Upload
azman-pasha-maricar
View
117
Download
20
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Referat
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Tinea unguium (dermatophytic onychomycosis) adalah infeksi jamur
dermatofita pada kuku.1,2 Sedangkan onikomikosis adalah infeksi pada kuku yang
disebabkan oleh jamur dermatofita, jamur non-dermatofita atau yeast.1,2,3
Dermatofita dibagi menjadi 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton dan
Epidermophyton. Golongan jamur ini mempunyai kemampuan mencerna keratin.
Patogen lain golongan non-dermatofita yang menyebabkan tinea unguium adalah S.
Dinidiatum, S. Hyalinum dan kadang-kadang Candida spp.1,2
Tinea unguium terjadi di seluruh belahan dunia. Dapat terjadi baik pada anak-
anak maupun dewasa.1 Prevalensi tinea unguium meningkat sesuai dengan
pertambahan usia. Sekitar 1% pada individu <18 tahun dan hampir 50% pada usia >70
tahun.4 Dari 1305 anak yang berusia 3-15 tahun di 17 sekolah di Barcelona tahun
2003-2004 didapatkan bahwa prevalensi dermatofita di kaki (tinea pedis) 2,5%,
dermatofita di kepala (tinea kapitis) 0,23% dan di kuku (tinea unguium) 0,15%.5 The
Achilles project memperkirakan prevalensi tinea unguium di Eropa sekitar 27% dan di
Amerika Utara sebesar 13,8%. Peningkatan prevalensi ini dikarenakan peningkatan
status imunosupresi seseorang, sepatu yang terlalu sempit, dan peningkatan
penggunaan locker room bersama.2 Tinea unguium lebih banyak terjadi pada laki-laki
dan biasanya dikaitkan dengan tinea pedis.1-4
Tinjauan pustaka ini akan membahas tinea unguium terutama, etiologi,
patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan tinea
unguium. Dengan memahami karakteristik penyakit ini, diharapkan kita dapat
mendiagnosis dan menatalaksana pasien dengan tinea unguium dengan tepat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatofita. Istilah tinea unguium digunakan setelah ditemukan dermatofit pada
hasil sebuah kultur.5
2.2 EPIDEMIOLOGI
Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting,
dimana prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari
wanita. Alas kaki yang tertutup, berjalan, adanya tempat temperatur, kebiasaan
penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian
tinea pedis dan onikomikosis.6
Dermatofit yang sangat memberikan respon pada suhu di negara-negara
barat adalah onikomikosis, sedangkan candida dan jamur non-dermatofita lebih
sering terjadi di negara-negara dengan suhu panas dan udara yang lembab.7
Rata-rata prevalensi onikomikosis ditentukan oleh umur, faktor
predisposisi, status sosial, pekerjaan, iklim, lingkungan, dan seberapa seringnya
berjalan.9 Beberapa faktor dapat berperan pada peningkatan onikomikosis.
Pertama, berdasarkan populasi umur, dengan beberapa sebab termasuk sirkulasi
yang buruk ke perifer, diabetes, trauma kuku yang berulang, terpapar lama dengan
jamur patogen, fungsi imun yang sub optimal, kemalasan memotong kuku kaki
atau perawatan kuku kaki yang baik. Kedua, beberapa orang
dengan immunocompromisedkarena infeksi dari human immunodeficiency
virus dan penggunaan pengobatan immunosuppressive, kemoterapi kanker atau
antibiotik. Ketiga, kerajinan dalam partisipasi olahraga meningkat dengan masuk
dalam klub kesehatan, kolam renang komersil, dan oklusi kaki diapakai latihan.8,9
2.3 ANATOMI
Kuku merupakan salah satu organ kulit tambahan yang mengandung
lapisan tanduk yang terdapat pada ujung-ujung jari tangan dan kaki, gunanya
selain membantu jari-jari untuk memegang juga digunakan sebagai cermin
kecantikan. Lempeng kuku terbentuk dari sel-sel keratin yang mempunyai dua
sisi berhubungan dengan udara luar dan sisi lainnya tidak. 10
Gambar 1. Anatomi dan struktur kuku.11
Kuku merupakan struktur unit yang tiap komponennya bergabung dan
disebut sebagai unit kuku. Unit kuku terdiri dari lempeng kuku (nail plate) dan
empat struktur epitel: lipatan kuku proksimal (proximal nail fold), matriks,
dasar kuku (nail bed) dan hiponikium. (Gambar 1).
