Upload
hoangxuyen
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Universitas Indonesia
U�IVERSITAS I�DO�ESIA
BUDAYA ORGA�ISASI ME�URUT KERA�GKA
PERSAI�GA� �ILAI (COMPETI�G VALUES FRAMEWORK)
DI RUMAH SAKIT ISLAM SARI ASIH AR RAHMAH
TA�GERA�G �OVEMBER 2011
TESIS
SAMMY FATTAH HIDAYAT
0806444291
FAKULTAS KESEHATA� MASYARAKAT
PROGRAM MAGISTER KAJIA� ADMI�ISTRASI RUMAH SAKIT
DEPOK
JA�UARI 2012
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
ABSTRACT
�ame : Sammy Fattah Hidayat
Study Program : Magister Kajian Administrasi Rumah Sakit
Title : Organization Culture Based on Competing Values
Framework in Sari Asih Ar Rahmah Islamic Hospital Tangerang �ovember
2011
Sari Asih Ar Rahmah Islamic Hospital is a non profit hospital for the poor
in the city of Tangerang. As a new hospital that operate since November 2011, it
needs to make an improvement in its performance. Based on many studies
(Denison, 1990; Goffee & Jones, 1998, Robins, 1996) indicate that improvement
in organization culture will result in improvement on the organization
performance. From the short interview taken from the Director of Sari Asih Ar
Rahmah Islamic Hospital there are many problems found including repeated
employee indisciplinary act and notification letter that the employee think its
unjust indicate that there is a cultural problem in that hospital
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan budaya organisasi yang
disepakati oleh seluruh stakeholder dengan menggunakan pendekatan kerangka
persaingan nilai (Competing Value Framework) di RSISAA. Selain itu juga untuk
melihat apakah ada inkongruensi budaya organisasi antara tenaga manajerial dan
tenaga medis juga antar kriteria budaya.
The goal of this research is to found proper set of organization culture that
can be agreed upon all stakeholder using Competing Value Framework in Sari
Asih Ar Rahmah Islamic hospital. It also tried to find organization culture
incongruency between management and medical employee, and also
incongruency between various cultural criteria. This research can be categorized
as an analytic survey study with quantitative method. Chosen for the study subject
are those that can be categorized as medical and management employee in Sari
Asir Ar Rahmah Islamic Hospital with minimum sampel of 20% from population.
Inclusion and Exclution Criteria is also made to make sure the validity of this
research. Organization Culture Assesment Instrument (OCAI) Questionaire is
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
used to assess 6 cultural criteria including : 1.) Dominant Characteristic, 2.)
Organization Leadership, 3.) Personel Management, 4,) Organization Glue, 5.)
Strategic Emphasis and 6.) Success Criteria quantitatively and shown in graphic
and dummy table according to Competing Value Framework into 4 culture type
that is : 1.) Clan Culture, 2.) Adhocracy Culture, 3.) Market Culture and 4.)
Hierarchy Culture. Analysis of organization culture including 1.) Culture Power,
2.) Discrepancey between Present Culture and Prefered Culuter and 3.) Culture
Congruency.
This study found that Clan Culture is dominant in all employee also
including medical and management employee with a weak culture power. Also it
shown tendency toward a stronger Clan Culture as a Culture type that have strong
correlation to organization effectiveness. To strengthen the Clan Culture it is
possible to used values based on Islamic Organization Culture (Alamsyah 2002)
tha correlate strongly to Clan Culture including Ikhlas (Sincerity), Honesty,
Science development, Patience, Ta’awun (teamworka) etc. There is a good
Culture congruency between medical and management employee but there is a
tendency toward widening cultural distance mainly in adhocracy and hierarchy
culture that have a potential to cause a conflict that needs to be anticipated. Also it
found a miscommunication problem between the perception of the director with
all the employee about the organization culture. The result of OCAI can be made
as an tools for RSISAA to fix its organization culture and supporting the
organization effectiveness.
Keywords : Organization culture, Islamic Hospital, Competing Value Framework,
Organization Culture Assessment Instrument (OCAI), Islamic Organization
Culture
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
ABSTRAK
�ama : Sammy Fattah Hidayat
Program studi : Magister Kajian Administrasi Rumah Sakit
Judul : Budaya Organisasi Menurut Kerangka Persaingan
�ilai (Competing Values Framework) di Rumah Sakit Islam Sari Asih Ar
Rahmah Tangerang �ovember 2011
Rumah Sakit Islam Sari Asih Ar Rahmah (RSISAA) adalah Rumah Sakit
non profit yang didirikan dalam rangka melayani kaum dhuafa yang ada di kota
Tangerang. Sebagai rumah sakit yang baru beroperasi pada bulan November 2011
maka RSISAA dituntut untuk meningkatkan kinerjanya dengan baik. Banyak
studi (Denison, 1990; Goffee & Jones, 1998, Robins, 1996) mengindikasikan
bahwa perbaikan budaya organisasi akan meningkatkan efektivitas suatu
organisasi. Berdasarkan wawancara singkat penulis dengan direktur rumah sakit
didapatkan beberapa masalah seperti ketidakdisiplinan pegawai yang berulang dan
teguran surat peringatan yang dirasakan tidak adil mengindikasikan adanya
masalah budaya di RSISAA.
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan budaya organisasi yang
disepakati oleh seluruh stakeholder dengan menggunakan pendekatan kerangka
persaingan nilai (Competing Value Framework) di RSISAA. Selain itu juga untuk
melihat apakah ada inkongruensi budaya organisasi antara tenaga manajerial dan
tenaga medis juga antar kriteria budaya. Penelitian ini merupakan suatu studi
survei penelitian analitik dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif.
Sebagai subyek penelitian adalah yang termasuk kategori tenaga medis dan
manajerial di RSISAA dengan jumlah sampel minimal 20% dari populasi yang
dianggap dapat mewakili seluruh populasi dengan kriteria inklusi dan eksklusi
untuk memastikan keabsahan penelitian. Instrumen penelitian menggunakan
kuesioner Organization Culture Assessment Instrument (OCAI) menilai 6 kriteria
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
budaya yaitu 1.) Karakter Dominan, 2.) Kepemimpinan Organisasi, 3.)
Manajemen Personel, 4.) Perekat Organisasi, 5.)Strategi yang ditekankan dan
6)Kriteria Keberhasilan secara kuantitatif dan disajikan dalam bentuk grafik serta
dummy table mengikuti kerangka persaingan nilai (Competing Value Framework)
meliputi 4 tipe budaya dominan yaitu : 1.) Budaya Klan, 2.) Budaya Adhokrasi,
3.) Budaya Pasar dan 4.) Budaya Hierarki. Lalu hasil analisa meliputi : 1.)
Kekuatan Budaya, 2.) Kesenjangan budaya saat ini dan yang diharapkan dan 3.)
Kongruensi Budaya,
Dari penelitian ini ditemukan adanya dominasi budaya klan pada seluruh
pegawai juga pada tenaga medis dan manajerial dengan kekuatan budaya yang
lemah. Tampak adanya kecenderungan menuju budaya klan yang lebih kuat
sebagai tipe budaya yang kuat korelasinya dengan efektivitas organisasi. Untuk
memperkuat budaya klan dapat memanfaatkan nilai sesuai konsep budaya
organisasi islami (Alamsyah 2002) yang berkorelasi dengan budaya klan meliputi
ikhlas, jujur, menuntut ilmu, sabar, ta’awun (kerja tim) dan lain-lain Kongruensi
budaya cukup baik antara tenaga medis dan manajerial akan tetapi yang perlu
diwaspadai adalah makin melebarnya jarak budaya terutama pada budaya
adhokrasi dan hierarki mengindikasikan potensi konflik. Didapatkan juga
miskomunikasi antara persepsi direktur dan seluruh pegawai tentang budaya
organisasi. Hasil dari OCAI ini dapat dijadikan bahan masukan untuk RSISAA
memperbaiki budaya organisasi agar lebih menunjang efektivitas organisasi .
Kata Kunci : Budaya organisasi, Rumah Sakit Islam, Kerangka persaingan nilai,
Organization culture Assessment Instrument (OCAI), budaya organisasi islami
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
U�IVERSITAS I�DO�ESIA
BUDAYA ORGA�ISASI ME�URUT KERA�GKA
PERSAI�GA� �ILAI (COMPETI�G VALUES FRAMEWORK)
DI RUMAH SAKIT ISLAM SARI ASIH AR RAHMAH
TA�GERA�G �OVEMBER 2011
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kajian
Administrasi Rumah Sakit
SAMMY FATTAH HIDAYAT
0806444291
FAKULTAS KESEHATA� MASYARAKAT
PROGRAM MAGISTER KAJIA� ADMI�ISTRASI RUMAH SAKIT
DEPOK
JA�UARI 2012
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
KATA PE�GA�TAR/ UCAPA� TERIMA KASIH
Alhamdulillah Puji Syukur saya panjatkan kepada Allah, Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan thesis
ini. Penulisan thesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kajian
Administrasi Rumah Sakit Jurusan Kajian Administrasi Rumah Sakit pada
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa,
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai
pada penyusunan Thesis ini, sangatlah sulit bagi saya menyelesaikan thesis ini.
Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada :
(1) Dr Pujiyanto Skm M.kes selaku dosen pembimbing yang telah begitu
besar sumbangannya menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
mengarahkan saya dalam penyusunan thesis ini.
(2) Dra Dumilah Ayuningtyas MARS Dr, selaku dosen pembimbing saya
yang mau bersabar dan menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk
mengarahkan saya dalam penyempurnaan thesis ini
(3) dr Yuli Prapancha Sattar MARS, selaku penguji luar yang bersedia
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk menghadiri sidang thesis
saya dan memberikan masukan yang sangat berguna untuk
penyempurnaan thesis ini
(4) dr.Andri Ferdian, selaku Direktur Rumah Sakit Islam Sari Asih Ar
Rahmah Tangerang yang bersedia menyediakan tempat untuk penelitian
ini dan memfasilitasi dengan memberikan dukungan agar thesis ini dapat
dilaksanakan dengan baik.
(5) H. Achmad Syaifudin Haq dan RR Nurul Churryah, kedua orang tua saya
yang selalu memberikan doa, bimbingan dan dukungan baik material
maupun moral yang sangat besar sehingga saya mampu menyelesaikan
thesis ini
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
1.1. Latar Belakang......................................................................................4
1.2. Perumusan Masalah..............................................................................9
1.3. Pertanyaan Penelitian..........................................................................10
1.4. Tujuan Penelitian................................................................................10
1.5. Manfaat Penelitian..............................................................................11
1.6. Ruang Lingkup Penelitian...................................................................11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................12
2.1. Ruang Lingkup Budaya Organisasi....................................................12
2.2. Pembentukan Budaya Organisasi........................................................13
2.3. Kongruensi Nilai dan Budaya : Antara Individu dan Organisasi........15
2.4. Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja Organisasi.................17
2.5. Budaya Organisasi Islami...................................................................18
2.4. Kerangka Persaingan Nilai (Competing Value Framework)..............19
2.5. Instrumen Penilaian Budaya Organisasi (Organization Culture
Assessment Instrument/ OCAI)...........................................................24
BAB III PROFIL RUMAH SAKIT ISLAM SARI ASIH AR RAHMAH
TANGERANG.......................................................................................................26
3.1 Pendahuluan ........................................................................................26
3.2 Visi RSISAA........................................................................................26
3.3 Misi RSISAA.......................................................................................26
3.4. Strategi RSISAA.................................................................................26
3.5 Profil Ketenagaan.................................................................................27
3.5.1. Tenaga Medis.......................................................................27
3.5.2. Keperawatan.........................................................................27
3.5.3. Penunjang Medik.................................................................28
3.5.4 Penunjang non medik............................................................28
3.6 Fasilitasi...............................................................................................28
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
3.6.1. Instalasi Gawat Darurat........................................................28
3.6.2. Rawat Jalan..........................................................................29
3.6.3. Rawat Inap.........................................................................29
3.6.4. Kapasitas Tempat Tidur.......................................................29
3.6.5 Instalasi Farmasi...................................................................29
3.6.6. Sarana Pendukung lainnya...................................................30
BAB IV KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL..................31
4.1. Kerangka Konsep................................................................................31
4.2. Definisi Operasional Variabel.............................................................32
BAB V METODOLOGI........................................................................................37
5.1. Rancangan dan Jenis Penelitian..........................................................37
5.2. Waktu dan Lokasi Penelitian..............................................................37
5.3. Populasi, Sampel, Kriteria Inklusi dan Eksklusi.................................37
5.3.1. Populasi................................................................................37
5.3.2. Sampel..................................................................................37
5.3.3. Kriteria Inklusi.....................................................................38
5.3.4. Kriteria Eksklusi...................................................................38
5.4. Pengumpulan Data..............................................................................38
5.4.1. Sumber Data.........................................................................38
5.4.2. Jenis Data.............................................................................38
5.4.3. Alat Pengumpulan Data.......................................................38
5.4.4. Langkah-langkah Pengumpulan Data..................................39
5.5. Analisis dan Penyajian data................................................................40
BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.......................................42
6.1 Demografi Subyek Penelitian..............................................................42
6.1.1. Jenis Kelamin.......................................................................42
6.1.2. Tingkat Pendidikan..............................................................43
6.1.3. Jenis Pekerjaan.....................................................................43
6.2. Keterbatasan Penelitian.......................................................................44
6.2.1. Keterbatasan Topik Penelitian.............................................44
6.2.2. Keterbatasan Jenis Penelitian...............................................44
6.2.3. Keterbatasan alat Pengumpul Data (OCAI).........................44
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
6.3. Keterbatasn Pihak Peneliti..................................................................44
6.4 Analisa Budaya Seluruh Pegawai RSISAA........................................45
6.5. Analisa Kriteria Penentu Budaya Organisasi RSISAA.......................49
6.5.1. Karater Dominan..................................................................49
6.5.2. Kepemimpinan Organisasi...................................................51
6.5.3. Manajemen Personel............................................................54
6.5.4. Perekat Di Rumah Sakit.......................................................56
6.5.5. Strategi Yang Ditekankan....................................................59
6.5.6. Kriteria Keberhasilan...........................................................62
6.6. Kongruensi Budaya Antar Kriteria Budaya Organisasi......................64
6.7. Budaya Tenaga Medis.........................................................................66
6.8. Budaya Tenaga Manajerial.................................................................68
6.9. Kongruensi Budaya Antara Tenaga Medis dan Manajerial................70
6.10. Budaya Direktur Rumah Sakit..........................................................74
6.11. Kongruensi Budaya Direktur RSISAA Dengan Budaya Seluruh
Pegawai...............................................................................................76
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................80
7.1 Kesimpulan..........................................................................................80
7.2. Saran....................................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................84
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
1.7. Latar Belakang......................................................................................4
1.8. Perumusan Masalah..............................................................................9
1.9. Pertanyaan Penelitian..........................................................................10
1.10. Tujuan Penelitian...........................................................................10
1.11. Manfaat Penelitian.........................................................................11
1.12. Ruang Lingkup Penelitian..............................................................11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................12
2.1. Ruang Lingkup Budaya Organisasi....................................................12
2.2. Pembentukan Budaya Organisasi........................................................13
2.3. Kongruensi Nilai dan Budaya : Antara Individu dan Organisasi........15
2.4. Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja Organisasi.................17
2.5. Budaya Organisasi Islami...................................................................18
2.4. Kerangka Persaingan Nilai (Competing Value Framework)..............19
2.5. Instrumen Penilaian Budaya Organisasi (Organization Culture
Assessment Instrument/ OCAI)...........................................................24
BAB III PROFIL RUMAH SAKIT ISLAM SARI ASIH AR RAHMAH
TANGERANG.......................................................................................................26
3.1 Pendahuluan ........................................................................................26
3.2 Visi RSISAA........................................................................................26
3.3 Misi RSISAA.......................................................................................26
3.4. Strategi RSISAA.................................................................................26
3.5 Profil Ketenagaan.................................................................................27
3.5.1. Tenaga Medis.......................................................................27
3.5.2. Keperawatan.........................................................................27
3.5.3. Penunjang Medik.................................................................28
3.5.4 Penunjang non medik............................................................28
3.6 Fasilitasi...............................................................................................28
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
3.6.1. Instalasi Gawat Darurat........................................................28
3.6.2. Rawat Jalan..........................................................................29
3.6.3. Rawat Inap.........................................................................29
3.6.4. Kapasitas Tempat Tidur.......................................................29
3.6.5 Instalasi Farmasi...................................................................29
3.6.6. Sarana Pendukung lainnya...................................................30
BAB IV KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL..................31
4.1. Kerangka Konsep................................................................................31
4.2. Definisi Operasional Variabel.............................................................32
BAB V METODOLOGI........................................................................................37
5.1. Rancangan dan Jenis Penelitian..........................................................37
5.2. Waktu dan Lokasi Penelitian..............................................................37
5.3. Populasi, Sampel, Kriteria Inklusi dan Eksklusi.................................37
5.3.1. Populasi................................................................................37
5.3.2. Sampel..................................................................................37
5.3.3. Kriteria Inklusi.....................................................................38
5.3.4. Kriteria Eksklusi...................................................................38
5.4. Pengumpulan Data..............................................................................38
5.4.1. Sumber Data.........................................................................38
5.4.2. Jenis Data.............................................................................38
5.4.3. Alat Pengumpulan Data.......................................................38
5.4.4. Langkah-langkah Pengumpulan Data..................................39
5.5. Analisis dan Penyajian data................................................................40
BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.......................................42
6.1 Demografi Subyek Penelitian..............................................................42
6.1.1. Jenis Kelamin.......................................................................42
6.1.2. Tingkat Pendidikan..............................................................43
6.1.3. Jenis Pekerjaan.....................................................................43
6.2. Keterbatasan Penelitian.......................................................................44
6.2.1. Keterbatasan Topik Penelitian.............................................44
6.2.2. Keterbatasan Jenis Penelitian...............................................44
6.2.3. Keterbatasan alat Pengumpul Data (OCAI).........................44
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
6.3. Keterbatasn Pihak Peneliti..................................................................44
6.4 Analisa Budaya Seluruh Pegawai RSISAA........................................45
6.5. Analisa Kriteria Penentu Budaya Organisasi RSISAA.......................49
6.5.1. Karater Dominan..................................................................49
6.5.2. Kepemimpinan Organisasi...................................................51
6.5.3. Manajemen Personel............................................................54
6.5.4. Perekat Di Rumah Sakit.......................................................56
6.5.5. Strategi Yang Ditekankan....................................................59
6.5.6. Kriteria Keberhasilan...........................................................62
6.6. Kongruensi Budaya Antar Kriteria Budaya Organisasi......................64
6.7. Budaya Tenaga Medis.........................................................................66
6.8. Budaya Tenaga Manajerial.................................................................68
6.9. Kongruensi Budaya Antara Tenaga Medis dan Manajerial................70
6.10. Budaya Direktur Rumah Sakit..........................................................74
6.11. Kongruensi Budaya Direktur RSISAA Dengan Budaya Seluruh
Pegawai...............................................................................................76
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................80
7.1 Kesimpulan..........................................................................................80
7.2. Saran....................................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................84
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB I
PE�DAHULUA�
1.1 Latar Belakang
RS Islam Sari Asih Ar Rahmah (RSISAA) adalah rumah sakit non profit
yang didirikan oleh Yayasan Bintang Rahmah Tangerang, yaitu Yayasan yang di
dirikan oleh PT Sari Asih Group. Tujuan pendirian RS Islam Sari Asih Ar
Rahmah ini adalah dalam rangka melayani kaum dhuafa yang ada di kota
Tangerang. Sesuai dengan visinya yaitu “Menjadi rumah sakit yang paling dikenal
kepeduliannya dan profesionalitasnya dalam melayani kesehatan kaum dhuafa di
kota Tangerang pada tahun 2012” maka RSISAA dituntut untuk menjaga
kinerjanya dengan baik. Sebagai rumah sakit yang baru beroperasi di bulan
November 2010 maka banyak hal yang harus dilakukan untuk menjaga
kinerjanya. Termasuk dalam hal ini bagaimana menjaga kekompakan kerja antar
berbagai level organisasi di RSISAA sehingga terwujud kinerja rumah sakit yang
optimal.
Rumah Sakit sebagai organisasi akan menghasilkan kinerja yang baik
apabila mempunyai strategi, visi misi dan budaya perusahaan yang menunjang
kinerjanya. Budaya organisasi menurut Anderson (1997) adalah nilai bersama,
keyakinan, norma-norma tertulis dan tidak tertulis serta sistem yang belaku di
suatu organisasi. Dengan adanya budaya organisasi itu maka perbedaan
pandangan dan nilai pada masing-masing individu dalam suatu organisasi dapat
diselaraskan dan dituangkan dalam bentuk suatu budaya kerja. Budaya kerja
inilah yang mencerminkan karakter dan spesifikasi organisasi tersebut. Budaya
kerja akan menjadi pedoman dan milik seluruh lapisan individu di dalam
organisasi/perusahaan dalam menjalankan tugas-tugasnya (Atmosoeprapto dkk,
2000).
