40
Jurnal IDe Jurnal IDe Inspirasi Demokrasi Suara KPU Jawa Timur Mengawal Demokrasi Membangun Negeri KPU JAWA TIMUR 07 edisi Mei 2016 PEREMPUAN dan PEMILU DEMOKRASI

Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

  • Upload
    vokhanh

  • View
    226

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

Jurnal IDeJurnal IDeInspirasi Demokrasi

Suara KPU Jawa Timur

Mengawal Demokrasi Membangun Negeri

KPU JAWA TIMUR

07

ed

isi

Me

i 2

01

6

PEREMPUAN

danPEMILUDEMOKRASI

Page 2: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

phak

i i hAnda memiliki satu hak pilih pada saat pemilu.

Satu suara Anda berpengaruh pada kemajuan bangsa.

Page 3: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka
Page 4: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka
Page 5: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 1

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas terbitnya Jurnal Ide (Inspirasi Demokra-si) Edisi bulan Mei Tahun 2016. Ucapan terima kasih Kami sampaikan ke-pada para Komisioner, Sekretaris, dan seluruh Staf Komisi Pemilihan Umum

Jawa Timur (KPU Jatim), utamanya yang terlibat di dalam penyusunan Jurnal Ide edisi bulan Mei. Terima kasih Kami haturkan pula kepada KPU kabupaten/ kota yang telah berkontribusi dalam penyusunan jurnal.

Jurnal Ide Suara KPU Jatim, merupakan wadah bagi pemikiran dan hasil pengala-man penyelenggara demokrasi di Jawa Timur. Jurnal Ide edisi kali ini mengang-kat tema “Perempuan, Demokrasi, dan Pemilu”. Dalam pembahasan pemilu tidak terlepas dari beragam permasalahan, salah satunya adalah wacana keterwakilan perempuan di panggung politik elektoral Indonesia. Dimana sejak adanya Un-dang-undang Nomor 8 Tahun 2012, keterwakilan minimal 30% perempuan telah dijamin oleh negara serta menjadi salah satu syarat verifikasi faktual bagi partai politik agar dapat lolos menjadi peserta pemilu. Kondisi ini patut dan sangat pantas untuk diperjuangkan, mengingat prakteknya selama ini pihak yang duduk di parlemen maupun pemerintahan masih sangat didominasi oleh kaum laki-laki. Sementara itu, kaum perempuan sendiri masih disibukkan dengan konstruksi budaya dan relasi sosial politik yang masih bias gender, serta keadaan yang terindikasi menyimpan potensi untuk tetap memarjinalisasi dan mendominasi perempuan. Selain itu, meski perundangan kuota 30% keterwakilan perempuan telah diimplementasikan dari Tahun 2004, namun bila kembali ditilik dari aspek sejarah pertumbuhan representasi politik perempuan di parlemen, faktual masih berlangsung secara fluktuatif.

Menimbang representasi politik perempuan merupakan satu elemen penting yang patut diperjuangkan jika Kita ingin menempatkan pada konteks demokrati-sasi Indonesia dalam perspektif demokrasi yang adil dan responsif gender, maka Jurnal Ide ini diantaranya berupaya mengkaji tingkat keterwakilan, peran, par-tisipasi perempuan dalam kerangka demokrasi dan pemilu. Sehingga harapan-nya opini-opini di dalam Jurnal Ide dapat memberikan kontribusi, baik berupa masukan bagi pembuat kebijakan, maupun sebagai tambahan pengetahuan bagi masyarakat.

Tak kalah penting juga Kami sampaikan bahwa isu “Perempuan, Demokrasi, dan Pemilu” ini baru diangkat pada bulan Mei meski peringatan Hari Kartini di bulan April, karena pada bulan April bertepatan dengan proses revisi Undang-undang Pilkada, maka tema tersebut menjadi prioritas untuk didahulukan. Meski begitu kompilasi opini-opini dalam Jurnal Ide edisi bulan Mei juga dilaksanakan pada bulan April, dan baru diterbitkan pada bulan Mei. Sehingga substansi tema tetap up to date dan tidak basi.

Terakhir, Kami tetap menyadari bahwa jurnal ini juga masih terdapat kekurangan-kekurangan. Karenanya segala saran bagi proses perbaikan sangat diharapkan. Akhirnya Kami berharap, semoga Jurnal ini dapat bermanfaat bagi peningkatan kualitas dan kuantitas mutu penyelenggaraan pemilu maupun pengambil kebi-jakan di masa yang akan datang. r

Dari Redaksi

Page 6: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

2

Daftar Isi

Hal 3

Perempuan, Demokrasi,dan Pemilu

Perempuan danRumah Demokrasi

Peningkatan Partisipasi PolitikPerempuan, Sebuah Keharusan

Mengapa Perempuan TidakMemilih Perempuan?

4 Kali Pemilu, 11 AnggotaDewan Perempuan

Partisipasi Politik Perempuandalam Demokrasi di Indonesia

Menggugat Peran Srikandi,Demokrasi di Era Digital

Tingkat Keterpilihan MaksimalPerempuan dalalm Pemilu:Sesuatu Yang Utopia

Wahai Perempuan Indonesia,Jumlahmu Maksimal DibandingLaki-laki, Maksimalkan Kiprahmu!

Perempuan Dalam DimensiPolitik dan Budaya Daerah

Pengarah: Eko Sasmito, Gogot Cahyo Baskoro, Choirul Anam, Dewita Hayu Shin-ta, Muhammad Arbayanto. Penanggung-jawab: HM. E. Kawima. Pemimpin Redaksi: Slamet Setijoadji. Redaktur: Azis Basuki. Sekretaris Redaksi: Dina Lestari. Kontributor: Keluarga Besar KPU se-Jawa Timur. Alamat Redaksi: Badan Hukum, Teknis, Hupmas Sekretariat KPU Provinsi Jawa Timur Jl. Raya Tenggilis No. 1-3 Surabaya.

Hal 9

Hal 6

Hal 15

Hal 24

Hal 31

Hal 12

Hal 20

Hal 28

Hal 34

Page 7: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 3

Demokrasi mempersyaratkan diper-kuatnya dukungan terhadap nilai-nilai persamaan, kebebasan, kesempatan

dan persaingan yang fair dalam praktek pe-nyelenggaraan negara antara laki-laki dengan perempuan. Persamaan berarti kesederaja-tan dan kesebandingan, persamaan juga be-rarti keadilan dan tidak adanya diskriminasi (Zaitunah Subhan,1999). Adanya jaminan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki dalam demokrasi ini memberi peluang, keleluasaan ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi, berkiprah, berperan dan memberikan kontribusi yang sama dengan laki-laki dalam pengambilan kebijakan publik atau dalam tata kelola pemerintahan.

Peran perempuan dalam membangun demokrasi, paling efektif dapat diwujud-kan dengan partisipasi perempuan dalam proses pemilihan umum, karena pemilihan

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum, baik secara lang-sung ataupun melalui perwakilan tanpa membedakan status sosial maupun status gender.

MIFTAKUL ROHMAH, S.Ag, M.Pd.Komisioner KPU Kabupaten Sidoarjo

PEREMPUAN,Demokrasi, dan PEMILU

umum merupakan salah satu prinsip dalam berdemokrasi dan pemilihan umum juga merupakan sistem penyelenggaraan negara yang sesuai dengan amanat konstitusi yang menentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar 1945. Artinya, rakyat-lah yang memiliki kekuasaan yang tertinggi untuk menentukan kebijakan negara, untuk menentukan kepemimpinan politik yang akan mengendalikan lembaga pemerintahan (eksekutif) dan lembaga perwakilan rakyat (legislatif).

Ketentuan konstitusi yang menjamin persamaan, kebebasan dan persaingan demokratis untuk memperoleh kesempa-tan yang sama ini harus diwujudkan secara nyata. Pasal 43 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, misalnya, secara lebih konkrit telah menen-

Page 8: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

4

tukan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memililh dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun faktanya sejak kemerdekaan hing-ga masa reformasi, bangsa Indonesia telah menyelenggarakan delapan kali pemilihan umum, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 dan 1999. Jumlah ca-leg perempuan yang terpilih hanya berkisar 8-10% dari jumlah penduduk perempuan Indonesia sebanyak 51%. (Ida Ayu Utami Pi-dada, 1991). Hal ini menunjukan perempuan hanya menjadi penyumbang suara terbesar dalam partisipasi pemilihan umum tanpa menjadi pengambil keputusan. Fakta-fakta tersebut semakin mendorong adanya per-lindungan terhadap perempuan mengenai kesamaan haknya untuk dapat juga berada pada posisi strategis pembuat keputusan melalui amandemen undang-undang 1945 (Sribudi Eko Wardani, dkk, 2013).

Dengan demikian, hak untuk dipilih dan memilih berdasarkan persamaan hak meru-pakan perintah Undang Undang yang harus dipatuhi. Artinya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pemilu telah memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak sipil dan politik. Hambatan bagi partisipasi perempuan dalam kehidupan politik tidak boleh ditolerir, karena dapat menghambat pertumbuhan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dan mempersulit perkemba-ngan potensi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dan peran perempuan dalam membangun demokrasi.

Kendati demokrasi dan undang-undang telah memberikan jaminan kesetaraan hak bagi warga negara, baik perempuan mau-pun laki-laki, namun dalam implementasi di lapangan, peran perempuan masih belum optimal. Ketidak-optimalan tersebut, antara lain dapat dilihat dari masih minimnya peran perempuan dalam proses pengambilan ke-bijakan publik. Besar kecilnya peran perem-puan dalam pengambilan kebijakan publik ini, pada dasarnya berbanding lurus dengan peningkatan pembangunan demokrasi itu sendiri. Dalam hal ini, tak pelak, perempuan

harus mampu memaksimalkan segala po-tensinya untuk aktif dalam upaya pembangu-nan demokrasi.

Oleh karenanya, kaum perempuan perlu mengkonsolidasikan potensinya, membuat langkah-langkah konkrit dan menggalang dukungan untuk meraih simpati serta secara sistematis menempa diri agar memiliki ka-pasitas, kapabilitas serta akseptabilitas un-tuk memainkan peranan lebih besar dalam kancah politik demi kesejahteraan seluruh rakyat.

Mengapa perempuan harus terlibat di Parlemen (Politik)? Ada beberpa faktor yang menyebabkan kenapa perempuan harus terlibat dalam politik, diantaranya:

1. Perempuan memiliki kebutuhan-kebutu-han khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri, salah satu contohnya, dalam hal peru-musan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan cuti melahirkan dan menyusui bagi para perempuan yang bekerja.

2. Keikutsertaan perempuan sebagai pem-buat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat. Diskriminasi tersebut, misalnya, masih adanya pandangan masyarakat yang me-nempatkan perempuan sebagai second class citizen (warga kelas dua) di bawah laki-laki, atau diskriminasi dalam bentuk tidak memberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berkerja sehingga membatasi ruang gerak perempuan un-tuk berkarya di berbagai bidang.

3. Melalui parlemen, perempuan dapat menghasilkan perubahan yang cepat dan berarti, seperti perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut me-masukkan kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian dari agenda nasional. Semakin banyak perempuan yang memiliki posisi pemegang kebijakan (baik eksekutif maupun legislatif), maka akan semakin banyak melahirkan kebi-jakan atau undang-undang yang memi-hak perempuan. Dengan begitu, diharap-kan banyak persoalan yang menyangkut kepentingan perempuan akan terselesai-kan.

Page 9: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 5

Ada beberapa strategi untuk memperkuat partisipasi politik perempuan. Strategi yang pertama, adalah adanya dukungan konstitusi yang memberikan peluang yang lebih besar bagi peran serta perempuan dalam politik. Penerapan reservation seats harus segera ditingkatkan tidak hanya di tingkat pusat tapi juga di tingkat daerah. Logika semacam inilah yang melahirkan tuntutan besarnya kuota perempuan dalam parlemen yang kemudian menjelma menjadi Undang Undang. Dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 ten-tang Pemilihan Umum Anggota Dewan Per-wakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 ten-tang Partai Politik sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2011, ditetapkan kuota keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai poli-tik adalah sebesar 30%. Pun dalam pasal 8 ayat (2) huruf e Undang Undang Nomor 8 Ta-hun 2012 disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya keterwakilan 30% perempuan di kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagai persyaratan mengikuti pemilu. Bah-kan pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 menyebutkan bahwa dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perem-puan bakal calon. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan lompatan besar bagi perempuan di Indonesia untuk lebih berkip-rah dalam parlemen.

Strategi yang kedua, adalah adanya net-working (jaringan) yang solid antara kaum perempuan. Perempuan yang mendapatkan kesempatan untuk duduk di parlemen tentu saja tidak dapat bekerja efektif tanpa didu-kung oleh sebuah system networking (jarin-gan kerjasama) yang akan mendukung ber-bagai kegiatan mereka. Jaringan kerjasama ini, misalnya, networking dengan sesama pihak perempuan yang duduk di parlemen dari dalam negeri maupun dari luar negeri, atau jaringan kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang concern/memiliki kepedulian terhadap perjuangan perempuan.

Strategi yang ketiga, adalah tersedianya data/informasi tentang status perempuan. Memiliki data dan informasi yang konkrit dan

terpilah adalah suatu keharusan bagi parti-sipasi politik perempuan. Hal ini bukan saja untuk memberikan arah dalam memperke-nalkan aturan aturan atau undang-undang baru atau mengamandemen aturan-aturan dan undang-undang lama, tetapi juga untuk memperkuat posisi tawar mereka terhadap suatu usulan. Bila perempuan memiliki data yang lengkap akan lebih mudah meyakinkan pihak-pihak lain untuk menerima usulan atau ide yang ditawarkan.

