air bersih (Depkes RI, 2011).

    Pencegahan lainnya dengan selalu mencuci tangan dengan sabun

    terutama setelah BAB, setelah mebuang tinja anak, sebelum menyiapkan

    makanan, sbelum menyuapi makanan anak dan sebelum makan. Hal tersebut

    dapat menurunkan angka kejadian diare hingga 47%. Selain itu dalam satu

    rumah harus memiliki jamban dan BAB di jamban. Yang harus diperhatikan yaitu,

    keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai

  • 25

    seluruh anggota keluarga, bersihkan jamban secara teratur, dan gunakan alas

    kaki saat BAB (Depkes RI, 2011).

    Pengelolaan sampah juga harus diperhatikan karena dapat berperan

    sebagai vector penyakit. Selalu menyediakan tempat sampah dan sampah yang

    dikumpulkan tiap harinya harus dibuang ke tempat penampungan sementara

    (Depkes RI, 2011).

    2.2 Tinjauan Tentang Apotek

    Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

    kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah seorang sarjana farmasi yang telah

    lulus dan mengucapkan sumpah apoteker berdasarkan peraturan perundang-

    undangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di

    Indonesia sebagai apoteker. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat

    tradisional dan kosmetik. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan selain obat

    dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan

    (Depkes RI, 2009).

    Menurut peraturan pemerintah No. 51 Tahun 2009, tujuan pengaturan

    pekerjaan kefarmasian adalah untuk:

    a. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam

    memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa

    kefarmasian.

    b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraaan pekerjaan

    kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

    teknologi serta peraturan perundang-undangan

  • 26

    c. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga

    kefarmasian

    Berdasarkan Permenkes No.35 Tahun 2014 tentang standar pelayanan

    kefarmasian di apotek pengelolaan suatu apotek meliputi:

    a. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran

    dan penyerahan obat atau bahan obat.

    b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan

    farmasi lainnya.

    c. Pelayanan informasi obat mengenai perbekalan farmasi. Pelayanan

    informasi tentang obat dan perbekalan farmasi diberikan kepada dokter

    dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat. Pengamatan

    dan pelaporan informasi menegnai khasiat, keamanan dan bahaya suatu

    obat atau perbekalan farmasi lainnya.

    Pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab

    langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan

    kualitas hidup pasien. Pelayanan kefarmasian dalam hal memberikan

    perlindungan terhadap pasien berfungsi sebagai (Menkes RI, 2004):

    a. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan

    lainnya.

    b. Mendapat rekam medis untuk digunakan pemilihan obat yang tepat.

    c. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang

    berlawanan, keracunan dan jika perlu memberi saran untuk modifikasi

    pengobatan.

    d. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka edukasi pasien.

  • 27

    e. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengobatan pasien

    penyakit kronis.

    f. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat

    darurat.

    g. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat.

    h. Berpartisipasi dlam pembinaan penggunaan obat dan audit kesehatan.

    i. Menyediakan pendidikan tentang obat bagi tenaga kesehatan yang lain

    2.3 Tinjauan Tentang Swamedikasi

    2.3.1 Definisi Swamedikasi

    Swamedikasi merupakan tindakan mengobati segala keluhan pada diri

    sendiri dengan obat-obat sederhana yang dibeli bebas di apotek atau toko obat.

    Tindakan ini didasari atas inisiatif sendiri (Tan dan Rahadja, 2010). Swamedikasi

    adalah suatu perawatan sendiri oleh masyarakat terhadap penyakit yang umum

    diderita berdasrkan pengetahuannya (BPOM, 2004).

    Swamedikasi didefinisikan sebagai pelayanan terhadap pasien yang

    datang dengan keluhan atau gejala yang timbul atau dengan meminta suatu

    produk obat tertentu tanpa resep dari dokter. Swamedikasi juga diartikan sebagai

    suatu pelayanan kefarmasian dalam mengobati segala keluhan pada diri sendiri

    dengan obat-obatan yang dibeli bebas di Apotek atas inisiatif sendiri atau tanpa

    nasehat dokter. Dalam pelayanan swamedikasi terdapat beberapa pelayanan

    yang diberikan seperti, patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan

    informasi non farmakologi (Indriyanti, 2009).

