Upload
sitinihayatun
View
238
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS PAPER SOSIAL & POLITIK
“AS Bertekat Terus Perangi Teroris”
Dosen : Bpk. Ade Basuki, SE.MM
Di Susun Oleh : Siti Nihayatun (Semester VI)
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN LABORA
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas
rahmat dan petunjuk-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan karya tulis berupa
makalah yang berjudul “AS Bertekat Terus Perangi Terorisme”. Paper ini dibuat dalam
rangka menyesesaikan tugas sebagai syarat untuk mengikuti Ujian Tengah Semester
(UTS) Mata Kuliah Sosial & Politik.
Analisis dari tugas paper ini adalah Peristiwa 9 September 2001 yang menggores
luka dalam Presiden Amerika Serikat George W Bush. Sejak itulah, Bush Junior
menyatakan perang terhadap terorisme dan mengerahkan aparatnya untuk memburu
Osama Bin Laden dan para pengikutnya. Hingga kini diteruskan oleh Presiden Amerika
Serikat pengganti George W Bush, yaitu Barack Obama.
Dalam penulisan makalah ini pastilah ada banyak kendala yang saya temui namun
saya berhasil menghadapinya dan menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Akhir kata jika
ada sesuatu pada khususnya kata-kata yang tidak berkenan pada hati pembaca mohon
dimaklumi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Hormat Kami,
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………..………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI…..………………………………………………………………… 3
I. PENDAHULUAN …..………………………………………………………… 5
A. Latar Belakang Masalah …..…………………………………………. 5
B. Perumusan Masalah ………..………………………………………… 8
II. PEMBAHASAN …………………………………………………………….. 10
II.1. Pendekatan Jangka Panjang (Long Term Approach) ……………….. 10
II.2 Tindakan Jangka Pendek (Over Short Term) ………………………… 12
II.3. Respon Majelis Mujahidin Indonesia Terhadap Kebijakan
Memerangi Terorisme AS Beserta Aspek Sosial & Politik …………. 16
IV. PENUTUP……………………………………………………………………. 22
A.Kesimpulan ……………………………………………………………. 21
B.Saran-saran ……………………………………………………………… 23
3
4
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dr. Sukarwarsini Djelantik, Direktur Parahyangan Center for Internasional
Studies (PACIS) mengemukakan bahwa gerakan koalisi dunia yang dikomandoi AS telah
berhasil dilaksanakan. Di level diplomasi, sudah ditandatangani resolusi Dewan
Keamanan PBB yang mewajibkan 189 anggotanya (termasuk Indonesia) untuk
mengakhiri aksi terorisme di dalam negerinya. Dalam lingkup ASEAN, kerjasama juga
dilakukan melalui ASEAN Regional Forum (ARF), yang meliputi bidang keamanan
transportasi barang atau orang dari ancaman terorisme internasional (Thamrin, 2007 : 32-
33).
Berdasarkan Progres Report On The Global War On Terrorism pada September
2003 yang dikeluarkan oleh AS, menyatakan :
1. AS berhasil mempengaruhi 170 negara untuk mendukung perang melawan
terorisme
2. AS juga berhasil menangkap teroris di dunia, dalam laporannya AS menyatakan,
“the United States and Southeast Asia Allies have made significant anvances
againts the regional organization Jamaah Islamiyah (JI) which was
responsible for the Bali attack last October that killed more than 200 people.
In early August 2003, on Indonesia court convicted and sentenced to death a
key JI figure in the bombing”
5
3. AS juga berhasil mensponsori pertemuan G8 untuk mengambil tindakan melawan
kelompok teroris
4. AS juga telah menyediakan dana beasiswa untuk memberikan pemahaman dalam
rangka counter terorisme sebesar $20 juta pertahun (Thamrin, 2007 : 34).
Setelah sukses mempengaruhi negara-negara dunia untuk bersama-sama
memerangi terorisme, juga keberhasilan menanamkan demokrasi di Afghanistan dan
Irak. AS kini menilai bahwa, musuh yang dihadapi bukan hanya terorisme itu sendiri.
Namun, adalah ideologi yang melatari atau mendukung aksi terorisme tersebut. Al-Qaeda
dan Taliban diantara gerakan-gerakan yang menentang AS, dan mereka menggunakan
Islam sebagai ideologi mereka (NSCT, 2006 : 5).
