16
175 TINGKAT SALINITAS TANAH PADA LAHAN SAWAH INTENSIF DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT S. Marwanto, A. Rachman, D. Erfandi, dan I G.M. Subiksa Balai Penelitian Tanah, Bogor ABSTRAK Penurunan produktivitas lahan sawah intensif yang terjadi di kawasan pantai utara (Pantura) khususnya di Kabupaten Indramayu, salah satunya disebabkan oleh masuknya air laut ke wilayah daratan (intrusi air laut). Intrusi air laut ini menyebabkan tanah mengalami akumulasi garam-garam yang didominasi oleh natrium klorida (NaCl) yang mampu menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman padi terutama di lahan sawah intensif. Untuk mengetahui tingkat salinitas dan distribusinya secara spasial, telah dilakukan penelitian pada bulan Januari 2009 yang berlokasi di Kecamatan Kandanghaur dan sekitarnya yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Indramayu. Penelitian dilakukan dengan cara survey lapangan untuk mengukur salinitas tanah secara langsung menggunakan alat EM38 (electromagnetic induction technique) disertai pengambilan sampel tanah di 54 titik pewakil di enam jalur transek tegak lurus dengan garis pantai. Hasil pengukuran salinitas secara langsung tersebut dikoreksi menggunakan hasil analisis laboratorium terhadap tanah pewakil. Dengan analisis statistik spasial menggunakan program Surfer 9, didapatkan hasil delineasi tingkat salinitas yang selanjutnya diolah menggunakan sistem informasi geografis ArcView 3.3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi tingkat salinitas tanah dipengaruhi oleh kontur, dan jaringan hidrologi termasuk jaringan irigasi aktif. Tingkat salinitas tinggi terdistribusi di wilayah dengan kontur rendah, sebagian besar di wilayah yang berbatasan dengan pantai dan wilayah yang memiliki sungai yang berhubungan dengan laut. Di wilayah yang memiliki kontur tinggi dan jaringan irigasi aktif yang rapat, tingkat salinitasnya relatif rendah. Penanganan masalah salinitas di lokasi penelitian ini dapat dilakukan dengan pengelolaan jaringan irigasi yang baik, selain perlakuan kimiawi dan pemilihan varietas tahan kondisi salin. PENDAHULUAN Pelandaian produksi padi di kawasan Pantura (pantai utara P. Jawa) salah satunya disebabkan oleh kadar salinitas yang cukup tinggi di lahan sawah sehingga mempengaruhi sifat-sifat tanah dan mengganggu pertumbuhan tanaman padi. Salinitas di kawasan Pantura berasal dari air laut yang masuk ke daratan (intrusi air laut) yang melewati badan-badan air maupun batuan, bahan induk dan tanah yang porus dan memiliki tekanan hidrostatika yang rendah

TINGKAT SALINITAS TANAH PADA LAHAN SAWAH INTENSIF …balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/prosiding2009pdf... · Gambar 2. Curah hujan di Indramayu periode 1990-2007

Embed Size (px)

Citation preview

175

TINGKAT SALINITAS TANAH PADA LAHAN SAWAH INTENSIF DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

S. Marwanto, A. Rachman, D. Erfandi, dan I G.M. Subiksa

Balai Penelitian Tanah, Bogor

ABSTRAK

Penurunan produktivitas lahan sawah intensif yang terjadi di kawasan pantai utara (Pantura) khususnya di Kabupaten Indramayu, salah satunya disebabkan oleh masuknya air laut ke wilayah daratan (intrusi air laut). Intrusi air laut ini menyebabkan tanah mengalami akumulasi garam-garam yang didominasi oleh natrium klorida (NaCl) yang mampu menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman padi terutama di lahan sawah intensif. Untuk mengetahui tingkat salinitas dan distribusinya secara spasial, telah dilakukan penelitian pada bulan Januari 2009 yang berlokasi di Kecamatan Kandanghaur dan sekitarnya yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Indramayu. Penelitian dilakukan dengan cara survey lapangan untuk mengukur salinitas tanah secara langsung menggunakan alat EM38 (electromagnetic induction technique) disertai pengambilan sampel tanah di 54 titik pewakil di enam jalur transek tegak lurus dengan garis pantai. Hasil pengukuran salinitas secara langsung tersebut dikoreksi menggunakan hasil analisis laboratorium terhadap tanah pewakil. Dengan analisis statistik spasial menggunakan program Surfer 9, didapatkan hasil delineasi tingkat salinitas yang selanjutnya diolah menggunakan sistem informasi geografis ArcView 3.3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi tingkat salinitas tanah dipengaruhi oleh kontur, dan jaringan hidrologi termasuk jaringan irigasi aktif. Tingkat salinitas tinggi terdistribusi di wilayah dengan kontur rendah, sebagian besar di wilayah yang berbatasan dengan pantai dan wilayah yang memiliki sungai yang berhubungan dengan laut. Di wilayah yang memiliki kontur tinggi dan jaringan irigasi aktif yang rapat, tingkat salinitasnya relatif rendah. Penanganan masalah salinitas di lokasi penelitian ini dapat dilakukan dengan pengelolaan jaringan irigasi yang baik, selain perlakuan kimiawi dan pemilihan varietas tahan kondisi salin.

