22
Ringkasan Materi Skripsi (Tinjauan umum tentang perjanjian) 1. Pengertian Perjanjian Menurut kepustakaan Belanda berasal dari kata Overeenkomst” yang artinya setuju atau sepakat. Menurut pasal 1313 KUH Perdata yaitu: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Menurut Sudikno Mertokusumo, yakni “ Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukumnya”. Menurut beliau dua pihak atau lebih untuk itu sepakat untuk menentukan dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalankan, dan apabila kesepakatan tersebut dilanggar maka ada akibat hukumnya yaitu si pelanggar dapat dikenai sanksi. 2. Asas-asas Hukum Perjanjian a. Asas Hukum Umum ialah hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum , seperti asas lex specialis derogat legi generalis yaitu

Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Ringkasan Materi Skripsi

(Tinjauan umum tentang perjanjian)

1. Pengertian Perjanjian

Menurut kepustakaan Belanda berasal dari kata “Overeenkomst” yang artinya

setuju atau sepakat.

Menurut pasal 1313 KUH Perdata yaitu: “Suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih”.

Menurut Sudikno Mertokusumo, yakni “ Perjanjian adalah hubungan

hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukumnya”. Menurut beliau dua pihak atau lebih untuk

itu sepakat untuk menentukan dan kewajiban yang mengikat mereka untuk

ditaati dan dijalankan, dan apabila kesepakatan tersebut dilanggar maka ada

akibat hukumnya yaitu si pelanggar dapat dikenai sanksi.

2. Asas-asas Hukum Perjanjian

a. Asas Hukum Umum ialah hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang

hukum , seperti asas lex specialis derogat legi generalis yaitu peraturan hukum

yang khusus diutamakan dari peraturan hukum yang umum.

b. Asas Hukum Khusus, merupakan penjabaran dari asas hukum umum, seperti

dalam hukum perdata, dikenal adanya asas konsensualisme, asas pacta sunt

servanda, dan seterusnya

KUHPerdata memberikan asas-asas khusus yang menjadi patokan dan

pedoman bagi para pihak dalam melakukan perjanjian. Asas-asas yang penting dalam

Page 2: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

hukum perjanjian yang berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian, isi, dan akibat

perjanjian. Asas-asas yang terkandung dalam hukum perjanjian tersebut adalah:

a. Asas konsesualisme

Asas konsesualisme menentukan lahirnya suatu perjanjian karena perjanjian lahir

sejak tercapainya suatu kesepakatan diantara para pihak. Asas konsesualisme

disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) jo Pasal 1320 sub 1 KUHPerdata, dalam pasal

tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu disamping kesepakatan yang

telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah

(dalam arti mengikat) apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal

yang pokok dari perjanjian itu.

b. Asas Kebebasan Berkontrak

Pengertian asas kebebasan berkontrak terdapat Pasal 1338 ayat (1) KHUPerdata

yang menyatakan bahwa “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Penekanan pada kata

“semua perjanjian” inilah maka disimpulkan bahwa ada kebebasan kepada setiap

orang untuk membuat perjanjian.

c. Asas Mengikatnya Suatu Perjanjian (Asas Pacta Sunt Servanda)

Asas ini berkenaan dengan akibat perjanjian. Asas Pacta Sunt Servanda dapat

diketahui dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “

semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”. Pada kalimat “ berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”, inilah nampak adanya asas mengikatnya suatu

perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikatnya para dan berlaku sebagai

undang-undang.

Page 3: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

d. Asas Itikad Baik

Asas Itikad baik ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian. Berdasarkan

dari asas kebebasan berkontrak, untuk menentukan akibat dari perjanjian

maka perjanjian yang dibuat harus dilakukan dengan iktikad baik.1

Itikad baik dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Asas iktikad baik dalam pengertian subjektif yaitu sikap baik sesorang pada

waktu perjanjian akan dibuat.

2) Asas itikad baik dalam pengertian objektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu

perjanjian harus berdasarkan norma kepatutan dalam masyarakat.

e. Asas Kepribadian

Disamping ke empat asas tersebut di atas yang merupakan asas pokok dalam

perjanjian terdapat satu asas lagi, yaitu asas kepribadian. Asas ini berkenaan

dengan berlakunya perjanjian yaitu menerangkan pihak-pihak mana yang

terikat dalam suatu perjanjian.2 Maksud asas ini adalah bahwa perjanjian

hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya.

3. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

Pasal 1320 KUHPerdata telah menetapkan 4 (empat) syarat yang harus di penuhi

agar perjanjian yang dibuat itu sah. Syarat-syarat tersebut adalah:

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Suatu hal tertentu

Suatu sebab yang halal

1 Sri Sodewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perundan Perutangan Bagian B, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980, h. 352 Abdul Qirom Syamsudin Meilala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, PT Citra Aditya, Bandung, 1991, h. 19

Page 4: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Uraian dari keempat syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ini merupakan hal yang pokok

untuk terjadi perjanjian. Perjanjian lahir pada detik kesepakatan atau

persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa

yang menjadi objek perjanjian. Sepakat atau juga dinamakan perizinan,

dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus

bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian

yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki

oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-

balik: Sipenjual mengingini sejumlah uang, sedang si pembeli mengingini sesuatu

barang dari si penjual.3

b) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Perjanjian harus dibuat oleh yang cakap menurut hukum. Pada dasarnya setiap

orang cakap untuk membuat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 1329

KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “Seseorang adalah cakap untuk

membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”.

Dari Pasal 1329 KUHPerdata mengatur mengenai orang-orang yang tidak cakap

menurut hukum, yaitu:

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan

c. Orang-orang perempuan yang telah kawin dalam halam hal-hal yang di

tentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh

undang-undang dilarang membuat persetujuan tertentu.

c) Suatu hal tertentu

3 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1987 (selanjutnya disingkat R. Subekti I), h. 17

Page 5: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Maksud dan syarat suatu hal tertentu adalah bahwa dalam suatu perjanjian apa

yang menjadi objek perjanjian itu harus jelas atau tertentu atau setidak-

setidaknya sudah ditentukan. Objek perjanjian dapat berupa memberikan sesuatu,

berbuat atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal

1234 KUHPerdata yaitu” tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan

sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”.

d) Sebab yang halal

Sebab yang halal, maksudnya adalah isi atau tujuan dari perjanjian yang

diadakan oleh para pihak. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa “ suatu

perjanjian tanpa sebab, atau telah dibuat karena suatu sebab sesuatu sebab

yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Berdasarkan ketentuan

diatas maka dapat diketahui bahwa apabila suatu perjanjian dibuat dengan

sebab tidak halal maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan sehingga

perjanjian tersebut adalah batal secara hukum.

4. Wanprestasi dan Akibatnya

Dalam bahasa Belanda “wanprestatie”, artinya tidak memenuhi kewajiban yang

telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian

maupun karena perundang-undangan.

a. Menurut Subekti

Wanprestasi adalah apabila si berhutang (debitur) tidak melakukan apa

yang dijanjikannya.4

b. Menurut Yahya Harahap

Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada

waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Seorang debitur dikatakan

4 Ibid, h. 45

Page 6: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

wanprestasi apabila dia dalam melakukan perjanjian telah lalai sehingga terlambat

dari jadwal waktu yang telah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak

menurut sepatutnya atau selayaknya.5 Berdasarkan hal tersebut maka pengertian

wanprestasi adalah suatu keadaan dimana debitur tidak memenuhi kewajiban untuk

memenuhi prestasi sebagaimana yang diperjanjikan karena kesalahannya

(kelalaian, kurang berhati-hati) dan bukan karena keadaan memaksa.

Menurut Subekti bentuk-bentuk Wanprestasi dapat berupa 4 macam, yaitu:

Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.6

5. Overmacht dan Akibatnya

Pengertian overmacht (keadaan memaksa) menurut R. Setiawan adalah suatu

keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi debitur

untuk memenuhi prestasinya, di mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak

harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu perjanjian dibuat.

Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat

timbulnya keadaan tersebut.7

Menurut undang-undang ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan

memaksa, yaitu :

Tidak memenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau

memusnahkan benda obyek perikatan

5 Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, h. 606 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta,1985 (selanjutnya disingkat R. Subekti II),h. 1287 Ibid, h. 27

Page 7: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur karena terjadi peristiwa yang

menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi

faktor penyebab itu tidak dapat di duga sebelumnya dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada debitur.

