Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TELAAH TIPE HIGHER ORDER THINKING SKILLS (HOTS) DALAM
PENYUSUNAN SOAL BAHASA INDONESIA PROGRAM INKLUSI
SMKN 2 MALANG
SKRIPSI
OLEH
AYUNI IFADAH
NPM 21601071062
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JUNI 2020
TELAAH TIPE HIGHER ORDER THINKING SKILLS (HOTS) DALAM
PENYUSUNAN SOAL BAHASA INDONESIA PROGRAM INKLUSI
SMKN 2 MALANG
SKRIPSI
Diajukan kepada
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Malang
untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
OLEH
AYUNI IFADAH
NPM 21601071062
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JUNI 2020
ABSTRAK
Ifadah, Ayuni. 2020. Telaah Tipe Higher Order Thinking Skills (Hots) Dalam
Penyusunan Soal Bahasa Indonesia Program Inklusi Smkn 2 Malang. Skripsi,
Bidang Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang. Pembimbing I : Dr. Luluk Sri Agus
Prasetyoningsih, M.Pd; Pembimbung II : Dr. Ari Ambarwati, M.Pd.
Kata Kunci : analisis, HOTS, pendidikan inklusi
Pelaksanaan pendidikan ini tidak hanya diberikan kepada peserta didik
reguler, melainkan menyeluruh termasuk peserta didik yang diidentifikasi
memiliki kelainan yaitu anak berkebutuhan khusus. Pemerintah telah
mengupayakan pendidikan yang layak untuk anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan kerapa memiliki hubungan erat dengan kemampuan berpikir. Higher
Order Thinking Skills (HOTS) adalah kegiatan berpikir yang tidak terpaku pada
level hafalan dan penyampaian informasi yang telah diketahui, tetapi juga
keahlian mengonstruksi, memahami, dan mengubah pengalaman untuk
memecahkan permasalahan. Melatih peserta didik dalam berpikir tingkat tinggi
berarti menyiapkan pribadi berkualitas diera global.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penerapan penyusunan soal HOTS
pasa Ujian Tengah Semester di program inklusi prodi Akomodasi
Perhotelan.SMKN 2 Malang. Data yang dianalisis berjumlah 150 butir soal.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif studi kasus,
yaitu metode yang melibatkan peneliti secara langsung untuk menganalisi data
yang sedang diteliti. Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan dideskripsikan
dalam bentuk kata-kata. Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti yaitu
menggunakan langkah-langkah konversi data, penyajian data, dan verifikasi data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyusunan soal berbasis HOTS
cukup diimplementasikan oleh guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Telah
memenuhi indikator kognitif HOTS. Indikator yang sering ditemykan kurang
memenuhi dalam penelitian ini adalah indikator pemenuhan syarat mengenai
pemberian stimulus pada soal yang sering kali belum menerapkan materi yang
dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa (pembelajaran kontekstual).
Karakteristik soal yang diimplementasikan masih terbatas pada satu jenis yaitu
pilihan ganda. Dari 150 soal terdapat 58 butir soal HOTS, 30 butir soal MOTS, 56
butir soal LOTS.
Simpulan dari penelitian ini, penerapan butir soal HOTS masih harus
diimplementasikan lebih sesuai dengan indikator penyusunan soal yang
berstimulus kontekstual. Kesesuaian indikator HOTS pada butir soal memuhi
hanya saja pada pembagian materi sedikit terbatas. Karakteristik soal
menggunakan jenis soal satu jenis yaitu piihan ganda.
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini dibahas tentang (1) konteks penelitian yang meliputi,
kemampuan berpikir, Higher Order Thinking Skiil (HOTS), dan pendidikan
inklusi (2) fokus penelitian, (3) tujuan penelitian, (4) kegunaan penelitian, serta
(5) penegasan istilah. Adapun penjabarannya sebagai berikut.
1.1 Konteks Penelitian
Pendidikan adalah suatu proses pengembangan yang dilakukan sebagai
sarana untuk meningkatkan kualitas kehidupan seseorang. Kegiatan yang
dilakukan secara sadar dan terencana untuk menggali suatu ilmu pengetahuan.
Salah satu tugas pemerintah adalah berusaha untuk menciptakan dan mengadakan
sistem pendidikan yang berbasis peningkatan nilai keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan secara umum diperuntukkan kepada setiap individu. Sesuai
dengan yang telah disebutkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwasannya sistem pendidikan nasional
yang telah disusun mampu menjamin pemeraataan pendidikan kesempat
2
pemerolehan pendidikan, dapat meningkatkan mutu manajemen pendidikan guna
menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasioanal, dan global.
Undang-undang mengatur sistem pendidikan untuk menunjukkan bahwa
pendidikan sangat penting sebagai penjamin kemajuan bangsa Indonesia. Undang-
undang juga digunakan sebagai alat untuk mengatur penyelenggaraan pendidikan.