PENDAHULUAN

Pelandaian produksi padi di kawasan Pantura (pantai utara P. Jawa) salah satunya disebabkan oleh kadar salinitas yang cukup tinggi di lahan sawah sehingga mempengaruhi sifat-sifat tanah dan mengganggu pertumbuhan tanaman padi. Salinitas di kawasan Pantura berasal dari air laut yang masuk ke daratan (intrusi air laut) yang melewati badan-badan air maupun batuan, bahan induk dan tanah yang porus dan memiliki tekanan hidrostatika yang rendah

S. Marwanto et al.

176

sehingga tidak mampu menahan air laut (Hendrayana, 2002). Tekanan hidrostatika sangat berhubungan dengan kondisi air tanah. Pengambilan air tanah yang dilakukan untuk mencukupi kebutuhan manusia dan rusaknya daerah aliran sungai (DAS) menyebabkan pengurasan air tanah sehingga tekanan hidrostatika tanah juga berkurang. Berbagai penelitian membuktikan hubungan pemanasan global dengan peningkatan salinitas lahan (Dailidienė dan Davulien, 2008). Pemanasan global memacu lelehnya es di kutub bumi sehingga permukaan air laut naik, akibatnya dataran yang lebih rendah akan tenggelam dan tekanan air laut ke daratan juga meningkat. Salinitas juga bisa disebabkan oleh kejadian alam seperti tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 (Subagyono et al., 2005).

Keberadaan lahan sawah di Pantura (pantai utara P. Jawa) sangat strategis bagi kecukupan beras nasional. Luas lahan sawah di Indonesia mencapai 7,75 juta ha, sekitar 42,8% (3,32 juta ha) di antaranya berada di Pulau Jawa yang tersebar terutama di daerah Pantura. Permasalahan salinitas di lahan sawah Pantura sangat penting mengingat lahan sawah tersebut merupakan salah satu lumbung padi nasional. Air mampu melarutkan molekul garam dan mengangkutnya sebagai aliran permukaan (runoff) maupun pencucian (leaching) sehingga kadar garam, yang menyebabkan tanah menjadi salin, dapat berkurang. Pada skala bentang lahan, salinitas tanah mampu berkurang akibat pasokan air hujan maupun dari air irigasi dalam volume dan intensitas yang cukup. Salinitas di lahan sawah sangat erat hubungannya dengan pasokan air irigasi dan merupakan cara paling efektif untuk merehabilitasi tanah akibat dari pengaruh salinitas (van Asten et al., 2004).

Salinitas merupakan masalah dunia karena luas lahan yang menjadi salin semakin bertambah setiap tahun. Berbagai penelitian juga semakin berkembang mulai dari teknologi identifikasi dan rehabilitas tanah salin, pengembangan varietas tahan kondisi salin, hingga pemetaan salinitas tanah (pemetaan electric conductivity/EC). Khusus tinjauan mengenai pemetaan salinitas, untuk beberapa jenis tanah tertentu, pemetaan salinitas dilakukan secara terintegrasi dengan karakteristik tanah yang bertujuan untuk memprediksi hasil panen (Kitchen et al., 1999). Hasil penelitian Sudduth et al. (1995) dan Yan et al. (2007) menghasilkan kesimpulan bahwa keragaman (variability) salinitas tanah sangat dipengaruhi oleh keragaman karakteristik tanah sehingga untuk mendelineasi distribusi salinitas memerlukan zonasi untuk mengelompokan beberapa karakter homogen lahan sehingga pengambilan titik observasi lebih representatif. Zona tersebut diberi istilah satuan pengelolaan lahan. Johnson et al. (2001) juga menemukan bahwa pemetaan lahan salin berdasarkan parameter utama EC merupakan