Matthew P. Daley yang merupakan Deputi Assistant Secretary Bureau Of East
Asian And Pacific Affairs Departemen Of States mengatakan bahwa Asia dan Pasifik
merupakan prioritas utama kebijakan luar negeri AS dalam memerangi terorisme pasca
9/11. Oleh karena itu, AS melakukan kerjasama bilateral untuk membentuk Aliansi
bersama dalam memerangi terorisme, diantaranya dengan Jepang, Singapura, Indonesia,
Filipina dan Australia. Kerjasama dalam memerangi terorisme tersebut dilakukan dengan
memberikan bantuan intelijen serta pertukaran data intelijen, menegakan supremasi
hukum, bantuan finansial dan kerjasama militer.
Di Asia Tenggara terdapat lebih dari 200 juta penduduk muslim, hal ini mungkin
memunculkan jaringan dari Al-Qaeda dan juga organisasi teroris regional. Ini menjadi
fokus perhatian AS, sehingga AS mendesak harus ada kerjasama internasional dalam
rangka war on terrorism. Melalui Asia Pacific Economic Cooperation (APEC),
6
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), the ASEAN Regional Forum (ARF)
dan the Pacific Islands Forum (PIF), AS mengkampanyekan perang melawan terorisme.
Untuk kawasan Asia Tenggara, AS menempatkan Australia sebagai bagian penting dalam
perang anti-teror. AS menjadikan Australia sebagai koordinator dalam war on terrorism
dengan memperkuat kinerja kepolisian, keimigrasian dan kemampuan intelijen. Ini
merupakan langkah yang penting bagi AS terhadap bahaya terorisme di kawasan Asia
Tenggara.
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Keberadaan Abu Bakar Ba’asyir yang merupakan pemimpin Jamaah Islamiyah (JI)
membuat AS menempatkan Indonesia sebagai prioritas, pasca Bom Bali dan Hotel JW
Marriot. AS meminta Indonesia untuk menciptakan kebijakan anti-terorisme untuk
memerangi terorisme di dalam negeri, karena menurut AS terorisme di Indonesia sama
halnya dengan terorisme di Timur Tengah yakni adanya keinginan sekelompok golongan
keagamaan ekstrimis dan radikal untuk mengganti sistem politik di Indonesia dengan
ideologi Islam.
hal yang terpenting harus dilakukan adalah menciptakan Organisasi Muslim
Moderat untuk dapat menyampaikan bahwa kekerasan serta upaya kelompok ekstrimis
adalah salah. Selain itu, Matthew P. Daley juga menyatakan bahwa kerjasama AS-
Indonesia untuk memerangi terorisme telah dilakukan untuk memperkuat kemampuan
Indonesia dalam memerangi terorisme. Program-program AS untuk Indonesia
diantaranya adalah kerjasama kepolisian, mengembangkan hukum, dan bantuan keuangan
baik bantuan sosial maupun bantuan bagi militer
7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut Masalah terorisme merupakan ancaman besar
bagi keamanan Amerika Serikat (AS). Oleh karena itu, pemerintah AS harus segera
menemukan cara untuk mengatasi ancaman terorisme. Untuk menciptakan keamanan
yang kondusif AS harus memiliki strategi yang efektif untuk mengatasi masalah ini, yang
merupakan masalah yang sangat vital bagi keamanan nasional AS.
Masalah terorisme, sama pentingnya seperti masalah keamanan AS yang lainnya,
seperti yang telah disebutkan dalam National Security Strategy (NSS) AS, baik itu
masalah senjata pemusnah massal (WMD) serta Keamanan Nasional (Homeland
Security). Sehingga untuk memerangi terorisme, pemerintah AS melakukan upaya-upaya
untuk memenangi perang melawan terorisme. Seperti menciptakan strategi yang tepat
untuk memenangi perang melawan terorisme tersebut.
Perang melawan terorisme yang diserukan AS tersebut, bukanlah hal yang sangat
mudah. Walaupun saat ini, AS sebagai negara adidaya dengan kekuatan Militer yang tak
dapat ditandingi oleh negara manapun. Untuk memenangi perang ini, AS menemukan
strategi yang tepat dalam upaya untuk mengatasi segala ancaman. Oleh karena itu, pasca
serangan 9/11 AS mengeluarkan National Security Strategy (NSS) tahun 2002, dan salah
satu Pasal atau Point dalam NSS tersebut menyatakan dengan tegas bahwa AS bersama
Aliansi akan memerangi terorisme.
