Upload
achmad-edi-kuswanto
View
2.124
Download
23
Embed Size (px)
Citation preview
STRATEGI PRIVATISASI BUMN DI INDONESIA
TUGAS MATA KULIAH HUKUM ORGANISASI DAN PERUSAHAAN
DOSEN :PROF. DR. H. MAN S. SASTRA WIDJAJA, S.H., S.U.
NURJANAH 110120100021
PROGRAM MAGISTER HUKUM BISNISFAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJAJARAN2010
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dewasa ini sepertinya
memiliki kekurangan mekanisme yang memadai untuk mencapai
efisiensi untuk dapat berkembang. Termasuk dalam konteks ini adalah
keberadaan BUMN yang sarat dibebani tujuan-tujuan yang tidak selalu
berkaitan dengan soal efisiensi perusahaan. Ditambah lagi krisis
ekonomi dan keuangan hampir selalu menjadi latar belakang untuk
melakukan privatisasi di negara-negara sedang berkembang, termasuk
Indonesia. Keadaan ini membuat privatisasi menemukan pijakan untuk
meningkatkan efisiensi dan produktifitas BUMN. Kebijakan privatisasi
senantiasa diletakkan dalam konteks pemulihan kehidupan ekonomi
nasional dan penyehatan BUMN. Pada titik inilah kebijakan privatisasi
senantiasa dikonkretkan dalam aturan hukum positif akan
bersinggungan langsung dengan supaya mewujudkan Good Corporate
Governance (GCG).
Kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia semakin menjadi bagian
penting dari kebijakan ekonomi pemerintah. Privatisasi dipandang
sebagai langkah untuk mengurangi intervensi pemerintah dalam
2
bidang ekonomi yang seharusnya dilaksanakan oleh sektor swasta.
Privatisasi diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan efisiensi
perusahaan yang selanjutnya mendukung pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Namun, privatisasi yang dilakukan pemerintah saat ini
bukan dalam tujuan diatas, melainkan untuk menutup defisit APBN.
Karena sektor-sektor penerimaan dan pembiayaan lainnya tidak
mencukupi dalam keseimbangan anggaran yang telah ditetapkan.
Sebagaimana perusahaan pada umumnya, BUMN beroperasi
menurut norma-norma bisnis yang tunduk pada Undang-undang
Perseroan Terbatas dan berbagai aturan hukum dan perundangan
lainnya yang berlaku di Indonesia. Selaku pemegang saham,
pemerintah mestinya berkepentingan mendorong pengembangan
usaha BUMN agar bisa memperoleh laba BUMN yang cukup besar
serta kontribusi pajak yang dihasilkan. Kedua sumber pendapatan
inilah yang masuk dari pintu penerimaan dalam menghitung
penerimaan perpajakan dalam APBN.
Pemikiran ini mungkin hanya “reliable” bila perekonomian dalam
keadaan nomal. Sementara dalam kondisi perekonomian yang sedang
dilanda krisis, dimana ada tekanan APBN yang cukup berat yang
mendorong pemerintah menetapkan anggaran defisit, maka
pemerintah kemudian mengambil langkah taktis antara lain dengan
cara menjual aset-aset yang dikuasai pemerintah. Secara prinsip
manajemen, kebijakan privatisasi BUMN perlu dilakukan dengan
3
tujuan meningkatkan transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan
kompetitif. Sementara kebijakan privatisasi BUMN yang antara lain
bertujuan menutup defisit APBN adalah konsep jangka pendek, dan
misleading apabila dipaksakan untuk dijual murah di saat krisis.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah
dapat disusun sebagai berikut: strategi apa yang paling tepat dan
reliable untuk melakukan privatisasi BUMN di Indonesia, baik dalam
rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN maupun dalam
rangka meningkatkan kinerja BUMN dalam jangka panjang serta
manfaat yang dapat dari privatisasi terhadap BUMN yang
melaksanakannya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Makna Privatisasi
Para ekonom dan pengambil kebijakan pada prinsipnya
sependapat tentang hakekat atau makna dari privatisasi. Basri1
misalnya, berpendapat bahwa hakekat atau makna privatisasi adalah
mengurangi keterlibatan atau intervensi pemerintah ke ekonomi secara
langsung. Pemerintah cukup melaksanakan tugas-tugas yang tidak
dapat dilaksanakan oleh pasar termasuk pertahanan dan keamanan
serta redistribusi pendapatan. Dalam kata-katanya “Dalam keadaan
yang ideal, negara hanya bertindak sebagai pengatur, penata,
penegak rule of law, dan penjamin rasa aman.”
