39
19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Terdapat berbagai definisi mengenai perikatan dan perjanjian yang dapat kita temukan pada berbagai literatur, karena para sarjana hukum Indonesia memiliki perbedaan pendapat mengenai definisi dari perikatan dan perjanjian tersebut. Dalam membahas hukum perjanjian terdapat istilah yang berasal dari bahasa belanda, yaitu verbintenis dan overeenkomst, maupun istilah yang berasal dari bahasa inggris, yaitu contract dan agreement. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat kita temukan ketentuan yang mengatur mengenai pengertian dari perjanjian, yaitu pada Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sedangkan mengenai perikatan, berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata dapat dikatakan bahwa sumber dari perikatan adalah perjanjian dan undang- undang. Jadi dapat penulis katakan bahwa perjanjian akan menimbulkan suatu perikatan, atau dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Selanjutnya untuk dapat lebih memahami mengenai istilah perikatan dan perjanjian, dapat kita lihat dari beberapa pendapat para sarjana hukum Indonesia. Adapun pendapat tersebut antara lain :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Terdapat berbagai definisi mengenai perikatan

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 19

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

    1. Pengertian Perjanjian

    Terdapat berbagai definisi mengenai perikatan dan perjanjian yang dapat

    kita temukan pada berbagai literatur, karena para sarjana hukum Indonesia

    memiliki perbedaan pendapat mengenai definisi dari perikatan dan perjanjian

    tersebut. Dalam membahas hukum perjanjian terdapat istilah yang berasal dari

    bahasa belanda, yaitu verbintenis dan overeenkomst, maupun istilah yang berasal

    dari bahasa inggris, yaitu contract dan agreement.

    Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat kita temukan

    ketentuan yang mengatur mengenai pengertian dari perjanjian, yaitu pada Pasal

    1313 KUHPerdata yang menyatakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

    dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

    atau lebih”. Sedangkan mengenai perikatan, berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata

    dapat dikatakan bahwa sumber dari perikatan adalah perjanjian dan undang-

    undang. Jadi dapat penulis katakan bahwa perjanjian akan menimbulkan suatu

    perikatan, atau dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber

    perikatan.

    Selanjutnya untuk dapat lebih memahami mengenai istilah perikatan dan

    perjanjian, dapat kita lihat dari beberapa pendapat para sarjana hukum Indonesia.

    Adapun pendapat tersebut antara lain :

  • 20

    a. R. Subekti memberikan pengertian dari perikatan adalah sebagai suatu

    perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan

    mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang

    lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan

    tersebut. Kemudian pengertian dari perjanjian adalah suatu peristiwa

    dimana seorang berjanji kepada seorang lain dimana dua orang itu

    saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.1

    b. Abdul Kadir Muhammad memberikan pengertian bahwa perikatan

    adalah suatu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu

    dengan orang lain karena perbuatan peristiwa atau keadaan.2

    Selanjutnya beliau memberikan pengertian dari perjanjian adalah

    adalah sebagai suatu persetujuan antara dua orang atau lebih yang

    saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam

    lapangan harta kekayaan.3

    c. R. M. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah

    hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat

    untuk menimbulkan akibat hukum.4

    d. R. Wiryono Prodjodikoro mengemukakan bahwa perjanjian adalah

    suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua belah

    pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal

    1 R. Subekti. 1985. Hukum Perjanjian. Jakarta : PT. Intermassa. Hlm. 1. 2 Abdul Kadir Muhammad. 1982. Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni. Hlm. 6. 3 Abdulkadir Muhammad. 1992. Hukum Perikatan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 78. 4 R.M. Sudikno Mertokusumo. 1988. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta : Liberty. Hlm. 97.

  • 21

    atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk

    menuntut pelaksanaan perjanjian.5

    e. R. Setiawan mengartikan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

    hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling

    mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.6

    Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, menurut penulis

    perjanjian adalah perbuatan hukum yang dilakukan antara sedikitnya dua pihak

    yang telah sepakat untuk saling mengikatkan diri atas sesuatu hal tertentu yang

    kemudian menimbulkan suatu hak dan kewajiban yang hanya berlaku bagi pihak-

    pihak tersebut dalam jangka waktu tertentu. Dari pengertian tersebut dapat dilihat

    bahwa unsur-unsur perjanjian yaitu :

    1. adanya minimal dua pihak

    2. adanya persetujuan antara pihak-pihak

    3. adanya prestasi yang akan dilangsungkan

    4. adanya syarat teretentu sebagai isi dari perjanjian.

    Perjanjian juga dapat diartikan sebagai “perbuatan”, yaitu perbuatan

    hukum (perbuatan yang mempunyai akibat hukum). Perbuatan hukum dalam

    perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu

    memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi itu

    meliputi perbuatan-perbuatan yaitu menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu,

    tidak melakukan sesuatu. 7

    5 R. Wiryono Prodjodikoro. 1987. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Cet. VIII. Bandung : Sumur. Hlm. 7. 6 R. Setiawan. 1979. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung : Bina Cipta. Hlm. 49. 7 http://legalakses.com/perjanjian/ (diunduh pada 6 Juli 2012)

  • 22

    2. Subjek Perjanjian

    Yang dimaksud dengan subjek perjanjian ialah pihak-pihak yang terkait

    dengan suatu perjanjian. Perjanjian sedikitnya melibatkan dua pihak yang saling

    memberikan kesepakatan mereka. Subjek perjanjian dapat berupa manusia pribadi

    (orang perseorangan) maupun dalam bentuk badan hukum. Subjek perjanjian

    harus mampu dalam melakukan perbuatan hukum seperti yang telah ditetapkan

    dalam undang-undang. Subjek perjanjian dapat dalam kedudukan sebagai debitur

    ataupun kreditur. Pihak yang berkewajiban memenuhi isi perjanjian disebut

    debitur, sedangkan pihak lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban itu disebut

    kreditur.

    Suatu badan hukum, sebagai subjek perjanjian, dalam segala perbuatan

    hukumnya akan mengikat badan hukum itu sebagai sebuah entitas legal (legal

    entity). Meskipun perbuatan badan hukum itu diwakili pemimpinnya, namun

    perbuatan itu tidak mengikat pemimpin badan hukum tersebut secara perorangan,

    melainkan mewakili badan hukum sebagai legal entity.8

    3. Asas-Asas Hukum Perjanjian

    Menurut R.M. sudikno Mertokusumo, asas hukum adalah dasar-dasar atau

    petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.9 Adapun asas-asas tersebut

    adalah sebagai berikut:10

    a. Asas Konsensualisme

    8 http://legalakses.com/perjanjian/ (diunduh pada 6 Juli 2012) 9 R.M. Sudikno Mertokusumo. Op.Cit. Hlm. 102. 10 Mariam Darus Badrulzaman. 1991. Perjanjian Kredit Bank. Cet. V. Bandung : PT Citra Aditya. Hlm. 42.