Strategi yang keempat, anggota parle-men perempuan harus mampu menjadi role model/panutan sosok pemimpin yang baik di masyarakat. Anggota parlemen perempuan seharusnya juga dapat menjadi narasum-ber tentang berbagai hal khususnya yang berhubungan dengan persoalan-persoalan perempuan dan kemasyarakatan. Oleh kare-na itu perlu peningkatan kualitas anggota parlemen perempuan secara berkelanjutan.

Strategi yang kelima, adanya kesadaran akan kebutuhan konstituen. Suatu kekuatan yang harus dimiliki oleh anggota parlemen perempuan adalah memperoleh keper-cayaan dari konstituennya. Oleh karenanya mereka harus mempererat hubungan de-ngan konstituennya dengan melakukan ber-bagai cara. Misalnya, menjalin komunikasi yang intens dengan pemilih/konstituen dan berusaha memahami kebutuhan-kebutuhan konstituennya. Tidak berhenti di situ saja, anggota parlemen perempuan juga harus bisa merespon harapan ataupun kebutuhan dari konstituennya dengan baik, sehingga konstituen dapat merasakan bahwa suara yang diberikan benar-benar jatuh kepada orang yang tepat.

Strategi yang keenam, anggota perlemen perempuan harus segera melakukan ad-vokasi yang berfokus pada upaya mendesak perubahan sistematik lewat amandemen undang-undang yang kontradiktif terhadap kepentingan kaum perempuan.

Dengan berbagai strategi di atas, apabila perempuan bisa menjalankan secara konsis-ten, maka akan sangat berdampak bagi ke-berhasilan perempuan untuk berkiprah di ra-nah politik dan publik, yang secara otomatis juga mencerminkan peran perempuan dalam membangun demokrasi. r

Page 10: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

6

MAKMUNDivisi Sosialisasi

KPU Kabupaten Gresik

Umar ibnu Khattab pernah me-ngemukakan sebuah statement tentang peran penting perempu-an dalam hubungannya dengan kesuksesan seseorang: “Saat ber-temu dengan orang yang kamu anggap sukses ta nyakan dua hal kepadanya.”

PEREMPUANdan Rumah Demokrasi

Refleksi Keterlibatan Perempuan Dalam Pilkada 2015

Page 11: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 7

Pertama, siapa perempuan yang mela-hirkannya, kedua siapa perempuan yang menjadi pasangan hidupnya. Diakui atau tidak, hingga saat ini kebenaran dari hipo-tesis yang lahir dari khalifah kedua islam itu sulit terbantahkan. Merujuk pada hipotesa inilah kita memahami betapa besar peran dan keterlibatan perempuan dalam kehidu-pan individu.

Bila dirujuk pada referensi kesejarahan di negeri ini, peran dan kiprah makhluk yang disebut perempuan itu juga amat besar. Bah-kan dalam cerita pewayangan yang sering-kali menjadi basis nilai-nilai yang dirujuk oleh mayoritas masyarakat jawa, kiprah seorang perempuan di dunia politik dan kekuasaan juga terbilang sentral. Sebut saja tokoh ber-nama Woro Srikandi, istri Arjuna. Dia digam-barkan sebagai seorang perempuan perkasa yang piawai dalam seni dan strategi perang. Bukan seorang sosok yang hanya ahli dalam bidang semisal memasak, mencuci piring dan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya. Peker-jaan yang seringkali distigmakan secara tidak adil pada perempuan.

Perempuan dalam Demokrasi dan PemiluPeran penting serta partisipasi aktif se-

orang perempuan juga bisa dijumpai dalam setiap upaya membangun demokrasi yang sehat. Hal itu karena sebuah demokrasi -meskipun dalam skala terkecil- butuh par-tisipasi proaktif dari seluruh anggotanya. Demokrasi dalam sebuah rumah tangga adalah salah satu contohnya. Maka untuk kesuksesannya, peran perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan berpijak pada data-data di lapangan, bisa diambil satu kesimpulan, seringkali partisipasi kaum perempuan lebih aktif dibanding laki-laki.

Peran aktif perempuan serta partisipasi-nya dalam mensukseskan sebuah pemilu bisa juga kita telisik dalam setiap ajang pemilu. Di ajang pemilu, ada indikasi kuat yang menun-jukkan bahwa ternyata peran serta kaum hawa jauh lebih kentara daripada kaum adam. Dari tahun ke tahun partisipasi mere-ka mengalami peningkatan dalam grafiknya.

Salah satu hal yang cukup menarik, di se-tiap Pemilu yang diselenggarakan, partisipasi perempuan lebih tinggi daripada partisipasi

kaum lelaki untuk datang ke TPS guna me-nyampaikan aspirasinya. Di Gresik misalnya, partisipasi perempuan dalam pilkada 2015 mencapai 37,31 %. Sementara laki-laki hanya 32,64 %. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa perempuan nyatanya lebih pro-aktif dibanding lelaki dalam upaya menyampaikan aspirasi politiknya.

Partisipasi perempuan juga semakin meningkat dalam berkiprah di ranah politik dan kekuasaan. Dalam ajang pemilihan ang-gota legistatif, semakin banyak perempuan yang berani tampil di panggung politik. Di ta-hun 1999 partisipasi perempuan di parlemen hanya 8 %, yakni hanya 40 dari 500 orang anggota parlemen. Kemudian pada tahun 2004 ada peningkatan menjadi 11,2 %. Ter-dapat 62 dari 550 orang anggota parlemen. Grafik kenaikan tingkat partisipasi perem-puan ini terus berlanjut sehingga pada ta-hun 2009 partisipasi mereka meningkat jadi 18,6 %. Ada 104 anggota parlemen perem-puan dari 560 orang anggota parlemen. Me-nariknya, grafik partisipasi kaum hawa ini justru mengalami penurunan pada pemilu tahun 2014. Tingkat partisipasi yang di masa sebelumnya telah sampai pada 18,6 % justru turun menjadi 17,3 %. Satu fenomena yang jelas menyisakan sebuah pekerjaan rumah bagi kita semua, khususnya para penyeleng-gara pemilu untuk menemukan akar perso-alannya untuk kemudian mencari solusinya. Dengan harapan, di ajang pemilu mendatang proses penurunan tingkat partisipasi perem-puan ini tidak kembali terulang.

Stigma Manipulatif tentang PerempuanKeterlibatan perempuan secara maksi-

mal dalam sebuah demokrasi ternyata sudah eksis, meski seringkali luput dari perhatian kita. Sebab demokrasi dalam prakteknya tidak hanya berlaku di ruang-ruang publik, tapi juga ruang-ruang lain yang skalanya lebih kecil. Semisal ranah domestik dalam sebuah rumah tangga. Dan di dalam ruang domestik ini kentara sekali peran serta dan partisipasi perempuan lebih dominan dibanding laki-laki.

Jika di ranah domestik perempuan fak-tanya bisa terlibat secara penuh, mampu bergandeng-tangan dengan laki-laki untuk

Page 12: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

8

meciptakan sebuah rumah tangga yang demokratis, mestinya di ruang publik mereka juga mampu melakukannya. Memang masih ada stigma yang terkesan kurang adil tentang posisi dan peran seorang perempuan di mata umum. Seperti nasihat yang mengatakan bahwa perempuan itu tidak pantas menjadi pemimpin, perempuan itu hanya layak me-ngurusi masalah-masalah rumah tangga dan pendapat-pendapat miring lainnya. Gem-puran nasihat tidak adil ini lalu mengkristal dan menjadi suatu hal yang oleh perempuan sendiri dianggap suatu kebenaran. Sehingga mereka enggan serta tidak berani tampil di ranah publik.

Keengganan perempuan untuk berkiprah di ranah politik dan kekuasaan juga disebab-kan masih melekatnya stigma bahwa perem-puan tidak layak memiliki tempat di ranah publik. Perempuan hanya patut berkiprah di ranah pribadi yang dalam istilah jawa sumur, dapur dan kasur. Stigma yang terkesan mengecilkan peran perempuan itu bila dila-cak akan bermuara pada pembagian wilayah dalam berkiprah yang pernah dibuat oleh penguasa di masa kolonial.

Untunglah, beberapa waktu yang lalu te-lah terbit sebuah buku yang merupakan hasil kajian serta pelacakan historitas perempuan oleh Peter Carey dan Vincent Houben yang hasil pelacakan kesejarahan perempuan sam-pai pada satu kesimpulan bahwa sebelum era Daendels banyak perempuan di negeri ini yang memiliki pengaruh dan peran yang sa-ngat besar bagi kelangsungan politik sebuah kerajaan. Misalnya saja kerajaan Mataram

dibawah kekuasaan Amangkurat I. Anak Sul-tan Agung itu memang tidak terlalu percaya pada panglima-panglima Mataram laki-laki. Sehingga dia, untuk menjadi pengawal pri-badinya, merekrut para perempuan tangguh yang sudah terlatih. Bahkan sebelum Perang Jawa, di Surakarta sudah muncul “korps Sri-kandi” yang semuanya adalah perempuan-perempuan terlatih dan memiliki peran pen-ting dalam mengamankan dan melindungi raja (Istikhari/JP/01/05/2016) .

Adagium yang mengatakan bahwa seja-rah adalah milik yang mereka yang menang memang ada benarnya. Di saat Daendels menjadi gubernur Belanda yang menjajah negeri ini, dia membuat semacam dikotomi yang tidak adil tentang peran yang harus diberikan perempuan dalam berbangsa dan bernegara. Daendels mengatakan bahwa “perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum dan terhadap perem-puan hanya ada urusan pribadi.”

Akhirnya, kesuksesan pemilu adalah salah satu syarat penting bagi terciptanya sebuah demokrasi yang sehat. Dan hal tersebut ada-lah keinginan serta cita-cita kita bersama untuk membangun negara demokratis yang semakin kokoh. Sehingga usaha menyukses-kan pemilu bukan semata-mata merupakan tanggung jawab para penyelenggara, tapi juga tanggung jawab kita semua. Sehingga seluruh warga negara ini diharapkan juga semakin pro-aktif dan berpartisipasi secara maksimal dalam setiap upaya menyukseskan pemilu. Semoga. r

Page 13: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 9

Pada hakekatnya setiap warga negara memiliki hak politik yang sama, tidak membedakan suku, ras, agama, jenis

kelamin dan struktur diferensiasi sosial lain-nya. Perempuan merupakan salah satu seg-mentasi kelompok stategis dalam pendidikan politik. Pemaknaan politik bagi perempuan dapat dipahami sebagai proses pengambilan keputusan yang terjadi dimana saja dan ka-pan saja. Politik berlangsung dalam kehidu-pan sehari-hari termasuk yang berlangsung dalam ruang privat (the personal is political). Bagi perempuan politik formal dan informal selalu berdampak dan terkait, misalnya ke-naikan harga BBM berpengaruh dalam pe-ngelolaan keuangan dan manajemen rumah tangga. Namun demikian dunia politik se-ringkali mengabaikan kebutuhan dan aspirasi perempuan yang dianggap wilayah privat, bukan formal. Hal inilah yang akhirnya mela-tarbelakangi pentingnya perempuan berpoli-tik, karenanya perempuan bisa membawa isu perempuan dalam pengambilan keputusan

Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan,

SEBUAH KEHARUSAN

ANIS IVA PERMATASARI, SPDivisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih

dan Pengembangan InformasiKPU Kota Kediri

9

yang berdampak luas bagi masyarakat.Isu-isu perempuan yang berdampak lang-

sung baik secara biologis maupun sosial dian-taranya adalah kesehatan reproduksi, kanker payudara, kanker mulut rahim, kematian ibu melahirkan, penyediaan ruang menyusui, perawatan dan perlindungan anak, tenaga kerja perempuan dan sebagainya. Sedang-kan isu strategis jangka panjang misalnya kebijakan affirmatif action bagi calon legis-latif perempuan, ketimpangan keterwakilan politik perempuan, kesetaran gender dan kebijakan sensitif gender lainnya. Selain itu masih tingginya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan yang dipicu oleh berbagai faktor diantaranya akses, partisipasi, kontrol/hubungan kuasa dan penerima manfaat men-dorong pentingnya ada wadah yang mampu memberi kesempatan perempuan berpolitik yang terfasilitasi oleh Negara. Salah satu sa-rananya adalah melalui Pemilu.

Pemilihan umum yang selanjutnya dis-ebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan

Politik dalam pendekatan moral didefinisikan sebagai sesuatu yang mulia karena fungsi politik itu sendiri adalah kegiatan un-tuk mendiskusikan dan merumuskan good society (Cholisin dkk, 2006 : 3). Politik dalam pendekatan kekuasaan masih dari sumber yang sama disebutkan sebagai cara-cara untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, sehingga manusia sebagai warga negara memiliki cara-cara untuk dapat memperoleh kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan tersebut.

Page 14: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

10

kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indo-nesia berdasarkan Pancasila dan Undang Un-dang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai sarana yang sah bagi warga negara untuk mempertahankan atau mengganti se-cara damai dan bermartabat pemimpin atau wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Memberikan kesempatan bagi warga negara terbaik untuk memimpin masyarakatnya da-lam mewujudkan cita-cita bersama. Pemilu juga merupakan bagian yang tidak terpisah-kan dari pembangunan dan pemenuhan hak politik warga negara.