Tingkat Salinitas Tanah pada Lahan Sawah Intensif di Kabupaten Indramayu

177

metode paling bagus untuk penentuan titik pengambilan sampel tanah sekaligus sebagai parameter hubungan spasial pengelolaan lahan dan pengaruhnya terhadap tanah. Bahkan perbandingan metode pembuatan zonasi satuan pengelolaan lahan oleh Ferguson et al. (2003) membuktikan bahwa zonasi yang berdasarkan EC tanah adalah lebih baik bila dibandingkan zonasi yang berdasarkan tekstur tanah permukaan dan kelerengan lahan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat salinitas sebagian wilayah Pantura dan distribusinya secara spasial. Penilaian hasil berdasarkan hubungan kualitatif terhadap jaringan irigasi aktif dan kontur bumi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2009 yang merupakan puncak dari rata-rata hujan bulanan di wilayah ini (293 mm). Penelitian dilakukan pada sawah intensif di sebagian wilayah Kabupaten Indramayu, tepatnya pada koordinat 107059’52,8’’ BT - 10807’30” BT dan 6022’30” LS-6016’58,8” LS. Wilayah ini termasuk dalam peta Rupa Bumi Indonesia 1309-413 lembar Eretan Wetan skala 1:25.000 (Bakosurtanal, 1999) yang secara administratif meliputi Kecamatan Patrol, Kecamatan Kandanghaur, Kecamatan Sukra, Kecamatan Bongas dan Kecamatan Anjatan. Kondisi salinitas tanah dapat diukur dengan pendekatan konduktifitas hidraulik tanah. Pengamatan wilayah dan pengukuran salinitas tanah dilakukan secara transek mulai dari bibir pantai hingga ke arah daratan, dan dihentikan setelah alat pengukur menunjukkan nilai salinitas yang sangat rendah/tidak ada. Jumlah keseluruhan titik pengamatan adalah 54 titik di enam jalur transek. Pengambilan contoh tanah dilakukan sebagai bahan ulangan pengukuran salinitas tanah. Untuk menambah referensi data, maka sampel air juga diukur menggunakan EC-meter (Eijkelkamp). Pengukuran dilakukan menggunakan alat EM38 (electromagnetic induction technique). Pada setiap titik pengamatan diukur konduktifitas hidraulik aktual (ECa) secara berulang-ulang untuk mendapatkan nilai rerata dengan cara meletakkan alat EM38 pada permukaan tanah dan dua posisi yaitu tegak dan rebah. Dua posisi tersebut menghasilkan dua hasil pengukuran yaitu EMv (vertikal) pada posisi alat tegak, yang mampu mengidentifikasi konduktifitas hidraulik hingga kedalaman 1,5 m. Sedangkan posisi alat rebah menghasilkan nilai EMh (horisontal) yang mampu mengidentifikasi konduktifitas hidraulik hingga kedalaman 0,5 m. Untuk menghitung konduktifitas hidraulik aktual (ECa) pada kedalaman 0-60 cm menggunakan persamaan Slavich (2005) sebagai berikut :

S. Marwanto et al.

178

• untuk hasil pengukuran EMh > EMv :

1,87* EMh - 1,87 * EMv .......................................................................... (1)

• untuk hasil pengukuran EMh < EMv :

1,24* EMh - 0,05 * EMv............................................................................ (2)

Dari hasil perhitungan menggunakan rumus di atas, selanjutnya dapat ditentukan status salinitas tanah (ECe). Hasil pengukuran konduktifitas hidraulik (ECa) menggunakan alat EM38 menunjukkan korelasi yang baik terhadap pola salinitas tanah. Penentuan salinitas tanah (ECe) berdasarkan hasil pengukuran konduktifitas hidraulik (ECa) adalah sebagai berikut: bila ECa dari pengukuran EM38 tercatat < 2 dS/m, maka salinitas tanah (Ece) dikategorikan rendah, 2-4 dS/m (sedang), 4-8 dS/m (tinggi), dan > 8 dS/m (sangat tinggi).