  • 23

    Asas ini berkaitan erat dengan saat lahirnya suatu perjanjian.

    Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir seketika saat telah

    tercapainya suatu kesepakatan antara para pihak yang mengadakan

    perjanjian mengenai unsur-unsur pokoknya.

    Berkaitan dengan hal ini, R. Subekti berpendapat bahwa asas

    konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu untuk

    melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata sepakat

    mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian

    sudah lahir pada saat tercapainya consensus. 11

    Jadi dapat disimpulkan bahwa asas konsensualisme (berarti

    kesepakatan / consensus), yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir

    sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu

    kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak

    perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah

    dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu

    terhadap suatu perjanjian, misalnya syarat untuk harus tertulis.12

    b. Asas Kepercayaan

    Pihak yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus

    dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak bahwa

    satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Dengan

    kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian

    yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. 11 R. Subekti. Op. Cit. hal 5. 12 http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/12/08/asas-asas-perjanjian/ (diunduh pada 6 Juli 2012)

  • 24

    c. Asas Kekuatan Mengikat

    Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada asas

    kepercayaan, di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan

    mengikat. Kekuatan mengikat ini adalah sebagai undang-undang hanya

    bagi para pihak yang membuat perjanjian saja. Terikatnya para pihak

    pada apa yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa unsur lain

    sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatuhan, dan kebiasaan.

    d. Asas Persamaan Hak

    Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat,

    dan mengharuskan para pihak untuk menghormati satu sama lain,

    walaupun terdapat perbedaan dalam hal kepercayaan, kekuasaan,

    jabatan,dan lain-lain.

    e. Asas Keseimbangan

    Asas ini menghendaki para pihak untuk memenuhi dan

    melaksanakan perjanjian. Meskipun memiliki hak dan kewajiban yang

    berbeda namun kedudukan para pihak, dalam hal ini adalah debitur

    dan kreditur, adalah seimbang.

    f. Asas Moral

    Seseorang yang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral),

    yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan

    dan menyelesaikan perbuatannya. Faktor yang memberikan motivasi

    pada yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah

  • 25

    berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati

    nuraninya.

    g. Asas Kepatutan

    Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi

    perjanjian. Diharapkan pelaksanan perjanjian tidak melanggar

    kepatutan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan

    kepentingan salah satu pihak terdesak.

    h. Asas Kebiasaan

    Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang telah

    diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan

    kebiasaan yang diikuti.

    i. Asas Kepastian Hukum

    Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

    menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

    sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Artinya

    bahwa kedua belah pihak wajib menaati dan melaksanakan perjanjian

    yang telah disepakati sebagaimana menaati undang-undang.

    Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya

    salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan

    keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu

    melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian. Putusan

    pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para

  • 26

    pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum (secara pasti

    memiliki perlindungan hukum).13

    4. Syarat Sahnya Perjanjian

    Syarat sahnya perjanjian adalah syarat-syarat agar perjanjian itu sah dan

    mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Suatu perjanjian adalah sah apabila

    telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang, sehingga

    keberadaan perjanjian tersebut diakui oleh hukum.

    Syarat sahnya perjanjian dapat kita lihat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-

    Undang Hukum Perdata14, yaitu :

    a. Ada sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

    Kata sepakat berarti adanya titik temu diantara para pihak

    mengenai kepentingan-kepentingan yang berbeda. Pertemuan

    kepentingan yang berbeda akan mencapai titik keseimbangan dalam

    perjanjian.15 Selanjutnya kesepakatan dinyatakan tidak ada bila

    terdapat suatu unsur penipuan, kesalahan, paksaan, dan

    penyalahgunaan keadaan.

    b. Ada kecakapan untuk membuat suatu perikatan

    Setiap orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut

    hukum. Pada dasarnya orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya

    adalah cakap untuk melakukn perbuatan hukum. Pada Pasal 1330

    13 http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/12/08/asas-asas-perjanjian/ (diunduh pada 6 Juli 2012) 14 Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Alumni. Hlm. 26. 15 http://legalakses.com/perjanjian/ (diunduh pada 6 Juli 2012)

  • 27

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa yang tidak

    cakap untuk membuat perjanjian adalah :

    1) Orang-orang yang belum dewasa

    2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

    3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan

    oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang

    kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

    perjanjian-perjanjian tertentu.

    c. Ada suatu hal tertentu

    Suatu hal tertentu berarti obyek perjanjian harus terang dan

    jelas, dapat ditentukan baik jenis maupun jumlahnya.16 Artinya dalam

    membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak

    dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.

    d. Ada suatu sebab yang halal

    Suatu sebab yang halal berarti obyek yang diperjanjikan

    bukanlah obyek yang terlarang. Suatu sebab yang tidak halal meliputi

    perbuatan melanggar hukum, berlawanan dengan kesusilaan dan

    melanggar ketertiban umum, hal ini dapat dilihat pada Pasal 1337

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “suatu sebab adalah

    terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila

    berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”.

    16 ibid

  • 28

    Jadi berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat

    disimpulkan bahwa yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya

    kesepakatan antara para pihak yang akan mengadakan perjanjian, harus dilakukan

    oleh yang cakap secara hukum, harus mempunyai obyek tertentu, dan karena

    suatu sebab yang halal.

    Syarat yang pertama dan kedua tersebut berkaitan dengan subyek

    perjanjian, dan kemudian disebut sebagai syarat subyektif. Sedangkan syarat

    ketiga dan keempat berkaitan dengan obyek perjanjian, dan kemudian disebut

    sebagai syarat obyektif. Suatu perjanjian yang tidak terpenuhi syarat-syarat

    subyektifnya maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya bahwa selama

    tidak ada pembatalan dari salah satu pihak maka perjanjian tersebut terus berlaku.

    Sedangkan jika tidak terpenuhinya syarat-syarat obyektif, maka perjanjian

    tersebut batal demi hukum. Jadi tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan

    perjanjian itu di muka hakim karena sejak semula dianggap tidak pernah ada

    perjanjian.

    5. Prestasi, Wanprestasi, dan Akibatnya

    Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan “tiap-tiap

    perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk

    tidak berbuat sesuatu”. Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa wujud

    prestasi adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, serta tidak berbuat sesuatu.

    Prestasi itu sendiri merupakan seperangkat hak dan kewajiban yang timbul

    sebagai akibat dari adanya perjanjian.