1. Matriks kuku
Merupakan pembentuk jaringan kuku yang baru
2. Kutikel (cuticle)
Merupakan penghubung dua permukaan epitel dari lipatan kulit
proximal. Melindungi struktur dasar kuku (matrix germinatif) dari iritasi,
alergi, bakteri/jamur patogen.
3. Lipatan kuku lateral
Menutupi sisi lateral lempeng kuku
4. Lunula
Dasar dari lipatan proximal. Merupakan bagian lempeng kuku yang
berwarna putih di dekat akar kuku berbentuk bulan sabit,sering tertutup oleh
kulit.
5. Dasar kuku (nail bed)
Terdiri dari bagian epidermal dan mendasari dermis yang
berhubungan dengan periosteum dari distal phalanx. Normal berwarna merah
muda karena vaskularisasi yang nampak melalui lempeng kuku yang
translusen.
6. Hiponikium
Ruang di bawah kuku yang bebas, memisahkan lempeng kuku dan
dasar kuku pada ujung distal.
7. Lempeng kuku (nail plate)
Sebagai proteksi yang keras. Statis dan dengan kuat menempel pada
dasar kuku. Dikelilingi tiga sisi lipatan kuku. Terbentuk dari tiga lapiasn
horisontal: lamina dorsal tipis, lamina intermedit tebal, lapisan ventral dari
dasar kuku. Kerasnya lempeng kuku karena high sulfur matrix protein.
2.4 ETIOPATOGENESIS
Etiologi yang paling sering pada onikomikosis adalah dermatofita (tinea
unguium) 95-97% terutama Trichophyton rubrum dan Trichophyton
mentagrophytes var. interdigitale. Sebagian kecil disebabkan
oleh : Epidermophyton floccosum, T. violaceum, T. schoenleinii, T. verrucosum
(biasanya hanya pada kuku tangan).12
Onikomikosis primer disebabkan oleh karena infeksi jamur pada kuku
yang sehat. Probabilitas infeksi terjadi karena suplai vaskuler yang rusak (yaitu
dengan bertambahnya usia, insufisiensi vena kronis, penyakit arteri perifer),
setelah trauma (mis: patah tungkai bawah), atau gangguan persarafan (mis: cedera
pleksus brachialis, trauma tulang belakang. Sedangkan onikomikosis sekunder,
pada kuku kaki biasanya terjadi setelah tinea pedis. Pada kuku tangan
onikomikosis sekunder setelah tinea manum, tinea korporis atau tinea kapitis.6
Dermatofita dapat bertahan hidup pada stratum korneum, yang
menyediakan sumber nutrisi bagi dermatofita dan pertumbuhan jamur mycelia.
Infeksi dermatofita melibatkan tiga tahap: perlekatan pada keratinosit, penetrasi
melalui dan diantara sel-sel, dan membangun respon pejamu. Perlekatan jamur
superfisial harus mengatasi berbagai kendala seperti menahan pengaruh sinar
ultraviolet, variasi suhu, dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal,
dan sphingosines yang diproduksi oleh keratin agar artrokonidia, elemen infeksius,
dapat melekat pada jaringan keratin.13
Selanjutnya adalah penetrasi, spora berkembang dan menembus stratum
korneum lebih cepat daripada deskuamasi. Penetrasi dapat terjadi bila sekresi
proteinase, lipase, dan enzim mukolitik, yang memberikan nutrisi bagi jamur. 13
Membangun respon pejamu, tingkat peradangan dipengaruhi baik oleh
status imunologi dan organisme yang terlibat. Deteksi kekebalan dan kemotaksis
untuk inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur
memiliki faktor-faktor kemotaksis berat molekul rendah seperti yang dihasilkan
bakteri. Komplemen lainnya diaktifkan melalui jalur alternatif, untuk menciptakan
turunan faktor kemotaksis.13
Pembentukan antibodi tidak timbul untuk melindungi dari infeksi
dermatofita, pada pasien dengan infeksi yang luas mungkin memiliki peningkatan
titer antibodi. Sebagai alternatif, reaksi tipe IV atau reaksi hipersentsitifitas tipe
lambat, memiliki peran penting dalam melawan dermatofita. Kekebalan seluler
oleh sekresi interferon-γ dari tipe 1 limfosit T-helper. Ini merupakan hipotesis
bahwa antigen dermatofita diproses di sel-sel epidermis langerhans dan disajikan
pada kelenjar getah bening lokal untuk limfosit T. Limfosit T mengalami
proliferasi klonal dan migrasi pada tempat yang terinfeksi jamur.13
2.5 GAMBARAN KLINIS
Kuku jari kaki lebih sering terinfeksi dibandingkan kuku jari tangan.1
Sekitar 80% tinea unguium terjadi pada kaki. Gambaran klinis tinea unguium
berdasarkan klasifikasinya, yaitu:
1. Onikomikosis Distal Subungual (ODS)
Onikomikosis Distal Subungual (ODS) merupakan pola tinea unguium yang
paling sering terjadi. Infeksi dimulai dari stratum korneum daerah hiponokium
atau lipatan kuku, kemudian masuk ke subungual. Onikomikosis Distal
Subungual (ODS) sering dikaitkan dengan tinea pedis. Biasanya disebabkan
oleh T. rubrum.3,4
Gambar 2.