  • 28

    2.3.2 Keuntungan Swamedikasi

    Swamedikasi memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan dari

    swamedikasi yakni menghemat waktu dan biaya yang diperlukan untuk pergi

    mengunjungi seorang dokter (Tan dan Rahardja, 2010), keuntungan lainnya yaitu

    aman apabila digunakan sesuai dengan petunjuk, efektif untuk menghilangkan

    keluhan karena 80% sakit bersifat self limiting yakni sembuh sendiri tanpa

    intervensi tenaga kesehatan. Selain itu juga memiliki rasa kepuasan tersendiri

    karena ikut berperan aktif dalam pengambilan keputusan terapi, berperan serta

    dalam pelayanan kesehatan, menghindari rasa malu atau stress apabila harus

    menampakkan bagian tubuh tertentu di hadapan tenaga kesehatan, serta ikut

    membantu pemerintah dalam mengatasi keterbatasan jumlah tenaga kesehatan

    di masyarakat (Supardi dan Andi, 2010).

    2.3.3 Kerugian Swamedikasi

    Swamaedikasi memiliki kerugian diantranya tidak mengenali keseriusan

    gangguan sehingga dapat menyebabkan pengobatan sendiri tidak menunjukkan

    perbaikan yang berujung pada memburuknya gangguan-gannguan yang dialami

    sehingga terlambat pengobatannya dan memungkinkan untuk menggunakan

    obat-obat yang lebih keras. Kerugian yang lainnya, yaitu penggunaan obat

    kurang tepat, terlampau lama ataupun takaran (dosis) yang terlalu besar,

    sehingga hal tersebut dapat memperburuk keluhan dan dapat pula memunculkan

    efek samping yang dapat membahayakan (Tan dan Rahardja, 2010).

    Kerugian lainnya yaitu pemborosan biaya akibat penggunaan obat yang

    tidak rasional, menimbulkan reaksi obat yang tidak diinginkan seperti sensitivitas,

    efek samping, dan resistensi apabila salah menggunakan obat, serta kesalahan

    diagnosis da Terdapat banyak faktor yang mendasari seseorang melakukan

  • 29

    swamedikasin salah pemilihan obat akibat pemberian informasi yang tidak jelas

    (Supardi dan Andi, 2010).

    2.3.4 Kriteria Obat Swamedikasi

    Berdasarkan peraturan Mentri Kesehatan No. 919/MenKes/PER/X/1993

    tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep, yaitu :

    1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak

    dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas usia 65 tahun.

    2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada

    kelanjutan penyakit

    3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus

    dilakukan oleh tenaga kesehatan.

    4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di

    Indonesia.

    5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat

    dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

    2.3.5 Jenis Obat yang Digunakan dalam Swamedikasi

    Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor

    949/Menkes/Per/2000, penggolongan obat berdasrkan jenisnya terdiri dari, obat

    bebas, bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras, psikotropik, dan narkotik.

    Namun obat yang diperbolehkan untuk digunakan dalam swamedikasi hanya

    obat bebas, bebas terbatas, dan obat wajib apotek.

    1. Obat Bebas (OB)

    Obat bebas merupakan obat yang dijual secara bebas dipasaran

    dan dapat diperoleh tanpa resep dokter. Terdapat tanda khusus pada

    kemasan dan etiket untuk mengenali bahwa obat tersebut merupakan

  • 30

    obat bebas, yaitu berupa lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna

    hitam. Contoh: Parasetamol, Vitamin, dan Mineral (Depkes, 2007;

    Depkes, 2008).