Pada setiap titik pengamatan dicatat titik koordinatnya (titik x,y) menggunakan alat GPS (Global Positioning System) untuk selanjutnya dibuat statistik spasialnya (Nearest Neighbor Statistic) menggunakan program Surver 9 dimana status salinitas sebagai titik z-nya. Dua titik yang memiliki nilai z berbeda akan dipisahkan oleh garis batas yang dihitung berdasarkan nilai rata-rata dua titik tersebut. Batas area ditentukan berdasarkan titik koordinat terluar dari wilayah peta kerja. Setelah melalui proses gridding data, maka dihasilkan spasial penyebaran status salinitas tanah. Hasil peta dari Surfer selanjutnya ditumpangtepatkan (overlay) dengan peta sawah Kabupaten Indramayu yang terdapat pada peta RBI lembar Eretan Wetan. Untuk analisis juga dibuat peta hidrologi dan peta kontur pada lembar peta yang sama. Hasil akhir berupa peta status salinitas yang berisikan database penggunaan lahan dan dilengkapi dengan luas dan keliling tiap-tiap poligon.

PEMBAHASAN

Lokasi penelitian seluas 9.589,9 ha penggunaan lahannya didominasi oleh sawah irigasi (81,5%) disusul kemudian oleh pemukiman (7,9%), kolam/tambak (5,1%), dan sawah tadah hujan (4,0%). Jenis penggunaan lahan lainnya seperti badan air, belukar/semak, kebun/perkebunan, rawa, tanah kosong/rumput, tegalan/ladang luasnya < 1% dari total daerah penelitian (Tabel 1). Sebaran jenis penggunaan lahan dapat dilihat di Gambar 1, dimana sawah irigasi dan tadah hujan terletak mulai dari batas pantai utara P. Jawa hingga ke selatan (tengah daratan), kolam/tambak terletak di pinggir laut, sedangkan pemukiman tersebar merata di seluruh daerah penelitian.

Tingkat Salinitas Tanah pada Lahan Sawah Intensif di Kabupaten Indramayu

179

Tabel 1. Luas penggunaan lahan di wilayah penelitian

Penggunaan lahan Luas

ha % Badan air/danau 12,6 0,1 Belukar/semak 30,9 0,3 Kebun/perkebunan 28,2 0,3 Kolam/tambak 485,4 5,1 Pemukiman 758,8 7,9 Rawa 1,8 0,0 Sawah irigasi 7.819,8 81,5 Sawah tadah hujan 381,1 4,0 Tanah kosong/rumput 30,9 0,3 Tegalan/ladang 40,2 0,4 Jumlah 9.589,8 100,0

Gambar 1. Penggunaan lahan di lokasi penelitian

S. Marwanto et al.

180

Penggunaan lahan ini memberikan gambaran bahwa masalah salinitas yang terjadi di wilayah penelitian akan memberikan dampak serius karena termasuk lumbung padi Kabupaten Indramayu. Data spasial wilayah membantu menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi salinitas tanah berdasarkan sebaran status salinitas dan kaitannya dengan akses infrastuktur irigasi dan ketinggian kontur.

Kondisi salinitas tanah sangat ditentukan oleh ketinggian lahan, kondisi porositas tanah, kelembaban tanah, tekstur, iklim dan jaringan irigasi aktif (Rhoades, 1989; Norman, 1990). Penelitian dilakukan pada saat musim penghujan yaitu bulan Januari, sehingga diperkirakan kondisi salinitas tanah lebih rendah dan tidak setinggi pada saat musim kemarau (Gambar 2). Selain mampu mencuci garam-garam dari permukaan tanah, curah hujan juga mampu membawa larutan garam menuju tempat yang lebh rendah sebagai aliran permukaan (run off). Persediaan air irigasi juga sangat mencukupi sehingga tingkat salinitas lahan dapat ditekan serendah mungkin.

Gambar 2. Curah hujan di Indramayu periode 1990-2007

Dari hasil pengamatan lapangan, diketahui bahwa keragaan vegetasi padi berubah drastis apabila terkena dampak salinitas. Keragaan tersebut tampak jelas mengikuti transek, dimana sawah yang menempati lahan datar hingga landai dekat ke arah pantai biasanya layu dan tidak mampu menghasilkan bulir padi. Semakin jauh dari pantai, keragaan padi yang terkena salinitas mulai berkurang. Hasil pengukuran salinitas di lapangan menggunakan alat EM38 juga menunjukkan hal yang sama dimana kadar salinitas sawah semakin berkurang ke arah daratan, menjauh dari pantai. Akan tetapi untuk wilayah yang memiliki jalur drainase yang bermuara ke laut, tingkat salinitas lahan di sekitarnya juga tinggi yang disebabkan karena intrusi air laut ke daratan tersebut dapat melalui saluran drainase ini.