Hak politik menurut konsep Universal Declration of Human Rights sebagai sebuah hak dasar manusia dapat didefinisikan men-jadi dua bentuk yakni hak sipil dan hak poli-tik. Hak politik didefinisikan oleh Abdul Ka-rim Zaidan dalam Cholisin, dkk (2006 : 116) merupakan hak yang didapat oleh seseorang dalam hubungannya sebagai anggota di lem-baga politik seperti hak memilih, hak dipilih, hak mencalonkan diri untuk menduduki ja-batan politik, hak memegang jabatan umum dalam negara atau hak menjadikan sese-orang ikut serta dalam mengatur kepentin-gan yang berhubungan dengan negara atau pemerintah. Hak perempuan dalam politik menurut Wiwik Afifah, 2015 diantaranya adalah: 1) Hak memilih dan dipilih; 2) Hak berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementa sinya; 3) Hak memegang jabatan dalam segala fungsi di se-mua tingkatan pemerinta han; 4) Hak berpar-tisipasi dalam organisasi dan perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan

kehidupan masyarakat dan politik negara; 5) Hak mendapat jaminan kesempatan untuk mewakili pemerintah.

Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara dalam pengambilan keputu-san politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi politik merupa-kan aspek penting dalam demokrasi. Adapun rambu-rambu mengenai partisipasi politik yaitu: Pertama, partisipasi politik adalah keg-iatan atau perilaku berupa sikap dan orien-tasi. Kedua, kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik (Ramlan Surbakti, 2007 : 141). Partisipasi politik ada-lah kegiatan warga negara yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi politik merupakan langkah penting dalam setiap kegiatan poli-tik. Tanpa partisipasi politik, maka segala ide-ide tentang suatu perubahan politik tidak akan terlaksana. Keaktifan warga dalam poli-tik juga dicerminkan dari partisipasi mereka dalam mengikuti Pemilu sebagai kegiatan politik praktis.

Upaya peningkatan partisipasi politik perempuan terutama dalam keterwakilannya di legislatif tidak bisa dilakukan secara parsial, karenanya harus dilaksanakan secara Holistic Integratif dengan melibatkan semua unsur sesuai dengan kewenangan masing-masing. Ada peran-peran penting yang mesti dilak-sanakan oleh para pihak untuk mempercepat upaya peningkatan partisipasi politik perem-puan. Para pihak yang terkait erat dengan hal ini yaitu Partai Politik, Penyelenggara Pemilu, Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/

10

Page 15: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 1111

Kota juga Organisasi Kemasyarakatan.1. Partai politik

Undang-undang partai politik mengha-ruskan partai politik melakukan pendidikan politik bagi anggota dan kader-kadernya baik laki-laki maupun perempuan agar mereka dapat diandalkan di organisasi kepartaian, lembaga legislatif, maupun eksekutif. Apalagi undang-undang partai politik mewajibkan sedikitnya 30% pengurus diisi oleh perem-puan; sedang undang-undang pemilu mewa-jibkan sedikitnya 30% calon anggota legislatif diisi oleh perempuan. Dengan demikian par-tai politik wajib melakukan mendidik kader-kader perempuan secara sistematis dan te-rencana agar mereka berperan aktif dibidang politik meningkat secara maksimal.2. Penyelenggara pemilu

Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib membuat peraturan pelaksanaan pemilu yang bisa menjamin terlaksanannya kebi-jakan tindakan khusus sementara sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif yang diajukan oleh partai politik. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan jajarannya melakukan pengawasan agar hak-hak politik kader perempuan tetap terjaga dengan baik.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan ja-jarannya maupun Bawaslu dan jajarannya harus mensosialisasikan ketentuan pelaksa-naan kebijakan tindakan khusus sementara dalam sekurang-kurangnya 30% keterwaki-lan perempuan calon legislatif, agar para kader perempuan memiliki wawasan cukup sehingga mereka lebih percaya diri dalam menghadapi proses persaingan pencalonan (internal par-tai) maupun perebutan suara di setiap daerah pemilihan (Dapil). KPU dan Bawaslu bertang-gungjawab atas pemahaman kader-kader perempuan dalam implementasi kebijakan tin-dakan khusus sementara dalam pemilu.3. Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/Kota

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) dan Kemen-terian Dalam Negeri (Kemendagri) yang me-rupakan bagian dari Pemerintah mendorong perempuan-perempuan berpotensi untuk menjadi anggota partai politik dan menjadi calon anggota legislatif. Kedua lembaga perlu meningkatkan kemampuan para calon ang-

gota DPR dan DPD untuk berkompetisi yang sehat dalam pemilu, lalu meningkatkan ke-mampuanya sebagai legislator jika terpilih.

Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerin-tah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewajiban untuk mendorong lebih banyak perempuan aktif di dunia politik. Peningka-tan partisipasi perempuan dalam politik per-lu dikembangkan secara terencana dan ter-program secara berkesinambungan sehingga mereka siap menjadi anggota partai politik, pengurus partai politik, menjadi calon anggota legislatif dan menjadi anggota legislatif. Pening-katan partisipasi perempuan dalam politik bisa dilakukan melalui kegiatan sosialisasi, seminar, diskusi terbatas, lokakarya, serta pendidikan dan pelatihan, baik dengan koordinasi dan ker-jasama dengan KPP-PA dan Kemendagri, mau-pun dilaksanakan sendiri secara mandiri.4. Organisasi Kemasyarakatan

Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang berbasis anggota dan yang tidak berba-sis anggota (kerja), baik Ormas yang peduli/penggiat politik maupun Ormas yang berge-rak di bidang pemberdayaan perempuan dapat mendorong dan menyokong perem-puan untuk anggota dan kader aktif di par-tai politik, menyiapkan diri menjadi anggota legislatif guna memperjuangkan kepentingan perempuan dan anak melalui pembuatan kebijakan di lembaga legislatif. Organisasi kemasyarakatan bisa menjadi mitra partai politik, penyelenggara pemilu, pemerintah, maupun pemerintah daerah provinsi, pe-merintah daerah kabupaten/kota dalam me-rencanakan dan melaksanakan program dan kegiatan yang bertujuan meningkatkan parti-sipasi perempuan di lembaga legislatif.

Berbagai upaya yang diperankan masing-masing lembaga diatas diharapkan mampu meningkatkan partisipasi politik perempuan terutama keterwakilan perempuan di legis-latif. Kombinasi peningkatan jumlah dan kualitas itu akan mengefektifkan perjuangan perempuan dalam mengatasi keterpinggiran perempuan, khusunya dalam bidang keseha-tan, pendidikan, dan eknomi serta di berbagai bidang lainnya. Kemajuan aksesibilitas perem-puan diberbagai bidang pembangunan akan mempercepat terwujudnya kesejahte raan masyarakat yang lebih adil sebagaimana dia-manatkan dalam Pembukaan UUD 1945. r

11

Page 16: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

12

Ketentuan konstitusi yang menjamin persamaan, kebebasan dan persain-gan demokratis untuk memperoleh

kesempatan yang sama dalam pemerintahan harus diwujudkan secara nyata. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 ayat (1) secara lebih konkrit menen-tukan bahwa “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memililh dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemu ngutan suara yang langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan keten tuan peraturan perundang-undangan.” Bahkan secara khusus dalam pasal 46 yang berbunyi “Sistem pemilihan umum, kepar-taian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang ekse-kutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wani ta sesuai persyaratan yang ditentukan.” Hal itu sangat jelas bahwa Negara telah memberi jaminan terhadap perempuan da-lam ruang publik.

Sampai dengan saat ini persamaan hak yang telah diberikan Negara kepada Warga Negaranya belum sepenuhnya dapat ber-

YAYUK DWI AGUS SULISTYORINIDivisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih,dan Pengembangan InformasiKPU Kabupaten Tuban

jalan seperti yang diharapkan. Terutama terkait persamaan hak partisipatif perem-puan dalam kancah politik, terutama pemilu. Meskipun hal ini sudah nyata jelas diatur tentang keterwakilan perempuan dalam pencalonan Legislatif yang tersurat dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Harusnya ketentuan undang-undang tersebut berimp-likasi terhadap keikutsertaan perempuan dalam menentukan setiap kebijakan dalam partai politik dimana dia duduk sebagai pen-gurus partai, termasuk dalam penyusunan daftar caleg. Namun sebagian parpol masih merasa kesulitan dalam mengu sung calon perempuan untuk maju dalam pemilihan. Sehingga kesannya hanya formalitas mereka memasukkan nama-nama calon perempuan, dan terkesan sekedar memenuhi kuota 30% saja, tanpa mempedulikan kualitas, kapabili-tas, dan elektabilitas calon perempuan yang diusung. Hal ini pun mengakibatkan dampak yang sangat besar terhadap hasil perolehan suara parpol.

Harus diakui bahwa representasi politik

Mengapa Perempuan TidakMemilih Perempuan?

Pemilihan Umum sebagai sistem penyelenggaraan Negara yang demokratis menjadi urusan setiap warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan. Demokrasi mempersyaratkan diperkuatnya dukungan terhadap nilai-nilai persamaan, kebebasan dan per-saingan yang fair dalam praktek penyelenggaraan Negara.

Page 17: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 13

perempuan merupakan elemen utama da-lam demokrasi yang ramah gender (gender democracy), tidak ada demokrasi yang sejati tanpa melibatkan representasi perempuan di dalamnya. Meski kelompok perempuan tidak terlalu terpengaruh hiruk pikuknya “politik” yang memang sangat kentara warna masku-linnya. Bagi kelompok perempuan, parlemen dan partai politik dalam sistem demokrasi, selain sistem pemilu, adalah tempat repre-sentasi politik perempuan dipertaruhkan. Karenanya, tidak mengherankan juga seluruh energi aktivis perempuan, baik dari kalangan politisi, aktivis LSM dan ormas, akademisi, maupun jurnalis perempuan, mencurahkan perhatian untuk mengupayakan representasi politik perempuan yang lebih adil dengan mengedepankan prinsip kesetaraan.

Kalaupun sampai terjadi pemilih perem-puan tidak memilih Calon Perempuan, itu akan terjawab dengan melihat bagaimana proses pencalonan di internal Porpol terse-but. Jika benar Parpol tidak berfikir realistis dan dinamis, serta hanya mementingkan kader-kadernya saja, maka jangan harapkan mereka akan menang dalam pemilu. Dalam kancah politik dapat dilihat dari fakta-fakta yang ada, mengapa calon legislatif perem-puan banyak yang tumbang alias tidak bisa menang.

Data keterwakilan perempuan hasil pemilu legislatif tahun 2014 sebagai berikut: Tingkat Nasional jumlah anggota DPR 560, terdiri dari Laki-laki 463 dan perempuan 97,

artinya anggota legislatif perempuan hanya 17,32%, sementara apabila dilihat dari Daftar Calon Tetap sudah mencapai 30%. Dan apa-bila dilihat jumlah pemilih secara nasional pun pemilih perempuan hampir berimbang dengan jumlah pemilih laki-laki.

Sementara untuk contoh yang bersifat lokal di wilayah Kabupaten Tuban, untuk data Caleg pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 di Kabupaten Tuban: jumlah keseluruhan ca-leg sebanyak 517, terdiri dari laki-laki 327, perempuan 190, prosentase perempuan 36,7%. Artinya dalam masa pencalonan, partai politik telah memenuhi kuota lebih dari 30%. Namun setelah penghitungan dan penetapan Calon terpilih, dimana Kabupaten Tuban dengan Jumlah penduduk diatas 1 juta mendapat kuota 50 kursi, tercatat Caleg ter-pilih laki-laki 44 orang, dan perempuan hanya 6 orang, jumlah ini menunjukkan perempuan hanya mampu meraih angka 12%, dari jum-lah calon yang berjumlah 36,7%.

Dilihat dari angka DPT Kabupaten Tuban pada Pemilu legislatif 2014 jumlah keseluru-han pemilih 922.858, terdiri dari laki 454.801 (49,28%), perempuan 468.657 (50,78%). Hal ini menggambarkan bahwa adanya jumlah pemilih perempuan lebih besar daripada jumlah pemilih laki-laki, namun hasil yang diraih justru calon laki-laki yang memperoleh suara lebih besar. Mengapa fenomena ini selalu terjadi dalam setiap pemilu, baik itu pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun pilkada. Seringkali calon perempuan terka-

Page 18: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

14

lahkan oleh calon laki-laki. Atau dengan kata lain, pemilih perempuan enggan memilih calon prempuan.

Perempuan dalam memilih memang sangat hati-hati, terkadang tidak menggu-nakan logika, tapi perasaan, itulah perem-puan. Kecocokan dengan calon yang utama, tanpa melihat jenis kelamin. Sehingga gem-bar gembor tentang affirmative action yang diperjuangkan KPU bisa jadi tidak dapat ber-jalan optimal.

Salah satu faktor penghambat keme-nangan perempuan dalam pemilu atau-pun pemilihan, adalah masih adanya label bahwa pemimpin perempuan tidak dapat menjalankan tugasnya sebagaimana laki-laki, mereka masih memegang mitos ten-tang perempuan yang “cupet langkahe” dan juga sebagian masih berpandangan bahwa laki-laki lebih kuat baik secara fisik mau-pun mental ketimbang perempuan; laki-laki meru pakan pemimpin kaum perempuan (Qs. al-Nisa: 34); serta melihat berbagai aspek yang menunjukkan kualifikasi laki-laki yang lebih unggul.

Sehingga perempuan dituntut tidak saja akan kesadaran gender dari semua pihak da-lam partai politik, tetapi keberanian perem-puan untuk menangkap peluang dan mencari dukungan dari seluruh pemangku kepenti-ngan dalam partai. Disamping itu, memba-ngun kesatuan langkah dan strategi dari ke-lompok perempuan untuk memperkuat basis dalam masyarakat adalah hal yang penting pula dilakukan. Perempuan harus mampu memberikan kesadaran pada pemilih dalam Pemilu akan kekuatan dari memilih. Menggu-nakan hak pilih dalam Pemilu berarti mem-berikan partisipasi penuh dalam demokrasi kita. Perempuan harus mampu mengajak Pemilih untuk menggunakan Hak Pilihnya, terutama dengan tanamkan ”ayo perempuan memilih perempuan.”

