22

Click here to load reader

Tugas Isu Politik Kontemporer

Embed Size (px)

DESCRIPTION

iuytjhgghjhghj

Citation preview

Page 1: Tugas Isu Politik Kontemporer

UJIAN MATRIKULASI

KONSEP DASAR ILMU POLITIK

DOSEN : Dr. RENI WINDIANI, MS.

oleh

NAMA : LISMAN SETIAWAN

NPM : 14010113410002

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

MAGISTER ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2013

1

Page 2: Tugas Isu Politik Kontemporer

2

Page 3: Tugas Isu Politik Kontemporer

1. Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna

menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan,

kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh[1] [2] atau

kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau

kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau

Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku

sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).

Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja,

kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah

kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang

kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan

untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi

perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yg

tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada yg

diperintah. Manusia berlaku sebagau subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Contohnya

Presiden, ia membuat UU (subyek dari kekuasaan) tetapi juga harus tunduk pada UU (objek

dari kekuasaan).

Selanjutnya pengertian dari Authority atau otoritas/wewenang. Menurut Robert Bierstedt

dalam karangannya An Analysis of Social Power mengatakan bahwa wewenang (authority)

adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan).[1] Kekuasaan yang hadir

dan telah ada tentunya membutuhkan sebuah faktor pendukung lain dalam

pelaksanaannya, dan tentunya juga butuh sebuah pengaturan yang terstruktur sehingga

tidak amburadul dan tidak jelas mana yang memiliki hak berkuasa dan mana yang tidak.

Hampir sama dengan yang apa disampaikan oleh Robert Bierstedt, Harold D. Laswell dan

Abraham Kaplan dalam buku Power and Society mengatakan bahwa wewenang itu adalah

kekuasaan yang formal. Formalnya sebuah kekuasaan membuat kekuasaan memiliki

3

Page 4: Tugas Isu Politik Kontemporer

wewenang dan hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan serta memiliki

otoritas untuk memberikan sanksi bila aturan atau perintah tersebut dilanggar dan tidak

dilaksanakan. Namun, walau telah ada kekuasaan dan telah dilembagakan atau sah, masih

ada faktor lain untuk dapat dengan efektif dan mengurangi pemaksaan dan kekrasan dalam

pelaksanaannya. Sebuah kekuasaan tentunya harus memiliki pengakuan atau keabsahan.

Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada

pada seseorang, kelompok, atu penguasa adalah wajar dan patut dihormati.[2]

Keberadaan MNC di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik bangsa. Kalau kita flash

back sejenak, kita bisa bagi kondisi politik Indonesia menjadi 3 era, yaitu: Soekarno,

Soeharto, dan Post-Soeharto. Era Soekarno, tidak ada sama sekali MNC di Indonesia. Di

era Soeharto, justru sebaliknya, MNC begitu mudahnya masuk, tumbuh dengan subur dan

berkembang pesat. Bisa dikatakan, Soeharto-lah yang membawa MNC masuk Indonesia

lewat keberadaaan UU no.1/1967 mengenai Penanaman Modal Asing. Pada masa itu,

segala sesuatu ditentukan dan diputuskan oleh Soeharto, mulai dari Pemilu, Hukum, bahkan

siapa saja MNC yang boleh masuk ke Indonesia, semua dibawah kendali Soeharto. MNC

yang masuk betul-betul dilindungi oleh Soeharto, dan yang bisa masuk hanya yang punya

hubungan dengan Soeharto. Tidak heran, pada masa itu MNC bisa tumbuh dengan pesat,

dan pertumbuhan MNC juga yang menumbuhkan ekonomi Indonesia pada masa itu. Pada

masa itu, semua perusahaan besar baik dari dalam maupun luar negeri, pasti terkait dengan

Soeharto. Semua perjanjian antara pemerintah dengan MNC dilakukan tanpa melalui

birokrasi rumit, tapi melalui orang-orang dalam Soeharto. Dan, pada masa itu, semua

perjanjian yang dibuat adalah merugikan bangsa Indonesia, pemerintahan, tapi

menguntungkan bagi ‘orang-oranmgnya’. Tidak heran, pada masa itu Indonesia miskin, tapi

orang-orangnya kaya.

