51
PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN DAYA TETAS TELUR IKAN DEWA (Tor soro) IFFI RIZKIYA PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021 M/1442 H

PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI

TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN DAYA TETAS

TELUR IKAN DEWA (Tor soro)

IFFI RIZKIYA

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021 M/1442 H

Page 2: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

ii

PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

PERKEMBANGAN EMBRIO DAN DAYA TETAS TELUR IKAN DEWA

(Tor soro)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

IFFI RIZKIYA

11160950000044

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 M/1442 H

Page 3: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

iii

PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

PERKEMBANGAN EMBRIO DAN DAYA TETAS TELUR IKAN DEWA

(Tor soro)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

IFFI RIZKIYA

11160950000044

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Eri Setiadi, S.Si., M.Sc.

NIP. 196502051999031001

Etyn Yunita, M.Si.

NIP. 197006282014112002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. Priyanti, M.Si.

NIP. 197505262000122001

Page 4: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

iv

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul “Pengaruh Salinitas dan Kecepatan Aerasi terhadap

Perkembangan Embrio dan Daya Tetas Telur Ikan Dewa (Tor soro)” yang

ditulis oleh Iffi Rizkiya, NIM 11160950000044 telah diuji dan dinyatakan LULUS

dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Februari 2021. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) Program Studi

Biologi.

Menyetujui,

Penguji I, Penguji II,

Dr. Dasumiati, M.Si.

NIP. 197309231999032002

Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si.

NIP. 197203222002122002

Pembimbing I, Pembimbing II,

Eri Setiadi, S.Si, M.Sc.

NIP. 196502051999031001

Etyn Yunita, M.Si.

NIP. 197006282014112002

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi

Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud.

NIP. 196904042005012005

Dr. Priyanti, M.Si.

NIP. 197505262000122001

Page 5: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

v

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN

SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI

MANAPUN.

Jakarta, Februari 2021

Iffi Rizkiya

11160950000044

Page 6: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

vi

ABSTRAK

Iffi Rizkiya. Pengaruh Salinitas dan Kecepatan Aerasi terhadap Perkembangan

Embrio dan Daya Tetas Telur Ikan Dewa (Tor soro). Skripsi. Program Studi

Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. 2020. Dibimbing oleh Eri Setiadi dan Etyn Yunita.

Populasi ikan (Tor soro) dewa telah mengalami penurunan bahkan termasuk kedalam

kategori terancam punah yang diakibatkan oleh penangkapan berlebihan, kerusakan

habitat, dan belum stabilnya produksi ikan hasil budidaya. Budidaya merupakan upaya

untuk mencegah terjadinya kepunahan. Penambahan salinitas bertujuan untuk

mempercepat penetasan dengan merangsang enzim chorionase, sedangkan kecepatan

aerasi untuk menciptakan sirkulasi dan meningkatkan oksigen terlarut. Penelitian ini

bertujuan untuk menentukan salinitas dan kecepatan aerasi optimal terhadap

perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa guna menghasilkan larva yang

berkualitas. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan dua tahap kegiatan, pertama salinitas (0, 2, 4, dan 6 ppt) dan kedua

kecepatan aerasi (0, 500, 1000, 1500, dan 2000 ml/menit) dengan 3 kali ulangan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa telur ikan dewa hanya dapat bertahan pada salinitas 0

ppt dengan daya tetas sebesar 90,00±10,00%. Persentase abnormalitas tertinggi

ditemukan pada perlakuan kecepatan aerasi 0 ml/menit dan terendah pada 500

ml/menit. Nilai LPKT dan panjang mutlak tertinggi ditemukan pada perlakuan 1500

ml/menit yaitu 0.1268±0.0056 mm3/hari untuk LPKT dan 4.6435±0.2518 mm untuk

panjang mutlak. Kondisi terbaik untuk inkubasi telur ikan dewa adalah pada air tawar

yang bersalinitas 0 ppt dan pada kecepatan aerasi 1000 ml/menit dengan nilai oksigen

terlarut 6,58-7,31 mg/L.

Kata kunci: Ikan dewa, Kecepatan aerasi, Salinitas

Page 7: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

vii

ABSTRACT

Iffi Rizkiya. Effect of Salinity and Aeration Rate on Embryonic Development and

Hatching Rate of Mahseer (Tor soro). Undergraduate Thesis. Departement of

Biology. Faculty of Science and Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic

University Jakarta. 2020. Advised by Eri Setiadi and Etyn Yunita.

The mahseer (Tor soro) population is getting down even threatens with extinction

caused by over fishing, habitat destruction, and unstable of fish culture production. The

effort of fish cultivation prevent occurring of threaten. The addition of water salinity

has an aim to fasten the hatching time by stimulating chorionase enzyme, meanwhile

the aeration rate can affect circulation and increase the dissolved oxygen. This

experiment aimed to determine the optimal salinity and aeration rate for embryonic

development and hatching rate of Mahseer eggs in order to produce high-quality larvae.

The experimental design used was a completely randomized design with two steps of

experiment. The first step was salinity (0, 2, 4, and 6 ppt), and the second step was

aeration rate treatment (0, 500, 1000, 1500, and 2000 ml/minute) with 3 repetitions,

respectively. The result showed that Mahseer eggs only survived on 0 ppt salinity with

a hatching rate of 90,00±10,00%. The highest percentage of abnormality found on 0

ml/minute treatment and the lowest on 500 ml/minute treatment. The highest value of

yolk sac absorption (0.1268±0.0056 mm3/day) and absolute length (4.6435±0.2518

mm) was found on 1500 ml/minute treatment. The dissolved oxygen value was

increasing along with the increasing of aeration rate. The best condition for Masheer

culture is on salinity of 0 ppt and aeration rate of 1000 ml/minute.

Keywords: Aeration rate, Mahseer, Salinity

Page 8: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan

kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan

syafa’atnya di akhirat nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas

limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga

penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan skripsi dengan judul “Pengaruh

Salinitas dan Kecepatan Aerasi terhadap Perkembangan Embrio dan Daya Tetas

Telur Ikan Dewa (Tor soro)”.

Tulisan ini dapat diselesaikan berkat adanya pihak-pihak yang telah memberikan

bimbingan serta dukungan kepada penulis. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud. selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

2. Dr. Priyanti, M.Si. selaku Ketua Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan

Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Narti Fitriana, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains

dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta selaku penguji seminar

proposal dan seminar hasil yang telah memberikan masukan dan saran kepada

penulis.

4. Eri Setiadi, S.Si., M.Sc. selaku kepala Instalasi Penelitian dan Pengembangan

Teknologi Lingkungan dan Toksikologi Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor

sekaligus Pembimbing I skripsi yang telah bersedia membimbing penulis

selama penelitian hingga dapat menyelesaikan skripsi.

5. Etyn Yunita, M.Si. selaku Pembimbing II yang telah yang telah bersedia

membimbing penulis selama penelitian hingga dapat menyelesaikan skripsi.

Page 9: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

ix

6. Dr. Dasumiati, M.Si. dan Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si. selaku dosen

penguji sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan

skripsi ini.

7. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si. selaku penguji seminar proposal dan seminar hasil

yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis.

8. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan Bogor

yang telah memberi izin kepada penulis agar dapat melaksanakan penelitian.

9. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu senantiasa memberikan dukungan

moril maupun materil kepada penulis.

10. Aisyah dan Dina yang telah memberikan bantuan selama melaksanakan

penelitian, serta teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu.

Jakarta, Februari 2021

Penulis

Page 10: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

x

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ................................................................................................................... vi

ABSTRACT ................................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR ............................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. x

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................... 3

1.3. Hipotesis ........................................................................................................ 3

1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 4

1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 4

1.6. Kerangka Berpikir ......................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 6

2.1. Ikan Dewa ...................................................................................................... 6

2.2. Perkembangan Embrio Ikan .......................................................................... 7

2.3. Daya Tetas Telur Ikan ................................................................................... 8

2.4. Salinitas ......................................................................................................... 9

2.5. Kecepatan Aerasi ........................................................................................... 9

BAB III METODE PENELITIAN.............................................................................. 11

3.1. Waktu dan Tempat....................................................................................... 11

3.2. Alat dan Bahan ............................................................................................ 11

3.3. Rancangan Penelitian .................................................................................. 11

3.4. Cara Kerja .................................................................................................... 12

3.5. Analisis Data................................................................................................ 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 17

4.1. Pengaruh Perbedaan Salinitas terhadap Daya Tetas Telur/Hatching Rate

(HR) ............................................................................................................. 17

4.2. Pengaruh Kecepatan Aerasi Berbeda terhadap Perkembangan Embrio,

Daya Tetas Telur, Abnormalitas, Volume Penyusutan Kuning Telur, dan

Laju Penyerapan Kuning Telur .................................................................... 19

4.3. Parameter Kualitas Air ................................................................................ 29

Page 11: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

xi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 30

5.1. Kesimpulan .................................................................................................. 30

5.2. Saran ............................................................................................................ 30

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 31

LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................................... 37

Page 12: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian pengaruh salinitas dan kecepatan

aerasi terhadap perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa....... 5

Gambar 2. Morfologi ikan Tor soro dewasa ................................................................. 6

Gambar 3. Persentase rata-rata daya tetas telur ikan dewa pada kondisi salinitas

berbeda ...................................................................................................... 17

Gambar 4. Perkembangan embrio ikan dewa 0 jam setelah pembuahan .................... 19

Gambar 5. Perkembangan embrio ikan dewa 4-16 jam setelah pembuahan............... 20

Gambar 6. Perkembangan embrio ikan dewa 18-36 jam setelah pembuahan............. 20

Gambar 7. Perkembangan embrio ikan dewa 42-68 jam setelah pembuahan............. 21

Gambar 8. Larva ikan dewa setelah menetas .............................................................. 21

Gambar 9. Persentase rata-rata daya tetas telur ikan dewa pada kecepatan aerasi

berbeda ...................................................................................................... 22

Gambar 10. Persentase rata-rata abnormalitas larva ikan dewa pada kecepatan

aerasi berbeda .......................................................................................... 23

Gambar 11. Morfologi larva abnormal ....................................................................... 24

Gambar 12. Penyusutan volume kuning telur pada perlakuan kecepatan aerasi

berbeda .................................................................................................... 25

Gambar 13. Rata-rata laju penyerapan kuning telur pada kecepatan aerasi

berbeda .................................................................................................... 26

Gambar 14. Rata-rata panjang mutlak larva ikan dewa pada kecepatan aerasi

berbeda .................................................................................................... 27

Page 13: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan dewa (Tor soro) yang juga dikenal dengan sebutan ikan batak, ikan soro,

ikan kancra, maupun ikan semah merupakan ikan bertulang sejati atau Teleostei. Ikan

ini merupakan fauna lokal Indonesia yang dijadikan masakan khas oleh masyarakat

suku Batak di Sumatera Utara. Budaya masyarakat Batak menyajikan ikan sebagai

syarat pada upacara adat seperti pernikahan dan kelahiran anak (Siregar, Barus, &

Ilyas, 2013). Hal ini menjadi salah satu faktor yang meningkatkan aktivitas

penangkapan ikan tersebut. Mulanya ikan dewa memiliki daerah persebaran yang luas

meliputi perairan Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Namun ikan tersebut semakin sulit

dijumpai karena terdesak oleh ikan-ikan introduksi seperti ikan mas dan nila.