Waridin dan Masrukhin (2006) menyatakan bahwa budaya organisasi
adalah suatu sistem nilai yang diperoleh dan dikembangkan oleh organisasi dan
pola kebiasaan serta falsafah dasar pendirinya, yang terbentuk menjadi aturan
yang digunakan sebagai pedoman dalam berfikir dan bertindak dalam mencapai
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
tujuan organisasi. Budaya yang tumbuh menjadi kuat mampu memacu organisasi
kearah perkembangan yang lebih baik (Robins, 1996). Hal ini berarti bahwa setiap
perbaikan budaya kerja kearah yang lebih kondusif akan memberikan sumbangan
yang sangat berarti bagi peningkatan kinerja karyawan.
Denison (1990) sebagaimana dikutip oleh Vogds (2001) menekankan
dampak positif dari budaya yang kuat pada keefektivitasan kinerja organisasi
karena dengan adanya kesepakatan sistem kepercayaan, nilai dan simbol yang
dipahami bersama oleh semua anggota organisasi akan memudahkan tercapainya
konsensus dalam pelaksanaan kerja terkoordinasi. Dengan adanya kepahaman
bersama dan kerangka rujukan nilai bersama yang kuat akan meningkatkan
kapasitas organisasi melakukan kerja terkoordinasi dan mendorong proses
pengambilan keputusan yang lebih cepat. Goffee dan Jones (1998) sebagaimana
dikutip Vogds (2001) menekankan pentingnya konsep budaya dan karakter
organisasi dimana didalamnya terdapat sumber daya utama dalam menjaga
keunggulan kompetitif suatu organisasi. Akan tetapi mereka juga menyatakan
bahwa budaya organisasi walaupun begitu vital perannya dalam menjaga
keunggulan kompetitif sangat sulit didefinisikan dan diukur.
Menurut suatu studi empiris mengenai hubungan antara persepsi CEO dan
kinerja rumah sakit di sejumlah sampel besar rumah sakit Kanada oleh Rondeau
dan Wagner (1998) sebagaimana dikutip oleh Vogds (2001) dinyatakan bahwa
budaya organisasi berdampak pada bagaimana perasaan anggota organisasi dan
bagaimana mereka bekerja di dalam lingkungan organisasi tersebut. Jadi budaya
benar-benar mempengaruhi kinerja organisasi yang didukung oleh berbagai
penelitian termasuk oleh : Denison (1990); Rousseau (1990); Calori dan Samin
(1991); Gordon dan DiTomaso (1992); Kotter dan Heskett (1992); Marcoulide
dan Heck (`1993); Denison dan Mishra (1995) serta Collins dan Porres (1996).
(Vogds, 2001).
Salah satu instrumen Analisis Budaya Organisasi yang digunakan untuk
menilai budaya suatu organisasi adalah Organization Culture Assessment
Instrument (OCAI) yang dikembangkan oleh Cameron dan Quinn pada tahun
1999. Pendekatan Cameron dan Quinn dalam menganalisis budaya organisasi
berdasarkan kerangka persaingan nilai (Competing Value Framework) dimana
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
klasifikasi budaya terbagi menjadi 4 kuadran tipe budaya yang dominan yaitu
budaya klan (Clan Culture), budaya pasar (Market Culture), budaya hierarki
(Hierarchy Culture) dan budaya adhokrasi (Adhocracy Culture). Keempat
kuadran tipe budaya dominan tersebut mempunyai ciri-ciri khusus dilihat dari sisi
fokus organisasi apakah pada sisi Internal atau Eksternal Organisasi, dan dari sisi
antara fleksibilitas dan kemandirian atau stabilitas dan kontrol. (Rangkuti, 2011)
Gambar 1.1. Kerangka Persaingan Nilai (Competing Value Framework) oleh
Cameron dan Quinn
OCAI ini sangat bermanfaat di dalam menggambarkan ke arah mana suatu
organisasi dikelompokkan berdasarkan budayanya untuk mendukung misi dan
tujuan organisasi. Selain itu, ia juga berguna untuk mengidentifikasi unsur-unsur
di dalam budaya organisasi yang dapat melawan misi dan tujuan. Hal ini
bermanfaat ketika sebuah organisasi sedang mencari kembali jati dirinya untuk
mendefinisikan ulang kebudayaan di dalamnya, sehingga dapat mencari unsur
budaya apa saja yang dapat mendukung kegiatan perusahaan (Rangkuti, 2011).
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Instrumen OCAI ini telah digunakan secara luas pada banyak organisasi
secara Internasional. Penulis telah menemukan setidaknya ada 2 studi di luar
negeri yang menggunakan OCAI untuk menganalisis budaya organisasi di rumah
sakit yaitu studi oleh Evans (2005) pada banyak rumah sakit di bawah
administrasi Florida Hospital Association (FHA) Florida, dan Liviu & Claudia
(2008) di County Emergency Hospital “Dr Constatntin Opris” di Baia Mare. Di
Indonesia, instrumen ini juga pernah dipakai dalam studi yang dilakukan
Rusnianah dan Haksama (2004) di 6 Institusi pelayanan kesehatan yang dipunyai
jam’iyah Nahdalatul Ulama yaitu di Rumah Sakit Islam (RSI) Al Amin Tumpang,
Rumah Bersalin (RB) Muslimat Singosari, RSI Masyitoh Bangli, RSI
Gongdanglengi, RSI Surabaya dan RSI Siti Hajar Sidoarjo.
Berdasarkan wawancara singkat penulis dengan Direktur RSISAA
didapatkan beberapa masalah mendasar berkaitan dengan budaya organisasi di
RSISAA seperti ketidakdisiplinan pegawai yang berulang dan teguran surat
peringatan yang dirasakan tidak adil oleh pegawai. Selain itu sebagai rumah sakit
yang baru operasional bulan November 2010, RSISAA sampai saat ini juga belum
membuat rumusan nilai yang dapat menunjang visi dan misi RSISAA. Sebagai
rumah sakit non-profit, RSISAA sangat membutuhkan budaya organisasi yang
menunjang kinerjanya mengingat rendahnya insentif yang memacu kinerja
organisasi dibandingkan dengan rumah sakit profit. Selain itu analisis budaya
organisasi diperlukan RSISAA sebagai bahan perbaikan manajerial RSISAA agar
terwujud budaya organisasi yang diharapkan. Patut dipikirkan juga apakah ada
inkongruensi budaya kerja antar tenaga medis dan manajerial di RSISAA.
Penelitian membuktikan bahwa Budaya Organisasi yang kongruen menunjang
kinerja organisasi yang lebih baik, karena kongruensi Budaya Organisasi akan
menurunkan konflik internal dan kontradiksi nilai (Public Report : OCAI online,
2010).
Sebagai rumah sakit yang menyatakan dirinya bernafaskan islam maka
sudah seharusnya RSISAA membuat rumusan nilai budaya organisasi yang
mengambil sumbernya dari agama Islam. Sebenarnya telah ada instrumen
penilaian budaya organisasi Islami yang digali dari sumber agama Islam
sebagaimana yang dikembangkan oleh Alamsyah (2002) dari konsep yang dibuat
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
oleh Musa (1995) tentang budaya organisasi Islam. Alamsyah membuat suatu
pengembangan konsep dari 3 dimensi budaya organisasi Islami yang dijabarkan
menjadi 40 variabel yaitu :
• Dimensi nilai dan perilaku Individu yang dijabarkan menjadi
variabel ikhlas, Muroqobah, Muhasabah, Mujaahadah, Al himmah
Al’aaliyah, Jujur, Optimis, Ihsan, Itqon, Kreatif, Sabar, Taubat,
Menuntut ilmu, Istiqomah, Tawadhu, menghargai waktu, Taat pada
pimpinan dalam kebenaran dan penampilan fisik islami.
• Dimensi nilai dan perilaku antar individu yang dijabarkan menjadi
variabel budaya saling bernasehat, Ta’awun, Komunikasi empatik,
Budaya melayani, Musyawarah, Budaya husnudzon, Tidak ghibah dan
tidak saling hasad.
• Dimensi nilai dan perilaku kepemimpinan yang dijabarkan menjadi
variabel Adil, Qudwah Hasanah, Shidq, Amanah, Fathonah, Tabligh,
Al Fahm, Mu’allim, Munazzim, Mubbadarah, Menumbuhkan iklim Ats
Tsiqoh, Al Udhwiyah, At Takayyuf dan Tidak Mubadzir.
Dapat dilihat bahwa instrumen organisasi budaya rumah sakit Islami yang
dikembangkan oleh Alamsyah ini berfokus pada kongruensi budaya yang dilihat
dari ketiga dimensi relasional dalam organisasi dengan nilai-nilai Islam dari Al
Qur’an dan As Sunnah yang diijtihadkan menjadi 40 variabel spesifik. Hal ini
berguna untuk memberikan suatu titik rujukan (point of reference) bagi semua
pihak dalam organisasi islami agar mendekati budaya yang bernafaskan islam
secara lebih baik. Tentu saja instrumen ini besar manfaatnya dalam memberi arah
bagi organisasi seperti RSISAA sebagai rumah sakit islami.
Penulis tetap memilih menggunakan instrumen OCAI ketimbang
menggunakan instrumen rumah sakit islami yang dikembangkan Alamsyah oleh
karena masalah inkongruensi budaya yang dihipotesiskan terjadi di RSISAA
menurut penulis bisa tergambar secara lebih baik dengan OCAI. OCAI berangkat
dari konsep persaingan nilai (competing values) di dalam organisasi yang
tergantung pada posisi dan kepentingan masing-masing anggota organisasi
berdasarkan tiga perangkat dasar nilai-nilai yaitu :
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
1. Fleksibilitas vs Pengendalian
2. Manusia vs Organisasi
3. Proses vs Tujuan akhir
Hal ini tidak terlihat pada instrumen rumah sakit islami yang
dikembangkan Alamsyah yang membandingkan hanya dari sisi kongruensi
budaya organisasi dengan nilai-nilai islami yang spesifik. Adapun hasil dari
analisa budaya organisasi menurut kerangka persaingan nilai (competing value
framework) ini dapat dijadikan sebagai gambaran titik awal kondisi budaya
organisasi RSISAA tanpa mengenyampingkan pentingnya mengadopsi nilai-nilai
spesifik bernafaskan Islam nantinya. Justru hasil analisa budaya dengan kerangka
persaingan nilai ini akan dapat memberikan informasi dimana nilai-nilai
organisasi Islam sebagaimana dibuat oleh Alamsyah dapat ditempatkan sesuai
dengan prioritas yang memberikan daya ungkit menuju budaya yang paling
menunjang kinerja rumah sakit.
Penelitian ini mengambil sampel pada karyawan RSISAA di level
manajemen dan medis dengan pertimbangan bahwa produk yang ditawarkan
berupa jasa pelayanan yang mendudukkan peran sumber daya manusia sebagai
faktor yang sangat penting. Hasil dari pra survey yang peneliti lakukan di
RSISAA menunjukan bahwa penelitian mengenai budaya organisasi selama ini
belum ada.
1.2 Perumusan Masalah
RSISAA sebagai rumah sakit non-profit membutuhkan Budaya Organisasi
yang dapat mendukung kinerjanya. Namun sampai saat ini belum ada perumusan
nilai yang dapat mendukung terwujudnya Budaya Organisasi di RSISAA.
Sedangkan telah tersedia instrumen Organization Culture Assessment Instrument
(OCAI) untuk menganalisis Budaya Organisasi di RSISAA yaitu dengan
menggunakan pendekatan kerangka persaingan nilai (Competing Value
Framework).. Berdasarkan wawancara singkat dengan Direktur RSISAA
didapatkan masalah yang berkaitan dengan budaya organisasi seperti
ketidakdisiplinan pegawai dan teguran surat peringatan yang dirasakan tidak adil
oleh pegawai akibat belum adanya rumusan budaya organisasi yang diharapkan.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah : “Belum adanya perumusan
Budaya Organisasi yang tepat dan sesuai sehingga dikhawatirkan sebagai sebab
yang menimbulkan masalah seperti ketidakdisiplinan pegawai dan miskomunikasi
antara pemimpin dan bawahan di RSISAA”
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka pertanyaan penelitian yang
diajukan adalah “Bagaimanakah Budaya Organisasi di RSISAA menurut
pendekatan kerangka persaingan nilai (Competing Value Framework) di Rumah
Sakit Islam Sari Asih Ar Rahmah (RSISAA)?”
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Merumuskan Budaya Organisasi yang disepakati oleh seluruh stakeholder dengan
menggunakan pendekatan kerangka persaingan nilai (Competing Value
Framework) di berbagai level organisasi Rumah Sakit Islam Sari Asih Ar Rahmah
(RSISAA)
Tujuan Khusus
1. Diketahuinya Budaya Organisasi secara umum dengan menggunakan
pendekatan kerangka persaingan nilai (Competing Value Framework) di
Rumah Sakit Islam Sari Asih Ar Rahmah (RSISAA)
2. Diketahuinya Budaya Organisasi dengan menggunakan pendekatan
kerangka persaingan nilai (Competing Value Framework) pada level
manajemen di Rumah Sakit Islam Sari Asih Ar Rahmah (RSISAA)
3. Diketahuinya Budaya Organisasi dengan menggunakan pendekatan
kerangka persaingan nilai (Competing Value Framework) pada level
tenaga medis di Rumah Sakit Islam Sari Asih Ar Rahmah (RSISAA)
4. Analisa perbandingan antara budaya organisasi pada berbagai level
organisasi itu berdasarkan pendekatan kerangka persaingan nilai
(Competing Value Framework)
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
5. Dengan mengetahui Budaya Organisasi yang diharapkan oleh pihak
manajerial dan tenaga medis di RSISAA dengan pendekatan kerangka
persaingan nilai (Competing Value Framework) ini dapat dirumuskan
Budaya Organisasi RSISAA yang lebih tepat dan sesuai untuk menunjang
efektivitas kerja di RSISAA.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis : Penelitian ini merupakan konfirmasi teori analisa
budaya organisasi dengan pendekatan kerangka persaingan nilai
(Competing Value Framework) dan aplikasi dari Organization Culture
Assessment Instrument (OCAI) yang dikembangkan oleh Cameron dan
Quinn
2. Manfaat Metodologis : Penelitian ini menawarkan suatu cara menganalisis
Budaya Organisasi dengan pendekatan kerangka kerja nilai bersaing
(Competing Values Framework).
3. Manfaat Aplikatif : Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk melakukan
evaluasi Budaya Organisasi di Rumah Sakit Islam Sari Asih Ar Rahmah
(RSISAA) dalam tingkat manajemen, dan medis sehingga bisa dijadikan
sebagai masukan untuk perumusan nilai dan budaya organisasi yang
mendukung perwujudan visi dan misi dari RSISAA
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran Budaya
Organisasi di Rumah Sakit Islam Sari Asih Ar Rahmah (RSISAA) dengan
kerangka persaingan nilai (Competing Value Framework) yang dikembangkan
oleh Cameron dan Quinn (1999). Instrumen yang digunakan adalah Organization
Culture Assessment Instrument (OCAI) berupa kuesioner dengan data kuantitatif
mencakup 6 subvariabel. Yang dijadikan sampel penelitian adalah tenaga medis
dan manajerial di RSISAA. Penelitian akan dilakukan di RSISAA selama dua
bulan dari November 2011 sampai dengan Desember 2011.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB II
TI�JAUA� PUSTAKA
2.1. Ruang lingkup Budaya Organisasi
Edward B Taylor adalah orang yang pertama kali mengenalkan istilah
teknis untuk budaya (culture) dalam studi Antropologi dalam bukunya Primitive
Culture di tahun 1871 (Vogds, 2001). Beliau mendefinisikan budaya sebagai :
“that complex whole which include knowledge, belief, art, law, morals, custom
and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”
(“Keseluruhan kompleks yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni,
hukum, moral, kebiasaan dan semua kapabilitas dan kebiasaan lain yang diperoleh
oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat”). Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2005), budaya berarti pikiran atau akal budi. Sedangkan menurut Vijay
Santhe seperti yang dikutip oleh Ndraha (2003), definisi budaya adalah “The set
of important assumption (often unstead) that members of community share in
common” (“Sekumpulan asumsi-asumsi penting yang sama-sama dipercaya oleh
anggota suatu komunitas”).
Hofstede (1980) sebagaimana dikutip oleh Armia (2002) menurunkan
konsep budaya dari program mental yang dibedakan dalam tiga tingkatan yaitu :
1. Tingkat universal, yaitu program mental yang dimiliki oleh seluruh
manusia.
2. Tingkat kolektif, dimana program mental dimiliki oleh beberapa dan
bukan seluruh manusia. Pada tingkatan ini program mental khusus
pada kelompok atau kategori dapat dipelajari.
3. Tingkat individual yaitu program mental yang unik dimiliki oleh hanya
seorang saja. Pada tingkatan ini program mental sebagian kecil
melekat pada manusia, dan lainnya dapat dipelajari dari masyarakat,
organisasi atau kelompok lain.
Mengacu pada tingkatan program mental diatas maka Hofstede
menurunkan budaya dari tingkatan yang kedua (kolektif) sehingga budaya
menjadi sesuatu yang dapat dipelajari bukan merupakan gen tapi dapat diturunkan
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
dari lingkungan sosial, organisasi ataupun kelompok lain. Hofstede
mengkategorikan lapisan budaya untuk mengelompokkan kebiasaan orang sesuai
dengan lingkungannya yaitu :
• Tingkatan Nasional berdasarkan negara
• Tingkatan daerah (regional), etnik, agama dan bahasa
• Tingkatan perbedaan jenis kelamin/gender
• Tingkatan generasi, misalnya antara orang tua dengan anak-anak
• Tingkatan sosial dihubungkan dengan pendidikan, pekerjaan atau
profesi
• Tingkatan organisasi atau perusahaan
Maka Budaya berdasarkan tingkatan tersebut seringkali mengalami
ketidakharmonisan, misalnya adanya konflik dalam tingkatan gender dalam
budaya organisasi atau konflik antar generasi dalam budaya daerah.
Menurut Schein (1993) seperti yang dikutip oleh Evans (2005), suatu
budaya merupakan hasil pembelajaran bersama dari suatu kelompok yang
menentukan perilaku, emosi dan kognitif yang sesuai dengan nilai bersama
(shared values). Nilai-nilai bersama ini memberikan arahan yang sama untuk
kegiatan sehari-hari di dalam suatu organisasi.
Budaya Organisasi sering juga disebut sebagai Budaya Kerja, karena tidak
bisa dipisahkan dengan kinerja sumber daya manusianya. Semakin baik dan kuat
suatu budaya organisasi maka akan semakin kuat pula dorongan untuk berprestasi
(Atmosoeprapto, 2000). Andersen (1997) mendefinisikan Budaya Organisasi
sebagai nilai bersama, keyakinan, norma-norma tertulis maupun tidak tertulis,
tingkah laku dan sistem yang berlaku dalam suatu organisasi.
2.2. Pembentukan Budaya Organisasi
Setiap organisasi mempunyai budaya. Menurut Piti Sithi-Amnuai seperti
yang dikutip oleh Ndraha (2003), ketika suatu organisasi berdiri dimulailah proses
pembentukan budaya organisasi. Budaya organisasi terjadi ketika anggota
organisasi mulai belajar untuk menghadapi masalah organisasi, baik berupa
masalah akibat perubahan-perubahan eksternal, maupun masalah internal yang
menyangkut pada kesatuan dan keutuhan organisasi.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Robbins (2001) mengatakan bahwa budaya organisasi cenderung berurat
akar sehingga sukar untuk para manajer mengubahnya. Menurut Agung (2007),
ada tiga macam proses terbentuknya budaya organisasi yaitu :
1. Budaya diciptakan oleh pendirinya
2. Budaya terbentuk sebagai usaha untuk menjawab tantangan dan
peluang dari lingkungan internal dan eksternal
3. Budaya diciptakan oleh tim manajemen sebagai cara untuk
meningkatkan kinerja perusahaan secara sistematis
Peran atau fungsi budaya di dalam organisasi menurut Robbins (2001)
adalah :
1. Sebagai batasan yang membedakan secara jelas suatu organisasi
dengan organisasi lainnya
2. Memberikan rasa identitas bagi anggota-anggotanya
3. Memudahkan penerusan komitmen hingga mencapai batasan yang
lebih jelas daripada kepentingan individu.
4. Mendorong stabilitas sistem sosial, merupakan perekat sosial yang
membantu mempersatukan organisasi
5. Membentuk rasa dan kendali yang memberikan panduan dan
membentuk sikap serta perilaku karyawan.
