33
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Vertebra Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk punggung yang mudah digerakkan. terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 7 tulang cervical, 12 tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang lumbal, 5 tulang sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau corpus vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramenmagnum sampai konus medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalis berlanjut menjadi Kauda Equina (di Bokong) yang lebih tahan terhadap cedera. Medula spinalis terdiri atas traktus ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa

Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

adalah tinjauan pustaka yang baik dan benar

Citation preview

Page 1: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vertebra

Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk punggung yang mudah digerakkan. terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 7 tulang cervical, 12 tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang lumbal, 5 tulang sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau corpus vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae.

Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramenmagnum sampai konus

medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalis berlanjut menjadi Kauda

Equina (di Bokong) yang lebih tahan terhadap cedera. Medula spinalis terdiri atas traktus

ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu,

nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa informasi dari otak ke

anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh). Ketika tulang belakang disusun, foramen ini

akan membentuk saluran sebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis.

Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan dilindungi oleh

cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf yang

mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke ekstremitas, badan, organ tubuh dan

Page 2: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

kembali ke otak. Otak dan medula spinalis merupakan sistem saraf pusat dan yang

mehubungkan saraf-saraf medula spinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer.

Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai hubungan

istemewa, yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi arteri

spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan arteri

radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posterior dan anterior yang dikenal juga ramus

vertebromedularis arteria interkostalis. Medula Spinalis disuplai oleh arteri spinalis

anterior dan arteri spinalis posterior. Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medula

spinalis melewati suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi

dari medula spinalis samapi ke bagian tubuh dan dari tubuh ke otak.

Ada 31 pasang nervus spinalis dan dibagi dalam empat kelompok nervus spinalis,

yaitu :

a. nervus servikal : berperan dalam pergerakan dan perabaan pada lengan, leher,

dan anggota tubuh bagian atas

b. nervus thorak : mempersarafi tubuh dan perut

c. nervus lumbal dan nervus sakral : mempersarafi tungkai, kandung kencing, usus

dan genitalia.

Gambar 2. Peta Dermatomal sistem sensorik saraf

Page 3: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

2.2 Fisiologi Sistem Saraf

Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular terdiri atas Upper

motor neurons (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN)

merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di

korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu

anterior medula spinalis.1

Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam

susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus

kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Melalui lower motor neuron (LMN), yang

merupakan kumpulan saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari

otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang. Kedua saraf motorik tersebut

mempunyai peranan penting di dalam sistem neuromuscular tubuh. Sistem ini yang

memungkinkan tubuh kita untuk bergerak secara terencana dan terukur.

2.2.1 Upper Motor Neuron (UMN)

Traktus kortiko spinalis berfungsi menyalurkan impuls motorik pada sel-sel

motorik batang otak dan medula spinalis untuk geraakan-gerakan otot kepala dan leher.

Traktus kortikobulber membentuk traktus piramidalis, mempersarafi sel-sel motorik

batang otak secara bilateral, kecuali nervus VII & XII, berfungsi untuk menyalurkan

impuls motorik untuk gerak otot tangkas. Dalam klinik gangguan traktus piramidalis

memberikan kelumpuhan tipe UMN berupa parese/paralisis spastis disertai dengan

tonus meninggi, hiperrefleksi, klonus, refleks patologis positif,  tak ada atrofi. 1

Kelainan traktus piramidalis setinggi :

Hemisfer : memberikan gejala-gejala hemiparesi tipika

Setinggi batang otak : hemiparese alternans.

Setinggi medulla spinalis : tetra/paraparese.

Rangkaian neuron di korteks selanjutnya membentuk jalan saraf sirkuit meliputi

berbagai inti di sub korteks.dan kemudian kembali ke tingkat kortikal.

Terdiri dari :

korteks serebri area 4s, 6, 8

ganglia basalis antara lain nukleus kaudatus, putamen, globus pallidus, nukleus

Ruber, formasio retikularis,  serebellum. 

Page 4: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

Susunan ekstrapiramidal dengan formasio retukularis :

Pusat eksitasi / fasilitasi : mempermudah pengantar impuls ke korteks maupun ke

motor neuron.

Pusat inhibisi : menghambat aliran impuls ke korteks/motor neuron.

