24
BAB I PENDAHULUAN Tinea unguium (dermatophytic onychomycosis) adalah infeksi jamur dermatofita pada kuku. 1,2 Sedangkan onikomikosis adalah infeksi pada kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita, jamur non-dermatofita atau yeast. 1,2,3 Dermatofita dibagi menjadi 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton. Golongan jamur ini mempunyai kemampuan mencerna keratin. Patogen lain golongan non- dermatofita yang menyebabkan tinea unguium adalah S. Dinidiatum, S. Hyalinum dan kadang-kadang Candida spp. 1,2 Tinea unguium terjadi di seluruh belahan dunia. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun dewasa. 1 Prevalensi tinea unguium meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Sekitar 1% pada individu <18 tahun dan hampir 50% pada usia >70 tahun. 4 Dari 1305 anak yang berusia 3-15 tahun di 17 sekolah di Barcelona tahun 2003- 2004 didapatkan bahwa prevalensi dermatofita di kaki (tinea pedis) 2,5%, dermatofita di kepala (tinea kapitis) 0,23% dan di kuku (tinea unguium) 0,15%. 5 The Achilles project memperkirakan prevalensi tinea unguium di Eropa sekitar 27% dan di Amerika Utara sebesar 13,8%. Peningkatan prevalensi ini dikarenakan peningkatan status imunosupresi seseorang, sepatu yang terlalu sempit, dan peningkatan penggunaan locker room bersama. 2 Tinea unguium

Tinea Unguium

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Tinea unguium (dermatophytic onychomycosis) adalah infeksi jamur

dermatofita pada kuku.1,2 Sedangkan onikomikosis adalah infeksi pada kuku yang

disebabkan oleh jamur dermatofita, jamur non-dermatofita atau yeast.1,2,3

Dermatofita dibagi menjadi 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton dan

Epidermophyton. Golongan jamur ini mempunyai kemampuan mencerna keratin.

Patogen lain golongan non-dermatofita yang menyebabkan tinea unguium adalah S.

Dinidiatum, S. Hyalinum dan kadang-kadang Candida spp.1,2

Tinea unguium terjadi di seluruh belahan dunia. Dapat terjadi baik pada anak-

anak maupun dewasa.1 Prevalensi tinea unguium meningkat sesuai dengan

pertambahan usia. Sekitar 1% pada individu <18 tahun dan hampir 50% pada usia >70

tahun.4 Dari 1305 anak yang berusia 3-15 tahun di 17 sekolah di Barcelona tahun

2003-2004 didapatkan bahwa prevalensi dermatofita di kaki (tinea pedis) 2,5%,

dermatofita di kepala (tinea kapitis) 0,23% dan di kuku (tinea unguium) 0,15%.5 The

Achilles project memperkirakan prevalensi tinea unguium di Eropa sekitar 27% dan di

Amerika Utara sebesar 13,8%. Peningkatan prevalensi ini dikarenakan peningkatan

status imunosupresi seseorang, sepatu yang terlalu sempit, dan peningkatan

penggunaan locker room bersama.2 Tinea unguium lebih banyak terjadi pada laki-laki

dan biasanya dikaitkan dengan tinea pedis.1-4

Tinjauan pustaka ini akan membahas tinea unguium terutama, etiologi,

patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan tinea

unguium. Dengan memahami karakteristik penyakit ini, diharapkan kita dapat

mendiagnosis dan menatalaksana pasien dengan tinea unguium dengan tepat.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur

dermatofita. Istilah tinea unguium digunakan setelah ditemukan dermatofit pada

hasil sebuah kultur.5

2.2 EPIDEMIOLOGI

Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting,

dimana prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari

wanita. Alas kaki yang tertutup, berjalan, adanya tempat temperatur, kebiasaan

penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian

tinea pedis dan onikomikosis.6

Dermatofit yang sangat memberikan respon pada suhu di negara-negara

barat adalah onikomikosis, sedangkan candida dan jamur non-dermatofita lebih

sering terjadi di negara-negara dengan suhu panas dan udara yang lembab.7

Rata-rata prevalensi onikomikosis ditentukan oleh umur, faktor

predisposisi, status sosial, pekerjaan, iklim, lingkungan, dan seberapa seringnya

berjalan.9 Beberapa faktor dapat berperan pada peningkatan onikomikosis.