Menurut Kotter dan Heskett (1997) suatu budaya organisasi muncul
sebagai cerminan dari visi, misi, strategi, filosofi dan pengalaman yang dimiliki
organisasi dalam pengimplementasiannya. Budaya organisasi muncul dengan pola
sebagai berikut.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 2.1. Pola munculnya budaya organisasi (Kotter dan Hesket, 1997)
2.3. Kongruensi �ilai dan Budaya : Antara Individu dan Organisasi
Menurut Maslow (1970) seperti yang dikutip Evans (2005), perbedaan
antara orang yang sehat dengan yang tidak sehat adalah bagaimana mereka
mempersepsikan dirinya sendiri. Orang yang sehat melihat dirinya sebagai orang
yang punya kemampuan, merasa diterima lingkungan, punya keunikan (distinct),
terpisah dari dunia tapi merasa “bersatu” dengannya. Maslow menyebutnya
sebagai tingkatan Aktualisasi Diri (Self actualized), tingkatan tertinggi dalam
hierarki kebutuhan manusia yang dibuatnya. Akan tetapi sebelum mencapai
tingkatan ini, manusia haruslah memenuhi 4 kebutuhan dasar lainnya yaitu (a)
Fisiologis, (b) Keamanan, (c) Cinta dan Kebersamaan dan (d) Harga Diri.
Kesemua kebutuhan dasar itu dapat dipenuhi dalam suatu organisasi. Dua
kebutuhan dasar pertama dipenuhi melalui insentif finansial. Sedangkan
kebutuhan dasar ketiga yaitu Cinta dan Kebersamaan dipenuhi melalui
penghargaan dan penerimaan organisasi terhadap dirinya. Menurut McGregor
(1960) sebagaimana dikutip Evans (2005), kesalahpahaman yang sering terjadi
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
oleh Manajer terhadap kebutuhan dasar manusia ini adalah asumsi ketika
kebutuhan dasar manusia yang lebih rendah telah terpenuhi seperti mempunyai
pekerjaan dan pendapatan maka rasa takut pekerja terhadap kehilangan kebutuhan
dasar ini akan hilang dengan sendirinya. Akan tetapi ketika terjadi
ketidakharmonisan antara pekerja dengan organisasinya, maka rasa keamanan dan
kepercayaan akan terancam. Pada keadaan seperti itu maka kebutuhan dasar yang
lebih rendah akan kembali muncul menutupi rasa Kebersamaan, Harga Diri dan
Aktualisasi Diri. Dorongan untuk berprestasi dan kreatif diganggu oleh
kebutuhan untuk menyelamatkan diri (survival needs).
Disinilah McGregor mengajukan konsep teori motivasi X dan teori
motivasi Y. Manajer penganut teori X berasumsi bahwa pekerja pada dasarnya
tidak suka bekerja, dan mereka membutuhkan arahan tugas yang jelas, dan
menjadi lebih puas ketika kebutuhan dasar yang lebih rendah (fisiologis dan rasa
aman) telah terpenuhi. Sedangkan manajer penganut teori Y berasumsi kalau
pekerja lebih merasa terhargai jika diberikan otonomi dalam pekerjaannya dan
mengembangkan tanggung jawab serta menjawab tantangan tugas jika terdapat
kondisi yang layak dalam suatu organisasi. Teori Y mengasumsikan kalau pekerja
akan bekerja dengan proaktif jika mereka berkomitmen terhadap tujuan-tujuan
organisasi, atau adanya integrasi antara individu dengan organisasinya.
Mossop (1994) seperti yang dikutip Evans (2005) kemudian menyatakan
bahwa pemahaman individu terhadap posisinya di dalam organisasi dan
kepercayaan individu terhadap perannya itu berkontribusi dalam mewujudkan rasa
kepuasan kerja. Ashforth (1985) dan Schein (1990) seperti yang dikutip Evans
(2005), menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai iklim organisasi
(organization climate) adalah persepsi kolektif terhadap komitmen organisasi
pada nilai-nilai yang diakuinya. Iklim organisasi ini akan menentukan bagaimana
hasil dari suatu budaya organisasi, Menurut studi yang dilakukan oleh McMurray
(2003) seperti yang dikutip Evans (2005) ketika subkultur di dalam suatu
organisasi bersesuaian dengan nilai dan kepercayaan dari organisasi induknya
maka iklim organisasi menjadi lebih positif.. Sebaliknya, jika nilai subkultur tidak
sesuai dengan nilai organisasi induk maka iklim organisasi menjadi lebih negatif.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
2.4 Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja organisasi
Penelitian awal secara kualitatif yang mencari hubungan budaya organisasi
dengan kinerja organisasi adalah studi yang dilakukan oleh Peters dan Waterman
(1982). Setelah itu terdapat banyak penelitian lain yang membuktikan adanya
hubungan antara budaya organisi dengan kinerja organisasi seperti : (Boyne dkk,
2004)
• Cameron dan Freeman (1991) meneliti hubungan kuantitatif antara
efektivitas organisasi dengan 3 variabel budaya pada 334 institusi
pendidikan tinggi. Variabel budaya yang dianalisis adalah tipe budaya,
kekuatan budaya dan kecocokan/kongruensi budaya. Hasilnya
menyatakan bahwa tipe budaya lebih signifikan mempengaruhi
efektivitas organisasi dibandingkan 2 variabel budaya lainnya.
Didapatkan juga bahwa tipe budaya yang berbeda berhubungan dengan
dimensi kinerja yang berbeda. Implikasinya adalah jika terjadi
pemfokusan secara eksklusif pada satu tipe budaya saja maka hanya
akan meningkatkan beberapa aspek dari kinerja organisasi.
• Marcoulides dan Heck (1993) meneliti enam aspek dari budaya
organisasi secara kuantitif termasuk perilaku terhadap resiko dan
kesejahteraan karyawan. Mereka menemukan bahwasanya budaya
organisasi berkorelasi dengan perbaikan kinerja organisasi
• Petty (1995) meneliti hubungan kinerja organisasi dengan 3 dimensi
budaya yaitu level kepercayaan, perilaku terhadap produktivitas dan
tingkat kerjasama tim secara kuantitatif. Didapatkan bahwa variabel
yang terakhir saja yang mempunyai korelasi positif terhadap
keberhasilan suatu organisasi.
• Ogbonna dan Harris (2000) dalam penelitiannya dengan metode
kuantitatif juga memperlihatkan adanya hubungan yang positif antara
budaya inovatif dengan keberhasilan komersial dari perusahaan-
perusahaan swasta.
Kesemua penelitian-penelitian diatas membuktikan adanya hubungan
antara budaya organisasi dengan kinerja suatu organisasi.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
2.5 Budaya Organisasi Islami
Yang dimaksud dengan budaya organisasi Islami adalah budaya yang
berintikan nilai-nilai yang diambil dari sumber hukum Al Qur’an dan Al Hadits
Rasulullah SAW. Dasar penjabarannya dari Al Qur;an dan Al Hadits ini
berdasarkan konsep pelimpahan wewenang dari Allah SWT dengan keterampilan
yang pantas sebagai Khalifah Allah fil ardh (Pemimpin di bumi). Sistemnya
berpegang pada dua tali yang vertikal kepada Allah dan horizontal kepada sesama
manusia dengan satu arahan untuk mencapai sasaran dengan strategi amr ma’ruf
nahy munkar (Adnanputra, 1999 dikutip dalam Alamsyahm 2002).
Alamsyah (2002) mengembangkan suatu konsep dari budaya organisasi
Islami menggunakan model nilai dan perilaku organisasi yang dikembangkan oleh
Nabil Issat Musa (1995). Beliau terinspirasi oleh Muhammad Qutb yang
mengatakan bahwa perilaku suatu organisasi yang bernafaskan islam dapat
beragam akan tetapi semuanya muncul dalam sesuatu yang sama. Yaitu berasal
dari hakikat nafsu manusia (haqiqotun nafsul insaaniyah) yang muncul dalam
bentuk akhlak islamiyah. Dengan demikian budaya yang merupakan kumpulan
nilai dan perilaku dapat terwakili dengan kata “suluk”. Model budaya organisasi
Islam (As Suluk attandzim) dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu 1.) Nilai dan
perilaku individu anggota organisasi (As Suluk Al fardhi), 2.) nilai dan perilaku
antar individu (As Suluk al jama’i) dan 3.) nilai dan perilaku
kepemimpinan/manajerila (As Suluk al mudir).
Oleh Alamsyah (2002) kemudian 3 dimensi budaya organisasi Islami itu
diijtihadkan menjadi 40 variabel spesifik yaitu :
• Dimensi nilai dan perilaku Individu yang dijabarkan menjadi
variabel ikhlas, Muroqobah, Muhasabah, Mujaahadah, Al himmah
Al’aaliyah, Jujur, Optimis, Ihsan, Itqon, Kreatif, Sabar, Taubat,
Menuntut ilmu, Istiqomah, Tawadhu, menghargai waktu, Taat pada
pimpinan dalam kebenaran dan penampilan fisik islami.
• Dimensi nilai dan perilaku antar individu yang dijabarkan menjadi
variabel budaya saling bernasehat, Ta’awun, Komunikasi empatik,
Budaya melayani, Musyawarah, Budaya husnudzon, Tidak ghibah dan
tidak saling hasad.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
• Dimensi nilai dan perilaku kepemimpinan yang dijabarkan menjadi
variabel Adil, Qudwah Hasanah, Shidq, Amanah, Fathonah, Tabligh,
Al Fahm, Mu’allim, Munazzim, Mubbadarah, Menumbuhkan iklim Ats
Tsiqoh, Al Udhwiyah, At Takayyuf dan Tidak Mubadzir.
Nilai-nilai ini bisa dijadikan dasar untuk menentukan seberapa kongruen budaya
organisasi dengan nilai-nilai spesifik seperti yang diijtihadkan oleh Alamsyah
berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits. Akan tetapi untuk melihat gambaran budaya
organisasi yang riil dan kecenderungannya lebih tepat dengan menggunakan
kerangka persaingan nilai dimana dimensi ingkongruensi budaya dapat lebih jelas
terlihat. Akan tetapi variabel spesifik yang ditentukan oleh Alamsyah ini dapat
dijadikan sebagai masukan nantinya untuk memperbaiki budaya organisasi sesuai
analisa yang didapatkan dengan pendekatan kerangkan persaingan nilai.
2.6 Kerangka Persaingan �ilai (Competing Value Framework)
Kerangka Persaingan Nilai (Competing Value Framework) mulai
dikembangkan sejak awal tahun 1980 dimulai dari studi mengenai efektifitas
organisasi oleh Quinn dan Rohrbaugh pada tahun 1981. Kemudian diikuti dengan
studi-studi lainnya berkaitan dengan budaya, kepemimpinan, struktur dan proses
informasi dalam organisasi. Akhirnya pada tahun 1999 Cameron dan Quinn
mengembangkan Kerangka Persaingan Niliai itu. Kerangka Persaingan Nilai
dilihat dari dua dimensi. Dimensi yang pertama membedakan fokus pada
fleksibilitas, kewenangan, dan dinamisme dari fokus pada stabilitas, perintah dan
kontrol. Dimensi kedua membedakan fokus pada orientasi internal, integrasi dan
kesatuan dari fokus pada orientasi eksternal, diferensiasi produk dan persaingan.
(Cameron, 2004)
Kedua dimensi tersebut membentuk 4 kuadran budaya, masing-masing
menggambarkan tipe budaya tertentu dengan perbedaan indikator efektivitas
masing-masing. Empat tipe budaya itu adalah : (OCAI report, Mei 2010)
a. Budaya Klan (Clan Culture)
Budaya Organisasi yang bercirikan tempat kerja yang nyaman, dimana
orang-orang didalamnya berbagi banyak informasi pribadi, seperti
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
keluarga besar. Pimpinan dan kepala organisasi dipandang sebagai mentor
dan bahkan seperti figur orang tua. Organisasi disatukan berdasarkan rasa
kesetiaan atau tradisi. Komitmen organisasi tinggi. Organisasi
menekankan pada manfaat jangka panjang dari pengembangan sumber
daya manusia (SDM) dan kepentingan besar untuk menjaga kohesi dan
moral organisasi. Kesuksesan didefinisikan berdsasarkan sensitifitas
terhadap pelanggan dan kepedulian terhadap orang lain. Organisasi
mengutamakan kerjasama, partisipasi dan konsensus.
Tipe Kepemimpinan : Fasilitator, Mentor, dan membuat tim
Nilai Pendorong : Komitmen, Komunikasi dan Pembangunan
Teori Efektivitas : Pengembangan manusia dan partisipasi menghasilkan
efektivitas
Strategi kualitas : Pemberdayaan, pembuatan tim, partisipasi pegawai,
pengembangan SDM dan komunikasi yang terbuka
b. Budaya adhokrasi (Adhoracracy Culture)
Buday organisasi bercirikan tempat kerja yang dinamis, kewiraswastaan
dan kreatif. Orang-orang di dalamnya berani bertangggung jawab dan
mengambil resiko. Pimpinan organisasi dianggap sebagai inovator dan
berani mengambil resiko. Perekat organisasi adalam komitmen bersama
untuk selalu mencoba hal yang baru/inovasi dan bereksperimen.
Organisasi dalam jangka panjang menekankan pada pertumbuhan dan
mendapatkan sumber daya yang baru. Kesuksesan berarti mendapatkan
profuk dan layanan yang baru dan unik. Menjadi pemimpin dalam produk
dan layanan dianggap penting. Organisasi mendorong individu dalam
organisasi itu untuk mengambil inisiatif.
Tipe kepemimpinan : Inovator, Wiraswastawan dan bervisi
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Nilai pendorong : keluaran yang inovatif, transformasi/perubahan dan
kecekatan
Teori Efektivitas : Inovasi, Visi dan sumber daya yang baru akan
menghasilkan efektivitas
Strategi kualitas : Membuat standar baru, mengantisipasi kebutuhan dan
perbaikan terus menerus, menemukan solusi kreatif
c. Budaya Pasar (Market Culture)
Budaya organisasi bercirikan organisasi yang berorientasi pada hasil
dimana perhatian utamanya adalah bagaimana menuntaskan tugas.
Individu dalam organisasi saling berkompetisi dan berorientasi pada
target. Pimpinan organisasi adalah seorang pendorong prestasi yang keras,
produktif dan kompetitor. Mereka sangat teguh dan penuh tuntutan.
Perekat yang menjaga kesatuan organisasi adalah keinginan untuk
memenangkan kompetisi. Kesuksesan dan reputasi menjadi perhatian
utama. Fokus jangka panjang adalah pada aksi kompetitif dan keberhasilan
mencapai tujuan dan target yang terukur. Kesukseskan didefinisikan
berdasarkan bagian dan penetrasi pasar. Harga yang kompetitif dan
kepemimpinan di pasar dianggap penting, Gaya organisasi adalah
kompetitif dan penuh tuntutan berprestasi.
Tipe Kepemimpinan : pendorong yang keras, kompetitif dan produktif
Nilai pendorong : Pencapaian tujuan, bagian pasar dan keuntungan
Teori efektivitas : kompetisi yang agresif, dan fokus pada pelanggan akan
menghasillkan efektivitas organisasi
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Strategi Kualitas : mengukur keinginan pelanggan, memajukan
produktivitas, menciptakan kemitraan dengan pihak eksternal, memajukan
rasa kompetisi, partisipasi dari pelanggan dan pemasok.
d. Budaya Hierarki (Hierarchy Culture)
Budaya organisasi bercirikan pada tempat kerja yang formal dan
terstruktur. Standar prosedur menentukan apa yang dikerjakan. Pimpinan
organisasi bangga sebagai koordinator dan ahli organisasi yang
mementingkan efektivitas. Menjaga organisasi yang lancar kerjannya
adalah prioritas utama. Aturan formal dan kebijakan formal adalah yang
menjaga kesatuan organisasi. Perhatian jangkan panjang adalah pada
stabilitas dan kinerja dengan operasi yang lancar dan efisien. Kesuksesan
didefinisikan berdasarkan pemberian layanan/produk yang dapat
diandalkan, rutinitas yang lancar.dan berbiaya rendah. Manajemen
personel/kepegawaian memerhatikan rasa aman pegawai dan
prediktibilitas.
Tipe Kepemimpinan : Koordinator, Pemantau dan organisatoris
Nilai Pendorong : Efisiensi, ketepatan waktu, konsistensi dan keseragaman
Teori efektivitas : Kontol dan efisiensi dengan prosedur standar yang layak
akan menghasilkan efektivitas
Strategi kualitas : menemukan kesalahan, pengukuran dan pengendalian
proses, penuntasan masalah yang sistematis dan alat-alat penjaga kualitas
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 2.2. Dua dimensi dan empat kuadran tipe budaya menurut kerangka
persaingan nilai (Competing Value Framework)
Dalam menganalisis budaya organisasi maka kerangka persaingan nilai
(competing value framework) memiliki 6 variabel yang mewakili keempat tipe
budaya nilai persaingan (competing value cultures) di dalam instrumen penilaian
budaya organisasi (Organization Culture Assessment Instrument/OCAI). Keenam
variabel dalam instrumen dan ciri tipe budayanya masing-masing dapat dilihat
pada tabel 1 dibawah ini
Kriteria Clan Adhocracy Market Hierarchy
Karakter
Dominan
Kekeluargaan Dinamis dan
kewirausahaan
Orientasi pada
tujuan
Tempat
terstruktur
dan
terkendali
Tipe
Kepemimpina
n
Mentor,
Fasilitator
Inovatif dan
berani
mengambil
resiko
Agresif,
berorientasi
pada hasil
Koordinator
m mengatur
dan
berorientasi
pada efisiensi
Manajemen
Personel
Kerja tim,
konsensus dan
partsisipasi
Mengambil
resiko,
memberi
kebebasan dan
keunikan
Kompetitif,
tuntutan
tinggi dalam
prestasi
Memberi rasa
aman,
stabilitas
hubungan
Perekat
Organisasi
Kesetiaan dan
rasa saling
percaya
Komitmen
untuk
menciptakan
inovasi dan
perkembangan
Prestasi dan
pencapaian
hasil, agresif
dan
kemenangan
Peraturan dan
kebijakan
formal
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Penekanan
Strategi
Pengembanga
n SDM,
Kepercayaan
yang tinggi,
keterbukaan
serta
partisipasi
Penemuan
baru, mencoba
hal-hal baru
Kompetisi
dan prestasi.
Mencapai
target
Efisiensi,
stabilitas,
kontrol dan
kelancaran
Kriteria
keberhasilan
Pengembanga
n SDM, kerja
tim, komitmen
anggota dan
kepedulian
terhadap
anggota
Produk/layana
n terbaru.
Pemimpin
dalam
layanan/produ
k
Memenangka
n kompetisi,
menjadi
pemimpin
pasar yang
kompetitif
Efisiensi
dapat
diandalkan
jadwal rutin
dan produk
dengan biaya
rendah
Tabel 2.1 Kriteria dan Tipe Budaya Organisasi menurut Cameron dan Quinn
(Rangkuti, 2011)
2.7. Instrumen Penilaian Budaya Organisasi (Organization Culture
Assessment Instrument / OCAI)
Instrumen OCAI ini didesain oleh Cameron dan Quinn pada tahun 1999.
Organisasi menggunakan OCAI untuk berbagai manfaatnya antara lain : (OCAI
report, Mei 2010)
a. OCAI akan memberikan pemahaman tentang apa yang dianggap penting
oleh pekerja di dalam organisasi. Akhirnya bisa diketahui tingkat kepuasan
pekerja.
b. OCAI juga dapat digunakan sebagai alat pengukuran yang
mengidentifikasikan titik awal sebelum adanya perubahan dalam suatu
organisasi. Ketika perubahan dalam organisasi telah dilakukan maka
penilaian kedua dapat dilakukan.
c. OCAI membantu untuk meningkatkan komuikasi internal organisasi, jika
peta budaya yang berbeda dilakukan untuk departemen atau bagian
organisasi yang berbeda
d. OCAI merupakan alat yang berguna di dalam merger organisasi atau usaha
reorganisasi lainnya
e. OCAI dapat digunakan ketika terjadi angka turn over pegawai dan
keabsenan yang tinggi.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Dengan pengukuran budaya organisasi maka akan didapatkan berbagai manfaat
utama antara lain : (OCAI report, Mei 2010)
a. Anggota Organisasi menjadi sadar akan budaya organisasi saat ini dan
budaya organisasi yang diinginkan. Ini akan menyediakan momentum
untuk melakukan perubahan
b. Lebih mudah untuk pihak manajemen untuk menentukan langkah-langkah
perubahan apa yang paling efektif.
c. Resistensi terhadap perubahan dapat diantisipasi,
d. Menyediakan titik awal untuk membuat pekerja mau berubah dan
penggunaan kekuatan dan kreativitas mereka untuk lebih mendukung
perubahan,
e. Menjadi dasar untuk rencana perubahan yang sistematis dan bertahap
f. Perubahan budaya organisasi yang sukses akan merevitalisasi seluruh
anggota organisasi. Organisasi akan mendapatkan momentum baru menuju
semua perubahan yang positif di dalam organisasi,
g. Penilaian OCAI akan menjadi langkah intervensi awal untuk
memungkinkan perubahan.
Mendiskusikan hasil OCAI, melakukan dialog dan peningkatan kesadaran adalah
hal yang sangat penting menurut Cameron dan Quinn. Ini akan mengawali proses
mental yang dibutuhkan untuk membawa perubahan yang berkesinambungan.