    1. Memberikan Sesuatu, istilah ini dapat mempunyai dua pengertian, yaitu:

  • 29

    a. Penyerahan kekuasaan atas barang yang menjadi obyek perjanjian

    b. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian

    2. Berbuat Sesuatu, yang dimaksud dengan berbuat sesuatu adalah

    melakukan sesuatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

    3. Tidak Berbuat Sesuatu, yang dimaksud dengan tidak berbuat sesuatu

    adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana yang telah

    ditetapkan dalam perjanjian.

    Dalam pelaksanaan perjanjian, apabila para pihak telah menjalankan

    prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa

    menimbulkan permasalahan. Namun jika ada salah satu pihak yang tidak

    melakukan apa yang dijanjikannya, baik karena kealpaannya atau kesengajaannya,

    maka ia dikatakan wanprestasi. Menurut kamus hukum, wanprestasi berarti

    kelalaian, kealpaan, cidera jani, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian.

    Wanprestasi juga dapat diartikan sebagai pelanggaran atau kegagalan untuk

    melaksanakan ketentuan kontrak atau perjanjian yang mengikat secara hukum.17

    Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi apabila tidak bersedia

    melaksanakan atau menolak untuk memenuhi prestasi sebagaimana yang telah

    ditentukan dalam perjanjian. Wanprestasi yang dilakukan pihak debitur dalam

    perjanjian dapat berupa : 18

    1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya

    2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

    dijanjikan

    17 kamusbisnis.com (diunduh pada 2 Juli 2012) 18 R. Subekti. 1985. Aneka Perjanjian. Bandung :Alumni. Hlm. 45.

  • 30

    3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat

    4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

    Terdapat dua kemungkinan yang menjadi alasan tidak terpenuhinya

    prestasi oleh debitur, yaitu:19

    1. Karena keadaan debitur, baik secara sengaja ataupun karena

    kelalaiannya.

    2. Karena keadaan memaksa (force majeure), terjadi hal-hal yang diluar

    kemampuan debitur, jadi tidak ada unsur kesengajaan debitur dalam

    hal ini.

    Akibat hukum dari adanya debitur yang telah melakukan wanprestasi

    adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut:20

    1. Debitur diharuskan membayar penggantian kerugian (berupa biaya,

    rugi, bunga) yang telah diderita oleh kreditur. Hal ini berdasarkan pada

    Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

    2. Memenuhi perjanjian apabila masih dapat dilakukan, atau pembatalan

    perjanjian disertai dengan penggantian biaya kerugian dan bunga. Hal

    ini berdasarkan pada Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum

    Perdata.

    6. Berakhirnya Perjanjian

    Suatu perjanjian akan berakhir jika tujuan perjanjian itu telah tercapai,

    dimana masing-masing pihak telah saling memenuhi prestasi yang diperlukan

    sebagaimana yang telah dikehendaki bersama-sama dalam perjanjian yang telah

    19 Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. Hlm. 102. 20 Loc.cit hal 24

  • 31

    dibuat oleh para pihak tersebut. Namun, suatu perjanjian dapat juga berakhir

    karena hal-hal sebagai berikut: 21

    a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, suatu perjanjian berlaku

    dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati para pihak

    b. Dengan persetujuan para pihak, suatu perjanjian dapat berakhir jika

    para pihak yang membuat perjanjian tersebut menyetujuinya

    c. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian

    d. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan

    terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan tersebut akan berakhir

    e. Pernyataan penghentian persetujuan (pada persetujuan yang bersifat

    sementara), misalnya persetujuan kerja dan persetujuan sewa-

    menyewa

    f. Persetujuan hapus karena putusan hakim

    B. Perjanjian Kredit

    1. Kredit

    1.1.Pengertian Kredit

    Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu “Credere” yang artinya

    percaya.22 Dengan demikian, seseorang yang telah memperoleh kredit pada

    dasarnya telah memperoleh kepercayaan. Apabila dihubungkan dengan bank,

    maka terkandung pengertian bahwa bank/kreditur, percaya meminjamkan uang

    21 R. Setiawan. Op. Cit. Hlm.69. 22 Mariam Darus Badrulzaman. Op. Cit.Hlm.23.

  • 32

    kepada nasabah/debitur, karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk

    membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan.23

    Jika dilihat dari sudut ekonomi, kredit diartikan sebagai penundaan

    pembayaran, karena pengembalian atas penerimaan uang dan atau suatu barang

    tidak dilakukan bersamaan pada saat menerimanya, melainkan pada masa tertentu

    yang akan datang.24 Dalam praktek sehari-hari pengertian kredit berkembang

    lebih luas, yaitu kredit adalah kemampuan melaksanakan suatu pembelian atau

    mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayaran yang akan dilakukan

    dan ditangguhkan pada suatu jangka waktu yang telah disepakati.25 Dari kedua

    pengertian kredit tersebut, dapat dilihat bahwa pada dasarnya kredit adalah suatu

    janji pembayaran terhadap sesuatu hal yang disepakati untuk dilakukan pada suatu

    waktu tertentu yang akan datang.

    Secara yuridis, Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan

    mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat

    dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-

    meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam

    untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

    Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa istilah kredit memiliki arti yang

    khusus, yaitu meminjamkan “uang”.

    23 Adrian Sutedi. 2006. Impilikasi Hak Tanggungan Terhadap Pemberian Kredit oleh Bank dan Penyelesaian Kredit Bermasalah. Jakarta : BP. Cipta Jaya. Hlm. 16. 24 Ibid. Hlm. 17. 25 Teguh Pudjo Mulyono. 1996. Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil. Yogyakarta : BPFE.

  • 33

    1.2.Unsur Kredit

    Dalam suatu kredit yang dberikan terdapat unsur-unsur kredit, yaitu : 26

    a. Kepercayaan

    Adalah suatu keyakinan pemberi kredit bahwa prestasi yang

    diberikannya akan benar-benar diterimanya kembali di masa tertentu

    yang akan datang.

    b. Waktu

    Bahwa antara pemberian prestasi dan pengembaliannya

    dibatasi oleh suatu masa atau waktu tertentu. Dalam unsur ini

    terkandung pengertian mengenai nilai uang, bahwa uang di masa

    sekarang adalah lebih bernilai daripada uang di masa yang akan

    datang, sehingga pengembaliannya harus dibatasi oleh suatu waktu

    tertentu.

    c. Degree of Risk

    Adanya pemberian kredit dengan memberikan suatu tingkatan

    resiko. Resiko timbul bagi kreditur karena prestasi telah lepas kepada

    orang lain. Semakin panjang jangka waktu suatu kredit maka semakin

    besar resikonya tidak tertagih, demikian pula sebaliknya.

    d. Prestasi

    Adalah yang diberikan, yaitu suatu prestasi yang dapat berupa

    barang, jasa, atau uang. Dalam perkembangan perkreditan, yang

    dimaksud dengan prestasi dalam pemberian kredit adalah uang.

