29
22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAKU DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pada Umumnya Dalam Buku III KUH Perdata telah diatur mengenai perikatan. Istilah perikatan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, yaitu verbintenis. Istilah tersebut mempunyai arti lebih luas dari pada istilah perjanjian. Perikatan merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang kongkrit. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terjadi karena adanya peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, dan keadaan. Hubungan hukum ini perlu dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan. 1 Dalam ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa perikatan- perikatan lahir dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang lahir dari perjanjian timbul karena adanya kesepakatan para pihak untuk saling mengikatkan diri yang dituangkan dalam perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. 2 1 Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A. Bardin, Bandung, h. 3. 2 Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, h. 3.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAKU DAN ... II.pdf · 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAKU DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pada Umumnya Dalam Buku III

Embed Size (px)

Citation preview

22

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAKU DAN

PERLINDUNGAN KONSUMEN

2.1 Perjanjian Pada Umumnya

Dalam Buku III KUH Perdata telah diatur mengenai perikatan. Istilah

perikatan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, yaitu verbintenis. Istilah

tersebut mempunyai arti lebih luas dari pada istilah perjanjian. Perikatan

merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu

peristiwa hukum yang kongkrit. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang

terjadi karena adanya peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian,

dan keadaan. Hubungan hukum ini perlu dibedakan dengan hubungan-hubungan

yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan

kesusilaan.1

Dalam ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa perikatan-

perikatan lahir dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang lahir dari

perjanjian timbul karena adanya kesepakatan para pihak untuk saling mengikatkan

diri yang dituangkan dalam perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian,

memang dikehendaki oleh dua orang atau pihak yang membuat suatu perjanjian,

sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang

di luar kemauan para pihak yang bersangkutan.2

1Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A. Bardin, Bandung, h. 3.

2Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, h. 3.

23

2.1.1 Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu

overeenkomst. Kata overeenkomst berasal dari kata overeenkomen yang artinya

setuju atau sepakat. Sehingga istilah perjanjian mengandung kata sepakat sesuai

dengan asas konsensualisme. Dalam ketentuan umum mengenai perjanjian,

terdapat definisi perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata

yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas.3 Tidak lengkap

karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja.4 Sangat luas dikarenakan

mempergunakan kata perbuatan sehingga mencakup juga perwakilan sukarela dan

perbuatan melawan hukum. Lingkup perjanjian terlalu luas, mencakup juga

perjanjian perkawinan yang diatur dalam bidang hukum keluarga.5 Padahal

perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata tersebut hanya mencakup

hubungan yang bersifat kebendaan, bukan bersifat keorangan atau personal.

Selain itu, terdapat beberapa ahli hukum yang mengemukakan pendapat

mereka mengenai rumusan pengertian perjanjian, yaitu :

1. Subekti merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :

3Ibid, h. 49.

4Agus Yudha Hernoko, 2010, op.cit, h. 16.

5Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 289.

24

“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang

lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu

hal”.6

2. Achamad Ichsan merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :

“Perjanjian adalah suatu hubungan atas dasar hukum kekayaan

(vermogensrechttelijke betrekking) antara dua pihak atau lebih dalam mana

pihak yang satu berkewajiban memberikan sesuatu prestasi atas mana pihak

yang lain mempunyai hak terhadap prestasi itu”.7

3. Abdulkadir Muhammad merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :

“Perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling

mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di

bidang harta kekayaan”.8

4. Van Dune merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :

“Perjanjian adalah hubungan hukum berdasarkan kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukum”.9

5. RM Sudikno Mertokusumo merumuskan pengertian perjanjian sebagai

berikut:

6Subekti, op.cit. h. 1.

7Achamad Ichsan, 1967,Hukum Perdata I B, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, h. 15.

8Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 290.

9Much. Nurachmad, 2010, Buku Pintar Memahami & Membuat Surat Perjanjian,

Visimedia, Jakarta, h. 5.

25

“Perjanjian adalah perbuatan hukum terjadi karena kerjasama dua orang atau

lebih”.10

Berdasarkan dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa

perjanjian timbul atau terjadi karena adanya kata sepakat atau persetujuan kedua

belah pihak. Kata sepakat terjadi karena adanya persesuaian kehendak diantara

para pihak. Perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak

yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian dinamakan juga persetujuan

dan/atau kontrak karena menyangkut kedua belah pihak yang setuju atau sepakat

untuk melakukan sesuatu.

2.1.2 Hubungan Hukum Dalam Perjanjian

Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum.11

Artinya

hubungan yang tidak diatur oleh hukum bukan merupakan hubungan hukum.

Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan

dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.12

Menurut Logemann, tiap hubungan

hukum terdapat pihak yang berhak meminta prestasi dan pihak yang wajib

melakukan prestasi. Hubungan hukum mempunyai dua segi yaitu hak dan

kewajiban. Hak dan kewajiban ini kedua-duanya timbul dari satu peristiwa hukum

(misalnya jual beli) dari satu pasal hukum objektif (Pasal 1474 KUH Perdata).13

10

Ibid.

11Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, h. 253.

12Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 269.

13Ibid, h. 270.

26

Hubungan hukum mempunyai tiga unsur, yaitu adanya orang-orang yang

hak atau kewajibannya saling berhadapan, objek yang berlaku berdasarkan hak

dan kewajiban, dan hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau

hubungan atas objek yang bersangkutan. Suatu hubungan hukum baru ada jika

telah adanya dasar hukum yang mengatur hubungan hukum tersebut dan

timbulnya peristiwa hukum.

2.1.3 Asas-Asas Perjanjian

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas yang merupakan dasar dalam

pelaksanaan perjanjian. Adanya asas-asas dalam perjanjian bertujuan untuk

menjamin kepastian hukum dan membatasi dominasi salah satu pihak dalam

perjanjian. Selain itu, asas-asas ini juga berfungsi sebagai pedoman bagi para

pihak dalam membuat perjanjian. Asas-asas dalam perjanjian adalah diuraikan

sebagai berikut :

a. Asas konsensualisme

Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat kata

sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian.14

Dengan

perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal

pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas. 15

Asas konsensualisme dibatasi

oleh ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa tiada sepakat

yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya

dengan paksaan atau penipuan.

14

Abdulkadir Muhammad, 2010, op.cit. h. 296.

15Subekti, op.cit, h. 15.

27

Maksud dari ketentuan tersebut adalah adanya kata sepakat berarti telah

terjadi konsensus secara tulus tanpa adanya kekhilafan, paksaaan ataupun

penipuan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata, apabila suatu

perjanjian dibuat didasarkan atas kekhilafan, paksaan ataupun penipuan, maka

perjanjian tersebut dapat dibatalkan (pembatalan).

b. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan perwujudan dari kehendak bebas

yang merupakan pancaran hak asasi manusia. Asas kebebasan berkontrak

didasarkan atas hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Hukum perjanjian

memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk

mengadakan perjanjian yang berisi apa saja bahkan diperbolehkan untuk membuat

ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian

dalam Buku III KUH Perdata.16

Sehingga setiap orang bebas mengadakan

perjanjian apa saja baik yang sudah diatur maupun belum diatur oleh undang-

undang asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban hukum, tidak dilarang

undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.

c. Asas mengikatnya para pihak

Dalam asas ini, segala sesuatu yang telah disepakati oleh para pihak dan

telah dituangkan dalam perjanjian mengikat sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata. Asas ini

juga disebut dengan asas pacta sun servanda yang berhubungan dengan akibat

16

Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, 2011, Pokok-Pokok Hukum Bisnis,

Salemba Empat, Jakarta h. 22.

28

hukum dari suatu perjanjian. Dengan adanya kekuatan mengikat dalam perjanjian

maka para pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata terdapat suatu prinsip

bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat dengan apa yang

secara tegas disetujui dalam perjanjian tetapi juga terikat oleh kepatutan,

kebiasaan dan undang-undang. Prinsip bahwa di dalam sebuah persetujuan orang

menciptakan sebuah kewajiban hukum dan bahwa ia terikat pada janji-janji

kontraktualnya dan harus memenuhi janji-janji ini, dipandang sebagai sesuatu

yang sudah dengan sendirinya dan bahkan orang tidak lagi mempertanyakan

mengapa hal itu demikian.17

Selain dalam Pasal 1338 KUH Perdata, asas mengikat ini juga secara tegas

dinyatakan dalam Pasal 1340 bahwa perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak

yang membuatnya, sehingga perjanjian tidak dapat membawa kerugian atau

manfaat bagi pihak ketiga. Seseorang dalam membuat perjanjian tidak boleh

membebani pihak ketiga dan memberikan hak kepada pihak ketiga dapat saja

dilakukan jika sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata.

d. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan mempunyai makna sebagai keseimbangan posisi atau

kedudukan para pihak yang mengadakan perjanjian. Keseimbangan kedudukan

para pihak hanya akan terwujud apabila para pihak tersebut berada pada posisi

yang sama kuat. Tujuan dari asas keseimbangan adalah hasil akhir yang

17

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia

Modern, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 97.