Sebenarnya, tidak hanya Partai Politik yang punya peran dalam rekruitmen caleg perempuan, namun peran perempuan itu sendiri sangat diperlukan demi peningkatan kualitas perempuan dalam kancah politik. Untuk membuktikan kepada dunia bahwa perempuan mampu setara dengan laki-laki dalam bidang politik. Perempuan perlu mengkonsolidasikan potensinya, mengga-

lang dukungan untuk meraih simpati dan secara sistematis menempa diri agar memi-liki kapasitas, kapabilitas serta akseptabili-tas untuk memainkan peranan lebih besar dalam kancah politik demi kesejahteraan seluruh rakyat. Urusan politik dalam Nega-ra demokratis adalah urusan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan mem-punyai hak dan tanggung jawab yang sama untuk membangun bangsanya.

Perjuangan kuota 30% hanya merupa-kan salah satu elemen utama dalam upaya mempromosikan representasi politik perem-puan. Sudah saatnya, kalangan perempuan memperluas makna representasi politiknya. Keterlibatan perempuan dalam sistem politik untuk tujuan representasi memang diperlu-kan, tapi sudah pasti tidak cukup memadai. Karena ini harus diimbangi dengan tindakan-tindakan politik dalam kelompok-kelompok dan gerakan perempuan. Ini artinya, upaya go politics dari kalangan perempuan tidak hanya sebagai kegiatan untuk memasuki proses, me-kanisme, lembaga, dan sistem politik (crafting democracy) secara prosedu ral semata, tapi juga bagaimana memperluas basis konstituen (broadening base) untuk kepentingan repre-sentasi politik yang lebih luas.

Untuk mencapai harapan perempuan, setidaknya, ada dua dimensi utama di sini yakni, (1) menyangkut upaya untuk mempen-garuhi proses-proses pengambilan keputusan publik; dan (2) usaha untuk membangun ba-sis sosial representasi politik perempuan baik melalui lembaga-lembaga representasi poli-tik, baik formal maupun informal, serta par-tisipasi langsung (direct democracy). Sejalan dengan itu, perlu juga dibangun rekoneksi antara gerakan perempuan, yang menjadi bagian dari gerakan sosial, dengan aksi-aksi politik, yang merupakan bagian tak terpisah-kan dari representasi demokrasi.

Nah, dari uraian-uraian tersebut diatas, maka jelaslah bahwa perjuangan perempuan untuk mencapai kuota 30% sangatlah mem-butuhkan kerja keras perempuan itu sendiri dan keterlibatan semua pihak, serta pena-naman pemahaman yang positif yang peduli gender, terutama dari kalangan perempuan itu sendiri. Ibaratnya harus membudayakan ”motto” dari perempuan untuk perempuan Indonesia. r

Page 19: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 15

Judul tulisan ini layaknya rumus dalam pelajaran matematika, dan diakhiri de-ngan tanda tanya. Mengapa? Ya, penulis

berasumsi bahwa berbicara tentang Perem-puan, Demokrasi dan Pemilu itu memang rumit, tidak mudah, atau tidak sederhana. Dan hasilnya? Juga tidak gampang diprediksi (unpredictable), dan bahkan kadang tidak sesuai dengan harapan (not as expected). Kita mafhum bahwa --di negeri ini-- sudah bertahun-tahun berbagai upaya dilakukan untuk memberi ruang pelibatan perempuan di panggung politik. Dorongan atau moti-vasi sudah cukup ditumbuhkan, dan berba-gai aturan “kemudahan” bahkan juga sudah diciptakan. Namun sebagian orang mungkin sepakat: Bahwa representasi perempuan dalam politik (terutama dari sisi kuantitas) masih belum maksimal, belum sebanding dengan dominasi laki-laki!

Dalam skala nasional, data berikut meng-gambarkan bagaimana proporsi jumlah legis-lator perempuan berkembang tidak signifi-kan dari pemilu ke pemilu berikutnya. Sejak pasca kemerdekaan, orde baru, era reformasi hingga sekarang ini.

Data tersebut menunjukkan representasi jumlah keterwakilan perempuan di lembaga DPR-RI hanya berkutat di angka 6% - 13% sejak periode tahun 1950-2004. Baru pada pemilu tahun 2009, jumlah keterwakilan perempuan di DPR menembus angka 17,8%. Kondisi jumlah keterwakilan perempuan

4 Kali Pemilu = 11 Anggota Dewan Perempuan?(Kuota Pencalonan vs Kuota Kursi)

SUYITNO ARMAN, S.Sos., M.SiDivisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih,

dan Pengembangan InformasiKPU Kabupaten Tulungagung

yang demikian menurut para ahli ilmu politik disebut minim atau kurang sebanding den-gan proporsi laki-laki.

4 kali pemilu (hanya) ada 11 perempuan men-jabat anggota DPRD Kabupaten Tulungagung

Dalam skala lokal yakni DPRD Kabupaten Tulungagung, representasi perempuan yang berhasil menduduki jabatan anggota dewan tidak lebih baik ketimbang di tingkat nasio-nal. Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama pasca reformasi, hanya terpilih 3 orang dari 45 kursi. Pemilu 2004 sedikit men-ingkat, terpilih 5 orang. Jumlah itu bertam-bah 1 orang di tahun terakhir masa jabatan (2008). Seorang anggota DPRD laki-laki men-gundurkan diri karena pindah ke partai lain, sehingga dilakukan pergantian antar waktu (PAW). Jumlah DPRD perempuan di periode ini akhir nya menjadi 6 orang. Kondisi pal-ing buruk justru terjadi di pemilu 2009. Di saat alokasi kursi DPRD bertambah dari 45 menjadi 50 orang, perolehan kursi untuk caleg perempuan “terjun bebas.” Dari 50 kursi DPRD yang tersedia hanya ada 1 orang perempuan yang terpilih, sisanya 49 kursi direbut oleh laki-laki. Barulah pada pemilu 2014 kondisi kembali meningkat. Dari 50 kursi DPRD, 5 kursi diisi oleh perempuan dan 45 orang lainnya laki-laki.

Data tersebut menunjukkan representasi jumlah keterwakilan perempuan di DPRD Ka-bupaten Tulungagung hanya berkutat di ang-

Page 20: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

16

ka 2% - 13.3% sejak periode tahun 1999-2014. Angka ini bahkan lebih rendah jika diband-ingkan dengan representasi perempuan di DPR-RI yang berkisar antara 6-17.8%.

Lebih jauh lagi jika dirinci berdasarkan personalia perempuan yang berhasil duduk sebagai anggota legislatif, maka ditemukan data bahwa hanya ada 11 orang perempuan yang berhasil mencatatkan dirinya sebagai anggota DPRD Kabupaten Tulungagung se-lama kurun waktu 1999-2014 atau selama 4 kali pemilu pasca era reformasi. Dari (hanya) 11 politisi perempuan tersebut, 1 orang mampu menjabat selama 2 kali periode (+ 1 tahun masa PAW), dan 2 orang menjabat 2 kali periode. Sementara jika dilihat dari latar belakang partai politik pengusung, hanya ada 5 parpol yang berhasil mendudukkan caleg perempuannya di kursi legislatif. Kelima par-pol tersebut adalah: PKB, PDIP, Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Merdeka. Sedang-kan parpol-parpol lainnya belum pernah mampu mendudukkan tokoh perempuanya di kursi DPRD Kabupaten Tulungagung se-lama periode yang sama.

“Quota Caleg” vs “Quota Kursi”, mungkinkah?Di depan sudah disinggung bahwa berba-

gai upaya telah ditempuh untuk meningkat-kan representasi perempuan dalam politik, minimal dari segi kuantitas. Satu yang paling mutakhir adalah “Affirmative Action” yakni

memberikan kuota tertentu bagi parpol un-tuk mengusung perempuan sebagai calon legislatif (caleg). Pada pemilu terakhir (2014) lalu bahkan UU mewajibkan pengajuan caleg perempuan tersebut harus disusun dengan model zipper (UU No. 8/2012, pasal 56 ayat 2).

Kebijakan tersebut bukanlah tanpa pro-kontra. Bahkan sebagian kalangan terpaksa mengujinya ke Mahkamah Konstitusi. Na-mun melalui putusannya Nomor 22-24/PUU-VI/2008 MK memutuskan affirmative action tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pembatasan tersebut dibe-narkan oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Bahkan di dalam Pasal 28H ayat (2) UUD1945, per-lakuan khusus tersebut diperbolehkan de-ngan tujuan untuk memperoleh kesempa-tan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. MK berpendapat Pemberian kuota 30% (tiga puluh per se-ratus) dan keharusan satu calon perempuan dari setiap tiga calon merupakan diskrimi-nasi positif dalam rangka menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki untuk menjadi legislator di Dewan Perwaki-lan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.

Pertanyaan kemudian adalah: Apakah kebijakan tersebut sudah cukup manjur un-tuk meningkatkan representasi perempuan

Tabel 1Representasi Perempuan di DPR-RI Periode 1950-2014

PERIODEPEREMPUAN LAKI-LAKI

Jumlah % Jumlah %1950 - 1955 9 3,8 236 96,2

1955 - 1959 (konstituante) 25 5,1 488 94,9

1971 -1977 36 7,8 424 92,2

1977 - 1982 29 6,3 431 93,7

1982 - 1987 39 8,5 421 91,5

1987 - 1992 65 13,9 435 87

1992 - 1997 62 12,5 438 87,5

1997 - 1999 54 10,8 446 89,2

1999 - 2004 45 9 455 91

2004 - 2009 61 11,1 489 89,3

2009 - 2014 101 17,8 459 82,1

Page 21: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 17

di legislatif? Atau setidaknya pertanyaan bisa dirubah: Tidak adakah “resep” lain yang lebih jitu agar representasi perempuan di legislatif benar-benar bisa meningkat secara signifikan?

Jawabanya (mungkin) adalah sebatas pemikiran imajiner penulis. Tentu ada, yakni “Kuota Kursi” legislatif. Perempuan tidak hanya diberi jatah jelas di pencalonan (kuota pencalonan), namun juga diberi jatah pasti di kursi yang diperebutkan (kuota kursi). Tentu hal ini masih terlalu jauh, bahkan akan mem-buka perdebatan panjang baik dari sisi politis, yuridis, maupun ideologis. Tapi bukan tidak mungkin hal itu akan terjadi di masa-masa mendatang. Bukankah masa depan itu ada-lah rahasia dan hanya milik Tuhan semata!

Ari Pradhanawati, Dosen Program Dok-tor Ilmu Sosial FISIP UNDIP yang juga man-tan anggota KPU Jawa Tengah 2003-2008 pernah menulis: Apakah kuota dianggap adil atau tidak akan sangat tergantung pada apakah persepsi orang terhadap keadilan sebagai ”kes-empatan yang adil” atau ”hasil yang adil.”

MK juga pernah berpendapat (Putusan No. 22-24/PUU-VI/2008):

(1) Ambang batas kuota 30% dan keharu-san satu perempuan dari setiap tiga calon

anggota legislatif bagi perempuan dan laki-laki dinilai cukup memadai sebagai langkah awal untuk memberi peluang kepada perem-puan di satu pihak, sementara di pihak lain, menawarkan kepada publik/pemilih untuk menilai sekaligus menguji akseptabilitas perempuan memasuki ranah politik.

(2) Pemberian kuota 30% dan keharusan satu calon perempuan dari setiap tiga calon merupakan diskriminasi positif dalam rangka menyeimbangkan antara keterwakilan perem-puan dan laki-laki untuk menjadi legislator di DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.

Dengan 2 kata kunci dari pendapat MK bahwa affirmative action yang saat ini dilaku-kan baru sebatas sebagai “langkah awal”, ser-ta selalu dibutuhkan cara untuk “menyeim-bangkan” antara keterwakilan perempuan dan laki-laki, bukan tidak mungkin solusi imajiner itu suatu ketika akan terbukti. Na-mun haruslah tetap kritisi. Yang kita bicara-kan ini barulah sebatas kuantitas. Apakah kemudian perempuan benar-benar siap jika “porsi” representasinya ditambah? Apakah peningkatan kuantitas itu nantinya juga akan diikuti de ngan peningkatan kualitas? Wal-lohu a’lam. r

Tabel 2DAFTAR ANGGOTA DPRD PEREMPUAN KABUPATEN TULUNGAGUNG

HASIL PEMILU 1999 - 2014

HASIL PEMILU

ANGGOTA DPRDPEREMPUAN PARPOL

ANGGOTA DPRD REPRESENTASI PEREMPUAN (%)P L Jml

1999

Riyanah, SH PDIP

3 42 45 6,6Susilowati PDIP

Dra. Hj. Istiqlailiyah PKB

2004

Dra. Hj. Istiqlailiyah PKB

6 39 45 13,3

Hj. Masfiyah PKB

Kolifah, SH PDIP

Sri Haryuni PDIP

Hj. Rifatin A. Laitupa Partai Golkar

Muti’in (PAW-Imam Kambali) Partai Merdeka

2009 Muti’in Partai Hanura 1 49 50 2

2014

Riyanah, SH, MH, MM. Partai Golkar

5 45 50 10

Muti’in, SE. Partai Hanura

Tutut Solikhah Partai Hanura

Lilik Herlin, SP. PKB

Hj. Susilowati, SE. PDIP

Page 22: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

18

Kunjungan Divisi Perencanaan; Keuangan dan Logistik KPU RI, Arief Budiman ke KPU Jawa Timur, 21 April 2016.

18

Rapat Evaluasi Penyusunan Laporan Rencana Aksi dan Analisis Capaian Kinerja, Hotel The Sun City Sidoarjo,28 April 2016,

Rapat Pleno KPU Jawa Timur, 4 Mei 2016.