Keberadaan ikan dewa pun kian terancam punah karena terjadinya pencemaran air,

serta penggundulan hutan (Haryono, Agus, Jojo, Asih, & Gema, 2010). Genus ikan Tor

termasuk dalam kategori terancam punah (threatened species) menurut IUCN Red List

Status (2014). Budidaya ikan dewa masih berlangsung saat ini namun domestikasi dan

reproduksinya masih belum optimal. Masalah lainnya adalah ikan ini memiliki

pertumbuhan yang lambat dan fekunditas yang rendah. Induk ikan dewa memiliki nilai

fekunditas sebesar 2.063 butir/kg. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan ikan Tor

douronensis yaitu 4.085 butir/kg (Radona, Subagja, & Arifin, 2015).

Salah satu cara untuk mengurangi ancaman kepunahan bagi ikan dewa adalah

melakukan pembudidayaan dengan menciptakan lingkungan dan kondisi yang

optimum bagi pertumbuhannya. Keberhasilan pembenihan ikan ditentukan oleh faktor

utama yang salah satunya adalah kualitas telur. Tingkat pembuahan (fertilitas), daya

tetas telur (hatching rate) yang tinggi dan rendahnya tingkat abnormalitas merupakan

ciri dari telur yang berkualitas (Andriyanto, Slamet, & Ariawan, 2013). Faktor yang

juga mempengaruhi perkembangan embrio serta daya tetas telur ikan adalah kondisi

lingkungan. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas air dalam kegiatan

Page 14: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

2

akuakultur diantaranya adalah suhu air, oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO),

pH, alkalinitas, kadar amonia, nitrit, nitrat, karbondioksida, serta bahan organik terlarut

lainnya (Islami, Hasan, & Anna, 2017). Menurut Hijriyanti (2012), daya tetas telur

dipengaruhi oleh mutu telur, suhu air, salinitas, gerakan air, dan luas permukaan wadah.

Salinitas termasuk salah satu faktor media yang dapat mempengaruhi faktor lain

seperti mengontrol osmoregulasi, kerja enzim, serta reaksi biokimia yang terjadi pada

embrio maupun organisme perairan (Anggoro & Muryati, 2007). Apabila osmotik

lingkungan berbeda jauh dengan tekanan osmotik dalam telur ikan, maka osmotik

media akan menjadi beban bagi telur sehingga dibutuhkan energi yang relatif besar

untuk mempertahankan osmotik telurnya (Diana, Masithah, Mukti, & Triastuti., 2013).

Di samping itu, aktivitas enzim chorionase yang terdapat pada cangkang telur dapat

dipengaruhi oleh salinitas lingkungannya. Di mana enzim chorionase sendiri

merupakan enzim yang terdiri atas pseudokeratin yang bersifat mereduksi lapisan

chorion menjadi lunak (Waris, Mansyur, & Rusaini, 2018). Salinitas yang tidak sesuai

dapat menghambat stimulasi kelenjar endodermal embrio yang berperan dalam sekresi

enzim tersebut (Kumar & Tembhre, 1997). Berdasarkan penelitian Heltonika (2014)

diketahui bahwa penetasan telur ikan jambal siam dipengaruhi oleh faktor lingkungan

yakni salinitas yang berhubungan dengan oksigen terlarut. Dalam penelitian tersebut

didapatkan salinitas terbaik untuk penetasan telur ikan jambal siam adalah 4 ppt. Selain

itu Hadid, Syaifudin, & Amin (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa salinitas

berpengaruh terhadap persentase daya tetas telur, laju penetasan telur, dan

kelangsungan hidup larva ikan baung dengan hasil terbaik adalah 2 ppt.

Salah satu cara lain untuk menjaga kualitas air adalah dengan memberikan aerasi.

Kecepatan aerasi memiliki hubungan yang erat dengan kadar oksigen terlarut serta

sirkulasi air. Aerasi digunakan untuk meningkatkan oksigen terlarut yang dapat

mengurangi kejenuhan gas. Penurunan tingkat kebutuhan oksigen biologis di perairan

disebabkan oleh respirasi organisme akuatik baik tanaman maupun hewan seperti ikan,

hewan bentik, bakteri, dan zooplankton (Meade, 1989). Telur dan benih ikan memiliki

tingkat metabolisme yang tinggi. Karenanya kadar oksigen terlarut yang memadai

sangatlah diperlukan, yaitu tidak kurang dari 4-5 mg/L (Aryani, 2015).

Page 15: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

3

Menurut Sunarma (2007), aerasi yang cukup dapat berpengaruh terhadap daya

tetas telur. Adanya aerasi dapat memberikan tambahan oksigen serta sirkulasi di

perairan. Lingkungan tanpa sirkulasi dapat menyebabkan penyebaran oksigen tidak

merata dan menghambat perkembangan embrio (Slembrouck, Komarudin, Maskur, &

Legendre, 2005). Namun, jika sirkulasi yang diberikan terlalu tinggi maka dapat

menyebabkan kematian pada larva yang baru menetas (Nurmansyah, 2019). Rahman

et al. (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa aliran air dan aerasi dapat

mempengaruhi perkembangan embrio ikan lele spesies Clarias batrachus. Fase

pembelahan embrio dapat terhenti jika suatu perairan tidak memiliki aliran air maupun

aerasi. Selain itu kecepatan aerasi terbukti dapat mempengaruhi daya tetas telur, lama

penetasan telur, serta tingkat kelangsungan hidup pada larva ikan bawal (Colossoma

macropopum) (Hadi, 2016) dan ikan lele mutiara (Clarias sp.) (Nurmansyah, 2019).

Terdapat beberapa penelitian sebelumnya terhadap ikan dewa yang membuktikan

bahwa salinitas dapat mempercepat perkembangan embrio (Prakoso & Radona, 2015),

serta suhu berpengaruh terhadap daya tetas telur (Irfandi, Thaib, & Nurhayati, 2020).

Namun informasi mengenai pengaruh salinitas dan kecepatan aerasi terhadap

perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan Tor soro masih sangat sedikit, sehingga

dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah lama waktu perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa

pada perlakuan salinitas dan kecepatan aerasi berbeda?

2. Salinitas dan kecepatan aerasi manakah yang dapat menghasilkan perkembangan

embrio yang cepat dan daya tetas telur ikan dewa tertinggi?

1.3. Hipotesis

Salinitas dan kecepatan aerasi dapat berpengaruh positif terhadap perkembangan

embrio dan daya tetas telur ikan dewa.

Page 16: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

4

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui lama waktu perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa pada

perlakuan salinitas dan kecepatan aerasi berbeda.

2. Menentukan salinitas dan kecepatan aerasi optimal terhadap perkembangan

embrio dan daya tetas telur ikan dewa guna menghasilkan larva yang berkualitas.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai kondisi

optimum untuk perkembangan embrio dan daya tetas ikan dewa tertinggi, serta tingkat

abnormalitas larva yang dihasilkan.

Page 17: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

5

1.6. Kerangka Berpikir

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian pengaruh salinitas dan kecepatan aerasi

terhadap perkembangan embrio dan daya tetas telur ikan dewa

Ikan Tor soro merupakan fauna lokal Indonesia

Ikan Tor soro terancam punah karena terdesak ikan-

ikan introduksi, penangkapan berlebihan, dan

kerusakan habitat (pencemaran perairan)

Perlunya dilakukan

budidaya

Masih terbatasnya

informasi dan teknologi

budidaya ikan dewa

Menentukan kondisi

lingkungan optimum

untuk perkembangan

embrio dan daya tetas

telur

Dilakukan optimasi salinitas serta kecepatan aerasi

agar mendapatkan kondisi terbaik untuk

perkembangan embrio serta meningkatkan daya tetas

telur

Page 18: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Dewa

Ikan dewa atau Tor soro (Gambar 2) merupakan salah satu ikan lokal Indonesia.

Terdapat tiga kerabat ikan Tor soro yang dapat ditemukan di Indonesia antara lain Tor

tambroides, Tor tambra, dan Tor douronensis (Kottelat et al., 1993). Ikan ini dapat

diklasifikasikan sebagai berikut: Filum: Chordata, Kelas: Teleostei, Ordo:

Cypriniformes, Famili: Cyprinidae, Genus: Tor, Spesies: Tor soro (Valenciennes

(1842) dalam Haryono et al. (2010)).

Gambar 2. Morfologi ikan Tor soro dewasa

Pada umumnya, ikan dengan genus Tor memiliki bentuk tubuh yang pipih

memanjang, moncong agak meruncing, mulut tebal dan letaknya inferior atau

subinferior, serta bibir bawah yang tidak terputus dengan ada-tidaknya cuping

(Haryono et al., 2010). Secara morfologi ikan dewa memiliki panjang maksimal 1

meter dengan gurat sisi atau linea lateralis sepanjang 24-28 cm. Ciri yang membedakan

ikan ini dengan genus Tor lainnya adalah adanya dua lobus di bibir bawah mulut ikan.

Pembeda lainnya adalah ukuran sirip dubur yang lebih pendek dibandingkan sirip

punggung, serta terdapat warna perak mengkilap di bagian belakang (Haryono &

Tjakrawidjaja, 2005). Beberapa ciri fisik yang membedakan ikan dewa jantan dan

Page 19: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

7

betina dapat dilihat dari bentuk badan, warna sisik, tutup insang, serta papila (Haryono

et al., 2010).