Keinginan baik akan diwujudkan menjadi perilaku dan perubahan yang nyata.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB III
PROFIL RUMAH SAKIT ISLAM SARI ASIH AR RAHMAH
TA�GERA�G
3.1 Pendahuluan
RS Islam Sari Asih Ar Rahmah (RSISAA) adalah rumah sakit non profit
yang didirikan oleh Yayasan Bintang Rahmah Tangerang, yaitu Yayasan yang di
dirikan oleh PT Sari Asih Group.. RSISAA merupakan rumah sakit non-profit
yang pertama di kota Tangerang di didirikan khusus hanya untuk melayani kaum
dhuafa di sekitar kota Tangerang. Rumah Sakit ini sudah mulai operasional sejak
bulan November 2010.
3.2 Visi RSISAA
Menjadi rumah sakit yang paling dikenal kepeduliannya dan
profesionalitasnya dalam melayani kesehatan kaum dhuafa di kota Tangerang
pada tahun 2012.
3.3 Misi RSISAA
• Menyediakan pelayanan medis bagi kaum dhuafa yang sesuai standar.
• Memberikan pelayanan dengan santun, peduli, ramah dan
professional.
• Mengimplementasikan nilai-nilai universal Agama Islam dalam
pelayanan medis dan non medis.
3.4 Strategi RSISAA
• Menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah dan pusat dalam
bentuk menjadi penyedia pelayanan kesehatan bagi pemegang kartu
multiguna ( jamkesda ) dan jamkesmas.
• Bekerjasama dengan lembaga-lembaga amil zakat untuk membiayai
pasien-pasien yang belum terjamin oleh multiguna ( jamkesda ) dan
jamkesmas.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
• Bekerjasama dengan institusi pendidikan negeri maupun swasta
dalam mengembangkan pelayanan medis.
3.5 Profil Ketenagaan
3.5.1 Tenaga Medis
�o Keahlian Jumlah
1 Dokter umum 6
2 Dokter Spesialis Penyakit Dalam 1
3 Dokter Spesialis Anak 2
4 Dokter Spesialis Obstetri-Ginekologi 3
5 Dokter Spesialis Bedah 1
6 Dokter Spesialis Anestesi 1
7 Dokter Spesialis Parttimer 5
Jumlah 19
Tabel 3.1 Komposisi dan jumlah tenaga medis RSISAA
3.5.2 Keperawatan
�o Unit Kerja Perawat Bidan Asper Jumlah
1 Kamar bersalin dan
kebidanan
3
4
4
11
2 Kamar Operasi 2 - - 2
3 IGD 3 - - 3
4 RPU Lt II 10 - 4 14
5 Perawat supervisor 2 - - 2
6 SPI 1 - - 1
7 Kabid
Keperawatan
1 - - 1
Jumlah 22 4 8 34
Tabel 3.2. Jumlah dan posisi kerja tenaga keperawatan
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
3.5.3.Penunjang Medik
�o Jabatan/Unit Kerja Farmasi Lab Radiologi
1 Apoteker 1 - -
2 Asisten Apoteker 4 - -
3 Juru Racik 2 - -
4 Radiografer - - 1
5 Analis Kesehatan - 2 -
Jumlah 7 2 1
Tabel 3.3. Jumlah dan posisi kerja tenaga penunjang medik
3.5.4. Penunjang Non Medik
�o Jabatan/Unit Kerja Jumlah
1 SDM 1
2 Keuangan 1
3 Teknisi 1
4 Dapur (pekarya) 1
5 TPP 3
6 Rekam medis 1
7 Ahli Gizi 1
8 Koki 2
9 EDP 1
10 Supir 1
Jumlah 13
Tabel 3.4. Jumlah dan posisi kerja tenaga penunjang medik
3.6 Fasilitasi
3.6.1 Instalasi Gawat Darurat
a. Pemeriksanaan dan konseling
b. Resusitasi
c. Observasi
d. Tindakan minor
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
e. Poli umum
f. Triage
g. Ambulan transportasi
3.6.2. Rawat Jalan
a. Poli KIA/KB
b. Poli Bedah ( khusus kontrol post operasi)
3.6.3.Rawat Inap
a. Ruang perawatan anak dan dewasa standar kelas III ; 7 tempat
tidur, kursi penunggu, kipas angin,exhaust van, nurse call,oxygen
sentral,kamar mandi.
b. Ruang isolasi dan observasi anak/dewasa : 3 tempat tidur, kursi
penunggu,nurse call, oxygen sentral, kipas angin,exhaust
van,kamar mandi
c. Ruang perinatologi ; box bayi, inkubator,blue light
3.6.4 Kapasitas Tempat Tidur
�o Ruang Perawatan Jumlah Bed
1 Ruang Isolasi Anak 3
2 Ruang Observasi Anak 3
3 Ruang Isolasi Dewasa 3
4 Ruang Isolasi Anak 3
5 Ruang Perawatan Anak 15
6 Ruang Perawatan Dewasa 23
7 Ruang Kebidanan 7
8 Ruang Bersalin 3
Jumlah 60
Tabel 3.5. Kapasitas tempat tidur per ruangan
3.6.5 Instalasi Farmasi
1. Apotik 24 jam
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
2. Meracik dan mendistribusikan obat
3. Informasi dan melayani obat
4. Penelitian dan pengembangan
3.6.6 Sarana Pendukung Lainnya
a. Unit laundry : bekerjasama dengan RS Sari Asih Karawaci
b. Unit gizi : penyimpanan bahan makanan, pengolahan, penyajian
dan pemantauan mutu makanan
c. IPSRS : perbaikan,pemeliharaan,penyediaan spare part
d. Lahan parkir : lahan parkir cukup luas, dan gratis
e. Taman-taman : cukup luas
f. Musholla : di tiap lantai
g. Aula : kapasitas 150 tempat duduk
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB IV
KERA�GKA KO�SEP DA� DEFI�ISI OPERASIO�AL
4.1. Kerangka Konsep
Budaya dari suatu Organisasi akan menentukan efektivitas kerja dari
organisasi tersebut. Ia merupakan sekumpulan nilai dan norma yang akan
memberikan arahan bagi individu di dalam organisasi itu untuk menjalankan
kegiatan kerjanya (Schein 1993 dikutip oleh Evans 2005). Akan tetapi menurut
Mcgregor, kesalahan yang sering dilakukan oleh seorang manajer adalah terlalu
memperhatikan faktor insentif finansial yang memenuhi kebutuhan dasar yang
lebih rendah sesuai hierarki kriteria kebutuhan dasar Maslow (fisiologis dan
keamanan) tapi lupa memperhatikan faktor kebutuhan dasar lainnya yang lebih
tinggi (kebersamaan dan harga diri) maka kinerja SDM tidak maksimal
(McGregor 1960 seperti yang dikutip Evans 2005). Faktor yang mendorong
kinerja yang baik itu adalah kondisi yang layak atau iklim organisasi yang
berkaitan dengan komitmen organisasi dengan nilai-nilai yang dianutnya.
Kerangka Persaingan Nilai (Competing Value Framework) yang
dikembangkan Cameron dan Quinn (1999) memberikan pendekatan yang menarik
untuk menganalisis Budaya Organisasi. Dengan Instrumen Organization Culture
Assessment Instrument (OCAI) yang dikembangkan mereka, dianalisis 6 variabel
Independen secara kuantitatif yaitu 1.) Karakter Dominan, 2.) Kepemimpinan
Organisasi, 3.) Manajemen Personel, 4.) Perekat Organisasi, 5.) Strategi yg
Ditekankan dan 6.) Kriteria Keberhasilan. Akan didapatkan gambaran tipe budaya
organisasi yang dominan apakah :1.) Budaya klan (Clan culture), 2.) Budaya
Adhokrasi (adhoracracy culture), 3.) Budaya pasar (market culture) atau 4.)
Budaya Hierarki (hierarchy culture). Gambaran budaya organisasi ini akan
disajikan dalam bentuk grafik dan tabel dan dari sini bisa dianalisis budaya
organisasi yang meliputi 1.) Kekuatan budaya, 2.) Kesenjangan antar budaya saat
ini dan yang diharapkan serta 3.) Kongruensi Budaya organisasi. Maka kerangka
persaingan nilai inilah yang dijadikan sebagai acuan kerangka konsep penelitian
ini seperti yang dapat dilihat pada gambar 3 .
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Gambar 4.1. Kerangka konsep Penelitian berdasarkan kerangka persaingan nilai
(Competing Value Framework)
4.2. Definisi Operasional Variabel
Variabel Independen :
VARIABEL
I�DEPE�DE�
DEFI�ISI ALAT
UKUR
HASIL
UKUR
SKALA
UKUR
1. Karakter
Dominan
Penilaian
responden terhadap
karakter budaya
yang paling
dominan
“mewarnai”
Rumah Sakit
Kuesione
r OCAI
Skor saat ini
dan yang
diharapkan
Interval
2. Kepemimpinan
Organisasi
Penilaian
responden terhadap
budaya yang
mempengaruhi
gaya
kepemimpinan
Rumah Sakit
Kuesione
r OCAI
Skor saat ini
dan yang
diharapkan
Interval
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
VARIABEL
I�DEPE�DE�
DEFI�ISI ALAT
UKUR
HASIL
UKUR
SKALA
UKUR
3. Manajemen
Personel
Penilaian
responden terhadap
budaya yang
menentukan cara
rumah sakit
mengelola SDM
Kuesione
r OCAI
Skor saat ini
dan yang
diharapkan
Interval
4. Perekat
Organisasi
Penilaian
responden terhadap
budaya yang
menyatukan
organisasi di rumah
sakit
Kuesione
r OCAI
Skor saat ini
dan yang
diharapkan
Interval
5. Penekanan
Strategi
Penilaian
responden terhadap
budaya yang
menentukan jenis
pilihan strategi
terpilih di rumah
sakit
Kuesione
r OCAI
Skor saat ini
dan yang
diharapkan
Interval
6. Kriteria
Kesuksesan
Penilaian
responden terhadap
budaya yang
menetapkan
batasan kesuksasan
di rumah sakit
Kuesione
r OCAI
Skor saat ini
dan yang
diharapkan
Interval
Tabel 4.1 Variabel Independen penelitian budaya organisasi
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Variabel Dependen :
VARIABEL
DEPE�DE�
DEFI�ISI ALAT
UKUR
HASIL UKUR SKALA
UKUR
Tipe Budaya
Organisasi dan
Analisa
budaya
organisasi
Klasifikasi
Budaya mengikuti
kerangka
persaingan nilai
(Competing Value
Framework)
menurut Cameron
dan Quinn serta
hasil analisanya
Pengola
han dan
Penyaji
an data
grafik
budaya
Organis
asi dan
dummy
table
Hasil ukur meliputi 4
tipe budaya organisasi
dan analisa budaya
organisasi yang
meliputi :
1. Kekuatan
Budaya
Organisasi
Kekuatan
budaya
organisasi
ditentukan
berdasarkan
besarnya skor
OCAI untuk tipe
budaya tertentu.
Jika perbedaan
lebih atau sama
dengan 10 poin
antara budaya
dominan dengan
budaya terlemah
maka dianggap
budaya yang
kuat
Nominal
dan
interval
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
VARIABEL
DEPE�DE�
DEFI�ISI ALAT
UKUR
HASIL UKUR SKALA
UKUR
2. Kesenjangan
antara Budaya
saat ini dan
yang
diharapkan
Kesenjangan
budaya saat ini
dan yang
diharapkan
bermakna
perlunya
intervensi
segera jika
perbedaan lebih
atau sama
dengan 10 poin
3. Kongruensi
Budaya
Organisasi
Kongruensi
budaya
organisasi dapat
dianalisis antar
kriteria Variabel
Independen
yaitu 1.)
Karakter
dominan, 2,)
Kepemimpinan
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
VARIABEL
DEPE�DE�
DEFI�ISI ALAT
UKUR
HASIL UKUR SKALA
UKUR
organisasi,
3.)Manajemen
Personel, 4.) Perekat
organisasi, 5.) Strategi
yang ditekankan dan 6.)
Kriteria Keberhasilan.
Kongruensi budaya
juga dapat terjadi antar
bagian organisasi di
dalam rumah sakit.
Untuk penelitian ini
juga akan dilakukan
analisis perbandingan
antara tenaga medis,
tenaga manajerial dan
direktur di RSISAA
terutama pada budaya
yang diharapkan,
apakah ada perbedaan
yang bermakna atau
tidak. Batasan
perbedaan yang
bermakna adalah lebih
atau sama dengan 10
poin.
Tabel 4.2. Variabel Dependen penelitian Budaya Organisasi
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB V
METODOLOGI
5.1. Rancangan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu studi survei penelitian analitik yang dilakukan
dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif.
5.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Islam Sari Asih Ar rahmah (RSISAA) di
Tangerang pada bulan November 2011 sampai dengan Desember 2011
5.3. Populasi, Sampel, Kriteria Inklusi dan Eksklusi
5.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di RSISAA
Tangerang
5.3.2. Sampel
Jumlah sampel penelitian yang diambil minimal 20% dari jumlah populasi yang
akan diteliti. Besar angka 20% ini ditentukan dengan dasar perkiraan bahwa
dengan jumlah sampel sebesar itu sudah cukup memberikan gambaran populasi
yang akan diteliti. Yang termasuk tenaga manajerial adalah Direktur, Kepala
Ruangan, Kepala Bidang Keperawatan dan Supervisor yang menurut data
kepegawaian di RSISAA berjumlah 5 orang. Dari Tenaga manajerial jumlah
sampel minimal adalah 2 orang. Yang termasuk tenaga medis meliputi dokter
umum, dokter spesialis dan para perawat berjumlah 52 orang. Dari tenaga medis
jumlah sampel minimal adalah 10 orang.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
5.3.3. Kriteria inklusi
Yang dijadikan kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
• Termasuk kriteria tenaga manajerial dan tenaga medis RSISAA
• Minimal telah bekerja selama 3 bulan yang dianggap waktu yang cukup
terjadinya internalisasi budaya organisasi bagi pegawai RSISAA
• Pendidikan terakhir minimal D3
• Dapat menghadiri di hari acara pengumpulan data
5.3.4. Kriteria Eksklusi
Yang dijadikan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
• Tidak termasuk kriteria tenaga manajerial dan tenaga medis RSISAA
• Pegawai RSISAA yang lama kerjanya kurang dari 3 bulan karena
dianggap belum cukup waktu terjadinya internalisasi budaya organisasi
RSISAA
• Pendidikan terakhir di bawah D3
• Berhalangan hadir pada acara pengumpulan data
5.4. Pengumpulan data
5.4.1. Sumber data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh
dari Responden penelitian
5.4.2. Jenis Data
Jenis data adalah data kuantitatif berasal dari pegisian kuesioner Organization
Culture Assessment Instrument (OCAI) yang dikembangkan Cameron dan Quinn
5.4.3. Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei menggunakan kuesioner
Organization Culture Assessment Instrument (OCAI). Kuesioner yang dipakai
pada penelitian ini adalah kuesioner yang sudah pernah dipakai pada penelitian
budaya organisasi oleh Cameron dan Quinn sejak tahun 1999. Kuesioner terdiri
dari 6 pertanyaan yang mewakili setiap karakter yang hendak dinilai. Dimana
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
pada masing-masing pertanyaan terdapat empat pertanyaan (A,B,C,D) yang
mewakili 4 tipe budaya yaitu :
• Tipe A merupakan indikasi clan culture
• Tipe B merupakan indikasi adhoracracy culture
• Tipe C merupakan indikasi market culture
• Tipe D merupakan indikasi Hierarchy culture
Pada setiap pertanyaan, responden diharuskan mengisi nilai pada kolom yang
disediakan, yaitu kolom sekarang dan kolom yang diharapkan. Responden
diharuskan memberi nilai pada keempat alternatif. Nilai tertinggi diberikan pada
alternatif yang dianggap paling sesuai dengan kondisi di organisasi (sesuai dengan
pendapat masing-masing responden). Jumlah dari keempat nilai tersebut harus
100. Untuk lebih jelasnya contoh kuesioner yang dipakai untuk penelitian ini
terdapat pada lampiran 1. Dari data yang terkumpul dilakukan analisa dengan
menghitung nilai rata-rata (mean) dan grafik budaya organisasi untuk masing-
masing variabel dan keseluruhan organisasi.
5.4.4. Langkah-langkah Pengumpulan Data
Jauh sebelum waktu dilakukannya pengambilan data peneliti menemui direktur
RSISAA untuk mendapatkan izin pengambilan data penelitian dan dilanjutkan
pertemuan dengan direktur kembali untuk mengatur strategi pelaksanaan
pengambilan data agar tidak mengganggu operasional rumah sakit dan juga
mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin timbul.
Sebelum dilakukan pengambilan data kuantitatif biasanya penelitian yang akan
menggunakan kuesioner untuk pengumpulan datanya akan didahului dengan uji
coba kuesioner. Namun pada penelitian ini sengaja tidak dilakukan uji coba
kuesioner karena kuesioner OCAI telah teruji reliabialitas dan validitasnya dalam
skala Internasional. Menurut studi yang dilakukan Spreitzer, 1991 seperti yang
dikutip Evans 2005, memberikan bukti validitas OCAI dengan analisis multitrait-
multimethod menggunakan dua instrumen berbeda untuk memeriksa dimensi
budaya yang sama. Penelitian ini mendukung validitas OCAI dalam menentukan
tipe budaya organisasi.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Sebelum memulai pengisian kuesioner selalu diberikan pengantar dan pengarahan
berupa cara pengisian kuesioner yang benar karena cara pengisiannya yang cukup
rumit. Selain itu selama pengisian kuesioner dihadiri oleh peneliti untuk
merespons pertanyaan responden tentang poin-poin pertanyaan di dalam
kuesioner agar terjadi kesamaan persepsi.
5.5. Analisis dan Penyajian data
Hasil data kuantitatif dari OCAI diolah secara manual dengan bantuan program
Spreadsheet. Disajikan informasi tipe budaya organisasi dalam bentuk dummy
table dan grafik kuadran tipe budaya organisasi sebagaimana dicontohkan oleh
Cameron dan Quinn. 1999 seperti contoh di bawah ini.
Gambar 5.1. Contoh penyajian data kuantitatif dalam bentuk Dummy Table dan
grafik kuadran tipe budaya organisasi. Garis merah menandakan budaya
organisasi saat ini dan garis biru menandakan budaya organisasi yang diinginkan
Analisis data dan grafik diatas akan meliputi :
1. Kekuatan Budaya Organisasi
Kekuatan budaya organisasi ditentukan berdasarkan besarnya skor OCAI
untuk tipe budaya tertentu. Misalnya pada contoh gambar 4 di atas maka
untuk budaya saat ini (;ow) terlihat budaya organisasi terkuat pada tipe
hierarchy dengan skor 37,08 yang berbeda lebih dari 10 poin dengan tipe
budaya seperti adhocracy (berbeda +20,65) dan Market (berbeda +20,06).
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Menurut prinsip Cameron dan Quinn perbedaan bermakna adalah jika
lebih atau sama dengan 10 poin. Ini menandakan pada contoh gambar 4
terlihat budaya organisasi dengan ciri hierarchy yang kuat.
Semakin kuat budaya organisasi maka kerja organisasi akan semakin
homogen dan jelas. Akan tetapi pada ciri budaya organisasi yang kuat
akan menyebabkan semakin sulitnya merubah budaya.
2. Kesenjangan antara Budaya saat Ini dan yang diharapkan
Kesenjangan budaya saat ini (;ow) dan yang diharapkan (Prefered)
bermakna perlunya intervensi segera jika perbedaan lebih atau sama
dengan 10 poin. Jika ada maka hal ini harus menjadi prioritas.
3. Kongruensi Budaya Organisasi
Kongruensi budaya organisasi dapat dianalisis antar kriteria Variabel
Independen yaitu 1.) Karakter dominan, 2,) Kepemimpinan organisasi,
3.)Manajemen Personel, 4.) Perekat organisasi, 5.) Strategi yang
ditekankan dan 6.) Kriteria Keberhasilan. Kalau ada inkongruensi tipe
budaya yang signifikan pada masing-masing kriteria tersebut dapat
disimpulkan akan lebih mungkin terjadi kontradiksi dan konflik internal.
Kongruensi budaya juga dapat terjadi antar bagian organisasi di dalam
rumah sakit. Untuk penelitian ini juga akan dilakukan analisis
perbandingan antara tenaga medis, tenaga manajerial dan direktur di
RSISAA terutama pada budaya yang diharapkan, apakah ada perbedaan
yang bermakna atau tidak. Batasan perbedaan yang bermakna adalah lebih
atau sama dengan 10 poin.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB VI
HASIL PE�ELITIA� DA� PEMBAHASA�
Telah dilakukan penelitian selama dua hari yaitu pada tanggal 22 dan 25
November 2011. Dikumpulkan sejumlah 29 subyek penelitian dari populasi
pegawai di RSISAA yang terdiri dari 5 tenaga manajerial yaitu Direktur, 2
Supervisor dan 2 Kepala Ruangan. Untuk tenaga medis berhasil dikumpulkan 25
sampel yang terdiri dari 21 perawat, 2 bidan, 2 dokter umum dan 2 bidan yang
memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi penelitian.