Dalam perkembangannya, ada kesan negatif yang ditangkap
oleh masyarakat terhadap BUMN yang bergerak di bidang
perekonomian, bahkan ada anekdot yang mengatakan bahwa di
BUMN rugi tidak boleh tapi kalau untung bisa diatur. Ini juga
menggambarkan BUMN sebagai badan usaha yang tidak efisien dan
memiliki profitabilitas rendah.
Kondisi ini sebenarnya dipengaruhi oleh tujuan awal pendirian
BUMN yaitu untuk pemenuhan kebutuhan publik dan peningkatan
1 Basri, Faisal H., (2002), “Konsep Privatisasi”, makalah yang disampaikan dalamSeminar Terbatas: Privatisasi Ditinjau dari Aspek Ekonomi Makro, yang diselenggarakan oleh Kantor Badan Usaha Milik Negara, Graha sawala, Gedung Utama Departemen Keuangan, Jakarta, 21 Mei 2002
5
kesejahteraan masyarakat dibandingkan dengan perolehan laba.
Namun pada kondisi globalisasi seperti saat ini, BUMN tidak dapat
hanya berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan publik semata,
karena makin tingginya biaya hidup menuntut BUMN dapat
menyediakan kebutuhan atau fasilitas publik dengan baik dengan
harga yang terjangkau sehingga manajemen BUMN harus lebih
profesional dan efisien sehingga dapat mencapai hal tersebut.
Namun hak monopoli yang selama ini diberikan kepada BUMN lebih
membuat BUMN makin terpuruk dengan maraknya budaya korupsi,
kolusi, dan nepotisme, juga membuat BUMN menjadi sulit beradaptasi
dengan perubahan pasar makin kompetitif, ditambah dengan ekonomi
biaya tinggi akibat ketidak-efisienan yang berakibat pada turunnya
kemampuan menyediakan kebutuhan publik atau fasilitas kepada
publik tadi.
B. Tujuan Privatisasi
Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa tujuan utama
privatisasi ada dua, yaitu: pertama, untuk mengurangi defisit fiskal dan
atau menutupi kewajiban-kewajiban (hutang-hutang) pemerintah yang
jatuh tempo, dan kedua, untuk mendorong kinerja ekonomi makro atau
efisiensi makro. Tujuan pertama umumnya diadopsi oleh negara-
negara maju (industri) dan tujuan kedua umumnya diadopsi oleh
6
negara-negara berkembang utamanya dalam kerangka tujuan jangka
pendek.
Privatisasi di Indonesia pada prinsipnya tidak berbeda dengan
hakekat dan tujuan privatisasi secara internasional. Pengalaman-
pengalaman Indonesia dalam perspektif jangka panjangnya
menetapkan bahwa tujuan privatisasi adalah untuk tujuan efisiensi
makroekonomi, yang sejalan dengan prinsip yang diadopsi dari negara
maju seperti Inggris, Perancis, dan Jepang. Hakekat dan tujuan
Privatisasi di Indonesia tersebut dapat dilihat di berbagai dokumen
negara seperti pada UU APBN 2001, UU APBN 2002, dan Keppres
No. 7 tahun 2002 tentang Kebijakan Privatisasi BUMN.
Pada skala makro ekonomi, dengan melakukan privatisasi,
perusahaan diharapkan akan memberikan kontribusi yang lebih besar
pada negara melalui pajak dan deviden maupun kontribusi langsung
terhadap APBN. Keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur
memiliki kontribusi positif terhadap peningkatan pelayanan kepada
publik misalnya pada sektor telekomunikasi. Dengan melibatkan pihak
swasta, dana pembangunan menjadi lebih besar sehingga dapat lebih
mewujudkan pembangunan perekonomian yang lebih luas juga.
Tujuan lain yang ingin dicapai oleh privatisasi adalah perubahan
paradigma BUMN agar lebih terbuka, menghilangkan praktek-praktek
KKN melalui praktek good corporate governance, serta merespon
7
perubahan pasar dengan cepat, agar pelayanan publik dapat diberikan
dengan lebih efisien.
C. Metode Privatisasi
Banyak metode yang ada dalam rangka pelaksanaan privatisasi
BUMN di Indonesia, namun agar dapat berjalan dengan baik tentunya
pemilihan strategi privatisasi haruslah direncanakan dengan matang
agar berhasil dan mencapai tujuan yang ditetapkan. Jenis BUMN,
kondisi BUMN, serta situasi sosial politik dari suatu negara juga
adalah beberapa faktor yang menentukan sukses tidaknya privatisasi
dilakukan. Beberapa strategi yang dapat dipilih, antara lain public
offering, private sale, new private investment, sale of assets,
fragmentation, management/employee buy out, kontrak manajemen,
kontrak/sewa aset, atau likuidasi. 2
I. Public Offering
Pada strategipublic offering, pemerintah menjual kepada
publik semua atau sebagian saham yang dimiliki atas BUMN
tertentu kepada publik melalui pasar modal. Umumnya, pemerintah
hanya menjual sebagian dari saham yang dimiliki atas BUMN
tersebut. Strategi ini akan menghasilkan suatu perusahaan yang
dimiliki bersama antara pemerintah dan swasta. Proporsi
2 Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989
8
kepemilikan pemerintah atas BUMN ini akan menurun.
