Upload
aditya-nugroho
View
120
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
adalah tinjauan pustaka yang baik dan benar
Citation preview
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Vertebra
Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk punggung yang mudah digerakkan. terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 7 tulang cervical, 12 tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang lumbal, 5 tulang sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau corpus vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae.
Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramenmagnum sampai konus
medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalis berlanjut menjadi Kauda
Equina (di Bokong) yang lebih tahan terhadap cedera. Medula spinalis terdiri atas traktus
ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu,
nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa informasi dari otak ke
anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh). Ketika tulang belakang disusun, foramen ini
akan membentuk saluran sebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis.
Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan dilindungi oleh
cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf yang
mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke ekstremitas, badan, organ tubuh dan
kembali ke otak. Otak dan medula spinalis merupakan sistem saraf pusat dan yang
mehubungkan saraf-saraf medula spinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer.
Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai hubungan
istemewa, yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi arteri
spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan arteri
radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posterior dan anterior yang dikenal juga ramus
vertebromedularis arteria interkostalis. Medula Spinalis disuplai oleh arteri spinalis
anterior dan arteri spinalis posterior. Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medula
spinalis melewati suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi
dari medula spinalis samapi ke bagian tubuh dan dari tubuh ke otak.
Ada 31 pasang nervus spinalis dan dibagi dalam empat kelompok nervus spinalis,
yaitu :
a. nervus servikal : berperan dalam pergerakan dan perabaan pada lengan, leher,
dan anggota tubuh bagian atas
b. nervus thorak : mempersarafi tubuh dan perut
c. nervus lumbal dan nervus sakral : mempersarafi tungkai, kandung kencing, usus
dan genitalia.
Gambar 2. Peta Dermatomal sistem sensorik saraf
2.2 Fisiologi Sistem Saraf
Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular terdiri atas Upper
motor neurons (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN)
merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di
korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu
anterior medula spinalis.1
Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam
susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus
kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Melalui lower motor neuron (LMN), yang
merupakan kumpulan saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari
otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang. Kedua saraf motorik tersebut
mempunyai peranan penting di dalam sistem neuromuscular tubuh. Sistem ini yang
memungkinkan tubuh kita untuk bergerak secara terencana dan terukur.
2.2.1 Upper Motor Neuron (UMN)
Traktus kortiko spinalis berfungsi menyalurkan impuls motorik pada sel-sel
motorik batang otak dan medula spinalis untuk geraakan-gerakan otot kepala dan leher.
Traktus kortikobulber membentuk traktus piramidalis, mempersarafi sel-sel motorik
batang otak secara bilateral, kecuali nervus VII & XII, berfungsi untuk menyalurkan
impuls motorik untuk gerak otot tangkas. Dalam klinik gangguan traktus piramidalis
memberikan kelumpuhan tipe UMN berupa parese/paralisis spastis disertai dengan
tonus meninggi, hiperrefleksi, klonus, refleks patologis positif, tak ada atrofi. 1
Kelainan traktus piramidalis setinggi :
Hemisfer : memberikan gejala-gejala hemiparesi tipika
Setinggi batang otak : hemiparese alternans.
Setinggi medulla spinalis : tetra/paraparese.
Rangkaian neuron di korteks selanjutnya membentuk jalan saraf sirkuit meliputi
berbagai inti di sub korteks.dan kemudian kembali ke tingkat kortikal.
Terdiri dari :
korteks serebri area 4s, 6, 8
ganglia basalis antara lain nukleus kaudatus, putamen, globus pallidus, nukleus
Ruber, formasio retikularis, serebellum.
Susunan ekstrapiramidal dengan formasio retukularis :
Pusat eksitasi / fasilitasi : mempermudah pengantar impuls ke korteks maupun ke
motor neuron.
Pusat inhibisi : menghambat aliran impuls ke korteks/motor neuron.
Pusat kesadaran
Susunan ekstrapiramidal berfungsi untuk gerak otot dasar / gerak otot tonik, pembagian
tonus secara harmonis, mengendalikan aktifitas piramidal
Gangguan pada susunan ekstrapiramidal :
Kekakuan / rigiditas
Pergerakan-pergerakan involunter: Tremor, Atetose, Khorea, Balismus
2.2.2 Lower Motor Neuron
Merupakan neuron yang langsung berhubungan dgn otot, dapat dijumpai pada
batang otak dan kornu anterior medulla spinalis. Gangguan pada LMN memberikan
kelumpuhan tipe LMN yaitu parese yang sifatnya flaccid, arefleksi, tak ada refleks
patologis, atrofi cepat terjadi.