6.1 Demografi Subyek Penelitian
6.1.1 Jenis Kelamin
Grafik 6.1. Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Sekitar 34 % subyek adalah laki2 (10 orang) dan 66 % subyek adalah perempuan
(19 orang)
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
6.1.2. Tingkat Pendidikan
Grafik 6.2. Distribusi subyek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan
Terdapat sekitar 10% subyek dengan pendidikan setingkat Sarjana (1 Direktur, 1
dokter umum dan 1 perawat) dan 90% berpendidikan setingkat diploma (D3) (24
perawat dan 2 bidan).
6.1.3. Jenis Pekerjaan
Grafik 6.3. Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis pekerjaan
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Dari jenis pekerjaan maka subyek penelitian didominasi oleh perawat sebesar
72% (21 orang), 7% bidan (2 orang), 7% supervisor (2 orang), 7% kepala ruangan
(2 orang), 1 orang dokter dan 1 orang direktur.
6.2 Keterbatasan Penelitian
6.2.1 Keterbatasan Topik Penelitian
Penelitian ini berhubungan dengan sikap, persepsi serta perilaku manusia
yang pengukurannya sulit dan mempunyai faktor subyektivitas yang tinggi.
6.2.2. Keterbatasan jenis penelitian
Penelitian ini adalah suatu studi survei analitik dengan pendekatan
kuantitatif. Pendekatan secara kuantitif hanya akan mendapatkan gambaran
budaya organisasi berdasarkan skor persepsi subyek penelitian menurut kerangka
persaingan nilai (competing value framework) akan tetapi tidak menunjukkan
adanya hubungan kausalistik. Untuk mencari penyebab dari gambaran budaya
organisasi dan intervensi manajerial spesifik yang diperlukan sebaiknya
dilanjutkan dengan penelitian kualitatif, akan tetapi karena keterbatasan waktu
maka penelitian kualitatif tidak sempat dilakukan.
6.2.3 Keterbatasan alat Pengumpul Data (Kuesioner OCAI)
Alat pengumpulan data berupa kuesioner OCAI termasuk kuesioner yang
cukup rumit cara pengisiannya yang terdiri dari 4 pertanyaan pada masing-masing
6 kriteria budaya organisasi dengan angka subyektif budaya saat ini dan yang
diharapkan sehingga bisa menimbulkan kebosanan, rasa malas dan kebingungan
dari subyek penelitian.
6.3 Keterbatasan Pihak Peneliti
• Keterbatasan pengalaman peneliti dalam melakukan penelitian
menyebabkan peneliti kurang mengeksplorasi permasalahan
penelitian lebih jauh
• Keterbatasan peneliti sehingga jumlah literatur yang bisa dibaca
tidak memadai
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
6.4 Analisa Budaya Seluruh Pegawai RSISAA
Data Rekapitulasi lengkap hasil kuesioner OCAI dapat dilihat pada
lampiran 2. Berikut ini hasil analisa yang diambil dari rekapitulasi lengkap
kuesioner OCAI tersebut.
Grafik 6.4. Grafik Budaya Seluruh Pegawai RSISAA menurut kerangka
persaingan nilai
BUDAYA SELURUH
PEGAWAI Saat Ini Diharapkan
Rata2
saat ini
Rata2
Diharapkan
Selisih
rata2
Clan Culture (A) 5055 5610 29,05 32,24 3,19
Adhocracy Culture (B) 4010 4105 23,05 23,59 0,55
Market Culture (C) 4025 3475 23,13 19,97 -3,16
Hierarchy Culture (D) 4280 4210 24,60 24,20 -0,40
Tabel 6.1 Skor rata-rata OCAI dari seluruh pegawai
Didapatkan budaya organisasi terkuat saat ini adalah budaya klan (Clan
Culture) dengan skor 29,05 dan terkuat kedua adalah budaya Hierarki (Hierarchy
Culture) sebesar 24,6. Berarti secara keseluruhan budaya dominan adalah klan
dan hierarkis, dimana ditekankan budaya yang bercirikan kekeluargaan dan
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
partisipatif sekaligus kuat dalam pengendalian dan prosedur formal. Sedangkan
budaya yang terlemah ada pada budaya adhokrasi (Adhocracy Culture) dan pasar
(Market Culture) masing-masing dengan skor 23,05 dan 23,13. Walaupun
RSISAA tampaknya mempunyai budaya dominan pada budaya klan, tapi
tampaknya kekuatan budaya organisasi masih lemah. Hal ini terlihat dari selisih
nilai budaya terkuat yaitu budaya klan mempunyai selisih kurang dari 10
dibandingkan dengan budaya lainnya (selisih tertinggi adalah antara budaya klan
dan adhokrasi sebesar 6). Hal ini kurang menguntungkan dalam kinerja rumah
sakit dimana diperlukan kekuatan budaya organisasi yang kuat untuk
meningkatkan efektivitas kerja rumah sakit. Akan tetapi hal ini dapat dimengerti
mengingat RSISAA baru beroperasi selama 1 tahun dimana rumah sakit masih
dalam proses mencari jati dirinya menuju budaya organisasi yang paling sesuai.
Kecenderungan kurang dominannya salah satu budaya organisasi memberikan
indikasi adanya kemudahan untuk merubah budaya organisasi karena belum
adanya ciri budaya yang kuat.
Didapatkan tidak ada perbedaan signifikan antara skor budaya organisasi
saat ini dan yang diharapkan dimana selisih perbedaan terbesar terletak pada tipe
budaya klan (Clan Culture) dan pasar (Market Culture) yaitu kenaikan sebesar
3,19 poin pada skor budaya klan dan penurunan sebesar 3,16 poin untuk skor
budaya pasar. Nilai selisih skor yang kurang dari 10 antara budaya saat ini dan
yang diharapkan menurut Cameron dan Quinn berarti belum diperlukannya
intervensi segera oleh pihak manajerial. Terlihat dari grafik dan skor budaya yang
diharapkan, adanya keinginan untuk menguatkan tipe budaya organisasi menuju
budaya klan (skor budaya klan diharapkan sampai 32,24 poin) yang lebih kuat
lagi dimana selisih skor budaya klan dan budaya lainnya lebih dari 10 (selisih
terbesar skor budaya yang diharapkan adalah antara budaya pasar dan klan sebesar
12,27 poin). Penekanan budaya klan lebih pada fleksibilitas dan dinamisasi
jalannya organisasi dan mengokohkan integrasi internal organisasi di RSISAA.
Dalam satu tahun pertama beroperasinya RSISAA, tampaknya masih kuat
dorongan untuk menjalankan koordinasi Internal dahulu sebelum berfokus pada
ekspansi dan pengembangan layanan rumah sakit. Penekanan pada budaya
hierarkis sebagai tipe budaya terkuat kedua setelah budaya klan menandakan
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
adanya kecenderungan untuk berfokus dalam mengefisienkan jalannya organisasi
dan pentingnya pengawasan. Akan tetapi ada selisih negatif pada budaya yang
diharapkan dan budaya saat ini dalam lingkup budaya hierarki walaupun nilainya
tidak signifikan (hanya selisih -0,4 poin) menandakan belum diperlukannya
intervensi segera dalam aspek budaya hierarki.
Selisih negatif terbesar justru terletak pada budaya pasar (sebesar -3,19
poin), walaupun nilainya tidak signifikan akan tetapi dapat dilihat kecenderungan
untuk tidak berfokus dahulu dalam ekspansi cakupan pelayanan dan penyusunan
target agresif bagi RSISAA. Ini kemungkinan disebabkan dorongan konsolidasi
internal organisasi terutama yang sifatnya bimbingan dan peningkatan partisipasi
seluruh pegawai yang dominan mewarnai budaya klan lebih dibutuhkan.
Intervensi manajerial merujuk budaya organisasi Islami
Terlihat dari hasil analisa budaya seluruh pegawai di atas adanya tuntutan
dari seluruh pegawai untuk mewujudkan budaya klan yang lebih kuat. Bila
merujuk pada konsep budaya organisasi islami yang dikembangkan oleh
Alamsyah (2002) maka dapat dicari mana dari 40 variabel yang dapat digunakan
untuk memperkuat budaya klan yaitu :
• Dimensi nilai dan perilaku individu : Ikhlas, Jujur, Menuntut ilmu
dan sabar
• Dimensi nilai dan perilaku antar individu : Ta’awun (kerja tim),
Komunikasi empatik, Musyawarah, Khusnudzon (berprasangka
baik), tidak hasad dan ghibah
• Dimensi nilai dan perilaku kepemimpinan : Qudwah hasanah
(memberi teladan), shidq (benar dalam segala hal), Al Udwiyah
(Interaksi dengan bawahan), Tabligh (komunikator) dan
menumbuhkan iklim ats Tsiqoh (kepercayaan yang memberikan
rasa puas bagi yang dipimpin).
Inilah pilihan nilai-nilai budaya organisasi islami yang harus diprioritaskan karena
paling kuat korelasinya dengan perbaikan kinerja organisasi di RSISAA
Terdapat juga budaya hierarki sebagai budaya terkuat kedua walaupun
punya kecenderungan berkurang tuntutannya walau penurunannya tidak
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
signifikan. Nilai budaya organisasi islami yang berkorelasi dengan budaya
hierarki ini adalah :
• Dimensi nilai dan perilaku individu : Taat pada pemimpin dalam
kebenaran, Istiqomah, dan menghargai waktu
• Dimensi nilai dan perilaku kepemimpinan : Adil, Munazzim
(Organisator), Mu’allim (melek informasi) dan Tidak mubadzir.
Budaya Adhokrasi juga meningkat tuntutannya walau kenaikannya tidak
signifikan. Nilai budaya organisasi islami yang berkorelasi dengan perbaikan
budaya adhokrasi ini adalah :
• Dimensi nilai dan perilaku individu : Kreatif, Optimis, Ihsan dan
Taubat
• Dimensi nilai dan perilaku kepemimpinan : Mubbadarah (kekuatan
inisiatif), Amanah dan Fathonah (memiliki kecerdasan intelektual,
emosional dan spiritual)
Budaya pasar adalah budaya yang punya kecenderungan paling besar
penurunan tuntutannya. Bahkan cenderung menjadi budaya yang terlemah. Ini
bukan berarti budaya pasar ini diabaikan, hanya saja prioritasnya paling rendah
dan paling lemah korelasinya dengan perbaikan kinerja organisasi di RSISAA.
Budaya organisasi islami yang berhubungan dengan budaya pasar ini adalah :
• Dimensi nilai dan perilaku individu : Muroqobah, Muhasabah,
Mujahadah (ketiga variabel awal ini berhubungan dengan
peningkatan prestasi), Himmah Al’aaliyah (Cita-cita yang tinggi),
Itqon (profesionalitas)
• Dimensi nilai dan perilaku antar individu : Budaya melayani
• Dimensi nilai dan perilaku kepemimpinan : Al Fahm (memiliki
konsep arah tujuan organisasi, strategi untuk mencapainya dan
kemampuan memotivasi untuk mencapai tujuan) dan At Takayyuf
(kemampuan beradaptasi)
Demikianlah prioritas budaya yang merujuk pada konsep budaya
organisasi islami yang dapat menjadi rujukan RSISAA sebagai rumah sakit Islam
untuk memperbaiki kinerja organisasinya
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
6.5 Analisa Kriteria Penentu Budaya Organisasi RSISAA
6.5.1. Karakter Dominan
Grafik 6.5. Grafik Budaya Seluruh Pegawai dalam Kriteria Karakter Dominan
menurut kerangka persaingan nilai
KARAKTER DOMINAN Saat Ini Diharapkan
Rata2
Saat ini
Rata2
diharapkan
selisih
rata2
Clan Culture (A) 845 940 29,14 32,41 3,28
Adhocracy Culture (B) 675 630 23,28 21,72 -1,55
Market Culture (C) 675 615 23,28 21,21 -2,07
Hierarchy Culture (D) 695 715 23,97 24,66 0,69
Tabel 6.2. Skor rata-rata OCAI dari seluruh pegawai dalam kriteria karakter
dominan
Dalam kriteria karakter dominan terlihat gambaran yang tidak berbeda
dengan budaya organisasi seluruh pegawai. Adanya dominansi budaya klan saat
ini (skor 29,14 poin), lalu terkuat kedua adalah budaya hierarki (skor 23,97 poin).
Budaya terlemah ada pada budaya adhokrasi dan budaya pasar (dengan skor sama
23,28 poin). Hal ini menandakan adanya rasa kekeluargaan yang cukup kuat
dirasakan oleh seluruh pegawai. Selisih skor tertinggi budaya klan dengan yang
lain masih kurang dari 10 poin (selisih terbesar adalah antara budaya klan dengan
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
budaya adhokrasi dan pasar sebesar 5,86 poin) menandakan budaya klan dominan
dengan kekuatan yang lemah. Budaya hierarki yang menempati posisi terkuat
kedua menandakan organisasi di RSISAA dirasakan juga menekankan pada
pengawasan dan aturan-aturan formal yang mengendalikan rutinitas kerja. Tapi
selisihnya dengan budaya lain sangat kecil sekali yaitu hanya 0,69 poin.
Sebagaimana budaya seluruh pegawai, dalam kriteria karakter dominan ini
RSISAA lemah dalam menekankan suasana kewirausahaan dan orientasi pada
target pasar,
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara budaya yang diharapkan dan
saat ini dalam kriteria karakter dominan karena selisihnya kurang dari 10 poin.
Selisih terbesar terletak pada aspek budaya klan dengan kenaikan sebesar 3,28
poin antara budaya klan yang diharapkan dengan budaya saat ini dimana hal ini
menandakan adanya kebutuhan penguatan rasa kekeluargaan antar pegawai.
Selain itu, terjadi penurunan sebesar 2,07 poin pada budaya pasar dan 1,55 poin
pada budaya klan yang menandakan adanya tuntutan untuk memprioritaskan
integrasi internal dulu daripada pencapaian target, kompetisi dan kewirausahaan.
Hal ini menandakan adanya kecenderungan untuk tidak terlalu menekankan pada
pencapaian target yang agresif dan kewirausahaan. Kenaikan hanya sebesar 0,69
poin antara budaya hieraki yang diharapkan dengan saat ini menunjukkan tdk
diperlukannya perubahan drastis dalam aspek pengawasan dan aturan-aturan
formal. Tampak sekali dari kriteria karakter dominan ini adanya tuntutan
penguatan menuju budaya klan yang lebih kuat (selisih terbesar antara budaya
klan yang diharapkan dengan budaya pasar yang diharapkan sebesar 11,2 poin)
Intervensi manajerial merujuk budaya organisasi islami
Dapat terlihat bahwa pada karakter dominan mengkonfirmasi rantai urutan
prioritas penekanan budaya organisasi islami sebagaimana dianalisis pada budaya
seluruh pegawai.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
6.5.2. Kepemimpinan Organisasi
Grafik 6.6. Grafik Budaya seluruh pegawai dalam kriteria Kepemimpinan
organisasi menurut kerangka persaingan nilai
KEPEMIMPINAN
ORGANISASI Saat Ini Diharapkan
Rata2
Saat ini
Rata2
diharapkan
selisih
rata2
Clan Culture (A) 785 935 27,07 32,24 5,17
Adhocracy Culture (B) 710 670 24,48 23,10 -1,38
Market Culture (C) 705 595 24,31 20,52 -3,79
Hierarchy Culture (D) 680 700 23,45 24,14 0,69
Tabel 6.3, Skor OCAI rata-rata dari seluruh pegawai dalam kriteria kepemimpinan
organisasi.
Di dalam kriteria kepeminpinan organisasi didapatkan budaya saat ini
menunjukkan dominansi budaya klan (dengan skor 27,07 poin). Ini menandakan
bahwa gaya kepeminpinan yang berlaku di RSISAA lebih sebagai mentor dan
fasilitator dengan kekuatan budaya yang lemah (selisih budaya klan dg budaya
lainnya kurang dari 10 poin). Kepeminpinan juga dirasakan bersifat
kewirausahaan dan inovatif sebagai ciri budaya adhokrasi (dengan skor 24,48
poin) dan penuh tuntutan mencapai target sebagai ciri budaya pasar (dengan skor
24,31). Budaya terlemah dalam kriteria kepemimpinan organisasi adalah pada
budaya hierarki, dimana kepemimpinan dirasakan lemah dalam menjalankan
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
fungsinya sebagai koordinator yang memastikan efisiensi proses kerja di
RSISAA.
Perbedaan terbesar antara budaya yang diharapkan dengan budaya saat ini
adalah pada budaya klan dimana adanya tuntutan agar kepemimpinan organisasi
memperkuat perannya sebagai mentor dan fasilitator yang memberikan bimbingan
(peningkatan sebesar 5,17 poin). Tampak juga adanya tuntutan untuk mengurangi
budaya pasar (penurunan sebesar 3,79 poin) yang berarti pegawai tidak mau
terlalu didorong dulu secara agresif dalam pencapaian target-target oleh pihak
pimpinan RSISAA, karena pegawai membutuhkan arahan dan bimbingan terlebih
dahulu seperti yang dicirikan oleh budaya klan. Hal ini dapat dilihat juga pada
budaya adhokrasi dimana terdapat tendensi penurunan sebesar 1,38 poin yang
berarti pegawai lebih menuntut adanya arahan dan bimbingan oleh pimpinan RS
sebelum dapat didelegasikan wewenang yang lebih luas pada diri mereka.
Perubahan terkecil dan tdk signifikan adalah pada aspek budaya hierarki
(kenaikan 0,69 poin) yang berarti pegawai cenderung pada tipe kepemimpinan
yang mengorganisasi dan mengefisienkan kerja rumah sakit tapi hal ini
tampaknya bukan prioritas. Dapat disimpulkan bahwa pegawai menginginkan
perubahan budaya yang bercirikan budaya klan yang lebih kuat dalam aspek
kepemimpinan organisasi yang dicirikan dalam peran sebagai mentor dan
fasilitator yang selalu memberikan bimbingan (kekuatan budaya klan pada posisi
budaya diharapkan dapat dilihat dari selisih yang lebih dari 10 poin dg tipe
budaya lain, dimana selisih terbesar adalah antara budaya klan dengan budaya
pasar sebesar 11,72 poin).
Intervensi manajerial merujuk budaya organisasi islami
Kriteria kepemimpinan organisasi mengkhususkan analisa budaya
organisasi dari segi kepemimpinan saja. Tampaknya ada tuntutan menuju budaya
klan yang lebih kuat dari segi kepemimpinan organisasi. Ini berkorelasi dengan
nilai dan perilaku kepemimpinan sesuai budaya organisasi islami yaitu :
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
• Qudwah hasanah (memberi teladan/ Leadership by example)
Inilah model kepemimpinan khas dari Rasulullah SAW. Intinya
sebelum memerintahkan sesuatu Rasulullah SAW selalu
memberikan teladan terlebih dahulu.
• Shidq (benar dalam segala hal)
Shidiq adalah orang yang benar dalam semua perkataan, perbuatan
dan kondisi batinnya (Al Qusyairi dalam Tasmara, 2001). Mereka
yang bersifat Shidq akan berani menyatakan sikap secara
transparan bebas dari kepalsuan dan penipuan. Hatinya terbuka dan
selalu bertindak lurus sehingga mereka mempunyai suatu
keberanian yang kuat.
• Al Udwiyah (Interaksi dengan bawahan)
Pemimpin membina keakraban sedekat-dekatnya dengan bawahan.
Ada interaksi yang intens antar pemimpin dan bawahan. Mereka
membaur dengan bawahan atau biasa disebut dengan management
by walking around..
• Tabligh (komunikator)
Rasulullah SAW pernah bersabda “Sampaikanlah apa yang telah
engkau ketahui dariku walaupun hanya satu ayat!”. Yang berarti
setiap muslim mempunyai peran sebagai komunikator untuk
menyampaikan pesan Ilahiah. Nilai dari tabligh memberikan
muatan yang mencakup aspek kemampuan berkomunikasi,
kepemimpinan, pengembangan dan peningkatan dari kualitas
sumber daya manusia dan juga kemampuan diri dalam mengelola
sesuatu (Tasmara, 2001)
• Menumbuhkan iklim ats Tsiqoh (kepercayaan yang memberikan
rasa puas bagi yang dipimpin).
Pemimpin berkewajiban untuk menciptakan kehangatan hubungan
antar sesama anggota organisasi. Ia harus mengikat anggota dan
menjaga kohesivitas organisasi dengan cinta dan kasih sayang.
Harus ditanamkan perasaan bahwa setiap anggota organisasi
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
adalah saudara sehingga akan tercipta esprit de corps yang tinggi
(Madhi, 2001 dalam Alamsyah 2002).
Nilai-nilai budaya organisasi Islami di atas harus dijadikan prioritas oleh
RSISAA untuk disosialisasikan dengan cara menjadikannya patokan nilai-nilai
organisasi. Bisa juga melalui pengajian-pengajian Islam dan training SDM agar
nilai-nilai yang bernafaskan Islam itu dapat memperkuat budaya kepemimpinan
organisasi menuju budaya klan yang lebih kuat dan memperkuat kinerja
organisasi.