Pusat kesadaran

Susunan ekstrapiramidal berfungsi untuk gerak otot dasar / gerak otot tonik, pembagian

tonus secara harmonis, mengendalikan aktifitas piramidal

Gangguan pada susunan ekstrapiramidal :

Kekakuan / rigiditas

Pergerakan-pergerakan involunter: Tremor, Atetose, Khorea, Balismus      

2.2.2 Lower Motor Neuron        

Merupakan neuron yang langsung berhubungan dgn otot, dapat dijumpai pada

batang otak dan kornu anterior medulla spinalis. Gangguan pada LMN memberikan

kelumpuhan tipe LMN yaitu parese yang sifatnya flaccid, arefleksi, tak ada refleks

patologis, atrofi cepat terjadi.

2.2.3 Susunan Somestesia

Perasaan yang dirasa oleh bagian tubuh baik dari kulit, jaringan ikat, tulang

maupun otot dikenal sebagai somestesia.2 Terdiri :

Perasaan eksteroseptif dalam bentuk rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.

Perasaan proprioseptif : disadari sebagai rasa nyeri dalam, rasa getar, rasa tekan,

rasa gerak dan rasa sikap.

Perasaan luhur : Diskriminatif & demensional

Menentukan tinggi lesi medula spinalis berdasarkan :

Gangguan Motorik biasanya timbul kelumpuhan yg sifatnya paraparese /

tetraparese

- Paraparese UMN : lesi terdapat supranuklear thd segmen medula spinalis

lumbosakral (L2-S2).

Page 5: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

- Paraparese LMN : lesi setinggi segmen medula spinalis L2-S2 atau lesi infra

nuklear.

- Tetraparese UMN : lesi terdapat supranuklear terhadap segmen medula spinalis

servikal IV.

- Tetraparese : ekst.superior LMN, ekst. Inferior UMN

Gangguan Sensibilitas

- Gangguan rasa eksteroseptif

- Gangguan rasa proprioseptif

Gangguan sensibilitas segmental :

Lipatan paha : lesi Medula spinalis L1

Pusat : lesi med. spinalis thorakal 10

Papila mammae : lesi med. spinalis th. 4

Saddle Anestesia : lesi pada konus

Gangguan sensibilitas radikuler :

Ggn sensibilitas sesuai dgn radiks post.

Gangguan sensibilitas perifer :

Glove/stocking anestesia 

Gangguan Susunan Saraf Otonom

- Produksi keringat

- Bladder : berupa inkontinensia urinae atau uninhibited bladder.

 Autonomic bladder/ spastic bladder → lesi medula spinalis supranuklear

terhadap segmen sakral.

Flaccid bladder/ overflow incontinence → lesi pada sakral medula

spinalis.

3.1 Paraplegi Inferior

Parese adalah kelemahan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang

ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Plegia adalah

kelemahan berat/kelumpuhan sebagai akibat kerusakan sistem saraf. 6

Plegia pada anggota gerak dibagi mejadi 4 macam, yaitu :

Page 6: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

Monoplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada satu ekstremitas atas atau

ekstremitas bawah.

Paraplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada kedua ekstremitas bawah.

Hemiplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada satu sisi tubuh yaitu satu

ekstremitas atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.

Tetraplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada keempat ekstremitas.

Paraplegia inferior adalah paralisis bagian bawah tubuh termasuk tungkai.3

Paraplegi terbagi menjadi tipe spastic (UMN) dan flaksid (LMN). Paraplegi spastik

adalah kekakuan otot dan kejang otot disebabkan oleh kondisi saraf tertentu. Paraplegi

spastik disebabkan oleh spondylitis TB , spinal cord injury, genetic disorder (hereditary

spastic paraplegia), autoimmune diseases, syrinx (a spinal chord disorder)4 tumor medulla

spinalis, mutiple sclerosis,7

Paraplegi flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak memiliki

penyebab yang jelas. Otot lemas sebagian karena kurangnya aktivitas dalam otot, gerakan

sukarela yang sebagian atau seluruhnya hilang. Paraplegi flaksid termasuk polio, lesi

pada neuron motorik yang lebih rendah, Guillain Barre sydrome.

Page 7: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

S

umber : essential neurology edisi ke 4

4.1 Spinal Cord Injury (Trauma Medula Spinalis)

4.1.1 Definisi

Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf saraf yang terhubung ke susunan

saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra.

Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian

tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang

sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan

pada medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.

Page 8: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

4.1.2 Insidensi

Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu mengalami

cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak 183.000 sampai

203.000 orang yang hidup dengan cedera medula spinalis di negara tersebut.

Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak berdayaan,

rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi yang tinggi

Bila dibandingkan dengan negara maju, insiden cedera medula spinalis lebih tinggi di

negara yang sedang berkembang. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hal ini antara

lain:

Kondisi jalan yang buruk

Berkendara melewati batas kecepatan

Kurangnya penggunaan sabuk pengaman dan sandaran kepala di dalam mobil

Korupsi dan suap yang melingkupi implementasi regulasi lalu lintas

Volume kendaraan yang berlebih

Perlengkapan keamanan yang tidak adekuat saat menyelam dan bekerja

Kondisi-kondisi yang tidak lazim seperti jatuh dari pohon dan jembatan

4.1.3 Etiologi

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:

Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang

diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak

medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik

sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan

sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and

Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula

spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.

Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti

penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau

kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik

eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor

neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik,

penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan

perkembangan

Page 9: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

4.1.4 Patofisiologi

Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari

proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut,

kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi

terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk

intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.

Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfr energi ke korda spinal,

deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini,

yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera,

Menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik

dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.

Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan

berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang

kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana

kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi

radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter

eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA

(messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah

cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.

Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera

sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-

oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat

yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat

pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel.

Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada

influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi

phospholipase protease dan phosphatase. Aktivasi dari enzim-enzim ini mengakibatkan

interupsi dari aktivitas mitokondria dan kerusakan membran sel.

Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam

proses terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate (contohnya

naloxone) mungkin bisa memperbaiki penyembuhan neurologis. Teori inflamasi

berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien,

Page 10: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

platelet activating factor, serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang

cedera dan merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder.

Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis

dan apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya

cedera primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek

yang signifikan pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang

diinduksi oleh apoptosis berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan

sekitarnya.

Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang

diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat.

Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang melibatkan peningkatan

jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi abu-abu dari korda sentral dan

degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas sepanjang traktus aksonal. Pola

dari pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari

lesi medula spinalis.

Terdapat tiga jenis lesi : lesi mikro, kontusif dan lesi tusukan yang luas (large stab)

Pada lesi mikro, sawar darah otak terganggu sedikit, astrosit tetap dalam

kesejajaran yang normal tetapi menghasilkan chondroitin sulfate, proteoglycans (CSPGs)

dan keratan sulfate proteoglycans (KSPGs) sepanjang traktus yang cedera dan makrofag

menginvasi lesi tersebut. Akson tidak dapat beregenerasi diluar lesi tersebut. Pada lesi

kontusif, sawar darah otak terganggu, tetapi selaput otak masih utuh.

Kavitasi terjadi di episentrum dari lesi tersebut. Kesejajaran astrosit terganggu pada

lesi. Astrosit menghasilkan CSPGs dan KSPGs pada gradien yang meningkat dari

penumbra menuju pusat lesi. Tidak dijumpai invasi fibroblast pada inti lesi, dan karena

itu, tidak dijumpai inhibitor yang mengekspresikan fibroblast. Makrofag menginvasi lesi

tersebut dan intinya dan akson distrofik mendekati lesi tersebut sebelum pertumbuhan

berhenti. Pada lesi tusukan yang luas, sawar darah otak rusak, dan kavitasi terjadi pada

pusat lesi.

4.1.5 Klasifikasi

Penilaian neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti:

• Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)

• Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)

• Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)

Page 11: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

• Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)

• Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia)

Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan

completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya seperti

cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal,

seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi

tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan

fraktur harus dicatat.

Cedera inkomplit didefinisikan sebagai cedera yang berkaitan dengan adanya preservasi

dari fungsi motor dan sensorik di bawah level neurologis, termasuk pada segmen sakral yang

paling rendah.

Tingkatan Cedera Medulla Spinalis

1.) Tingkat Upper Motor Neuron

Akan terjadi kelumpuhan pada sebelah tubuh sehingga disebut hemiparese, hemiplegi,

hemiparalisis, karena lesinya menduduki kawasan susunan pyramidal sesisi. Tanda-tanda

kelumpuhan UMN :

a. Tonus otot yang meningkat / hipertonus / spastisitas

Tejadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik tambahan terhadap inti

intrinsik medulla spinalis.

b. Hiperefleksia

Gerakan otot skeletal yang bangkit sebagai jawaban atas suatu perangsangan disebut

reflek. Gerak otot reflektorik yang timbul atas jawaban stimulasi terhadap tendon

dinamakan reflek tendon.

c. Klonus

Hiperfleksi seringkali disertai dengan klonus. Tanda ini adalah gerak reflekstorik yang

terjadi secara berulang-ulang selama perangsangan masih berlangsung.

d. Reflek patologis

Mekanismenya belum jelas misalnya reflek Babinsky.

e. Tidak ada atrofi pada otot yang lumpuh

Dalam hal kerusakan pada serabut-serabut impuls motorik UMN, motor neuron tidak

dilibatkan, hanya di bebaskan dari kelolah UMN sehingga otot yang lumpuh tidak

mengalami atrofi.