    26 M. Sinungan. 1995. Dasar-Dasar dan Teknik Manajemen Kredit. Jakarta : Bina Aksara. Hlm. 3-4.

  • 34

    1.3.Dasar-Dasar Pemberian Kredit

    Dalam penyaluran kredit tidak pernah terlepas dari adanya resiko kredit,

    yaitu resiko kerugian yang disebabkan oleh ketidakmampuan dari debitur atas

    kewajiban pembayaran utangnya baik utang pokok maupun bunganya ataupun

    keduanya.27 Untuk menghindari resiko kredit tersebut maka pihak bank perlu

    untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan dana kredit. Di

    Indonesia sendiri masalah prinsip kehati-hatian ini sudah diatur dalam Undang-

    Undang Perbankan. Hal ini dapat dilihat dari :

    Pasal 2 :

    “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi

    ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.

    Pasal 29 ayat (2) :

    “Bank wajib memelihara kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan

    modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan

    aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan

    usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.

    Pasal 29 ayat (3) :

    “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah dan

    melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak

    merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada

    bank”.

    27 http://id.m.wikipedia.org/wiki/Risiko_kredit (diunduh pada 4 Juni 2012)

  • 35

    Yang menjadi salah satu dasar dalam pemberian kredit adalah prinsip 6C’s

    Analysis, yaitu :28

    1) Character, adalah keadaan watak dari nasabah, baik dalam kehidupan

    pribadi maupun dalam lingkungan usaha. Kegunaan dari penilaian

    terhadap karakter ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana

    kemauan nasabah untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan

    perjanjian yang telah ditetapkan.

    2) Capital, adalah jumlah dana atau modal sendiri yang dimiliki oleh

    calon nasabah. Modal sendiri diperlukan bank sebagai alat

    kesungguhan dan tanggung jawab nasabah dalam menjalankan

    usahanya karena ikut menanggung resiko terhadap gagalnya usaha.

    3) Capacity, adalah kemampuan yang dimiliki calon nasabah dalam

    menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan.

    Kegunaan dari penilaian ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh

    mana calon nasabah mampu untuk mengembalikan atau melunasi

    utang-utangnya secara tepat waktu dari usahanya.

    4) Collateral, adalah barang-barang yang diserahkan nasabah sebagai

    agunan terhadap kredit yang diterimanya.

    5) Condition of economy, yaitu situasi dan kondisi politik, sosial,

    ekonomi, budaya yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada

    suatu saat yang kemungkinannya mempengaruhi kelancaran usaha

    calon debitur.

    28 http://arsasi.wordpress.com/2008/09/21/analisa-kredit-6c/ (diunduh pada 14 Juni 2012)

  • 36

    6) Constraints, adalah batasan atau hambatan yang tidak memungkinkan

    suatu bisnis untuk dilaksanakan pada tempat tertentu, misalnya

    pendirian suatu usaha pompa bensin yang disekitarnya terdapat

    bengkel las atau pembakaran batu bara.

    1.4.Jenis Kredit

    Terdapat banyak jenis kredit yang diberikan oleh bank umum dan bank

    perkreditan rakyat maupun lembaga keuangan lainnya untuk masyarakat,

    diantaranya yaitu : 29

    1. Dilihat dari segi tujuan penggunaannya

    a. Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha

    yang menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi daripada

    usahanya.

    Kredit investasi

    Adalah kredit yang diberikan untuk pengadaan barang

    modal maupun jasa yang dimaksudkan untuk menghasilkan

    suatu barang atau jasa bagi usaha yang bersangkutan

    Kredit modal kerja

    Adalah kredit yang diberikan untuk membiayai kebutuhan

    usaha, termasuk guna menutupi biaya produksi dalam

    rangka peningkatan produksi atau penjualan.

    29 http://infoperbankan.blogspot.com/2011/04/jenis-jenis-kredit.html (diunduh pada 9 Juli 2012)

  • 37

    b. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang-

    perorangan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi

    secara pribadi.

    2. Dilihat dari segi jangka waktu

    a. Kredit jangka pendek, yaitu suatu kredit yang diberikan dengan

    tidak melebihi jangka waktu 1 tahun.

    b. Kredit jangka menengah, yaitu suatu kredit yang diberikan dengan

    jangka waktu 1 tahun hingga 3 tahun.

    c. Kredit jangka panjang, yaitu suatu kredit yang diberikan dengan

    janga waktu lebih dari 3 tahun.

    3. Dilihat dari segi jaminan

    a. Kredit dengan agunan, yaitu suatu kredit yang diberikan dengan

    adanya jaminan utama dan jaminan tambahan (agunan)

    b. Kredit tanpa agunan, yaitu suatu kredit yang diberikan tanpa

    diperlukan adanya jaminan tambahan (agunan).

    2. Perjanjian Kredit

    2.1.Pengertian Perjanjian Kredit

    Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan

    penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit, agar dapat

    mengikat bagi para pihak tersebut. Hal ini berdasarkan pada Pasal 1313 Kitab

    Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan “perjanjian adalah suatu

  • 38

    perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

    orang lain atau lebih”.

    Dari perjanjian tersebut timbul suatu hubungan hukum antara para pihak

    pem-buatnya yang dinamakan perikatan. Di dalam perikatan tersebut pihak yang

    satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain

    berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut sesuatu disebut

    kreditur sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut debitur.

    Perjanjian kredit yang dibuat oleh debitur dan kreditur akan melahirkan

    hubungan hutang piutang, dimana debitur berkewajiban membayar kembali

    pinjaman yang diberikan oleh kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi

    yang telah disepakati oleh para pihak.30 Jadi dapat disimpulkan bahwa yang

    dimaksud dengan perjanjian kredit adalah perjanjian pemberian kredit antara

    pemberi kredit dan penerima kredit.

    2.2.Bentuk Perjanjian Kredit

    Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Perbankan, disebutkan

    “Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam

    bentuk perjanjian tertulis”, berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa

    perjanjian kredit dibuat dalam bentuk tertulis.

    Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya

    mempergunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Perjanjian baku

    adalah perjanjian yang materinya ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh

    kreditur (bank) dengan syarat-syarat yang dibakukan dan ditawarkan kepada

    30 http://legalbanking.wordpress.com (diunduh pada 9 Juli 2012)

  • 39

    masyarakat untuk digunakan secara masal atau individual, jika debitur telah

    membubuhkan tanda-tangannya diatas formulir perjanjian baku, berarti debitur

    tersebut sudah menyetujui isi perjanjian baku itu.31 Dalam prakteknya terdapat

    dua bentuk perjanjian kredit, yaitu :32

    1. Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan.

    Artinya perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada

    nasabahnya hanya dibuat diantara mereka (kreditur dan debitur) tanpa

    notaris. Namun pada prakteknya, perjanjian kredit ini disiapkan dan

    dibuat sendiri oleh pihak bank kemudian ditawarkan kepada debitur

    untuk disepakati. Dibuat sendiri artinya, ketentuan mengeni perjanjian

    kredit tersebut ditentukan sendiri oleh pihak kreditur.