0

50

100

150

200

250

300

350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Bulan

CH (m

m)

Tingkat Salinitas Tanah pada Lahan Sawah Intensif di Kabupaten Indramayu

181

Pengukuran EM38 di lokasi penelitian menunjukkan data yang bervariasi, yaitu 0,19-14,26 dS/m untuk pengukuran EMv dan 0,03-16,75 dS/m untuk pengukuran EMh. Melalui perhitungan dengan menggunakan rumus 1 dan 2 seperti yang disajikan dalam metodologi, maka diperoleh nilai ECe yang bervariasi antara 0,03-12,91 dS/m. Untuk analisis spasial, nilai ECe dianggap sebagai nilai z, sedangkan koordinat posisi di bumi merupakan nilai x dan y. Untuk keperluan penelitian ini, maka status salinitas diskor mulai dari skor 0 untuk status rendah dan skor 3 untuk status sangat tinggi Hasil analisis menggunakan Nearest Neighbor Statistics disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis statistik menggunakan Nearest Neighbor Statistics Separation |Delta Z|

Minimum 0,00016896562588208 0 25%-tile 0,0019604499987375 0 Median 0,0025682054069682 1 75%-tile 0,005441609239363 1 Maximum 0,066783953540991 3 Midrange 0,033476459583436 1,5 Range 0,066614987915109 3 Interquartile Range 0,0034811592406255 1 Median Abs. Deviation 0,0018737609629744 1 Mean 0,0052547749493808 0,63333333333333 Trim Mean (10%) 0,0037886759362082 0,55555555555556 Standard Deviation 0,0092298862177712 0,75203427817857 Variance 8,5190799593002E-005 0,56555555555556 Coef. of Variation 1,7564760254593 1,1874225444925 Coef. of Skewness 5,1325408967213 1,1867396462517 Root Mean Square 0,010620897295504 0,98319208025018 Mean Square 0,00011280345936164 0,96666666666667

Hasil ekstrapolasi menggunakan Surfer 9 disajikan dalam Gambar 3 dengan legenda warna putih (1) adalah status salinitas rendah, warna kelabu (2) adalah status salinitas sedang, dan warna gelap (3) status salinitas tinggi.

Data x dan y merupakan koordinat lokasi penelitian (decimal degrees) yang identik dengan koordinat lokasi penelitian. Dengan asumsi bahwa air laut memiliki status salinitas sangat tinggi dan tidak digunakan sebagai acuan, maka dilanjutkan dengan proses tumpang tepat dan hasilnya disajikan pada Gambar 4.

S. Marwanto et al.

182

Gambar 3. Hasil analisis spasial di lokasi penelitian menggunakan Surfer 9

Gambar 4. Hasil overlay sebaran status salinitas dengan peta penggunaan lahan.

1

2

3

Tingkat Salinitas Tanah pada Lahan Sawah Intensif di Kabupaten Indramayu

183

Jenis penggunaan lahan yang dinilai statusnya adalah belukar/semak, kebun/perkebunan, sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegalan/ladang. Dari Gambar 4 diketahui bahwa terdapat tiga status salinitas tanah di lokasi penelitian yaitu rendah, sedang dan tinggi. Status rendah (ECe < 2 dS/m) mendominasi wilayah ini yaitu 92% dari keseluruhan penggunaan lahan yang dinilai. Sedangkan status sedang meliputi 8% dan terakhir status tinggi yang meliputi 5% dari penggunaan lahan yang dinilai. Tabel 3 menyajikan data luasan wilayah pada berbagai jenis penggunaan lahan dan berbagai status salinitas tanah.

Tabel 3. Luas wilayah pada berbagai jenis penggunaan lahan dan berbagai status salinitas tanah