Onikomikosis Subungual Distal (OSD)4
2. Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP)
Jamur masuk melalui kutikula lipatan kuku posterior kemudian berpindah
sepanjang lipatan kuku proksimal menginvasi matrik kuku. Pada tipe ini,
paling sering disebabkan oleh T. rubrum. Tipe ini selalu dikaitkan dengan
keadaan immunocompromised. Banyak ditemukan pada pasien HIV.
Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP) dapat mengenai satu atau dua
kuku. Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah bintik putih di bawah
lipatan kuku proksimal. 3,4
Gambar 3. Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP)4
3. Onikomikosis Superfisial Putih (OSPT)
Pada tipe ini, jamur menginvasi permukaan dorsal kuku. Penyebab terbanyak
adalah T. mentagrophytes atau T. rubrum (pada anak-anak). Penyebab yang
jarang Acremonium, Fusarium, dan Aspergillus terreus. Permukaan lempeng
kuku yang terinvasi oleh jamur menunjukkan gambaran putih, seperti tepung/
serbuk kapur (chalky white) dan kadang mudah retak. 3,4
Gambar 3. Onikomikosis Superfisial
Putih (OSPT)4
4. Onikomikosis Endoniks
Onikomikosis endoniks adalah tipe yang paling jarang. Umumnya
disebabkan oleh T.soundanesedan T.violaceum. Dapat diasosiasikan dengan
infeksi pada plantar. Gambaran klinis berupa perubahan warna putih susu dan
difus opak pada lempeng kuku tanpa subungual keratosis dan onikolisis.14
2.6 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri
atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan
mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa
kerokan kulit, rambut dan kuku. Bahan pemeriksaan mikologik diambil dan
dikumpulkan terlebih dahulu di tempat kelainan dan dibersihkan dengan spiritus
70% lalu untuk kuku bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong
sedalam-dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di bawah kuku
diambil pula.15
I. Mikroskopi Langsung (Direct Microscopy)
Pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kuku untuk
konfirmasi diagnosis. Materi keratinaseous dari kerokan kuku ditempatkan
pada kaca slide, ditutupi dengan kaca penutup, disuspensikan dengan larutan
KOH lalu dipanaskan dengan hati-hati, KOH membantu melarutkan jaringan
epitel. Penambahan dimethyl sulfoxide dan atau tinta Parker Quink pada
larutan KOH dapat memudahkan identifikasi elemen jamur. Identifikasi
spesifik untuk patogen biasanya sulit dengan mikroskopik, tetapi pada banyak
kasus, ragi dapat dibedakan dengan dermatofita dari morfologinya.6
Gambaran mikroskopik jamur dermatofita
1. Trichophyton mentagrophytes
Koloni : putih hingga krem dengan permukaaan seperti tumpukan kapas pada
PDA, tidak muncul pigmen.7
Gambaran mikroskopik : mikrokonidia yang bergerombol, bentuk cerutu yang
jarang, terkadang hifa spiral.7
2. Trichophyton rubrum
Koloni : putih bertumpuk di tengah dan berwarna merah marun pada
tepinya. 7
Gambaran mikroskopik : beberapa mikrokonidia berbentuk air mata, sedikit
makrokonidia berbentuk pensil.7
3. Epidermophyton floccosum
Koloni : seperti bulu datar dengan lipatan sentral dan warna kuning kehijauan,
kuning kecoklatan.7
Gambaran mikroskopik : tidak ada mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan
tebal. Makrokonidia berbentuk ganda. 7
II. Kultur Jamur
Tujuan pemeriksaan biakan ialah identifikasi spesies jamur penyebab,
membantu keperluan pengobatan, membantu prognosis penyakit dan untuk
keperluan studi epidemiologi.16
Cara pemeriksaan yaitu pembiakan dilakukan dalam media agar
sabouroud atau modifikasinya pada suhu kamar 25-30ºC kemudian sekitar ± 5
hari baru tampak adana pertumbuhan dan ± 1 minggu lagi baru terlihat jelas
karakteristiknya. Selama pertumbuhan ini harus diperhatikan ada tidaknya
warna yang dibentuk in verso atau in recto, ada tidaknya hifa aereal yang
seperti kapas, beludru, bubuk, dan lain-lain. Juga bentuknya menonjol seperti
gunung kecil dengan batas yang tajam, ireguler dengan permukaan yang licin
seperti tetesan lilin. Pemeriksaan biakan sebaiknya dilakukan tidak terlalu
lama setelah diperkirakan ada pertumbuhan sifat-sifat khusus jamur tersebut.