    2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris.

    Pihak yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah

    seorang notaris, namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan

    perjanjian kredit disiapkan oleh kreditur kemudian diberikan kepada

    notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil.

    2.3.Perjanjian Kredit dilihat dari Segi Jaminan

    Berikut ini adalah dua jenis perjanjian kredit, apabila dilihat dari

    disertakan atau tidaknya suatu jaminan tambahan (agunan) di dalam suatu

    perjanjian kredit, yaitu:

    2. Perjanjian Kredit Tanpa Jaminan Tambahan (Agunan)

    31 Mariam Darus Badrulzaman. Op. Cit. Hlm. 146. 32 http://www.duniakontraktor.com/perjanjian-kredit-dan-permasalahannya/.html (diunduh pada 9 Juli 2012)

  • 40

    Perjanjian kredit tanpa jaminan tambahan (agunan) ini pada

    dasarnya tetap memerlukan suatu jaminan, yang berupa itikad baik

    debitur. Perjanjian ini biasanya diadakan dengan debitur yang

    memiliki usaha, sehingga kreditur memiliki keyakinan atas debitur

    tersebut dengan melihat dari prospek usaha milik debitur.

    3. Perjanjian Kredit dengan Jaminan

    Perjanjian kredit ini memiliki jaminan yang bersifat kebendaan

    maupun yang bersifat non kebendaan. Jaminan yang bersifat

    kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda

    baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Selain jaminan

    kebendaan, jaminan lain yang dapat diterima sebagai jaminan kredit

    adalah jaminan non kebendaan, yaitu Penanggungan. Sesuai Pasal

    1820 KUH Perdata Penanggungan adalah suatu persetujuan pihak

    ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk membayar

    utang debitur bila debitur tidak memenuhi kewajibannya. Jaminan

    penanggungan biasanya diberikan dalam bentuk jaminan perorangan

    serta jaminan perusahaan. Jaminan perorangan atau perusahaan

    diberikan oleh seseorang atau perusahaan untuk menjamin hutang

    pihak ketiga. Jaminan perorangan atau jaminan perusahaan ini

    biasanya hanya merupakan jaminan tambahan dari jaminan pokok,

    artinya selain jaminan ini bank biasanya meminta jaminan lainnya.

    Demikian pula dalam melakukan eksekusi, bank akan mendahulukan

    jaminan pokok dulu sebagai pelunasan hutang, apabila ternyata masih

  • 41

    belum cukup barulah bank melakukan eksekusi terhadap jaminan

    perorangan atau perusahaan.

    C. Kredit Tanpa Agunan Bermasalah

    1. Kredit Tanpa Agunan

    Pada Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.

    23/69/KEP/DIR tanggal 2 Februari 1991 menyebutkan “Jaminan adalah suatu

    keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan

    yang diperjanjikan.” Sedangkan pada Pasal 1 angka 23 Undang-Undang

    Perbankan menyebutkan “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan

    nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau

    pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat

    dikatakan bahwa agunan sebagai jaminan tambahan adalah suatu hal yang dapat

    dibedakan dari jaminan utama dimana berupa suatu keyakinan dari kreditur atas

    debiturnya, sedangkan jaminan tambahan pada umumnya berwujud fisik misalnya

    rumah, tanah, mobil, surat berharga, dan lain-lain.

    Pada dasarnya suatu kredit membutuhkan agunan sebagai alat pengaman

    apabila kredit yang diberikan kepada debitur menjadi macet dan gagal dalam

    pengembalian kredit sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya. Agunan

    merupakan salah satu unsur pemberian kredit yang digunakan sebagai alternatif

    dalam pembayaran kredit apabila debitur tidak melakukan kewajibannya.

    Kredit tanpa agunan merupakan salah satu jenis kredit yang diberikan oleh

    bank, yang tidak memerlukan jaminan tambahan, namun tetap memerlukan

  • 42

    jaminan utama yang berupa “keyakinan” bank atas “itikad baik” nasabah debitur

    untuk melunasi hutangnya sesuai perjanjian. Mengenai ketiadaan agunan dalam

    kredit ini, maka pihak bank sebagai kreditur tentu memiliki penilaian lain yang

    menjadi dasar dalam memberikan kredit terhadap debiturnya. Pada umumnya,

    bank menjadikan kepemilikan suatu usaha sebagai syarat utama dalam penyaluran

    kredit tanpa agunan. Jadi sebagai jaminannya adalah keyakinan bank atas itikad

    baik serta prospek kelayakan usaha yang dimiliki calon debitur.

    2. Kredit Bermasalah

    Kredit bermasalah adalah kondisi dimana debitur mengingkari janji

    mereka membayar bunga dan/atau kredit induk yang telah jatuh tempo, sehingga

    terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada pembayaran,

    sedangkan istilah kredit macet umumnya muncul setelah pihak debitur macet dan

    gagal melakukan pelunasan kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.

    Dalam kredit bermasalah dapat dikatakan bahwa pihak debitur melakukan

    wanprestasi, karena pembayaran atau pelunasan kredit yang bermasalah berarti

    tidak sesuai atau sejalan dengan perjanjian kredit yang telah dibuat sebelumnya

    oleh para pihak. Bentuk wanprestasi dari pihak debitur adalah :33

    1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, dalam hal ini

    debitur tidak bersedia melakukan pembayaran kredit

    2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana

    dijanjikan, misalnya melakukan pembayaran dengan nominal yang

    tidak sesuai dengan yang diperjanjikan

    33 Adrian Sutedi. Op. Cit. Hlm. 154.

  • 43

    3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat, debitur melakukan

    pembayaran kredit tetapi terlambat tidak sesuai pada waktu yang telah

    ditentukan dalam perjanjian

    4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

    Dalam rangka menghindari resiko dalam penyaluran kredit, pihak bank

    sebagai kreditur menerapkan prinsip kehati-hatian yang salah satunya adalah

    dengan dilakukan melalui kegiatan analisis kredit yang berperan sebagai saringan

    pertama untuk menangkal munculnya kredit bermasalah.34 Namun, sepandai

    apapun analis kredit dalam menganalisis permohonan kredit, kemungkinan kredit

    tersebut menjadi macet pasti ada, hal ini disebabkan oleh 2 unsur sebagai

    berikut:35

    1. Dari pihak perbankan

    Artinya, dalam melakukan analisisnya pihak analis kurang teliti

    sehingga apa yang seharusnya terjadi tidak diprediksi sebelumnya.

    Dapat juga terjadi karena analisisnya dilakukan secara subjektif.