Kehadiran penanaman modal asing di negara kita bukan merupakan sesuatu yang baru bagi

negara dan masyarakat Indonesia. FDI sempat menjadi primadona dalam mitra

4

Page 5: Tugas Isu Politik Kontemporer

pembangunan saat negara kita melaju pada tingkat percepatan pertumbuhan ekonomi yang

tinggi di atas 7% per tahunnya — saat sebelum krisis perekonomian terjadi. Bersama-sama

dengan investasi masyarakat dan PMDN, penanaman modal secara keseluruhan telah

tumbuh rata-rata sekitar 10,% per tahun pada periode 1991-1996 dengan kontribusi hampir

mencapai 30 % terhadap Produk Domestik Bruto.

          Kinerja penanaman modal yang kurang baik sejak 1996 menyebabkan lambannya

proses pemulihan ekonomi negara kita beberapa tahun setelah krisis. Beberapa tantangan

yang dihadapi untuk memberdayakan penanaman modal telah juga diakui oleh Pemerintah

dalam Laporan buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009.

Kendala dan tantangan tersebut antara lain:

1. Persaingan kebijakan investasi yang dilakukan oleh negara pesaing seperti China,

Vietnam, Thailand dan Malaysia.

2. Masih rendahnya kepastian hukum, karena berlarutnya RUU Penanaman Modal.

3. Lemahnya insentif investasi.

4. Kualitas SDM yang rendah dan terbatasnya infrastruktur.

5. Tidak adanya kebijakan yang jelas untuk mendorong pengalihan teknologi dari PMA.

6. Masih tingginya biaya ekonomi, karena tingginya kasus korupsi, keamanan dan penyalah

gunaan wewenang

7. Meningkatnya nilai tukar riil efektif rupiah.

8. Belum optimalnya pemberian insentif dan fasilitasi.

         

Tantangan dan kendala di atas lamban laun mulai dapat diatasi oleh Pemerintah pada

beberapa tahun terakhir ini. Pemerintah bertekad dalam program pembangunan yang

sedang berjalan untuk mewujudkan iklim investasi yang sehat. Restrukturisasi lembaga

pemerintahan segera dilakukan dengan menuntaskan sinkronisasi peraturan antar sektor

dan antar pusat dan daerah. Peningkatan efisiensi pelayanan ekspor-impor kepelabuhanan,

5

Page 6: Tugas Isu Politik Kontemporer

kepabeanan dan administrasi ekspor-impor telah menjadi prioritas penanganan oleh Instansi

Pemerintah terkait. Pemangkasan prosedur perijinanpun telah dilakukan, sekaligus dengan

dikeluarkannya berbagai paket insentif investasi pada tahun 2006 ini.

          Upaya yang telah dilakukan Pemerintah ini membuahkan hasil dalam peningkatan

kehadiran FDI di Indonesia. Selama kurun waktu tiga tahun terakhir misalnya, realisasi

investasi asing di Indonesia secara kumulatif telah mencapai nilai 18,0 miliar dollar AS, atau

meningkat sekitar 50 % dibandingkan periode tahun 2000-2003. Bidang investasi menonjol

yang yang digeluti oleh perusahaan PMA antara lain kegiatan-kegiatan pada industri logam

dan mesin; percetakan; kendaraan bermotor; tekstil; perdagangan dan perkebunan.

Pasca krisis moneter 1998, perekonomian Indonesia tidak langsung pulih. Besarnya utang

luar negeri yang diciptakan 30 tahun pemerintah orde baru sebesar USD 120 miliar (1967-

1997) menyebabkan beban bunga+cicilan utang membengkak. Belum lagi inflasi yang

tinggi, industri-industri bangkruk karena utang besar.  Maka kehadiran IMF untuk menangani

krismon Indonesia diikuti pemaksaan agar sektor-sektor strategis negara harus diliberalisasi

lebih luas, lebih besar kepada asing. Setiap LoI dengan IMF, selalu mensyaratkan “jual aset

ini, jual aset itu“.