Presiden AS, George W. Bush dalam kajian mengenai perang melawan terorisme,
menyatakan bahwa terdapat Dua pilar penting yang dikedepankan, yakni :
1. Mempromosikan secara terus menerus tentang kebebasan, keadilan, dan Hak
Asasi Manusia (HAM).
8
2. Melakukan konfrontasi secara agresif bagi siapa saja yang menentang
demokrasi tersebut (Thamrin, 2007 : 31).
Atas dasar tersebut, AS akan senantiasa memerangi terorisme, baik yang
bermotif politik, agama maupun ideologi yang mendukung terorisme, dengan
menggunakan seluruh kemampuan AS. Enam bulan pasca AS mengeluarkan
NSS, pemerintah AS kemudian mengeluarkan National Strategy For Combating
Terrorism (NSCT) dalam rangka memerangi terorisme.
Melalui strategi ini, AS menetapkan langkah-langkah serta upaya-upaya
apa saja yang dapat dilakukan, untuk memerangi masalah terorisme. Karena bagi
AS masalah terorisme sangat membahayakan kepentingan AS baik di dalam
maupun di luar negeri dan terorisme jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai
yang diperjuangkan AS, yakni Demokrasi yang memberikan tempat yang tinggi
bagi kebebasan dan Hak asasi manusia.
Pada akhirnya, untuk memerangi terorisme internasional, seluruh
perangkat pertahanan AS dikerahkan, termasuk didalamnya melakukan kerjasama
bilateral dengan banyak negara untuk bersama-sama memerangi terorisme. Hal ini
yang kemudian menjadikan AS untuk mendeklarasikan Gerakan Koalissi Dunia
dalam memerangi terorisme atau Global War Againts Terrorism. Melalui gerakan
tersebut dengan segenap kekuatan nasional maupun internasional dengan
dikomandoi oleh AS dengan cara, diplomasi, intelijen, keuangan, bantuan militer
serta bantuan pangan (Thamrin, 2007 :30)
9
II. PEMBAHASAN
dalam NSCT 2006, AS melaksanakan 2 pendekatan untuk memerangi terorisme
internasional, yakni Jangka Panjang dan Jangka Pendek. Langkah-langkah yang diambil
ini merupakan bagian dari upaya AS memerangi terorisme internasional dan
mengkampanyekan demokrasi yang dianut AS. Demokrasi disebut AS sebagai jalan
untuk menghilangkan terorisme, maka dalam pendekatan jangka panjangnya, adalah
penerapan demokrasi yang efektif sehingga dapat menghalangi munculnya kondisi
ataupun situasi yang mendukung tindakan terorisme.
II.1. Pendekatan Jangka Panjang (Long Term Approach)
Solusi jangka panjang untuk memenangkan terorisme ini merupakan salah satu
upaya AS untuk menghilangkan bibit-bibit terorisme. Sesuai dengan strategi AS, bahwa
untuk memenangkan perang terorisme adalah mengefektifkan Demokrasi terhadap
seluruh negara-negara di dunia. Bagi AS yang merupakan negara Demokrasi, demokrasi
dapat mencegah tumbuhnya terorisme. Namun, Pemerintah AS juga mengindikasikan
bahwa, demokrasi juga tidak menutup kemungkinan munculnya terorisme. Karena di
beberapa negara demokrasi pun, memunculkan kelompok-kelompok atau etnis yang
memahami dan memanfaatkan kebebasan yang diberikan demokrasi (NSCT 2006 : 10).
Hal tersebut yang dipandang pemerintah AS sebagai akar masalah terorisme di negara-
negara yang tidak demokrasi. Walupun demokrasi sekalipun dapat memunculkan sikap
atau aksi terorisme. Namun, AS berpendapat bahwa untuk menciptakan harapan baru
bagi masa depan yang lebih adil adalam melalui demokrasi. Oleh karena itu,
10
Demokratisasi dan HAM kemudian dijadikan Agenda sebagai perlawanan terhadap
ancaman terorisme.
Demokratisasi kemudian berkembang menjadi perang melawan terorisme. Dan tampilnya
Islam sebagai ideologi yang dibawa oleh kelompok-kelompok teroris, menempatkan
umat Islam termasuk di Indonesia masuk kedalam perang yang dikumandangkan oleh
AS. Islam dianggap sebagai ancaman terbesar bagi masa depan demokrasi. AS
berkeyakinan bahwa demokratisasi harus tetap diperjuangkan demi mas depan umat
manusia. Demokratisasi juga tidak harus selalu dilakukan dengan cara-cara diplomasi,
tetapi juga dapat menggunakan kekuatan militeristik, seperti upaya yang dilakukan AS
dan sekutunya terhadap Afghanistan dan Irak (Thamrin, 2007 : 20-21).