Haryono & Subagja (2008) menyatakan bahwa habitat ikan dewa dapat

dibedakan menjadi tiga berdasarkan ukurannya. Ikan dewa yang masih dalam tahap

larva atau juvenil (ukuran 5 – 50 mm) umumnya mendiami tepi sungai dengan substrat

dasar perairan berpasir, arus tenang, warna air jernih, dan dangkal. Ikan berukuran kecil

sampai sedang (5 – 20 cm) berhabitat di sungai dengan karakteristik dasar perairan

bebatuan, arus air sedang sampai deras, warna air jernih, serta substrat yang tersusun

dari kerikil dan pasir. Ikan dewasa dengan ukuran minimal 21 cm umumnya hidup di

lubuk sungai dengan arus tenang sampai lambat, dasar perairan bebatuan, substrat

tersusun dari pasir dan kerikil, serta warna air jernih. Ikan dewa termasuk ikan pelagis

yang bergerak aktif karena merupakan penghuni sungai pada hutan tropis terutama

pada kawasan pegunungan, bagian hulu sungai yang merupakan daerah perbukitan

dengan air yang jernih dan berarus kuat (Sinaga, Pulungan, & Efizon, 2015).

Beberapa penelitian mengenai ikan genus Tor sudah dilakukan sebelumnya.

Penelitian tersebut diantaranya adalah mengenai induksi ovulasi dan pemijahan

(Farastuti, Sudrajat, & Gustiano, 2014), analisis keragaman dan penentuan variasi

genetik (Asih, Nugroho, Kristanto, & Mulyasari, 2008; Nugroho, Soewardi, &

Kurniawirawan, 2007), kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih (Qudus, Lili, &

Rosidah, 2012), kebiasaan makan (Siregar et al., 2013), habitat (Subagja & Marson,

2008), dan pertumbuhan (Rumondang & Mahari, 2017; Subagja & Radona, 2018).

2.2. Perkembangan Embrio Ikan

Embriologi dan perkembangan larva merupakan hal yang penting dalam praktek

produksi ikan. Tersedianya informasi mengenai perkembangan embrio dan larva ikan

menjadi kunci untuk memaksimalkan pertumbuhan serta kelangsungan hidup larva

(Puvaneswari, Marimuthu, Karuppasamy, & Haniffa, 2009). Tahap perkembangan

embrio pada ikan merupakan tahap yang paling sensitif dalam seluruh siklus hidup ikan

dan dapat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas benih. Ciri telur ikan yang telah

terfertilisasi ditandai dengan warna transparan, sedangkan yang tidak terfertilisasi

Page 20: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

8

cenderung berwarna putih pucat pada inti (Saputra, Raharjo, & Rachimi, 2014). Jumlah

telur yang menetas dan tingkat kelangsungan hidup larva ikan dalam kegiatan produksi

benih dipengaruhi oleh beberapa jenis stresor lingkungan dapat mengakibatkan

rendahnya tingkat produksi benih ikan (Prakoso & Kurniawan, 2015).

Tahap perkembangan embrio diawali dengan pembelahan zigot (cleavage),

stadia morula, blastula, gastrula, dan organogenesis. Tiga tahapan dalam proses

embriogenesis ikan antara lain tahap pembelahan, embrionik, dan eleutheroembrionik

(fase ikan menetas hingga dapat mencari makan dari luar). Fase embrionik berlangsung

ketika proses pembuahan terjadi hingga ikan dapat mencari makan sendiri (Tang &

Ridwan, 2004).

2.3. Daya Tetas Telur Ikan

Persentase telur yang menetas setelah kurun waktu tertentu disebut hatching rate

atau daya tetas telur. Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya penetasan telur

yaitu kerja mekanik dan enzimatik. Kerja mekanik merupakan akibat dari adanya

aktivitas embrio. Semakin aktif embrio bergerak maka semakin cepat proses penetasan

terjadi. Sedangkan kerja enzimatik adalah adanya enzim chorionase dalam telur yang

berfungsi mereduksi lapisan terluar telur (chorion). Chorion yang terdiri dari

pseudokeratin akan menjadi lembek, sehingga bagian cangkang yang tipis dan terkena

enzim chorionase akan pecah. Ekor embrio akan keluar dari cangkang kemudian diikuti

tubuh dan kepalanya (Gusrina, 2014).

Kualitas benih dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah penetasan

yang dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi hormon

serta volume kuning telur (Hadid et al., 2015). Hormon yang dihasilkan oleh hipofisa

dan tiroid berperan dalam proses metamorfosa, dan volume kuning telur berhubungan

dengan perkembangan embrio sedangkan faktor luar yang mempengaruhi penetasan

adalah suhu, pH, salinitas (Kamler, 1992), gas-gas terlarut (oksigen, CO2 dan amoniak)

(Lagler, 1972), intensitas cahaya (Nikolsky, 1963), serta kecepatan aerasi (Sugama,

Trijoko, Ismi, & Setiawati, 2004).

Page 21: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

9

2.4. Salinitas

Salinitas atau kadar garam terlarut dalam air merupakan salah satu faktor penting

yang juga memengaruhi perkembangan embrio serta daya tetas telur ikan. Salinitas

merupakan salah satu penentu kualitas air yang dapat mempengaruhi telur dan larva

ikan. Salinitas berpengaruh terhadap daya tetas telur (Holliday, 1969), kelulushidupan

larva (Lee & Menu, 1981), serta proses perkembangan telur ikan terutama dalam proses

osmoregulasi (Lopez, Martinez., & Garcia., 2004). Selain itu salinitas juga

mempengaruhi tingkat kerja osmotik, daya absorpsi air, dan proses pengerasan selaput

terluar telur (chorion). Hal tersebut diduga dapat berpengaruh terhadap pemanfaatan

energi kuning telur untuk pertumbuhan embrio dan osmoregulasi (Anggoro, 1992).

Menurut Mubarokah, Tarsim, & Kadarini (2014), faktor lingkungan seperti

salinitas media budidaya dapat mempengaruhi daya tetas telur dan embriologi. Jika

konsentrasi antara cairan dalam telur dengan lingkungannya sudah hampir sama dan

telur masih mampu mentoleransi perubahan salinitas yang diberi, maka energi untuk

telur melakukan osmoregulasi dapat digunakan untuk bermetabolisme. Menurut

Prakoso & Kurniawan (2015), abnormalitas larva dapat terjadi karena selama proses

inkubasi embrio mendapatkan salinitas di luar ambang batas.

2.5. Kecepatan Aerasi

Kecepatan aerasi memiliki hubungan yang erat dengan kadar oksigen terlarut

serta kecepatan arus perairan. Aerasi digunakan untuk meningkatkan oksigen terlarut

agar dapat mengurangi kejenuhan gas. Penurunan kadar oksigen terlarut di kolam

dipengaruhi oleh ikan yang dipelihara, zooplankton, bentos, dan aktivitas bakteri

(Effendi, 2004). Abuzar et al. (2012) menyatakan bahwa aerasi merupakan transfer gas

yang cenderung dikhususkan pada transfer oksigen atau proses penambahan oksigen

ke dalam air.

Oksigen merupakan faktor pembatas, sehingga bila ketersediaannya di dalam air

tidak mencukupi kebutuhan biota perairan, maka segala aktivitas biota akan terhambat

(Kordi, Ghufron, & Andi, 2007). Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat

menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan.

Page 22: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

10

Sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan

pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Oksigen

terlarut dalam air utamanya bersumber dari fotosintesis fitoplankton serta udara yang

melewati proses difusi (Simanjuntak, 2012). Oksigen terlarut yang baik bagi

pertumbuhan ikan adalah 5-7 mg/L (Boyd, 1990). Berdasarkan Peraturan Pemerintah

No. 82 tahun 2001 bahwa oksigen terlarut untuk perikanan adalah ≥3 mg/L. Kecepatan

arus air pada media akuakultur sangat dipengaruhi oleh kecepatan aerasi yang

diberikan. Kecepatan arus yang sesuai sangat dibutuhkan dalam budidaya perikanan

karena arus sangat berperan dalam sirkulasi air, membawa bahan terlarut dan

tersuspensi serta mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air (Affan, 2011).

Page 23: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

11

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2020. Berlokasi di Instalasi

Penelitian dan Pengembangan Teknologi Lingkungan dan Toksikologi Perikanan

Budidaya Air Tawar, Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 15 buah akuarium

kaca berukuran 70 x 25 x 30 cm, 12 buah toples kaca volume 2 liter, bak fiber,

mikroskop stereo, termometer, refraktometer, aerator, batu aerasi, infus aerasi atau

pengatur udara, kamera, dan alat tulis. Bahan yang digunakan antara lain adalah

telur ikan Tor soro yang telah dibuahi, air tawar salinitas 0 ppt, serta air laut. Telur

ikan dewa didapatkan dari hasil pemijahan buatan di Instalasi Riset Plasma Nutfah

Perikanan Air Tawar, Cijeruk, Bogor.

3.3. Rancangan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahapan perlakuan berbeda, tahap pertama

perlakuan salinitas kemudian dilanjutkan dengan perlakuan kecepatan aerasi.

Masing-masing tahapan digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan

penelitian tahap pertama terdiri dari 4 jenis perlakuan salinitas yaitu 0, 2, 4, dan 6

ppt (Lampiran 1) dan penelitian tahap kedua terdiri dari 5 jenis perlakuan kecepatan

aerasi yaitu 0, 500, 1000, 1500, dan 2000 ml/menit (Lampiran 2). Masing-masing

perlakuan dilakukan dengan 3 kali pengulangan. Pada perlakuan salinitas

digunakan sebanyak 10 butir telur ikan dewa yang telah dibuahi, sedangkan

perlakuan kecepatan aerasi sebanyak 200 butir. Data yang diperoleh kemudian

dianalisis secara statistik.

Page 24: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

12

3.4. Cara Kerja

3.4.1. Persiapan Wadah

Pada penelitian ini digunakan 12 buah toples kaca yang masing-masing

berukuran 2 L untuk perlakuan salinitas, dan 15 buah akuarium berukuran 70 x 25

x 30 cm untuk perlakuan kecepatan aerasi. Toples dan akuarium dibersihkan

terlebih dahulu. Volume air yang digunakan adalah 1 L untuk toples dan 40 L untuk

akuarium. Masing-masing wadah perlakuan dilengkapi dengan aerasi, kemudian

diberi label sesuai perlakuan. Seluruh wadah perlakuan ditempatkan dalam satu

ruangan dengan AC agar suhu air tetap stabil berkisar antara 22-23°C. Menurut

Irfandi et al. (2020) suhu ideal untuk penetasan ikan dewa adalah 22°C.