18

KPU Jawa Timur Dalam Bingkai

Page 23: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 19

Rapat Tindak Lanjut Test Kompetensi dan Test Integritas Alih Status/Pindah Instansi, KPU Jawa Timur, 4 Mei 2016.

Pelantikan Kasubag Hukum KPU Jawa Timur, 11 April 2016.

Rakor Persiapan Perencanaan Anggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur Tahun 2018, KPU Jawa Timur,22 April 2016.

KPU Jawa Timur September 2015 19

KPU Jawa Timur Dalam Bingkai

Page 24: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

20

Situasi dilematis ini dialami oleh perem-puan Indonesia yang berkarir. Perem-puan karir merasa terpanggil untuk

mendarmabaktikan bakat dan keahliannya bagi perkembangan bangsa dan negara. Di samping itu, perempuan sering dihantui oleh konstruk budaya yang telah mengakar dalam masyarakat bahwa perempuan harus me-ngabdi pada keluarga.1

Pergeseran zaman yang dibarengi berkembangan pola berfikir manusia, telah memberikan kesadaran dan dorongan bagi perempuan untuk keluar dari bayang-bayang dogmatisme budaya patriarkhi. Inferioritas perempuan atas laki-laki, pelan tapi pasti mulai tergerus oleh konsepsi emansipasi. Perempuan harus juga tampil di ranah publik dalam rangka ikut serta membangun bangsa. Dengan kedaan tersebut, perempuan harus tampil dengan peran ganda. Keterlibatan perempuan dalam ranah sosial-politik bukan berarti mereduksi perannya dalam domestik, melainkan kedua hal tersebut berjalan ber-1. Liza Hadis dan Sri Wiyanti Eddyono, Pengakuan Peran Gender dalam Kebijakan-Kebijakan di Indonesia (Jakarta: LBH APIK, tt), 23.

LILIK ERNAWATIDivisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih,dan Pengembangan InformasiKPU Bondowoso

iringan membentuk sebuah peran ganda.Kesenjangan akses, hak dan peran

perempuan dalam politik menjadi hambatan sendiri bagi perempuan dalam ikut berpe-ran dalam ranah politk. Pada sisi lain, hal itu juga dilatarbelakangi oleh kualitas perem-puan bila dibandingkan dengan laki-laki. Faktor tersebut tidak sepenuhnya kesala-han kaum perempuan, mengingat konstruk budaya masyarakat yang selalu mengekang agar perempuan tidak perlu repot-repot menempuh pendidikan tinggi karena pada ujungnya akan kembali ke wilayah domestik. Terlepas dari itu semua, minimnya kuantitas perempuan dari pada laki-laki dalam ranah politik membuat perempuan tidak mampu berbuat banyak untuk kepentingan bangsa khususnya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.2 Lebih parah lagi, ketika tidak sedikit kalangan yang menilai bahwa naiknya perempuan dalam jabatan publik tersebut tidak terlepas dari pengaruh laki-laki.

Dominasi laki-laki atas perempuan dalam 2. Anonim, Rendahnya Anggota Legislatif Daerah dalam Menyuarakan Persoalan Masyarakat, Kompas, Edisi 17 Agustus 2014. Hal. 14.

Diskursus perempuan dalam kancah politik Indonesia dapat dika-tegorikan dilematis. Di satu sisi perempuan Indonesia dituntut un-tuk berperan dalam segala sektor, tetapi di sisi lain muncul tuntu-tan agar perempuan Indonesia berperan sesuai kodratnya saja, yakni di wilayah domestik.

Partisipasi Politik Perempuandalam Demokrasi di Indonesia

Page 25: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 21

kehidupan sosial-politik seakan telah menja-di catatan yang tak akan pernah terhapus da-lam sejarah perjalanan kehidupan sosial dan politik di Indonesia. Perempuan tidak pernah mendapat tempat layak dalam tata politik di Indonesia. Dalam sejarahnya, perempuan hanya diapresiasi rendah. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan keterwakilan perempuan dalam legislatif yang belum menunjukkan proporsi yang layak, padahal antara laki-laki dengan perempuan secara kapasitas dan kredibilitas tidak ada bedanya, semua kem-bali kepada integritas masing-masing dalam membangun komitmen kerja.

Begitupun pada ranah hukum, masih banyak dijumpai substansi, struktur dan budaya hukum yang diskriminatif dan tidak berkeadilan gender. Hukum yang ada saat ini masih lemah dalam menjangkau masalah-masalah kekerasan dan tindak kriminal lain-nya. Permasalahan lain ialah kesadaran dan akses informasi masyarakat terhadap hukum masih sangat rendah. Salah satu faktor pe-nyebabnya dapat lihat dari peran organisa-si-organisasi politik, mengingat partai dan organisasi politik merupakan ekspektasi be-sar dalam memberikan pendidikan politik cerdas kepada masyarakat, khususnya pada

kesamaan hak perempuan dalam kancah politik. Dengan demikian, peran dan kuanti-tas perempuan di dalam lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) masih jauh di bawah dominasi kaum laki-laki.

Pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) merupakan keniscayaan bagi negara pe-nganut sistem demokrasi. Melalui pemilihan langsung, berbagai aspirasi dan kepenti-ngan yang ada dalam masyarakat diangkat dan diperjuangkan oleh partai-partai politik yang berkompetisi. Berbagai partai politik berkompetisi tampil di khalayak publik de-ngan segenap visi dan misinya untuk meraup suara sebanyak mungkin dalam rangka me-menangkan pemilu. Hal tersebut absah se-lama kader yang menjadi representasi partai politik dalam pemerintahan tetap senantiasa menempatkan kepentingan rakyat di atas segala-galanya.

Beberapa paparan di atas menunjukkan bahwa aspirasi dan kepentingan perempuan hingga saat ini dirasakan masih belum cukup disuarakan atau diperjuangkan oleh wakil-wakil di lembaga perwakilan. Meskipun perempuan selalu ikut aktif memperjuang-kan kepentingan dan aspirasi politik secara umum, tetapi mereka belum merepresen-

Page 26: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

22

tasikan aspirasi dan kepentingan politik me-reka sendiri. Masih banyak kepentingan dan aspirasi perempuan yang belum dan tidak akan pernah terangkat secara formal jika tidak diperjuangkan.3

Konsep Partisipasi PolitikPartisipasi merupakan masalah yang cu-

kup rumit di negara berkembang. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membe-dakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan.

Memahami partisipasi politik tentu sa-ngatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu sendiri merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokra-si (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri.4 Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah me-nyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik.

Para ilmuwan dan pakar politik telah banyak memberikan batasan lebih mengenai partisipasi politik. Menurut Huntington dan Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pri-badi-pribadi yang dimaksudkan untuk mem-pengaruhi pembuatan keputusan pemerin-tah. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyang-kut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat, maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik.5 Dalam konsep ini memang tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik itu bersifat otonom atau mobilisasi.

Hal ini terjadi, menurut Huntington dan Nelson, disebabkan oleh sejumlah alasan

3. Cahyadi Takariawan, Fikih Politik Kaum Perempuan (Yogyakarta: Debeta, 2002), 88.4. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT. Grasindo. 1990), 140.5. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 9.

berikut; Pertama, perbedaan antara ke-duanya lebih tajam dalam prinsip daripada di alam realitas. Kedua, dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu campuran keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersi-fat dinamis, artinya bahwa partisipasi politik yang bersifat dimobilisasi karena faktor inter-nalisasi pada akhirnya akan menjadi partisi-pasi yang bersifat otonom.6 Sebaliknya juga demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi dimobilisasi. Keempat, kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai konsekuensi penting bagi sistem politik, baik yang dimobilisasi maupun otonom memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan kekangan-kekangan terh-adap pimpinan-pimpinan politik.

Keterwakilan Perempuan dalam PolitikDari sudut pandang negara, demokra-

si mengajarkan bahwa partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun partisipasi pemerintahan yang akuntabel, transparan, responsif, terhadap kebutuhan masyarakat. Partisipasi memberikan ruang dan kapasi-tas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan po-tensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat, serta membangun kemandirian masyarakat.

Struktur partisipasi pada masyarakat lokal dan tempat kerja akan dengan cepat meninggalkan kualitas demokrasi keterwaki-lan. Suatu masyarakat partisipatif akan mem-buat orang-orang “lebih mampu menaksir kinerja wakil-wakil rakyat di tingkat nasional, lebih mampu mengambil keputusan untuk lingkup nasional jika dimungkinkan, dan le-bih mampu menimbang dampak keputusan yang diambil oleh wakil-wakil nasional pada kehidupannya. Rousseau merasa bahwa ke-timpangan sosial ekonomi akan menghalangi warga negara untuk memperoleh hak-hak politik yang sama. Dengan kata lain ketimpa-ngan sosial ekonomi yang tinggi, tidak akan ada demokrasi politik.

Masalah keterwakilan perempuan dalam partai politik nampaknya masih jauh dari harapan yang diinginkan. Kecilnya peluang

6. Kamaruddin, Partai Politik Islam di Pentas Reformasi; Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004 (Jakarta: Visi Publishing, 2003), 94.

Page 27: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 23

perempuan untuk bisa terwakili 30% pada Pemilu 2004, keterwakilan perempuan tidak mungkin lagi hanya mengandalkan sekedar komitmen partai politik. Oleh karana itu, selain komitmen partai politik, keterwakilan perempuan harus didukung oleh perangkat undang-undang yang lebih tegas berpihak ke-pada masalah kuota perempuan ini. Perang-kat pengaturan kuota masih diperlukan untuk membantu keterlibatan perempuan dalam pengambil kebijakan dan keputusan. Seba-liknya pengaturan kuota ini tidak diperlukan lagi ketika semua komponen aktor politik, ak-tor demokrasi, dan kalangan masyarakat luas sudah menyadari bahwa keterlibatan perem-puan dalam semua aspek merupakan suatu ke-butuhan yang alamiah, tetapi bukan paksaan.

Munculnya partai-partai baru semakin menambah marak dan ramainya proses demokratisasi bangsa ini. Namun, sayang-nya kebanyakan partai yang muncul bukan didasari oleh keinginan untuk memperbaiki keadaan negara, melainkan hanya untuk mem-buru kekuasaan, jabatan, dan popularitas yang selama ini dikuasai oleh orang-orang tertentu saja tanpa melihat kebutuhun dan aspirasi masyarakat bawah, terutama perempuan.

Diakui memang, momentum refor-masi menjadi udara segar hampir di semua kalangan masyarakat. Beberapa agenda program pembaharuan yang ditawarkan pada masyarakat rupanya dapat menarik perhatian di hati masyarakat. Akan tetapi, sayangnya dalam perjalanannya kepercayaan masyarakat yang besar terhadap partai poli-tik ini tidak dibarengi dengan kerja yang baik oleh internal partai politik. Indikasinya adalah dalam memilih pemimpin partai mi-salnya, anggota partai bukan lebih menguta-makan kreadibilitas, kecakapan, atau kualitas tetapi lebih berorientasi pada kuantitas dan figur. Padahal untuk menjadi pemimpin yang dibutuhkan bukan kefiguran saja, melainkan harus dibarengi dengan kemampuan mana-jemen organisasi partai, membuat visi dan misi yang berpihak pada rakyat.

Perempuan dan Komitmen atas Demokrati-sasi Indonesia

Gerakan perempuan untuk memulihkan hak-hak politiknya sangat perlu digalakkan dalam rangka proses transformasi sosial

yang identik dengan transformasi demokrasi. Tujuan gerakan perempuan adalah men-ciptakan hubungan antar sesama manusia secara fundamental baru, lebih adil, dan sal-ing menghargai. Politik, terlepas dari segala kontroversi di dalamnya, adalah alat sosial yang paling memungkinkan bagi terciptanya ruang kesempatan dan wewenang, serta me-mungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui berbagai aksi bersama, diskusi dan sharing dalam partisipasi kesetaraan dan keadilan. Politik adalah salah satu sarana yang dapat mendorong perempuan untuk mencurahkan semua kecemasannya.

Budaya, sistem sosial, sistem politik, hingga masalah kemiskinan masih men-jadi tembok penghalang yang kokoh dalam partisipasi perempuan. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha yang lebih strategis agar dapat mengubah kondisi-kondisi tersebut. Memasuki wilayah strategis berarti memasu-ki wilayah pengambilan kebijakan alternatif yang bersahabat dengan perempuan. Salah satu cara yang dapat dipilih adalah perem-puan masuk dalam tataran kekuasaaan dan legislasi, atau dengan memperkuat kontrol dan akses perempuan di wilayah tersebut. Karena kekuasaan dan legislasi adalah aspek yang sangat menonjol dalam menentukan corak ideologi masyarakat dan pengaturan sumber daya pembangunan.

Jika kita menginginkan keadilan sumber-daya bagi laki-laki dan perempuan secara adil, satu-satunya jalan adalah terlibat secara langsung dalam setiap tahapan pengaturan tersebut. Sangat jelas, partai politik masih enggan untuk melihat keterwakilan perem-puan dalam politik dengan dimensi yang lebih luas. Mareka belum sadar bahwa melibatkan atau keterlibatan perempuan dalam politik adalah bagian dari penciptaan masyarakat demokratis yang berkeadilan baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Jelas pula bahwa instrumen perundang-un-dangan yang ada terlalu lemah untuk men-jamin keterwakilan perempuan dalam politik ini. Sehingga tidak salah jika sasaran gerakan perempuan ke depan adalah membangun tatanan hukum yang lebih kuat (powerfull) dengan cara menempatkan hak-hak dasar perempuan dalam konstitusi negara. r

Page 28: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

24

Di era digital dan informasi saat ini, peran para srikandi demokrasi di In-donesia perlu dipertanyakan. Beber-

apa legislator perempuan hasil pemilu legis-latif baik di tahun 2009 ataupun 2014 yang sudah berkiprah di gedung senayan, belum terlihat sama sekali salah satu dari mereka yang dengan gigih memperjuangkan hak hak kaum perempuan.