2.2.3 Susunan Somestesia
Perasaan yang dirasa oleh bagian tubuh baik dari kulit, jaringan ikat, tulang
maupun otot dikenal sebagai somestesia.2 Terdiri :
Perasaan eksteroseptif dalam bentuk rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.
Perasaan proprioseptif : disadari sebagai rasa nyeri dalam, rasa getar, rasa tekan,
rasa gerak dan rasa sikap.
Perasaan luhur : Diskriminatif & demensional
Menentukan tinggi lesi medula spinalis berdasarkan :
Gangguan Motorik biasanya timbul kelumpuhan yg sifatnya paraparese /
tetraparese
- Paraparese UMN : lesi terdapat supranuklear thd segmen medula spinalis
lumbosakral (L2-S2).
- Paraparese LMN : lesi setinggi segmen medula spinalis L2-S2 atau lesi infra
nuklear.
- Tetraparese UMN : lesi terdapat supranuklear terhadap segmen medula spinalis
servikal IV.
- Tetraparese : ekst.superior LMN, ekst. Inferior UMN
Gangguan Sensibilitas
- Gangguan rasa eksteroseptif
- Gangguan rasa proprioseptif
Gangguan sensibilitas segmental :
Lipatan paha : lesi Medula spinalis L1
Pusat : lesi med. spinalis thorakal 10
Papila mammae : lesi med. spinalis th. 4
Saddle Anestesia : lesi pada konus
Gangguan sensibilitas radikuler :
Ggn sensibilitas sesuai dgn radiks post.
Gangguan sensibilitas perifer :
Glove/stocking anestesia
Gangguan Susunan Saraf Otonom
- Produksi keringat
- Bladder : berupa inkontinensia urinae atau uninhibited bladder.
Autonomic bladder/ spastic bladder → lesi medula spinalis supranuklear
terhadap segmen sakral.
Flaccid bladder/ overflow incontinence → lesi pada sakral medula
spinalis.
3.1 Paraplegi Inferior
Parese adalah kelemahan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang
ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Plegia adalah
kelemahan berat/kelumpuhan sebagai akibat kerusakan sistem saraf. 6
Plegia pada anggota gerak dibagi mejadi 4 macam, yaitu :
Monoplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada satu ekstremitas atas atau
ekstremitas bawah.
Paraplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada kedua ekstremitas bawah.
Hemiplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada satu sisi tubuh yaitu satu
ekstremitas atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
Tetraplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada keempat ekstremitas.
Paraplegia inferior adalah paralisis bagian bawah tubuh termasuk tungkai.3
Paraplegi terbagi menjadi tipe spastic (UMN) dan flaksid (LMN). Paraplegi spastik
adalah kekakuan otot dan kejang otot disebabkan oleh kondisi saraf tertentu. Paraplegi
spastik disebabkan oleh spondylitis TB , spinal cord injury, genetic disorder (hereditary
spastic paraplegia), autoimmune diseases, syrinx (a spinal chord disorder)4 tumor medulla
spinalis, mutiple sclerosis,7
Paraplegi flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak memiliki
penyebab yang jelas. Otot lemas sebagian karena kurangnya aktivitas dalam otot, gerakan
sukarela yang sebagian atau seluruhnya hilang. Paraplegi flaksid termasuk polio, lesi
pada neuron motorik yang lebih rendah, Guillain Barre sydrome.
S
umber : essential neurology edisi ke 4
4.1 Spinal Cord Injury (Trauma Medula Spinalis)
4.1.1 Definisi
Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf saraf yang terhubung ke susunan
saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra.
Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian
tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang
sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan
pada medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.
4.1.2 Insidensi
Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu mengalami
cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak 183.000 sampai
203.000 orang yang hidup dengan cedera medula spinalis di negara tersebut.
Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak berdayaan,
rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi yang tinggi
Bila dibandingkan dengan negara maju, insiden cedera medula spinalis lebih tinggi di
negara yang sedang berkembang. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hal ini antara
lain:
Kondisi jalan yang buruk
Berkendara melewati batas kecepatan
Kurangnya penggunaan sabuk pengaman dan sandaran kepala di dalam mobil
Korupsi dan suap yang melingkupi implementasi regulasi lalu lintas
Volume kendaraan yang berlebih
Perlengkapan keamanan yang tidak adekuat saat menyelam dan bekerja
Kondisi-kondisi yang tidak lazim seperti jatuh dari pohon dan jembatan
4.1.3 Etiologi
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak
medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik
sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan
sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and
Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula
spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.
Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau
kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor
neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik,
penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan
perkembangan
4.1.4 Patofisiologi
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari
proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut,
kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi
terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk
intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfr energi ke korda spinal,
deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini,
yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera,
Menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik
dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan
berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang
kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana
kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi
radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter
eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA
(messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah
cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera
sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-
oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat
yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat
pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel.
Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada
influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi
phospholipase protease dan phosphatase. Aktivasi dari enzim-enzim ini mengakibatkan
interupsi dari aktivitas mitokondria dan kerusakan membran sel.
Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam
proses terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate (contohnya
naloxone) mungkin bisa memperbaiki penyembuhan neurologis. Teori inflamasi
berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien,
platelet activating factor, serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang
cedera dan merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder.
Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis
dan apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya
cedera primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek
yang signifikan pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang
diinduksi oleh apoptosis berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan
sekitarnya.
Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang
diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat.
Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang melibatkan peningkatan
jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi abu-abu dari korda sentral dan
degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas sepanjang traktus aksonal. Pola
dari pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari
lesi medula spinalis.
Terdapat tiga jenis lesi : lesi mikro, kontusif dan lesi tusukan yang luas (large stab)
Pada lesi mikro, sawar darah otak terganggu sedikit, astrosit tetap dalam
kesejajaran yang normal tetapi menghasilkan chondroitin sulfate, proteoglycans (CSPGs)
dan keratan sulfate proteoglycans (KSPGs) sepanjang traktus yang cedera dan makrofag
menginvasi lesi tersebut. Akson tidak dapat beregenerasi diluar lesi tersebut. Pada lesi
kontusif, sawar darah otak terganggu, tetapi selaput otak masih utuh.
Kavitasi terjadi di episentrum dari lesi tersebut. Kesejajaran astrosit terganggu pada
lesi. Astrosit menghasilkan CSPGs dan KSPGs pada gradien yang meningkat dari
penumbra menuju pusat lesi. Tidak dijumpai invasi fibroblast pada inti lesi, dan karena
itu, tidak dijumpai inhibitor yang mengekspresikan fibroblast. Makrofag menginvasi lesi
tersebut dan intinya dan akson distrofik mendekati lesi tersebut sebelum pertumbuhan
berhenti. Pada lesi tusukan yang luas, sawar darah otak rusak, dan kavitasi terjadi pada
pusat lesi.
4.1.5 Klasifikasi
Penilaian neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti:
• Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)
• Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
• Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)
• Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)
• Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia)
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya seperti
cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal,
seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi
tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan
fraktur harus dicatat.
Cedera inkomplit didefinisikan sebagai cedera yang berkaitan dengan adanya preservasi
dari fungsi motor dan sensorik di bawah level neurologis, termasuk pada segmen sakral yang
paling rendah.
Tingkatan Cedera Medulla Spinalis
1.) Tingkat Upper Motor Neuron
Akan terjadi kelumpuhan pada sebelah tubuh sehingga disebut hemiparese, hemiplegi,
hemiparalisis, karena lesinya menduduki kawasan susunan pyramidal sesisi. Tanda-tanda
kelumpuhan UMN :
a. Tonus otot yang meningkat / hipertonus / spastisitas
Tejadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik tambahan terhadap inti
intrinsik medulla spinalis.
b. Hiperefleksia
Gerakan otot skeletal yang bangkit sebagai jawaban atas suatu perangsangan disebut
reflek. Gerak otot reflektorik yang timbul atas jawaban stimulasi terhadap tendon
dinamakan reflek tendon.
c. Klonus
Hiperfleksi seringkali disertai dengan klonus. Tanda ini adalah gerak reflekstorik yang
terjadi secara berulang-ulang selama perangsangan masih berlangsung.
d. Reflek patologis
Mekanismenya belum jelas misalnya reflek Babinsky.
e. Tidak ada atrofi pada otot yang lumpuh
Dalam hal kerusakan pada serabut-serabut impuls motorik UMN, motor neuron tidak
dilibatkan, hanya di bebaskan dari kelolah UMN sehingga otot yang lumpuh tidak
mengalami atrofi.
2.) Tingkat lower motor neuron
Lesi LMN yaitu, lesi yang merusak motor neuron, akson, “ motor end plate” atau otot skletal.