3.4.2. Seleksi Induk

Proses seleksi induk dilakukan dengan mengacu pada penelitian Yulianti

(2016). Tujuan dilakukannya seleksi induk adalah untuk mendapatkan induk ikan

dewa sesuai kriteria sehingga menghasilkan benih yang unggul. Dari hasil seleksi

maka dapat dibedakan induk jantan dan betina, induk yang sudah matang gonad,

induk yang paling baik, tidak cacat, dan sehat. Seleksi induk dilakukan dengan cara

memijat perut induk betina secara perlahan ke arah lubang kelamin hingga keluar

cairan telur. Indukan betina yang siap memijah ditandai dengan dihasilkannya telur

yang berukuran seragam, kenyal, berwarna kuning pudar, dan berminyak. Beberapa

ciri yang menunjukkan bahwa induk ikan dewa telah matang gonad adalah

berupaya berenang menghampiri sumber mata air, serta induk jantan akan mengejar

induk betina. Untuk proses pemijahan digunakan perbandingan induk jantan

dengan induk betina yaitu 2:1. Hal tersebut bertujuan untuk memaksimalkan proses

pembuahan karena jumlah sperma lebih banyak dari telur sehingga diharapkan telur

yang dibuahi lebih banyak.

3.4.3. Proses Pembuahan

Pengurutan atau stripping telur pada induk betina dilakukan oleh 2 orang

(Lampiran 3). Pertama, ikan dewa yang akan diurut dimasukkan ke dalam kain

basah yang bertujuan untuk memberi rasa nyaman dan mengurangi pergerakan saat

pengurutan. Proses pengurutan dilakukan mulai dari bagian dada sampai menuju ke

arah genital papila. Proses ini dilakukan dengan hati-hati agar mencegah induk

Page 25: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

13

melakukan gerakan. Telur yang keluar ditampung dalam mangkuk yang bersih dan

kering agar tidak terjadi kontaminasi. Telur dicampurkan dengan sperma kemudian

diaduk rata menggunakan bulu ayam (Lampiran 3). Setelah keduanya tercampur,

dibersihkan dengan air untuk menghilangkan sisa-sisa sperma yang tidak

membuahi telur.

3.4.4. Perhitungan dan Penetasan Telur

Metode gravimetri digunakan dalam perhitungan jumlah telur yang

dihasilkan dari proses stripping. Telur ikan dewa diambil sebanyak 1 gram,

kemudian sampel satu gram dihitung untuk mengetahui jumlah telur yang ada untuk

dikonversi dengan jumlah total berat telur yang dikeluarkan oleh induk betina

setelah proses stripping. Telur-telur yang didapat dari hasil fertilisasi kemudian

dibagi untuk masing-masing perlakuan salinitas dan kecepatan aerasi.

3.4.5. Pengaturan Salinitas

Perlakuan konsentrasi salinitas yang digunakan mengacu pada penelitian

sebelumnya oleh Prakoso & Radona (2015) yaitu 0, 2, 4, dan 6 ppt. Dua belas buah

toples untuk perlakuan salinitas diletakkan di dalam bak fiber yang sudah terisi air.

Dilakukan pencampuran antara air tawar dengan air laut dan diukur dengan

refraktometer hingga mencapai salinitas yang dikehendaki menggunakan rumus

persamaan sebagai berikut (Ardi, Setiadi, Kristanto & Widiyati, 2016):

Va.Na= V1.N1 + V2. N2

Keterangan:

Va = Volume akhir air yang dikehendaki (L)

Na = Tingkat salinitas akhir air yang dikehendaki (ppt)

V1 = Volume air laut yang diencerkan (L)

N1 = Tingkat salinitas air laut yang diencerkan (ppt)

V2 = Volume air tawar yang ditambahkan (L)

N2 = Tingkat salinitas air tawar yang ditambahkan (ppt)

Page 26: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

14

Dalam penelitian ini air tawar yang digunakan berasal dari air minum isi

ulang dengan salinitas 0,00 ppt. Setiap toples diisi dengan air sesuai perlakuan

kemudian dipasang aerator (Lampiran 3).

3.4.6. Pengaturan Kecepatan Aerasi

Untuk perlakuan kecepatan aerasi digunakan 15 buah akuarium yang diberi

aerasi sesuai perlakuan (Lampiran 3). Kecepatan aerasi diukur berdasarkan metode

volumetri (Sugama et al., 2004), yaitu dengan cara memasukan batu aerasi ke dalam

beaker glass volume 1000 ml, kemudian volume gas yang masuk ke dalam beaker

glass tersebut dicatat sesuai dengan waktu yang ditetapkan sebagai perlakuan.

Kecepatan aerasi disesuaikan dengan perlakuan yang telah ditentukan yaitu 0, 500,

1000, 1500, dan 2000 ml/menit.

3.4.7. Parameter Pengamatan

Perkembangan embrio

Pengamatan perkembangan embrio dilakukan dengan menggunakan

mikroskop stereo perbesaran 10 x 1,5 dengan mengamati setiap fase perkembangan

embrio mulai dari fertilisasi hingga menetas. Pengamatan telur dilakukan setelah

telur dimasukkan ke dalam akuarium pada masing-masing perlakuan kecepatan

aerasi. Satu buah telur diambil dan disimpan pada wadah yang digantungkan ke

dinding akuarium (Lampiran 1). Pengamatan perkembangan embrio pada hari

pertama dan kedua dilakukan setiap 2 jam, pada hari ketiga dilakukan setiap 3 jam,

dan pada hari keempat setiap 2 jam. Waktu perubahan setiap fase perkembangan

embrio dicatat dan didokumentasikan.

Lama waktu penetasan

Lama waktu penetasan atau hatching time merupakan durasi yang diperlukan

telur agar dapat menetas. Untuk menghitungnya dapat digunakan rumus:

HT = Ht – Ho

Keterangan:

HT = Hatching Time

Ht = Lama waktu akhir penetasan

Ho = Waktu pasca pembuahan

Page 27: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

15

Persentase daya tetas telur/Hatching Rate (HR)

Setelah terjadi proses penetasan, dilakukan pengamatan untuk mengetahui

daya tetas telur atau hatching rate. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jumlah telur

yang menetas dari jumlah total telur yang dihasilkan. Pada saat semua telur telah

menetas, jumlah larva dihitung dan dilakukan perhitungan untuk mencari hatching

rate dengan menggunakan rumus menurut Effendie (1997):

HR = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒍𝒖𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒕𝒂𝒔

𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒕𝒆𝒍𝒖𝒓 𝒙 𝟏𝟎𝟎%

3.4.8. Parameter Pendukung

Laju penyerapan kuning telur ikan

Budiardi et al. (2005) menyatakan bahwa energi yang besar dibutuhkan

dalam aktivitas metabolisme yang tinggi sehingga dapat mempercepat laju

penyerapan volume kuning telur. Volume kuning telur yang besar akan

menghasilkan sumber energi yang mencukupi bagi perkembangan embrio telur ikan

sehingga telur cepat menetas. Menurut Sriyani (1993), volume kuning telur

dihitung dengan rumus:

V = 𝝅

𝟔𝑪𝟏𝑪𝟐²

Keterangan:

V = Volume kuning telur (mm3)

C1 = Panjang kuning telur (mm)

C2 = Lebar kuning telur (mm)

Sedangkan untuk menghitung laju penyerapan kuning telur menggunakan rumus

menurut Ardimas (2012):

LPKT = 𝑽𝒐−𝑽𝒕

𝑻

Keterangan:

LPKT = Laju Penyerapan Kuning Telur (mm3/hari)

Vo = Volume kuning telur awal (mm3)

Vt = Volume kuning telur akhir (mm3)

T = waktu (hari)

Page 28: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

16

Persentase abnormalitas

Pengamatan abnormalitas dalam penelitian ini meliputi bentuk kepala, bentuk

tubuh, dan bentuk ekor. Perhitungan dilakukan untuk mengetahui besarnya

abnormalitas seperti dikemukakan oleh Wirawan (2005), yaitu:

Abnormalitas = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒍𝒂𝒓𝒗𝒂 𝒂𝒃𝒏𝒐𝒓𝒎𝒂𝒍

𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒍𝒂𝒓𝒗𝒂 𝒙 𝟏𝟎0%

Panjang mutlak larva

Panjang mutlak merupakan selisih panjang larva dari kepala hingga ujung

ekor pada hari pertama setelah menetas dan hari terakhir saat kuning telur habis.

Perhitungan dilakukan dengan rumus Effendie (1997):

Pm = Lt – Lo

Keterangan:

Pm = Pertambahan panjang mutlak (mm)

Lt = Panjang rata-rata akhir (mm)

Lo = Panjang rata-rata awal (mm)

3.4.9. Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini meliputi nilai oksigen

terlarut yang diukur menggunakan DO meter, suhu (termometer), serta pH (pH

meter).

3.5. Analisis Data

Data hasil pengamatan yang didapat meliputi daya tetas telur, abnormalitas,

laju penyerapan kuning telur, serta panjang mutlak larva dianalisis menggunakan

uji ANOVA. Jika terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple

Range Test (DMRT) atau uji perbandingan berganda Duncan. Aplikasi yang

digunakan adalah software IBM SPSS versi 20.

Page 29: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

17

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengaruh Perbedaan Salinitas terhadap Daya Tetas Telur/Hatching Rate

(HR)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telur pada kondisi 0 ppt dapat

menetas dengan daya tetas sebesar 90,00±10,00%, sedangkan pada salinitas 2, 4,

dan 6 ppt tidak ditemukan adanya telur yang menetas (Gambar 5). Hasil uji statistik

menunjukkan bahwa salinitas berpengaruh terhadap daya tetas telur (p<0,05). Hasil

uji Duncan menunjukkan bahwa salinitas 0 ppt berbeda dengan 2, 4, dan 6 ppt

terhadap daya tetas (p<0,05).

Gambar 3. Persentase rata-rata daya tetas telur ikan dewa pada kondisi salinitas

berbeda

Hasil yang didapat berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Prakoso &

Radona (2015) yaitu telur ikan dewa dapat berkembang pada salinitas 0, 2, 4, dan

6 ppt serta berhasil menetas pada salinitas 0 ppt dengan persentase daya tetas

sebesar 97,33% dan 2 ppt sebesar 58,67%. Perbedaan daya tetas telur tersebut

diduga disebabkan oleh metode yang digunakan serta kualitas telur yang berbeda.