29

menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan

kewajibannya.18

Keseimbangan kedudukan para pihak dapat ditentukan dari adanya

kecakapan dalam membuat perjanjian. Apabila seorang yang tidak cakap

membuat perjanjian dengan orang yang cakap maka terjadi ketidakseimbangan.

Selain itu, ketidakseimbangan kedudukan para pihak terjadi karena adanya

penyalahgunaan keadaan (undueinfluence) dimana salah satu pihak berada dalam

posisi kuat dan posisi tersebut disalahgunakan sehingga merugikan pihak lain.

e. Asas kepribadian (personalitas)

Asas kepribadian atau personalitas adalah asas yang menentukan bahwa

seseorang yang akan melakukan atau membuat kontrak hanya untuk keperntingan

perseorangan saja. Dalam Pasal 1315 KUH Perdata ditentukan bahwa seseorang

yang membuat perjanjian tidak dapat mengatasnamakan orang lain. Sebuah

perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak

yang membuatnya.19

2.1.4 Unsur-Unsur Perjanjian

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya 3 unsur

perjanjian, yaitu :

1. Unsur esensialia

Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa

prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih pihak, yang

mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip

18

Agus Yudha Hernoko, op.cit, h. 80.

19Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, op.cit, h. 23.

30

dari jenis perjanjian lainnya.20

Unsur esensialia merupakan unsur pokok yang jika

unsur ini tidak ada maka perjanjian menjadi timpang. Selain itu, perjanjian akan

dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Unsur esensialia digunakan untuk memberikan rumusan, definisi dan

pengertian dalam suatu perjanjian. Misalnya dalam perjanjian jual beli yang diatur

dalam Pasal 1457 KUH Perdata mengandung unsur barang dan harga sebagai

unsur pokoknya. Sehingga apabila unsur harga dan barang tidak dapat dipenuhi

dalam perjanjian maka tuntutan terhdap pemenuhan perjanjian tidak dapat

diterima.

2. Unsur naturalia

Unsur naturalia adalah unsur yang sudah diatur dalam undang-undang dan

berlaku untuk setiap perjanjian, apabila para pihak tidak mengaturnya.21

Meskipun ketentuan-ketentuan yang merupakan unsur naturalia tidak tidak secara

tegas ada dalam perjanjian, ketentuan tersebut tetap dianggap ada. Misalnya

dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual beli, pasti akan terdapat

unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang

dijual dari cacat-cacat tersembunyi.22

Kewajiban tersebut memang tidak

dicantumkan dalam perjanjian, namun jika hal tersebut terjadi maka kewajiban

tersebut akan menjadi tanggung jawab penjual.

20

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 85.

21I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h.28.

22Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h. 88.

31

3. Unsur aksidentalia

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang

merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para

pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak,

yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh

para pihak.23

Unsur ini berupa suatu peristiwa seperti misalnya tempat dan saat

perjanjian tersebut dilaksanakan. Unsur ini juga merupakan unsur penting dalam

suatu perjanjian, sebab terjadi atau tidaknya suatu peristiwa dapat menyebabkan

perjanjian dapat dilaksanakan sesuai isi perjanjian atau dengan cara lain.

Ketiga unsur tersebut merupakan unsur penting yang menjadi dasar dari

suatu perjanjian. Sebagaimana yang telah dijabarkan diatas bahwa unsur

esensialia merupakan unsur pokok, sehingga jika unsur tersebut tidak dapat

dipenuhi maka akan menyebabkan perjanjian tersebut tidak ada, timpang dan

tidak dapat dijalankan. Sebaliknya jika unsur naturalia dan unsur aksidentalia

dimasukkan dalam suatu perjanjian maka unsur-unsur tersebut akan melengkapi

perjanjian dan karenanya perjanjian tersebut dapat dijalankan.

2.1.5 Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Suatu perjanjian yang sah dan mengikat adalah perjanjian yang memenuhi

syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Syarat-syarat tersebut

diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang akan diuraikan sebagai berikut:

23

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h. 89.