Tanda-tanda kelumpuhan LMN :
Seluruh gerakan baik yang volunteer maupun reflekstorik tidak dapat dibangkitkan,
misalnya lesi di cornu anterior : poliomyelitis (merusak motor neuron), lesi pleksus brachialis,
dan lesi saraf perifer. Kelumpuhan disertai :
• Hilangnya reflek tendon, disebut arefleksia.
• Tidak ada refleks patologik
Penilaian tingkat dan komplit atau tidaknya suatu cedera medula spinalis
memungkinkan prognosa untuk dibuat. Jika lesi yang terjadi adalah komplit, kemungkinan
penyembuhan jauh lebih kecil dibandingkan dengan lesi inkomplit. Menyusul terjadinya
cedera medula spinalis, terdapat beberapa pola cedera yang dikenal, antara lain:
Sindroma korda anterior
Terjadi akibat gaya fleksi dan rotasi pada vertebra menyebabkan dislokasi ke anterior atau
akibat fraktur kompresi dari corpus vertebra dengan penonjolan tulang ke kanalis vertebra.
Sindroma korda sentralis
Biasanya dijumpai pada orang tua dengan spondilosis servikal. Cedera hiperekstensi
menyebabkan kompresi medula spinalis antara osteofit ireguler dari corpus vertebra di anterior
dengan ligamentum flavum yang menebal di posterior.
Sindroma korda posterior
Sindroma ini umumnya dijumpai pada hiperekstensi dengan fraktur pada elemen posterior dari
vertebra.
Sindroma Brown-sequard
Secara klasik terjadi akibat cedera tusukan tetapi juga sering dijumpai pada fraktur massa
lateral dari vertebra. Tanda dari sindroma ini sesuai dengan hemiseksi dari medula spinalis.
Sindroma konus medularis
Sindroma kauda ekuina
Derajat keparahan cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi beberapa grade menurut
Frankel.
Frankel A; kehilangan fungsi motorik dan sensorik
Frankel B; ada fungsi sensorik, motorik tidak ada
Frankel C; fungsi motorik ada tetapi tidak berfungsi
Frankel D; fungsi motorik ada tetapi tidak sempurna
Frankel E; fungsi sensorik dan motorik baik, hanya ada refleks abnormal
4.1.6 Manifestasi Klinis
Ketika sumsum tulang belakang tiba-tiba dan hampir atau sama sekali terputus, tiga
gangguan fungsi yang sekaligus jelas:
1) semua gerakan otonom di bagian dari tubuh bawah lesi segera dan hilang secara
permanen;
2) semua sensasi dari (aboral) bagian bawah dihapuskan
3) fungsi refleks di semua segmen dari sumsum tulang belakang terisolasi
ditangguhkan.
Efek terakhir, disebut kejutan tulang belakang, melibatkan tendon serta sebagai
refleks otonom. Ini adalah durasi variabel (1 sampai 6 minggu tapi kadang-kadang jauh
lebih lama) dan begitu dramatis yang digunakan Riddoch sebagai dasar untuk membagi
efek klinis transeksi medula spinalis menjadi dua tahap, yaitu shock belakang dan
areflexia diikuti oleh tahap aktivitas refleks tinggi.
Tahap Syok Spinal atau Areflexia
Hilangnya fungsi motorik pada saat injury-tetraplegia dengan lesi C4-C5 atau di
atasnya, paraplegia dengan lesi T1-10 disertai dengan kelumpuhan atonic langsung
kandung kemih dan usus, lambung atonia, hilangnya sensasi di bawah tingkat yang
sesuai dengan lesi sumsum tulang belakang, otot keadaan normal. Kontrol fungsi
otonom di segmen bawah lesi terganggu. Vasomotor tone, berkeringat, dan piloerection
di bagian bawah tubuh sementara dihapuskan. Hipotensi sistemik dapat menjadi parah
dan berkontribusi terhadap kerusakan saraf tulang belakang. Semakin rendah
ekstremitas kehilangan panas jika dibiarkan terbuka, dan mereka membengkak jika
tergantung. Kulit menjadi kering dan pucat, dan ulcerations tulang dapat berkembang
lebih prominences. M. detrusor kandung kemih dan otot polos dari rektum yang lemah.
Urine terakumulasi sampai tekanan intravesicular cukup untuk mengatasi sphincters,
kemudian driblets escape (inkontinensia overflow).