Padahal dalam setiap generasi atau da-sawarsa di Indonesia, biasanya selalu tampil tokoh perempuan yang punya prestasi dan reputasi begitu apik dalam membela kepenti-ngan perempuan. Pada era tahun 1980 an ada Srikandi demokrasi yang terkenal dengan banyak julukan, ada Singa Podium atau sebu-tan lainya Singa Betina dari Senayan, beliau adalah Ibu Aisya Amini SH. Siapa yang tidak mengenal Hj Aisya Amini politisi perempuan dari PPP pada era tahun 1980 an, suaranya

Menggugat Peran Srikandi,Demokrasi di Era Digital

begitu vokal di podium, makanya dia dijuluki Singa Podium, dia sering kali meradang un-tuk menyuarakan kebijakan yang tidak berpi-hak pada kepentingan rakyat ataupun untuk kepentingan kaum hawa. Dia sering tampil di podium untuk menyampaikan aspirasi kaum perempuan, dan dia sangat disegani pada masa pemerintahan Orde baru.

Selain Hj Aisya Amini, ada juga Srikandi demokrasi yang banyak menyuarakan ke-pentingan moral perempuan pada saat orde baru, beliau adalah Ibu Mien Sugandi dari Golkar dan juga sebagi ketua MKGR, Mien Sugandhi adalah anggota DPR RI periode 1977-1993 dan kemudian dianggkat men-jadi menteri urusan wanita di pemerintahan Presiden Soeharto. Saat menjabat sebagai menteri, Mien Sugandhi pernah melontar-kan pernyataan kontroversial berupa akan mendeportasi Istri Bung Sukarno yaitu Ratna

MULYADIDivisi SosialisasiKPU Kota Pasuruan

Dalam cerita pewayangan, Dewi Woro Srikandi merupakan suri tauladan bagi prajurit wanita, dia berani dan bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan prajurit wanita lainya. Di dalam perang Baratayudha keberanian Dewi Woro Srikandi sangat luar biasa, dia berani tampil di garda depan berhadapan dengan senopati pilih tanding seperti Bisma dari pasukan Kurawa.

Page 29: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 25

Sari Dewi kembali ke Jepang karena bukunya yang kontroversi berisi foto telanjang Ma-dame Syuga, dianggap mempermalukan citra Indonesia. Dan kemudian pada tahun 1996, Dr Mien Sugandhi kembali berseteru de ngan Ketua Yayasan Putri Indonesia, Mooryati Sudibyo, karena pengiriman Alya Rohali se-bagai wakil Indonesia di ajang Miss Universe. Sebenarnya Putri Indonesia Alya Rohali ha-nya datang sebagai participating observer, namun ternyata ikut berfoto mengenakan baju renang sehingga mengundang kemara-han besar Mie Sugandhi, karena foto me-ngenakan mengenenakan baju renang diang-gap Mien Sugandhi telah mempermalukan Citra Perempuan Indonesia sehingga sempat mengancam akan memanggil Yayasan Putri Indonesia ke DPR.

Adapun Pejuang Demokrasi lainya yang muncul di era akhir tahun 1990 an dan diaw-al tahun 2000 an adalah Megawati Soekarno Putri, beliau cukup mewarnai pesta demokra-si di Indonesia, Megawati sangat gigih mem-perjuangakan hak politiknya secara adil tanpa mengenal rasa takut. Pada saat itu Megawati berani berhadapan secara langsung dengan pemerintahan Orde baru yang pada saat itu pemerintahan Presiden Suharto dalam posisi sangat kuat legitimasi nya. Puncak perlawa-nan Perjuangan ideologos Megawati dengan

meletusnya kerusuhan 27 Juli atau lebih dikenal peristiwa Kudatuli pada tahun 1996. Dan perjuangan ideologis Megawati Sukarno Putri berhasil memperjuanglan hak politinya sehingga mampu memegang pucuk pimpi-nan di Partai Demokrasi Indonesia Perjua-ngan sampai mengantarnya jadi Presiden RI ke 5, bahkan Megawati bisa terus eksis sam-pai sekarang.

Di era tahun 2005 an sampai sekarang kita belum melihat ada Srikandi demokrasi Indonesia yang bisa tampil garang dalam berjuang untuk kemajuan bangsa dan kema-juan emansisipasi perempuan secara heroik se perti pendahulunya. Produk Pemilu legis-latif tahun 2009 dan hasil pemilu legislatif tahun 2014 masih belum mampu melahirkan singa podium-singa podium baru yang selalu meradang dalam menyuarakan kepentingan kaum perempuan. Dan sangat disayangkan, Srikandi demokrasi atau legislator Perem-puan di era tahun 2005 an hingga sekarang yang sudah dilantik dan duduk empuk di senayan, baru saja mulai bersinar, kemudian harus tenggelam lagi karena berhadapan dengan penegak hukum KPK, seperti Enge-lina Sondak, Wa Ode Nurhayati, Dewi Yasin Limpo dan Damayanti. Kita memang masih menunggu dan menunggu, hingga sekarang belum terlihat sama sekali Srikandi demokra-

Page 30: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

26

si di Indonesia yang menunjukan perjuangan yang garang dan konsisten dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara. Kita tentu menyambut baik seruan atau wacana pen-tingnya keterlibatan perempuan dalam poli-tik apalagi dan dilindungi dalam undang un-dang. Akan tetapi mana kontribusinya para srikandi demokrasi itu...?, mampukah keter-libatan perempuan dalam politik di legisla-tor dapat menyelesaikan persoalan perem-puan...? ini menjadi pertanyaan besar yang perlu dikritisi bersama sama terkait adanya keterwakilan 30% perempuan dalam daftar caleg yang sudah diakomodir dalam undang undang pemilu.

Politik dalam sistem demokrasi dimaknai dengan kekuasaan, sehingga peran politik perempuan baru dianggap signifikan jika perempuan bisa duduk dalam kekuasaan baik itu kekuasaan di legislatif, ataupun perempuan menjadi pejabat pemerintah. Namun sayangnya, secara alami sistem poli-tik dalam demokrasi tidak akan pernah mela-hirkan kebijakan atau undang undang yang memihak pada menyejahterakan perempuan dan rakyat secara umum. Ongkos politik demokrasi yang teramat mahal “mengharus-kan” adanya politik kapital dan pragmatisme ataupun politik balas jasa, sehingga banyak politisi perempuan yang tergelincir dalam kasus korupsi karena harus mengembalikan ongkos politiknya.

Di era digital dan keterbukaan informasi secara terbuka saat ini, beragam persoalan masih menimpa perempuan, mulai dari kemiskinan, rendahnya kesehatan dan akses pendidikan, diskriminasi, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan masalah tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri masih memerlukan sentuhan dan perjuangan Srikandi demokrasi baik yang duduk di legis-latif maupun duduk di eksekutif. Dalam sudut pandang aktifis demokrasi dan aktifis perem-puan yang konservatif, persoalan-persoalan perempuan tersebut diakibatkan adanya gagalnya pemahaman terkait kesetaraan gender. Mereka pun menempatkan laki-laki sebagai biang kegagalan, menurut mereka, kekuasaan pemerintahan dan legislatif yang didominasi oleh laki-laki mengakibatkan ba-nyaknya kebijakan yang tidak memihak kaum perempuan. Logika sederhana mereka pun

berkata, persoalan perempuan hanya dapat terselesaikan, bila perempuan dapat diberi akses yang besar untuk duduk di kursi kekua-saan pemerintah atau parlemen. Akses yang dimaksud termasuk di implementasikan hak politik perempuan dalam undang undang pemilu terkait 30% keterwakilan perempuan di legislatif. Mereka meyakini bahwa per-soalan perempuan hanya dapat diselesaikan oleh perempuan. Semakin banyak perem-puan yang memiliki posisi dan pemegang kebijakan (baik eksekutif maupun legislatif) maka akan semakin banyak lahir kebijakan atau undang undang yang memihak perem-puan, dengan begitu, persoalan perempuan akan terselesaikan.

Padahal perhatian bangsa Indonesia ke-pada politisi perempuan ini memang sangat luar biasa, mungkin Almarhum Raden Ajeng Kartini Tokoh Pejuang Emansipasi perem-puan akan tersenyum bahagia, sebab ba-gaimanapun kesetaran gender atau istilah kerenya emansipasi perempuan di bumi Nu-santara sudah mengalami kemajuan dengan pesat, hampir semua profesi ada perempuan dan duduk sama tinggi dengan kaum lelaki, bakhan di dunia politikpun posisi perempuan cukup istimewa, ini dibuktikan dengan di-implementasikan di dalam Undang Undang No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan daerah. Dan dewan Perwakilan Rakyat Daearah di pasal 2 ayat (2) huruf (e) tentang syarat kepengurusan Partai Politik dan di pasal dan pasal 55 tentang tata cara pengajuan calon legislatif baik di tingkat DPR RI maupun DPRD. Didalam pasal 8 UU No 8 tahun 2012 tentang emansipasi perempuan dalam partai politik dituangkan bahwa Partai Politik dapat menjadi Peserta Pemilu apabila telah menyertakan sekurang kurangnya 30% keterwakilan dalam kepengurusan Partai Politik di tingkat Pusat, dan di pasal 55 lebih tegas lagi bahwa syarat pencalonan wajib menyertakan daftar calon legislatif sekurang-nya 30% keterwakilan perempuan. Mesti-nya kaum perempuan di legislatif ataupun eksekutif lebih bisa mengepakkan sayapnya untuk lebih bisa berperan memperjuang-kan kesejahteraan perempuan, tidak malah terjebak pada kepentingan dirinya sendiri dan akhirnya melanggar hukum sehingga

Page 31: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 27

harus berhadapan dengan penegak hukum. Kaum perempuan harusnya dapat menghor-mati undang undang no 8 tahun 2012 yang sudah mengakomodir bahkan mewajibkan keterwakilan perempuan di legislatif. Dan agar marwah dari undang undang tersebut tentang 30% keterwakilan perempuan bisa terjaga dengan tujuan pembuat undang un-dang, maka Srikandi demokrasi yang sudah berada di gedung rakyat senayan harus dapat menjaga dengan baik moralnya, perjuangan-nya, dan integritasnya.

Hal ini sangat penting agar harapan besar pembuat undang undang tentang peran nya-ta para Srikandi demokrasi dapat dirasakan betul oleh masyarakat bangsa dan negara. Jangan sampai sistem politik dan perundang-undangan yang dibuat hanya dengan seman-gat pragmatis dan mementingkan diri sendiri dan kelompoknya bahkan kepentingan spon-sor. Oleh karena itu kalau tidak ada peran Srikandi demokrasi yang duduk di legislatif ataupun eksekutif, maka tidak akan mung-kin perempuan akan terlindungi & terjamin hidupnya karena hak-hak mereka dapat dike-sampingkan sesuai kepentingan kelompok tertentu.

Oleh karena itu meski ada UU Per-lindungan Tenaga Kerja, UU Perlindungan Perempuan & Anak, dan UU lain akan tetapi

kemiskinan, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan diskriminasi ter-hadap tenaga kerja wanita masih sangat marak terjadi dan menjadi berita sehari-hari, dan persoalan perempuan ini dari waktu ke waktu bukan kian surut tapi kian menjamur.

Adanya harapan tinggi tentang kese-jehteraan dan kesamaan gender bagi kaum perempuan pada Srikandi demokrasi yang duduk di legislatif ataupun eksekutif, nyata-nya hanya menciptakan halusinasi dan an-gin surga. Sampai sekarang penulis masih belum menyaksikan adanya dampak atau adanya korelasiannya antara besarnya kuo-ta perempuan sebesar 30 % dalam UU no 8 tahun 2012 dengan kesejahteraan kaum perempuan. Hal ini otomatis menimbulkan pertanyaan besar, ada apa dengan kaum perempuan? Maka tidak tertutup kemung-kinan apabila para le gislator perempuan atau Srikandi demokrasi bila tidak mampu menjaga perjuangannya, amanatnya dan in-tegritasnya dihadapan masyarakat terutama kaum perempuan, dan bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi permintaan revisi un-dang undang no 8 tahun 2012 pasal 55 ten-tang syarat 30% keterwakilan perempuan dihapus, dan ini betul-betul merugikan dan menjadi sebuah ironi yang besar bagi kaum hawa pejuang demokrasi sendiri. r

Page 32: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

28

Partisipasi politik merupakan parameter utama dalam sistem demokrasi. Parti-sipasi politik dalam bentuk keterlibatan

pada pemilihan umum menjadi hak sekaligus kewajiban bagi warga negara, dimana secara substantif, memang kedaulatan berada di tangan rakyat. Pemilihan umum di Indonesia telah diadakan sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014.1

Setelah masa reformasi (tahun 1998), demokrasi di Indonesia pada umumnya dan sistem pemilu pada khususnya mengalami perkembangan yang signifikan. Beberapa hal yang sangat mendasar adalah tentang tidak dibatasinya peserta pemilu, ditetapkan-nya electoral threshold, dan upaya semakin mendorong tingkat keterpilihan perempuan –dengan keluarnya kebijakan kuota 30 per-sen bagi perempuan.

1. https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_In-donesia, diakses Selasa, 5 April 2016 pukul 14.40

AMINAH ASMININGTYASDivisi Logistik dan KeuanganKPU Kota Malang

Tingkat Keterpilihan Maksimal Perempuan dalam Pemilu:Sesuatu Yang Utopia?