Maka sejalan dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 bab tiga tentang prinsip penyelanggaraan pendidikan yang berbunyi
“pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat”. Pada bab empat
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Hak dan Kewajiban Warga
Negara juga disebutkan “Bahwa setiap warga negara berhak memperoleh
pendidikan yang bermutu dan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat”. Maka
berbagai keadaan menuntut memosisikan pendidikan sebagai kepentingan utama
dalam proses mengembangkan potensi diri.
Pendidikan yang baik harus memiliki tujuan. Salah satunya adalah
memperbaiki kurikulum. Kurikulum harus ditetapkan dan dirancang sebelum
pembelajaran dimulai. Tujuannya agar proses belajar-mengajar dapat berjalan
dengan baik dan terstruktur. (Arikunto, 2018: 61) berpendapat hasil pendidikan
yang baik adalah pendidikan yang mewujudkan tujuan yang mencerminkan hasil
rancangan yang telah disusun sesuai dengan kebutuhan dan kurikulum sekolah.
Pembelajaran di Indonesia berpusat pada ranah kognitif, pembelajaran
dengan sistem menghafal, mendengar, dan mencatat hal-hal yang disampaikan
3
guru. Arikunto (2018: 61) menyatakan cara efektif yang dapat digunakan dalam
menganalisis sebeuah perspektif yang berhubungan erat dengan pendidikan
sehari-hari yaitu ada tiga macam tingkah laku yang dikenal secara umum
kognitif, afektif, dan psikomotor. Pelaksanaan ketiga cara tersebut harus ada
dalam pendidikan di sekolah.
Berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan, tidak
hanya dalam tingkat kognitif saja. Mustika dalam (Wirandani, 2019) sistem
pendidikan di Indonesia berusaha membangun siswa yang tidak hanya memiliki
kompetensi secara akademik tetapi juga memiliki karakter yang sesuai dengan
yang dicerminkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yang membahas Sistem
Pendidikan Nasional. Selain permsalah tingkat berpikir, masih banyaknya
masyarakat yang belum dapat atau mengalami kesulitan dalam memperoleh
kesempatan untuk mendapat dan mengikuti perkembangan pendidikan secara
layak. Tidak tercapainya keadaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
misalnya sebab letak geografis, perekonomian, kesiapan belajar secara fisik dan
mental, seperti yang tergolong kedalam anak berkebutuhan khusus.
Tanggung jawab pemerintah yang tertera pada undang-undang no. 20 Tahun
2003 bab lima pasal 12, peserta didik yang memiliki prestasi dan orang tuanya
yang tidak mampu membiayai pendidikan akan mendapat biaya pendidikan dari
pemerintah. Kewajiban pemerintah menunjang kualitas pendidikan
masyarakatnya. Dalam undang-undang telah diatur mengenai pemerintah
membantu biaya pendidikan bagi masyarakat yang tidak mampu, pendidikan
khusus dan pendidikan layanan khusus, memberi bantuan pada pendidikan dengan
4
cara mengirim tenaga kependidikan yang dapat menjunjang terselenggrakannya
pendidikan yang bermutu.
Pelaksanaan pendidikan ini tidak hanya diberikan kepada peserta didik
reguler, melainkan menyeluruh termasuk peserta didik yang diidentifikasi
memiliki kelainan yaitu anak berkebutuhan khusus. Pemerintah telah
mengupayakan pendidikan yang layak untuk anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan bagi peserta didik yang berstatus memiliki hambatan atau termasuk
dalam kategori siswa berkebutuhan khusus dapat mengikuti anjuran dua cara
yaitu, bergabung dan bersosialisasi dengan anak-anak pada umumnya disekolah
reguler dengan basis sekolah pendidikan inklusif, atau mengikuti cara kedua yaitu
mengikuti pendidikan pada satuan pendidikan khusus atau sekolah luar biasa.
Pendidikan adalah bentuk aktivitas dari belajar mengajar, implementsinya
terletak pada kemampuan berpikir. Garnida (2018: 31) menjelaskan pendidikan
inklusi atau pendidikan khusus adalah perspektif tentang sistem pendidikan yang
terbuka yang tidak membeda-bedakan hak asasi manusia khususnya dalam hal
fisik mental. Hal ini dapat memberi penghargaan dan pengakuan terhadap
kayanya toleransi dalam dunia pendidikan.
Pemerintah mendorong pendidik untuk mengembangkan keterampilan
berpikir secara utuh yaitu berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skiil).
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kurikulum 2013 Revisi 2017
yang mengharuskan memunculkan PPK (Penguatan Pendidikan Karakter),
5
literasi, 4C (communication, collaborative, critical thinking, creativity), dan
HOTS (Higher Order Thinking Skiil).