Ada juga distensi pasif usus, retensi kotoran, dan tidak adanya peristaltik (ileus
paralitik). Genital reflex (Ereksi penis, bulbokavernosus refleks, kontraksi otot dartos)
dihapuskan atau mendalam tertekan. Lamanya tahap syok spinal dengan flexia lengkap
adalah bervariasi seperti yang disebutkan, permanen, atau hanya fragmentaris
aktivitas refleks yang kembali bertahun-tahun setelah cedera.
Pada pasien lain, minimal genital dan fleksor aktivitas refleks dapat dideteksi
dalam beberapa hari dari cedera. Dalam mayoritas, ini aktivitas refleks minimal muncul
dalam jangka waktu 1 sampai 6 minggu. Biasanya bulbokavernosus tersebut refleks
adalah yang pertama untuk kembali. Kontraksi sfingter anal dapat ditimbulkan oleh
rangsangan plantar atau perianal, dan lainnya genital refleks muncul kembali pada
sekitar waktu yang sama.
Tahap peningkatan reflek
Muncul dalam beberapa minggu atau bulan setelah cedera tulang belakang. Biasanya,
setelah beberapa minggu, respon reflex stimulasi, yang awalnya minim dan
unsustained, menjadi lebih kuat
Secara bertahap pola khas refleks fleksi tinggi muncul: dorsofleksi dari jempol kaki
(Babinski tanda), mengipasi jari-jari kaki lainnya, dan kemudian, fleksi atau lambat
penarikan gerakan kaki, kaki, dan paha dengan kontraksi dari otot fascia lata tensor ,
Stimulasi taktil, Achilles refleks dan kemudian kembali refleks patela. Retensi urin
menjadi kurang lengkap, dan pada interval teratur urin dikeluarkan oleh kontraksi
spontan otot detrusor. Reflex Buang air besar juga dimulai. Setelah beberapa bulan
kejang, dan bisa disertai dengan berkeringat banyak, piloerection,
Setiap sisa gejala yang bertahan setelah 6 bulan cenderung permanen, meskipun pada
sebagian kecil pasien beberapa kembalinya. Fungsi (terutama sensasi) dimungkinkan
setelah waktu ini. Kehilangan motorik dan fungsi sensorik di atas lesi, datang bertahun-
tahun setelah trauma, terjadi kadang-kadang dan karena rongga memperbesar di
segmen proksimal dari kabel ("siringomielia").
Stadium Spinal Cord Injury
1) Fase akut / spinal shock ( 2-3 minggu ), cirinya :
1. Gangguan motorik
Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke empat extremitas
yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di bawah daerah cervical akan terjadi kelumpuhan
pada anggota gerak bawah yang disebut paraplegi.
2. Gangguan sensorik
Sensasi yang terganggu sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal yang terganggu
berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur ataupun sensasi dalam.
3. Gangguan fungsi autonom ( bladder, bowel, dan seksual )
Di sini bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran pencernaan,
fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus pembuluh darah di bawah lesi. Pada
fase ini urine akan terkumpul di dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru dapat
keluar apabila sudah penuh.
4. Gangguan respirasi (tergantung letak lesi )
Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level C4 yaitu cabang
dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang mempersarafi tractus respiratorius, jika terkena maka
diafragma pasien tidak akan bekerja secara maksimal sehingga dapat terkena gangguan
pernafasan.
5. Hipotensi orthostatik
Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior menyebabkan darah
terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi penurunan tekanan darah. Problem ini timbul
pada saat pasien bangkit dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi tubuh yang
terlalu cepat. Hal ini terjadi pada pasien yang bed rest lama dan endurancenya menurun.
2). Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan)
Dibagi dalam kriteria:
a) Kriteria 1
Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik, vegetatif,
flacciditas dan arefleksia.
b) Kriteria 2
Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik, vegetatif,
spastik, dan hiperrefleksia.
c) Kriteria 3
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi sensorik/ motorik/
vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.
d) Kriteria 4
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi sensorik/motorik,
vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.
3). Fase kronik (di atas 3 bulan)
Cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete / incomplete maka akan
timbul gambaran klinis lain, yaitu :
a) Setelah fase recovery kondisi pasien complete/ incomplete, maka timbul gerakan vital
sign menurun.
b) Autonomic dysrefleksia, yaitu suatu kondisi yang berlebihan pada sistem autonom.