32

1. Sepakat mengikatkan diri

Menurut Nancy K. Kubasek dalam bukunya yang berjudul “Dynamic

Business Law” menyatakan bahwa “the first element of a contract is the

agreement”.24

Perjanjian lahir saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak

yang didasarkan atas adanya persetujuan kehendak, dikenal dengan asas

konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian. Persetujuan

kehendak adalah persepakatan seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok

(esensi) perjanjian.25

Persetujuan kehendak itu bebas dari paksaan pihak mana pun dan tidak ada

kekhilafan maupun penipuan. Paksaan (dwang) adalah suatu perbuatan ancaman

yang dilakukan oleh seseorang yang dapat menakutkan orang dan apabila

perbuatan ancaman tersebut menjadi kenyataan dapat menimbulkan kerugian

secara nyata dan terang kepada orang yang diancam. Kehilafan (dwaling) adalah

suatu penggambaran yang keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat

penting objek perjanjian, atau mengenai subjek perjanjian. Penipuan (bedrog)

merupakan suatu alasan pembatalan perjanjian yang dilakukan dengan

menggunakan tipu muslihat oleh salah satu pihak

Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kata sepakat, salah satu

pihak akan menyampaikan penawaran. Penawaran merupakan suatu bentuk

pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala

macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan untuk disepakati oleh para

24

Nancy K. Kubasek et. al, 2009, Dynamic Business Law, McGraw-HillI, New York,

h..362.

25Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 299.

33

pihak. Adanya kesepakatan para pihak ditandai oleh penawaran dan penerimaan

yang dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, diam-diam, dan simbol.

Kesepakatan merupakan inti dari perjanjian. Terdapat teori-teori mengenai

kapan terjadinya suatu kesepakatan, yaitu :

a. Teori kehendak (wilstheorie)

Teori ini menganggap bahwa pihak-pihak hanya terikat kepada hal-hal

yang memang benar-benar dikehendakinya.26

b. Teori pernyataan atau kepercayaan (verklarings of vertrouwenstheorie)

Teori pernyataan menekankan kepada apa yang dinyatakan.27

Dalam teori

ini para pihak terikat kepada hal-hal yang telah dinyatakan dengan pengertian,

dimana pernyataan tersebut dianggap sesuai dengan kehendak para pihak yang

menyatakannya.

c. Teori ucapan (uitingstheorie)

Teori ini menyatakan bahwa suatu kesepakatan terjadi, jadi pihak yang

menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban yang menyatakan bahwa ia

telah menerima tawaran itu.28

d. Teori pengiriman (verzendtheorie)

Terjadinya kata sepakatan pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim

oleh pihak yang menerima tawaran.29

26

Achamad Ichsan, op.cit, h. 18.

27I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h. 53.

28Samuel M. P Hutabarat, 2010, Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian,

Garsindo, Jakarta, h. 36.

29Ibid.

34

e. Teori penerimaan (ontvangsttheorie)

Teori penerimaan menyatakan bahwa kesepakatan itu terjadi manakala

jawaban atas penawaran yang berisi tentang penerimaan penawaran tersebut telah

diterima oleh pihak yang menawarkan.30

2. Kecakapan para pihak

Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan

perbuatan hukum termasuk mengadakan perjanjian. Pada dasarnya semua orang

dianggap cakap untuk membuat perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 1329

KUH Perdata, kecuali yang secara tegas oleh undang-undang dinyatakan tidak

cakap sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Dalam Pasal

1330 KUH Perdata disebutkan bahwa tidak cakap membuat perjanjian ialah :

a. orang-orang yang belum dewasa, yaitu orang yang belum genap berusia 21

tahun dan belum menikah sesuai ketentuan Pasal 330 KUH Perdata;

b. mereka yang berada di bawah pengampuan, yaitu orang yang gila, kalap mata,

bahkan dalam hal tertentu juga orang yang boros sesuai ketentuan Pasal 433

KUH Perdata;

c. orang-orang perempuan dalam hal ditetapkan oleh undang-undang, yaitu

perempuan yang sudah menikah dan tidak didampingi oleh suaminya.

Namun setelah adanya surat edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun

1963 tanggal 4 Agustus 1963 yang menyebutkan beberapa pasal dalam KUH

Perdata antara lain Pasal 108 dan Pasal 110, sehingga sejak saat itu perempuan

yang masih mempunyai suami dapat melakukan perbuatan hukum serta

30

Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Press,

Jakarta (selanjutnya disebut Ahmadi Miru I), h. 33.

35

diperbolehkan menghadap di pengadilan tanpa seijin dari suaminya. Perbuatan

hukum yang dilakukan istri adalah sah dan mengikat menurut hukum dan tidak

dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan.31

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dimaksudkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai

suatu objek tertentu yang merupakan pokok perjanjian atau prestasi. Prestasi

adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.32

Prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat

sesuatu. Oleh karena itu, objek dalam perhubungan hukum perihal perjanjian ialah

hal yang diwajibkan kepada pihak berwajib (debitur), dan hal, terhadap mana

pihak berhak (kreditur) mempunyai hak.33

Objek perjanjian harus ditentukan

secara tegas dalam perjanjian. Hal ini bertujuan untuk menjaga apabila terjadi

suatu perselisihan maka akan mudah menerapkan hak dan kewajiban masing-

masing pihak.