6.5.3. Manajemen Personel
Grafik 6.7. Grafik budaya seluruh pegawai dalam kriteria manajemen
personel menurut kerangka persaingan nilai
MANAJEMEN
PERSONEL Saat Ini Diharapkan
Rata2
Saat ini
Rata2
diharapkan
selisih
rata2
Clan Culture (A) 850 865 29,31 29,83 0,52
Adhocracy Culture (B) 720 750 24,83 25,86 1,03
Market Culture (C) 660 585 22,76 20,17 -2,59
Hierarchy Culture (D) 670 700 23,10 24,14 1,03
Tabel 6.4. skor OCAI rata-rata seluruh pegawai dalam kriteria manajemen
personel
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Manajemen personel/kepegawaian dirasakan lebih didominasi budaya klan
dimana RSISAA mengutamakan kerja tim, kesepakatan dan partisipasi semua
pegawai (skor budaya klan saat ini 29,31 poin). Selain itu juga terdapat budaya
adhokrasi (dengan skor 24,83 poin) dalam manajemen personel yang bercirikan
berani mengambil resiko, inovatif serta memberikan kebebasan dan ruang gerak
pada setiap pegawai. Budaya hierarki (dengan skor 23,1) juga mewarnai budaya
RSISAA yang menekankan rasa aman, rutinitas dan hubungan yang stabil.
Budaya terlemah adalah budaya pasar (dengan skor 22,76) dalam manajemen
personel, dimana RSISAA lemah dalam memberikan dorongan kompetitif menuju
pencapaian hasil kerja pegawai. Dapat disimpulkan budaya saat ini dalam
manajemen personel adalah ciri budaya yang lemah dengan penekanan pada
budaya klan (selisih budaya klan saat ini dengan budaya lainnya kurang dari 10
poin dimana selisih terbesar antara budaya klan saat ini dg budaya pasar saat ini
sebesar 6,55),
Tidak ada perbedaan signifikan antara budaya saat ini dengan budaya yang
diharapkan (selisih antara budaya saat ini dan budaya yang diharapkan tidak ada
yang sama atau lebih dari 10 poin) sehingga belum diperlukannya intervensi
segera. Perubahan terbesar adalah antara budaya pasar yang diharapkan dengan
budaya pasar saat ini dimana terjadi penurunan sebesar 2,59 poin. Tampaknya
tuntutan untuk berprestasi dan berfokus pada pencapaian hasil dirasakan perlu
dikurangi karena adanya kebutuhan untuk berfokus pada pembenahan proses kerja
pegawai. Terlihat juga kenaikan budaya adhokrasi dan hierarki yang diharapkan,
sebesar 1,03 poin. Hal ini berarti adanya kebutuhan untuk lebih memberikan
ruang gerak dan inisiatif kerja pegawai serta kejelasan hubungan yang stabil dan
dapat diprediksi. Kenaikan terkecil adalah pada budaya klan yang diharapkan
hanya sebesar 0,52 poin dimana kerja pegawai yang bercirikan kerja tim,
konsensus dan partisipasi sudah dirasakan cukup baik dan peningkatannya tidak
signifikan. Dapat disimpulkan bahwa dalam kriteria manajemen personel adanya
tuntutan untuk lebih menekankan pada budaya klan dengan aksentuasi yang lebih
kuat (hal ini terlihat dari skor budaya klan yang diharapkan tertinggi sebesar 29,83
poin dimana selisih terbesarnya adalah dengan budaya pasar yang diharapkan
sebesar 9,66 poin.)
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Intervensi manajerial merujuk pada budaya organisasi Islami
Pada Kriteria Manajemen Personel memfokuskan pada hubungan kerja
yang dominan antar individu dalam RSISAA. Ada tuntutan kepada budaya klan
dengan aksentuasi yang lebih kuat seperti yang terlihat dari analisa budaya dalam
kriteria manajemen personel ini Maka nilai budaya organisasi Islami yang
berkorelasi dengannya adalah dimensi nilai dan perilaku antar individu sebagai
berikut ini :
• Ta’awun (kerja tim)
• Komunikasi empatik
• Musyawarah
• Khusnudzon (berprasangka baik)
• tidak hasad dan ghibah
Nilai-nilai budaya organisasi Islami di atas harus dijadikan prioritas oleh
RSISAA untuk disosialisasikan dengan cara menjadikannya patokan nilai-nilai
organisasi. Bisa juga melalui pengajian-pengajian Islam dan training SDM agar
nilai-nilai yang bernafaskan Islam itu dapat memperkuat budaya kepemimpinan
organisasi menuju budaya klan yang lebih kuat dan memperkuat kinerja
organisasi
6.5.4. Perekat Di Rumah Sakit
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Grafik 6.8. Grafik budaya seluruh pegawai dalam kriteria perekat organisasi
menurut kerangka persaingan nilai
PEREKAT ORGANISASI Saat Ini Diharapkan
Rata2
Saat ini
Rata2
diharapkan
selisih
rata2
Clan Culture (A) 810 945 27,93 32,59 4,66
Adhocracy Culture (B) 675 675 23,28 23,28 0,00
Market Culture (C) 595 530 20,52 18,28 -2,24
Hierarchy Culture (D) 820 740 28,28 25,52 -2,76
Tabel 6.5. Skor OCAI rata-rata seluruh pegawai dalam kriteria perekat organisasi
Dapat terlihat bahwa budaya saat ini dalam kriteria perekat organisasi saat
ini didominansi oleh budaya hierarki (dengan skor 28,28 poin) dimana yang
berperan sebagai perekat utama keutuhan RSISAA adalah peraturan dan kebijakan
formal. Selain itu budaya klan menduduki peringkat dua (dengan skor 27,93 poin)
yang berarti perekat organisasi juga menekankan pada kesetiaan, kepercayaan
bersama dan komitmen. RSISAA juga diwarnai budaya adhokrasi (dengan skor
23,28 poin) dalam kriteria perekat organisasi yang berfokus pada adanya
komitmen untuk berinovasi dan pengembangan rumah sakit. Budaya pasar
(dengan skor 20,52 poin) dirasakan paling lemah dalam perannya sebagai perekat
organisasi yang berfokus pada prestasi, pencapaian tujuan dan agresifitas. Dapat
disimpulkan dalam kriteria perekata organisasi, budaya di RSISAA di dominansi
dengan budaya hierarki dengan kekuatan budaya yang lemah (selisih budaya
hierarki dengan budaya lainnya kurang dari 10 poin, selisih terbesar adalah
dengan budaya pasar sebesar 7,76 poin).
Tidak ada perbedaan signifikan antara budaya saat ini dengan budaya yang
diharapkan dalam kriteria perekat organisasi yang memerlukan intervensi segera
(selisih antara budaya saat ini dan budaya yang diharapkan kurang dari 10 poin).
Selisih terbesar antara budaya saat ini dan yang diharapkan adalah pada budaya
klan yang mengalami kenaikan sebesar 4,66 poin. Hal ini menandakan adanya
tuntutan utama untuk meningkatkan kepercayaan bersama dan kesetiaan sebagai
perekat organisasi di RSISAA. Selain itu perubahan terbesar pada peringkat kedua
adalah pada aspek budaya hierarki yang mengalami penurunan sebesar 2,76 poin
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
antar budaya saat ini dengan budaya hierarki yang diharapkan. Ini tidak berarti
bahwa kebijakan formal dan aturan harus dikesampingkan sebagai perekat
organisasi karena skor budaya hierarki yang diharapkan saat ini (dengan skor
25.52 poin) juga masih cukup besar walaupun tidak sedominan budaya klan
(dengan skor 32,59 poin). Hanya saja pegawai lebih menekankan budaya klan
yang diwarnai kesetiaan dan kepercayaan daripada kebijakan formal yang terlalu
ketat sebagai perekat utama organisasi. Tampaknya kecenderungan pegawai pada
bentuk nyata implementasi komitmen RSISAA dalam bentuk kesetiaan dan
kepercayaan lebih diprioritaskan daripada hanya kebijakan dan aturan formal
semata. Penurunan skor juga dialami budaya pasar antara budaya saat ini dan
budaya yang diharapkan (sebesar 2,24 poin) lebih disebabkan penekanan pegawai
pada kesetiaan dan kepercayaan bersama lebih besar daripada prestasi dan
pencapaian tujuan sebagai perekat organisasi. Tidak ada perubahan antara budaya
adhokrasi saat ini dan yang diharapkan menandakan belum perlunya intervensi
pada aspek budaya ini. Dapat disimpulkan bahwa dalam kriteria perekat
organisasi ini terdapat kecenderungan pegawai untuk merubah budaya organisasi
dari budaya yang didominansi budaya hierarki dengan kekuatan yang lemah
menjadi budaya klan (besar skor budaya klan yang diharapkan 32,59 poin) dengan
kekuatan budaya yang kuat (selisih terbesar antara skor budaya klan yang
diharapkan dengan budaya pasar yang diharapkan sebesar 14,31 poin).
Intervensi Manajerial merujuk budaya organisasi islami
Dalam kriteria perekat organisasi ini tuntutan menuju budaya klan yang
kuat mencakup dimensi yang sama dan telah dibahas pada kriteria perekat
organisasi yaitu nilai dan perilaku antar individu sesuai konsep budaya organisasi
islami.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
6.5.5. Strategi Yang Ditekankan
Grafik 6.9.. Grafik budaya seluruh pegawai dalam kriteria Strategi yang
ditekankan menurut kerangka persaingan nilai
STRATEGI YG
DITEKANKAN Saat Ini Diharapkan
Rata2
Saat ini
Rata2
diharapkan
selisih
rata2
Clan Culture (A) 870 940 30,00 32,41 2,41
Adhocracy Culture (B) 600 620 20,69 21,38 0,69
Market Culture (C) 695 610 23,97 21,03 -2,93
Hierarchy Culture (D) 735 740 25,34 25,52 0,17
Tabel 6.6 Skor OCAI rata-rata seluruh pegawai dalam kriteria strategi yang
ditekankan
Di dalam kriteria strategi yang ditekankan terlihat budaya klan
mendominansi (dengan skor 30 poin). Hal ini berarti RSISAA berfokus pada
pengembangan SDM dan partisipasi pegawai sebagai pilihan pertama strateginya.
Budaya klan ini mempunyai kekuatan budaya yang cukup kuat walaupun belum
memenuhi persyaratan budaya yang kuat menurut Cameron dan Quinn (Selisih
terbesar budaya klan saat ini dengan budaya lain saat ini adalah dengan budaya
adhokrasi sebesar 9,31 poin belum mencapai persyaratan budaya yang kuat yaitu
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
lebih atau sama dengan 10 poin). Selain itu juga terdapat budaya hierarki (dengan
skor 25,34 poin) menduduki peringkat kedua yang berarti RSISAA juga dirasakan
menekankan pada pembenahan kelancaran operasi, efisiensinya dan kontrol
sebagai pilihan strateginya. Terdapat juga budaya pasar (dengan skor 23,97) yang
berarti adanya penekanan strategi berdasarkan pencapaian target yang kompetitif
dan memperluas cakupan pelayanan di RSISAA walaupun tidak sekuat budaya
klan dan hierarki. Budaya yang terlemah dalam kriteria strategi yang ditekankan
ini adalah budaya adhokrasi dimana penekanan strategi RSISAA paling lemah
dalam berfokus untuk menemukan sumber daya baru atau jenis layanan baru.
Dapat disimpulkan budaya saat ini dalam kriteria strategi yang ditekankan
didominansi oleh budaya klan dengan kekuatan budaya yang cukup kuat berfokus
pada pengembangan SDM,dan partisipasi pegawai sebagai strategi utamanya.
Tidak terdapat perbedaan signifikan antara budaya saat ini dan budaya
yang diharapkan dalam kriteria strategi yang ditekankan (selisih antara budaya
saat ini dan yang diharapkan kurang dari 10 poin). Hal ini menandakan belum
adanya kebutuhan intervensi segera. Perbedaan terbesar ada pada budaya pasar
dimana terdapat penurunan sebesar 2,93 poin. Hal ini berarti pegawai di RSISAA
menginginkan agar RSISAA tidak terlalu berfokus pada perluasan cakupan
pelayanan dan pencapaian target yang kompetitif, sebelum dilakukan pembenahan
internal organisasi yang memadai. Selain itu pada aspek budaya klan yang
diharapkan terdapat kenaikan sebesar 2,41 poin yang berarti pegawai di RSISAA
menginginkan agar rumah sakit meletakkan fokus lebih besar lagi pada
pengembangan SDM dan partisipasi pegawai sebagai pilihan strategi yang paling
baik (skor budaya klan yang diharapkan sebesar 32,41 poin). Budaya adhokrasi
dan hierarki tidak mengalami perubahan yang siginifikan antara budaya saat ini
dengan yang diharapkan (selisih skor masing-masing adalah 0,69 dam 0,17 poin
saja). Hal ini berarti pegawai di RSISAA merasakan strategi yang menekankan
pengembangan layanan baru dan efisiensi kinerja operasi rumah sakit di RSISAA
sudah memadai dan belum diperlukan perubahan yang segera. Dapat disimpulkan
bahwa pegawai di RSISAA menghendaki pilihan strategi yang ditekankan lebih
pada budaya klan yaitu dengan pengembangan SDM serta perluasan partisipasi
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
pegawai yang lebih kuat lagi (selisih terbesar budaya klan yang diharapkan adalah
dengan budaya pasar yang diharapkan sebesar 11,38 poin).
Intervensi manajerial merujuk pada budaya organisasi islam
Pada kriteria strategi yang ditekankan tampak tuntutan menuju budaya
klan dengan kekuatan budaya yang kuat. Ini berkorelasi dengan dimensi nilai dan
perilaku individu dan kepemimpinan sesuai konsep budaya organisasi islami oleh
Alamsyah yang menguatkan strategi yang berhubungan dengan budaya klan yaitu:
• Dimensi nilai dan perilaku individu : Ikhlas, Jujur, Menuntut ilmu
dan sabar� kesemua nilai ini berfokus pada pengembangan SDM
• Dimensi nilai dan perilaku kepemimpinan : Qudwah hasanah
(memberi teladan), shidq (benar dalam segala hal), Al Udwiyah
(Interaksi dengan bawahan), Tabligh (komunikator) dan
menumbuhkan iklim ats Tsiqoh (kepercayaan yang memberikan
rasa puas bagi yang dipimpin)� kesemua nilai ini berfokus pada
peningkatan kepercayaan, keterbukaan dan partisipasi
Bila dibandingkan dengan strategi yang resmi dicanangkan oleh RSISAA yaitu :
• Menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah dan pusat dalam
bentuk menjadi penyedia pelayanan kesehatan bagi pemegang kartu
multiguna ( jamkesda ) dan jamkesmas.
• Bekerjasama dengan lembaga-lembaga amil zakat untuk membiayai
pasien-pasien yang belum terjamin oleh multiguna ( jamkesda ) dan
jamkesmas.
• Bekerjasama dengan institusi pendidikan negeri maupun swasta
dalam mengembangkan pelayanan medis.
Maka dapat disimpulkan fokus strategi yang dituliskan ini lebih menuju budaya
pasar dan berbeda dengan gambaran budaya organisasi RSISAA yang dianalisa
dengan OCAI. Bahkan budaya pasar justru menempati budaya yang paling lemah
berkorelasi pada efektivitas organisasi. Tampaknya perlu dipikirkan untuk
merubah strategi yang dicanangkan RSISAA agar lebih sesuai prioritas tuntutan
dari seluruh pegawai RSISAA sehingga lebih menunjang efektivitas organisasi
RSISAA.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
6.5.6. Kriteria Keberhasilan
Grafik 6.10. Budaya seluruh pegawai dalam kriteria budaya kriteria keberhasilan
menurut kerangka persaingan nilai
KRITERIA
KEBERHASILAN Saat Ini Diharapkan
Rata2
Saat ini
Rata2
diharapkan
selisih
rata2
Clan Culture (A) 895 985 30,86 33,97 3,10
Adhocracy Culture (B) 630 760 21,72 26,21 4,48
Market Culture (C) 695 540 23,97 18,62 -5,34
Hierarchy Culture (D) 680 615 23,45 21,21 -2,24
Tabel 6.7 Skor OCAI rata-rata seluruh pegawai dalam kriteria budaya kriteria
keberhasilan
Terlihat pada budaya saat ini bahwa kriteria keberhasilan didominasi oleh
budaya klan (dengan skor 30,86 poin) dengan kekuatan budaya yang cukup kuat
walaupun belum memenuhi syarat sebagai budaya yang kuat menurut Cameron
dan Quinn. (Selisih terbesar budaya klan saat ini adalah dengan budaya adhokrasi
sebesar 9,14 poin belum mencapai persyaratan budaya yang kuat yaitu lebih atau
sama dengan 10 poin). Hal ini berarti RSISAA meletakkan kriteria keberhasilan
atas dasar pengembangan SDM, kerja tim dan komitmen serta kepedulian sesama
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
tenaga rumah sakit sebagai keberhasilan yang paling utama. Budaya pasar
menempati peringkat dua (dengan skor 23,97 poin) di RSISAA dimana yang
dianggap sebagai kriteria keberhasilan juga adalah kemenangan pasar. Sebagai
rumah sakit non profit tentunya yang dimaksud dengan kemenangan pasar adalah
meluasnya cakupan wilayah yang dapat dilayani RSISAA di kota tangerang atau
bertambahnya peserta asuransi jamkesmas atau multiguna yang dapat dilayani
RSISAA. Selain itu juga terdapat budaya hierarki (dengan skor 23,45) dimana
kriteria keberhasilan berfokus pada efisiensi, jasa yang dapat diandalkan serta
operasi layanan rumah sakit dengan biaya yang rendah. Budaya yang paling
lemah dalam kriteria keberhasilan adalah budaya adhokrasi (dengan skor 21,72)
yaitu lemah dalam menjadikan adanya jenis layanan baru dan inovasi sebagai
tolak ukur keberhasilan.
Tidak ada perubahan signifikan antara budaya saat ini dengan budaya yang
diharapkan (tidak ada perubahan budaya dengan selisih lebih atau sama dengan 10
poin) yang memerlukan intervensi segera. Perubahan terbesar ada pada budaya
pasar yang mengalami penurunan sebesar 5,34 poin. Ini berarti pegawai RSISAA
tidak memprioritaskan fokus pada perluasan cakupan wilayah pelayanan RSISAA
sebagai kriteria keberhasilan. Bahkan budaya pasar yang diharapkan menempati
posisi paling lemah jika dibandingkan budaya yang diharapkan lainnya (skor
budaya pasar terendah jika dibandingkan budaya yang diharapkan lainnya dengan
besar skor 18,62 poin). Perubahan yang cukup besar dialami budaya adhokrasi
dimana budaya adhokrasi yang diharapkan mengalami kenaikan sebesar 4,48 poin
jika dibandingkan dengan budaya adhokrasi saat. Bahkan kedudukan budaya
adhokrasi yang diharapkan menduduki peringkat kedua budaya terkuat setelah
budaya klan yang diharapkan. Tampaknya pegawai di RSISAA menghendaki
lebih besarnya fokus kriteria keberhasilan pada keunikan dan inovasi layanan
rumah sakit. Budaya klan yang diharapkan juga mengalami kenaikan sebesar 3,1
poin jika dibandingkan dengan budaya klan saat ini. Budaya klan yang diharapkan
tetap menduduki peringkat pertama (dengan skor 33,97) dengan kekuatan budaya
yang kuat (selisih terbesar budaya klan yang diharapkan adalah dengan budaya
pasar sebesar 15,34). Rupanya pegawai RSISAA tetap mengutamakan
pengembangan SDM, kerja tim dan kepedulian sesama tenaga rumah sakit
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
sebagai kriteria keberhasilan yang paling utama. Perubahan juga dialami budaya
hierarki dengan penurunan sebesar 2,24 poin jika dibandingkan dengan budaya
hierarki saat ini. dimana hal ini menunjukkan bahwa pegawai di RSISAA
menghendaki agar efisiensi, jasa yang dapat diandalkan dan biaya operasi rendah
tidak mendominasi kriteria keberhasilan RSISAA. Dapat disimpulkan bahwa
budaya yang diharapkan pegawai RSISAA dalam kriteria keberhasilan adalah
budaya klan dengan kekuatan budaya yang lebih kuat.
Intervensi Manajerial merujuk pada budaya organisasi Islami
Pada kriteria budaya kriteria keberhasilan tampak tuntutan menuju budaya
klan yang lebih kuat. Pada dasarnya penekanan nilai sesuai konsep budaya
organisasi islami sama dengan kriteria strategi yang ditekankan yaitu meliputi
dimensi nilai dan perilaku individu dan kepemimpinan yang menunjang budaya
klan sebagaimana telah dijelaskan pada kritetia strategi yang ditekankan.