Pada penelitian sebelumnya tidak dijelaskan bagaimana cara pembuatan tingkatan

salinitas apakah menggunakan air laut atau garam serta tidak disebutkan parameter

kualitas air selama pengamatan. Kemungkinan lain diduga telah terjadinya

90,00±10,00%

0 0 00

20

40

60

80

100

120

0 ppt 2 ppt 4 ppt 6 ppt

Day

a T

etas

(%

)

Perlakuan

Page 30: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

18

penurunan kualitas telur yang dibuktikan dengan daya tetas penelitian sekarang ini

lebih rendah (90,00%) dibandingkan penelitian yang telah dilakukan oleh Prakoso

& Radona (2015) sebesar 97,33%. Putri et al. (2013) (Putri et al., 2013)melaporkan

bahwa kualitas telur dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor

internal seperti umur induk dan kondisi genetik, dan faktor eksternal seperti pH,

suhu, cahaya, dan oksigen terlarut. Namun di samping itu pada penelitian Prakoso

& Radona (2015) terbukti bahwa peningkatan salinitas dapat menurunkan

persentase daya tetas telur, seperti halnya yang terjadi pada hasil penelitian ini.

Ketidakmampuan telur ikan dewa untuk menetas pada lingkungan dengan

salinitas 2, 4, dan 6 dapat disebabkan karena konsentrasi garam yang terlalu tinggi

sehingga menyebabkan lingkungan menjadi hiperosmotik dan telur gagal

berkembang bahkan pecah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sukendi (2003)

di mana salinitas bisa berpengaruh pada osmoregulasi dalam proses penetasan, jika

telur ikan air tawar berada dalam larutan yang kadar garamnya tinggi maka akan

terjadi pengembungan dan menyebabkan pecahnya telur. Hal itu merupakan akibat

dari kondisi di luar telur yang hiperosmotik, sehingga cairan dari luar akan masuk

kedalam telur yang hipoosmotik. Diketahui pula bahwa ikan dewa merupakan ikan

yang hidup di perairan dataran tinggi sehingga cenderung tidak dapat mentoleransi

air dengan kadar garam tinggi. Subagja & Marson (2008) memaparkan bahwa ikan

Tor sp. Termasuk ikan yang hidup di perairan pada dataran tinggi dan dikenal

sebagai ikan yang bernilai ekonomis terutama untuk masyarakat di sekitar habitat

ikan tersebut.

Penambahan kadar garam pada media inkubasi dalam penelitian ini awalnya

dimaksudkan agar kondisi di luar telur memiliki salinitas yang hampir sama dengan

kondisi di dalam telur, sehingga dapat mengurangi energi untuk melakukan

osmoregulasi dan dapat memaksimalkan penggunaan energi untuk metabolisme

dan perkembangan embrio. Selain itu pemberian salinitas juga diharapkan dapat

merangsang sekresi enzim chorionase agar mempercepat penetasan telur. Namun

dari hasil penelitian yang didapat ikan dewa hanya mampu menetas pada salinitas

0 ppt, maka untuk perlakuan kecepatan aerasi digunakan air dengan salinitas

tersebut.

Page 31: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

19

4.2. Pengaruh Kecepatan Aerasi Berbeda terhadap Perkembangan Embrio,

Daya Tetas Telur, Abnormalitas, Volume Penyusutan Kuning Telur, dan

Laju Penyerapan Kuning Telur

4.2.1. Perkembangan Embrio

Pengamatan perkembangan embrio dilakukan setelah penebaran telur hingga

telur menetas kemudian dilanjutkan dengan perhitungan daya tetas telur serta

pengamatan pada larva. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan tidak ada

perbedaan signifikan dalam perkembangan embrio dari setiap perlakuan.

Gambar 4. Perkembangan embrio ikan dewa 0 jam setelah pembuahan. A. Telur

ikan dewa yang terfertilisasi; B. Pembentukan blastodisc, 1. Blastodisc;

C. Pembelahan 4 sel; D. Pembelahan 16 sel; E. Pembelahan 32 sel

Fase pertama pada 0 jam pasca fertilisasi diawali dengan pembentukan

blastodisc pada zigot dan pembelahan sel (Gambar 6) hingga mencapai fase morula

dilanjutkan dengan pembentukan sel epiboli (Gambar 7). Telur mengalami fase

pembelahan hingga menjadi morula pada 4 jam pertama dan pada jam ke-8 embrio

mulai memasuki fase blastula. Ardhardiansyah et al. (2017) menyatakan bahwa

Setelah melewati tahap morula, embrio akan mengalami tahap blastula di mana

ditandai dengan terbentuknya rongga kosong dalam embrio yang disebut

blastocoel.

Page 32: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

20

Gambar 5. Perkembangan embrio ikan dewa 4-16 jam setelah pembuahan. A. 4 jam

(morula); B. 8 jam (blastula awal); C. 12 jam (blastula tengah); D. 16 jam

(blastula akhir), 1. Sel epiboli

Gambar 6. Perkembangan embrio ikan dewa 18-36 jam setelah pembuahan.

A. 18 jam (gastrula awal), 1. Germ ring; B. 20 jam (gastrula akhir); C.

24 jam (segmentasi), 2. Somite; D. 30 jam, 3. Notochord, 4. Tail bud;

E. 36 jam

Setelah berumur 18 jam, embrio memasuki fase gastrula awal dan mulai

terlihat terbentuknya germ ring (Gambar 8). Usia 24 jam, embrio telah mengalami

tahap segmentasi dan mulai terlihat terbentuknya somite. Selanjutnya terlihat

terbentuknya notochord dan tail bud pada jam ke-30. Setelah berumur 48 jam mulai

Page 33: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

21

terlihat embrio telah memiliki mata (Gambar 9), dan jantung mulai terlihat

terbentuk pada jam ke-54. Khasanah et al. (2019) berpendapat bahwa pada tahapan

organogenesis, bintik mata pada embrio semakin lama mengalami pelebaran dan

perubahan warna menjadi semakin gelap, selain itu terjadi pembentukan jantung

dan pemanjangan pada ruas tulang belakang hingga membentuk ekor.

Gambar 7. Perkembangan embrio ikan dewa 42-68 jam setelah pembuahan.

A. 42 jam; B. 48 jam, 1. Mata; C. 54 jam, 2. Jantung; D. 68 jam

Gambar 8. Larva ikan dewa setelah menetas. A. 80 jam (larva menetas), 1.

Cangkang telur; B. 86 jam, 2. Yolk sac

Didapati bahwa lama waktu penetasan atau hatching time telur adalah 80 jam

setelah pembuahan (Gambar 10). Proses penetasan lebih lambat dari penelitian

sebelumnya oleh Subagja et al. (2013) yakni larva ikan Tor sp. mulai menetas pada

umur 72 jam setelah fertilisasi dengan suhu air 25-27°C. Kisaran suhu air pada

pengamatan ini antara 22,7-23,4°C, hal tersebutlah yang memperlambat proses

Page 34: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

22

penetasan. Seperti yang dikemukakan Hutagalung, Alawi, & Sukendi (2016), suhu

yang lebih tinggi umumnya dapat mempercepat penetasan telur karena

menyebabkan metabolisme berlangsung lebih cepat, hal tersebut mempercepat

perkembangan embrio sehingga terjadi pergerakan embrio dalam cangkang yang

lebih intens.

4.2.2. Daya Tetas Telur

Daya tetas telur ikan dewa pada kecepatan aerasi berbeda menunjukkan

bahwa tertinggi (90,63±2,67%) dijumpai pada perlakuan kecepatan aerasi 500

ml/menit. Kemudian diikuti oleh perlakuan 2000, 1000, 1500, dan 0 ml/menit

masing-masing sebesar 84,50±1,19%, 82,51±7,01%, 82,05±5,91%, dan

81,24±4,71% (Gambar 6). Persentase daya tetas telur yang didapat pada setiap

perlakuan kecepatan aerasi sesuai dengan persentase daya tetas sebelumnya dari

perlakuan salinitas 0 ppt yaitu 90,00±10,00%. Hasil uji statistik menunjukkan

bahwa tidak diperoleh adanya perbedaan (p>0,05) antar perlakuan kecepatan aerasi

terhadap daya tetas telur.

Gambar 9. Persentase rata-rata daya tetas telur ikan dewa pada kecepatan aerasi

berbeda

Hasil pengamatan daya tetas telur pada kecepatan aerasi berbeda

menunjukkan tidak adanya beda nyata dari setiap parlakuan. Hal tersebut dapat

disebabkan oleh telur yang masih memanfaatkan energi internal sehingga belum

memerlukan kadar oksigen yang spesifik untuk perkembangannya. Hal tersebut

sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Anggoro (1992) yaitu sumber energi

aa

a a a

0

20

40

60

80

100

0 ml/menit 500 ml/menit 1000 ml/menit1500 ml/menit 2000 ml/min

Day

a T

etas

(%

)

Perlakuan

Page 35: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

23

utama pada proses pertumbuhan dan metabolisme embrio berasal dari oksidasi

lemak yang terkandung dalam kuning telur. Namun di samping itu, persentase

penetasan yang didapat pada perlakuan ini lebih besar dari penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Subagja et al. (2013) yaitu daya tetas sebesar 67% pada suhu

25-27°C.

4.2.3. Abnormalitas

Persentase abnormalitas larva ikan dewa pada kecepatan aerasi berbeda

(Gambar 7) yang baru menetas menunjukkan bahwa nilai tertinggi (23,23±0,26%)

dijumpai pada perlakuan 0 ml/menit, kemudian diikuti oleh perlakuan kecepatan

aerasi 2000, 1500, 1000, dan 500 ml/menit dengan masing-masing nilai

6,39±2,40%, 6,16±1,50%, 4,63±2,24%, dan 2,84±0,36%.

Gambar 10. Persentase rata-rata abnormalitas larva ikan dewa pada kecepatan

aerasi berbeda

Kecepatan aerasi membuktikan bahwa semakin tinggi kecepatan aerasi

diikuti dengan meningkatnya abnormalitas. Hasil statistik menunjukkan bahwa

abnormalitas dipengaruhi oleh kecepatan aerasi (p<0,05). Hasil uji Duncan

diperoleh bahwa kecepatan aerasi 500 ml/menit berbeda dengan 0, 1500, dan 2000

ml/menit terhadap abnormalitas (p<0,05). Kecepatan aerasi 0 ml/menit juga

diperoleh abnormalitas yang berbeda (p<0,05) dengan kecepatan aerasi 500, 1000,

1500, dan 2000.