Pertama, berdasarkan populasi umur, dengan beberapa sebab termasuk sirkulasi

yang buruk ke perifer, diabetes, trauma kuku yang berulang, terpapar lama dengan

jamur patogen, fungsi imun yang sub optimal, kemalasan memotong kuku kaki

atau perawatan kuku kaki yang baik. Kedua, beberapa orang

dengan immunocompromisedkarena infeksi dari human immunodeficiency

virus dan penggunaan pengobatan immunosuppressive, kemoterapi kanker atau

antibiotik. Ketiga, kerajinan dalam partisipasi olahraga meningkat dengan masuk

dalam klub kesehatan, kolam renang komersil, dan oklusi kaki diapakai latihan.8,9

2.3 ANATOMI

Kuku merupakan salah satu organ kulit tambahan yang mengandung

lapisan tanduk yang terdapat pada ujung-ujung jari tangan dan  kaki, gunanya

selain membantu jari-jari untuk memegang juga digunakan sebagai cermin

kecantikan. Lempeng kuku terbentuk dari sel-sel keratin yang mempunyai dua

sisi berhubungan dengan udara luar dan sisi lainnya tidak. 10

Gambar 1. Anatomi dan struktur kuku.11

Kuku merupakan struktur unit yang tiap komponennya bergabung dan

disebut sebagai unit kuku. Unit kuku terdiri dari lempeng kuku (nail plate) dan

empat struktur epitel: lipatan kuku proksimal (proximal nail fold), matriks,

dasar kuku (nail bed) dan hiponikium. (Gambar 1).

1. Matriks kuku

Merupakan pembentuk jaringan kuku yang baru

2. Kutikel (cuticle)

Merupakan penghubung dua permukaan epitel dari lipatan kulit

proximal. Melindungi struktur dasar kuku (matrix germinatif) dari iritasi,

alergi, bakteri/jamur patogen.

3. Lipatan kuku lateral

Menutupi sisi lateral lempeng kuku

4. Lunula

Dasar dari lipatan proximal. Merupakan bagian lempeng kuku yang

berwarna putih di dekat akar kuku berbentuk bulan sabit,sering tertutup oleh

kulit.

5. Dasar kuku (nail bed)

Terdiri dari bagian epidermal dan mendasari dermis yang

berhubungan dengan periosteum dari distal phalanx. Normal berwarna merah

muda karena vaskularisasi yang nampak melalui lempeng kuku yang

translusen.

6. Hiponikium

Ruang di bawah kuku yang bebas, memisahkan lempeng kuku dan

dasar kuku pada ujung distal.

7. Lempeng kuku (nail plate)

Sebagai proteksi yang keras. Statis dan dengan kuat menempel pada

dasar kuku. Dikelilingi tiga sisi lipatan kuku. Terbentuk dari tiga lapiasn

horisontal: lamina dorsal tipis, lamina intermedit tebal, lapisan ventral dari

dasar kuku. Kerasnya lempeng kuku karena high sulfur matrix protein.

2.4 ETIOPATOGENESIS

Etiologi yang paling sering pada onikomikosis adalah dermatofita (tinea

unguium) 95-97% terutama Trichophyton rubrum dan Trichophyton

mentagrophytes var. interdigitale. Sebagian kecil disebabkan

oleh : Epidermophyton floccosum, T. violaceum, T. schoenleinii, T. verrucosum

(biasanya hanya pada kuku tangan).12

Onikomikosis primer disebabkan oleh karena infeksi jamur pada kuku

yang sehat. Probabilitas infeksi terjadi karena suplai vaskuler yang rusak (yaitu