    Gambar 2.1 Logo Obat Bebas (Depkes, 2008)

    2. Obat Bebas Terbatas (OBT)

    Obat bebas terbatas termasuk obat keras namun dapat dijual dan

    dibeli secara terbatas tanpa resep dokter serta penggunaannya harus

    memperhatikan informasi yang terdapat pada kemasan. Terdapat tanda

    khusus pada kemasan dan etiket untuk mengenali bahwa obat tersebut

    obat bebas terbatas, yaitu berupa lingkaran bulat berwarna biru dengan

    garis tepi berwarna hitam. Contoh: CTM, obat batuk, obat flu, dan obat

    pereda nyeri (Depkes, 2007; Depkes, 2008).

    Gambar 2.2 Logo Obat Bebas Terbatas (Depkes, 2008)

    Tanda peringatan selalu tercantum pada Obat Bebas Terbatas

    yang berbentuk persegi panjang dengan tulisan huruf putih, dasar hitam

    ukuran panjang lima sentimeter, lebar dua sentimeter yang terdiri dari

    enam macam yaitu, P No. 1 sampai dengan 6, sebagai berikut (Depkes,

    2008):

  • 31

    Gambar 2.3 Tanda Peringatan Obat Bebas Terbatas (Depkes,

    2008)

    3. Obat Wajib Apotek (OWA)

    Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.

    922/MENKES/PER/X/1993 tentang ketentuan dan tata cara pemberian

    izin Apotek yang dimaksud dengan Obat Wajib Apotek (OWA) adalah

    obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker pengelola apotek tanpa

    resep dokter. Obat ini aman untuk dikonsumsi apabila telah memalui

    konsultasi dengan apoteker (Menkes, 1993).

    Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.

    919/Menkes/Per/X/1993 tentang kriteria OWA pasal 2, yaitu OWA harus

    memenuhi kriteria sebagai berikut:

    a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil,

    anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas usia 65 tahun.

    b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan

    resiko pada kelanjutan penyakit

    c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus

    yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.

  • 32

    d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya

    tinggi di Indonesia.

    e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat

    dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

    Gambar 2.3 Logo Obat Wajib Apotek (BPOM, 2004)

    4. Obat Tradisional (OT)

    Obat tradisional yaitu obat dengan bahan atau ramuan bahan

    yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian

    (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-termurun

    telah digunakan pengobatan berdasarkan pengalaman (BPOM, 2005).

    Berdasarkan cara penggunaannya, jenis klaim penggunaannya,

    dan tingkat pembuktian khasiat, obat tradisional Indonesia dikelompokkan

    menjadi jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka (BPOM, 2004).

    a. Jamu

    Jamu adalah sediaan obat berupa bahan alam yang klaim

    khasiatnya dibuktikan berdasarkan data empiris dan memenuhi

    persyaratan mutu yang berlaku. Untuk mengenali sediaan tersebut

    adalah jamu, terdapat logo berupa ranting daun dalam lingkaran

    yang dicetak dengan warna hijau diatas dasar warna putih, tulisan

    “JAMU” harus jelas dan mudah dibaca dengan warna hitam diatas

    dasar warna putih dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri

    dari wadah/pembungkus/brosur (BPOM, 2004).

  • 33

    Gambar 2.4 Logo Jamu (BPOM, 2004)

    b. Obat Herbal Terstandar

    Obat herbal terstandar merupakan sediaan obat berupa

    bahan alam yang dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara

    ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di

    standarisasi serta memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

    (BPOM, 2005). Untuk mengenali sediaan tersebut adalah obat

    herbal terstandar, terdapat logo berupa 3 pasang jari-jari daun

    dalam lingkaran yang dicetak dengan warna hijau diatas dasar

    warna putih. Tulisan “Obat Herbal Terstandar” harus jelas dan

    mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam diatas dasar warna

    putih dan penematannya pada bagian atas sebelah kiri dari

    wadah/pembungkus/brosur (BPOM, 2004).