Tingkat Keterpilihan Perempuan di LegislatifPemilihan umum tahun 1955, menempat-

kan 17 perempuan di kursi DPR: empat orang dari Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), lima dari Muslimat NU, dan sisanya tersebar dari berbagai organisasi dan profesi. Pemi-lihan umum tahun 1955 (orde lama) dinilai sangat demokratis, dimana tingkat keterpi-lihan perempuan dalam politik didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari organisasi-organisasi kewanitaan.2

Sedangkan pada Orde Baru dengan kon-sep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan da-lam institusi-institusi kenegaraan, ditentukan oleh pemimpin partai di tingkat pusat. Hal tersebut memberikan konsekuensi bahwa partisipasi politik perempuan tidak ber-dasarkan kepada kemampuan pada public capacity tetapi lebih kepada faktor kedeka-tan dengan partai yang berkuasa. Akibatnya,

2. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008, h. 474.

Diskursus keterwakilan perempuan dalam legislatif merupakan bentuk per-juangan politik perempuan yang berkelanjutan setelah tuntutan hak pilih bagi perempuan di awal abad 20 tercapai. Kebijakan kuota bertujuan un-tuk melawan domestifikasi perempuan (melawan politik patriarki), karena domestifikasi dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patri-arki sejatinya bukanlah takdir.

Page 33: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 29

sebagian besar dari mereka tidak memiliki kemampuan mengartikulasikan kepentingan konstituennya.

Beberapa analis politik menyatakan bah-wa pemilu pada masa Orde Baru tidak sub-stantif tetapi lebih sebagai sebuah proses un-tuk memenuhi prosedur demokrasi. Hal ini disebabkan adanya ketegangan politik dengan adanya tarik menarik antarkekuatan partai poli-tik dengan kekuatan militer yang mempunyai peran dominan dan memiliki hubungan khusus dengan partai Golongan Karya (Golkar).3

Pemilihan umum tahun 1999 mengalami proses perubahan cukup signifikan, dimana rekrutmen kandidat partai untuk calon ang-gota legislatif, termasuk perempuan, melalui mekanisme yang lebih bersifat bottom-up. Pada masa ini juga tidak berlaku wakil dari angkatan bersenjata dan kepolisian. Se-bagian besar wakil perempuan yang terpi-lih dalam proses pemilu, memiliki kapasitas yang relevan, seperti: punya keterlibatan da-lam pembelaan masyarakat, memiliki akses pendampingan masyarakat yang luas, tokoh intelektual, dan sebagainya. Pemilu 1999 menghantarkan 44 perempuan yang duduk di DPR atau sekitar 8,9%.4

Pemilu tahun 2004 memberikan kesem-patan semakin luas bagi perempuan untuk terlibat dalam partisipasi politik melalui ke-bijakan kuota 30 persen untuk wanita dalam legislatif. Hasil pemilu tahun 2004 menem-patkan 65 perempuan (11,82%) di lembaga DPR.5 Kondisi tersebut apabila berlangsung secara akumulatif sepertinya akan memba-wa implikasi yang cukup menyegarkan bagi perpolitikan ke depan, dimana selama ini ke-hidupan politik di Indonesia didominasi oleh ideologi patriarki.

Hasil Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan pencapaian yang semakin baik meskipun be-lum mampu mencapai kuota 30 persen de-ngan menempatkan perempuan sebesar 101 orang atau 18,4 persen.6 Peningkatan yang 3. Affan Gafar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, h. 251.4. Deputi Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan, Panduan Rencana Aksi Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan, Kementrian Negara Pemberdayaan Perem-puan Republik Indonesia, Jakarta, 2006, h. 55. Ibid.6. Statistik Anggota DPR 2009-2014 Hasil Pemilu Legislatif

artikulatif tersebut menunjukkan keberhasi-lan atas upaya yang terus-menerus mendo-rong dan tetap mempertahankan penerapan kebijakan kuota 30% keterwakilan perem-puan yang secara legal termaktub dalam Un-dang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Meskipun sudah mengala-mi kemajuan, dibandingkan dengan negara-negara lain, keterwakilan politik perempuan Indonesia dalam parlemen masih berada pada peringkat ke-89 dari 189 negara.7

Affirmative Action: Upaya Peningkatkan Keterwakilan Perempuan di Legislatif

Peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif menjadi begitu penting sebagai bentuk pemberian keadilan terhadap perem-puan atas hak politiknya. Salah satu cara yang berperan dalam peningkatan persentase par-tisipasi perempuan Indonesia adalah dengan kebijakan yang dibuat untuk melindungi hak politik perempuan. Belajar dari negara-nega-ra di dunia yang tingkat keterwakilan perem-puannya baik, maka upaya affirmative action atas pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi penting. Affirmative action dalam bentuk kuota dan zipper system (dari sekian calon laki-laki harus diisi calon perempuan, contoh: model 3:1, diantara 3 calon laki-laki harus diisi 1 calon perempuan, demikian sete-rusnya) menjadi kunci keberhasilan masuknya perempuan di dalam lembaga legislatif.

Tindakan afirmasi terhadap keterwakilan perempuan baru dilaksanakan setelah masa reformasi. Pemilu 2004 telah menerapkan sistem kuota 30% keterwakilan perempuan dengan menggabungkan aturan nomor urut, namun belum menggunakan zipper system. Tindakan afirmasi dalam Pemilu 2004 masih memiliki kelemahan, karena tidak ada ja-minan perempuan diletakkan dalam nomor urut kecil atau nomor urut jadi. Berangkat dari pengalaman Pemilu 2004, kemudian di-terapkan zipper system pada UU Pemilu 2008

Perbandingan Perempuan dan Laki-Laki dalam http://mediacenter.kpu.go.id/images/mediacenter/DATA_OLA-HAN/juli/statistik_dpr_09-14-jenis_kelamin.pdf dan http://www.solopos.com/2010/01/23/2009-keterwaki-lan-perempuan-di-legislatif-naik-12766, diakses Jum’at, 8/4/2016 pukul 08.00 WIB7. Kuota Perempuan Tantangan bagi Parpol dalam http://www.mediaindonesia.com/data/pdf/pagi/2008-09/2008-09-02_02.pdf

Page 34: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

30

dengan mengharuskan Parpol menyertakan sekurang-kurangnya satu caleg perempuan diantara tiga caleg laki-laki yang ditempatkan pada nomor urut jadi. Hal ini dilakukan untuk menghindari kegagalan perempuan masuk ke dalam parlemen karena selalu ditempat-kan di nomor urut besar.

Dalam Pemilu 2009, upaya affirmative action dilakukan dengan mengelaborasikan sistem kuota, zipper system, dan aturan no-mor urut. Elaborasi tindakan afirmasi ini merupakan hasil pembelajaran terhadap apa yang terjadi dalam Pemilu 2004. Sesuai de ngan UU Pemilu No 12 tahun 2003, calon le gislatif terpilih ditetapkan berdasarkan aturan nomor urut. Hal ini memiliki kon-sekuensi bahwa caleg dengan nomor urut kecil memiliki kesempatan yang lebih besar menjadi anggota legislatif.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Dis-kriminasi terhadap Perempuan (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimi-nation Against Women) telah diratifikasi ne-gara melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi menge-nai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita yang mengamanatkan ke-pada negara untuk menghilangkan diskrimi-nasi terhadap perempuan, di antaranya de-ngan tindakan afirmasi (affirmative action). Amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 bukan pengistimewaan bagi perem-puan. Pun juga kebijakan kuota 30 % bukan dimaknai sebagai “jatah”, tetapi merupa-kan tindakan khusus sementara (temporary special treatment) agar hak-hak perempuan yang selama ini didiskriminasi oleh nilai-nilai budaya dan konstruksi sosial dapat diubah.

Perkembangan terakhir terdapat masalah dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan, ketika terjadi perubahan dalam sistem Pemilu. Judicial Review atas UU No.10 Tahun 2008 Pasal 214 yang menetapkan suara terbanyak sebagai mekanisme peng-ganti aturan nomor urut dalam penentuan calon legislatif, disyahkan. Mahkamah Kon-stitusi memutuskan hasil Judicial Review ini, karena Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 dinilai bertentangan dengan Pasal 1ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3) UUD

1945. Perubahan bunyi pasal dari digunakan-nya aturan nomor urut menjadi aturan suara terbanyak merupakan perubahan yang sig-nifikan terhadap sistem pemilu, khususnya terhadap tindakan afirmasi yang dilakukan untuk mendongkrak keterwakilan perem-puan di legislatif. Dengan dihapuskannya aturan nomor urut oleh Judicial Review UU Pemilu, maka affirmative action yang diatur oleh Pasal 55 ayat 2 tersebut menjadi tidak ada artinya. Tidak berlakunya zipper system, berarti tidak berlakunya affirmative action, dan pada akhir nya akan kontraproduktif terhadap upaya peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif.

Hal tersebut terlihat dari hasil akhir pemi-lu 2014 yang menunjukkan penurunan jum-lah legislator perempuan di hampir semua tingkatan, baik DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD Kota/Kabupaten, sebagaimana ter-lihat dari data berikut: DPR RI, Perempuan 97 (17,3%), Laki-laki 483 (86,3%), jumlah 560 kursi; DPD RI, Perempuan 34 (25,8%), Laki-la-ki 98 (74,2%), total 132 kursi; DPRD propinsi, Perempuan 335 (15,85%), Laki-laki 1.779 (84,5%), total 2.114 kursi (33 provinsi); DPRD Kabupaten/Kota, Perempuan 2.406 (14,2%), Laki-laki 12.360 (85,8%), total 14.410 kursi (403 Kab/Kota).8

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 oleh Badan Pusat Statistik, jumlah perempuan Indonesia sebesar 118.010.413 jiwa atau sekitar 49 % dari total jumlah pen-duduk. Berdasarkan data di atas, keterwaki-lan perempuan Indonesia dalam lembaga legislatif seharusnya mencapai rasio yang sama atau paling tidak mendekati angka prosentase tersebut. Dengan adanya judicial review UU Pemilu, hal itu memberi tekanan yang semakin berat untuk realisasi kuota 30 persen keterwakilan perempuan.

Akhirnya, perjuangan perempuan dalam partisipasi politik di alam demokrasi ternyata masih jauh. Perjuangan perempuan dalam rangka meningkatkan keterwakilan di legis-latif masih tetap memerlukan usaha yang gigih dan upaya yang terus-menerus. r

8. http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/10/09/nd6caa-ini-dia-profil-anggota-legislatif-20142019, diakses Jum’at, tanggal 08/04/2016 pukul 7.30 WIB

Page 35: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 31

Keikutsertaan perempuan dalam per-juangan Bangsa Indonesia untuk mem-peroleh kemerdekaan, membebaskan

bangsa dari penjajahan telah terpatri dalam berbagai dokumen bangsa ini. Oleh karena itulah setelah Indonesia merdeka persamaan hak politik antara laki-laki dan perempuan di-jamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Sejak lama Indonesia mengupayakan pemberdayaan perempuan dalam peta perpolitikan. Menurut pasal 27 UUD 1945, wa nita mempunyai kedudukan yang sama dalam bidang hukum dan pemerintahan de-ngan pria. Undang-Undang Dasar 1945 dalam perundang-undangan politik telah mencer-minkan bahwa wanita dan pria sama-sama punya hak untuk di pilih dan memilih, namun kenyataannya memperlihatkan bahwa jum-lah wanita yang menjadi anggota Legis latif selama Pemilu prosentasenya masih kecil, walaupun jumlah wanita lebih ba nyak dari

Wahai Perempuan Indonesia,Jumlahmu Mayoritas Dibanding Laki-laki,

Maksimalkan Kiprahmu!

SUHARDIDivisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih,

dan Penembangan IndormasiKPU Pacitan

pria. Demikian pula halnya dengan wanita yang memegang posisi pada jabatan pengam-bil keputusan juga masih kecil.

Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemi-lihan presiden pada tahun 2004 merupakan tonggak sejarah politik Indonesia modern karena menuntaskan demokratisasi di bi-dang lembaga-lembaga politik di Indonesia, yaitu DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan DPRD, baru pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Selain itu menorehkan sejarah gerakan perempuan untuk mencapai kesetaraan dalam politik, yaitu diakomodasinya keterwakilan kuota minimal 30 % perempuan. Tuntutan peran politik perempuan di Indonesia menjadi hal yang penting mengingat perempuan tidak bisa dilepaskan dari proses politik.

Kesadaran politik perempuan semakin nyata harus segera diaktualisasikan seiring banyaknya kebutuhan dan permasalahan-

Kehidupan politik selalu mengalami dinamika sebagai upa ya untuk menentukan peraturan-peraturan yang da-pat diterima dengan baik oleh sebagian besar masyarakat menuju kehidupan bersama yang harmonis.

Page 36: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

32

permasalahan perempuan yang perlu pena-nganan. kebutuhan tentang kesejahteraan keluarga, kesehatan, pendidikan, akses ekonomi, status sosial, dan lain-lain hanya dapat dipahami kaum perempuan sendiri. Termasuk problematika perempuan me-nyangkut kasus kekerasan fisik dalam rumah tangga, pelecehan seksual, diskriminasi, ketidakadilan dalam hak-haknya sebagai perempuan juga membutuhkan kebijakan politik untuk mengatasinya.

Partisipasi perempuan dalam politik di-awali melalui keterlibatan perempuan. Tetapi tuntutan terakomodasinya isu-isu perempuan dalam politik masih memerlukan proses yang panjang karena terdapat faktor kendala, baik dari segi kultural (budaya) maupun struktural (sistem yang berlaku).

Dari segi kultural terlihat dari masih rendahnya minat perempuan untuk aktua-lisasi diri memperjuangkan nasib perem-puan melalui lembaga legislatif. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan di suatu partai politik yang cen-derung selalu didominasi kaum laki-laki.