dengan bertambahnya usia, insufisiensi vena kronis, penyakit arteri perifer),

setelah trauma (mis: patah tungkai bawah), atau gangguan persarafan  (mis: cedera

pleksus brachialis, trauma tulang belakang. Sedangkan onikomikosis sekunder,

pada kuku kaki  biasanya terjadi setelah tinea pedis. Pada kuku tangan

onikomikosis sekunder setelah  tinea manum, tinea korporis atau tinea kapitis.6

Dermatofita dapat bertahan hidup pada stratum korneum, yang

menyediakan sumber nutrisi bagi dermatofita dan pertumbuhan jamur mycelia.

Infeksi dermatofita melibatkan tiga tahap: perlekatan pada keratinosit, penetrasi

melalui dan diantara sel-sel, dan membangun respon pejamu. Perlekatan jamur

superfisial harus mengatasi berbagai kendala seperti menahan pengaruh sinar

ultraviolet, variasi suhu, dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal,

dan sphingosines yang diproduksi oleh keratin agar artrokonidia, elemen infeksius,

dapat melekat pada jaringan keratin.13

Selanjutnya adalah penetrasi, spora berkembang dan menembus stratum

korneum lebih cepat daripada deskuamasi. Penetrasi dapat terjadi bila sekresi

proteinase, lipase, dan enzim mukolitik, yang memberikan nutrisi bagi jamur. 13

Membangun respon pejamu, tingkat peradangan dipengaruhi baik oleh

status imunologi dan organisme yang terlibat. Deteksi kekebalan dan kemotaksis

untuk inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur

memiliki faktor-faktor kemotaksis berat molekul rendah seperti yang dihasilkan

bakteri. Komplemen lainnya diaktifkan melalui jalur alternatif, untuk menciptakan

turunan faktor kemotaksis.13

Pembentukan antibodi tidak timbul untuk melindungi dari infeksi

dermatofita, pada pasien dengan infeksi yang luas mungkin memiliki peningkatan

titer antibodi. Sebagai alternatif, reaksi tipe IV atau reaksi hipersentsitifitas tipe

lambat, memiliki peran penting dalam melawan dermatofita. Kekebalan seluler

oleh sekresi interferon-γ dari tipe 1 limfosit T-helper. Ini merupakan hipotesis

bahwa antigen dermatofita diproses di sel-sel epidermis langerhans dan disajikan

pada kelenjar getah bening lokal untuk limfosit T. Limfosit T mengalami

proliferasi klonal dan migrasi pada tempat yang terinfeksi jamur.13

2.5 GAMBARAN KLINIS

Kuku jari kaki lebih sering terinfeksi dibandingkan kuku jari tangan.1

Sekitar 80% tinea unguium terjadi pada kaki. Gambaran klinis tinea unguium

berdasarkan klasifikasinya, yaitu:

1. Onikomikosis Distal Subungual (ODS)

Onikomikosis Distal Subungual (ODS) merupakan pola tinea unguium yang

paling sering terjadi. Infeksi dimulai dari stratum korneum daerah hiponokium

atau lipatan kuku, kemudian masuk ke subungual. Onikomikosis Distal

Subungual (ODS) sering dikaitkan dengan tinea pedis. Biasanya disebabkan

oleh T. rubrum.3,4

Gambar 2.

Onikomikosis Subungual Distal (OSD)4

2. Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP)

Jamur masuk melalui kutikula lipatan kuku posterior kemudian berpindah

sepanjang lipatan kuku proksimal menginvasi matrik kuku. Pada tipe ini,

paling sering disebabkan oleh T. rubrum. Tipe ini selalu dikaitkan dengan

keadaan immunocompromised. Banyak ditemukan pada pasien HIV.

Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP) dapat mengenai satu atau dua

kuku. Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah bintik putih di bawah

lipatan kuku proksimal. 3,4

Gambar 3. Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP)4

3. Onikomikosis Superfisial Putih (OSPT)

Pada tipe ini, jamur menginvasi permukaan dorsal kuku. Penyebab terbanyak

adalah T. mentagrophytes atau T. rubrum (pada anak-anak). Penyebab yang

jarang Acremonium, Fusarium, dan Aspergillus terreus. Permukaan lempeng

kuku yang terinvasi oleh jamur menunjukkan gambaran putih, seperti tepung/

serbuk kapur (chalky white) dan kadang mudah retak. 3,4

Gambar 3. Onikomikosis Superfisial

Putih (OSPT)4

4. Onikomikosis Endoniks

Onikomikosis endoniks adalah tipe yang paling jarang. Umumnya

disebabkan oleh T.soundanesedan T.violaceum. Dapat diasosiasikan dengan

infeksi pada plantar. Gambaran klinis berupa perubahan warna putih susu dan

difus opak pada lempeng kuku tanpa subungual keratosis dan onikolisis.14

2.6 PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri

atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan

mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa

kerokan kulit, rambut dan kuku. Bahan pemeriksaan mikologik diambil dan

dikumpulkan terlebih dahulu di tempat kelainan dan dibersihkan dengan spiritus

70% lalu untuk kuku bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong

sedalam-dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di bawah kuku

diambil pula.15

I. Mikroskopi Langsung (Direct Microscopy)

Pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kuku untuk

konfirmasi diagnosis. Materi keratinaseous dari kerokan kuku ditempatkan

pada kaca slide, ditutupi dengan kaca penutup, disuspensikan dengan larutan

KOH lalu dipanaskan dengan hati-hati, KOH membantu melarutkan jaringan

epitel. Penambahan dimethyl sulfoxide dan atau tinta Parker Quink  pada

larutan KOH dapat memudahkan identifikasi elemen jamur. Identifikasi

spesifik untuk patogen biasanya sulit dengan mikroskopik, tetapi pada banyak

kasus, ragi dapat dibedakan dengan dermatofita dari morfologinya.6

Gambaran mikroskopik jamur dermatofita

1. Trichophyton mentagrophytes 

Koloni : putih hingga krem dengan permukaaan seperti tumpukan kapas pada

PDA, tidak muncul pigmen.7

Gambaran mikroskopik : mikrokonidia yang bergerombol, bentuk cerutu yang

jarang, terkadang hifa spiral.7

2. Trichophyton rubrum

Koloni : putih bertumpuk di tengah dan berwarna merah marun pada

tepinya. 7

Gambaran mikroskopik : beberapa mikrokonidia berbentuk air mata, sedikit

makrokonidia berbentuk pensil.7

3. Epidermophyton floccosum

Koloni : seperti bulu datar dengan lipatan sentral dan warna kuning kehijauan,

kuning kecoklatan.7

Gambaran mikroskopik : tidak ada mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan

tebal. Makrokonidia berbentuk ganda. 7

II. Kultur Jamur

Tujuan pemeriksaan biakan ialah identifikasi spesies jamur penyebab,

membantu keperluan pengobatan, membantu prognosis penyakit dan untuk

keperluan studi epidemiologi.16

Cara pemeriksaan yaitu pembiakan dilakukan dalam media agar

sabouroud atau modifikasinya pada suhu kamar 25-30ºC kemudian sekitar ± 5

hari baru tampak adana pertumbuhan dan ± 1 minggu lagi baru terlihat jelas

karakteristiknya. Selama pertumbuhan ini harus diperhatikan ada tidaknya

warna yang dibentuk in verso atau in recto, ada tidaknya hifa aereal yang

seperti kapas, beludru, bubuk, dan lain-lain. Juga bentuknya menonjol seperti

gunung kecil dengan batas yang tajam, ireguler dengan permukaan yang licin

seperti tetesan lilin. Pemeriksaan biakan sebaiknya dilakukan tidak terlalu

lama setelah diperkirakan ada pertumbuhan sifat-sifat khusus jamur tersebut.