Wirandani (2019) menyimpulkan berdasarkan tingkatannya,
kemampuan berpikir dibagi menjadi dua jenis yakni pertama,
kemampuan berpikir tingkat rendah atau Lower Order Thinking
Skiil (LOTS). Kelompok yang tergolong dalam LOTS dimulai dari
level ingatan (C1), pemahaman (C2), dan pengaplikasian atau
penerapan (C3). Kedua, kemampuan berpikir tingkat tinggi atau
Higher Order Thinking Skiil (HOTS). Kelompok yang tergolong
dalam HOTS dimulai dari level analisis (C4), evaluasi (C5), dan
mencipta atau kreasi (C6). Penerapan dalam kegiatan belajar yang
memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi harus disesuaikam
dengan kemampuan siswa.
Higher Order Thinking Skiil (HOTS) adalah kegiatan berpikir yang tidak
terpaku pada level hafalan dan penyampaian informasi yang telah diketahui, tetapi
juga keahlian mengonstruksi, memahami, dan mengubah pengalaman untuk
memecahkan permasalahan. Dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi pula,
peserta didik akan memiliki kecerdasan dalam menganalisis lingkungan,
menganalisis bacaan, bahkan dalam pergaulan. Selain itu, peserta didik akan
mampu mengitegrasikan informasi, serta menggeneralisir pengetahuan yang
dimiliki ke hal lain. Keterampilan berpikir tingkat tinggi menjadi sebuah modal
bagi peserta didik dalam menghadapi kehidupan yang jauh lebih komplek dimasa
depan. Melatih peserta didik dalam berpikir tingkat tinggi berarti menyiapkan
pribadi berkualitas diera global.
Berkaitan dengan Higher Order Thinking Skiil (HOTS) atau berpikir tingkat
tinggi untuk saat ini masih jarang digunakan dan dikembangkan baik dari segi
penilaian yang berbentuk bentuk soal mengukur tingkat berpikir dan kemampuan
siswa. Sama halnya dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Herawati
6
(2014) dalam penelitiannya dijelaskan bahwa bentuk penilaian yang digunakan di
sekolah-sekolah tersebut masih belum mengembangkan kemampuan level
berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skill ) paling utama khusus siswa
kelas tinggi. Terdapat peneliti lain seperti Lestari (2015) dalam penelitiannya
dengan judul “Pengembangan Soal Tes Berbasis HOTS Pada Model Pembelajaran
Latihan Penelitian di Sekolah Dasar”. Dalam penelitiannya melakukan
pengembangan instrumen penilaian butir tes berbasis HOTS. Peneliti sebelumnya
melakukan penelitian tersebut dikarenakan masih banyak guru yang belum
menguasai dan begitu memahami basis pengembangan secara mendetail
mengenai penyusunan butir tes yang berbasis melatih siswa berpikir tingkat
tinggi. Penelitian tersebut dimulai daei melakukan pengembangan dari sudut
perspektif proses pengetahuan (analisis, evaluasi, mencipta atau mengkreasi)
yang terdapat dalam Taksonomi Bloom revisi.
Selanjutnya (Malawi, 2019) menyatakan :
“penulis soal umumnya memiliki kecenderungan untuk menulis soal-soal
yang menuntut perilaku ingatan karena mudah dalam penulisan soalnya
dan materi yang hendak ditanyakan juga mudah diperoleh secara langsung
dari buku pelajaran. soal-soal yang mengukur ingatan kurang memberi
dorongan kepada peserta didik untuk belajar lebih giat dalam
mempersiapkan dirinya menjadi anggota masyarakat yang keatif dimasa
depan”.
Pendidikan merupakan pembentuk generasi penerus bangsa di masa depan.
Pendidikan menjadi unsur terpenting untuk mempersiapkan kemampuan manusia
untuk berpikir kreatif di masa depan, serta guru menjadi satu poin terpenting
dalam peningkatan proses pendidikan. Implementasi pembelajaran akan lebih
efektif jika sisiwa diberikan pendorong untuk belajar berbasis pemecahan
7
masalag. Pemahaman materi oleh siswa tidak hanya terpacu pada ingatan dan
pemahaman saja, melainkan siswa dapat melakukan kegiatan analisis, evaluasi,
dan mengkreasikan atau mencipta suatu pemahaman dengan baik, sehingga
keuntungan siswa yaitu dapat memiliki keterampilan berpikir kritis atau Higher
Order Thinking Skiil (HOTS) .