    2. Dari pihak nasabah

    a. Adanya unsur kesengajaan, dalam hal ini nasabah sengaja untuk

    tidak bermaksud melakukan kewajibannya kepada bank, jadi dapat

    dikatakan tidak adanya kemauan untuk membayar.

    b. Adanya unsur tidak sengaja, dalam hal ini debitur mau membayar

    tapi tidak mampu.

    34 Siswanto Sutojo. Op. Cit. Hlm. 95. 35 infoperbankan.blogspot.com/2011/04/teknik-penyelesaian-kredit-macet.html?m=1 (diunduh pada 10 Juli 2012)

  • 44

    Pada umumnya, suatu kredit akan berkembang menjadi kredit bermasalah

    ataupun menjadi kredit macet tidak terjadi dengan begitu saja, hal tersebut

    sebenarnya dapat diketahui oleh pihak bank jika memperhatikan berbagai hal dari

    debitur kreditnya. Berbagai gejala awal kredit bermasalah diantaranya yaitu :

    Adanya penyimpangan dari ketentuan perjanjian kredit

    Adanya penurunan kondisi keuangan debitur

    Adanya perubahan sikap dari debitur, yang menjadi tidak kooperatif

    terhadap pihak bank

    Adanya permasalahan pribadi, yang kemungkinan mengganggu

    kelancaran usaha debitur

    Di dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor :

    30/267/KEP/DIR jo Surat Edaran Bank Indonesia Nomor : 30/16/UPPB tanggal

    27 Febuari 1998 yang telah diperbaharui dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor

    :7/2/PBI/2005, Pasal 12 ayat (3) tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum,

    ditetapkan secara tegas penggolongan kualitas kredit, yaitu36 :

    1. Lancar (pass), apabila memenuhi kriteria :

    a) Pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat waktu, dan

    b) Memiliki mutasi rekening yang aktif, atau

    c) Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash

    collateral).

    2. Dalam perhatian khusus (special mention), apabila memenuhi kriteria :

    36 Mudhofar, August. 2008. “Penanganan Kredit Bermasalah pada PT. Bank Jateng Cabang Utama, Pemuda, Semarang Setelah Piutang Bank Daerah Bukan Lagi Piutang Negara”. Tesis: Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro Semarang. hal 48.

  • 45

    a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang belum

    melampaui 90 (Sembilan puluh) hari, atau

    b) Kadang-kadang terjadi cerukan, atau

    c) Mutasi rekening relatif aktif, atau

    d) Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan,

    atau

    e) Didukung oleh pinjaman baru.

    3. Kurang lancar (substandard), apabila memenuhi kriteria :

    a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah

    melampaui 90 (Sembilan puluh) hari, atau

    b) Terjadi cerukan, atau

    c) Frekuensi rekening relatif rendah, atau

    d) Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari

    90 (Sembilan puluh) hari, atau

    e) Terjadi indikasi masalah keuangan debitur, atau

    f) Dokumentasi pinjaman lemah.

    4. Diragukan (doubtful), apabila memenuhi kriteria :

    a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah

    melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari, atau

    b) Terjadi cerukan yang bersifat permanen, atau

    c) Terjadi wanprestasi lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari,

    atau

    d) Terjadi kapitalisasi bunga, atau

  • 46

    e) Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit

    maupun pengikatan jaminan.

    5. Macet (loss), apabila memenuhi kriteria :

    a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah

    melampaui 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, atau

    b) Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, atau

    c) Dari segi hukum kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada

    nilai wajar.

    3. Antisipasi Kredit Bermasalah

    Untuk menghindari adanya resiko dari tiap kredit yang diberikannya, maka

    pihak bank perlu untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan

    dana kredit, yang salah satunya adalah dengan dilakukan melalui kegiatan

    penyidikan dan analisis kredit, termasuk dilakukannya BI-Checking.

    Pengertian mengenai penyidikan37 dan analisis kredit adalah sebagai

    berikut :38

    a. Penyidikan Kredit

    Yang dimaksud dengan penyidikan (investigasi) kredit adalah

    pekerjaan yang meliputi :

    1. Wawancara dengan pemohon kredit atau debitur

    37 Dalam studi hukum, penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sedangkan yang dimaksud dengan istilah penyidikan dalam skripsi ini adalah kegiatan penyidikan yang berkaitan dengan kredit perbankan (studi ekonomi). 38 Thomas Suyatno… [et al.]. 1995 Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 70.

  • 47

    2. Pengumpulan data yang berhubungan dengan permohonan kredit

    yang diajukan nasabah, baik data intern bank maupun data ekstern.

    Dalam hal ini termasuk informasi antarbank dan pemeriksaan pada

    daftar-daftar hitam dan daftar-daftar kredit macet

    3. Pemeriksaan / penyidikan atas kebenaran dan kewajiban mengenai

    hal-hal yang dikemukakan nasabah dan informasi lainnya yang

    diperoleh

    4. Penyusunan laporan seperlunya mengenai hasil penyidikkan yang

    telah dilaksanakan

    b. Analisis Kredit

    Yang dimaksud dengan analisis kredit adalah pekerjaan yang meliputi:

    1. Mempersiapkan pekerjaan-pekerjaan penguraian dari segala aspek,

    baik keuangan maupun nonkeuangan untuk mengetahui

    kemungkinan dapat/tidak dapat dipertimbangan suatu permohonan

    kredit

    2. Menyusun laporan analisis yang diperlukan, yang berisi penguraian

    dan kesimpulan serta penyajian alternatif-alternatif sebagai bahan

    pertimbangan untuk pengambilan keputusan pimpinan dari

    permohonan kredit nasabah.

    Untuk mendapatkan suatu keyakinan atas debiturnya, maka pihak bank

    sebagai kreditur juga perlu untuk mengetahui sejarah peminjaman calon

    debiturnya. Di Indonesia informasi mengenai nasabah dapat diperoleh melalui

    sistem informasi kredit yang dimiliki Bank Indonesia, dengan cara dilakukan BI-

  • 48

    Checking. Dapat dikatakan bahwa BI-Checking adalah termasuk dalam salah satu

    kegiatan penyidikan, yaitu berupa pengumpulan data mengenai informasi

    antarbank dan pemeriksaan pada daftar-daftar hitam dan daftar-daftar kredit

    macet.