Fenomena yang tampak pada cedera medula spinalis di atas Th6. Hal ini disebabkan aksi
relatif dari sistem saraf otonom sebagai respon dari beberapa stimulus, seperti kandung
kemih, fesces yang mengeras (konstipasi), iritasi kandung kemih, manipulasi rectal,
stimulus suhu atau nyeri dan distensi visceral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak,
berkeringat, kedinginan, muka memerah, dingin dan pucat dibawah level lesi, hidung buntu,
sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi lambat.
4.1.7 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Tingkat lesi sumsum tulang belakang dan vertebral dapat ditentukan dari
temuan klinis. Kelumpuhan diafragma terjadi dengan lesi dari tiga segmen atas serviks
(transien yang berhubungan penangkapan pernapasan umum cedera kepala berat).
kelumpuhan pada lengan dan kaki biasanya menunjukkan fraktur atau dislokasi di
tulang leher keempat untuk kelima. Jika kaki yang lumpuh dan lengan masih bisa
diculik dan tertekuk, lesi kemungkinan berada di kelima vertebra serviks keenam.
Kelumpuhan kaki dan hanya tangan menunjukkan lesi serviks pada tingkat keenam
ketujuh.
Tingkat (rasa nyeri dan suhu) di bawah tingkat lesi dalam semua kasus sumsum
tulang belakang dan cauda equina cedera, prognosis untuk pemulihan lebih
menguntungkan jika ada gerakan atau sensasi selama 48 sampai 72 jam pertama.
Skala Frankel untuk menetapkan cedera sensori.
1) Lengkap: motor dan sensorik loss di bawah lesi
2) Tidak lengkap: beberapa pelestarian sensorik di bawah zona cedera
3) Tidak lengkap: sensorik motorik dan hemat, namun pasien nonfunctional
4) Tidak lengkap: sparing motor dan sensorik dan pasien fungsional (berdiri dan
berjalan)
5) Pemulihan lengkap fungsional: refleks mungkin abnormal
Jelas, kelompok 2, 3, dan 4 memiliki prognosis yang lebih menguntungkan untuk
emulihan daripada kelompok 1.
Setelah derajat cedera pada tulang belakang dan kabel telah dinilai, beberapa
pusat terus mengelola metilprednisolon di tinggi dosis (bolus 30 mg / kg diikuti dengan
5,4 mg / kg setiap jam), dimulai dalam waktu 8 jam dari cedera dan dilanjutkan selama
23 jam. Menurut Cord multicenter Nasional Spinal akut Studi (Bracken et al)
menghasilkan sedikit perbaikan tapi signifikan di kedua motorik dan fungsi sensorik.
Juga, dalam serangkaian kecil pasien, administrasi GM1 ganglioside (100 mg
intravena setiap hari dari saat kecelakaan) ditemukan untuk meningkatkan pemulihan
akhir untuk tingkat sederhana (Geisler et al) namun temuan ini belum telah dikuatkan.
MRI cocok untuk menampilkan proses ini, tetapi jika tidak myelography
tersedia dengan CT scan merupakan alternatif. Ketidakstabilan elemen tulang belakang
bisa sering disimpulkan dari dislokasi atau dari fraktur tertentu dari pedikel, articularis
pars, atau proses melintang,
Risiko terbesar bagi pasien dengan cedera tulang belakang dalam 10 hari
pertama ketika lambung dilatasi, ileus, syok, dan infeksi merupakan ancaman terhadap
kehidupan. Menurut Messard dan rekan, mortalitas Tingkat jatuh cepat setelah 3 bulan,
di luar waktu ini, 86 persen dari paraplegics dan 80 persen lumpuh akan bertahan
selama 10 tahun atau lebih.
4.1.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu
instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca
trauma, nyeri dan gangguan fungsi seksual.
4.1.9 Penatalaksanaan
Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera bersamaan
pada kepala, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas – hanya sekitar 40% cedera medula
spinalis yang terisolasi. Penatalaksanaan awal berlangsung seperti pasien trauma pada
umumnya yang meliputi survei primer, resusitasi dan survei sekunder.
Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang penting. Yang
pertama, pencegahan cedera sekunder dengan intervensi farmakologis seperti pemberian
metilprednisolon dalam jam setelah kejadian sesuai dengan panduan yang dianjurkan
dalam studi NASCIS-III.
Pasien sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat
badan diikuti dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama 23 jam
atau 48 jam secara infusan.
Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya diminimalisir
dengan mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi. Semua pasien sebaiknya
menerima oksigen tambahan yang cukup untuk mencapai saturasi oksigen mendekati
100%
Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus
diimobilisasi untuk mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut.