Secara “membudaya”, privatisasi BUMN-BUMN strategis Indonesia pertama kali terjadi pada

masa Pemerintahan Soeharto ke-5 yakni tahun 1991.  Meskipun cikal bakal privatisasi

“umum”  telah diundangkan pada tahun 1968, namun 1991 menjadi tahun dimana satu

persatu perusahaan negara diprivatisasi secara kontinyu. Dan PT Semen Gresik menjadi

BUMN pertama yang terkena program privatisasi. Ini terjadi beberapa waktu setelah

pemerintah memberi kartu hijaupendirian seratusan bank-bank swasta (pengusaha) yang

tidak kompenten dan transparan. Bank-bank inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis

moneter Indonesia tahun 1997-1998. Selama periode 1991-1999,

pemerintahan Soeharto dan Habibie baru memprivatisasi 9 BUMNdengan total nilai

6

Page 7: Tugas Isu Politik Kontemporer

privatisasi lebih dari USD 5 miliar.  Bentuk privatisasi dilakukan melalui penawaran umum di

pasar modal maupun melalui strategic partner (mengundang investor yang menjadi rekan

strategis).

1. PT Perkebunan Nusantara III

2. PT Perkebunan Nusantara IV.

3. PT Pupuk Kaltim.

4. PT Tambang Batubara Bukit Asam.

5. PT Aneka Tambang Tbk.

6. PT Indo Farma.

7. PT Kimia Farma.

8. PT Sucofindo.

9. PT Kerta Niaga.

10. PT Angkasa Pura II.

Jika ada beberapa BUMN yang di privatisasi di era Habibie dan Gus Dur, maka masuknya

tim ekonomi yang sangat patuh pada IMF di pemerintahan Megawati berhasil

memprivatisasi aset-aset strategis negara seperti Telkom, Indosat, PT BNI,  PT Batu Bara

Bukit Asam. Penjualan BUMN tersebut dengan harga yang terlalu kecil jika dibanding

prospek  (2 tahun kemudian)  yang memiliki kinerja yang sangat baik, yang menghasilkan

keuntungan yang besar bagi para pemegang saham. Begitu juga penjualan bank-bank di

BPPN dengan sangat murah, dimana hampir di setiap transaksi merugikan negara triliun

rupiah. Inilah salah satu keberhasilan IMF untuk mendikte Indonesia melalui tim ekonomi

yang berhaluan “Mafia Berkeley“, yang berpaham neoliberalisme.

7

Page 8: Tugas Isu Politik Kontemporer

Penjualan BUMN-BUMN yang profitable kepada asing di masa pemerintah Megawati

menjadi blunder negatif bagi diri Megawati  ketika menjadi capres baik di tahun 2004

maupun 2009. Semua orang akan mengalamatkan Megawati sebagai penjual BUMN,

sementara para dalang dibalik penjual BUMN dan perbankan BPPN jarang mendapat

getahnya yakni Dorodjatun, Boediono dan Laksama Sukardi.

Berbagai saham BUMN strategis “berhasil” dijual diera Megawati [jangan lupa juga tim

ekonominya dan 50 butir LoI IMF tahun 1997]. Sebut saja penjualan saham Perusahaan

Gas Negara sebesar Rp 7,34 triliun melampaui dari target semula yaitu Rp 6,5 triliun.

Privatisasi Bank Mandiri dengan nilai Rp 2,5 triliun, PT Indosat Rp1,16 triliun dan Bank

Rakyat Indonesia Rp 2,5 triliun.

Namun, ada satu rencana terbesar di era Pemerintah Megawati dalam privatisasi BUMN

yakni pada tahun 2004. Wakil pemerintah yakni Laksamana Sukardi dan Boediono pada

tahun Maret/April 2004 mengajukan privatisasi 28 BUMN. BUMN itu terdiri dari 19 BUMN

dan 9 non-BUMN atau BUMN minoritas. Privatisasi 28 BUMN tersebut merupakan

gabungan dari program carry over (kelanjutan) privatisasi BUMN tahun 2002 dan tahun

2003 serta program murni privatisasi BUMN tahun 2004. Dan untungnya,sebagian

besar  program privatisasi yang diajukan pemerintah via Laksamana Sukardi dan Boedino ini

kandas ditangan DPR karena alasan politik Pemilu 2004.