Penggunaan lahan Status Luas

ha % Badan air/danau - 12,61 0,1

Belukar/semak Rendah 9,44 0,1 Sedang 2,39 0,0 Tinggi 19,06 0,2

Kebun/perkebunan Rendah 26,70 0,3 Sedang 0,25 0,0 Tinggi 1,30 0,0

Kolam/tambak - 485,43 5,1

Pemukiman - 758,79 7,9

Rawa - 1,82 0,0

Sawah irigasi Rendah 6.895,19 71,9 Sedang 564,51 5,9 Tinggi 360,13 3,8

Sawah tadah hujan Rendah 253,02 2,6 Sedang 99,70 1,0 Tinggi 28,39 0,3

Tanah kosong/rumput - 30,86 0,3

Tegalan/ladang Rendah 30,13 0,3 Tinggi 10,11 0,1

Jumlah 9.589,82 100,0

S. Marwanto et al.

184

Status salinitas tanah rendah didominasi oleh sawah irigasi yaitu seluas 6.895,2 ha atau 71,9% dari seluruh lokasi penelitian disusul kemudian oleh sawah tadah hujan (2,6%), tegalan/ladang (0,3%), kebun/perkebunan (0,3%), dan terakhir belukar/semak (0,1%). Status salinitas tanah tinggi juga didominasi oleh sawah irigasi (3,8%) disusul oleh sawah tadah hujan (0,3%), belukar/semak (0,2%) dan terakhir adalah tegalan/ladang (0,1%). Status salinitas tinggi tersebut terletak di Kecamatan Kandanghaur berbatasan dengan laut mulai dari Desa Eretan hingga kira-kira 5 km ke arah timur dan 2,7 km ke arah selatan. Status salinitas tanah sedang menempati wilayah yang mengelilingi status tinggi sehingga berperan sebagai border dari status tinggi dengan panjang kira-kira 2 km.

Gambar 5. Hidrologi permukaan di lokasi penelitian

Sumber air irigasi di lokasi penelitian berasal dari Bendungan Salam

Darma dan sebagian kecil dari Bendungan Rentang. Hasil tumpang tepat data spasial hidrologi di lokasi penelitian (meliputi sungai, infrastruktur irigasi dan saluran kolam/tambak), diketahui adanya hubungan erat antara status salinitas

Tingkat Salinitas Tanah pada Lahan Sawah Intensif di Kabupaten Indramayu

185

tanah dengan hidrologi permukaan (Gambar 5). Pada Gambar 5 ditunjukkan bahwa daerah yang memiliki jaringan irgasi rapat memiliki status salinitas tanah rendah kemudian daerah dengan jaringan hidrologi permukaan berupa kolam/tambak memiliki status salinitas tinggi. Di antara kedua lokasi tersebut merupakan daerah status sedang yang merupakan daerah peralihan kondisi salin. Air yang dibawa jaringan irigasi berasal dari daerah hulu yang memiliki kadar garam rendah sehingga mampu melarutkan garam-garam di tanah sekaligus mencucinya. Aliran air dari daerah hulu inilah yang mampu mendesak garam-garam di dalam tanah sehingga laju intrusi air laut juga terhambat. Hal ini juga didukung kondisi iklim dimana pada saat dilaksanakan pengukuran lapangan, jumlah rata-rata curah hujan tergolong tinggi sehingga membantu mengurangi kadar salinitas tanah. Jaringan hidrologi pada kolam/tambak memiliki saluran yang langsung menghubungkan ke laut sehingga tercipta kondisi salin hingga payau. Kondisi ini mengakibatkan tanah di bawahnya juga memiliki kadar garam yang tinggi.

Kondisi ketinggian tempat memiliki pengaruh yang besar terhadap salinitas tanah. Intrusi air laut menjangkau daerah-daerah yang memiliki ketinggian sama atau sedikit lebih tinggi dari permukaan air laut karena tanah memiliki sifat kapiler sehingga air laut mampu naik melalui pori-pori tanah. Pada kondisi lahan yang tinggi, intrusi air laut tidak mampu mempengaruhi sub soil maupun top soil, sehingga tidak terukur oleh alat EM38 maupun mempengaruhi tanaman. Data kontur yang diperoleh merupakan kontur bantu yang berasal dari peta RBI skala 1:25.000 dengan perbedaan elevasi 12,5 m. Dari hasil penelitian ini menguatkan informasi bahwa lahan dengan kondisi kontur yang tinggi memiliki tingkat salinitas yang rendah. Di lokasi penelitian, lokasi yang memiliki kontur tinggi adalah di Kecamatan Anjatan hingga ke arah barat yaitu Kecamatan Sukra dan Patrol (Gambar 6). Daerah ini memiliki status salinitas rendah karena memiliki jaringan irigasi yang cukup rapat dan lebih dekat ke hulu sehingga disamping pasokan air irigasinya relatif lebih banyak, energi kinetik yang dihasilkan mampu mendesak intrusi air laut sehingga tidak menimbulkan bahaya salinitas.

Identifikasi sebaran kadar salinitas yang disajikan dalam bentuk spasial pada berbagai kondisi lahan, curah hujan dan infrastruktur irigasi sangat penting untuk menentukan teknologi pengelolaan lahan. Pada wilayah dengan kadar salinitas tanah yang tidak berubah-ubah mengikuti kondisi irigasi dan curah hujan, maka salinitas wilayah tersebut dapat diatasi dengan teknologi pengelolaan air. Wilayah yang memiliki kadar salinitas tinggi dan relatif permanen karena pengaruh kontur dapat diatasi dengan penanaman varietas padi yang toleran terhadap kondisi salin dan pemberian ameliorasi disertai teknologi pengelolaan air.