Sani dalam (Salam, 2019) menyatakan “merujuk pada taksonomi Bloom
yang direvisi oleh Anderson dan Krathwohl dianggap sebagai dasar bagi berpikir
tingkat tinggi. Berlandaskan pada taksonomi Bloom (revisi), terdapat urutan
tingkatan berpikir (kognitif) dari tingkat rendah ke tingkat tinggi. Tiga indikator
dalam ranah kognitif yang menjadi bagian dari keterampilan berpikir tingkat
tinggi atau higher order thinking yaitu menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan
mencipta (C6). Sedangkan tiga indikator lain dalam ranah yang sama, yaitu
mengingat (C1), memahami (C2), dan menerapkan (C3) masuk dalam tahapan
intelektual berpikir tingkat rendah atau lower order thinking”.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh penyusunan soal
HOTS oleh guru Bahasa Indonesia juga belum maksimal karena keterbatasan
waktu dan minimnya kemampuan guru dalam membuat soal yang berkualitas. Hal
ini yang demikian membuat siswa hanya sebagai penerima dan hanya
mendengarkan di tempat duduk di kelas pada saat pembelajaran berlangsung.
Selain itu dampak lainnya adalah membuat kemampuan siswa dalam mengerjakan
soal hanya terbatas pada soal jenis kategori mudah dan sedang. Sehingga peserta
didik kurang tanggap dalam menyelesaikan masalah, kurang senang belajar
dengan model diskusi yang dapat menemukan pemahaman sendiri, belum
8
menguasai teknik untuk mempertahankan opini, dan kurang terstimulus untuk
memecahkan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan keterampilan berpikir
tinggi.
Penelitian terdahulu berikutnya ditulis oleh (Salam:2019) menyatakan
bahwa keterampilan guru Bahasa Indonesia dalam menyusun soal dapat dikatakan
termasuk dalam kategori baik, namun masih terdapat beberapa indikator yang
yang memiliki kualitas standar cukup. Selain itu dijeskan bahwa guru juga
mengalami kesulitan dalam penyusunan. Seperti kurangnya sosialisasi tentan
penyusunan soal HOTS guru Bahasa Indonesia, terbatasnya waktu guru untuk
menyusun soal HOTS dikarenakan waktu tersita banyak untuk kegiatan belajar
mengajar.
Oleh karena itu, peneliti ingin mencari tahu dan memecahkan persoalan
yang dihadapi guru terkait penyusunan soal Ujian Tengah Semester mata
pelajaran Bahasa Indonesia khususnya di program inklusi. Berbeda dengan
penelitian sebelumnya, penelitian ini terfokus pada program inklusi untuk
memperbaiki penelitian sebelumnya dan memberikan pembaruan dalam penelitian
penyusunan soal Bahasa Indonesia kelas X dan XI berbasis HOTS. Selain
pembaruan dalam program inklusi, peneliti tertarik untuk menggali model
penyusunan soal di jenjang Sekolah Menengah Kejuruhan (SMK). Peneliti
memilih untuk melakukan penelitian di SMKN 2 Malang dan sekolah menerima
peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun psikologi. Peserta didik yang
tergolong dalam katergori Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) akan menjalani
penjaringann terlebih dahulu guna mengetahui kemampuaan dan jenis hambatan
9
yang dialami. Dengan begitu sekolah dapat mengelompokkan peserta didik dalam
kelas di program inklusi yang sesuai dengan hambatan.
Maka peneliti melakukan penelitian yang didalamnya terdapat peserta didik
yang menyandang anak berkebutuhan khusus. Latihan soal berbasis HOTS juga
diperlukan oleh peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dalam belajar di
SMKN 2 Malang. Selaian pembaruan tersebut peneliti juga ingin meneliti kendala
yang dialami oleh guru Bahasa Indoensia khususnya guru pendamping peserta
didik ABK sehingga penelitian ini nantinya dapat membantu memberikan
informasi dan memberikan solusi agar setiap guru mampu menyusun soal HOTS
yang dikhususkan kepada peserta didik yang memiliki hambatan dalam belajar
dengan baik serta dapat mengimplementasikan ke peserta didik guna menghadapi
perkembangan zaman.
1.2 Fokus Penelitian
1.2.1. Penerapan Higher Order Thinking Skiil (HOTS) dalam latihan soal
Bahasa Indonesia di program inklusi SMKN 2 Malang.
1.2.1 Kesesuaian antara butir soal tipe Higher Order Thinking Skiil (HOTS)
dengan indikator pencapaian kompetensi dalam latihan soal Bahasa
Indonesia di program inklusi SMKN 2 Malang.
1.2.2 Karakteristik soal tipe Higher Order Thinking Skiil (HOTS) dalam
latihan soal Bahasa Indonesia di program inklusi SMKN 2 Malang.
10
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Untuk mendeskripsikan penerapan soal tipe Higher Order Thinking
Skiil (HOTS) dalam latihan soal Bahasa Indonesia di program inklusi
SMKN 2 Malang.
1.3.2 Untuk mendeskripsikan kesesuaian antara butir soal tipe Higher Order
Thinking Skiil (HOTS) dengan indikator pencapaian kompetensi dalam
latihan soal Bahasa Indonesia di program inklusi SMKN 2 Malang.