    Yang dimaksud dengan BI-Checking itu sendiri adalah suatu proses

    pengecekan yang dilakukan oleh lembaga keuangan baik bank maupun non bank,

    melalui suatu sistem yang disebut dengan Sistem Informasi Debitur (SID) yang

    dikelola oleh Bank Indonesia. Hasil output atau keluaran yang diperoleh dari

    pengecekan disebut Informasi Debitur Individual (IDI). Di dalam IDI dapat

    diketahui hal-hal yang berkaitan dengan kondisi pembayaran debitur,

    digambarkan dengan informasi hari tunggakan dan kualitas kredit. Dengan adanya

    BI-Checking bagi lembaga keuangan diharapkan dapat membantu proses

    persetujuan kredit serta menjadi alat untuk pelaksanaan manajemen resiko

    kredit.39 Jadi singkatnya, dengan melakukan BI-Checking, dapat diketahui

    mengenai laporan dari semua orang yang mempunyai pinjaman di bank, baik itu

    bank umum, bank perkreditan rakyat, leasing (karena leasing berkerjasama

    dengan bank), contohnya seperti pinjaman kredit pemilikan rumah, pinjaman

    motor di leasing, kartu kredit, kredit tanpa agunan, dan lain sebagainya. Pada

    suatu bank, yang dapat meminta atau melakukan BI-Checking adalah hanya

    karyawan yang bertugas atau bertanggung-jawab pada bagian kredit.

    39 http://aniek-myworld.blogspot.com/2009/01/bi-checking-dan-sistem-informasi.html (diunduh pada 20 Juli 2012)

  • 49

    4. Penyelesaian Kredit Bermasalah

    Pada umumnya dalam praktek penyelesaian kredit bermasalah baik kredit

    yang dengan maupun tanpa agunan, pihak bank sebagai kreditur pada awalnya

    melakukan berbagai upaya misalnya sebagai langkah pertama dan yang paling

    utama adalah dilakukan analisa ulang serta penagihan terhadap tiap debitur

    macetnya. Dengan dilakukannya analisa ulang oleh pihak bank terhadap kondisi

    debitur kreditnya, maka diharapkan dapat diketahui langkah selanjutnya yang

    perlu ditempuh oleh pihak bank dalam rangka upaya penyelesaian kredit

    bermasalah, akan menempuh upaya hukum atau upaya non hukum.

    Penagihan yang dilakukan oleh pihak bank terhadap debiturnya juga

    disertai dengan surat peringatan. Apabila ditemukan kesulitan-kesulitan dalam

    melakukan penagihan, maka dimungkinkan bagi kreditur untuk menggunakan jasa

    pihak lain sebagai penagih hutang kepada debitur macet. Yang dimaksud dengan

    jasa penagih hutang adalah suatu cara penagihan hutang atau pinjaman untuk

    memperoleh kembali pembayaran yang dilakukan oleh pihak kreditur kepada

    debitur yang dianggap wanprestasi.40 Jasa penagih hutang ini lebih dikenal dengan

    sebutan Debt Collector. Dalam menggunakan jasa Debt Collector tersebut, pihak

    bank harus tetap bertanggung jawab atas pekerjaan yang dialihdayakan kepada

    perusahaan penyedia jasa dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan

    sebagaimana diatur dalam PBI No.13/25/PBI/2011 tentang prinsip kehati-hatian

    bagi bank umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan

    kepada pihak lain.

    40 Sri Laksmi Sukarsa. Op.Cit. Hlm. 2.

  • 50

    Terhadap kredit yang bermasalah sebaiknya dilakukan penyelamatan

    sehingga pihak bank tidak mengalami kerugian. Apabila upaya non hukum

    tersebut tidak berhasil, maka selanjutnya pihak bank dapat melakukan upaya

    melalui prosedur hukum dengan mengajukan gugatan perdata atas dasar

    wanprestasi. Namun kebanyakan pihak bank pada umumnya akan terlebih dahulu

    menempuh upaya penyelamatan kredit secara kekeluargaan.

    Kredit bermasalah dapat diselesaikan melalui beberapa cara, tergantung

    dari kesulitan yang dihadapi debiturnya, yaitu:

    1. Tindakan penyelamatan secara kekeluargaan (non litigasi), yaitu:41

    a. Penjadwalan Kembali (Rescheduling)

    Adalah perubahan persyaratan kredit yang hanya menyangkut

    jadwal pembayaran atau jangka waktunya. Keringanan yang

    diberikan dalam usaha ini yaitu :

    1) Memperpanjang jangka waktu kredit;

    2) Memperpanjang jangka waktu angsuran, misalnya semula

    angsuran ditetapkan 3 bulan kemudian menjadi 6 bulan;

    3) Penurunan jumlah untuk setiap angsuran yang

    mengakibatkan perpanjangan jangka waktu kredit.

    b. Persyaratan Kembali (Reconditioning)

    Adanya perubahan sebagian atau keseluruhan syarat-syarat kredit

    yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka

    waktu dan/atau persyaratan lain sepanjang menyangkut perubahan 41 C. Timon Yunianti Ananda. Op.Cit. Hlm. 115-117. Llihat juga Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000

  • 51

    maksimum saldo kredit. Dalam hal ini, bantuan yang diberikan

    adalah berupa keringanan atau perubahan persyaratan, antara lain :

    1) Penundaan pembayaran bunga, yaitu bunga tetap dihitung,

    tetapi penagihan atau pembebanan kepada nasabah tidak

    dilaksanakan sampai nasabah mempunyai kesanggupan.

    Atas bunga yang terhutang tersebut tidak dikenakan bunga

    dan tidak menambah plafon kredit;

    2) Penurunan suku bunga, yaitu dalam hal nasabah dinilai

    masih mampu membayar namun bunga yang dikenakan

    terlalu tinggi untuk tingkat aktivitas dan hasil usaha pada

    waktu itu;

    3) Pembebasan bunga, yaitu dalam hal nasabah dinilai

    memang tidak sanggup membayar bunga karena usaha

    nasabah hanya mencapai tingkat kembali pokok.

    Pembebasan bunga ini dapat untuk sementara, selamanya,

    ataupun seluruh hutang bunga;

    4) Pengkonversian kredit jangka pendek menjadi kredit jangka

    panjang dengan syarat yang lebih ringan.

    c. Penataan Kembali (Restructuring)

    Adalah perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut

    penambahan dana bank, konversi seluruh atau sebagian tunggakan

    bunga menjadi pokok kredit baru dan/atau konversi seluruh atau

    sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan, yang

  • 52

    disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan

    kembali. Tindakan yang dapat diambil dalam rangka Restructuring

    adalah :

    1) Kapitalisasi bunga

    Yaitu bunga dijadikan hutang pokok sehingga nasabah

    untuk waktu tertentu tidak perlu membayar bunga, tetapi

    nanti hutang pokoknya dapat melebihi plafon yang

    disetujui, ini berarti bhwa fasilitas kredit perlu ditingkatkan.

    Disamping itu, atas bunga tersebut dihitung bunga (bunga

    majemuk) yang pada dasarnya akan lebih memberatkan

    nasabah.

    2) Tambahan kredit

    Apabila nasabah kekurangan modal kerja, demikian juga

    dalam hal investasi, baik perluasan maupun tambahan

    investasi.