2.) Tingkat lower motor neuron

Page 12: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

Lesi LMN yaitu, lesi yang merusak motor neuron, akson, “ motor end plate” atau otot skletal.

Tanda-tanda kelumpuhan LMN :

Seluruh gerakan baik yang volunteer maupun reflekstorik tidak dapat dibangkitkan,

misalnya lesi di cornu anterior : poliomyelitis (merusak motor neuron), lesi pleksus brachialis,

dan lesi saraf perifer. Kelumpuhan disertai :

• Hilangnya reflek tendon, disebut arefleksia.

• Tidak ada refleks patologik

Penilaian tingkat dan komplit atau tidaknya suatu cedera medula spinalis

memungkinkan prognosa untuk dibuat. Jika lesi yang terjadi adalah komplit, kemungkinan

penyembuhan jauh lebih kecil dibandingkan dengan lesi inkomplit. Menyusul terjadinya

cedera medula spinalis, terdapat beberapa pola cedera yang dikenal, antara lain:

Sindroma korda anterior

Terjadi akibat gaya fleksi dan rotasi pada vertebra menyebabkan dislokasi ke anterior atau

akibat fraktur kompresi dari corpus vertebra dengan penonjolan tulang ke kanalis vertebra.

Sindroma korda sentralis

Biasanya dijumpai pada orang tua dengan spondilosis servikal. Cedera hiperekstensi

menyebabkan kompresi medula spinalis antara osteofit ireguler dari corpus vertebra di anterior

dengan ligamentum flavum yang menebal di posterior.

Sindroma korda posterior

Sindroma ini umumnya dijumpai pada hiperekstensi dengan fraktur pada elemen posterior dari

vertebra.

Sindroma Brown-sequard

Secara klasik terjadi akibat cedera tusukan tetapi juga sering dijumpai pada fraktur massa

lateral dari vertebra. Tanda dari sindroma ini sesuai dengan hemiseksi dari medula spinalis.

Sindroma konus medularis

Sindroma kauda ekuina

Derajat keparahan cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi beberapa grade menurut

Frankel.

Page 13: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

Frankel A; kehilangan fungsi motorik dan sensorik

Frankel B; ada fungsi sensorik, motorik tidak ada

Frankel C; fungsi motorik ada tetapi tidak berfungsi

Frankel D; fungsi motorik ada tetapi tidak sempurna

Frankel E; fungsi sensorik dan motorik baik, hanya ada refleks abnormal

4.1.6 Manifestasi Klinis

Ketika sumsum tulang belakang tiba-tiba dan hampir atau sama sekali terputus, tiga

gangguan fungsi yang sekaligus jelas:

1) semua gerakan otonom di bagian dari tubuh bawah lesi segera dan hilang secara

permanen;

2) semua sensasi dari (aboral) bagian bawah dihapuskan

3) fungsi refleks di semua segmen dari sumsum tulang belakang terisolasi

ditangguhkan.

Efek terakhir, disebut kejutan tulang belakang, melibatkan tendon serta sebagai

refleks otonom. Ini adalah durasi variabel (1 sampai 6 minggu tapi kadang-kadang jauh

lebih lama) dan begitu dramatis yang digunakan Riddoch sebagai dasar untuk membagi

efek klinis transeksi medula spinalis menjadi dua tahap, yaitu shock belakang dan

areflexia diikuti oleh tahap aktivitas refleks tinggi.

Tahap Syok Spinal atau Areflexia

Hilangnya fungsi motorik pada saat injury-tetraplegia dengan lesi C4-C5 atau di

atasnya, paraplegia dengan lesi T1-10 disertai dengan kelumpuhan atonic langsung

kandung kemih dan usus, lambung atonia, hilangnya sensasi di bawah tingkat yang

sesuai dengan lesi sumsum tulang belakang, otot keadaan normal. Kontrol fungsi

otonom di segmen bawah lesi terganggu. Vasomotor tone, berkeringat, dan piloerection

di bagian bawah tubuh sementara dihapuskan. Hipotensi sistemik dapat menjadi parah

dan berkontribusi terhadap kerusakan saraf tulang belakang. Semakin rendah

ekstremitas kehilangan panas jika dibiarkan terbuka, dan mereka membengkak jika

tergantung. Kulit menjadi kering dan pucat, dan ulcerations tulang dapat berkembang

lebih prominences. M. detrusor kandung kemih dan otot polos dari rektum yang lemah.