S. Marwanto et al.

186

Gambar 6. Kontur di lokasi penelitian

KESIMPULAN

1. Terdapat tiga status salinitas tanah di lokasi penelitian yaitu rendah, sedang dan tinggi. Status rendah (ECe < 2 dS/m) mendominasi wilayah ini yaitu 92%. Status sedang (ECe 2-4 dS/m) meliputi 8% dan status tinggi (ECe 4-8 dS/m) sekitar 5% dari penggunaan lahan yang dinilai. Status salinitas tinggi terletak di Kecamatan Kandanghaur berbatasan dengan laut mulai dari Desa Eretan hingga kira-kira 5 km ke arah timur dan 2,7 km ke arah selatan.

2. Lokasi yang memiliki jaringan irgasi rapat memiliki status salinitas tanah rendah, daerah dengan jaringan hidrologi permukaan berupa kolam/tambak memiliki status salinitas tinggi. Di antara kedua lokasi tersebut merupakan daerah status sedang yang merupakan daerah peralihan kondisi salin. Hasil analisis menguatkan informasi bahwa lahan dengan kondisi kontur yang tinggi memiliki tingkat salinitas yang rendah.

kontur

Tingkat Salinitas Tanah pada Lahan Sawah Intensif di Kabupaten Indramayu

187

3. Lokasi yang memiliki kontur tinggi adalah di Kecamatan Anjatan hingga ke arah barat yaitu Kecamatan Sukra dan Patrol. Daerah ini memiliki status salinitas rendah di samping memiliki jaringan irigasi yang cukup rapat dan lebih dekat ke hulu (sumber aliran irigasi).

DAFTAR PUSTAKA

Bakosurtanal. 1999. Peta Rupa Bumi Indonesia 1309-413 lembar Eretan Wetan skala 1:25.000. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. Bogor.

Dailidienė, I. and L. Davulien. 2008. Salinity trend and variation in the Baltic Sea near the Lithuanian coast and in the Curonian Lagoon in 1984-2005. Journal of Marine System 74:S20-S29.

Ferguson, R.B., R.M. Lark, and G.P. Slater. 2003. Approaches to management zone definition for use of nitrification inhibitors. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:937-947.

Hendrayana, H. 2002. Intrusi Air Asin ke Dalam Akuifer Daratan. Geological Engineering Dept., Faculty of Engineering, Gadjah Mada University. Handbook (unpublished).

Johnson, C.K., J.W. Doran, H.R. Duke, B.J. Wienhold, K.M. Eskridge, and J.F. Shanahan. 2001. Field-scale electrical conductivity mapping for delineating soil condition. Soil Sci. Soc. Am. J. 65:1829-1837.

Kitchen, N.R., K.A. Sudduth, and S.T. Drummond. 1999. Soil electrical conductivity as a crop productivity measure for claypan soils. J. Prod. Agric. 12:607-617.

Norman, C.P. 1990. Training Manual on the Use of the EM38 for Soil Salinity Appraisal. Technical Report series No. 181, April 1990. Department of Agriculture and Rural Affairs, Victoria.

Rhoades, J.D., N.A. Manteghi, P.J. Shouse, and W.J. Alves. 1989. Soil electrical conductivity and soil salinity: new formulations and calibrations. Soil Sci. Soc. Am. J. 53:433-9.

Slavich, P.G. 2005. The Electromagnetic Soil Conductivity Meter (EM38) in Salinity Studies. (Unpublished).

Subagyono, K., B. Sugiharto, and B. Jaya. 2005. Rehabilitation Strategies of the Tsunami Affected Agricultural Areas in Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia. Presented in “Salt-affected Soils from Sea Water Intrusion: Strategies for Rehabilittaion and Management Regional Workshop”, 31 March-1 April 2005, Bangkok, Thailand.

Sudduth, K.A., N.R. Kitchen, D.F. Hughes, and S.T. Drummond. 1995. Electromagnetic induction sensing as an indicator of productivity on claypan soils. Pp 671-681. In P.C. Robert (Ed.), Proceedings of the 2nd

S. Marwanto et al.

188

Internal Conference on Site-specific Management for Agricultural Systems. ASA, CSSA, SSSA, Madison, WI.

van Asten P.J.A., J.A. van ‘t Zelfde, S.E.A.T.M. van der Zee, and C. Hammecker. 2004. The effect of irrigated rice cropping on the alkalinity of two alkaline rice soil in the Sahel. Geoderma 119:233-247.