Apabila terjadi overmacht dan memenuhi unsur a dan c, maka overmacht ini disebut

absolute overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat obyektif. Dasarnya adalah

ketidak mungkinan (impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya

lenyap/musnah. Jika terjadi overmacht yang memenuhi unsur b dan c, keadaaa ini

disebut relatieve overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat subyektif.

Keadaan memaksa menimbulkan berbagai akibat, yaitu :

kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;

debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai dan karenanya tidak wajib

membayar ganti rugi;

risiko tidak beralih kepada debitur;

kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada perjanjian timbal balik.

Adapun bentuk-bentuk keadaan memaksa terdiri atas dua bagian, yaitu:

a. Bentuk yang umum, yaitu :

1. keadaan iklim;

2. kehilangan;

3. pencurian

b. Bentuk yang khusus, yaitu :

Undang-undang atau Peraturan Pemerintah

Undang-undang atau peraturan pemerintah adakalanya menimbulkan keadaan

memaksa. Dalam hal ini, tidak berarti bahwa prestasi tidak dapat dilakukan,

Page 8: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

akan tetapi prestasi itu tidak boleh dilakukan, akibat adanya undang-undang

atau peraturan pemerintah tersebut.

Sumpah

Adanya sumpah terkadang menimbulkan keadaan memaksa, yaitu apabila

seseorang yang harus berprestasi itu diharuskan atau dipaksa bersumpah untuk

tidak melakukan prestasi.

Tingkah laku pihak ketiga

Pemogokan

Bentuk khusus dari keadaan memaksa ini adakalanya menimbulkan force

majeure dan adakalanya tidak.

Pembuktian keadaan memaksa, debitur dapat mengemukakan keadaan memaksa

sebagaimana tersebut diatas, dan harus terpenuhinya 3 (tiga) syarat, yaitu :

ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah;

ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain;

ia tidak mau menanggung risiko baik menurut ketentuan undang-undang

maupun ketentuan perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung

risiko.

6. Berakhirnya Perjanjian

Pada umumnya perjanjian berakhir karena sesuai dengan waktu yang telah

ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian. Pasal 1381

KUHPerdata menentukan hanya tentang berakhirnya perikatan, padahal berakhirnya

perikatan tidak sama dengan berkhirnya perjanjian.

Menurut R. Setiawan hal-hal yang menyebabkan berakhirnya perjanjian

berdasarkan pendapat ahli-ahli hukum adalah sebgai berikut8:

8 Ibid, h. 69

Page 9: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Jangka waktu perjanjian yang telah ditentukan oleh para pihak lewat atau dengan

kata lain berlakunya perjanjian hanya pada waktu tertentu.

Telah ditentukan oleh undang-undang mengenai batas waktu perjanjian itu

berlaku.

Telah terjadi peristiwa tertentu yang oleh para pihak atau undang-undang telah

ditentukan sebagai sebab yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian, misalnya

salah satu pihak meninggal dunia.

Apabila ada pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging) oleh kedua belah

pihak atau hanya salah satu pihak saja, dengan memperhatikan tenggang waktu.

Opzergging ini hanya ada pada perjanjian yang bersifat sementara, seperti

perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian kerja.

Perjanjian berakhir karena putusan hakim

Perjanjian berakhir karena keputusan pihak

Telah tercapai tujuan dari perjanjian.

(Tinjauan tentang perjanjian Jual beli)

7. Pengertian Perjanjian Jual Beli

Jual beli meliputi perbuatan dua pihak secara timbal balik, yaitu pihak penjual dan

pihak pembeli. Jual beli diawali oleh perbuaan pihak penjual terlebih dahulu,

kemudian baru perbuatan dari pihak pembeli. Jual beli dalam bahasa belanda

disebut koop en veerkoopt, yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu

“vekerkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli).9

Dilihat dari segi pengelompokan perjanjian, perjanjain jual beli termasuk

perjanjian bernama. Perjanjian bernama merupakan perjanjian yang diberikan nama

dan pengaturan secara khusus dalam title V sampai dengan XIV Buku III B.W, dalam

9R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992 (selanjutnya disingkat R. Subekti III), h. 2

Page 10: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

KUHPerdata, serta dalam perundang-undangan yang lain. Jadi perjanjian bernama

adalah perjanjian yang dikenal dengan nama tertentu dan mempunyai pengaturan

secara khusus dalam undang-undang. Perjanjian jual beli dalam KUHPerdata diatur

dalam bab V buku III, pada pasal 1457 yang berbunyi: “jual beli adalah suatu

perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya menyerahkan suatu

kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

8. Bentuk Perjanjian Jual Beli

Pada suatu perjanjian jual beli terdapat dua unsur pokok yaitu barang dan harga.