Persentase abnormalitas tertinggi dijumpai pada perlakuan tanpa aerasi

dengan bentuk larva abnormal yang bervariasi (Gambar 13). Tidak adanya aerasi

c

a

ab bb

0

5

10

15

20

25

0 ml/menit 500 ml/menit 1000 ml/menit1500 ml/menit2000 ml/menit

Ab

no

rmal

itas

(%

)

Perlakuan

Page 36: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

24

menyebabkan telur tidak mendapatkan oksigen yang merata dan telur saling

menempel satu sama lain sehingga menyebabkan tingginya abnormalitas. Hal

tersebut didukung oleh teori yang dikemukakan Aidil et al. (2016) bahwa

terbatasnya kadar oksigen di perairan, dan sifat telur yang saling menempel

(adhesive) mengakibatkan telur saling menumpuk atau menggumpal. Di habitat

aslinya ikan dewa cenderung mendiami perairan berarus, sehingga saat memijah

telur-telur yang dikeluarkan akan mendapat sirkulasi. Selain itu Effendie (1985)

juga menjelaskan bahwa kurangnya ketersediaan oksigen dapat menghambat proses

penetasan telur serta membuat lapisan chorion mengeras, sehingga embrio sulit

keluar dan menyebabkan kecacatan atau kematian.

Keterangan: Klasifikasi morfologi larva mengacu pada Jezierska et al. (2000).

Gambar 11. Morfologi larva abnormal. A. Tubuh memendek, skoliosis abdomen,

ekor melengkung ke atas, kuning telur berubah bentuk; B. Lordosis,

perubahan bentuk kuning telur; C. Skoliosis; D. Larva berbentuk C,

ekor dan tulang belakang berubah bentuk

Data abnormalitas juga menunjukkan bahwa semakin besar kecepatan aerasi

maka semakin tinggi persentase abnormalitas. Persentase abnormalitas terendah

didapati pada perlakuan kecepatan aerasi 500 ml/menit dikarenakan pada perlakuan

tersebut memiliki kadar oksigen terlarut yang memadai serta arus air yang tidak

terlalu besar. Semakin besarnya kecepatan aerasi akan menciptakan arus air yang

semakin kencang dan menyebabkan telur menjadi sering mengalami goncangan.

Page 37: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

25

Goncangan tersebutlah yang menyebabkan larva menjadi abnormal. Seperti yang

dikemukakan oleh Woynarovich dan Horvath (1980) dalam Heltonika (2014)

bahwa kematian telur selama fase inkubasi dapat disebabkan oleh beberapa hal

antara lain suhu yang tidak tepat, kadar oksigen terlarut, telur yang tidak terbuahi,

gangguan mekanis (goncangan atau pergeseran), serta parasit (jamur, bakteri, larva

serangga, dan binatang lainnya).

4.2.4. Penyusutan Volume dan Laju Penyerapan Kuning Telur

Penyusutan volume kuning telur selama waktu pengamatan (Gambar 8)

terlihat bahwa terjadi penurunan pada semua perlakuan dari kecepatan aerasi 0

sampai 2000 ml/menit.

Gambar 12. Penyusutan volume kuning telur pada perlakuan kecepatan aerasi

berbeda

Pada hari ke-0 sampai hari ke-2 terlihat penurunan yang cukup drastis

dijumpai pada kecepatan aerasi 500 dan 1000 ml/menit, dan hari berikutnya

penurunan relatif konstan, sedangkan pada kecepatan aerasi 0 dan 2000 ml/menit

menunjukkan bahwa penyusutan kuning telur cukup lambat namun terjadi

penurunan yang cukup tajam pada hari ke-2 dan ke-3 pada kecepatan aerasi 2000

ml/menit dan pada kecepatan aerasi 0 ml/menit dijumpai pada hari ke-3 dan ke-4.

Pada perlakuan kecepatan aerasi 1000 ml/menit terjadi penurunan drastis mulai dari

hari ke-0 hingga hari ke-4.

-

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Vo

lum

e K

unin

g T

elur

(mm

3)

Hari ke-

0 ml/menit

500 ml/menit

1000 ml/menit

1500 ml/menit

2000 ml/menit

Page 38: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

26

Perbedaan lamanya waktu penyusutan kuning telur tiap perlakuan diduga

dipengaruhi oleh proses perkembangan dan pertumbuhan dari setiap individu larva

yang diamati. Penyusutan kuning telur yang drastis diakibatkan karena terjadinya

proses organogenesis pada larva sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak.

Seperti yang dikemukakan Herjayanto et al. (2017), bahwa energi yang digunakan

selama proses perkembangan berasal dari kuning telur, hal tersebut ditandai dengan

ukuran kuning telur yang kian mengecil seiring dengan berjalannya proses

perkembangan.

Gambar 13. Rata-rata laju penyerapan kuning telur pada kecepatan aerasi berbeda

Laju penyerapan kuning telur (Gambar 9) terlihat bahwa nilai tertinggi

sebesar 0,1268 ± 0,0056 mm3/hari pada kecepatan aerasi 1500 ml/menit,

selanjutnya diikuti oleh kecepatan aerasi 1000, 500, 2000, dan 0 ml/menit dengan

masing-masing nilai 0,1155±0,0077, 0,0884±0,0063, 0,0874±0,0047, dan

0,0770±0,0074 mm3/hari. Berdasarkan hasil uji statistik ANOVA menunjukkan

bahwa kecepatan aerasi berpengaruh terhadap laju penyerapan kuning telur

(p<0,05). Hasil uji Duncan diperoleh bahwa kacepatan aerasi 1000 dan 1500

berbeda dengan kecepatan aerasi 0, 500, dan 2000 ml/menit terhadap laju

penyerapan kuning telur.

Laju penyerapan kuning telur sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Larva yang baru menetas mendapatkan energi dari kuning telur juga

lingkungannya. Kecepatan aerasi terbaik untuk laju penyerapan kuning telur

dijumpai pada perlakuan 1500 ml/menit yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan

aa

b b

a

0.0000

0.0200

0.0400

0.0600

0.0800

0.1000

0.1200

0.1400

0 ml/menit 500

ml/menit

1000

ml/menit

1500

ml/menit

2000

ml/menit

LP

KT

(m

m3/h

ari)

Perlakuan

Page 39: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

27

1000 ml/menit. Hal tersebut disebabkan pada kecepatan aerasi 1000 dan 1500

ml/menit larva mendapatkan suplai oksigen yang cukup sehingga mempercepat

proses metabolisme pada tubuh larva. Selain itu kecepatan aerasi perlakuan tersebut

menghasilkan sirkulasi air yang cukup kencang sehingga larva memerlukan energi

yang lebih banyak untuk dapat berenang. Pada perlakuan 0 dan 500 ml/menit larva

cenderung mendapat oksigen yang lebih sedikit sehingga menyebabkan proses

metabolisme lebih lambat. Edsall & Smith (1990) menyatakan dalam pengelolaan

pembenihan ikan, oksigen murni digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan

kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan pada tahap awal. Sedangkan untuk

perlakuan 2000 ml/menit, larva cenderung berkumpul di sudut-sudut akuarium

untuk menghindari arus yang terlalu besar. Di habitatnya, larva ikan dewa sendiri

cenderung mendiami perairan dengan arus yang tenang.

4.2.5. Panjang Mutlak

Panjang mutlak larva ikan dewa (Gambar 10) terlihat bahwa nilai tertinggi

terdapat pada perlakuan kecepatan aerasi 1500 ml/menit yaitu sebesar

4,6435±0,2518 mm, selanjutnya diikuti oleh kecepatan aerasi 1000, 0, 2000, dan

500 ml/menit dengan nilai panjang mutlak masing-masing 4,2773±0,2659,

4,0113±0,2630, 3,5457±0,1356, dan 3,0837±0,1215 mm.

Gambar 14. Rata-rata panjang mutlak larva ikan dewa pada kecepatan aerasi

berbeda

c

a

cdd

b

0

1

2

3

4

5

6

0 ml/menit 500 ml/menit 1000 ml/menit1500 ml/menit2000 ml/menit

Pan

jang M

utl

ak (

mm

)

Perlakuan

Page 40: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

28

Berdasarkan uji statistik ANOVA diperoleh hasil bahwa panjang mutlak larva

dipengaruhi oleh kecepatan aerasi (p<0,05). Hasil uji Duncan diperoleh bahwa

kecepatan aerasi 500 ml/menit berbeda nyata (p<0,05) dengan 0, 1000, 1500, dan

2000 ml/menit. Kecepatan aerasi 2000 ml/menit berbeda nyata dengan 0, 500, 1000,

dan 1500 ml/menit. Kecepatan aerasi 0 ml/menit berbeda nyata dengan 500, 1500,

dan 2000 ml/menit.

Pertambahan panjang larva ikan dewa berlangsung seiring dengan

menyusutnya kuning telur. Kuning telur yang diserap oleh larva selain digunakan

untuk metabolisme juga berguna untuk proses pertumbuhan dan perkembangan.

Dapat dilihat hasil terbaik untuk panjang mutlak larva dijumpai pada kecepatan

aerasi 1000 dan 1500 ml/menit. Perlakuan tersebut memberikan suplai aliran air

yang optimal untuk larva sehingga menciptakan pertumbuhan yang baik. Seperti

yang dikemukakan oleh Djarijah (2001), aliran air selama proses pemeliharaan

harus selalu terkontrol karena aliran terlalu kecil dapat menyebabkan larva

terkumpul dan penyebaran oksigen tidak merata yang menyebabkan persaingan.

Selain itu Afrianto & Liviawaty (1988) juga mengemukakan jika aliran air terlalu

deras dapat menghambat pertumbuhan sebab larva menggunakan sebagian

energinya untuk mempertahankan diri dari pengaruh air. Hal tersebut pula yang

diduga menyebabkan larva pada perlakuan 2000 ml/menit memiliki nilai panjang

mutlak yang lebih rendah.

Larva pada perlakuan tanpa aerasi didapati memiliki nilai panjang mutlak

yang lebih besar dibandingkan larva pada perlakuan kecepatan aerasi 500 dan 2000

ml/menit. Hal tersebut diduga karena tidak adanya arus air sehingga larva hanya

menggunakan energi untuk pertumbuhan saja, tidak memerlukan energi untuk

melawan arus. Sementara itu, rendahnya pertumbuhan pada larva perlakuan 500

ml/menit kemungkinan disebabkan karena larva menggunakan energi yang terdapat

pada kuning telur untuk memperbaiki jaringan-jaringan yang rusak. Seperti yang

diungkapkan Nuswantoro (2019), kuning telur yang diserap selain untuk

pertumbuhan, juga dapat digunakan untuk memperbaiki sel dan jaringan tubuh yang

rusak. Kemudian diperkuat dengan pandangan Cyrino et al., (2008), bahwa pakan

yang diserap ikan akan dipecah menjadi energi untuk metabolisme, pertumbuhan,

reproduksi, ekskresi, dan pencernaan.