Yan, L., S. Zhou, L. Feng, and L.H. Yi. 2007. Delineation of site-specific zones using fuzzy clustering analysis in a coastal saline land. Journal of Computers and Electronics in Agriculture 56:174-186.

Tingkat Salinitas Tanah pada Lahan Sawah Intensif di Kabupaten Indramayu

189

TANYA JAWAB

Pertanyaan (P. Rejekiningrum, Balitklimat) :

Bagaimana mekanisme penelitian nilai ECe dengan scoring ? Apakah nilai ECe (sedang, rendah, tinggi) berlaku secara universal ?

Jawaban :

Skor ECe berhubungan dengan respon agronomis tanaman secara umum terhadap berbagai kadar salinitas tanah. Penentuan batas skor ditentukan mulai dari keragaan tanaman yang tidak menunjukkan kelainan hingga tanaman tersebut tidak berproduksi/mati.

Nilai ECe tidak berlaku secara universal, tergantung pada tujuan dan objek penelitian itu sendiri. Nilai ECe yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan penggunaan umum di beberapa wilayah Asia dan Australia, termasuk Indonesia.

Pertanyaan (M. Thamrin, Balittra) :

1. Mengapa persentase penggunaan lahan seluruhnya 105% (seharusnya 100%) ?

2. Manfaat dari penelitian ini disarankan untuk diuraikan dalam makalah lengkap.

3. Berkaitan dengan kesimpulan No. 3, apakah pada kontur tinggi, status salinitasnya tinggi ?

Jawaban :

1. Kami tidak pernah mencantumkan persentase penggunaan lahan 105% melainkan 100%, baik di bahan presentasi seminar, extended abstrak, dan di makalah lengkap.

2. Kami sudah berusaha menguraikan manfaat penelitian ini dalam makalah lengkap.

3. Berdasarkan titik pengamatan, pada daerah dengan kontur tinggi didominasi oleh tanah dengan status salinitas rendah. Tidak ada titik pengamatan dengan status salinitas tinggi

Pertanyaan (Sawiyo, Balitklimat) : 1. Penelitian ini semestinya dilakukan di dua kondisi yakni musim hujan dan

kemarau sehingga bisa diperoleh fluktuasi kadar salinitasnya.

S. Marwanto et al.

190

2. Pemetaan seperti ini sebaiknya pada skala detail sehingga akan lebih nampak hasilnya.

Jawaban : 1. Terima kasih atas komentarnya. Saya sangat setuju terhadap pengamatan

yang dilakukan pada musim hujan dan kemarau. Tetapi dalam penelitian ini belum bisa dilakukan dan merupakan salah satu kendala yang dihadapi.

2. Betul Pak, dengan skala detail akan mempertajam penelitian ini meskipun akan berpengaruh terhadap biaya dan lamanya waktu pelaksanaan penelitian. Hasil penelitian ini lebih tepat untuk pengambilan kebijakan tingkat regional.

Pertanyaan (K. Nugroho, BBSDLP) : 1. Daerah tambak/kolam lebih tinggi kadar salinitasnya karena lebih rendah.

2. Metode pengukuran dengan alat semacam ini masih tetap memerlukan faktor koreksi.

Jawaban :

1. Betul pak. Pada kondisi sumber salinitas yang sama, garam natrium akan lebih cepat memberikan pengaruh pada permukaan tanah yang rendah dibandingkan pada permukaan tanah yang tinggi. Baik akibat intrusi air laut yang didukung gaya kapilaritas maupun akibat luapan air laut yang didukung gaya gravitasi.

2. Betul Pak. Kami sudah membandingkan dengan prosedur rutin pengukuran di laboratorium. Nilai yang dihasilkan semuanya masih sama range-nya dengan pengukuran lapang menggunakan EM38. Kami tidak mencantumkan hasilnya karena contoh tanah yang diambil sedikit.

Pertanyaan (Ari, UNS) :

1. Apa ada pengaruh jaringan hidrologi terhadap tingkat salinitasnya ?

2. Bagaimana hasil pengukuran metode transek dalam kajian ini ?

Jawaban : 1. Semakin rapat jaringan hidrologi berpengaruh terhadap semakin rendahnya

kadar salinitas di lokasi tersebut.

2. Semakin jauh dari garis pantai, maka semakin rendah tingkat salinitas tanahnya.