    3) Tambahan equaity

    Apabila tambahan kredit memberatkan debitur, sehubungan

    dengan pembayaran bunganya, maka perlu

    dipertimbangkan tambahan modal sendiri yang berupa :

    a) Tambahan modal dari pihak bank dngan cara :

    (1) Penambahan atau penyetoran uang (fresh money)

    (2) Konversi hutang debitur, baik bunga, pokok, atau

    keduanya

  • 53

    b) Tambahan dari pemilik

    Kalau bentuk perusahaannya adalah Perseroan Terbatas

    (PT), maka tambahan modal ini dapat berasal dari

    pemegang saham maupun pemegang saham baru atau

    keduanya.

    d. Tindakan penyelamatan dapat juga merupakan kombinasi dari

    ketiga usaha yang telah disebutkan diatas.

    Upaya-upaya tersebut diatas dapat diterapkan dalam hal penyelesaian

    kredit bermasalah yang menggunakan agunan maupun kredit yang

    tidak menggunakan agunan, karena bila diperhatikan tidak ditemukan

    adanya ketentuan dalam tindakan penyelamatan tersebut yang

    berhubungan dengan keberadaan barang agunan.

    2. Collateral liquidation

    Selanjutnya apabila usaha penyelesaian kredit bermasalah secara

    kekeluargaan yaitu rescheduling, reconditioning, restructuring

    tersebut tidak berhasil, maka dalam hal perjanjian kredit dengan

    agunan pihak kreditur berhak melakukan Collateral liquidation atau

    pencairan agunan. Maksudnya adalah, bank sebagai kreditur memaksa

    untuk dilakukannya penjualan agunan yang telah diserahkan debitur

    kepada bank untuk penyelesaian kredit yang bermasalah. Collateral

    liquidation ini tidak berlaku dalam hal perjanjian kredit tanpa agunan.

  • 54

    3. Upaya Hukum

    Selanjutnya, pihak bank sebagai kreditur berhak untuk menempuh

    upaya hukum. Cara ini biasanya dilakukan sebagai upaya terakhir jika

    berbagai upaya yang telah disebutkan diatas belum mencapai hasil

    yang maksimal bagi pihak bank. Namun upaya hukum dalam

    menyelesaikan permasalahan kredit di Indonesia jarang dilakukan

    karena membutuhkan biaya dan waktu yang cukup lama. Pada

    dasarnya penyelesaian kredit dapat ditempuh melalui :

    1. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), bagi

    kredit macet yang menyangkut bank milik negara.

    2. Proses litigasi di pengadilan, bagi kredit macet yang

    menyangkut bank swasta.

    3. Arbitrase/perwasitan, apabila kedua cara tersebut diatas

    kurang menguntungkan karena faktor waktu dan biaya, oleh

    sebab itu kalangan perbankan dan pakar hukum mencoba

    menawarkan penanganan lembaga arbitrase untuk

    penyelesaian kredit macet.

    Apabila pihak bank akan menyelesaikan kredit macet melalui proses

    pengadilan dengan mengajukan gugatan, maka akan berbeda dalam hal

    perjanjian kredit yang menggunakan agunan dengan perjanjian kredit

    yang tidak menggunakan agunan. Berikut ini adalah penjelasannya:

  • 55

    a. Kredit dengan Agunan

    Dalam hal penyelesaian melalui proses pengadilan, pihak bank

    dapat menggugat nasabah karena telah melakukan wanprestasi

    atas perjanjian kredit yang telah disepakati ke Pengadilan

    Negeri. Pengadilan Negeri dalam hal ini akan memproses

    gugatan tersebut dengan mempertimbangkan bukti dan

    sanggahan yang diajukan oleh kedua belah pihak. Apabila

    proses pemeriksaan selesai dilakukan, Pengadilan Negeri akan

    mengeluarkan putusan. Putusan tersebut pada umumnya

    dilaksanakan dengan sita eksekusi atas agunan yang diberikan

    untuk kepentingan pelunasan kredit.42

    b. Kredit tanpa Agunan

    Pihak bank dapat menggugat nasabah karena telah melakukan

    wanprestasi atas perjanjian kredit yang telah disepakati ke

    Pengadilan Negeri. Dalam hal perjanjian kredit yang tidak

    menggunakan agunan, maka kreditur berhak menagih debitur

    sampai pada harta kekayaannya. Yang menjadi dasarnya adalah

    Pasal 1131 KUHPerdata, yang menyatakan “Segala barang-

    barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang

    sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk

    perikatan-perikatan perorangan debitur itu”. Hal ini berarti

    seluruh harta kekayaan milik debitur akan menjadi jaminan

    42 Iwanvictorleonardo.wordpress.com (diunduh pada 10 Juli 2012)

  • 56

    pelunasan atas hutang debitur kepada semua kreditur.

    Kekayaan debitur tersebut meliputi kebendaan bergerak

    maupun benda tetap, baik yang sudah ada pada saat perjanjian

    kredit dibuat maupun yang baru akan ada di kemudian hari

    yang akan menjadi milik debitur setelah perjanjian kredit

    dibuat. Jadi jika debitur wanprestasi, maka hasil penjualan atas

    semua harta kekayaan milik debitur, merupakan sumber

    pelunasan bagi hutangnya.

    Berdasarkan pengalaman yang ada, penyelesaian melalui jalur hukum

    ini kurang diminati karena selain memakan waktu lama, yang sering

    terjadi nilainya jauh dibawah nilai yang diinginkan, sehingga tidak

    banyak yang melakukannya,43 walaupun sebenarnya di Indonesia

    terdapat asas umum yang mendasar di dalam penyelenggaraan

    peradilan, yaitu pada dasarnya mensyaratkan agar peradilan dilakukan

    dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

    43 Sri Laksmi Sukarsa. Op. Cit. Hlm. 3.

  • 57

    Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya,

    maka dapat penulis berikan gambaran mengenai penyelesaian kredit bermasalah

    pada umumnya, sebagai berikut :

    Kredit Bermasalah

    Kredit dengan Agunan Kredit Tanpa Agunan

    Upaya Hukum Upaya Hukum Upaya Non Hukum

    Upaya Non Hukum

    Mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri atas dasar wanprestasi, sebagai permohonan dilakukannya sita eksekusi atas agunan yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit.

    1. Penjadwalan kembali (Rescheduling)

    2. Persyaratan kembali (Reconditioning)

    3. Penataan kembali (Restructuring)

    4. Likuidasi jaminan (Collateral liquidation)

    Mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri atas dasar wanprestasi, sebagai permohonan dilakukannya pembayaran atau pelunasan kredit oleh debitur, dapat berupa uang maupun barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada.

    1. Penjadwalan kembali (Rescheduling)

    2. Persyaratan kembali (Reconditioning)

    3. Penataan kembali (Restructuring)