Public offering ini cocok untuk memprivatisasi BUMN yang cukup
besar, memiliki potensi keuntungan yang memadai dalam waktu
dekat dapat direalisasi. BUMN harus bisa memberikan informasi
lengkap tentang keuangan, manajemen, dan informasi lainnya,
yang diperlukan masyarakat sebagai calon investor. Public offering
ini akan dapat terealisasi apabila telah tersedia pasar modal, atau
suatu badan formal yang dibentuk dalam rangka
menginformasikan, menarik, dan menjaring publik. Di samping itu
harus cukup tersedia likuiditas di pasar modal tersebut. Metode
public offering telah dipilih dalam rangka privatisasi beberapa
BUMN di Indonesia, antara lain PT. Semen Gresik, PT. Indosat, PT.
Timah, PT. Telkom, PT. Aneka Tambang, dan Bank BNI.3
II. Private Sale
Pada strategi ini, pemerintah menjual semua atau sebagian
saham yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada satu atau
sekelompok investor tertentu. Calon investor pada umumnya sudah
diidentifikasi terlebih dulu, sehingga pemerintah dapat memilih
investor mana yang paling cocok untuk dijadikan partner usahanya.
Strategi private sale ini fleksibel, tidak harus melalui pasar modal.
Cocok untuk privatisasi BUMN yang memiliki kinerja rendah, yang
3 Artjan, M. Faisal, “IPO Sebagai Alternatif Privatisasi BUMN”, Majalah Usahawan No. 02 Th. XXIX, Februari 2000
9
belum layak untuk melakukan public offering. BUMN ini
memerlukan investor yang memiliki usaha di bidang industri yang
sama, memiliki posisi keuangan yang kuat, dan memiliki kinerja
dan teknologi yang baik. Strategi ini juga cocok untuk negara-
negara yang belum memiliki pasar modal, atau belum memiliki
badan formal yang mampu menjaring investor.
III. New Private Investment
New private investment dapat ditempuh oleh pemerintah
apabila pemerintah atau BUMN menghadapi keterbatasan untuk
mengembangkan usaha BUMN tersebut. Dalam hal ini, pemerintah
tidak menjual saham yang dimiliki atas BUMN, tetapi mengundang
investor untuk menyertakan modal, sehingga modal BUMN akan
bertambah. Penambahan modal tersebut sepenuhnya masuk ke
BUMN, dan tidak ada dana yang diterima oleh pemerintah secara
langsung. Kebijakan ini akan menyebabkan proporsi kepemilikan
saham pemerintah atas BUMN tersebut menjadi berkurang. New
private investment cocok untuk mengembangkan BUMN, namun
BUMN mengalami kekurangan dana, misalnya dalam rangka
meningkatkan kapasitas produksi atau menyediakan infrastruktur
dalam rangka peningkatan produksi. Jadi sasaran utamanya bukan
untuk menjual BUMN tersebut.
10
IV. Sale of Assets
Pada strategi ini pemerintah tidak menjual saham yang
dimiliki atas saham BUMN tertentu, tetapi menjual aset BUMN
secara langsung kepada pihak swasta. Alternatif lain, pemerintah
tidak menjual aset BUMN secara langsung, tetapi
menggunakannya sebagai kontribusi pemerintah dalam
pembentukan perusahaan baru, bekerjasama dengan pihak
swasta. Dalam memilih mitra usaha, tentunya pemerintah akan
memilih pihak-pihak yang telah dikenal sebelumnya. Kebijakan
penjualan aset ini lebih fleksibel dan lebih mudah dilaksanakan,
dibandingkan menjual perusahaan secara keseluruhan. Kebiajakan
ini cocok untuk dilaksanakan apabila menjual perusahaan secara
keseluruhan merupakan target yang sulit dicapai. Pemerintah dapat
menjual seluruh aset yang dimiliki BUMN, write off semua utang,
dan melikuidasi BUMN tersebut.