6.6. Kongruensi Budaya Antar Kriteria Budaya Organisasi
KRITERIA BUDAYA
ORGANISASI
Skor
Budaya
yang
dominan
saat ini
Tipe budaya dominan
saat ini Skor
budaya
dominan
yang
diharapkan
Tipe budaya dominan
yang diharapkan
Karakter Dominan 29,14 Budaya Klan dengan
kekuatan budaya lemah
32,41 Budaya Klan dengan
kekuatan budaya kuat
Kpemimpinan Rumah Sakit 27,07 Budaya Klan dengan
kekuatan budaya lemah
32,24 Budaya Klan dengan
kekuatan budaya kuat
Manajemen Personel 29,31
Budaya Klan dengan
kekuatan budaya lemah
29,83 Budaya Klan dengan
kekuatan budaya cukup
kuat
Perekat Organisasi 28,28 Budaya Hierarki dengan
kekuatan budaya lemah
32,59 Budaya Klan dengan
kekuatan budaya kuat
Stategi yang ditekankan 30,00 Budaya Klan dengan
kekuatan budaya cukup
kuat
32,41 Budaya Klan dengan
kekuatan budaya kuat
Kriteria Keberhasilan 30,86 Budaya Klan dengan
kekuatan budaya cukup
kuat
33,97 Budaya Klan dengan
kekuatan budaya kuat
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Tabel 6.8. Skor OCAI budaya yang dominan per kriteria budaya organisasi dan
tipe budaya yang dominan beserta kekuatannya.
Terlihat dari skor budaya yang dominan saat ini didominansi dengan
budaya klan dengan kekuatan yang lemah. Perbedaan terjadi pada kriteria perekat
organisasi dimana budaya dominan saat ini adalah budaya hierarki dengan
kekuatan budaya lemah. Budaya klan dirasakan cukup kuat pada kriteria Strategi
yang ditekankan dan kriteria keberhasilan dimana selisih terbesar budaya klan
dengan budaya lainnya lebih besar dari 9 poin walaupun masih belum bisa
dikategorikan sebagai kekuatan budaya yang kuat (karenas selisih masih kurang
dari 10 poin). Dapat disimpulkan kongruensi budaya antar kriteria saat ini cukup
baik dimana dari 6 kriteria hanya satu kriteria saja (kriteria perekat organisasi)
yang didominansi oleh budaya hierarki sedangkan kriteria budaya organisasi
lainnya kongruen (sama-sama didominasi budaya klan).
Pada skor budaya yang diharapkan dapat dilihat adanya keinginan untuk
membuat kongruensi lebih baik lagi dimana dari 6 kriteria budaya semuanya sama
didominansi oleh budaya klan dengan kekuatan budaya yang kuat. Perbedaan
terjadi pada kriteria manajemen personel dimana budaya yang diharapkan tetap
didominansi budaya klan tapi dengan kekuatan budaya belum bisa dikategorikan
budaya kuat tapi sudah cukup kuat (selisih terbesar skor budaya klan yang
diharapkan dengan budaya yang diharapkan lainnya pada kriteria manajemen
personel sebesar 9,66 poin masih kurang dari 10 poin).
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
6.7. Budaya Tenaga Medis
Grafik 6.11. Grafik budaya tenaga medis RSISAA menurut kerangka persaingan
nilai
BUDAYA TENAGA MEDIS Saat Ini Diharapkan
Rata2
saat ini
Rata2
Diharapkan
Selisih
rata2
Clan Culture (A) 4165 4600 28,92 31,94 3,02
Adhocracy Culture (B) 3395 3495 23,58 24,27 0,69
Market Culture (C) 3310 2885 22,99 20,03 -2,95
Hierarchy Culture (D) 3500 3420 24,31 23,75 -0,56
Tabel 6.9. Skor OCAI rata-rata tenaga medis
Dari 24 tenaga medis yang berhasil dikumpulkan sebagai subyek
penelitian didapatkan gambaran budaya saat ini yang tidak berbeda jauh dengan
budaya seluruh pegawai. Budaya terkuat saat ini pada tenaga medis adalah budaya
klan (dengan skor 28,92) dengan kekuatan budaya yang lemah (selisih budaya
terbesar adalah dengan budaya pasar sebesar 5,94 poin). Nilai budaya klan
mengutamakan pada peningkatan kerjasama tim, rasa kekeluargaan dan komitmen
dirasakan dominan mewarnai budaya tenaga medis. Selain itu terdapat juga
budaya hierarki saat ini (dengan skor 24,31) sebagai budaya terkuat setelah
budaya klan pada tenaga medis di RSISAA. Fokus budaya hierarki ini adalah
pada efisiensi organisasi, kebijakan formal dan pengawasan yang melekat.
Budaya adhokrasi (dengan skor 23,58 poin) juga mewarnai budaya tenaga medis
saat ini yang mementingkan keunikan layanan, inovasi dan keberanian mengambil
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
resiko. Hal ini dapat dimengerti karena budaya tenaga medis biasanya memang
menginginkan independensi dalam melakukan tugasnya Budaya yang paling
lemah mewarnai budaya tenaga medis saat ini adalah budaya pasar (dengan skor
22,99 poin) dimana tenaga medis RSISAA lemah dalam fokus pencapaian target
organisasi yang agresif dan kompetitif. Dapat disimpulkan budaya tenaga medis
saat ini didominansi budaya klan dengan kekuatan budaya yang lemah.
Tidak ada perbedaan signifikan antara budaya yang diharapkan dan
budaya saat ini pada tenaga medis (selisihnya tidak ada yang melebihi 10 poin).
Ini berarti belum diperlukannya intervensi segera untuk melakukan perubahan
budaya. Perubahan terbesar ada pada budaya klan dimana budaya klan yang
diharapkan naik 3,02 poin dibandingkan dengan budaya klan saat ini. Ini
menandakan perubahan budaya yang diprioritaskan tenaga medis di RSISAA
adalah pada budaya klan yaitu peningkatan kerja tim, partisipasi dan rasa
kekeluargaan. Budaya klan yang diharapkan mempunyai ciri budaya yang kuat
(selisih terbesar skor budaya klan yang diharapkan adalah dengan budaya pasar
yang diharapkan sebesar 11,91 poin). Perubahan juga dialami budaya pasar yang
diharapkan yang mengalami penurunan sebesar 2,95 poin dari budaya pasar saat
ini. Tampaknya tenaga medis RSISAA menginginkan agar fokus pada pencapaian
target yang agresif sebagai ciri budaya pasar dikesampingkan dahulu agar dapat
dilakukan konsolidasi internal. Perubahan yang tidak signifikan adalah pada
budaya adhokrasi (kenaikan 0,69 poin) dan budaya hierarki (penurunan 0,56
poin). Ini menandakan tenaga medis di RSISAA tidak memprioritaskan perubahan
budaya pada kedua tipe budaya itu. Dapat disimpulkan bahwa tenaga medis
RSISAA menginginkan dominasi budaya klan dengan kekuatan budaya yang
lebih kuat.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
6.8. Budaya Tenaga Manajerial
Grafik 6.12. Grafik budaya tenaga manajerial di RSISAA menurut kerangka
persaingan nilai
BUDAYA TENAGA
MANAJERIAL Saat Ini Diharapkan
Rata2
saat ini
Rata2
Diharapkan
Selisih
rata2
Clan Culture (A) 890 1010 29,67 33,67 4,00
Adhocracy Culture (B) 615 610 20,50 20,33 -0,17
Market Culture (C) 715 590 23,83 19,67 -4,17
Hierarchy Culture (D) 780 790 26,00 26,33 0,33
Tabel 6.10. Skor OCAI rata-rata dari tenaga manajerial RSISAA
Dari 5 tenaga manajerial sebagai subyek penelitian didapatkan gambaran
budaya organisasi saat ini yang didominasi oleh budaya klan (dengan skor 29,67
poin) dengan kekuatan budaya yang cukup kuat (selisih terbesar dengan budaya
adhokrasi saat ini sebesar 9,17 poin). Ini berarti budaya klan yang berfokus pada
kerjasama, rasa kekeluargaan dan partisipasi cukup kuat dirasakan oleh tenaga
manajerial. Budaya saat ini yang cukup kuat juga mewarnai tenaga manajerial
RSISAA selain budaya klan adalah budaya hierarki (dengan skor 26 poin) yang
berfokus pada pengawasan, efisiensi dan kebijakan formal. Hal ini wajar
mewarnai tenaga manajerial apalagi tugas utamanya sebagai pengawas dan
pengendali kinerja pegawai rumah sakit. Selain itu terdapat juga budaya pasar
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
(dengan skor 23,83) yang wajar mewarnai tenaga manajerial yang memang
seharusnya berfokus pada pencapaian target yang nyata dan kompetitif untuk
kemajuan kinerja RSISAA. Budaya yang paling lemah mewarnai budaya tenaga
manajerial saat ini adalah budaya adhokrasi (dengan skor 20.5 poin) dimana
tampaknya tenaga manajerial kurang berfokus pada keunikan layanan rumah
sakit, inovasi dan keberanian mengambil resiko.
Tidak tampak perbedaan yang signifikan antara budaya saat ini dan yang
diharapkan berarti penanganan segera belum diperlukan (selisihnya tidak ada yang
melebihi 10 poin). Perubahan terbesar dialami budaya pasar yang diharapkan
dimana mengalami penurunan sebesar 4,17 poin dibandingkan dengan budaya
pasar saat ini. Tampaknya tenaga manajerial tidak mengutamakan pencapaian
target yang agresif dan kompetitif sebagai budaya yang diprioritaskan. Bahkan
ada tendensi budaya pasar menjadi budaya yang diharapkan terlemah (skor
budaya pasar yang diharapkan terkecil dengan skor 19,67 poin saja). Ini
memunculkan pertanyaan kenapa tenaga manajerial tidak mengutamakan
pencapaian target yang agresif sebagai ciri budaya pasar? Apakah ada tendensi
sebagai rumah sakit non profit maka tenaga manajerial RSISAA tidak terlalu
berfokus pada pencapaian target? Diperlukan konfirmasi dengan direktur dan
tenaga manajerial RSISAA untuk menyadari kecenderungan ini sebagai masukan
untuk mereka. Perubahan yang tidak kalah besarnya adalah pada budaya klan
yang diharapkan dimana terjadi kenaikan sebesar 4 poin jika dibandingkan budaya
klan saat ini. Tampaknya tenaga manajerial ingin menguatkan lagi kerja sama,
rasa kekeluargaan dan partisipasi sebagai ciri budaya klan agar mempunyai
kekuatan budaya yang termasuk kuat (selisih budaya klan dengan budaya yang
diharapkan lainnya sebesar 14 poin). Tidak ada perubahan yang berarti pada
budaya hierarki dan adhokrasi (budaya hierarki naik 0,33 poin dan budaya
adhokrasi turun 0,17 poin). Hal ini berarti tenaga manajerial RSISAA merasa
belum diperlukannya perubahan pada aspek keunikan layanan, inovasi,
monitoring serta efisiensi kerja sebagai prioritas.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
6.9. Kongruensi Budaya Antara Tenaga Medis Dan Manajerial
Grafik 6.13 Grafik budaya tenaga medis dan manajerial menurut kerangka
persaingan nilai untuk menunjukkan kongruensi budaya
KONGRUENSI BUDAYA
ANTARA TENAGA
MANAJERIAL DAN MEDIS
Skor
Budaya
tenaga
medis
saat ini
Skor
Budaya
tenaga
manajerial
saat ini
Jarak
Budaya
saat ini
antara
tenaga
medis dan
manajerial
Skor
Budaya
Tenaga
medis yg
diharapkan
Skor
Budaya
tenaga
manajerial
yg
diharapkan
Jarak
Budaya yg
diharapkan
antara
tenaga
medis dan
manajerial
Clan Culture (A) 28,92 29,67 0,74 31,94 33,67 1,72
Adhocracy Culture (B) 23,58 20,50 -3,08 24,27 20,33 -3,94
Market Culture (C) 22,99 23,83 0,85 20,03 19,67 -0,37
Hierarchy Culture (D) 24,31 26,00 1,69 23,75 26,33 2,58
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Tabel 6.11. Skor OCAI rata-rata tenaga medis dan manajerial dan jarak budaya
antar keduanya pada aspek budaya saat ini dan yang diharapkan
Tampak di atas tidak ada perbedaan yang signifikan antara budaya tenaga
medis dan tenaga manajerial, baik pada budaya saat ini maupun budaya yang
diharapkan (selisih antar budaya saat ini dan yang diharapkan kedua tenaga
RSISAA itu kurang dari 10 poin) sehingga bisa dikatakan ada kongruensi yang
cukup baik antara budaya tenaga medis dan tenaga manajerial. Kongruensi budaya
yang baik berimplikasi pada kemungkinan konflik internal yang lebih kecil antara
tenaga medis dan manajerial.
Yang patut diwaspadai adalah adanya tendensi semakin melebarnya jarak
budaya antar tenaga manajerial dan medis terutama pada budaya adhokrasi
dimana tenaga medis lebih menginginkan keunikan layanan medis, dan
kewenangan yang lebih daripada yang diinginkan tenaga manajerial. Hal ini dapat
terlihat dari adanya trend selisih skor budaya yang semakin besar antara tenaga
medis dan manajerial (selisih budaya adhokrasi saat ini sebesar 3,08 poin
membesar pada budaya yang diharapkan menjadi 3,94 poin) sehingga perlu
diantisipasi. Selain itu, jarak budaya juga melebar pada budaya hierarki (selisih
budaya hierarki saat ini 1,69 poin membesar menjadi 2,58 poin pada budaya
hierarki yang diharapkan) dimana tenaga manajerial tampaknya menginginkan
lebih luasnya monitoring, pengawasan dan penekanan pada efisiensi kerja
RSISAA ketimbang tenaga medis yang lebih menginginkan debirokrasi dalam
pengambilan keputusan medis. Sebenarnya jarak budaya antara tenaga manajerial
dan tenaga medis ini pada aspek budaya adhokrasi dan hierarki ini wajar saja,
karena memang tenaga medis biasanya lebih berkonsentrasi pada independensi
pemberian layanan sedangkan tenaga manajerial menekankan pada pengawasan
dan kontrol. Hanya saja jika tidak diantisipasi maka jarak budaya ini dapat
semakin melebar dan pada saatnya nanti bisa saja nantinya menyebabkan
terjadinya inkongruensi budaya serta memperbesar potensi konflik internal
RSISAA. Pada aspek budaya klan juga terjadi pelebaran jarak budaya (selisih
budaya klan saat ini sebesar 0,74 poin membesar menjadi 1,72 poin pada budaya
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
yang diharapkan). Baik tenaga medis maupun tenaga manajerial sama-sama
menginginkan adanya dominasi budaya klan dengan kekuatan budaya yang kuat
dimana tuntutan adanya rasa kekeluargaan, loyalitas dan partisipasi lebih besar
dirasakan tenaga manajerial ketimbang tenaga medis. Tidak ada perbedaan yang
signifikan pada aspek budaya pasar antara tenaga medis dan tenaga manajerial,
bahkan kecenderungannya jarak budaya semakin dekat (selisih budaya pasar saat
ini 0,85 poin turun menjadi 0,37 poin pada budaya pasar yang diharapkan). Dapat
disimpulkan kongruensi budaya antara tenaga medis dan tenaga manajerial cukup
baik dimana perlu diantisipasi semakin melebarnya jarak budaya adhokrasi dan
jarak budaya hierarki antara dua golongan tenaga RSISAA itu.
Intervensi manajerial merujuk budaya organisasi islami
Tampaknya melebar jarak budaya dalam budaya adhokrasi dan hierarki
antara tenaga medis dan manajerial. Hal ini perlu diantisipasi dengan
mendayagunakan nilai-nilai sesuai konsep budaya organisasi islami. Tuntutan
adanya budaya klan yang lebih kuat baik dari tenaga medis maupun manajerial
dapat dimanfaatkan untuk menambah kohesivitas dan rasa kekeluargaan sehingga
dapat mempermudah resolusi konflik internal nantinya. Nilai-nilai budaya
organisasi Islami yang berkorelasi dengan budaya klan adalah :
• Dimensi nilai dan perilaku individu : Ikhlas, Jujur, Menuntut ilmu
dan sabar
• Dimensi nilai dan perilaku antar individu : Ta’awun (kerja tim),
Komunikasi empatik, Musyawarah, Khusnudzon (berprasangka
baik), tidak hasad dan ghibah
• Dimensi nilai dan perilaku kepemimpinan : Qudwah hasanah
(memberi teladan), shidq (benar dalam segala hal), Al Udwiyah
(Interaksi dengan bawahan), Tabligh (komunikator) dan
menumbuhkan iklim ats Tsiqoh (kepercayaan yang memberikan
rasa puas bagi yang dipimpin).
Selain itu untuk tenaga medis yang cenderung menguat budaya
adhokrasinya sebaiknya diberikan pengarahan khusus untuk memperkuat budaya
hierarki pada tenaga medis dengan menekankan nilai budaya organisasi islami
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
yang memperkuat budaya hierarki melalui training khusus atau pengajian islami
yaitu nilai :
• Dimensi nilai dan perilaku individu : Taat pada pemimpin dalam
kebenaran, Istiqomah, dan menghargai waktu
• Dimensi nilai dan perilaku kepemimpinan : Adil, Munazzim
(Organisator), Mu’allim (melek informasi) dan Tidak mubadzir.
Diharapkan dengan begitu tenaga medis akan menjadi lebih terintegrasi dengan
kepentingan organisasi secara lebih seimbang dengan kepentingannya sendiri
secara khusus sebagai tenaga medis yang independen.
Sebaliknya untuk tenaga manajerial yang cenderung menguat budaya
hierarkinya diberikan penataran khusus melalui training SDM atau pengajian
islami untuk memperkuat nilai yang mendukung budaya adhokrasi yaitu :
• Dimensi nilai dan perilaku individu : Kreatif, Optimis, Ihsan dan
Taubat
• Dimensi nilai dan perilaku kepemimpinan : Mubbadarah (kekuatan
inisiatif), Amanah dan Fathonah (memiliki kecerdasan intelektual,
emosional dan spiritual)
Sehingga tenaga manajerial lebih menghargai aspirasi individu dan memperkecil
jarak budaya yang kemungkinan tanpa intervensi akan semakin melebar.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
6.10. Budaya Direktur Rumah Sakit
Grafik 6.14. Grafik budaya organisasi yang dipersepsikan direktur RSISAA
menurut kerangka persaingan nilai
BUDAYA DIREKTUR RUMAH
SAKIT Saat Ini
Diharapka
n
Rata2
saat
ini
Rata2
Diharapka
n
Selisih
rata2
Clan Culture (A) 225 260 37,50 43,33 5,83
Adhocracy Culture (B) 100 75 16,67 12,50 -4,17
Market Culture (C) 75 60 12,50 10,00 -2,50
Hierarchy Culture (D) 205 205 34,17 34,17 0,00
Tabel 6.12. Skor OCAI rata-rata dari direktur RSISAA
Budaya yang dipersepsikan oleh direktur rumah sakit penting untuk
dianalisis karena direktur RSISAA punya peran penting dalam membentuk
budaya organisasi di RSISAA. Dapat dilihat pada budaya saat ini, pihak direktur
RSISAA mempersepsikan adanya dominasi budaya klan dengan kekuatan budaya
yang kuat (skor budaya klan saat ini adalah 37,5 poin dimana selisih terbesar
budaya klan saat ini adalah dengan budaya pasar saat ini sebesar 25 poin).
Tampaknya bagi direktur rumah sakit rasa kekeluargaan, partisipasi pegawai dan
kerja tim sudah cukup kuat mewarnai kinerja RSISAA. Jika dibandingkan dengan
budaya seluruh pegawai ternyata mereka tidak mempersepsikan budaya klan
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
sudah memadai/kuat, dari sini dapat dilihat adanya perbedaan persepsi antara
direktur dan seluruh pegawai mengenai realitas penerapan budaya klan di
RSISAA. Budaya hierarki yang berfokus pada pengawasan, prosedur formal dan
efisiensi organisasi menduduki peringkat kedua setelah budaya klan yang
dipersepsikan oleh direktur RSISAA mendominasi budaya organisasi (skor
budaya hierarki saat ini 34,2 poin). Selain itu juga terdapat budaya adhokrasi saat
ini dengan fokus keberanian mengambil resiko, keunikan layanan rumah sakit dan
kebebasan gerak dengan besar skor 16,67 poin. Budaya paling lemah yang
dipersepsikan oleh direktur RSISAA ada pada budaya saat ini adalah budaya
pasar dengan besar skor hanya 12,5 poin saja, tampaknya direktur RSISAA
menyadari fokus RSISAA paling lemah dalam pencapaian target secara agresif,
kompetisi dan meluaskan pasar. Dapat disimpulkan bahwa budaya saat ini di
RSISAA menurut direktur rumah sakit didominasi dengan budaya klan dengan
kekuatan budaya yang kuat.