Untuk dermatofit tenggang waktunya ± 3 minggu setelah penanaman. Bila

terlalu lama, golongan jamur ini akan terjadi pleomorfik, dimana tanda-tanda

khasnya akan hilang. 16

III. Pemeriksaan Histopatologi

Bila secara klinis kecurigaan tinea unguium besar namun hasil sediaan

mikroskopik langsung maupun biakan negatif, pemeriksaan histopatologi dapat

membantu. Dapat dilakukan biopsi kuku atau cukup dengan nail clippings pada

Onikomikosis Subungual Distal (ODS). Periodic Acid Schiff (PAS) digunakan

untuk mencari elemen jamur pada kuku. Pemeriksaan ini dapat sekaligus

membantu memastikan bahwa jamur terdapat dalam lempeng kuku dan bukan

komensal atau kontaminan di luar lempeng kuku. Teknik ini merupakan teknik

yang paling dapat dipercaya untuk membangun diagnosis tinea unguium. Pada

beberapa penelitian sensitivitas PAS adalah 41-93%.4

2.7 DIAGNOSIS

Anamnesis dan gambaran klinis saja pada umumnya sulit untuk

memastikan diagnosis terutama pada tinea unguium yang merupakan kelainan

sekunder pada kelainan kuku yang telah ada sebelumnya. Gambaran klinis harus

dikonfirmasi dengan ditemukannya elemen jamur pada pemeriksaan

mikroskopik langsung dengan preparat KOH, pemeriksaan histopatologi dari

clipping nail atau dengan biakan jamur. Mengingat banyaknya diagnosis

banding secara klinis, maka dapat digunakan pendekatan diagnosis pada kuku

yang distrofi.1

Bagan 1. Pendekatan diagnosis pada kuku distrofi.1

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Sangat penting untuk membedakan tinea unguium dengan berbagai

penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama, yaitu kuku

psoriasis, ekzema dan dermatitis kontak, liken planus, serta pakionikia

kongenital. 3,4

Pada psoriasis, selain kuku pada umumnya kelainan juga ditemukan

pada bagian kulit lain. Meski demikian dapat terjadi kelainan psoriasis yang

hanya mengenai kuku. Psoriasis kuku memberikan gambaran mirip

Singkirkan penyebab non-jamur Penyakit kulit yang bermanifestasi pada kuku atau penyakit

sistemik (contoh; psoriasis, lichen planus, dermatitis) Faktor dari luar (contoh: trauma, kontak iritan) Genodermatosis (contoh: pachyonychia congenital, Darier

disease)

Pemeriksaan mikroskopik dengan preparat KOH/Calcoflour, pemeriksaan dengan

kerokan kuku dan debris subungualAtau

PAS ( Periodic Acid Schiff Stain)

Biakan dan mulai pengobatan untuk tinea unguium Biakan

Terapi tinea unguium

Ulangi

+ -

Onikomikosis Subungual Distal (OSD). Pada kuku psoriasis sering ditemukan

pitting nail dan tanda onikolisis berupa “oil spot” dan “salmon patch” yaitu

warna kuning-kemerahan, translusen di bawah lempeng kuku dan sering

meluas ke hiponikium. Gambaran ini tidak ditemukan pada tinea unguium.3,4

Pada ekzema dan dermatitis kontak, kelainan biasanya terdapat pada

lipatan kuku posterior. Pada dermatitis kelainan pada ujung jari kadang disertai

onikolisis.3 Pada liken planus dapat ditemukan papul merah ungu yang dapat

dilihat di bawah lempeng kuku dan manifestasi lanjut berupa pterigium.