V. Fragmentation
Pada strategi fragmentation ini, BUMN direorganisasi
atau dipecah-pecah (fragmentation) menjadi beberapa
perusahaan atau dibuat suatu holding company dengan
beberapa anak perusahaan. Salah satu atau beberapa anak
perusahaan kemudian dijual kepada pihak swasta. Kebijakan
ini akan menghasilkan beberapa pemilik baru atas satu BUMN
11
sehingga diharapkan dapat menciptakan suasana bisnis yang
lebih kompetitif. Strategi ini cocok untuk menjual BUMN yang
besar dengan harga yang mahal. Karena mahal biasanya tidak
banyak calon investor yang tertarik untuk membeli. Dengan
dipecah-pecah, harganya menjadi lebih murah dan alternatif
untuk seorang investor untuk membeli menjadi lebih banyak,
dimana ia dapat memilih bagian yang paling menarik untuk
dibeli.
VI. Management/Employee Buy Out
Pada strategi ini, Pemerintah mengalokasikan sejumlah
saham untuk dibeli oleh para manajer dan karyawan BUMN, atau
koperasi karyawan BUMN. Strategi ini cocok untuk transfer
kepemilikan BUMN dari pemerintah kepada para manajer dan
karyawan BUMN. Dengan memiliki saham, para manajer dan
karyawan BUMN diharapkan akan bekerja lebih serius, sehingga
kinerja BUMN akan meningkat. Strategi ini juga cocok untuk BUMN
yang akan diprivatisasi, namun belum layak untuk melakukan
publik offering karena kinerjanya yang kurang baik. Daripada
BUMN dilikuidasi, maka strategi ini merupakan alternatif yang lebih
baik.
VII. Kontrak Manajemen
12
Dalam strategi kontrak manajemen, pemerintah
mengundang perusahaan swasta untuk "mengelola" BUMN selama
periode tertentu, dengan memberikan imbalan tertentu (dituangkan
dalam kontrak kerjasama). Perusahaan tersebut harus bergerak
dibidang yang sama, memiliki pengalaman yang cukup, memiliki
teknologi dan sumber daya manusia yang lebih baik. Strategi
kontrak manajemen dimaksudkan untuk (1) meningkatkan kinerja
BUMN, melalui peningkatan efisiensi dan atau efektifitas
penggunaan aset BUMN, (2) memperoleh keuntungan yang
optimal, (3) transfer manajemen, budaya kerja, skill, dan teknologi.
Tidak ada transfer kepemilikan dalam strategi ini. Privatisasi yang
dilakukan hanya bersifat privatisasi pengelolaan, bukan privatisasi
kepemilikan. Strategi kontrak manajemen dapat dipakai sebagai
strategi antara sebelum privatisasi kepemimpinan dilaksanakan.
Kontrak manajemen merupakan strategi yang baik apabila kondisi
BUMN belum layak untuk dijual. Strategi ini dapat dipakai untuk
meningkatkan kinerja BUMN, baik untuk BUMN yang memberikan
pelayanan umum kepada masyarakat, maupun BUMN yang akan
diprivatisasi kepemilikannya.
VIII. Kontrak/Sewa Aset
Kontrak/sewa aset adalah strategi di mana pemerintah
mengundang perusahaan swasta untuk menyewa aset atau
13
fasilitas yang dimiliki BUMN selama periode tertentu.
Pemerintah/BUMN dengan segera akan mendapatkan uang sewa
dari perusahaan penyewa, tanpa melihat apakah perusahaan
tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Perusahaan penyewa
berkewajiban untuk memelihara aset atau fasilitas yang
disewanya.Aset atau fasilitas yang disewa bisa termasuk SDM
yang mengelola fasilitas atau aset tersebut. Strategi ini cocok untuk
meningkatkan return on assets (ROA), sehingga aset BUMN bisa
dimanfaatkan secara optimal. PT. Tambang Timah (Indonesia)
telah menerapkan metode ini. Demikian pula Port Kelang dan
National Park Facilities dari Malaysia, serta Port of Singapore dari
Singapura. BUMN-BUMN tersebut telah menyewakan asset yang
dimiliki dalam rangka meningkatkan ROA.
IX. Likuidasi
Likuidasi merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan
pemerintah terhadap BUMN. Alternatif ini dapat dipilih apabila
BUMN tersebut adalah BUMN komersial, bukan BUMN public
utilities atau memberikan public services, tetapi dalam
kenyataannya tidak pernah mendapatkan keuntungan dan selalu
menjadi beban negara.