4. Suatu sebab yang halal

Sebab adalah apa yang menjadi isi atau makna dari perjanjian atas dasar

mana pihak yang bersangkutan menghendaki mengadakan perjanjian itu. Kata

sebab dalam Bahasa Belanda adalah orzaak dan Bahasa Latin berarti causa. Hoge

Raad sejak tahun 1927 mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan

31

Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 302.

32Salim HS, 2010, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar

Grafika, Jakarta (selanjutnya disingkat Salim HS I), h. 24.

33Wirjono Prodjodikoro, 2000, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung,

h.19.

36

para pihak.34

Wirjono memberikan pengertian causa sebagai isi dan tujuan suatu

perjanjian, yang menyebabkan adanya perjanjian itu.35

Suatu perjanjian harus mengandung sebab yang dibenarkan oleh undang-

undang, kebiasaan, ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan. Suatu perjanjian

tanpa sebab atau dibuat karena sebab yang palsu termasuk ke dalam sebab yang

tidak halal. Sehingga perjanjian tersebut tidak akan mempunyai kekuatan atau

batal demi hukum.

Syarat-syarat perjanjian seperti yang telah diuraikan diatas bersifat

komulatif, bukan limitatif. Jika salah satu syarat atau beberapa syarat bahkan

semua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu tidak sah. Syarat sepakat

mengikatkan diri dan kecakapan para pihak merupakan syarat subjektif. Syarat

subjektif berkaitan dengan orang-orang atau subjek yang mengadakan perjanjian.

Akibat hukum dari tidak dipenuhinya syarat subjektif adalah perjanjian tersebut

dapat dibatalkan (vernietigbaarheid). 36

Selanjutnya, syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal termasuk

syarat objektif. Syarat objektif berkaitan dengan objek dari perbuatan hukum yang

dilakukan yaitu isi perjanjian. Akibat hukum yang ditimbulkan dari tidak

dipenuhinya syarat objektif adalah batal demi hukum (neitigbaarheid).37

34

Ibid, h. 25.

35Achamad Ichsan, op.cit, h. 23.

36I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h. 62.

37I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, h. 67.

37

2.2 Perjanjian Baku

2.2.1 Pengertian Perjanjian Baku

Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu

standard contract.38

Di Indonesia sendiri, perjanjian baku juga dikenal dengan

istilah “perjanjian standar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata standar

berarti suatu ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan, sedangkan kata baku

berarti tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan.39

Selain itu, perjanjian baku dikenal dengan nama take it or leave it. Artinya

konsumen mempunyai hak untuk melakukan pilihan yaitu menyetujui perjanjian

atau menolak perjanjian.

Dalam perjanjian baku, model, rumusan dan ukuran yang dijadikan

patokan atau pedoman telah dibakukan sehingga tidak dapat diganti atau diubah

lagi. Semuanya telah dicetak dalam bentuk formulir yang di dalamnya dimuat

syarat-syarat baku. Oleh karena perjanjian baku tersebut dibuat sepihak maka

hanyalah pihak penyusun perjanjian yang memahami isi perjanjian sedangkan

pihak lain yang hanya menerima perjanjian tidak tertutup kemungkinan dirugikan

sebab ia sulit dan tidak memahami isi perjanjian dalam waktu singkat.

Terdapat beberapa rumusan mengenai pengertian perjanjian baku yang

dirumuskan oleh para ahli hukum, yaitu :

38

Salim HS, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, PT

RajaGrafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disingkat Salim HS II), h. 145.

39Anonim, 2015, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), URL : http://kbbi.web.id,

diakses pada tanggal 31 Maret 2015.

38

1. Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut :

“Perjanjian baku adalah konsep-konsep atau janji-janji tertulis, disusun tanpa

membicarakan isinya dan lazimnya, dituangkan ke dalam sejumlah tak

terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu”.40

2. Sutan Remi Sjadeini merumuskan perjanjian baku sebagai berikut :

“Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya

dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak

mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan".41

3. Mariam Darus Badrulzaman merumuskan perjanjian baku sebagai berikut:

“Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan

dalam bentuk formulir”.42

Berdasarkan rumusan perjanjian baku yang telah dirumuskan oleh para

ahli hukum, maka dapat dirumuskan perjanjian baku merupakan perjanjian tertulis

yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu, yang mengandung

syarat-syarat baku, yang dibuat oleh salah satu pihak kemudian disodorkan kepada

pihak lain untuk disetujui.