Demokratisasi juga tanpa terkecuali dilakukan terhadap negara demokrasi, dalam
arti membangun demokrasi yang efektif. Indonesia sebagai negara demokrasi dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia, tidak lepas dari pengamatan AS. AS menilai,
Indonesia merupakan wilayah yang sangat potensial bagi berkembangnya terorisme yang
akan mengancam demokrasi (Thamrin, 2007 : 21). Dalam upaya mendukung demokrasi
yang efektif, pemerintah AS sesuai dengan laporan yang diberikan Rand Coorporation
mengenai analisis serta strategi yang dapat digunakan di Indonesia melakukan upaya
demokratisasi. Rand Coorporation merupakan kelompok Think-Thank AS yang
memberikan laopran serta mendukung kebijakan-kebijakan Gedung Putih. Selain
mengelompokan Islam kedalam beberapa kelompok, Rand Coorporation juga
membenturkan satu pihak dengan pihak lainnya, baik pemikiran ataupun usaha yang
dilakukan.
11
II.2 Tindakan Jangka Pendek (Over Short Term)
Untuk dapat memberikan ruang untuk menjalankan pendekatan Jangka Panjang
dalam memerangi terorisme, maka terlebih dahulu harus ada langkah Jangka Pendek
yang diambil. Dalam tindakan memerangi terorisme Jangka Pendek, AS menempatkan 4
prioritas utama (Four Priorities of Action), yakni Pertama, mencegah serangan dari
kelompok teroris (prevent attack by terrorist network). Kedua, menghilangkan
penggunaan terhadap senjata pemusnah massal oleh negara rogue dan kelompok teroris
(deny WMD to rogue states and terrorist allies who seek use them). Ketiga,
menghilangkan negara rogue yang mendukung dan melindungi para teroris (deny
terrorist the support and sanctuary of rogue states). Dan Keempat, menghilangkan
kelompok teroris dari negara-negara dimana mereka berada dan tempat melakukan aksi
terorisme (deny terrorist control of any nation they would use as a base and launching
pad for terror) (NSCT, 2006 : 11).
Dalam memerangi masalah terorisme, AS tentu tidak dapat berjalan sendirian, hal
ini akan menjadi masalah internasional karena terorisme dapat terjadi di negara manapun.
Serangan yang terjadi pada AS, dilakukan oleh jaringan teroris internasional yakni Al-
Qaeda yang bertempat di Afghanistan. Oleh karena itu, untuk dapat mencegah tindakan
terorisme maka perlu adanya komitmen bersama untuk memerangi terorisme bersama-
sama (NSCT, 2006 : 11).
Salah satu langkah AS yakni mencegah serangan teroris. Dalam hal ini, AS
melakukan kerja sama dengan negara-negara dunia untuk bersama AS memerangi
terorisme. Kerjasama bilateral maupun multilateral telah dilakukan oleh AS dengan
12
banyak negara. Melaluli kerangka kerjasama tersebut, AS berupaya memerangi terorisme
internasional. Beberapa kerjasama diantaranya, internasional AS bersama dunia
internasional yaitu, Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), partnership U.S-
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), the ASEAN Regional Forum (ARF)
dan the Pacific Islands Forum (PIF). Selain itu kerjasama bilateral dengan negara-negara
Sahabat maupun Aliansinya juga telah ditingkatkan (Daley, Increased Cooperation
Needed to Combat Transnational Terrorism dalam http://www.america.gov/st/washfile-
english/2003/October/20031029163709esrom0.3230097.html diakses 20 Juli 2010).
Dalam kerjasama bilateral pemerintah AS juga memberikan bantuan kepada negara-
negara lainnya. Berkaitan dengan hubungan AS-Indonesia dalam rangka kerjasama
kontra terorisme, pemerintah AS memberikan bantuan militernya melalui foreign military
financing (FMF), international military and education training (IMET), expanded
international military and education training (E-IMET), joint military execise and other
activities, dan regional defense counterterrorism fellowship program (CTFP).
Pemerintah AS dengan seluruh kekuatan nasional maupun internasionalnya akan
terus memerangi terorisme, baik dengan mempengaruhi suatu negara, melakukan
kerjasama bahkan penggunaan kekuatan militer bila diplomasi gagal dilaksanakan.