Urine terakumulasi sampai tekanan intravesicular cukup untuk mengatasi sphincters,

kemudian driblets escape (inkontinensia overflow).

Page 14: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

Ada juga distensi pasif usus, retensi kotoran, dan tidak adanya peristaltik (ileus

paralitik). Genital reflex (Ereksi penis, bulbokavernosus refleks, kontraksi otot dartos)

dihapuskan atau mendalam tertekan. Lamanya tahap syok spinal dengan flexia lengkap

adalah bervariasi seperti yang disebutkan, permanen, atau hanya fragmentaris

aktivitas refleks yang kembali bertahun-tahun setelah cedera.

Pada pasien lain, minimal genital dan fleksor aktivitas refleks dapat dideteksi

dalam beberapa hari dari cedera. Dalam mayoritas, ini aktivitas refleks minimal muncul

dalam jangka waktu 1 sampai 6 minggu. Biasanya bulbokavernosus tersebut refleks

adalah yang pertama untuk kembali. Kontraksi sfingter anal dapat ditimbulkan oleh

rangsangan plantar atau perianal, dan lainnya genital refleks muncul kembali pada

sekitar waktu yang sama.

Tahap peningkatan reflek

Muncul dalam beberapa minggu atau bulan setelah cedera tulang belakang. Biasanya,

setelah beberapa minggu, respon reflex stimulasi, yang awalnya minim dan

unsustained, menjadi lebih kuat

Secara bertahap pola khas refleks fleksi tinggi muncul: dorsofleksi dari jempol kaki

(Babinski tanda), mengipasi jari-jari kaki lainnya, dan kemudian, fleksi atau lambat

penarikan gerakan kaki, kaki, dan paha dengan kontraksi dari otot fascia lata tensor ,

Stimulasi taktil, Achilles refleks dan kemudian kembali refleks patela. Retensi urin

menjadi kurang lengkap, dan pada interval teratur urin dikeluarkan oleh kontraksi

spontan otot detrusor. Reflex Buang air besar juga dimulai. Setelah beberapa bulan

kejang, dan bisa disertai dengan berkeringat banyak, piloerection,

Setiap sisa gejala yang bertahan setelah 6 bulan cenderung permanen, meskipun pada

sebagian kecil pasien beberapa kembalinya. Fungsi (terutama sensasi) dimungkinkan

setelah waktu ini. Kehilangan motorik dan fungsi sensorik di atas lesi, datang bertahun-

tahun setelah trauma, terjadi kadang-kadang dan karena rongga memperbesar di

segmen proksimal dari kabel ("siringomielia").

Stadium Spinal Cord Injury

1) Fase akut / spinal shock ( 2-3 minggu ), cirinya :

1. Gangguan motorik

Page 15: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke empat extremitas

yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di bawah daerah cervical akan terjadi kelumpuhan

pada anggota gerak bawah yang disebut paraplegi.

2. Gangguan sensorik

Sensasi yang terganggu sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal yang terganggu

berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur ataupun sensasi dalam.

3. Gangguan fungsi autonom ( bladder, bowel, dan seksual )

Di sini bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran pencernaan,

fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus pembuluh darah di bawah lesi. Pada

fase ini urine akan terkumpul di dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru dapat

keluar apabila sudah penuh.

4. Gangguan respirasi (tergantung letak lesi )

Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level C4 yaitu cabang

dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang mempersarafi tractus respiratorius, jika terkena maka

diafragma pasien tidak akan bekerja secara maksimal sehingga dapat terkena gangguan

pernafasan.

5. Hipotensi orthostatik

Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior menyebabkan darah

terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi penurunan tekanan darah. Problem ini timbul

pada saat pasien bangkit dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi tubuh yang

terlalu cepat. Hal ini terjadi pada pasien yang bed rest lama dan endurancenya menurun.

2). Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan)

Dibagi dalam kriteria:

a) Kriteria 1

Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik, vegetatif,

flacciditas dan arefleksia.

b) Kriteria 2

Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik, vegetatif,

spastik, dan hiperrefleksia.

c) Kriteria 3

Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi sensorik/ motorik/

vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.

d) Kriteria 4

Page 16: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi sensorik/motorik,

vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.

3). Fase kronik (di atas 3 bulan)

Cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete / incomplete maka akan

timbul gambaran klinis lain, yaitu :

a) Setelah fase recovery kondisi pasien complete/ incomplete, maka timbul gerakan vital

sign menurun.

b) Autonomic dysrefleksia, yaitu suatu kondisi yang berlebihan pada sistem autonom.