Pakionikia kongenital memberikan gambaran bagian proksimal lempeng kuku

tampak licin, mengkilat dan melekat pada dasar. Bagian distal terdorong ke

atas oleh akumulasi bahan keratin di bawahnya sehingga bagian lempeng kuku

bebas menghadap ke atas.3

2.9 PENATALAKSANAAN

Seperti penatalaksanaan penyakit jamur superfisial lainnya, maka

prinsip penatalaksanaan tinea unguium menghilangkan faktor predisposisi

yang memudahkan terjadinya penyakit, serta terapi dengan obat anti jamur

yang sesuai dengan penyebab dan keadaan patologi kuku. Perlu ditelusuri pula

sumber penularan.17

Pengobatan pada tinea unguium yaitu dengan pemberian obat anti

jamur baik secara topikal maupun sistemik. Pengobatan topikal yaitu dengan

menggunakan siklopiroks dan amprolfin. Sedangkan pengobatan sistemik

digunakan anti jamur golongan alilamin seperti terbinafin dan golongan azol

seperti flukonazol dan itrakonazoltinea unguium ada dua cara yaitu secara

sistemik dengan menggunakan obat.4

Obat topikal

Obat topikal berbentuk krim dan solusio, namun sulit untuk penetrasi ke

dalam kuku sehingga kurang efektif untuk pengobatan tinea unguium, namun

masih dapat digunakan untuk superfisial Onikomikosis Superfisial Putih

(OSPT). Obat topikal dengan formulasi khusus dapat meningkatkan penetrasi

obat ke dalam kuku, yakni:

a. Amorolfin : merupakan derivat morfolin yang bersifat fungisidal. Bekerja

dengan cara menghambat biosintesis ergosterol jamur. Untuk infeksi jamur

pada tinea unguium digunakan amorolfin dalam bentuk cat kuku konsentrasi

5% untuk kuku jari tangan, dioleskan satu atau dua kali setiap minggu selama

6 bulan sedangkan untuk kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan.4

b. Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypiridone, bersifat fungisidal,

sporosidal dan anti jamur ini mempunyai penetrasi yang baik pada kulit dan

kuku. Untuk pengobatan tinea unguium digunakan siklopiroks nail lacquer

8%. Setelah dioleskan pada kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering

dalam waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa

berdifusi menembus lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku dalam

beberapa jam sampai kedalaman 0,4 mm dan hasil pengobatan akan dicapai

setelah 24-48 kali pemakaian. Diberikan 2 hari sekali selama bulan pertama,

setiap 3 hari sekali pada bulan kedua dan seminggu sekali pada bulan ketiga

hingga bulan keenam pengobatan. Dianjurkan pemakaian cat kuku siklosporik

tidak melebihi dari 6 bulan.4

Dibutuhkan ketekunan pasien karena umumnya masa pengobatan panjang.

Meskipun penggunaan obat topikal mempunyai keterbatasan, namun masih

dapat digunakan sebagai pengobatan tinea unguium karena tidak mempunyai

risiko sistemik, relatif lebih murah dan dapat digunakan sebagai kombinasi

dengan oral untuk memperpendek masa pengobatan, selain itu bentuk cat kuku

juga mudah digunakan.17

Obat Sistemik

Terapi anti jamur sistemik, meski dikaitkan dengan tingginya angka

kejadian dan peningkatan keparahan efek samping, namun tetap diperlukan

untuk pengobatan infeksi tertentu, termasuk tinea manus, kapitis dan unguium.

Obat antijamur baru memberikan lebih banyak pilihan untuk terapi sistemik.1

Table 1. Obat yang dianjurkan pada tinea unguium.1

Flukonazol Griseofulvin Itrakonazol Terbinafin

Kuku tangan dan kuku kaki

Dosis

Dewasa

150–200

mg/minggu × 9

bulan

1–2 g/hari

hingga kuku

normal

200 mg/hari × 12 minggu

Atau

200 mg × 1 minggu/bulan

selama 3–4 bulan

250 mg/hari × 12

minggu

Hanya kuku tangan

150–200

mg/minggu × 6

bulan

1–2 g/day

hingga kuku

normal

200 mg/hari × 6 minggu

Atau

200 mg × 1 bulan selama

2 bulan

250 mg/hari × 6

minggu

Dosis

anak-

anak

6 mg/kg/

minggu × 12–

16 minggu

(kuku tangan)

or 18–26

minggu (kuku

kaki)