Sehingga tidak ada tempat bagi teroris untuk melakukan tindakan terorisme.
Perkembangan dan kemajuan teknologi yang begitu pesat telah mendukung
perkembangan senjata pemusnah massal. Kekhawatiran akan kepemilikan senjata
pemusnah massal oleh negara-negara yang mendukung keompok terorisme atau jatuh
ketangan teroris akan dapat mengancam keamanan dunia internasional.
13
Kepemilikan senjata pemusnah massal, baik senjata nuklir, senjata biologi maupun
senjata kimia oleh kelompok teroris atau negara-negara yang memusuhi AS akan dapat
menjadi ancaman bagi keamnan AS maupun bagi dunia internasional. Untuk itu, AS
perlu mencegah kepemilikian senjata pemusnah massal oleh para teroris. Dalam hal ini,
AS mengeluarkan strategi untuk memerangi senjata pemusnah massal oleh negara atau
kelompok teroris. U.S National Strategy to Combat Weapon of Mass Destruction (WMD)
merupakan langkah strategis AS untuk memerangi kepemilikan senjata pemusnah massal
ketangan teroris. Negara-negara yang memiliki atau mengembangkan senjata nuklir,
terutama negara musuh AS, tidak akan diizinkan untuk memiliki senjata pemusnah
massal. Bahaya akan jatuhnya senjata tersebut kepada kelompok teroris akan mengancam
dunia.
Kelompok teroris telah menempati tempat-tempat strategis untuk melakukan aksi
terorisme. Seperti halnya Al-Qaeda yang didukung rezim Taliban di Afghanistan.
Keberadaan kelompok teroris disuatu tempat serta dukungan dari suatu rezim
pemerintahan, membuat kekhawatiran akan bahaya keamanan internasional. Teroris
dapat mengontrol suatu wilayah dibawah dukungan pemerintah, akan sangat berbahaya
bagi keamanan. Untuk itu, AS akan memerangi kelompok teroris dimana mereka tinggal
dan dimana tempat mereka melakukan operasi terorisme serta menghilangkan kontrol
teroris terhadap suatu negara.
Jajak pendapat terbaru menunjukkan, popularitas Obama meningkat
setelah Osama tewas. Popularitas Obama naik 11 poin menjadi 57% dalam polling
CBS/New York Times. Obama mendapatkan 72% dukungan terkait caranya mengatasi
terorisme.
14
Kalau pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) dihelat hari ini, bisa dipastikan
Barack Obama bakal melenggang menuju masa jabatan kedua tanpa pesaing. Semua
gara-gara keberhasilan tim pasukan khusus AS menewaskan Osama bin Laden di
Abbotabad, Pakistan. Kematian Osama itu memang sungguh datang pada saat yang tepat
bagi Obama. Yaitu, saat popularitasnya anjlok dan dianggap sebagai pemimpin militer
yang lemah. Belum lagi tuduhan pemalsuan sertifikat kelahiran yang diembuskan
pengusaha ternama yang berambisi maju dalam Pilpres AS 2012, Donald Trump. Bulan
lalu, menurut polling yang dihelat Reuters/Ipsos sebagaimana dikutip The Guardian,
hanya 17 persen warga AS yang menganggap pria berdarah Kenya itu sebagai pemimpin
yang kuat. Sebanyak 48 persen lainnya menyebut Obama sebagai pemimpin yang terlalu
berhati-hati dan 36 persen lainnya mengasumsikan dia sebagai pemimpin yang tak bisa
mengambil keputusan. Masih pada bulan lalu, jajak pendapat lainnya oleh Rasmussen
memperlihatkan, 49 persen responden tidak setuju dengan kepemimpinan Obama. Itu
merupakan angka terendah sejak ayah dua anak tersebut menjabat. Keberhasilan
menewaskan Osama itu sekaligus berarti suami Michelle tersebut memenuhi janjinya
pada masa kampanye dulu. Ketika itu, dia menegaskan bahwa menangkap atau
melenyapkan Osama bakal menjadi prioritasnya.
15
II.3. Respon Majelis Mujahidin Indonesia Terhadap Kebijakan Memerangi
Terorisme AS Beserta Aspek Sosial & Politik
Pelumpuhan gerakan Islam pasca tragedi WTC 9/11 merupakan justifikasi bagi
AS untuk melumpuhkan gerakan Islam yang dianggap sebagai jaringan terorisme di
seluruh dunia, termasuk Indonesia. Perang melawan terorisme hanya sebuah dalih untuk
membasmi gerakan Islam yang dianggap mengancam kepentingan AS. Salah satu
caranya adalah melalui pembunuhan karakter (character assasinations) dengan
pencitraan negatif terhadap organisasi Islam seperti cap organisasi teroris melalui media
massa.