Untuk dermatofit tenggang waktunya ± 3 minggu setelah penanaman. Bila
terlalu lama, golongan jamur ini akan terjadi pleomorfik, dimana tanda-tanda
khasnya akan hilang. 16
III. Pemeriksaan Histopatologi
Bila secara klinis kecurigaan tinea unguium besar namun hasil sediaan
mikroskopik langsung maupun biakan negatif, pemeriksaan histopatologi dapat
membantu. Dapat dilakukan biopsi kuku atau cukup dengan nail clippings pada
Onikomikosis Subungual Distal (ODS). Periodic Acid Schiff (PAS) digunakan
untuk mencari elemen jamur pada kuku. Pemeriksaan ini dapat sekaligus
membantu memastikan bahwa jamur terdapat dalam lempeng kuku dan bukan
komensal atau kontaminan di luar lempeng kuku. Teknik ini merupakan teknik
yang paling dapat dipercaya untuk membangun diagnosis tinea unguium. Pada
beberapa penelitian sensitivitas PAS adalah 41-93%.4
2.7 DIAGNOSIS
Anamnesis dan gambaran klinis saja pada umumnya sulit untuk
memastikan diagnosis terutama pada tinea unguium yang merupakan kelainan
sekunder pada kelainan kuku yang telah ada sebelumnya. Gambaran klinis harus
dikonfirmasi dengan ditemukannya elemen jamur pada pemeriksaan
mikroskopik langsung dengan preparat KOH, pemeriksaan histopatologi dari
clipping nail atau dengan biakan jamur. Mengingat banyaknya diagnosis
banding secara klinis, maka dapat digunakan pendekatan diagnosis pada kuku
yang distrofi.1
Bagan 1. Pendekatan diagnosis pada kuku distrofi.1
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Sangat penting untuk membedakan tinea unguium dengan berbagai
penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama, yaitu kuku
psoriasis, ekzema dan dermatitis kontak, liken planus, serta pakionikia
kongenital. 3,4
Pada psoriasis, selain kuku pada umumnya kelainan juga ditemukan
pada bagian kulit lain. Meski demikian dapat terjadi kelainan psoriasis yang
hanya mengenai kuku. Psoriasis kuku memberikan gambaran mirip
Singkirkan penyebab non-jamur Penyakit kulit yang bermanifestasi pada kuku atau penyakit
sistemik (contoh; psoriasis, lichen planus, dermatitis) Faktor dari luar (contoh: trauma, kontak iritan) Genodermatosis (contoh: pachyonychia congenital, Darier
disease)
Pemeriksaan mikroskopik dengan preparat KOH/Calcoflour, pemeriksaan dengan
kerokan kuku dan debris subungualAtau
PAS ( Periodic Acid Schiff Stain)
Biakan dan mulai pengobatan untuk tinea unguium Biakan
Terapi tinea unguium
Ulangi
+ -
Onikomikosis Subungual Distal (OSD). Pada kuku psoriasis sering ditemukan
pitting nail dan tanda onikolisis berupa “oil spot” dan “salmon patch” yaitu
warna kuning-kemerahan, translusen di bawah lempeng kuku dan sering
meluas ke hiponikium. Gambaran ini tidak ditemukan pada tinea unguium.3,4
Pada ekzema dan dermatitis kontak, kelainan biasanya terdapat pada
lipatan kuku posterior. Pada dermatitis kelainan pada ujung jari kadang disertai
onikolisis.3 Pada liken planus dapat ditemukan papul merah ungu yang dapat
dilihat di bawah lempeng kuku dan manifestasi lanjut berupa pterigium.