Manajemen farmakologi pada cedera medula spinalis akut masih kontroversi.
Optimisme yang menganggap bahwa pemahaman yang mendalam mengenai patogenesa
dari cedera medula spinalis akut akan mengarah kepada penemuan strategi pengobatan
farmakologis untuk mencegah cedera sekunder telah menemui kekecewaan dalam
praktek klinis.
Kemungkinan aplikasi sel punca pada penanganan cedera medula spinalis terus
dipelajari baik dengan menggunakan sel punca eksogen, seperti sel stroma mesenkim dan
olfactory ensheating glial cells, maupun dengan memanipulasi sel punca endogen.
Pembedahan merupakan dan akan tetap menjadi pilihan utama dalam paradigma
penanganan cedera medula spinalis, tetapi waktu yang tepat untuk melakukan operasi
dekompresi masih menuai banyak kontroversi.
Untuk kondisi medis di mana kesembuhan belum tersedia, seperti cedera medula
spinalis, deteksi dari faktor resiko, implementasi program preventif, dan identifikasi dari
subjek yang potensial terkait merupakan relevansi yang penting. Studi epidemiologis
dengan follow up jangka panjang memberikan kontribusi ke dalam hal ini dengan
memberikan gambaranperkiraan dari insidensidan prevalensi, mengidentifikasi faktor
resiko, memberikan gambaran kecenderungan, dan memprediksi keperluan di masa yang
akan datang.
Intervensi Fisioterapi
Berdasarkan problema, kita dapat menentukan intervensi fisioterapi yang diperlukan dan sesuai
dengan kebutuhan pasien atau keluhan pasien agar tujuan akhir dari intervensi dapat tercapai.
Intervensi fisioterapi terutama ditujukan untuk mengurangi atau mencegah masalah-masalah
yang belum ada namun berpotensi untuk terjadi pada penderita tersebut. Selain itu intervensi
juga ditujukan untuk meningkatkan kemandirian penderita. Adapun berbagai intervensi
fisioterapi yang dapat dilakukan antara lain :
a) Fisioterapi pada fase akut / spinal shock
1. Posisioning
Bila pasien hanya mampu bergerak dengan bantuan orang lain, fisioterapis adalah salah
satu anggota tim yang berperan dalam membantu gerakan pasien selain perawat. Fisioterapis
memegang peranan penting dalam mengatur posisi anggota gerak untuk mencegah
deformitas dan untuk mengobservasi area yang terkena tekanan untuk melihat adanya tanda
– tanda timbulnya kelainan, seperti decubitus.
2. Latihan gerak pasif.
Latihan gerak pasif harus dilakukan pada semua sendi pada anggota gerak bawah pada
penderita paraplegi, dan juga mencakup latihan pada sendi-sendi anggota gerak atas pada
penderita tetraplegi. Pada lesi di lumbal yang harus diperhatikan adalah saat menggerakkan
hip jangan sampai spine juga ikut bergerak. Perhatian yang sama juga dilakukan saat
menggerakkan upper ekstremity bila lesi terdapat pada cervical.
3. Chest terapi
Pada paraplegi tidak memerlukan penanganan chest terapi kecuali bila ada kondisi
pengakit paru kronik, tetapi fisioterapis harus memperhatikan adanya tanda-tanda gangguan
respirasi. Pasien dengan tetraplegi memerlukan chest terapi karena adanya peralysis pada
otot-otot intercostalis. Pasien kemungkinan memakai trakheoostomi atau alat bantu nafas.
4. Exercise
a) Paraplegi : Latihan penguatan untuk anggota gerak atas dilakukan seawal mungkin
b) Tetraplegi : Gerakan aktif pada anggota gerak atas dilakukan pada posisi yang tidak
mengganggu posisi cervical.
5. Interaksi pasien – fisioterapi
Salah satu aspek penting dalam melakukan treatment pada fase akut adalah untuk
membangun kepercayaan yang baik dengan pasien. Hal ini dapat menjadi sulit, tergantung
pada reaksi pasien terhadap kondisi penyakitnya. Fisioterapis harus mengerti kondisi pasien
dan mengerahkan selurh kemampuannya untuk membangun kooperatif dan motivasi pasien.
b) Fisioterapi pada fase pemulihan
Saat pertama kali diberikan weight bearing pada spine fisioterapis secara intensif harus
diberikan untuk membangun kemandirian yang maximum.