X. Initial Public Offering (IPO)
14
Initial Public offering merupakan strategi privatisasi BUMN
dengan cara menjual sebagian saham yang dikuasai pemerintah
kepada investor publik untuk yang pertama kalinya. Artinya, saham
BUMN tersebut belum pernah dijual melalui pasar modal pada
waktu sebelumnya. Metode IPO dapat menghasilkan dana segar
dalam jumlah yang besar bagi pemerintah, tanpa harus kehilangan
kendali atas BUMN tersebut. Investor publik pada umumnya
membeli saham untuk tujuan investasi, dengan persentase
kepemilikan yang relatif kecil. Pada umumnya mereka tidak
bermaksud untuk ikut serta dalam kegiatan operasional
perusahaan. Dengan demikian IPO ini cocok untuk dipilih apabila
nilai saham yang akan diprivatisasi jumlahnya cukup besar, BUMN
memiliki kondisi keuangan yang baik, memiliki kinerja manajemen
yang baik, tersedia cukup waktu untuk melaksanakan IPO, serta
cukup tersedia likuiditas dana di pasar modal.
XI. Right Issue (RI)
Right Issue adalah strategi privatisasi BUMN dengan cara
menjual sebagian saham yang dikuasai pemerintah kepada publik,
di mana BUMN tersebut telah melakukan penjualan saham melalui
pasar modal pada waktu sebelumnya. Pada dasarnya metode
Right Issue tidak jauh berbeda dengan metode initial public
offering. Metode Right Issue tidak menyebabkan pemerintah lepas
15
kendali atas BUMN yang diprivatisasi selama masih menjadi
pemegang saham mayoritas. Right issue cocok untuk dipilih
apabila nilai saham yang akan diprivatisasi jumlahnya cukup besar,
BUMN pernah melakukan penawaran saham melalui IPO, memiliki
kondisi keuangan yang baik, memiliki kinerja manajemen yang
baik, tersedia cukup waktu untuk melaksanakan Right Issue, serta
tersedia likuiditas dana di pasar modal.
XII. Strategic Sales
Strategic sales (SS) merupakan strategi privatisasi untuk
menjual saham BUMN yang dikuasai pemerintah kepada investor
tunggal, atau sekelompok investor tertentu. Beberapa metode yang
termasuk didalam SS antara lain strategic private sale, new private
investment, management/employee buy out dan fragmentation.
Pada dasarnya, SS dimaksudkan untuk mendatangkan dan
melibatkan investor baru dalam pengelolaan BUMN. Disamping
membawa dana segar, diharapkan investor baru juga membawa
sesuatu yang strategis untuk meningkatkan kinerja BUMN seperti
teknologi baru, budaya, metode kerja yang efektif dan efisien,
perluasan penguasaan pasar dan sebagainya. Dengan demikian
pemilihan investor baru sangatlah selektif dikaitkan dengan
permasalahan yang ada di BUMN yang akan diprivatisasi. Strategic
Sales merupakan pilihan yang baik bila BUMN yang diprivatisasi
16
memiliki kinerja yang kurang baik atau permasalahan keuangan
yang kurag sehat. Strategi ini juga dapat dilaksanakan dalam waktu
yang relatif cepat dengan biaya yang lebih kecil bila dibandingkan
dengan IPO, sehingga cocok untuk strategi privatisasi dengan
waktu yang relatif terbatas atau nilai saham yang diprivatisasi kecil,
atau bila pasar modal sedang dalam kondisi kekurangan likuiditas.
17
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Pada dasarnya, setiap metode privatisasi BUMN memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Metode IPO saat ini
memang sedang menjadi pilihan dibandingkan metode-metode
privatisasi lainnya. Meskipun ada beberapa pola atau skenario yang
dapat dijadikan acuan oleh pemerintah untuk melaksanakan
privatisasi, namun ada negara yang mudah mendapatkan dukungan
dari wakil rakyatnya, ada pula yang sulit bahkan terhambat
mendapatkan dukungan dari wakil rakyat. Tapi harus disadari bahwa
yang berkepentingan (stake holder) dari privatisasi BUMN ini bukan
hanya pemerintah dan badan legislatif, tetapi juga manajemen dan
karyawan yang bersangkutan bahkan seluruh rakyat menjadi stake
holder tidak langsung, yang juga memainkan peranan penting dalam
mensukseskan keberhasilan program ini.
Di Indonesia, wacana privatisasi atau swastanisasi telah bergulir
semenjak tahun 1989 oleh Menteri keuangan. Namun sampai dengan
akhir tahun 90-an proses tersebut seperti menemui jalan buntu. Proses
sebenarnya dimulai ketika Presiden Soeharto meminta Tanri Abeng
menjadi Menteri Negara Pendayagunaan BUMN ( Meneg BUMN )
pada kabinet Pembangunan VII. Tugas utamanya membenahi 164
18
perusahaan BUMN dengan jumlah anak perusahaan di atas 1.300
yang tersebar di 17 kementrian. Para menteri teknis pada saat itu telah
menjadi pemimpin bagi BUMN yang berada dibawah naungannya.