    Gambar 2.5 Logo Obat Herbal Terstandar (BPOM, 2004)

    c. Fitofarmaka

    Fitofarmaka merupakan sediaan obat berupa bahan alam yang

    telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan

    uji praklinik dan uji klinik. Bahan baku dan produk jadi sudah

    distandarisasi dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

  • 34

    (BPOM, 2005). Untuk mengenali sediaan tersebut adalah

    fitofarmaka, terdapat logo dengan jari-jari daun yang kemudian

    membentuk bintang terletak pada lingkaran, dicetak dengan warna

    hijau diatas dasar putih. Tulisan “Fitofarmaka” harus jelas dan

    mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam diatas dasar warna

    putih dan penempatannya pada bagian atas sebelah kiri dari

    wadah/pembungkus/brosur (BPOM,2004).

    Gambar 2.6 Logo Fitofarmaka (BPOM, 2004)

    2.3.6 Faktor yang mempengaruhi swamedikasi

    Peningkatan kesadaran untuk pengobatan sendiri (swamedikasi)

    diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut (Ferry, 2014):

    1. Tingkat Pendidikan

    Pendidikan memepengaruhi bebrapa hal baik secara langsung

    maupun tidak langsung, diantaranya kualitas hidup, karena sesorang

    dengan tindak pendidikan yang tinggi akan mudah menerima segala

    bentuk informasi. Hal ini juga akan membuat sesorang memiliki

    pengetahuan yang luas dan banyak. Sementara orang dengan tingkat

    pendidikan yang rendah akan menghambat seseorang terhadap nilai-

    nilai yang baru diperkenalkan. Begitupun dengan seseorang dengan

    tingkat pendidikan menengah akan menerima nilai-nilai yang baru

    juga sedang-sedang saja (Notoatmodjo, 2003).

    2. Tingkat Pengetahuan

  • 35

    Pengetahuan masyarakat yang semakin berkembang mengenai

    penyakit ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya, membuat

    masyarakat memilih swamedikasi untuk mengatasi penyakitnya.

    3. Sosial ekonomi

    Dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat, berakibat

    pada semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin mudah akses

    untuk mendapatkan informasi. Ketertarikan individual terhadap

    masalah kesehatan dapat dikombinasikan dengan meningkatnya

    pastisipasi langsung dari individu terhadap pengambilan keputusan

    dalam masalah kesehatan.

    4. Gaya hidup

    Kesadaran mengenai adanya gaya hidup yang dapat berakibat

    pada kesehatan, membuat semakin banyak orang yang lebih peduli

    untuk menjaga kesehatan dari pada harus mengobati.

    5. Kemudahan memperoleh produk obat

    Saat ini, pasien lebih memilih kenyamanan membeli obat yang

    bisa diperoleh dimana saja dibandingkan harus menunggu lama

    dirumah sakit atau klinik.

    6. Kesehatan lingkungan

    Adanya praktik sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang tepat

    serta lingkungan perumahan yang sehat mampu meningkatkan

    kemampuan masyarakat untuk menjaga dan mempertahankan

    kesehatan serta mencegah terkena penyakit.

    7. Ketersediaan kesehatan lingkungan

  • 36

    Semakin banyak tersedia produk obat baru yang lebih sesuai

    untuk swamedikasi dan juga beberapa produk obat yang telah dikenal

    sejak lama serta mempunyai indeks keamanan yang baik yang

    dimasukkan ke dalam kategori obat bebas, membuat pilihan produk

    obat untuk swamedikasi semakin banyak

    2.4 Tinjauan Tentang Ketepatan Pemilihan Obat

    Obat memiliki dua sisi yang bertolak belakang, apabila obat yang

    dikonsumsi secara benar maka akan memberikan manfaat menyembuhkan.

    Akan tetapi, penggunaan obat yang tidak benar akan menyebabkan kerugian.

    Kesalahan dalam pengobatan dapat berakibat pada bertambahnya biaya

    pengobatan, tidak tercapainya tujuan pengobatan, dan membahayakan

    kehidupan pasien. Sehingga penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien

    menerima obat sesuai dengan yang dibutuhkn, periode waktu yang adekuat, dan

    harga yang terjangkau (WHO, 2002).