20 mg/kg/hari

hingga kuku

normal

5 mg/k/hari (<20 kg),

100 mg/hari (20–40 kg),

200 mg/hari (40–50 kg)

Atau

200 mg (>50 kg) × 1

minggu/bulan for 2 (kuku

tangan) atau 3 (kuku

kaki) bulan

62.5 mg/hari (<20

kg)

125 mg/hari (20–40

kg) or

250 mg/hari (>40 kg)

× 6 minggu (kuku

tangan) or 12 minggu

(kuku kaki)

Obat sistemik yang dapat digunakan untuk pengobatan tinea unguium yaitu

derivat azol dan derivat alilamin. Derivat azol bersifat fungistatik tetapi mempunyai

spektrum anti jamur luas dan derivat alilamin bersifat fungisidal namun efektif

terutama terhadap dermatofita.4

Terapi Bedah

Pengangkatan kuku dengan tindakan bedah skalpel selain menyebabkan nyeri

juga dapat memberikan gejala sisa distrofi kuku. Tindakan bedah dapat

dipertimbangkan bila kelainan hanya 1-2 kuku, bila terdapat kontraindikasi terhadap

obat sistemik, dan pada keadaan patogen resisten terhadap obat. Tindakan bedah tetap

harus dikombinasi dengan obat anti jamur topikal atau sistemik.17

2.10 PROGNOSIS

Kondisi ini sulit diobati, dibutuhkan pengobatan dalam waktu yang

panjang.3 Tinea unguium tahap awal lebih mudah diobati pada orang muda,

dan individu sehat dibandingkan dengan individu yang sudah tua dengan

kondisi kesehatan yang buruk.4

DAFTAR PUSTAKA

1. Elewski BE, Hughey LC, Sobera JO, Hay R. Fungal disease. In: Bolognia J L, Lorizzo J L, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008; p. 1265-70.

2. Verma S, Haffernan MP. Fungal disease. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008; p.1817-18.

3. James D, Berger G, Elston M. Diseases resulting from fungi and yeast. Andrew’s Disease of The Skin Clinical Dermatology, 10th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008; p.305-7.

4. Wolff KL. Johnson RA. Disorder of The Nail Apparatus. In: Fitzpatrick’s Color Atlas & Sinopsis Of Clinical Dermatology, 5th ed. New York: The McGraw-Hill companies; 2007. p.1016-21.

5. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 89-105.

6. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies.

7. Kurniati, CR. Etiopatogenesis dermatofitosis. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2008;20:243-50.

8. Havlickova B, Czaika VA, Friedrich M. Epidemiological trends in skin mycoses worldwide.Mycoses. 2008, 51(suppl 4):2-15.

9. Kaur R, Kashyap B, Bhalla P. Onychomicosis-epidemiology, diagnosis, and management.Indian J Med Microbi. 2008;26(2):108-16.

10. Leelavathi M, Tzar MN, Adawiah J. Common Microorganisms Causing Onychomycosis in Tropical Climate. Sains Malays. 2012: 697-700.

11. Moore Mk, Hay RJ. Anatomy and organization of human skin. In: Berth-jones J, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Cambridge: Wiley-Balckwell: 2010; p.3.14-5.

12. Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed. UK: Blackwell Publishing; 2004. p. 31.1-.101.

13. Kurniati, CR. Etiopatogenesis dermatofitosis. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit

dan Kelamin. 2008;20:243-50.

14. Tosti A, Baran R, Dawber RP, Haneke E. Onychomycosis and its treatment. In: Baran R, Dowber RP, Haneke E, Tosti A, Bristow I, editors. A Text Atlas of Nail Disorders. 3rd ed. London: Taylor & Francis Group; 2003. p. 197-220.

15. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit

Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;

2007. p. 89-105.

16. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar: Bagian Ilmu Penyakit Kulit &

Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003.

17. Budi IP. Onikomikosis. Medan: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Universitas Sumatera Utara. 2008; hal.9-12.