Sejumlah BUMN yang masuk dalam daftar privatisasi tersebut adalah PT Bank Mandiri Tbk,

PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Danareksa, PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, PT

Batubara Bukit Asam Tbk, PT Merpati Nusantara Airlines, dan PT Perkebunan Nusantara III,

PT Kimia Farma, PT Indofarma,  PT Cambrics Primissima, dan BUMN sektor kawasan serta

sembilan non- BUMN lainnya.

8

Page 9: Tugas Isu Politik Kontemporer

2. Dari banyaknya konsep dan teori tentang kepemimpinan, setidaknya menurut pendekatan

NLP Terdapat Empat Pillar yang dapat digunakan untuk mencari sosok pemimpin sebagai

agen perubahan idaman saat ini:

1. Pemimpin yang memiliki Kejelasan tentang Hasil Akhir Yang Diinginkan

(outcome). Kemampuan menciptakan tujuan akhir dan pandangan kedepan (visi)

hal ini sangat penting mengingat seorang Leader sebagai lokomotif harus mampu

menetapkan dan membawa gerbong-gerbong yang ada di rangkaiannya menuju

sasaran. Dalam menentukan pemimpin idaman Indonesia, terlebih dahulu kita perlu

mengenali hasil akhir yang diinginkan dari stok pemimpin yang ada saat ini.

Pemahaman sepenuhnya atas hasil yang ingin didapatkan sangat membantu proses

pencapaian kinerja sang pemimpin. Ketika sosok pemimpin tersebut benar-benar

memahami hasil akhir dari apa yang ingin dicapai dalam masa kepemimpinannya,

maka sang pemimpin dapat dengan mudah mengarahkan seluruh elemen yang ada

seperti politik, hukum, dll ke hasil akhir tersebut. Selain itu, pemahaman atas hasil

akhir yang diinginkan juga membantu dalam mengidentifikasi efektifitas suatu kinerja

pencapaian (Visi), apakah semakin mendekatkan atau menjauhkan dari hasil yang

diinginkan. Adapun hasil akhir yang diinginkan menurut pendekatan NLP adalah:

SPESIFIK, JELAS dan ADA TARGET WAKTU PENCAPAIANNYA! Dan apabila kita

berpikir tentang pemimpin yang heroik seperti Pangeran Diponegoro, Sultan

Hasanuddin, Soekarno, Jenderal Sudirman, dan sebagainya kita harus mengakui

bahwa sifat-sifat Tau Hasil Akhir yang Diinginkan melekat pada diri mereka dan telah

mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan

2. Pemimpin yang Mampu meningkatkan Kualitas Hubungan yang Baik (rapport).

Menurut Teori Kepemimpinan Organisasi, Kepemimpinan adalah proses

mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam

upaya mencapai tujuan (goal) organisasi (Trout, 2008). Dari sini bisa kita teliti bahwa

sosok pemimpin Idaman Indonesia haruslah mampu menjalin komunikasi yang baik

9

Page 10: Tugas Isu Politik Kontemporer

kepada setiap elemen DAN SETIAP SAAT! Kenapa? Karena terdapat elemen proses

mempengaruhi (persuasif). Seorang pemimpin yang memiliki kemampuan menjalin

komunikasi yang ekologis bagi masyarakat, bukan mengombang-ambingkan apalagi

mempermainkan emosional dan mengarahkan kepada citra diri saja. Kemampuan

membangun tim yang kuat dan mengorganisasi adalah kuncinya. Termasuk

didalamnya adalah bagaimana sang pemimpin mampu mengkomunikasikan ‘apa sih’

Visi-nya dan kemampuan membangun hubungan yang ekologis untuk mencapai Visi

sebagai hasil akhir yang diinginkannya.

3. Pemimpin yang Peka terhadap Perubahan melalui Akuitas Sensori (sensory

acuity). Pepatah yang mengatakan ‘tidak ada yang abadi selain perubahan itu

sendiri’ Kepekaan terhadap berbagai macam situasi perubahan adalah mutlak.