Menurut Noam Chomsky, pemburukan citra Islam adalah bagian dari upaya Barat
untuk menata dunia sesuai kepentingan mereka. Barat mengklaim sebagai pemegang
supremasi kebenaran, sedangkan yang menentang dianggap sesat dalam hal ini adalah
Islam maupun Komunitas Islam. Dan media massa hanya sekedar pembentuk makna,
karena kesan buruk tentang Islam harus diciptakan agar penindasan mendapat persetujuan
dari masyarakat dunia. Pembentukan opini publik tentang gerakan Islam sebagai
ancaman dapat memberikan legitimasi dan justifikasi bagi AS dan Sekutunya untuk
memerangi siapa saja yang mengusung bendera Islam. Sebagai contoh adalah Al-Qaeda
dan Rezim Taliban di Afghanistan, yang mula-mula dianggap organisasi teroris
kemudian AS dan Aliansinya melakukan serangan militer (Romli, Islam Indonesia dalam
Demonologi Amerika, dalam : http://alislamu.com/content/view/28/10/ diakses 8 Juni
2010).
16
Menurut Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin, Fauzan
Anshari bahwa agenda perang melawan terorisme tersebut adalah milik AS dan
Sekutunya. Perang melawan terorisme seakan-akan menjadi isu global demi kepentingan
global. Hal ini dijadikan AS sebagai alat untuk menekan negara-negara yang lemah.
Kebijakan melawan terorisme tersebut sangat mengkhawatirkan ketika terorisme
kemudian dipersepsikan sama dengan radikalisme (keras). Penempatan kelompok-
kelompok Islam garis keras dalam daftar teroris oleh AS, membuat opini bahwa ada
kepentingan terselubung (hidden agenda) yang berusaha ingin dicapai oleh pemerintah
AS dan sekutu-sekutunya.
Menurut Irfan S. Awwas ketua umum Lajnah Tanfidziah Majelis Mujahidin
Indonesia menyatakan bahwa, kebijakan War On Terrorism adalah sebuah bentuk
imperealisme model baru oleh negara-negara Barat, terutama AS. Sejak dahulu Barat
telah menjajah negara-negara di dunia untuk kepentingan mereka, khususnya negara-
negara Islam yang dianggap bertentangan dengan mereka. Kebijakan tersebut hanyalah
kedok untuk melakukan pembenaran atas tindakan mereka (Barat) atas nama keadilan
dan HAM mereka menjadikan isu terorisme sebagai senjatanya (Awwas, Wawancara 29
Juli 2010).
Cap teroris yang disematkan AS, mengarah kepada Organisasi-Organisasi Islam
serta tokoh-tokoh Islam. Munarman mantan ketua YLBHI mengatakan bahwa perang
yang dikumandangkan AS ini sangat jelas mengarah pada perang melawan Islam, karena
sesuai dengan data intelijen mereka bahwa sistem pemerintahan Islam dapat menjadi
ancaman bagi sistem global. Sehingga untuk membendung hal tersebut, maka Islam harus
dilawan. Namun, AS tidak dapat secara langsung menyatakan perang terhadap Islam
17
karena dapat menimbulkan perlawan dari umat Islam. Sehingga bentuk perlawanan AS
adalah melalui skema perang melawan terorisme global, yang merujuk pada perang
melawan Islam (Thamrin, 2007 : 35).
Isu terorisme yang dibawa AS, yang dianggap memerangi Islam secara tidak
langsung juga ditanggapi oleh Wakil Amir Majelis Mujahidin, Ustadz Abu Jibril sebagai
perang melawan Islam. Beliau menyatakan bahwa Sebenarnya isu memerangi terorisme
yang dilancarkan Amerika dan Sekutu-sekutunya adalah perang melawan Islam dan
kaum Muslimin. Musuh-musuh Islam mencoba membidik Islam dan kaum Muslimin
dibalik isu terorisme. Barat takut dengan bangkitnya kaum Muslimin, sehingga AS dan
Sekutu-sekutunya berusaha sekuat tenaga dan dengan berbagai macam cara untuk
menghancurkan kebangkitan kaum Muslimin, salah satunya dengan melancarkan perang
melawan terorisme. Dan tidak mengherankan ketika Barat dan tokoh-tokoh lainnya
kemudian menggeneralisasikan terorisme dengan penerapan syariat Islam serta
mendirikan Daulah Islamiyah. Karena, tujuan AS dan Sekutunya adalah melemahkan
umat Islam Indonesia sehingga Islam tidak bisa bangkit menjadi sebuah kekuatan yang
besar yang dapat mengancam kepentingan maupun hegemoni AS di dunia.