40

Sukarmi, 2008, Cyber Law : Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha

(Cyber Law Indonesia), Pustaka Sutra, Bandung, h. 45.

41Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc.cit, dikutip dari Sultan Remi Sjadeini, 1993, Kebebasan

Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di

Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, h. 66.

42Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, h. 139, dikutip dari Mariam Darus Badrulzaman,

1986, Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat Dari Perjanjian Baku (Standar), Binacipta,

Bandung, h. 58.

39

1.2.2 Ciri-Ciri Perjanjian Baku

Dalam perjanjian baku juga terdapat ciri-ciri atau karakteristik yang harus

disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

Perkembangan kebutuhan masyarakat kini menginginkan adanya efisiensi dan

efektivitas kerja. Karena lahir dari kebutuhan akan kebutuhan efisiensi serta

efektivitas kerja, maka bentuk perjanjian baku ini pun memiliki karakteristik yang

khas yang tidak dimiliki oleh perjanjian yang lain pada umumnya, antara lain

perjanjian baku dibuat salah satu pihak saja dan tidak melalui suatu bentuk

perundingan, isi perjanjian telah distandarisasi, klausula yang ada di dalamnya

biasanya merupakan klausul yang telah menjadi kebiasaan secara luas dan berlaku

secara terus menerus dalam waktu yang lama.43

Selain itu, beberapa para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai

ciri-ciri atau karakteristik perjanjian baku. Sudaryatmo mengungkapkan

karakteristik perjanjian baku sebagai berikut:

1. perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat

dari konsumen;

2. konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian;

3. dibuat dalam bentuk tertulis dan massal;

4. konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.44

43

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, h. 140, dikutip dari Sriwati, 2000, “Perlindungan

Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Baku”, Jurnal Yustika Vol. 3, Desember 2000, h. 176.

44Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana, Jakarta, h. 66, dikutip dari

Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 93.

40

Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku.

Ciri perjanjian baku yaitu :

1. isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;

2. masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi

perjanjian;

3. terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;

4. bentuk tertentu (tertulis);

5. dipersiapkan secara massal dan kolektif. 45

1.2.3 Jenis-Jenis Perjanjian Baku

Mariam Darus Badrulzaman membagi perjanjian baku menjadi empat

jenis yaitu :

a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh

pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat

disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi)

kuat dibandingkan pihak debitur.

b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya

ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-

pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh

(debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya

pada perjanjian buruh kolektif.

c. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku

yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan

hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek

hak-hak atas tanah.

d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat

adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah

disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang

minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.46

45

Salim HS II, op.cit, h.146.

46Salim HS II, op.cit, h. 156.

41

1.2.4 Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku

Klausula eksonerasi sering dicantumkan dalam perjanjian baku oleh

pelaku usaha. Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang

dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri

untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas,

yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.47

Klausula

eksonerasi merupakan syarat yang berisi pembebasan atau pembatasan tanggung

jawab pelaku usaha dalam melaksanakan suatu perjanjian.

Pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dimaksudkan

untuk mengurangi atau bahkan meniadakan resiko-resiko tertentu yang mungkin

muncul dikemudian hari. Adanya syarat pembebasan atau pembatasan tanggung

jawab secara tidak langsung memperluas alasan-alasan keadaan memaksa.

Biasanya klausula tersebut banyak terdapat dalam jual beli, pengangkutan laut,

parkir kendaraan, serta hal-hal yang dialami sehari-hari.48

Dengan adanya klausula

eksonerasi tersebut, menunjukkan kedudukan pelaku usaha akan semakin kuat,

walaupun sebenarnya tanpa dicantumkannya klausula baku kedudukannya pun

sudah kuat.

Klausula eksonerasi dapat berasal dari rumusan pelaku usaha secara

sepihak dan dapat juga berasal dari rumusan pasal dalam undang-undang.

Klausula eksonerasi yang berasal dari rumusan pelaku usaha membebankan beban

pembuktian pada konsumen dan menyatakan pelaku usaha tidak bersalah.

47

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.114, dikutip dari Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka

Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, h. 47.

48Abdulkadir Muhamaad, op.cit, h. 312.

42

Sedangkan klausula eksonerasi yang berasal dari rumusan pasal dalam undang-

undang membebankan pembuktian pada pelaku usaha, seperti misalnya pada

rumusan Pasal 22 UU Perlindungan Konsumen.