Fenomena yang tampak pada cedera medula spinalis di atas Th6. Hal ini disebabkan aksi

relatif dari sistem saraf otonom sebagai respon dari beberapa stimulus, seperti kandung

kemih, fesces yang mengeras (konstipasi), iritasi kandung kemih, manipulasi rectal,

stimulus suhu atau nyeri dan distensi visceral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak,

berkeringat, kedinginan, muka memerah, dingin dan pucat dibawah level lesi, hidung buntu,

sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi lambat.

4.1.7 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Tingkat lesi sumsum tulang belakang dan vertebral dapat ditentukan dari

temuan klinis. Kelumpuhan diafragma terjadi dengan lesi dari tiga segmen atas serviks

(transien yang berhubungan penangkapan pernapasan umum cedera kepala berat).

kelumpuhan pada lengan dan kaki biasanya menunjukkan fraktur atau dislokasi di

tulang leher keempat untuk kelima. Jika kaki yang lumpuh dan lengan masih bisa

diculik dan tertekuk, lesi kemungkinan berada di kelima vertebra serviks keenam.

Kelumpuhan kaki dan hanya tangan menunjukkan lesi serviks pada tingkat keenam

ketujuh.

Tingkat (rasa nyeri dan suhu) di bawah tingkat lesi dalam semua kasus sumsum

tulang belakang dan cauda equina cedera, prognosis untuk pemulihan lebih

menguntungkan jika ada gerakan atau sensasi selama 48 sampai 72 jam pertama.

Skala Frankel untuk menetapkan cedera sensori.

1) Lengkap: motor dan sensorik loss di bawah lesi

2) Tidak lengkap: beberapa pelestarian sensorik di bawah zona cedera

3) Tidak lengkap: sensorik motorik dan hemat, namun pasien nonfunctional

4) Tidak lengkap: sparing motor dan sensorik dan pasien fungsional (berdiri dan

berjalan)

Page 17: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

5) Pemulihan lengkap fungsional: refleks mungkin abnormal

Jelas, kelompok 2, 3, dan 4 memiliki prognosis yang lebih menguntungkan untuk

emulihan daripada kelompok 1.

Setelah derajat cedera pada tulang belakang dan kabel telah dinilai, beberapa

pusat terus mengelola metilprednisolon di tinggi dosis (bolus 30 mg / kg diikuti dengan

5,4 mg / kg setiap jam), dimulai dalam waktu 8 jam dari cedera dan dilanjutkan selama

23 jam. Menurut Cord multicenter Nasional Spinal akut Studi (Bracken et al)

menghasilkan sedikit perbaikan tapi signifikan di kedua motorik dan fungsi sensorik.

Juga, dalam serangkaian kecil pasien, administrasi GM1 ganglioside (100 mg

intravena setiap hari dari saat kecelakaan) ditemukan untuk meningkatkan pemulihan

akhir untuk tingkat sederhana (Geisler et al) namun temuan ini belum telah dikuatkan.

MRI cocok untuk menampilkan proses ini, tetapi jika tidak myelography

tersedia dengan CT scan merupakan alternatif. Ketidakstabilan elemen tulang belakang

bisa sering disimpulkan dari dislokasi atau dari fraktur tertentu dari pedikel, articularis

pars, atau proses melintang,

Risiko terbesar bagi pasien dengan cedera tulang belakang dalam 10 hari

pertama ketika lambung dilatasi, ileus, syok, dan infeksi merupakan ancaman terhadap

kehidupan. Menurut Messard dan rekan, mortalitas Tingkat jatuh cepat setelah 3 bulan,

di luar waktu ini, 86 persen dari paraplegics dan 80 persen lumpuh akan bertahan

selama 10 tahun atau lebih.

Page 18: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

4.1.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu

instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca

trauma, nyeri dan gangguan fungsi seksual.

4.1.9 Penatalaksanaan

Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera bersamaan

pada kepala, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas – hanya sekitar 40% cedera medula

spinalis yang terisolasi. Penatalaksanaan awal berlangsung seperti pasien trauma pada

umumnya yang meliputi survei primer, resusitasi dan survei sekunder.

Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang penting. Yang

pertama, pencegahan cedera sekunder dengan intervensi farmakologis seperti pemberian

metilprednisolon dalam jam setelah kejadian sesuai dengan panduan yang dianjurkan

dalam studi NASCIS-III.

Pasien sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat

badan diikuti dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama 23 jam

atau 48 jam secara infusan.

Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya diminimalisir

dengan mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi. Semua pasien sebaiknya

menerima oksigen tambahan yang cukup untuk mencapai saturasi oksigen mendekati

100%

Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus

diimobilisasi untuk mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut.