Irfan Awwas juga menentang berbagai upaya AS dalam memerangi terorisme,
yang menurutnya jelas ingin menghancurkan Islam. beliau menyatakan bahwa untuk
menghancurkan Islam mereka berupaya mengkonfrontir Islam dengan umat Islam itu
sendiri. Pemberian label atau cap negatif terhadap Islam adalah bagian dari upaya Barat.
Istilah-istilah radikal, fundamental, militan, moderen atau moderat, sekuler dan
tradisional dilakukan supaya Islam dapat terpecah-pecah kedalam beberapa kelompok
sehingga menjadi lemah.
18
Stigmanisasi terhadap Islam maupun kelompok-kelompok Islam ini yang nantinya
dapat menciptakan citra buruk bagi kelompok atau gerakan-gerakan Islam tertentu,
seperti cap radikal (Awwas, Wawancara 29 Juli 2020). Hal ini jelas mengkhawatirkan,
karena menurut MMI, Islam itu satu dan menolak istilah-istilah yang digunakan terhadap
Islam. Dan MMI sendiri yang selalu dikaitkan dengan cap radikal, militan maupun
fundamental mendapat citra yang buruk dari umat Islam sendiri. Istilah radikal ataupun
militan identik dengan citra yang negatif, sedangkan Islam yang moderen atau moderat
dianggap Islam yang baik. Dalam berbagai kesempatan MMI selalu menantang kepada
kelompok atau gerakan-gerakan Islam yang mengatasnamakan dirinya sekuler, moderen
ataupun moderat untuk bersama-sama dan berdialog mengenai istilah tersebut namun
tidak mendapatkan respon. MMI tidak memusuhi mereka yang menganggap dirinya
moderen, moderat atau tradisional, karena sesama muslim itu saudara, tetapi MMI
memerangi mereka yang memerangi Islam (Awwas, Wawancara 29 Juli 2010).
Mengenai upaya AS untuk memodernisasi atau memoderatkan Islam, jelas MMI
sangat menolak modernisasi atau bahkan menerima demokrasi yang ditawarkan AS.
Menurutnya Islam apa yang akan dimodernisasi, karena Islam sejak masa Rosulullah itu
sama, dasar dari Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Menurut Irfan Awwas, apakah
karena ingin menegakan syariat Islam maka MMI harus dimodernisasi, kemudian karena
melaksanakan Jihad harus dimodernisasi. Menegakan syariat Islam itu wajib hukumnya
bagi setiap muslim dan berjihad itu merupakan sebuah jalan (Awwas, Wawancara 29 Juli
2010).
Kebijakan war on terrorism tersebut arahnya jelas, memerangi ummat Islam dan
membunuh semangat jihad ummat Islam yang berjihad menegakkan Syari’ah Allah
19
dimuka bumi. Perang melawan teroris adalah perang melawan umat Islam yang berjihad
dijalan Allah. Undang-undang anti teroris dan terorisme adalah undang-undang legal
formal yang dibuat zionis dan imperialis Barat untuk memerangi ummat Islam. Dalam
suasana aman dan damai dipihak mereka, melalui kebijakan dan undang-undang anti
teror tersebut Barat mampu membunuh ratusan hingga ribuan ummat Islam di seluruh
dunia tanpa ada korban yang berarti dipihak mereka atau jika ada sangat sedikit
dibandingkan jika terjadi , perang terbuka antara ummat Islam dan kaum Barat dimedan
terbuka Dalam penanggulangan isu terorisme di Indonesia, Irfan juga mengecam cara-
cara penangkapan teroris yang dilakukan oleh Densus 88. Tindakan yang dilakukan polisi
sudah menimbulkan teror tersendiri bagi masyarakat. Pemerintah maupun polisi
seharusnya bertindak obyektif dan proporsional. Hal tersebut dapat menghambat umat
Islam dalam menjalankan ajaran agamanya serta menghasut sesama warga negara untuk
saling mencurigai berdasarkan identitas agama. Beliau juga menolak secara tegas
stigmatisasi konsep terorisme dengan ajaran-ajaran Islam maupun terhadap ayat-ayat
mengenai jihad dalam Al Qur’an . Menurut Majelis Mujahidin, langkah-langkah
pemerintah melalui operasi aparat hukum maupun intelijen terhadap para da’i dan aktifis
dakwah yang dikaitkan dengan pemberantasan terorisme tidak lagi bertindak atas nama
Negara, tetapi atas kepentingan pihak yang menginginkan disharmonisasi pemerintah
dengan rakyat Muslim, baik dari dalam negeri maupun pihak Asing. Untuk itu