Tujuan dari pencamtuman klausula eksonerasi adalah untuk mencegah

konsumen merugikan kepentingan pelaku usaha. Di sisi lain, adanya pencantuman

klausula eksonerasi ini justru merugikan kepentingan konsumen. Klausula

eksonerasi dapat dicantumkan dalam perjanjian baku jika adanya keadaan

memaksa karena perbuatan pihak-pihak perjanjian. Perbuatan pihak-pihak

perjanjian berkaitan dengan kepentingan pihak kedua dan/atau pihak ketiga.

Walaupun dalam perjanjian baku pelaku usaha mempunyai kebebasan

mencantumkan dan memberlakukan klausula baku, namun tetap saja terdapat

batasan-batasan yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha. Batasan-batasan

pencantuman klausula baku tersebut dinyatakan dalam Pasal 18 UU Perlindungan

Konsumen, yaitu:

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula

baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang

dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha

baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan

segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli

oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang

atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat

jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi

objek jual beli jasa;

43

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa

aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang

dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen

memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku

usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak

jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran.

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang

pengungkapannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada

dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

1.3 Perlindungan Konsumen dan Dasar Hukumnya

2.3.1 Pengertian Perlindungan Konsumen

Konsumen merupakan istilah yang sering dipergunakan dalam kehidupan

sehari-hari. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-

Amerika), atau consument/konsument (Belanda).49

Secara harfiah arti kata

consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.50

Secara yuridis formal pengertian konsumen dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka

2 UU Perlindungan konsumen yang menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap

orang, pemakai barang dan/atau jasa, yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan

tidak untuk diperdagangkan. Dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah

konsumen akhir (end consumer) dan konsumen antara (derived/intermediate

consumer). Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu

49

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, h. 22.

50Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc.cit.

44

produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu

produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya.

Berdasarkan Penjelasan UU Perlindungan konsumen ditentukan bahwa

pengertian konsumen yang dimaksud dalam UU Perlindungan Konsumen adalah

konsumen akhir. Hal ini dapat ditunjukkan dari adanya syarat tidak untuk

diperdagangkan dalam pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 UU

Perlindungan Konsumen. Dengan demikian maka akan timbul pertanyaan

mengenai kepastian hukum bagi badan hukum, badan usaha, atau produsen dan

pelaku usaha yang mengonsumsi barangdan/atau jasa, untuk memproduksi barang

dan/atau jasa lainnya.

Pengertian konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu

konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi

kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain tidak untuk

diperdagangkan kembali.51

Sedangkan yang kedua dalam naskah final Rancangan

Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang disusun oleh

Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Penenlitian

dan Pengembangan Perdagangan Departermen Perdagangan RI menentukan

51

Ahmadi Miru, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di

Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Ahmadi Miru II), h. 20, dikutip

dari Yayasan Lembaga Konsumen, 1981, Perlindungan Konsumen Indonesia, Yayasan Lembaga

Konsumen, Jakarta, h. 2.

45

bahwa, konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang

untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.52

Para ahli hukum juga mempunyai pandangan sendiri dalam merumuskan

pengertian konsumen. Namun pada umumnya para ahli sepakat bahwa arti

konsumen adalah pemakai terakhir dari barang dan/atau jasa yang diserahkan

kepada mereka oleh pengusaha. Mariam Darus Badrul Zaman mendenfinisikan

konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang digunakan oleh

kepustakaan Belanda, yaitu semua individu yang menggunakan barang dan jasa

secara konkret dan riil.53

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo merumuskan

pengertian konsumen adalah setiap orang/badan hukum yang memperoleh

dan/atau memakai barang atau jasa yang berasal dari pelaku usaha dan tidak untuk

diperdagangkan. Inosentius Samsul menyebutkan konsumen adalah pengguna

atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui

cara lain, seperti pemberian hadiah, dan undangan.54

Dalam penjelasan UU Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa dalam

melakukan hubungan dengan pelaku usaha, konsumen berada di posisi yang

lemah. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran

konsumen akan haknya masih rendah. Untuk itu, perlu adanya perlindungan

hukum terhadap konsumen. Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum

adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak asasi

52

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, h. 6, dikutip dari Universitas Indonesia dan

Departemen Perdagangan, 1992, Rancangan Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan

Konsumen, Pasal 1 a.

53Zulham, op.cit, h. 16.

54Zulham, loc.cit.