Sehingga seorang pemimpin harus memiliki kepekaan yang tinggi terhadap

perubahan yang terjadi selama masa kepemimpinannya. Pemimpin sebagai contoh

(role model) harus mampu memilah mana yang perlu ditangani sebagai prioritas

maupun yang bukan prioritas didalam tujuannya mencapai hasil akhir yang

diinginkan (outcome). Namun tak jarang perubahan dinamika organisasi yang ada

(politik maupun pasar, bagi sebuah negara) membuat seorang pemimpin HARUS

peka terhadap keadaan rakyatnya (anggota didalam organisasi). Kemampuan

seorang pemimpin menggunakan panca indera (modality sensory based) untuk

mengamati keadaan secara cermat tanpa asumsi/penilaian tertentu sebelumnya,

sehingga sang pemimpin dapat memberikan respon dengan rapport yang maksimal.

Kepekaan ini tidak hanya ditandai dengan penampilan citra diri semata, namun

HARUS MAMPU menjawab dan menyelesaikan isu-isu sentral yang bersifat strategis

dengan SPESIFIK, JELAS dan ADA TARGET WAKTU PENCAPAIANNYA! dan yang

pasti haris terselesaikan, bukan terlupakan :)

4. Pemimpin yang memiliki perilaku flexibel (behavior flexibility). Guna mencapai

hasil akhir yang diinginkan, seorang pemimpin membutuhkan fleksibilitas. Hal ini

disebabkan karena terkadang komunikasi maupun strategi (Misi) yang digunakan

10

Page 11: Tugas Isu Politik Kontemporer

untuk mencapai hasil akhir yang diinginkan tidak bekerja sesuai yang diharapkan.

Sehingga, untuk mencapai hasil akhir yang diinginkan, seorang pemimpin perlu

mengganti strategi pencapaiannya. Dengan memiliki fleksibilitas dalam misi-nya,

kemungkinan mencapai Visi sebagai hasil akhir yang diinginkan semakin besar.

Kategori Flexibel disini adalah, flexibel terhadap situasi tanpa meninggalkan hasil

akhir yang diinginkan dan menggunakan prilaku flexibel yang sesuai dengan

keadaan situasi.

Jika dikaji lebih jauh, relatif lemahnya kepemimpinan Habibie, Gus Dur dan Megawati,

tidak tepat dijadikan sebagai alasan untuk mengatakan bahwa Indonesia belum siap,

tidak bisa, atau belum saatnya dipimpin oleh pemimpin yang berasal dari sipil.Karena

kondisi politik saat mereka memimpin sangat berbeda dengan saat ini dan mereka tidak

murni hasil pilihan rakyat. Saat itu presiden dipilih oleh MPR, kondisi politik masih larut

dalam euforia reformasi, dukungan rakyat untuk ketiga tokoh tersebut tidak kuat, dan

kondisi saat itu yang membutuhkan karakter militer untuk mengatasi adanya daerah

yang ingin melepaskan diri dari NKRI.

Pemimpin dari sipil adalah yang paling sesuai berdasarkan situasi Indonesia

terkini.Diantara tokoh-tokoh sipil yang berpotensi menjadi presiden, Jokowi adalah satu-

satunya tokoh yang sangat menonjol. Apabila nantinya Jokowi akhirnya terpilih jadi

presiden kita berikutnya, besar harapan stigma lemahnya pemimpin dari sipil akan

terhapus.

Hipotesa ini didukung oleh kondisi politik saat ini yang relatif kondusif, ditandai dengan

mulai hilangnya euforia reformasi yang melenakan yang tergambar dari menciutnya

jumlah partai politik dari 44 menjadi 12, kondisi kesatuan NKRI yang relatif stabil dari era

11

Page 12: Tugas Isu Politik Kontemporer

sebelumnya, kondisi Indonesia saat ini yang lebih membutuhkan fokus pada

pembangunan sipil, ekonomi dan sosial, daripada stabilitas keamanan.