Dilihat dari asas konsensualisme menurut hukum perjanjian dalam KUHPerdata dapat

diketahui bahwa perjanjian jual beli sudah terjadi atau lahir pada saat adanya kata

”sepakat” mengenai harga dan barang. Pasal 458 KUHPerdata yang menyatakan

bahwa jual beli sudah terjadi diantara kedua belah pihak seketika setelah mencapai

kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang tersebut belum diserahkan

atau harganya belum dibayar. Pasal tersebut mempertegas tentang asas

konsensualisme dalam suatu perjanjian jual beli.

Bentuk perjanjian jual beli adalah bebas, artinya perjanjian jual beli dapat di

tuangkan dalan tulisan maupun dengan tertulis. Bentuk perjanjian jual beli bukan

merupakan syarat untuk adanya suatu perjanjian jual beli, namun merupakan sebuah

alat pembuktian saja. Hal ini merupakan akibat dari adanya asas konsensualisme.

Walaupun demikian, dalam prakteknya tidak sedikit perjanjian jual beli dituangkan

dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk perjanjian standar.

Perjanjian standar atau perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan

dan dituangkan dalam bentuk formulir. Perjanjian ini lahir karena didesak oleh

kebutuhan dan waktu, perjanjian standar biasanya dibuat secara massal/ banyak dan

Page 11: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

ketentuan didalamnya, bentuknya telah dibakukan oleh salah satu pihak yang

ekonominya lebih kuat.

9. Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli

Subjek Perjanjian Jual Beli

Subjek dalam perjanjian jual beli sekurang-kurangnya dua pihak, yaitu pihak

penjual yang menyerahkan hak milik atas benda dan pihak pembeli yang

membayar harga benda. Penjual atau pembeli dapat juga berstatus mewakili

kepentingan diri sendiri, atau mewakili kepentingan pihak lain, atau juga

mewakili kepentingan suatu badan hukum.

Objek Perjanjian Jual Beli

Objek dalam perjanjian jual beli adalah barang dan benda. Adapun yang

dapat menjadi objek dalam perjanjian dalam perjanjian jual beli adalah harta

kekayaan yang tidak berwujud, atau berupa harta kekayaan yang berwujud,

baik benda atau harta kekakayaan tersebut bergerak atau tidak bergerak

10. Hak dan Kewajiban Pihak-pihak dalam Perjanjian Jual Beli

Hubungan antara hak dan kewajiban dalam perjanjian jual beli adalah keterikatan

penjual untuk menyerahkan benda dan memperoleh pembayaran, keterikatan

pembeli untuk membayar harga dan memperoleh benda.

Hak dan kewajiban penjual

Page 12: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Menurut pasal 1474 KUHPerdata, Penjual berkewajiban untuk menyerahkan

dan menanggungnya. Penjual berkewajiban untuk menyerahkan hak milik

atas barang yang menjadi objek perjanjian, yaitu barang yang di perjual

belikan. Penjual berhak menerima uang pembayaran atas barang yang

dijualnya.

Hak dan kewajiban pembeli

Pembeli berhak menuntut penyerahan barang yang telah dibeli dari penjual.

Menurut pasal 1509 KHUPerdata pembeli juga berhak meminta

pengembalian barangnya apabila barang tersebut mengandung cacat

tersembunyi.

Kewajiban pembeli:

Menurut pasal 1513 KUHPerdata kewajiban utama penjual adalah membayar

harga. Harga harus berupa uang walaupun hal tersebut tidak ditetapkan dalam

undang-undang. Jika pembayaran berupa jasa maka perjanjiannya berubah

menjadi perjanjian kerja, dan jika pembayarannya berupa barang maka

perjanjiannya akan berubah tukar menukar.