    Penggunaan obat dikatakan rasional, apabila memenuhi kriteria sebagai

    berikut (Kemenkes, 2011):

    1. Tepat Diagnosis

    Penggunaan obat disebut rasional apabila diberikan untuk

    diagnosis yang tepat. Jika terjadi kesalah dalam mendiagnosa maka

    pemilihan obat akan mengacu pada diagnosis yang keliru juga. Akibatnya

    obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang

    seharusnya.

    2. Tepat Indikasi Penyakit

  • 37

    Setiap obat yang dipilih harus memiliki efek terapi spesifik yang

    sesuai dengan penyakit.

    3. Tepat Pemilihan Obat

    Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah

    diagnosis ditegakkan dengan benar. Sehingga, obat yang dipilih harus

    memiliki efek terapi sesuai dengan penyakitnya

    4. Tepat Dosis

    Dosis, cara, dan lama pemberian obat sangat berpengaruh

    terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya

    pada obat dengan rentang terapi sempit akan sangat beresiko timbulnya

    efek samping. Sebaliknya, dosis obat yang terlalu kecil tidak akan

    menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.

    5. Tepat Cara Pemberian

    Cara pemberian obat perlu diperhatikan, cara pemberian obat

    disesuaikan dengan jenis sedian dan rute pemberian. Selain itu juga perlu

    memperhatikan proses absorbsi obat dalam tubuh harus tepat dan

    memadai.

    6. Tepat Waktu Pemberian

    Lama pemberian obat harus tepat sesuai dengan penyakitnya

    masing-masing. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama

    dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.

    7. Waspada Efek Samping

  • 38

    Pemberian obat potensial meninmbulkan efek samping, yaitu efek

    yang tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis

    terapi.

    8. Tepat Tindak Lanjut

    Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah

    dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika

    pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping.

    2.5 Tinjauan Tentang Pendidikan

    2.5.1 Definisi Pendidikan

    Menurut UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, pendidikan didefinisikan

    sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

    proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

    dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

    kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

    dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (Depdiknas, 2003).

    Pendidikan merupakan proses tumbuh kembang seluruh kemampuan dan

    perilaku manusia melalui pengajaran sehingga dalam pendidikan harus

    dipertimbangkan umur sebagai proses perkembangan dan hubungannya

    dengan proses belajar. Pendidikan memepengaruhi bebrapa hal baik secara

    langsung maupun tidak langsung, diantaranya kualitas hidup, karena sesorang

    dengan tindak pendidikan yang tinggi akan mudah menerima segala bentuk

    informasi. Hal ini juga akan membuat sesorang memiliki pengetahuan yang luas

    dan banyak. Sementara orang dengan tingkat pendidikan yang rendah akan

    menghambat seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Begitupun

  • 39

    dengan seseorang dengan tingkat pendidikan menengah akan menerima nilai-

    nilai yang baru juga sedang-sedang saja. Tingkat pendidikan tentunya juga

    menentukan mudah atau tidaknya seseorang dalam menyerap suatu informasi

    dan memahami pengetahuan yang diperoleh (Notoatmodjo, 2003).

    Sehingga hal ini akan sangat mempengaruhi kesehatan dalam suatu

    keluarga. Untuk meningkatan status kesehatan dalam sebuah keluarga, sangat

    diperlukan seseorang untuk lebih tanggap terhadap masalah kesehatan.

    Terutama jika dalam suatu keluarga terjadi diare maka harapanya akan secepat

    mungkin mengambil tindakan guna mengatasi kondisi diare tersebut

    2.5.2 Tingkat Pendidikan

    Jenjang pendidikan formal dibedakan menjadi tiga kriteria, antara lain

    (Depdiknas, 2004):

    1. Pendidikan Dasar

    Jenjang pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang

    mendasari jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar meliputi,

    Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang

    sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah

    Tsanawiyah (MTs).

    2. Pendidikan Menengah

    Jenjang pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan

    dasar. Pendidikan menengah meliputi, Sekolah Menengah Atas (SMA),

    Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan

    Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

    3. Pendidikan Tinggi

  • 40

    Jenjang pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah

    pendidikan menengah. Pendidikan tinggi meliputi, program pendidikan

    diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor


Recommended