Tidak tampak perbedaan yang signifikan antara budaya saat ini dengan
budaya yang diharapkan menurut direktur RSISAA (perbedaan bermakna jika
selisihnya sama atau lebih dari 10 poin). Perubahan terbesar terlihat pada budaya
klan yang mengalami kenaikan sebesar 5,83 poin pada budaya klan yang
diharapkan (besar skornya menjadi 43,33 poin). Tampaknya direktur RSISAA
menghendaki rasa kekeluargaan, kerja tim dan partisipasi yang menjadi ciri
budaya klan diperkuat lagi dan menjadi prioritas utama. Budaya klan yang
diharapkan mendominasi budaya yang diharapkan oleh direktur RSISAA. Budaya
Adhokrasi mengalami penurunan sebesar 4,17 poin pada budaya adhokrasi yang
diharapkan (dengan besar skor 12,5). Tampaknya direktur RSISAA menginginkan
kebebasan gerak dan keunikan cara kerja pegawai RSISAA lebih dikendalikan
agar ada keteraturan dan pengendalian kinerja yang lebih baik. Budaya pasar
mengalami penurunan sebesar 2,5 poin pada budaya pasar yang diharapkan
(dengan besar skor paling rendah yaitu 10 poin) menandakan direktur RSISAA
lebih memprioritaskan pembenahan internal dahulu sebelum berfokus pada
pencapaian target yang agresif. Sedangkan budaya hierarki tidak mengalami
perubahan pada budaya hierarki yang diharapkan, yang menandakan direktur
RSISAA tidak memprioritaskan perubahan pada pengawasan, dan kebijakan
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
formal terlebih dahulu sebagai ciri budaya hierarki. Dapat disimpulkan bahwa
pada budaya yang diharapkan direktur RSISAA tetap menginginkan adanya
dominasi budaya klan dengan kekuatan budaya yang kuat (selisih terbesar budaya
klan yang diharapkan adalah dengan budaya pasar yang diharapkan sebesar 33,33
poin).
6.11. Kongruensi Budaya Direktur RSISAA Dengan Budaya Seluruh
Pegawai
Grafik 6.15.. Grafik budaya direktur dan seluruh pegawai menurut kerangka
persaingan nilai untuk menunjukkan kongruensi budaya
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
KONGRUENSI BUDAYA
ANTARA DIREKTUR RSISAA
DENGAN SELURUH PEGAWAI
Skor
Budaya
Direktur
RSISAA
saat ini
Skor
Budaya
Seluruh
pegawai
saat ini
Jarak
Budaya
saat ini
antara
Direktur
RSISAA
dengan
seluruh
pegawai
Skor
Budaya
Direktur
RSISAA yg
diharapkan
Skor
Budaya
Seluruh
Pegawai yg
diharapkan
Jarak
Budaya yg
diharapkan
antara
Direktur
RSISAA
dan
Seluruh
Pegawai
Clan Culture (A) 37,50 29,05 -8,45 43,33 32,24 -11,09
Adhocracy Culture (B) 16,67 23,05 6,38 12,50 23,59 11,09
Market Culture (C) 12,50 23,13 10,63 10,00 19,97 9,97
Hierarchy Culture (D) 34,17 24,60 -9,57 34,17 24,20 -9,97
Tabel 6.13. Skor OCAI rata-rata dari direktur RSISAA dan seluruh pegawainya
serta jarak budaya antar keduanya pada aspek budaya saat ini dan yang
diharapkan
Tampak adanya jarak budaya saat ini yang cukup signifikan dipersepsikan
antara direktur RSISAA dengan seluruh pegawainya, Inkongruensi budaya saat ini
paling nyata adalah budaya pasar dimana terdapat jarak budaya sebesar 10,63
poin. Tampaknya bagi seluruh pegawai penekanan budaya organisasi terasa kuat
pada pencapaian target secara kompetitif dan agresif sebagai ciri budaya pasar
daripada yang dipersepsikan oleh direktur RSISAA yang justru merasakan aspek
budaya pasar sangat lemah. Pada budaya hierarki juga ada jarak budaya yang
cukup besar antara seluruh pegawai dan direktur RSISAA sebesar 9,57 poin
dimana direktur RSISAA mempersepsikan bahwa pengawasan, kontrol, kebijakan
formal dan efisiensi kinerja sudah cukup kuat sebagai ciri budaya hierarki (besar
skor budaya hierarki direktur saat ini sebesar 34,17 poin) sedangkan bagi seluruh
pegawai justru merasakan budaya hierarki tidak sekuat itu (skor budaya saat ini
seluruh pegawai besarnya hanya 24,6 poin). Pada budaya klan saat ini juga
terdapat perbedaan cukup besar yaitu 8,45 poin antara direktur dan seluruh
pegawai. Direktur RSISAA merasakan bahwa budaya klan yang bercirikan rasa
kekeluargaan, keakraban, partisipasi dan kerja tim sudah mempunyai kekuatan
budaya yang kuat sedangkan bagi seluruh pegawai budaya klan dirasakan masih
lemah. Jarak budaya yang paling kecil adalah pada budaya adhokrasi saat ini
dimana besarnya adalah 6,38 poin antara budaya direktur dan seluruh pegawai.
Tampaknya bagi seluruh pegawai mereka mempersepsikan budaya adhokrasi
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
yang bercirikan kebebasan gerak dan otonomi lebih kuat daripada yang
dipersepsikan oleh direktur RSISAA. Inkongruensi budaya ini menandakan
diperlukannya komunikasi yang lebih intensif antara direktur dan pegawainya
sehingga dapat terjadi kesamaan persepsi yang lebih baik yang dapat menurunkan
terjadinya konflik internal.
Tampak dari budaya yang diharapkan justru terjadi perluasan jarak budaya
antara direktur RSISAA dengan seluruh pegawainya. Hal ini patut diwaspadai
karena jarak budaya yang terjadi cukup signifikan dan berpeluang menyebabkan
konflik internal. Terjadi peningkatan jarak budaya terbesar pada budaya klan dan
budaya adhokrasi yang diharapkan sebesar 11,09 poin. Pihak direktur RSISAA
tampaknya menuntut peningkatan budaya klan yang sangat besar dimana fokus
organisasi adalah pada penciptaan rasa kekeluargaan, kerja tim dan partisipasi
sedangkan seluruh pegawai RSISAA juga menuntut peningkatan budaya klan tapi
tidak sebesar yang diinginkan direktur RSISAA. Hal ini disebabkan fokus yang
diharapkan seluruh pegawai yang menuntut kebebasan gerak dan otonomi sebagai
bagian budaya adhokrasi lebih besar daripada yang diinginkan direktur. Hal ini
bisa menjadi masukan bagi direktur RSISAA bahwa penekanannya pada kerja tim
dan kebersamaan mungkin saja bertentangan secara nyata pada kecenderungan
seluruh pegawai RSISAA agar lebih punya kebebasan gerak dan keunikan. Jarak
budaya yang diharapkan juga cukup besar terjadi pada budaya pasar dan hierarki
yang diharapkan (masing-masing sebesar 9,97 poin). Fokus pencapaian target
yang agresif sebagai ciri budaya pasar justru lebih dituntut oleh seluruh pegawai
(skor budaya pasar yang diharapkan seluruh pegawai 19,97 poin) jika
dibandingkan dengan yang dituntut oleh direktur RSISAA (skor budaya pasar
yang diharapkan direktur RSISAA sebesar 10 poin). Walaupun budaya pasar yang
diharapkan sama-sama menempati posisi paling lemah di antara budaya yang
diharapkan lainnya akan tetapi direktur RSISAA juga harus memperhatikan
adanya jarak budaya ini sehingga tidak melupakan fokus pencapaian target
RSISAA secara lebih nyata. Selain itu tampak juga tuntutan direktur RSISAA
yang besar pada aspek monitoring, kebijakan formal dan kontrol efisiensi kerja
dibandingkan yang dituntut oleh seluruh pegawai sebagai ciri budaya hierarki.
Tampaknya pegawai menginginkan lebih besarnya kebebasan gerak dan
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
debirokrasi ketimbang yang diinginkan oleh direktur RSISAA. Hal ini juga perlu
diantisipasi oleh direktur RSISAA.
Intervensi manajerial merujuk pada budaya organisasi islami
Perbedaan terjadi pada hampir seluruh aspek budaya antara direktur
RSISAA dengan seluruh pegawainya. Adanya inkongruens persepsi budaya saat
ini yang cukup besar antar direktur dan seluruh pegawai mengindikasikan
perlunya dibangun komunikasi yang lebih intensif antara direktur dan
pegawainya. Hasil Survei OCAI ini bisa menjadi alat masukan untuk dilanjutkan
dengan diskusi terbuka antara direktur dan pegawainya untuk mencari dimana
tepatnya terjadi miskomunikasi. Contohnya, apa yang menyebabkan bagi direktur
budaya klan yang bercirikan rasa kekeluargaan dan kerja tim sudah kuat
sedangkan bagi pegawai justru masih lemah? Komunikasi yang intens itu
termasuk nilai sesuai konsep budaya organisasi islami yang berhubungan dengan
dimensi nilai dan perilaku antar individu yang meliputi :
• Ta’awun (kerja tim)
• Komunikasi empatik (sensitif terhadap apa yang dirasakan
anggota organisasi yang lain)
• Musyawarah
• Khusnudzon (berprasangka baik)
• tidak hasad dan ghibah
Bisa jadi jarak budaya antara direktur dan pegawainya yang cukup signifikan ini
akar masalahnya adalah perbedaan persepsi. Dengan bantuan hasil survei OCAI
ini diharapkan sebagai titik awal komunikasi yang lebih baik antara direktur dan
pegawainya yang bisa dilanjutkan dengan diskusi terbuka sehingga bisa diketahui
akar masalahnya.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB VII
KESIMPULA� DA� SARA�
7.1. Kesimpulan
• Budaya organisasi saat ini pada seluruh pegawai RSISAA didominasi oleh
budaya klan yang menitikberatkan pada ciri kekeluargaan dan partisipatif
dengan kekuatan budaya yang masih lemah. Kekuatan budaya yang lemah
disebabkan karena baru beroperasinya RSISAA selama 1 tahun dan masih
dibutuhkan konsolidasi internal. Akan tetapi hal ini juga mengindikasikan
masih adanya peluang merubah budaya organisasi menuju yang diinginkan
rumah sakit karena budaya organisasi masih belum terlalu kuat.
• Adanya tuntutan seluruh pegawai menuju budaya klan yang lebih kuat
dapat mendayagunakan nilai sesuai konsep budaya organisasi islami yang
dikembangkan Alamsyah (2002) dimana yang diprioritaskan dapat
menunjang budaya klan adalah :
� Dimensi nilai dan perilaku individu : Ikhlas, Jujur, Menuntut
ilmu dan sabar
� Dimensi nilai dan perilaku antar individu : Ta’awun (kerja
tim), Komunikasi empatik, Musyawarah, Khusnudzon
(berprasangka baik), tidak hasad dan ghibah
� Dimensi nilai dan perilaku kepemimpinan : Qudwah hasanah
(memberi teladan), shidq (benar dalam segala hal), Al
Udwiyah (Interaksi dengan bawahan), Tabligh (komunikator)
dan menumbuhkan iklim ats Tsiqoh (kepercayaan yang
memberikan rasa puas bagi yang dipimpin).
Tanpa pengabaian pada tipe budaya yang lain, hanya saja nilai ini yang
paling besar korelasinya pada efektivitas organisasi
• Strategi yang dicanangkan RSISAA lebih menitikberatkan budaya pasar
dimana justru budaya pasar paling lemah korelasinya pada efektivitas
organisasi, seharusnya sebagai pilihan strategi dipilih dulu yang sesuai
tuntutan pegawai yaitu dominansi budaya klan dimana nilai budaya
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
organisasi islami yang berkorelasi positif dengan strategi yang tepat
adalah:
� Dimensi nilai dan perilaku individu : Ikhlas, Jujur,
Menuntut ilmu dan sabar� kesemua nilai ini
berfokus pada pengembangan SDM
� Dimensi nilai dan perilaku kepemimpinan : Qudwah
hasanah (memberi teladan), shidq (benar dalam
segala hal), Al Udwiyah (Interaksi dengan
bawahan), Tabligh (komunikator) dan
menumbuhkan iklim ats Tsiqoh (kepercayaan yang
memberikan rasa puas bagi yang dipimpin)�
kesemua nilai ini berfokus pada peningkatan
kepercayaan, keterbukaan dan partisipasi
• Terdapat kongruensi budaya yang baik antar kriteria budaya organisasi.
Pada budaya seluruh pegawai RSISAA saat ini, kongruensi budaya cukup
baik untuk 5 kriteria budaya dimana sama-sama didominasi budaya klan
dengan kekuatan budaya lemah sampai cukup kuat. Pengecualian terjadi
pada kriteria perekat organisasi dimana budaya saat ini didominasi budaya
hierarki dengan kekuatan budaya lemah. Budaya yang diharapkan juga
menunjukkan kongruensi yang baik untuk seluruh kriteria budaya
organisasi. Pada budaya yang diharapkan terjadi kongruensi budaya yang
lebih baik pada seluruh kriteria budaya yang sama-sama didominasi
budaya klan dengan kekuatan budaya cukup kuat sampai kuat.
• Budaya tenaga medis saat ini juga didominasi oleh budaya klan dengan
kekuatan budaya yang lemah. Budaya adhokrasi yang bercirikan
independensi juga cukup tinggi mewarnai budaya tenaga medis saat ini
sebagai ciri khusus tenaga medis.
• Pada budaya saat ini tenaga manajerial didapatkan dominasi budaya klan
dengan kekuatan budaya yang cukup kuat. Budaya hierarki juga dirasakan
cukup tinggi mempengaruhi budaya tenaga manajerial yang berfokus pada
pengawasan, efisiensi dan kebijakan formal sebagai ciri tenaga manajerial
sebagai pengawas dan pengendali kinerja pegawai RSISAA.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
• Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara budaya saat ini dan yang
diharapkan tenaga manajerial yang mengindikasikan perlunya intervensi
manajerial segera. Terdapat tendensi budaya pasar yang diharapkan
menjadi tipe budaya terlemah yang berarti tenaga manajerial lemah dalam
berfokus pada pencapaian target yang agresif. Tampak tenaga manajerial
menginginkan budaya yang diharapkan didominasi budaya klan dengan
kekuatan budaya yang kuat.
• Terdapat kongruensi budaya yang baik antara tenaga medis dan tenaga
manajerial baik dari sisi budaya saat ini maupun budaya yang diharapkan
dimana hal ini berimplikasi pada kemungkinan konflik internal yang lebih
kecil antara keduanya. Adanya tendensi peningkatan jarak budaya antara
tenaga medis dan manajerial pada tipe budaya adhokrasi dan hierarki dapat
diantisipasi dengan menguatkan nilai dan perilaku sesuai konsep budaya
organisasi islami yang mendukung penguatan budaya klan untuk
memperkuat konsensus antara tenaga medis dan manajerial. Selain itu
perlu diadakan pengarahan khusus melalui training SDM atau pengajian
islami tentang nilai budaya organisasi islami yang mendukung budaya
adhokrasi untuk tenaga manajerial dan yang mendukung budaya hierarki
untuk tenaga medis. Diharapkan akan terjadi penurunan jarak budaya dan
konflik internal dapat diantisipasi
• Budaya saat ini dari direktur RSISAA menunjukkan bahwa direktur
RSISAA mempersepsikan adanya dominasi budaya klan dengan kekuatan
budaya yang kuat. Tidak tampak perbedaan yang signifikan antara
persepsi budaya saat ini dan yang diharapkan oleh direktur RSISAA.
Direktur RSISAA lebih memprioritaskan pembenahan internal dahulu
sebelum berfokus pada pencapaian target yang agresif.
• Adanya jarak budaya yang signifikan antara direktur RSISAA dan seluruh
pegawainya menunjukkan adanya ingkongruensi persepsi budaya. Pada
budaya saat ini jarak budaya terbesar pada budaya pasar dimana bagi
seluruh pegawai penekanan budaya masih kuat pada pencapaian target
sedangkan bagi direktur justru merasakan aspek budaya pasar ini masih
lemah. Inkongruensi persepsi budaya ini menandakan diperlukannya
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
komunikasi yang lebih intensif antara direktur dan pegawainya agar
tercipta kesamaan persepsi yang lebih baik dan mengecilkan kemungkinan
terjadinya konflik internal dengan mendayagunakan nilai budaya
organisasi islami yang mendukung berupa :
� Ta’awun (kerja tim)
� Komunikasi empatik (sensitif terhadap apa yang
dirasakan anggota organisasi yang lain)
� Musyawarah
� Khusnudzon (berprasangka baik)
� tidak hasad dan ghibah
7.2. Saran
• Lebih baik diprioritaskan penguatan budaya klan yang berfokus pada rasa
kekeluargaan, kekompakan kerja tim dan partisipasi dari RSISAA karena
sesuai yang diharapkan semua pihak dari tingkat direktur sampai dengan
seluruh pegawai di RSISAA dan lebih mendorong pada konsolidasi
internal dengan mendayagunakan nilai budaya organisasi islami yang
mendukung penguatan budaya klan.
• Studi analisa budaya ini menjadi masukan untuk penyusunan visi, misi dan
nilai-nilai organisasi RSISAA sesuai budaya organisasi islami dengan
urutan prioritasnya
• Membangun komunikasi yang lebih baik dan intensif utamanya antara
direktur RSISAA dengan seluruh pegawainya karena besarnya
ingkongruensi budaya yang ditemukan dan berpeluang memunculkan
konflik internal. Untuk menjalin komunikasi ini maka hasil studi analisa
budaya ini dapat memberikan masukan yang penting.
• Mendayagunakan nilai-nilai Islam karena RSISAA sendiri menyatakan
dirinya sebagai rumah sakit Islam yang dapat menguatkan budaya
organisasi di RSISAA.
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Agung, A.M, Lilik. Dari Budaya Perusahaan ke Budaya Kerja, dalam buku
Corporate Culture, Chalenge to Excellence, editor Moeljono D. Elex Media
Komputindo, 2007
Alamsyah A. Pengembangan Konsep dan Instrumen Budaya Organisasi Islami
Untuk Rumah Sakit bernafaskan Islam, Tesis KARS UI. Depok, 2002
Andersen, Arthur. Penelitian Budaya Organisasi RS Ongkomulyo, Jakarta 1997
Armia, Chairuman. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Efektivitas Organisasi :
Dimensi Budaya Hofstede. JAAI Vol 6 No.1, Juni 2002
Atmosoeprapto, Kisdarto. Produktivitas Aktualisasi Budaya Perusahaan. Jakarta:
Gramedia, 2000
Anonim. Organizational Culture Assessment Instrument Public Administration.
OCAI Online, Mei 31, 2010
Boyne G, Martin S dan Walker R. Explicit Reforms, Implicit Theories And Public
Service Improvement : The Case of Best Value. Local & Regional Government
Research Unit Discussion Paper No 4. 12 Februari 2004
Claudia, Barbul & Liviu, Gavrilescu. Assessment of the Organizational Culture of
the County Emergency Hospital “Dr Constantin Opris” Bai Mare, 2008
Cameron, Kim. A Process for Changing Organizational Culture. Michigan :
University of Michigan Business School, 2004
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Denison. D.R. Corporate Culture and organizational effectiveness. New York :
Wiley Publishing, 1990
Evans, Amanda. Social Work Values and Hospital Cultue : An Examination from
a Competing Values Framework. Orlando, Florida : University of South Florida,
2005
Kotter JP, Heskett JL. Corporate Culture and Performance, Dampak Budaya
Perusahaan Terhadap Kinerja. PT Prehalindo simon & Schuster (Asia) Pte.Ltd.
The Free Press. 1997
Rusnianah, Farida & Haksama, Setya. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap
Tingkat Hunian Rawat Inap. Malang, 2004
Robbins, Stephen. Perilaku Organisasi, Prentice Hall, edisi kesepuluh, 2006
Vogds, Jean C. Perceptions of Organizational Values and Culture at various
Levels of an Organization. University of Winsconsin-Stout, Juli 2001
Waridin, Masrukhin. Pengaruh Motivasi Kerja, Kepuasan Kerja, Budaya
Organisasi dan Kepemimpinan Terhadap Kinerja Pegawai. Ekobis, Vol 7, No 2,
2006
Rondeau KV, Wagar T.H. Hospital Chief Executive officer perceptions of
organizational culture and performance. Hospital topics, 1998
Hofstede G, Neuijen B. Measuring organizational cultures : A Qualitative and
quantitative study across twenty cases. Administrative Science Quarterly. 1990
Ndraha. T. Budaya Organisasi. Jakarta : Rineka Cipta, 2003
Mossop, C. Values Assessment : Key to managing careers. CMA, 1994
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
McMurray, AJ. The relationship between organizational climate and
organizational culture. Journal of American Academy of Business., 2003
Ashforth B.E. Role Transitions in organizational life : An identitiy-based
perspective. Lawrence Erlbaum& Associates, 2001
Maslow AH. Motivation and personality (2nd ed). New York : Harper &
Brothers, 1970
McGregor DM. The Human side of Enterprise. New Yotk : McGraw-Hill, 1960
Tasmara T. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence) : Membentuk
Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional dan Berakhlaq. Jakarta : Gema
Insani Press, 2001
Budaya organisasi..., Sammy Fattah Hidayat, FKM UI, 2011