Transparansi boleh dibilang mustahil, keuntungan bukan sesuatu yang
harus dikejar. Jauh sekali dari praktek good corporate governance
(GCG) budaya BUMN saat itu.
Dalam keadaan seperti itu, tantangannya adalah bagaimana
merubah dan memberdayakan BUMN menjadi suatu perusahaan
bisnis yang menguntungkan sekaligus menjadi alat untuk melunasi
utang negara.
Reformasi BUMN dibagi Tanri dalam dua gelombang. Kata
“gelombang” menurut Tanri lebih pas untuk program itu daripada kata
“tahap” yang agak konvensional. Pada gelombang pertama, dia
mencanangkan tindakan cepat yang harus diambil untuk memperbaiki
kinerja tanpa menyentuh aspek fundamental perusahaan. Untuk
mewujudkan hal itu, diluncurkan tiga agenda besar yaitu
restrukturisasi, profitasisasi, dan privatisasi. Yang dimaksud dengan
restrukturisasi disini adalah upaya peningkatan daya saing BUMN
melalui penajaman fokus bisnis, perbaikan skala usaha, dan
penciptaan kompetensi. Sedangkan profitasisasi merupakan usaha
untuk meningkatkan efisiensi perusahaan secara agresif. Sementara
privatisasi ditujukan untuk meningkatkan penyebaran kepemilikan
19
saham BUMN, meningkatkan akses kepada pasar internasional,
sumber dana dan teknologi.
Gelombang kedua merupakan upaya sistematik untuk
memperbaiki aspek fundamental perusahaan. Sasarannya adalah
menciptakan perusahaan Indonesia yang mempunyai berdaya saing
tinggi dan berdaya cipta tinggi. Visinya tidak muluk-muluk tapi
menantang jajarannya untuk bekerja serius, yakni menjadikan BUMN
sebagai perusahaan multinasional Indonesia yang berukuran
menengah, terfokus, dan memiliki kompetensi tertentu. Dengan
demikian diharapkan sebagian BUMN Indonesia akan masuk dalam
nominasi Fortune 500 sebagai perusahaan yang kompetitif pada
tingkat dunia dan berdaya cipta tinggi.4
Dari proses itulah mulai terlihat bahwa Kantor Meneg
Pendayagunaan BUMN telah meletakkan dasar yang baik dengan
memisahkan BUMN dari birokrasi pemerintah, memisahkan dari
regulator dan operator, serta menghapus KKN dari BUMN. Dalam
kurun waktu 6 bulan setelah mulai bekerja, dengan kerjasama dengan
departemen teknis terkait dan dikoordinasikan dengan Menko
Wasbangpan, telah ditemukan 167 proyek di BUMN yang berindikasi
KKN (29 Desember 1998 ), 7 bulan berikutnya ditemukan lagi 6 proyek
yang diindikasikan serupa. Selanjutnya dari 173 kontrak berindikasi
KKN ( dari 17 BUMN yang “gemuk” ), 79 proyek dibatalkan, sisanya 25
4 Ishak Rafick dan Baso Amir, BUMN EXPOSE Menguak Pengelolaan Aset Negara Senilai 2.000 Triliun Lebih, Ufuk Press, Jakarta, 2010, hlm. 79-80
20
proyek ditender ulang atau renegosiasi, 59 proyek diproses dan
diteruskan ke BPKP ( Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan ) untuk diteliti dan 10 proyek dilanjutkan dengan kontrak
kerjasama setelah dievaluasi lebih lanjut.5
Hasil yang diharapkan pada reformasi BUMN gelombang II ini
adalah pemulihan ekonomi Indonesia melalui a) peningkatan
penciptaan nilai pasar BUMN ( market value creation ) dengan
melipatgandakan nilai yang sekarang ada; b) perolehan privatisasi
untuk mempercepat pembayaran hutang pemerintah; c) peningkatan
penerimaan pajak dan dividen untuk memperbaiki struktur pendapatan
negara; d) dukungan pada proses stabilisasi ekonomi melalui
pemulihan kepercayaan pasar, penguatan rupiah dan peningkatan
kapitalisasi pasar modal Indonesia.
Menurut Tanri, tugas meneg BUMN adalah meningkatkan nilai
(create value added), sehingga nilai perusahaan menjadi tinggi dan
menghasilkan profit yang bagus. Perusahaan yang profitnya tinggi,
market kapitalisasinya juga tinggi. 6
Perubahan peta politik di Indonesia antara rentang akhir tahun
90-an sampai sekarang juga turut mempengaruhi perubahan yang
terjadi pada BUMN. Perubahan kepemimpinan pada kementrian
BUMN selama ini tidak menunjukan perubahan kinerja yang berarti
pada BUMN-BUMN yang ada, walaupun master plan dari konsep
5 Ibid, hlm. 100-101.6 Ibid, hlm. 130-131.
21
reformasi BUMN ( restrukturisasi, profitasisasi dan privatisasi ) telah
lama dimunculkan, namun implementasi yang tidak konsisten dan tidak
berkesinambungan membuat kinerja BUMN melesat.