1.3.3 Untuk mendeskripsikan karakteristik soal tipe Higher Order Thinking
Skiil (HOTS) dalam latihan soal Bahasa Indonesia di program inklusi
SMKN 2 Malang.
1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan
Pada ruang lingkup penelitian hal-hal yang dikemukakan adalah analisis
butir soal, kesesuaian indikator soal dan karakteristik butir soal yang tergolong
dalam Higher Order Thinking Skiil (HOTS) yang terdapat pada soal Ujian
Tengah Semeter kelas X dan kelas XI mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas X
dan XI jurusan akomodasi perhotelan di program inklusi. Siswa program inklusi
kelas X jurusan akomodasi perhotelan berjumlah enam siswa dengan tipe, yaitu
satu siswa autis, satu siswa disleksia, tiga siswa tunagrahita dan satu siswa
attention deficit disorder (ADD). Sedangkan kelas XI jurusan akomodasi
perhotelan berjumlah tujuh siswa dengan tipe, yaitu satu siswa autis, satu siswa
down syndrome, empat siswa tunagrahita, dan satu siswa disleksia.
11
Uraian mengenai tiga hal tersebut dikemukakan secara singkat dan ringkas.
Peneliti membatasi analisis data butir soal yang tergolong dalam kriteria HOTS.
Butir soal yang tidak termasuk dalam kriteria HOTS tidak dijabarkan. Namun,
hanya disebutkan pada tabel analisis soal.
Pertimbangan yang dilakukan oleh peneliti dalam mengambil data soal
Ujian Tengah Semester (UTS) karena pertimbangan dari guru pendamping mata
pelajaran Bahasa Indonesia program inklusi kelas X dan XI jurusan akomodasi
perhotelan SMKN 2 Malang. Faktor pertimbangan tersebut adalah dikarenakan
terjadinya pandemi Covid-19, yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan ujian
akhir semester. Sehingga, Soal Ujian Tengah Semester (UTS) menjadi latihan
ujian untuk siswa di program inklusi dalam rangka persiapan menuju tahap Ujian
Akhir Semester (UAS). Jika siswa sudah dilatih dalam ujian tengah semester
maka pada tahap ujian akhir semester siswa memiliki persiapan yang matang dan
dapat mengerjakan ujian dengan lancar.
Keterbatasan penelitian pada saat terjadi pandemi Covid-19, menjadikan
peneliti mendapat kesulitan dalam mendapat data pada proses pengembangan dan
pengimplementasian soal HOTS oleh guru pendamping mata pelajaran Bahasa
Indonesia di program inklusi kepada siswa inklusi. Hal ini kurang digalih oleh
peneliti dikarenakan pembelajaran beralih pada sistem daring. Penggalian data
dilakukan dengan wawancara daring dengan guru pendamping inklusi.
12
1.5 Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua kegunaan yaitu secara teoritis dan
praktis, berikut penjabarannya:
1) Kegunaan Teoritis
a. Memberikan perspektif baru mengenai kurikulum modifikasi yang
sesuai dengan kurikulum 2013 revisi 2017 mengenai penyusunan
soal berbasis HOTS bagi sekolah yang memiliki program inklusi di
dalamnya.
b. Memberikan perspektif baru mengenai penerapan pembelajaran
berbasis kontekstual dan berpikir kritis bagi siswa yang memiliki
kebutuhan khusus.
c. Menurut Widana (2017: 2) penerapan basis HOTS dapat
memberikan penyempurnaan kurikulum 2013 yang telah
dirancang. Penyempurnaan standar isi materi, yang tidak sesuai
akan diganti. Standar penilaian disesuaikan dengan mengadaptasi
penilaian hasil belajar yang dapat meningkatakan kemampuan
berpikir tingkat tinggi (HOTS).
2) Kegunaan Praktis
a. Bagi Guru Pembimbing Khusus Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Guru pendamping khusus inklusi dapat lebih mengembangkan
13
keahlian dalam penyusunan soal tipe HOTS dengan kriteria yang
disesuaikan dengan hambatan siswa inklusi. Serta dapat menyusun
soal HOTS level ringan, sedang dan tinggi untuk siswa autis,
disleksia, tunagrahita, down syndrome, dan attention deficit
disorder. Sehingga latihan soal yang telah disusun dapat menjadi
salah satu teknik penilain untuk mengukur kemampuan siswa
sesuai dengan kebutuhan dan hambatannya. Dengan demikian akan
terlihat progres belajar siswa setiap akhir evaluasi per semeter.