Dan yang terutama adalah dukungan rakyat yang sangat signifikan terhadap sosok

Jokowi untuk menjadi presiden, tidak mewakili golongan tertentu dengan kata lain bisa

diterima oleh semua golongan, didukung oleh karakter beliau yang benar-benar “asli”

Indonesia, sederhana nan tegas, ndeso, merakyat, komunikatif, dengan latar belakang

pendidikan “asli” Indonesia, serta pola pikirnya yang fokus ke ranah sipil.

Semua karakter tersebut tergambar dari inovasi gebrakan-gebrakan beliau selama

memimpin di Solo dan di DKI Jakarta.

3. Maraknya aksi terorisme di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya

adalah kegagalan banyak negara di dunia Islam untuk membangun politik-ekonomi yang

menyejahterakan masyarakat. Hal ini memicu kekecewaan dan perlawanan terhadap

negara dan dunia Barat yang dianggap mendukung negara tersebut.

Praktik ketidakadilan politik internasional seperti di Palestina atau serbuan Amerika Serikat

ke Afganistan memicu kemarahan kalangan militan Muslim terhadap Barat atau Amerika.

Secara teologis, sebagian kelompok militan meyakini janji surga bagi orang yang berani

melancarkan serangan bom bunuh diri. Pada saat bersamaan, ada kekeliruan dalam

memaknai jihad.

Terorisme tentu bukan sesuatu yang muncul dari ruang hampa. Dia memerlukan kultur

tertentu untuk tumbuh. Penyebab terorisme perlu dikenali karena ini berkait dengan upaya

pencegahannya. Berikut adalah 5 sebab terorisme :

1. Kesukuan, nasionalisme/separatisme

12

Page 13: Tugas Isu Politik Kontemporer

(Etnicity, nationalism/separatism)

Tindak teror ini terjadi di daerah yang dilanda konflik antar etnis/suku atau pada suatu

bangsa yang ingin memerdekan diri. Menebar teror akhirnya digunakan pula sebagai satu

cara untuk mencapai tujuan atau alat perjuangan. Sasarannya jelas, yaitu etnis atau bangsa

lain yang sedang diperangi.Bom-bom yang dipasang di keramaian atau tempat umum lain

menjadi contoh paling sering. Aksi teror semacam ini bersifat acak, korban yang jatuh pun

bisa siapa saja.

2. Kemiskinan dan kesenjangan dan globalisasi

(Poverty and economic disadvantage, globalisation)

Kemiskinan dan kesenjangan ternyata menjadi masalah sosial yang mampu memantik

terorisme. Kemiskinan dapat dibedakan menjadi 2 macam: kemiskinan natural dan

kemiskinan struktural. Kemiskinan natural bisa dibilang “miskin dari sononya”. Orang yang

tinggal di tanah subur akan cenderung lebih makmur dibanding yang berdiam di lahan

tandus. Sedang kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang dibuat. Ini terjadi ketika

penguasa justru mengeluarkan kebijakan yang malah memiskinkan rakyatnya. Jenis

kemiskinan kedua punya potensi lebih tinggi bagi munculnya terorisme.

3. Non demokrasi

(non)democracy)

Negara non demokrasi juga disinyalir sebagai tempat tumbuh suburnya terorisme. Di negara

demokratis, semua warga negara memiliki kesempatan untuk menyalurkan semua

pandangan politiknya. Iklim demokratis menjadikan rakyat sebagai representasi kekuasaan

tertinggi dalam pengaturan negara. Artinya, rakyat merasa dilibatkan dalam pengelolaan

negara.Hal serupa tentu tidak terjadi di negara non demokratis. Selain tidak memberikan

kesempatan partisipasi masyarakat, penguasa non demokratis sangat mungkin juga

13

Page 14: Tugas Isu Politik Kontemporer

melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya. Keterkungkungan ini menjadi kultur subur

bagi tumbuhnya benih-benih terorisme.

4. Pelanggaran harkat kemanusiaan

(Dehumanisation)

Aksi teror akan muncul jika ada diskriminasi antar etnis atau kelompok dalam masyarakat.

Ini terjadi saat ada satu kelompok diperlakukan tidak sama hanya karena warna kulit,

agama, atau lainnya.Kelompok yang direndahkan akan mencari cara agar mereka didengar,

diakui, dan diperlakukan sama dengan yang lain. Atmosfer seperti ini lagi-lagi akan

mendorong berkembang biaknya teror.