Lebih dari setengah total jumlah pen-duduk di Indonesia adalah perempuan. Mengabaikan perempuan dalam pembuatan keputusan politik akan menepikan mayo-ritas Indonesia dari proses politik. Dengan dominasi laki-laki yang duduk di lembaga-lembaga politik di Indonesia maka berimbas pada kurangnya/lemahnya suara perempuan sehingga peluang terakomodirnya isu-isu perempuan saat pengambilan keputusan politik juga semakin kecil.

Keterbatasan peran dan akses perem-puan di dunia politik Indonesia menunjukkan ruang gerak perempuan untuk duduk seba-gai pengambil kebijakan politik di lembaga politik masih sempit. Karena itulah seiring dengan demokratisasi untuk pemenuhan hak-hak warga terutama hak perempuan di bidang politik mendorong lahirnya Undang-undang tentang ketentuan kuota minimal 30% bagi partai politik untuk kepengurusan di suatu partai politik bahkan sampai dengan calon legislatifnya.

Ketetapan kuota minimal 30% keterwaki-lan perempuan sendiri sudah diterapkan per-tama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan

perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daer-ah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Poli-tik telah memberikan mandat kepada par-tai politik untuk memenuhi kuota minimal 30% bagi perempuan dalam politik untuk duduk sebagai pengurus di suatu partai poli-tik, sampai dengan di lembaga perwakilan rakyat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik tersebut menghendaki supaya partai politik bersifat kuat, tangguh, demokratis, populis, bertanggung jawab sebagai media kehendak masyarakat menuju kesejahteraan bersama. Karena itulah UU No 2 tahun 2008 membuat persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu partai menyangkut isu gender. Lebih diper-tegas lagi dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwaki-lan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Un-dang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.

Tetapi adanya kuota minimal 30% perem-puan dalam kepengurusan di suatu partai politik maupun keterwakilan di lembaga legislatif apakah selaras dengan kesadaran perempuan-perempuan di Indonesia untuk ikut terlibat? Hal tersebut menjadi hubungan yang signifikan karena minat berpolitik kaum perempuan dapat berpengaruh terhadap tingkat representasi perempuan di lembaga-lembaga politik. Kenyataan di lapangan dalam kepengurusan di suatu partai politik maupun Legislatif dari tahun ke tahun menunjukkan selalu masih dominasi kaum laki-laki.

Minat perempuan untuk berpolitik belum menunjukkan perubahan yang mencolok dari tahun ke tahun, baik di tingkatan pusat mau-pun daerah. Rendahnya kesadaran perem-puan untuk memperjuangkan kesejahteraan perempuan itu sendiri pada khususnya dan seluruh warga masyarakat pada umumnya melalui lembaga politik pengambil kebijakan publik tersebut masih nampak nyata. Misal-

Page 37: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 33

nya dalam proses pencalonan anggota legis-latif, di beberapa daerah masih kesulitan men-jaring bakal calon perempuan. Pun demikian terkadang pemenuhan bakal calon yang ada hanya untuk mambatalkan syarat agar kuota bakal calon perempuan terpenuhi.

Terdapat suatu permasalahan, misalnya ada perempuan yang aktif berpolitik tetapi tidak cukup memiliki basis pendidikan yang baik. Kenyataannya terdapat hubungan yang signifikan antara keberhasilan seseorang dalam mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan jika orang tersebut mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman melalui proses pendidikan. Melalui jalur pendidikan maka pola pikir dan pola penyelesaian seseorang terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan di-harapkan menjadi terbantu, yaitu melalui perkembangan dan penerapan teori yang dipelajari. Dengan demikian sumber daya manusia tidak mengecualikan perempuan menjadi salah satu hal yang dapat mempe-ngaruhi sikap dan pola pengambilan kepu-tusan seseorang untuk menelaah kehidupan dan berupaya mengatasi problematika, mi-salnya untuk bisa hidup layak maka harus bekerja, untuk bisa mengetahui sesuatu maka harus dilakukan dengan belajar atau mencari jawabannya, untuk bisa berpolitik maka perlu ketrampilan atau pengalaman berorganisasi, untuk bisa profesional di bi-dangnya maka dibekali dengan ilmu penge-tahuan, skill, dan pengalaman yang relevan atau mencukupi.

Bahwa selain tingkat pendidikan, perem-puan sering terhambat untuk beraktivitas secara leluasa khususnya di bidang politik dikarenakan faktor klasik, yaitu keterbatasan dalam pemenuhan ekonomi atau pemenu-han kesejahteraan keluarga bahkan peker-jaan domestik di rumah tangga. Tidak dapat dipungkiri bahwa keterlibatan perempaun dalam berpolitik diperlukan pengorbanan tenaga, waktu, pikiran, dan loyalitas karena terdapat seleksi untuk bisa lolos atau men-jadi perempuan yang terpilih nantinya.

Perkembangan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan di suatu partai politik dalam kegiatan politik yang mengantarkan pada kursi/ posisi pengambil kebijakan di

badan legislatif juga belum menunjukkan pe-ningkatan yang signifikan. Kondisi tersebut tampak terutama di daerah-daerah kabupa-ten/ kota dimana dalam proses pencalonan legislatif jumlah keterwakilan perempuan kesulitan dalam memenuhi kuota.

Keikutsertaan seseorang, khususnya perempuan untuk siap berkecimpung di dunia politik tentunya melalui proses pertim-bangan. Kekuatan dan kelemahan seseorang untuk berkompetisi dan bekerja di badan legislatif didukung oleh sumber daya, dian-taranya: kecerdasan, kemampuan manaje-rial/kepemimpian, finansial, mungkin faktor gender dan faktor lainnya. Sedangkan faktor peluang bisa didukung oleh motif-motif ter-tentu, misalnya keinginan untuk melanjutkan keaktifan berorganisasi, motif ekonomi untuk meningkatkan tingkat perekonomian, motif sosial untuk meningkatkan status perseora-ngan maupun keluarga di masyarakat serta dimungkinkan adanya keinginan-keinginan lain dari diri pribadi, keluarga, maupun kelembagaan atau kemasyarakatan.

Persoalan tentang masih rendahnya mi-nat perempuan dalam berpolitik, menjadi hal yang dapat mempengaruhi minimal 30% keterwakilan perempuan. Implikasinya ada-lah kurangnya/lemahnya hasil-hasil kepu-tusan/kebijakan politik khususnya tentang permasalahan keperempuanan itu sendiri. Seperti dapat dipahami bersama bahwa persoalan-persoalan perempuan dapat dia-komodir oleh keterwakilan perempuan.

Akan tetapi selama ini masih banyak perempuan yang kurang aktif untuk mem-perjuangkan nasib sendiri dan kaumnya. Pa-dahal peluang tersebut cukup besar mengi-ngat jumlah perempuan di Indonesia adalah mayoritas dibanding jumlah laki-laki.

Dalam kancah politik praktis selama ini masih didominasi oleh peran laki-laki meskipun telah dilakukan upaya payung hukum berupa Undang-undang yang mem-persyaratkan keterwakilan 30% perempuan di partai politik untuk bisa menjadi peserta pemilihan umum.

Wahai perempaun... ditunggu kiprahmu di kancah perpolitikan Indonesia...

Majulah perempuan... Jayalah Perem-puan... r

33

Page 38: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

34

Diperkuat juga dengan mitos dan cara pandang primordial terhadap kaum perempuan. mengakibatkan perem-

puan terkonstruk kultur dan budaya sehing-ga perempuan tidak memiliki peranan selain urusan domestik saja.

Perempuan dalam keseharian kehidu-pannya hanya berkutat urusan rumah tangga dan mengasuh anak. Sementara urusan yang lebih besar akan menjadi tanggungjawab laki-laki. juga dalam kebijakan dan peran-peran publik hanya dianggap dimiliki oleh laki-laki saja. Bermuara dari etnik, suku dan di perkuat dengan interpretasi dogma serta mitos di masyarakat menyebabkan terjadi-nya ketimpangan sosial yang terstruktur yang diikat kultur.

Ketimpangan sosial ini berdapak pada tatanan sistem kenegaraan dan pembagian kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam kontestasi politik misalnya, perem-puan bukan menjadi aktor politik, melainkan menjadi peragawati dalam suksesi politik.

Kondisi ini adalah tantangan tersendiri bagi kaum perempuan khususnya di Kabu-paten Probolinggo, untuk merombak pola pikir dan memberikan penyadaran bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mempati ruang-ruang strategis.

Beberapa dekade yang lalu Negara-ne-gara dunia termasuk Indonesia ramai mem-perbincangkan instilah “gender” yang sub-stansinya adalah persamaan derajat antar warga Negara. Ide tentang persamaan dera-jat ini hakekatnya telah termaktub sejak 71 tahun yang lalu dalam kitab Undang Undang Dasar (UUD) 1945.

UUD 1945 pasal 27 menyatakan bahwa “Semua warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintah.” Juga diperkuat dengan Pasal 28 UUD 1945 juga menyatakan bahwa “Kebebasan ber-kumpul dan berserikat, dan kebebasan me-nyatakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan.”

ERFAN GHAZIDivisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Pengembangan InformasiKPU Kabupaten Probolinggo

Perempuan Dalam DimensiPolitik dan Budaya Daerah

Secara kodrati antara laki-laki dan perempuan memang ber-beda, anggapan bahwa laki-laki lebih kuat dari perempuan bedampak pada tatanan sistem sosial yang melahirkan perem-puan harus berada di bawah kekuasaan laki-laki.

Page 39: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

KPU Jawa Timur Mei 2016 35

Ide dasar tentang persamaan derajat telah tertuang dalam kitab pedoman dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun Ide tentang kesamaan derajat itu masih sebatas ide yang menjadi mimpi dan belum teralisasi secara total pada praktek keseharian kehidupan warga masyarat Indo-nesia. Akibatnya kesenjangan sosial masih belum teratasi. Laki laki dan perempuan masih memiliki perbedaan yang cukup sig-nifikan yang di dasari oleh pola pikir tradi-sional sukuistik kedaerahan masing-masing.

Kuota 30% “Gagal” RealisasiUndang-undang Nomor 2 Tahun 2008

tentang Partai Politik memberikan angin se-gar dan dan memberikan ruang baru bagi perempuan dengan memberikan peluang bagi perempauan untuk berkarir di dunia perpolitikan daerah maupun nasional. Pe-ratuan ini mensyaratkan kuota 30% keikut-sertaan perempuan dalam pemilihan legis-latif sebagai penekanan untuk mem-pressure

jumlah keikutsertaan perempuan dalam se-mua ajang kontestasi politik, pembagian dan perebutan kekuasaan.

Perintah undang-undang ini memberikan suasana baru dalam kontestasi perebutan kursi legislatif. Di Kabupaten Probolinggo pada Pemilu 2009, terhitung unsur perem-puan sebanyak 163 orang atau 34% dari 473 jumlah daftar calon tetap. Dari jumlah terse-but unsur perempuan hanya medapatkan 7 (tujuh) kursi atau 14% dari 50 kursi jumlah kursi DPRD Kabupaten Probolinggo.

Pada pemilu legislatif tahun 2014 jumlah daftar calon tetap sebanya 463, keterwakilan perempuan berjumlah 181 orang atau 39% calon dari wakil perempuan, (dokumen KPUD KabupatenProbolinggo: 2014) jumlah ini naik 5% dibanding pada pileg tahun 2009. Hal ini menunjukkan perempuan memiliki motivasi berpartisipasi dalam bursa kontestasi pere-butan kekuasaan kursi legislatif sesuai ana-mah undang unadang No 2 tahun 2008.

Jumlah calon ketewakilan perempuan

Page 40: Suara KPU Jawa Timur Jurnal IDe · Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka

36

mencapai 39% melebihi target 30% amanat undang undang. Tetapi dalam persaingan perebutan kursi DPRD Kabupaten Probo-linggo pada tahun 2014 keterwakilan perem-puan hanya mampu menempati 8 kursi atau hanya 18% dari 45 kursi DPRD Kabupaten Probolinggo.

Keterwakilan 30% representasi perem-puan pada kursi DPRD Kabupaten Proboling-go sejak lahirnya peraturan perundang-un-dangan delapan tahun silam sampai saat ini keterwakilan perempuan masih belum men-capai representasi sebagimana yang diharap-kan. Semestinya keterwakilan itu tidak hanya keterwakilan pencalonan saja melainkan sampai pada estimasi jumlah kursi legislatif yang di duduki oleh perempuan.

Kegagalan jumlah representasi perem-puan menempati ruang publik cukup menyita perhatian banyak pihak. Sedianya dengan du-kungan undang undang, perempuan memiliki daya saing lebih. Kegagalan ini menunjukkan bahwa apakah perempuan tidak memiliki

daya saing karena keterbatasan dan kurang-nya keahlian dan pengetahuan dalam proses perpolitik dan perebutan kekuasaan atau kei-kutsertaan perempuan pada kontestasi poli-tik hanya sekedar ikut-ikutan dan menjadi pelengkap kuota saja.

Tugas penting bagi kaum perempuan yang hari ini duduk di kursi legislatif untuk melakukan pemberdayaan serta civic educa-tion dengan porsi lebih bagi kaum perempuan yang aktif di dunia politik dan memberikan penyadaran arti penting representasi perem-puan atau paling tidak melakukan penguatan karakter dan mental bagi kader perempuan minimal kader partainya masing-masing.

Penguatan daya saing perempuan dalam kencah perpolitikan bukanlah hal yang musta-hil dilakukan. Dengan melakukan penguatan kapasitas dan karakter misalnya melalui sem-inar dan pelatihan-pelatihan serta strategi strategi lain yang nantinya akan menciptakan perempuan yang tangguh dengan kapasitas intelektual yang memadai. r

36