46

manusia yang dimiliki subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari

kesewenangan. Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk

menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam

usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen

itu sendiri.55

UU Perlindungan Konsumen memberikan pengertian perlindungan

konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberi perlindungan kepada konsumen. Segala upaya yang dimaksudkan dalam

perlindungan konsumen tidak hanya terhadap tindakan preventif, akan tetapi juga

tindakan represif dalam semua bidang perlindungan yang diberikan kepada

konsumen. Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua

aspek, yaitu:

1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada

konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada

konsumen.56

Perlindungan hukum diberikan kepada konsumen untuk mempertahankan

hak-hak konsumen dari gangguan pihak lain. Sebagaimana yang telah diuraikan

diatas bahwa tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya masih rendah

sehingga tidak menutup kemungkinan konsumen dijadikan objek aktivitas bisnis

oleh pelaku usaha untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya melalui kiat

55

Zulham, op.cit, h. 21.

56Zulham, op.cit, h. 22, dikutip dari Adrianus Meliala, 1993, Praktik Bisnis Curang,

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 152.

47

promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan

konsumen. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik

dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.57

1.3.2 Hak-Hak Konsumen

Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen yang dikemukakan

oleh Jhon F. Kennedy dan diakui secara internasional, yaitu :

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), yaitu hak yang

ditujukan pada perlindungan konsumen dari pemasaran barang dan/atau jasa

yang membahayakan keselamatan konsumen.

2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), yaitu hak

konsumen untuk memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi suatu barang dan/atau jasa yang dipasarkan oleh pelaku usaha.

3. Hak untuk memilih (the right to choose), yaitu hak prerogratif yang dimiliki

oleh konsumen untuk menentukan apakah ia akan membeli atau tidak

membeli suatu barang dan/atau jasa.

4. Hak untuk didengar (the right to be heard), yaitu hak konsumen untuk

didengar setiap keluhannya dan harapannya dalam mengonsumsi barang

dan/atau jasa yang dipasarkan oleh pelaku usaha.

YLKI menambahkan satu hak dasar lagi sebagai pelengkap empat dasar hak

konsumen yang dikemukakan oleh Jhon F. Kennedy yaitu hak mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat.58

57

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, h. 30.

58Zulham, op.cit, h. 50.

48

Selain itu, International Organization of Consumers Union-IOCU yang

merupakan organisasi konsumen sedunia menambahkan empat hak dasar

konsumen yang harus dilindungi yaitu:

1. hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

2. hak untuk mmperoleh ganti rugi;

3. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

4. hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Keseluruhan hak-hak tersebut diatas diakomodasikan dalam UU

Perlindungan Konsumen. Namun hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang

bersih dan sehat tidak dimasukkan dalam UU Perlindungan Konsumen. Hal ini

dikarenakan UU Perlindungan Konsumen secara khusus mengecualikan hak-hak

yang diatur dalam undang-undang di bidang hak-hak atas kekayaan intelektual

dan di bidang pengelolaan lingkungan. Sehingga terdapat delapan hak konsumen

yang secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen dan

satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka.

1.3.3 Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Dasar hukum perlindungan konusmen merupakan norma hukum yang

menjadi landasan kebijakan dalam perlindungan konsumen. Dasar hukum tersebut

dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang didalamnya

mengatur mengenai perlindungan konsumen. Salah satu peraturan perundang-

undangan yang menjadi landasan hukum dalam upaya perlindungan konsumen

adalah UU Perlindungan Konsumen.

49

Adanya UU Perlindungan Konsumen bertujuan untuk melindungi hak-hak

dan menjamin kepastian hukum bagi konsumen. Hal ini dikarenakan banyak

konsumen yang belum menyadari akan hak-haknya yang harus dilindungi. Tujuan

perlindungan konsumen tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 3 UU

Perlindungan konsumen, yaitu :

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Terdapat asas-asas perlindungan konsumen yang tercantum dalam Pasal 2

UU Perlindungan Konsumen dan penjelasannya, meliputi:

1. Asas manfaat yaitu segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan

konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan

konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;

2. Asas keadilan yaitu partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara

maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha

untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;

3. Asas keseimbangan yaitu memberikan keseimbangan antara kepentingan

konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual;

50

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen yaitu memberikan jaminan atas

keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian

dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;

5. Asas kepastian hukum yaitu baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati

hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan

konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Selain UU Perlindungan Konsumen terdapat dasar hukum lain sebagai

landasan perlindungan konsumen, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang;

2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;

3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten;

4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek;

5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan;

7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;

9. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian;

10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.