5. Radikalisme agama

(Religion)

Butir ini nampaknya tidak asing lagi. Peristiwa teror yang terjadi di Indonesia banyak

terhubung dengan sebab ini. Radikalisme agama menjadi penyebab unik karena motif yang

mendasari kadang bersifat tidak nyata. Beda dengan kemiskinan atau perlakuan

diskriminatif yang mudah diamati. Radikalisme agama sebagian ditumbuhkan oleh cara

pandang dunia para penganutnya. Menganggap bahwa dunia ini sedang dikuasi kekuatan

hitam, dan sebagai utusan Tuhan mereka merasa terpanggil untuk membebaskan dunia dari

cengkeraman tangan-tangan jahat.

6. Disaffected intelligentsia

Rubenstein elaborates another interesting aspect occurring in Western liberal democratic

states in his book Alchemists of Revolution (1987), though not necessarily because of a

hiatus in democratic governance. There are two points I would like to bring under attention.

First, Rubenstein’s thesis that the main cause of terrorism are disgruntled, disaffected,

14

Page 15: Tugas Isu Politik Kontemporer

intelligentsia who are in a social and moral crisis unable to mobilize the masses. This is “a

primary internal cause of terrorism, dictating to a degree its philosophy, tactics and

consequences” (Rubenstein, 1987:xvii). Intellectuals, of the type of ambitious idealist, do not

have a rebellious lower class to lead due to shifts from primary and manual work to the

services sector, nor do they receive guidance from a creative upper class that they can

follow. When rigid social stratification shatter hopes for social transformation, then the

ingredients are present for a start or rise in terrorist activities in an attempt to reconnect with

the masses who they claim to represent and aspire to lead. Examples: “…ever since the

Russian intellectuals “invented” modern terrorism…” (Radu, 2001), referring to Narodnaya

Volya, Wieviorka’s “Disappointed, frustrated or unrealisable upward mobility” (1988:29);

“middle-class alienation” (Kristof, 2002); “spoilt children of affluence” (Wilkinson, 1977:93);

Crenshaw (1981); Williams (1994:65), and so forth. But now, 15 years after the book’s

publication, access to third level education (the ‘democratisation of education’) has

increased to such an extend that it devalues degrees to a minimum standard for procuring a

job. Is the degree graduate now the new (white collar) working class stuck in his/her cubicle?

If true, then the ‘gap’ between the masses and intelligentsia is smaller at present, hence

more likely to be bridge-able, and therefore less prone to induce ideas to resort to terrorism,

thus at least weakening Rubenstein’s view. The second aspect of Rubenstein’s book is a

broad discussion on the myriad of, predominantly leftist, political ideologies – indirectly the

perceived cause being the undemocratic government, unfair capitalist system et al – but may

simply be a failed revolution.

Contoh Kasus :

1. Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott

dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul

07.50 WIB.[2]

2. Penembakan warga sipil di Aceh Januari 2010

3. Perampokan bank CIMB Niaga September 2010

15

Page 16: Tugas Isu Politik Kontemporer

4. Bom Cirebon, 15 April 2011. Ledakan bom bunuh diri

di Masjid Mapolresta Cirebon saat Salat Jumat yang menewaskan pelaku dan

melukai 25 orang lainnya.

5. Bom Gading Serpong, 22 April 2011. Rencana bom yang menargetkan Gereja Christ

Cathedral Serpong, Tangerang Selatan, Banten dan diletakkan di jalur pipa gas,

namun berhasil digagalkan pihak Kepolisian RI

6. Bom Solo, 25 September 2011. Ledakan bom bunuh diri di GBIS

Kepunton, Solo, Jawa Tengah usai kebaktian dan jemaat keluar dari gereja. Satu

orang pelaku bom bunuh diri tewas dan 28 lainnya terluka.

7. Bom Solo, 19 Agustus 2012. Granat meledak di Pospam Gladak, Solo, Jawa

Tengah. Ledakan ini mengakibatkan kerusakan kursi di Pospam Gladak. Tidak ada

korban jiwa.

16