b. Bagi Guru Kelas Reguler
Guru yang mengajar pada kelas reguler dapat memberikan
perhatian yang sama dengan memberlakukan sistem pembelajaran
yang adil. Adil berarti sesuai dengan porsi kondisi siswa. Keahlian
tersebut dapat mengembangkan kemampuan guru kelas reguler
dalam merancang strategi pembelajaran berbasis HOTS yang dapat
diimplementasikan pada siswa reguler dan siswa inklusi ketika
siswa inklusi melakukan kegiatan belajar membaur dalam kelas
reguler. Poin ini dapat menjadi poin unggul bagi guru karena
memiliki beragam strategi pembelajaran.
c. Bagi Sekolah
Dapat meningkatkan kualitas sekolah dengan menyodorkan pada
bidang kurikulum modifikasi khusus program inklusi. Dengan
perancangan kurikulum yang bagus dan disesuaikan dengan
hambatan siswa inklusi yang berbeda-beda. Sehingga dapat
14
meyakinkan orangtua bahwa sekolah mampu memberikan
pelayanan pendidikan guna meningkatkan kualitas belajar siswa
program inklusi.
d. Bagi Peneliti
Peneliti dapat mengembangkan strategi pembelajaran sebagai calon
pendidik yang siap memberikan pendidikan secara merata baik
siswa reguler ataupun siswa berkebutuhan khusus. Dengan
demikian tenaga pendidik siap meningkatkan mutu pendidikan
yang diterapkan pada setiap kemampuan siswa yang berbeda-beda.
Terutama dalam keahlian penyusun pembelajaran dan soal dengan
tipe Higher Order Thinking Skill atau kemampuan berpikir tingkat
tinggi khususnya di bidang pendidikan program inklusi.
e. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat memberikan deskripsi mengenai permasalah dan pokok
bahasan pada penelitan-penelitiaan sebelumnya yang berkenaan
dengan pembelajaran dan penyusunan soal berbasis HOTS Bahasa
Indonesia terutama pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruhan
serta diperuntukkan bagi siswa berkebutuhan khusus atau sekolah
yang memiliki program inklusi. Sehingga, dapat melahirkan
pengembangan penelitian baru dalam bidang pendidikan.
15
1.6 Penegasan Istilah
1) Analisis Soal
Kegiatan analisis soal merupakan kegiatan yang dilakukan unruk
mengidentifikasi secara mendalam dalam penyusunan butir soal agar
didapatkan soal yang bermutu dan berkualitas.
2) Higher Order Thinking Skiil HOTS
Higher Ordert Thinking Skiil (HOTS) merupakan cara berpikir yang
lebih tinggi daripada menghafalkan fakta, megemukakan fakta, atau
menerapkan peraturan, rumus, dan prosedur.
3) Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan penandidikan yang berbasis
pendidikan yang memberikan kesamaam dalam dunia pendidikan bagi
siswa-siswa yang memiliki keterbatasan mental dalam artian tergolong
dalam siswa berkebutuhan khusus.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Setelah melalui tahapan penelitian dan data yang diperoleh, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1) Penerapan soal berbasis Higher Order Thinking Skiil (HOTS) pada
penyusunan soal Ujian Tengah Semester (UTS) mata pelajaran Bahasa
Indonesia kelas X dan XI di program inklusi SMKN 2 Malang dengan
menggunakan pedoman kurikulum modifikasi yang diperuntukkan siswa
berkebutuhan khusus masih terbilang kurang dalam menerapkan butir soal
yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Karena perlu adanya
pembagian kembali mengenai level HOTS ringan, sedang, dan tinggi.
Sehingga soal berbasis HOST dapat diterima dan dikerjakan siswa sesuai
dengan hambatan yang dialami siswa.
2) Guru pendamping mata pelajaran selaku penyusun soal menyusun soal
HOTS dan LOTS dengan kapasitas yang terbilang masih kurang cukup
seimbang untul dapat mengukur kemampuan kognitif siswa berkebutuhan
khusus dari level kognitif rendah, level kognitif menengah, dan level
kognitif tinggi.
3) Penyusunan soal berbasis Higher Order Thinking Skils (HOTS) pada butir
soal Ujian Tengah Semester (UTS) mata pelajaran Bahasa Indonesia pada
program inklusi menerapkan pedoman penyusunan yang berdasarkan
indikator penyusunan soal berbasi HOTS khusus program inklusi. Dalam
butir soal yang telah disusun oleh guru pendamping mata pelajaran secara
kesuluruhan cukup sesuai dengan indikator penyusunan soal HOTS.
4) Pada indikator tentang stimulus soal dan level kognitif soal masih banyak
yang dibawah kriteria. Jumlah soal yang berbasi HOTS masih perlu
ditingkatkan lagi dalam penyusunan soal. Dan dalam pemberian stimulus
soal harus disesuaikan dengan pedoman agar siswa terlatih untuk
berliterasi dan berpikir kritis sesuai dengan versi kemampuan level siswa
berkebutuhan khusus dari level HOTS ringan, sedang, dan tinggi.