1) Paraplegia
a. Sitting balance
Walau terjadi gangguan sensasi pada bagian bawah tubuh, namun sitting balance bisa
dicapai. Pasien dapat belajar untuk menggunakan sensasi pada bagian atas tubuh dan
menggunakan pandangan dengan lebih intensif. Ada banyak metode yang dapat digunakan
dalam melatih balance.
b. Mobilisasi dengan kusi roda
Kursi roda yang digunakan bisa berupa kursi roda manual ataupun kursi roda elektrik.
Penggunaan kursi roda ini sangat penting bagi pasien untuk dapat bergerak dan membangun
kemandirian. Pasien dengan kursi roda manual dapat berlatih untuk mengoperasikan kursi
rodanya pada jalan yang menanjak atau menurun serta pada jalan yang ada tangganya.
c. Transfer
Pada saat awal pasien dapat diajarkan untuk miring kanan dan miring kiri dan duduk di atas
tempat tidur. Lalu dapat dilanjutkan untuk berpindah ( transfer ) dari tempat tidur ke kursi
roda dan sebaliknya. Saat pasien sudah dapat melakukan hal tersebut dengan rasa aman,
pasien dapat berpindah dari kursi roda ke toilet ataupun ke dalam mobil.
d. Perawatan diri
Perawatan diri harus dimulai saat awal terapi. Pasien harus diajarkan untuk mengurangi
tekanan-tekanan pada bagian tubunya (dudukannya) setiap 10 – 15 menit, sehingga
selanjutnya hal tersbut dapat menjadi suatu reaksi yang otomatis. Pasien juga harus
diajarkan cara mengobservasi daerah yang tertekan, atau bila areanya tidak dapat terlihat
oleh pasien, maka harus ada orang lain yang dapat mengobservasinya.
Pasien diajarkan untuk melatih gerakan pasif sendiri dan melaporkan kepada terapis bila ada
gerakan yang sulit dilakukan. Pasien diajarkan untuk melakukan beberapa kegiatan
fungsional yang mungkin untuk dilakukannya, seperti berpakaian dan mandi.
e. Penguatan anggota gerak atas
Hal ini dapat dilakukan pada matras atau kursi roda. Untuk memulai latihan fisioterapis
dapat menggunakan tahanan secara manual. Selanjutnya pasien dapat menggunakan
paralatan dengan beban atau dengan menggunakan beban berat badannya sendiri. Selain itu
pasien dapat melakukan olah raga untuk meningkatkan kekuatan otot ekstemitas atas, seperti
volley atau berenang.
f. Latihan berdiri dan berjalan
Seperti saat latihan duduk, pasien harus diajarkan untuk mengkompensasi sensoris yang
hilang pada tubuh bagian bawah. Untuk dapat berdiri dan berjalan pasien akan
membutuhkan beberapa orthosis atau dengan menggunakan kruk, tergantung level lesi yang
terkena dan kondisi pasien.
g. Kemandirian
Untuk seorang muda yang menderita paraplegia, kemungkinan besar ia akan dapat hidup
secara mandiri dan dapat kembali bekerja. Modifikasi pekerjaan mungkin diperlukan
apabila pekerjaannya yang lama tidak dapat dilakukan dengan nyaman pada kondisinya saat
ini. Hal yang penting adalah bahwa persiapan untuk hidup mandiri harus dilakukan sejak
awal program terapi.
2) Tetraplegia
Walaupun beberapa tujuannya sama, pada kondisi tetraplegia akan membutuhkan waktu
yang lama dan akan lebih sulit untuk mencapainya. Salah satu masalah yang timbul pada
SCI yang lebih tinggi adalah adanya hipotensi postural yang timbul akibat hilangnya kontrol
vasomotor. Pasien dapat diajarkan untuk beradaptasi dengan perubahan posisi, dan mereka
harus mengenali tanda-tanda bila ia akan pingsan.
Kursi roda yang akan digunakan memerlukan adaptasi, seperti sandaran yang tinggi.
Pada kondisi pasien dengan lesi pada cervical bawah, pasien mampu untuk transfer, namun
pada lesi cervical atas, akan memerlukan bantuan untuk transfer.
Pada pasien dengan tetraplegi, tidak mudah untuk melakukan perawatan diri, tapi
pasien harus mampu mengetahui apa yang ia butuhkan dan tahu kapan ia harus memerlukan
bantuan dari orang lain.
Derajat kemandirian yang dapat dicapai oleh seorang dengan tetraplegi tidak akan
setinggi penderita paraplegia, sehingga ia harus diperiksa dengan hati-hati.