Manajemen farmakologi pada cedera medula spinalis akut masih kontroversi.

Optimisme yang menganggap bahwa pemahaman yang mendalam mengenai patogenesa

dari cedera medula spinalis akut akan mengarah kepada penemuan strategi pengobatan

farmakologis untuk mencegah cedera sekunder telah menemui kekecewaan dalam

praktek klinis.

Kemungkinan aplikasi sel punca pada penanganan cedera medula spinalis terus

dipelajari baik dengan menggunakan sel punca eksogen, seperti sel stroma mesenkim dan

olfactory ensheating glial cells, maupun dengan memanipulasi sel punca endogen.

Page 19: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

Pembedahan merupakan dan akan tetap menjadi pilihan utama dalam paradigma

penanganan cedera medula spinalis, tetapi waktu yang tepat untuk melakukan operasi

dekompresi masih menuai banyak kontroversi.

Untuk kondisi medis di mana kesembuhan belum tersedia, seperti cedera medula

spinalis, deteksi dari faktor resiko, implementasi program preventif, dan identifikasi dari

subjek yang potensial terkait merupakan relevansi yang penting. Studi epidemiologis

dengan follow up jangka panjang memberikan kontribusi ke dalam hal ini dengan

memberikan gambaranperkiraan dari insidensidan prevalensi, mengidentifikasi faktor

resiko, memberikan gambaran kecenderungan, dan memprediksi keperluan di masa yang

akan datang.

Intervensi Fisioterapi

Berdasarkan problema, kita dapat menentukan intervensi fisioterapi yang diperlukan dan sesuai

dengan kebutuhan pasien atau keluhan pasien agar tujuan akhir dari intervensi dapat tercapai.

Intervensi fisioterapi terutama ditujukan untuk mengurangi atau mencegah masalah-masalah

yang belum ada namun berpotensi untuk terjadi pada penderita tersebut. Selain itu intervensi

juga ditujukan untuk meningkatkan kemandirian penderita. Adapun berbagai intervensi

fisioterapi yang dapat dilakukan antara lain :

a) Fisioterapi pada fase akut / spinal shock

1. Posisioning

Bila pasien hanya mampu bergerak dengan bantuan orang lain, fisioterapis adalah salah

satu anggota tim yang berperan dalam membantu gerakan pasien selain perawat. Fisioterapis

memegang peranan penting dalam mengatur posisi anggota gerak untuk mencegah

deformitas dan untuk mengobservasi area yang terkena tekanan untuk melihat adanya tanda

– tanda timbulnya kelainan, seperti decubitus.

2. Latihan gerak pasif.

Latihan gerak pasif harus dilakukan pada semua sendi pada anggota gerak bawah pada

penderita paraplegi, dan juga mencakup latihan pada sendi-sendi anggota gerak atas pada

penderita tetraplegi. Pada lesi di lumbal yang harus diperhatikan adalah saat menggerakkan

hip jangan sampai spine juga ikut bergerak. Perhatian yang sama juga dilakukan saat

menggerakkan upper ekstremity bila lesi terdapat pada cervical.

3. Chest terapi

Pada paraplegi tidak memerlukan penanganan chest terapi kecuali bila ada kondisi

pengakit paru kronik, tetapi fisioterapis harus memperhatikan adanya tanda-tanda gangguan

Page 20: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

respirasi. Pasien dengan tetraplegi memerlukan chest terapi karena adanya peralysis pada

otot-otot intercostalis. Pasien kemungkinan memakai trakheoostomi atau alat bantu nafas.

4. Exercise

a) Paraplegi : Latihan penguatan untuk anggota gerak atas dilakukan seawal mungkin

b) Tetraplegi : Gerakan aktif pada anggota gerak atas dilakukan pada posisi yang tidak

mengganggu posisi cervical.

5. Interaksi pasien – fisioterapi

Salah satu aspek penting dalam melakukan treatment pada fase akut adalah untuk

membangun kepercayaan yang baik dengan pasien. Hal ini dapat menjadi sulit, tergantung

pada reaksi pasien terhadap kondisi penyakitnya. Fisioterapis harus mengerti kondisi pasien

dan mengerahkan selurh kemampuannya untuk membangun kooperatif dan motivasi pasien.

b) Fisioterapi pada fase pemulihan

Saat pertama kali diberikan weight bearing pada spine fisioterapis secara intensif harus

diberikan untuk membangun kemandirian yang maximum.