5) Karakteristik soal berbasis Higher Order Thinking Skiil (HOTS) pada soal
Ujian Tengah Semester (UTS) mata pelajaran Bahasa Indonesia program
inklusi di SMKN 2 Malang yang disusun guru pendamping mata pelajaran
belum cukup sesuai dengan karakteristik soal HOTS.
6) Butir soal dalam menerapkan tiga poin karakterisktik utama soal HOTS
yaitu : Pertama, soal perlu dikembangkan lagi dalam mengukur
kemampuan tingkat tinggi. Namun, guru juga telah mengimbangi dengan
butir soal yang berlevel rendah atau LOTS. Karena soal ditujukan kepada
siswa yang memiliki hambatan dalam berpikir sehingga soal disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuha khusus. Kedua,
menerapkan permasalahan berbasis kontekstual yang dekat dan mudah
dipahami serta dibayangkan siswa berkebutuhan khusus. Namun, poin ini
masih tidak banyak diterapkan dalam soal tertulis yang telah disusun oleh
guru. Ketiga, dalam pedoman soal HOTS penyusunan soal harus memiliki
beberapa jenis soal. Namun, pada program inklusi pada Ujian Tengah
Semester guru hanya menggunakan satu ragam soal saja yaitu soal pilihan
ganda. Maka dari itu dapat dinyatakan belum memenuhi syarat dalam
karakteristik soal HOTS.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, disampaikan beberapa saran sebagai berikut :
1) Bagi Guru Pembimbing Program Inklusi
Guru diharapkan dapat mengolah kelas yang nyaman untuk belajar siswa
berkebutuhan khusus. Menciptakan pembelajaran yang sederhana,
menyenangkan, dan mudah untuk diikuti oleh siswa yang memiliki
hambatan khusus. Guru diharapkan dapat memberikan stimulus yang
dapat melatih siswa berkebutuhan khusus untuk berpikir kritis (HOTS).
Dan lebih mengintegritaskan Higher Order Thinking Skiil (HOTS) dalam
penyusunan soal-soal latihan atau ujian sekolah sesuai dengan kurikulum
yang dibuat. Serta lebih menekankan pada pengembangan soal berbasis
HOTS yang dibagi secara merata yang dimulai dari level HOTS ringan,
sendang, dan tinggi.
2) Bagi Guru Kelas Reguler
Siswa berkebutuhan khusus tidak selalu belajar di ruang sumber atau
ruang khusus, namun perlu adanya pembauran dengan siswa reguler.
Tujuannya untuk melatih dan membiasakan keadaan dan situai siswa
belajar dengan prosedur yang sama dengan siswa reguler. Guru pengajar
di kelas reguler diharapkan dapat memberikan perhatian dan fokus yang
adil kepada siswa. Sehingga siswa berkebutuhan khusus merasakan
kesamaan dengan siswa reguler. Serta menerapkan strategi pembelajaran
yang dapat diterima oleh siswa reguler dan siswa kelas inklusi. Maka dari
itu perlunya koordinasi dengan guru pembimbing khusus, agar
terciptanya pembelajaran yang efektif dan menyenangkan.
3) Bagi Sekolah
Diharapkan sekolah memfasilitasi baik dari sarana dan prasarana yang
mendukung siswa berkebutuhan khusus dalam belajar. Sekolah yang
berbasis inklusi siap merencanakan kurikulum belajar yang sesuai
dengan kebutuhan siswa, baik dari kelas reguler dan kelas program
inklusi. Serta sekolah diharapkan dapat memfasilitasi siswa dengan guru
pendamping yang sesuai dengan jumlah siswa berkebutan khusus yang
ada di sekolah. Minimal jumlah guru dan siswa seimbang. Sehingga tidak
mengalami kekurangan. Dan guru akan lebih fokus dalam mengajar
sehingga perkembangan siswa bagus dan meningkat setiap semester.
Sekolah memberikan guru yang sesuai dengan spesialis mata pelajaran
yang akan diajarkan hal ini diharapkan dapat menyampaikan
pembelajaran secara maksimal. Serta perlu diadakannya perencanaan
kurikulum secara mendalam yang melibatkan kepala sekolah, waka
kurikulum, guru mata pelajaran kelas reguler, guru pembimbing khusus,
dan orang tua siswa inklusi. Sehingga dapat menciptakan kurikulum yang
sesuai dan membawa peningkatan bagi seluruh siswa.
4) Dalam menerapkan sistem Higher Order Thinking Skiil (HOTS) perlu
melalui tahapan-tahapan yang harus dipenuhi serta direncanakan dengan
sebaik-baiknya. Dengan memulai merancang kurikulum khusus siswa
berkebutuhan khusus, program belajar khusus siswa berkebutuhan
khusus, penyusunan soal dan metode evaluasi siswa berkebutuhan
khusus, mengelompokkan jenis hambatan yang dialami siswa,
merancancang kelas khusus, menyiapkan guru pendamping untuk fokus
pada siswa berkebutuhan khusus.
5) Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Perlu adanya pembaruan dalam telaah butir soal HOTS dan
pengembangan instrumen penilaiaan butir soal berbasis HOTS.
Terutama pada pengolahan butir HOTS yang dikhususkan pada kata
kerja operasional penyusunan soal yang berbasis HOTS. Pembaruan
tersebut perlu adanya untuk menyeimbangkan butir soal yang
termasuk ke dalam Lower Order Thinking Skiil (LOTS) dan butir soal
yang berbasis Higher Order Thingking Skiil (HOTS). Serta adanya
pembaruan dalam instrumen penilaiaan dalam mengukur butir soal
yang reliable, objektif, dan memiliki praktikabilitas yang tinggi.
b. Lebih banyak lagi melakukan pengembangan pada pembelajaran
Bahasa Indonesia pada sekolah yang memiliki program inklusi.
Banyak kajian yang perlu digalih mengenai pembelajaran yang
dikhususkan untuk siswa yang memiliki hambatan secara mental.
Dalam tingkat berpikir, konsep pembelajaran yang sesuai, dan
kurikulum yang sesuai dengan siswa berkebutuhan khusus.
c. Pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan juga masih sedikit
penelitian yang mengarah pada jenjang tersebut.
d. Perlu adanya perencanaan cadangan dalam penelitian. Dikhawatirkan
terjadi hambatan yang akan memperlambat kegiatan penelitian.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmadi, Rulam. 2015. Pengantar Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Arikunto, Suharsimi. 2018. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi
Aksara.
Basuki, Ismet., Hariyanto. 2015. Asesmen Pembelajaran. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Garnida, Dadang. 2018. Pengantar Pendidikan Inklusif. Bandung: Reflika
Aditama.
Krathwohl, D. R.2001. A revision of Bloom’s Taxonomy: an overview– Theory
Into Practice, College of Education, The Ohio State University Pohl. 2000.
Learning to think, thinking to learn: ( tersedia di www.purdue.edu/geri
diakses 19 Juni 2019).
Lay Kekeh Marthan. (2007). Manajemen Pendidikan Inklusif. Jakarta: Depdiknas.
Lestari, A. 2018. Analisis Soal Tipe Higher Order Thinking Skill (HOTS) Soal
Buatan Guru Ujian Akhir Semester (Uas) Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Sma Negeri 20 Medan Tahun Pembelajaran 2017/2018 (Doctoral
dissertation, UNIMED).
Malawi, Ibadullah., Kadarwati, Ani., & Permatasari, Dian. 2019. E-book: Teori &
Aplikasi Pembelajaran Terpadu. CV. AE Media Grafika.
Prasetyoningsih, Luluk Sri Agus. 2015. Tindak Komunikasi Terapis dalam
Intervensi Klinis Anak Autis Gangguan Komunikasi. Disertasi tidak
diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Setiawati, S. 2019. Analisis Higher Order Thinking Skiil (HOTS) Siswa Sekolah
Dasar dalam Menyelesaikan Soal Bahasa Indonesia. In Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan KALUNI (Vol. 2).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. 33 hlm.
Widana, I Wayan. 2017. Modul Penyusunan Soal Higher Order Thinking Skill
(HOTS). Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wahyuni, Sri., Ibrahim, Syukur. 2012. Asesmen Pembelajaran Bahasa. Bandung/;
Reflika Aditama.
Wirandani, Tari., Kasih, Cendra Ayu., Latifah. 2019. Analisis Butir Soal Hots
(High Order Thinking Skill) Pada Soal Ujian Sekolah Kelas XII Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia Di Smk An-Nahl. Jurnal Parole (jurnal
pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia, (Online) 2 (04),
https://journal.ikipsiliwangi.ac.id/index.php/parole/article/view/2895/pdfdia
diakses tanggal 11 November 2019.
Salam, Solikin Muhamad. 2019. Penyusunan Soal HOTS Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri di Kota Tulungagung. Disertasi tidak diterbitkan.
Malang:Unisma.
Suparno. (2007). Bahan Ajar Cetak Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional.
Syafrida Elisa & Aryani Tri Wrastari. (2013). Sikap Guru terhadap Pendidikan
Inklusi ditinjau dari Faktor Pembentuk Sikap. Jurnal Psikologi
Perkembangan dan Pendidikan Vol.2, No. 01, Februari 2013. Hlm 3.
Sumber Soal :
Penyusun Dewi Rossita Sari, S.Psi. 2019/2020. Ujian Tengah Semester Bahasa
Indonesia Kelas X dan XI Prodi Akomodasi Perhotelan Program Inklusi. SMKN 2
Malang.