Pakionikia kongenital memberikan gambaran bagian proksimal lempeng kuku
tampak licin, mengkilat dan melekat pada dasar. Bagian distal terdorong ke
atas oleh akumulasi bahan keratin di bawahnya sehingga bagian lempeng kuku
bebas menghadap ke atas.3
2.9 PENATALAKSANAAN
Seperti penatalaksanaan penyakit jamur superfisial lainnya, maka
prinsip penatalaksanaan tinea unguium menghilangkan faktor predisposisi
yang memudahkan terjadinya penyakit, serta terapi dengan obat anti jamur
yang sesuai dengan penyebab dan keadaan patologi kuku. Perlu ditelusuri pula
sumber penularan.17
Pengobatan pada tinea unguium yaitu dengan pemberian obat anti
jamur baik secara topikal maupun sistemik. Pengobatan topikal yaitu dengan
menggunakan siklopiroks dan amprolfin. Sedangkan pengobatan sistemik
digunakan anti jamur golongan alilamin seperti terbinafin dan golongan azol
seperti flukonazol dan itrakonazoltinea unguium ada dua cara yaitu secara
sistemik dengan menggunakan obat.4
Obat topikal
Obat topikal berbentuk krim dan solusio, namun sulit untuk penetrasi ke
dalam kuku sehingga kurang efektif untuk pengobatan tinea unguium, namun
masih dapat digunakan untuk superfisial Onikomikosis Superfisial Putih
(OSPT). Obat topikal dengan formulasi khusus dapat meningkatkan penetrasi
obat ke dalam kuku, yakni:
a. Amorolfin : merupakan derivat morfolin yang bersifat fungisidal. Bekerja
dengan cara menghambat biosintesis ergosterol jamur. Untuk infeksi jamur
pada tinea unguium digunakan amorolfin dalam bentuk cat kuku konsentrasi
5% untuk kuku jari tangan, dioleskan satu atau dua kali setiap minggu selama
6 bulan sedangkan untuk kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan.4
b. Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypiridone, bersifat fungisidal,
sporosidal dan anti jamur ini mempunyai penetrasi yang baik pada kulit dan
kuku. Untuk pengobatan tinea unguium digunakan siklopiroks nail lacquer
8%. Setelah dioleskan pada kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering
dalam waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa
berdifusi menembus lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku dalam
beberapa jam sampai kedalaman 0,4 mm dan hasil pengobatan akan dicapai
setelah 24-48 kali pemakaian. Diberikan 2 hari sekali selama bulan pertama,
setiap 3 hari sekali pada bulan kedua dan seminggu sekali pada bulan ketiga
hingga bulan keenam pengobatan. Dianjurkan pemakaian cat kuku siklosporik
tidak melebihi dari 6 bulan.4
Dibutuhkan ketekunan pasien karena umumnya masa pengobatan panjang.
Meskipun penggunaan obat topikal mempunyai keterbatasan, namun masih
dapat digunakan sebagai pengobatan tinea unguium karena tidak mempunyai
risiko sistemik, relatif lebih murah dan dapat digunakan sebagai kombinasi
dengan oral untuk memperpendek masa pengobatan, selain itu bentuk cat kuku
juga mudah digunakan.17
Obat Sistemik
Terapi anti jamur sistemik, meski dikaitkan dengan tingginya angka
kejadian dan peningkatan keparahan efek samping, namun tetap diperlukan
untuk pengobatan infeksi tertentu, termasuk tinea manus, kapitis dan unguium.