Pada masa kepemimpinan Sofyan A. Djalil, ide yang muncul
darinya dalam kaitannya dengan pembenahan BUMN adalah upaya
rightsizing atau program penciutan jumlah BUMN dan holdingisasi.
Sofyan berpendapat bahwa bila cetak biru yang dibuat oleh Tanri
Abeng pada tahun 1999 diikuti oleh semua Meneg BUMN, maka tujuan
dari reformasi BUMN saat itu akan tercapai saat ini. Dari
pendahulunya, Sofyan memimpin 139 BUMN (angka ini adalah jumlah
BUMN dengan porsi kepemilikan pemerintah 51% atau lebih). Dengan
konsep rightsizing, target pada akhir 2007 bisa diciutkan menjadi 100
BUMN, lalu pada tahap selanjutnya menjadi 50 BUMN. Tahapan
selanjutnya setelah menjadi 50 perusahaan adalah impian memiliki
superholding dimana dipimpin oleh seorang CEO. Pada saat itu kantor
Meneg BUMN tidak diperlukan lagi namun untuk sampai ke sana
kementrian BUMN mutlak diperlukan. 7
Sesungguhnya, proses privatisasi yang ideal adalah apabila
dimulai dari rencana usulan manajemen BUMN itu sendiri, bukan
merupakan instruksi pemerintah. Privatisasi yang berasal dari usulan
BUMN biasanya lebih lancar. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator,
tinggal menentukan besarnya saham yang akan dilepas, waktu
penjualannya dan strateginya, apakah akan melalui proses penawaran
7 Ibid, hlm. 242-243
22
umum atau aliansi strategis. Sementara itu proses pembenahan
internal BUMN seperti restrukturisasi, golden shake hand atau pensiun
dini (dalam hal diperlukan) serta proses lainnya agar BUMN menjadi
lebih menarik investor untuk menanamkan modalnya dilakukan oleh
BUMN itu sendiri.8
Realisasi hasil privatisasi BUMN dipengaruhi beberapa faktor
diantaranya adalah; kondusif tidaknya pasar modal domestik dan
internasional untuk melakukan initial public offering (IPO), persepsi
pemodal internasional mengenai risiko negara (country risk), tuntutan
masyarakat dalam kaitannya dengan otonomi daerah yang dapat
mengganggu program privatisasi terhadap BUMN yang berlokasi di
daerah tertentu, masalah internal BUMN, kecenderungan investor
untuk mengejar saham BUMN yang mempunyai prospek cerah, serta
kestabilan perekonomian dalam negeri.
Faktor lain yang turut mempengaruhi pencapaian realisasi
privatisasi BUMN adalah perkembangan situasi politik dan keamanan,
perubahan tuntutan masyarakat terhadap reformasi, serta kurang
cepatnya melakukan penawaran di pasar, karena BUMN yang akan
diprivatisasi harus direstrukturisasi terlebih dahulu, sehingga proses
privatisasi mengalami kelambatan. Sebagai contoh adalah hasil
realisasi privatisasi BUMN pada akhir tahun 1990-an sampai dengan
tahun 2002 seperti pada tabel di berikut ini :
8 Riant Nugroho Dwidjowijoto dan Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008, hlm. 106.
23
Secara rata-rata, realisasi privatisasi BUMN dari tahun anggaran
1998/1999 sampai dengan 2001 sebesar 23,22%, dengan rata-rata
penerimaan sebesar Rp2.206,55 milyar, apabila dilihat dari
pertumbuhan target yang telah ditetapkan dari tahun anggaran
1998/1999 sampai dengan TA 2002, diperoleh rata-rata pertumbuhan
yang negatif sebesar 25,6%. Dari dua indikator tersebut dapat dilihat
bahwa dalam kurun waktu TA 1998/1999 sampai dengan TA 2002,
target privatisasi yang ditetapkan dalam APBN terlalu optimis.. Salah
satu yang perlu mendapat perhatian untuk meningkatkan capaian
target privatisasi adalah menentukan skala prioritas BUMN yang akan
diprivatisasi dengan mempertimbangkan kondisi pasar (demand) dan
kondisi kesehatan BUMN itu sendiri (supply).9
9 Syahrir Eka dan Agunan P. Samosir, Analisis Privatisasi BUMN Dalam Rangka Pembiayaan APBN, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6, No. 4, Desember 2002, hlm. 32
24
BAB IV
KESIMPULAN
Pada umumnya ada 2 metode privatisasi BUMN yang
dipraktekkan di beberapa negara, yakni public offering dan private
offering. Metode public offering meliputi dua sub metode, yaitu
penawaran perdana saham BUMN ke publik (IPO) dan penawaran
saham terbatas (right issue). Sementara metode private offering,
meliputi dua pilihan sub metode yaitu SS dan metode-metode lain
yang tidak tergolong ke dalam SS seperti private sale, new private
investment, EMBO dan fragmentation.