Page 41: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

29

4.3. Parameter Kualitas Air

Kualitas air merupakan parameter penting dalam kelangsungan hidup ikan.

Dalam penelitian ini terlihat bahwa kisaran suhu dan pH masih berada dalam

ambang batas yang sesuai untuk tempat hidup ikan (Tabel 1).

Tabel 1. Pengukuran kisaran parameter kualitas air pada perlakuan kecepatan aerasi

berbeda

Perlakuan Suhu (°C) DO (mg/L) pH

0 ml/menit 22.7-23.3 3.21-3.91 6.43-7.37

500 ml/menit 22.8-23.3 6.12-6.64 6.47-7.16

1000 ml/menit 22.8-23.4 6.58-7.31 6.62-6.85

1500 ml/menit 22.9-23.4 7.07-7.37 6.36-7.09

2000 ml/menit 22.9-23.4 7.45-7.9 6.57-7.19

Berdasarkan penelitian Siregar et al. (2013) kisaran temperatur untuk tempat

hidup ikan dewa adalah 22-26°C. Menurut Robertson-Bryan Inc. (2014) aktivitas

fisiologis hewan air tawar dapat berjalan normal dalam rentang pH antara 6-9.

Kebanyakan organisme akuatik menyukai pH sekitar 7-8,5 (Yosmaniar, 2014).

Sementara itu, kisaran nilai DO kian meningkat seiring dengan peningkatan

kecepatan aerasi. Oksigen terlarut yang ideal untuk pertumbuhan ikan air tawar

adalah di atas 5 mg/L (Pescod, 1973). Dari hasil yang didapat, larva ikan dewa

masih mampu bertahan hidup di lingkungan dengan nilai DO 3,21 mg/L.

Page 42: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

30

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Telur ikan dewa hanya dapat menetas pada salinitas 0 ppt dengan daya tetas

sebesar 90,00±10,00% dan tidak dapat berkembang pada salinitas 2, 4, dan 6 ppt.

2. Lama waktu penetasan telur ikan dewa pada salinitas 0 ppt adalah 80 jam dan

tidak dipengaruhi oleh kecepatan aerasi.

3. Kecepatan aerasi 1000 ml/menit dapat menghasilkan larva ikan dewa dengan

persentase abnormalitas rendah (4,63±2,24%) dan laju pertumbuhan yang cepat.

4. Kondisi terbaik untuk inkubasi telur ikan dewa adalah pada air bersalinitas 0 ppt

atau air tawar dan pada kecepatan aerasi 1000 ml/menit dengan nilai oksigen

terlarut 6,58-7,31 mg/L.

5.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut adalah saran yang dapat

diberikan untuk penelitian selanjutnya:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan salinitas yang lebih kecil,

berkisar antara 0-2 ppt guna mendapat salinitas yang dapat mempercepat

perkembangan embrio tanpa merusak telur.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kecepatan aerasi terhadap ikan

dewa stadia larva guna mengetahui lingkungan yang optimal untuk

pemeliharaan larva.

Page 43: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

31

DAFTAR PUSTAKA

Abuzar, S. S., Putra, Y. D., & Emargi, R. E. (2012). Koefisien transfer gas (Kla) pada

proses aerasi menggunakan tray aerator bertingkat 5 (lima). Jurnal Teknik

Lingkungan Unand, 9(2), 155–163.

Affan, J. M. (2011). Seleksi lokasi pengembangan budidaya dalam Keramba Jaring

Apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air di perairan Pantai

Timur Kabupaten Bangka Tengah. Jurnal Sains MIPA, 17(3), 99–106.

Afrianto, E., & Liviawaty, E. (1988). Beberapa Metode Budidaya Ikan. Yogyakarta:

Kanisius.

Aidil, D., Zulfahmi, I., & Muliari. (2016). Pengaruh suhu terhadap derajat penetasan

telur dan perkembangan larva ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus var.

Sangkuriang). JESBIO, 5(1), 30–33.

Andriyanto, W., Slamet, B., & Ariawan, I. M. D. J. (2013). Perkembangan embrio dan

rasio penetasan telur ikan kerapu raja sunu (Plectropoma laevis) pada suhu media

berbeda. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, 5(1), 192–203.

Anggoro, S. (1992). Efek osmotik berbagai tingkat salinitas media terhadap daya tetas

telur dan vitalitas larva udang windu Penaeus monodon. [Pascasarjana Tesis].

Institut Pertanian Bogor (IPB).

Anggoro, S., & Muryati. (2007). Efek berbagai medium isosmotik terhadap aktivitas

enzim ca-chorionase, energetika dan keefektifan penetasan telur udang jahe

(Metapenaeus elegans). Jurnal Ilmu Kelautan, 12(4).

Ardhardiansyah, Subhan, U., & Yustiati, A. (2017). Embriogenesis dan karakteristik

larva persilangan ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) jantan dengan ikan

baung (Hemibagrus nemurus) betina. Jurnal Perikanan Dan Kelautan, 8(2), 17–

27.

Ardi I., Setiadi E., Kristanto A. H., & Widiyati A. (2016). Salinitas optimal untuk

pendederan benih ikan betutu (Oxyeleotris marmorata). Jurnal Riset Akuakultur,

11(4), 339-347

Ardimas, Y. A. Y. (2012). Pengaruh gradien suhu media pemeliharaan terhadap

pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan betok (Anabas testudineus

Bloch). [Pascasarjana Tesis]. Institut Pertanian Bogor (IPB).

Aryani, N. (2015). Nutrisi Untuk Pembenihan Ikan. Padang: Bung Hatta University

Press.

Asih, S., Nugroho, E., Kristanto, A. H., & Mulyasari. (2008). Penentuan variasi genetik

ikan batak (tor soro) dari Sumatera Utara dan Jawa Barat dengan metode analisis

Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD). Jurnal Riset Akuakultur. 3(1),

Page 44: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

32

91–97

Boyd, C. E. (1990). Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham, Alabama:

Birmingham Publishing Co.

Budiardi, T., Cahyaningrum, W., & Effendi, I. (2005). Efisiensi pemanfaatan kuning

telur embrio dan larva ikan mannvis (Ptherophyllum scalare) pada suhu inkubasi

berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(1), 57–61.

Cyrino, J. E. P., Bureau, D. P., & Kapoor, B. G. (2008). Feeding and Digestive

Functions of Fishes. Boca Raton: CRC Press.

Diana, A. N., Masithah, E. D., Mukti, A. T., & Triastuti., dan J. (2013). Embriogenesis

dan daya tetas telur ikan nila (Oreochromis niloticus) pada salinitas berbeda.

Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Djarijah, A. S. (2001). Budi Daya Ikan Bawal. Yogyakarta: Kanisius.

Edsall, D. A., & Smith, C. A. (1990). Aquaculture. 90, 251–259.

Effendi, I. (2004). Pengantar Akuakultur. Jakarta: Penerbit Swadaya.

Effendie, M. I. (1985). Penilaian perkembangan gonad ikan belanak (Liza subviiridiss

Valenciences) di Perairan Sungai Cimanuk. [Pascasarjana Tesis]. Institut

Pertanian Bogor (IPB).

Effendie, M. I. (1997). Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

Farastuti, E. R., Sudrajat, A. O., & Gustiano, R. (2014). Induksi ovulasi dan pemijahan

ikan soro (Tor soro) menggunakan kombinasi hormon. LIMNOTEK, 4(1), 87–94.

Gusrina. (2014). Genetika dan Reproduksi Ikan. Yogyakarta: Deepublish.

Hadi, M. S. (2016). Pengaruh jumlah aerasi terhadap daya tetas telur dan sintasan

larva bawal (Colossoma macropomum, Cuvier). [Skripsi]. Universitas Gajah

Mada.

Hadid, Y., Syaifudin, M., & Amin, M. (2015). Pengaruh salinitas terhadap daya tetas

telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr.). Jurnal Akuakultur Rawa

Indonesia, 2(1), 78–92.

Haryono, Agus, H. T., Jojo, S., Asih, S., & Gema, W. (2010). Teknik Budidaya Ikan

Tambra. Bogor: LIPI.

Haryono, & Subagja, J. (2008). Populasi dan habitat ikan tambra, Tor tambroides

(Bleeker, 1854) di perairan kawasan Pegunungan Muller Kalimantan Tengah.

Jurnal Biodiversitas, 9(4), 306–309.

Haryono, & Tjakrawidjaja, A. H. (2005). Pengenalan Jenis Ikan Tambra yang Bernilai

Komersial Tinggi dan Telah Rawan Punah untuk Mendukung Domestikasi.

Page 45: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

33

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Heltonika, B. (2014). Pengaruh salinitas terhadap penetasan telur ikan jambal siam

(Pangasius hypohthalmus). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 2(1), 13–23.

Herjayanto, M., Carman, O., & Soelistyowati, D. T. (2017). Embriogenesis,

perkembangan larva dan viabilitas reproduksi ikan pelangi (Iriatherina werneri

Meinken, 1974) pada kondisi laboratorium. Akuatika Indonesia, 2(1), 1.

https://doi.org/10.24198/jaki.v2i1.23389

Hijriyanti, K. H. (2012). Kualitas telur dan perkembangan awal larva ikan kerapu

bebek (Cromileptes altivelis, Valenciennes (1928)) di Desa Air Saga, Tanjung

Pandan, Belitung. [Skripsi]. Universitas Indonesia.

Holliday, F. G. T. (1969). The effect of salinity on the eggs and larvae of teleosts. Fish

Physiology, 1, 293–309.

Hutagalung, J., Alawi, H., & Sukendi. (2016). Pengaruh suhu dan oksigen terhadap

penetasan telur dan kelulushidupan awal larva ikan pawas (Osteochilus hasselti

C.V.). [Skripsi]. Universitas Riau.

Irfandi, M., Thaib, A., & Nurhayati. (2020). Pengaruh perbedaan suhu terhadap daya

tetas telur ikan keurling (Tor soro). Jurnal TILAPIA, 1(2), 28–33.

Islami, A. N., Hasan, Z., & Anna, Z. (2017). Pengaruh perbedaan siphonisasi dan aerasi

terhadap kualitas air, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup pada budidaya ikan

nila (Oreochromis niloticus) stadia benih. Jurnal Perikanan Kelautan, 8(1).

IUCN. (2014). The IUCN Red List of Threatened Species (ISSN 2307-). Inggris.