1) Paraplegia

a. Sitting balance

Walau terjadi gangguan sensasi pada bagian bawah tubuh, namun sitting balance bisa

dicapai. Pasien dapat belajar untuk menggunakan sensasi pada bagian atas tubuh dan

menggunakan pandangan dengan lebih intensif. Ada banyak metode yang dapat digunakan

dalam melatih balance.

b. Mobilisasi dengan kusi roda

Kursi roda yang digunakan bisa berupa kursi roda manual ataupun kursi roda elektrik.

Penggunaan kursi roda ini sangat penting bagi pasien untuk dapat bergerak dan membangun

kemandirian. Pasien dengan kursi roda manual dapat berlatih untuk mengoperasikan kursi

rodanya pada jalan yang menanjak atau menurun serta pada jalan yang ada tangganya.

c. Transfer

Pada saat awal pasien dapat diajarkan untuk miring kanan dan miring kiri dan duduk di atas

tempat tidur. Lalu dapat dilanjutkan untuk berpindah ( transfer ) dari tempat tidur ke kursi

roda dan sebaliknya. Saat pasien sudah dapat melakukan hal tersebut dengan rasa aman,

pasien dapat berpindah dari kursi roda ke toilet ataupun ke dalam mobil.

d. Perawatan diri

Perawatan diri harus dimulai saat awal terapi. Pasien harus diajarkan untuk mengurangi

tekanan-tekanan pada bagian tubunya (dudukannya) setiap 10 – 15 menit, sehingga

selanjutnya hal tersbut dapat menjadi suatu reaksi yang otomatis. Pasien juga harus

Page 21: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

diajarkan cara mengobservasi daerah yang tertekan, atau bila areanya tidak dapat terlihat

oleh pasien, maka harus ada orang lain yang dapat mengobservasinya.

Pasien diajarkan untuk melatih gerakan pasif sendiri dan melaporkan kepada terapis bila ada

gerakan yang sulit dilakukan. Pasien diajarkan untuk melakukan beberapa kegiatan

fungsional yang mungkin untuk dilakukannya, seperti berpakaian dan mandi.

e. Penguatan anggota gerak atas

Hal ini dapat dilakukan pada matras atau kursi roda. Untuk memulai latihan fisioterapis

dapat menggunakan tahanan secara manual. Selanjutnya pasien dapat menggunakan

paralatan dengan beban atau dengan menggunakan beban berat badannya sendiri. Selain itu

pasien dapat melakukan olah raga untuk meningkatkan kekuatan otot ekstemitas atas, seperti

volley atau berenang.

f. Latihan berdiri dan berjalan

Seperti saat latihan duduk, pasien harus diajarkan untuk mengkompensasi sensoris yang

hilang pada tubuh bagian bawah. Untuk dapat berdiri dan berjalan pasien akan

membutuhkan beberapa orthosis atau dengan menggunakan kruk, tergantung level lesi yang

terkena dan kondisi pasien.

g. Kemandirian

Untuk seorang muda yang menderita paraplegia, kemungkinan besar ia akan dapat hidup

secara mandiri dan dapat kembali bekerja. Modifikasi pekerjaan mungkin diperlukan

apabila pekerjaannya yang lama tidak dapat dilakukan dengan nyaman pada kondisinya saat

ini. Hal yang penting adalah bahwa persiapan untuk hidup mandiri harus dilakukan sejak

awal program terapi.

2) Tetraplegia

Walaupun beberapa tujuannya sama, pada kondisi tetraplegia akan membutuhkan waktu

yang lama dan akan lebih sulit untuk mencapainya. Salah satu masalah yang timbul pada

SCI yang lebih tinggi adalah adanya hipotensi postural yang timbul akibat hilangnya kontrol

vasomotor. Pasien dapat diajarkan untuk beradaptasi dengan perubahan posisi, dan mereka

harus mengenali tanda-tanda bila ia akan pingsan.

Kursi roda yang akan digunakan memerlukan adaptasi, seperti sandaran yang tinggi.

Pada kondisi pasien dengan lesi pada cervical bawah, pasien mampu untuk transfer, namun

pada lesi cervical atas, akan memerlukan bantuan untuk transfer.

Pada pasien dengan tetraplegi, tidak mudah untuk melakukan perawatan diri, tapi

pasien harus mampu mengetahui apa yang ia butuhkan dan tahu kapan ia harus memerlukan

bantuan dari orang lain.

Page 22: Tinjauan Pustaka Case Trauma Medula Spinalis

Derajat kemandirian yang dapat dicapai oleh seorang dengan tetraplegi tidak akan

setinggi penderita paraplegia, sehingga ia harus diperiksa dengan hati-hati.