11. Wanprestasi dan akibatnya dalam perjanjian jual beli

Wanprestasi adalah tidak terpenuhinya prestasi karena adanya kesalahan dari

debitur baik disengaja maupun kelalaian debitur. Bentuk wanprestasi dalam

perjanjian jual beli adalah:

Page 13: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Penjual tidak melakukan penyerahan ataupun penjual terlambat melakukan

penyerahan

Barang yang diperjual belikan tidak bebas dari suatu beban atau tuntutan

pihak lain

Pada saat penyerahan, barang tersebut bukan milik penjual

Barang yang diperjual belikan mengandung cacat tersembunyi

Pembeli tidak membayar harga barang ataupun hraga barang baru dibayar

sebagian

Terhadap debitur yang melakukan wanprestasi terhadap kreditur, maka

kreditur dapat memilih untuk:

Tetap menuntut dipenuhinya prestasi

Disamping tetep menuntut prestasi juga menuntut ganti rugi

Hanya menuntut ganti kerugian

Menuntut pembatalan perjanjian jual beli yang telah disepakati bersama

Disamping menuntut pembatalan perjanjian jual beli juga menuntut ganti

kerugian

Apabila penjual tidak melakukan penyerahan, pembeli dilindungi pasal 1480

KHUPerdata, yang menyatakan jika penyerahan barang karena kelalaian penjual

tidak dapat dilaksanakan maka pembeli dapat menuntut pembelian menurut

ketentuan pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. Apabila pembeli tidak membayar

barang yang telah diserahkan penjual, penjual dapat melakukan upaya hukum yaitu

menuntut pengembalian barang yang telah diserahkannya. Hak penjual yang

demikian dinamakan hak reklame yang di atur dalam pasal 1517 KUHPerdata.

12. Berakhirnya Perjanjian

Page 14: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Berakhirnya perjanjian berbeda dengan berakhirnya perikatan, karena suatu

perikatan dapat dihapus sementara perjanjian yang menjadi sumbernya dapat masih

tetap ada. Semua perikatan yang timbul dari perjanjian telah hapus seluruhnya, maka

perjanjian akan berakhir, dalam hal ini berakhirnya perjanjian dapat pula

mengakibatkan berakhirnya perikatan, yaitu apabila suatu perjanjian hapus dengan

berlaku surut, misalnya sebagai akibat pembatalan karena wanprestasi, maka semua

perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, dan tidak perlu dipenuhi lagi dan yang

telah dipenuhi harus ditiadakan.

Suatu perjanjian pada umumnya akan berakhir apabila tujuan dari perjanjian itu

telah tercapai, yaitu masing-masing pihak telah memenuhi prestasi yang

diperjanjikan, sebagaimana yang mereka kehendaki bersama dalam mengadakan

perjanjian tersebut.

R. Setiawan menyatakan beberapa penyebab berakhirnya suatu perjanjian,

yaitu:10

Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya perjanjian akan berlaku

untuk waktu tertentu yang artinya perjanjian akan berakhir pada saat waktu yang

telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian tersebut (Pasal 1603 e ayat (1)

KUH Perdata);

Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian. Misalnya

dalam ketentuan pasal 1066 ayat (3) bahwa para ahli waris dapat mengadakan

perjanjian untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan selama waktu tertentu,

akan tetapi terdapat pembatasan dari ayat (4) pasal tersebut dimana waktu

perjanjian tersebut hanya berlaku selama lima tahun;

10 R. Setiawan, Op. Cit., h. 69

Page 15: Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya

peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus. Misalnya jika salah satu pihak

dalam perjanjian meninggal dunia maka perjanjian akan hapus;

Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging) dapat dilakukan oleh salah

satu pihak maupun kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut. Opzegging

hanya terdapat pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara. Misalnya

perjanjian kerja dan perjanjian sewa menyewa;

Perjanjian berakhir karena putusan hakim. Misalnya dalam ketentuan pasal

1266 ayat (2) dan ayat (4) KUH Perdata, tersimpul syarat-syarat pemutusan

perjanjian (ontbinding) di mana salah satu syaratnya adalah dengan putusan

hakim;

Tujuan perjanjian telah tercapai;

Dengan persetujuan para pihak (herroeping)