Jezierska, B., Lugowska, K., Witeska, M., & Sarnowski, P. (2000). Malformations of

newly hatched larvae. Electronic Journal of Polish Agricultural Universities,

3(2).

Kamler, E. (1992). Early Life History Of Fish (Series 4). London: Chapman & Hall:

An Energenetic Approach.

Khasanah, U., Sulmartiwi, L., & Triastuti, R. J. (2019). Embriogenesis dan daya tetas

telur ikan komet (Carassius auratus auratus) pada suhu yang berbeda. Journal of

Aquaculture and Fish Health, 5(3), 108. https://doi.org/10.20473/ jafh.v5i3.11331

Kordi, M., Ghufron, & Andi. (2007). Pengelolaan Kualitas Air Dalam Media Budidaya

Perairan. Jakarta: Rineka Cipta.

Kottelat, M., Whitten, A. J., & Kartikasari, S.N. Wirjoatmodjo, S. (1993). Freshwater

Fishes of Wstern Indonesia and Sulawesi (Periplus E). Hong Kong.

Kumar, S., & Tembhre, M. (1997). Anatomy and physiology of fishes. In Vikas

Publishing House PVT LTD. New Delhi.

Lagler, K. F. (1972). Freshwater Fishery Biology. Iowa: Brown Company Publisher

Page 46: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

34

Dubuque.

Lee, C. S., & Menu, B. (1981). Effect of salinity on egg development and hatching in

grey mullet (Mugil cephalus). J. of Fish Biol, 19, 179–188.

Lopez, G. V., Martinez., K. M., & Garcia., M. M. (2004). Effect of temperature and

salinity on artifacialy reproduced eggs and larvae or the leopard grouper

Mycteropercia rosacea. Programa de Acuaculture, Centro de Investigaciones

Biologicas Del Noroeste (CIBNOR), 485–498.

Meade, J. W. (1989). Aquaculture Management. New York: Van Nostrand Reinhold.

Mubarokah, D., Tarsim, & Kadarini, T. (2014). Embriogenesis dan daya tetas telur ikan

pelangi (Melanotaenia parva) pada salinitas yang berbeda. AQUASAINS, Jurnal

Ilmu Perikanan Dan Sumberdaya Perairan.

Nikolsky, G. V. (1963). The Ecology of Fishes. New York: Academic Press.

Nugroho, E., Soewardi, K., & Kurniawirawan, A. (2007). Analisis keragaman genetik

beberapa populasi ikan batak (Tor soro) dengan metode Random Amplified

Polymorphism DNA (RAPD). Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan Dan Perikanan

Indonesia, 14(1), 53–57.

Nurmansyah, R. (2019). Pengaruh debit aerasi terhadap derajat penetasan telur dan

kelangsungan hidup larva ikan lele mutiara (Clarias sp.). [Skripsi]. Institut

Pertanian Bogor.

Nuswantoro, S., Pradhana, A., Kusumah, R. V., & Fariedah, F. (2019). Hubungan laju

penyerapan kuning telur dengan pertumbuhan larva ikan maanvis (Pterophyllum

scalare). Journal of Fisheries and Marine Research, 3(2), 3–5.

Pescod. (1973). Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for Tropical

Countries. Bangkok: A.I.T.

Prakoso, V. A., & Kurniawan. (2015). Pengaruh stressor suhu dan salinitas terhadap

perkembangan embrio ikan nilem (Osteochilus hasselti). Jurnal Sains Natural

Universitas Nusa Bangsa, 5(1), 49–59.

Prakoso, V. A., & Radona, D. (2015). Pengaruh media pemeliharaan bersalinitas

terhadap perkembangan telur ikan torsoro (Tor soro). Prosiding Forum Inovasi

Teknologi Akuakultur, (2014), 873–880.

Putri, D. A., Muslim, & Fitriani, M. (2013). Presentasi penetasan telur ikan betok

(Anabas testudineus) dengan suhu inkubasi yang berbeda. Jurnal Akuakultur

Rawa Indonesia, 1(2), 184–191.

Puvaneswari, S., Marimuthu, K., Karuppasamy, R., & Haniffa, M. A. (2009). Early

embryonic and larval develompnet of Indian catfish, Heteropneustes fossilis. Eur.

Asia J. Biol. Sci., 3, 84–96.

Page 47: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

35

Qudus, R. R., Lili, W., & Rosidah. (2012). Pengaruh padat penebaran yang berbeda

terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan torsoro (Tor Soro).

Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(4), 253–260.

Radona, D., Subagja, J., & Arifin, O. Z. (2015). Performa reproduksi induk dan

pertumbuhan benih ikan tor hasil persilangan (Tor soro dan Tor douronensis)

secara resiprokal. Jurnal Riset Akuakultur, 10(3), 335. https://doi.org/10.15578/

jra.10.3.2015.335-343

Rahman, S. M., Habib, M. A., Hossain, Q. Z., Siddiqui, M. N., Rahman, M. M., &

Ahsan, M. N. (2013). Embryonic development of Clarias batrachus under the

influence of aeration and water flow. Ecoprint: An International Journal of

Ecology, 18(May 2016), 25–31. https://doi.org/10.3126/eco.v18i0.9395

Robertson-Bryan Inc. (2014). pH Requirements of Freshwater Aquatic Life. California.

Rumondang, & Mahari, A. (2017). Growth and mortality of tor fish (Tor soro

valenciennes 1842) in Asahan River. International Journal of Fisheries and

Aquatic Research, 2(4), 23–26.

Saputra, S. I., Raharjo, E. I., & Rachimi. (2014). Pengaruh getah pepaya (Carica

papaya L.) kering terhadap derajat pembuahan dan penetasan telur ikan jambal

siam (Pangasius hypothalamus). Jurnal Ruaya : Jurnal Penelitian Dan Kajian

Ilmu Perikanan Dan Kelautan, 3(1), 26–34. https://doi.org/10.29406/rya.v3i1.475

Simanjuntak, M. (2012). Kualitas air laut ditinjau dari aspek zat hara, oksigen terlarut,

dan pH di Perairan Banggai, Sulawesi Tengah. In Oseanografi. Jakarta.

Sinaga, E. S., Pulungan, C. P., & Efizon, D. (2015). Length-weight and length-length

relationship among the body parts of Batak fish (Tor soro) from the upstream of

the Aek Godang River, North Sumatera Province. JOMFAPERIKA, 3(1).

Siregar, B., Barus, T. A., & Ilyas, S. (2013). Hubungan antara kualitas air dengan

kebiasaan makanan ikan batak (Tor Soro) di Perairan Sungai Asahan. Jurnal

Biosains Unimed, 1(2), 1–11.

Slembrouck, J., Komarudin, O., Maskur, & Legendre. (2005). Petunjuk Teknis

Pembenihan Ikan Patin Indonesia (Pangasius djambal). Jakarta: IRD, BRPBAT,

BRPB, BRKP.

Sriyani, R. (1993). Perkembangan dan kelangsungan hidup embrio dan larva ikan

bandeng (Chanos chanos Forsk). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor (IPB).

Subagja, J., Kristanto, A. H., & Sulhi, M. (2013). Domestikasi ikan semah (Tor

douronensis ) melalui pengembangan budidaya. (Prosiding Forum Inovasi

Teknologi Akuakultur), 1–7.

Subagja, J., & Radona, D. (2018). Profitabilitas dan keragaan pertumbuhan benih ikan

tor tambroides dengan frekuensi pemberian pakan yang berbeda. Jurnal Ilmu-

Ilmu Hayati, 17(2).

Page 48: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

36

Subagja, & Marson. (2008). Identifikasi dan habitat ikan semah (Tor sp.) di Sungai

Lematang, Sumatera Selatan. BAWAL, 2 (3), 113–116.

Sugama, K., Trijoko, S., Ismi, S., & Setiawati, K. M. (2004). Enviromental factors

affecting embryonic development and hatching of humpback grouper

(Cromileptes altivelis) Larvae. In Advance in grouper aquaculture (Rimmer, M.,

p. 134). ACIAR.

Sukendi. (2003). Vitelogenesis dan manipulasi fertilisasi pada ikan. In Biologi

Reproduksi Ikan (p. 110). Pekanbaru: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Riau Pekanbaru.

Sunarma, A. (2007). Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius

hypophthalmus). Sukabumi: BBPBAT Sukabumi.

Tang, U. M., & Ridwan, A. (2004). Biologi Reproduksi Ikan. Pekanbaru: Uni Press.

Waris, A., Mansyur, K., & Rusaini. (2018). Penggunaan bubuk daun ketapang

(Terminalia catappa) dengan dosis dan suhu inkubasi berbeda terhadap

embriogenesis dan penetasan telur ikan cupang (Betta splendens). Prosiding

Simposium Nasional Kelautan Dan Perikanan V. Makassar: Universitas

Hasanuddin.

Wirawan, I. (2005). Efek pemaparan copper sulfat (CuSO4) terhadap daya tetas telur,

perubahan histopatologik insang dan abnormalitas larva ikan zebra

(Brachydanio rerio). [Pascasarjana Thesis]. Universitas Airlangga.

Yosmaniar. (2014). Kajian kualitas air untuk budidaya perikanan di Cibalagung dan

Cijeruk. Prosiding Forum Inovasi Akuakultur 2014, 379–388.

Yulianti, B. E. (2016). Pengaruh suhu terhadap perkembangan telur dan larva ikan

tor (Tor tambroides). [Skripsi]. Universitas Lampung.

Page 49: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

37

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Tata letak unit perlakuan salinitas

Keterangan:

P.A = salinitas air 0 ppt

P.B = salinitas air 2 ppt

P.C = salinitas air 4 ppt

P.D = salinitas air 6 ppt

Lampiran 2. Tata letak unit perlakuan kecepatan aerasi

Keterangan:

P.E = kecepatan aerasi 0 ml/menit

P.F = kecepatan aerasi 500 ml/menit

P.G = kecepatan aerasi 1000 ml/menit

P.H = kecepatan aerasi 1500 ml/menit

P.I = kecepatan aerasi 2000 ml/menit

P.x = Perlakuan

y = Ulangan

Page 50: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

38

Lampiran 3. Gambar proses pelaksanaan tahap penelitian

Gambar Kegiatan Keterangan

Proses stripping induk betina

Proses pencampuran telur dan sperma

induk

Instalasi perlakuan salinitas

Instalasi perlakuan kecepatan aerasi

Page 51: PENGARUH SALINITAS DAN KECEPATAN AERASI TERHADAP

39

Wadah penyimpanan telur untuk

pengamatan perkembangan embrio