Obat antijamur baru memberikan lebih banyak pilihan untuk terapi sistemik.1
Table 1. Obat yang dianjurkan pada tinea unguium.1
Flukonazol Griseofulvin Itrakonazol Terbinafin
Kuku tangan dan kuku kaki
Dosis
Dewasa
150–200
mg/minggu × 9
bulan
1–2 g/hari
hingga kuku
normal
200 mg/hari × 12 minggu
Atau
200 mg × 1 minggu/bulan
selama 3–4 bulan
250 mg/hari × 12
minggu
Hanya kuku tangan
150–200
mg/minggu × 6
bulan
1–2 g/day
hingga kuku
normal
200 mg/hari × 6 minggu
Atau
200 mg × 1 bulan selama
2 bulan
250 mg/hari × 6
minggu
Dosis
anak-
anak
6 mg/kg/
minggu × 12–
16 minggu
(kuku tangan)
or 18–26
minggu (kuku
kaki)
20 mg/kg/hari
hingga kuku
normal
5 mg/k/hari (<20 kg),
100 mg/hari (20–40 kg),
200 mg/hari (40–50 kg)
Atau
200 mg (>50 kg) × 1
minggu/bulan for 2 (kuku
tangan) atau 3 (kuku
kaki) bulan
62.5 mg/hari (<20
kg)
125 mg/hari (20–40
kg) or
250 mg/hari (>40 kg)
× 6 minggu (kuku
tangan) or 12 minggu
(kuku kaki)
Obat sistemik yang dapat digunakan untuk pengobatan tinea unguium yaitu
derivat azol dan derivat alilamin. Derivat azol bersifat fungistatik tetapi mempunyai
spektrum anti jamur luas dan derivat alilamin bersifat fungisidal namun efektif
terutama terhadap dermatofita.4
Terapi Bedah
Pengangkatan kuku dengan tindakan bedah skalpel selain menyebabkan nyeri
juga dapat memberikan gejala sisa distrofi kuku. Tindakan bedah dapat
dipertimbangkan bila kelainan hanya 1-2 kuku, bila terdapat kontraindikasi terhadap
obat sistemik, dan pada keadaan patogen resisten terhadap obat. Tindakan bedah tetap
harus dikombinasi dengan obat anti jamur topikal atau sistemik.17
2.10 PROGNOSIS
Kondisi ini sulit diobati, dibutuhkan pengobatan dalam waktu yang
panjang.3 Tinea unguium tahap awal lebih mudah diobati pada orang muda,
dan individu sehat dibandingkan dengan individu yang sudah tua dengan
kondisi kesehatan yang buruk.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Elewski BE, Hughey LC, Sobera JO, Hay R. Fungal disease. In: Bolognia J L, Lorizzo J L, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008; p. 1265-70.
2. Verma S, Haffernan MP. Fungal disease. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008; p.1817-18.
3. James D, Berger G, Elston M. Diseases resulting from fungi and yeast. Andrew’s Disease of The Skin Clinical Dermatology, 10th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008; p.305-7.
4. Wolff KL. Johnson RA. Disorder of The Nail Apparatus. In: Fitzpatrick’s Color Atlas & Sinopsis Of Clinical Dermatology, 5th ed. New York: The McGraw-Hill companies; 2007. p.1016-21.
5. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 89-105.
6. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies.
7. Kurniati, CR. Etiopatogenesis dermatofitosis. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2008;20:243-50.
8. Havlickova B, Czaika VA, Friedrich M. Epidemiological trends in skin mycoses worldwide.Mycoses. 2008, 51(suppl 4):2-15.
9. Kaur R, Kashyap B, Bhalla P. Onychomicosis-epidemiology, diagnosis, and management.Indian J Med Microbi. 2008;26(2):108-16.
10. Leelavathi M, Tzar MN, Adawiah J. Common Microorganisms Causing Onychomycosis in Tropical Climate. Sains Malays. 2012: 697-700.
11. Moore Mk, Hay RJ. Anatomy and organization of human skin. In: Berth-jones J, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Cambridge: Wiley-Balckwell: 2010; p.3.14-5.
12. Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed. UK: Blackwell Publishing; 2004. p. 31.1-.101.
13. Kurniati, CR. Etiopatogenesis dermatofitosis. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin. 2008;20:243-50.
14. Tosti A, Baran R, Dawber RP, Haneke E. Onychomycosis and its treatment. In: Baran R, Dowber RP, Haneke E, Tosti A, Bristow I, editors. A Text Atlas of Nail Disorders. 3rd ed. London: Taylor & Francis Group; 2003. p. 197-220.
15. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2007. p. 89-105.
16. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar: Bagian Ilmu Penyakit Kulit &
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003.
17. Budi IP. Onikomikosis. Medan: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Universitas Sumatera Utara. 2008; hal.9-12.