pemerintah semestinya tidak terprofokasi bahkan di tekan oleh pihak-pihak tertentu yang
menginginkan terjadinya disharmonisasi didalam masyarakat
20
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari
Terosrime yang ada di Dunia khususnya Di Amerika dalam rangka pemerintah yang
ingin memberantas terorisme, bahwa :
1. Upaya demokratisasi yang dilakukan AS melalui kebijakan war on terrorism-nya,
telah merusak pola pikir umat Islam. AS juga berupaya mengkonfrontir
pemikiran-pemikiran fundamentalis seperti Majelis Mujahidin dengan nilai-nilai
demokrasi dana dengan nilai-nilai kelompok atau organisasi Islam yang lebih
moderen dan menerima budaya Barat. Pencitraan terhadap suatu gerakan Islam
oleh AS tersebut sehingga menyulitkan pengkaderan, karena pemikiran umat
Islam telah dujauhkan dari pola pikir yang Islami
2. kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan
strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode
Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror
bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah
merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes
against peace and security of mankind), dan bersifat merenggangkan Aspek social
dalam masyarakat, sehingga patutlah jika AS berusaha untuk mengatasi terror
yang terjadi di masyarakat.
21
3. popularitas Obama meningkat setelah Osama tewas. Popularitas Obama naik 11
poin menjadi 57% dalam polling CBS/New York Times. Obama mendapatkan
72% dukungan terkait caranya mengatasi terorisme, ini memunculkan banyak
anggapan miring juga dari kalangan elit politik, apakah terorisme di AS adalah
alat untuk memperkuat pemerintahan nya dengan
4. namun disisi lain kerjasama yang dilakukan AS dalam berupaya memerangi
terorisme internasional. Terdapat Beberapa kerjasama diantaranya, internasional
AS bersama dunia internasional yaitu, Asia Pacific Economic Cooperation
(APEC), partnership U.S-Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), the
ASEAN Regional Forum (ARF) dan the Pacific Islands Forum (PIF). berarti
upaya AS dalam memerangi terorisme dapat mendekatkan atau menyatukan
negara-negara lain dan menyatukan tujuan bersama yaitu dalam berkerjasama
memerangi terorisme.
22
B. Saran-Saran
Dari kesimpulan sebagaimana tersebut di atas maka ada beberapa hal yang dapat
diajukan sebagai saran dalam upaya untuk pemberantasan terorisme di Amerika
adalah
1. Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh
sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk
Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional
serta perbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal
(criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif
terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.
2. Pengertian mengenai gerakan Islam radikal, harus dinilai ulang sehingga
persepsi mengenai gerakan Islam radikal tidak selalu negatif seperti yang
dipersepsikan AS, yang selalu dikaitkan dengan terorisme. Sehingga,
gerakan Islam radikal dinyatakan sebagai gerakan perlawanan terhadap
demokrasi. Namun, pada dasarnya gerakan Islam tersebut hanya ingin
menegakan system serta tata nilai yang sesuai dengan Islam. Oleh karena
itu, beberapa gerakan Islam berusaha untuk menegakan syariat Islam,
yang oleh Barat dan umat Islam yang lainnya dicap radikal, fundamental,
ekstrimis atau militant.
3. langkah-langkah pemerintah melalui operasi aparat hukum maupun
intelijen terhadap para da’i dan aktifis dakwah yang dikaitkan dengan
23
pemberantasan terorisme tidak lagi bertindak atas nama Negara, tetapi atas
kepentingan pihak yang menginginkan disharmonisasi pemerintah dengan
rakyat Muslim, baik dari dalam negeri maupun pihak Asing. Untuk itu
pemerintah semestinya tidak terprofokasi bahkan di tekan oleh pihak-
pihak tertentu yang menginginkan terjadinya disharmonisasi didalam
masyarakat.
24