Bermanfaat atau tidaknya metode privatisasi bagi peningkatan
kinerja BUMN dan ekonomi (kesejahteraan rakyat) itu sangat
tergantung apakah setelah di-IPO-kan atau di-strategic sales-kan,
BUMN tersebut dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik. Kinerja
yang lebih baik, yang ditunjukkan dengan perolehan labanya, akan
dapat memberikan sumbangan lebih buat negara, baik berupa
pelayanan dan penyediaan barang dan jasa yang lebih baik kepada
masyarakat, pajak dan dividen yang lebih besar, serta dana-dana
sosial dan kemitraan yang lebih besar.
IPO memang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan strategic
sales. Melalui IPO, pemerintah memiliki peluang untuk mewujudkan
demokrasi ekonomi melalui perluasan basis kepemilikan saham
25
BUMN. Namun esensi kepemilikan BUMN adalah kepemilikan rakyat
yang direpresentasikan melalui kepemilikan pemerintah. IPO juga
dapat dimanfaatkan menjadi wahana pemerataan kesejahteraan.
Sebab, semakin banyak masyarakat kita yang memiliki saham BUMN,
akan semakin besar manfaat yang dapat diperoleh masyarakat, baik
melalui dividen maupun capital gain. Selain itu, IPO juga dapat menjadi
wahana yang baik untuk meningkatkan good corporate governance
(GCG). Bukan rahasia lagi bahwa meski upaya pembenahan di tubuh
BUMN senantiasa dilakukan pemerintah, namun masih sering dijumpai
praktek-praktek tidak sehat yang dilakukan oleh oknum pengelola
BUMN. Termasuk politisasi BUMN-BUMN juga masih sering dijumpai.
Penentuan metode privatisasi BUMN, apakah itu IPO maupun
strategic sales atau metode lainnya, adalah domain korporasi yaitu
disesuaikan dengan kebutuhan strategi korporasi BUMN terkait. Yang
terpenting adalah harus diyakini bahwa metode privatisasi BUMN yang
akan ditempuh adalah yang terbaik bagi peningkatan kinerja
perusahaan. Selanjutnya adalah tidak tepat bila menjual BUMN dalam
kondisi pasar yang tidak kondusif, penuh keterdesakan (bahkan
mungkin keterpaksaan) yang akhirnya justru merugikan kepentingan
negara dan BUMN terkait. Bila privatisasi dipaksakan dalam kondisi
seperti ini, hasil privatisasi BUMN tidak akan maksimal, karena asset
perusahaan akan dinilai under valued.
26
Terakhir, perlunya konsensus bersama, terutama pemerintah
DPR yang memiliki kewenangan kebijakan ini. Konsensus yang
mengikat terkait dengan (i) target privatisasi BUMN, (ii) BUMN yang
akan diprivatisasikan, serta (iii) metode privatisasi yang akan diambil
adalah penting untuk sebagai pegangan hukum bagi pemerintah dan
DPR agar dalam pelaksanaan privatisasi BUMN berjalan baik dan
tidak ada konflik yang timbul akibat kepentingan-kepentingan pihak
tertentu.
27
DAFTAR PUSTAKA
Artjan, M. Faisal, “IPO Sebagai Alternatif Privatisasi BUMN”, Majalah Usahawan No. 02 Th. XXIX, Februari 2000
Basri, Faisal H., (2002), “Konsep Privatisasi”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Terbatas: Privatisasi Ditinjau dari Aspek Ekonomi Makro, yang diselenggarakan oleh Kantor Badan Usaha Milik Negara, Graha sawala, Gedung Utama Departemen Keuangan, Jakarta, 21 Mei 2002.
Ishak Rafick dan Baso Amir, BUMN EXPOSE Menguak Pengelolaan Aset Negara Senilai 2.000 Triliun Lebih, Ufuk Press, Jakarta, 2010.
Riant Nugroho Dwidjowijoto dan Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008
Syahrir Eka dan Agunan P. Samosir, Analisis Privatisasi BUMN Dalam Rangka Pembiayaan APBN, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6, No. 4, Desember 2002
28