27
Penilaian preoperatif sebaiknya dilakukan untuk memantapkan hubungan dokter dengan pasien. Penting untuk mengetahui riwayat penyakit pasien dan melakukan pemeriksaan pada pasien untuk menilai kondisi bedah dan kondisi medis pasien, pada khususnya untuk menilai derajat berat ringannya suatu penyakit sistemik dan resiko kematian perioperatif. Untuk kasus-kasus elektif, kita harus dapat memanfaatkan kesempatan untuk mengoptimalkan kondisi medis pasien untuk meminimalisasi resiko kematian perioperatif. Pasien harus diberi penjelasan singkat dan tepat mengenai prosedur dan resiko tindakan, pertanyaan pasien harus dijawab dan (diharapkan) ketakutan dan kecemasan pasien dapat teratasi. Tujuan penjelasan kepada pasien adalah untuk memberikan informasi yang benar dengan cara yang menenangkan. Jika perlu pengobatan preoperatiF dapat diresepkan. SKEMA YANG DISARANKAN UNTUK PENILAIAN PREOPERATIF Sangatlah penting untuk memiliki skema penilaian preoperatif agar semua hal yang penting tidak terlewatkan. Tabel 6.1 Point-point untuk penilaian pre-anestetik Riwayat : Penyakit yang menyertai Pengobatan Toleransi aktivitas Masalah dengan tindakan anestesi sebelumnya, riwayat 1

refrat RSO jadi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: refrat RSO jadi

Penilaian preoperatif sebaiknya dilakukan untuk memantapkan hubungan dokter

dengan pasien. Penting untuk mengetahui riwayat penyakit pasien dan melakukan

pemeriksaan pada pasien untuk menilai kondisi bedah dan kondisi medis pasien, pada

khususnya untuk menilai derajat berat ringannya suatu penyakit sistemik dan resiko

kematian perioperatif. Untuk kasus-kasus elektif, kita harus dapat memanfaatkan

kesempatan untuk mengoptimalkan kondisi medis pasien untuk meminimalisasi resiko

kematian perioperatif. Pasien harus diberi penjelasan singkat dan tepat mengenai

prosedur dan resiko tindakan, pertanyaan pasien harus dijawab dan (diharapkan)

ketakutan dan kecemasan pasien dapat teratasi. Tujuan penjelasan kepada pasien adalah

untuk memberikan informasi yang benar dengan cara yang menenangkan. Jika perlu

pengobatan preoperatiF dapat diresepkan.

SKEMA YANG DISARANKAN UNTUK PENILAIAN PREOPERATIF

Sangatlah penting untuk memiliki skema penilaian preoperatif agar semua hal yang

penting tidak terlewatkan.

Tabel 6.1 Point-point untuk penilaian pre-anestetik

Riwayat :

Penyakit yang menyertai

Pengobatan

Toleransi aktivitas

Masalah dengan tindakan anestesi sebelumnya, riwayat penyakit keluarga

Alergi

Pemeriksaan :

Berat badan

Tekanan darah

Kesehatan gigi

Penilaian untuk gangguan jalan napas termasuk klasifikasi Mallampati

Kondisi punggung dan ekstremitas bila direncanakan anestesi blok

Sistem lain yang sesuai

Informasi lain :

1

Page 2: refrat RSO jadi

Hasil dari pemeriksaan yang berhubungan

Pendapat ahli, rujukan

Klasifikasi ASA

Informasi yang diberikan kepada pasien

Premedikasi

Profilaksis

Informasi kepada HDU/ICU jika ada indikasi

A. RIWAYAT

Riwayat dan catatan medis pasien sebaiknya digunakan untuk memperoleh informasi

tentang hal-hal di bawah ini :

Kondisi Pembedahan

Informasi tentang kondisi pembedahan dan operasi yang telah direncanakan, penting

untuk memperkirakan lama dan durasi operasi, memperkirakan jumlah cairan dan darah

yang hilang, tipe insisi dan kebutuhan analgesi intraoperatif dan postoperatif. Jika

operasi bersifat emergensi atau darurat, kemungkinan lambung pasien dalam keadaan

penuh. Diperlukan juga penilaian mengenai keadaan cairan dan respon terhadap

resusitasi pada saat itu.

Penyakit yang menyertai

Harus dilakukan pendekatan sistemik untuk menilai penyakit yang menyertai. Sangat

penting dilakukan evaluasi apakah penyakit tersebut di bawah kontrol dan apakah

terdapat perubahan yang baru saja terjadi mengenai derajat penyakit maupun

pengobatannya. Penting juga untuk menetapkan apakah perlu merujuk ke spesialis atau

meneliti lebih lanjut untuk evaluasi lengkap. Rujukan ke spesialis tidak untuk

menentukan “kesesuaian” anestesi, tetapi untuk menilai beratnya penyakit serta untuk

menetapkan apakah ada hal lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi

pasien.

2

Page 3: refrat RSO jadi

Penyakit jantung iskemi, asma, penyakit paru obstruktif kronis, hipertensi dan diabetes

sering dijumpai pada pasien bedah dan berhubungan dengan resiko perioperatif yang

signifikan (tabel 6.2) Relevansi hal tersebut dibicarakan lebih lanjut pada bab 7.

Toleransi terhadap Aktivitas

Toleransi terhadap aktifitas dinilai dengan cara menentukan tingkat aktifitas maksimum

yang dapat dilakukan pasien. Toleransi terhadap aktifitas dapat digunakan untuk

memperkirakan hasil akhir secara keseluruhan. Hal tersebut dipengaruhi oleh usia, serta

dapat menilai cadangan kardiorespirasi. Penilaian ini sulit dilakukan apabila aktivitas

terbatas karena adanya arthritis. Pasien dengan keterbatasan aktivitas sedang (harus

berhenti karena tidak mampu bernapas, atau angina setelah berjalan cepat sejauh 100

yard atau menaiki dua tingkat anak tangga) memerlukan penelitian lebih lanjut dan

penilaian terapi pada saat itu. Pasien dengan keterbatasan aktivitas yang berat (sesak

napas pada aktivitas minimal seperti berjalan beberapa yard, tidak dapat menaiki satu

tingkat anak tangga tanpa berhenti) membutuhkan pengawasan invasif perioperatif dan

mendaftar ke HDU/ICU postoperasi.

Tabel 6.2 Beberapa kondisi medis dan resiko yang berhubungan

Infeksi saluran napas atas

Bronkospasme saat induksi, intubasi atau ekstubasi

Laryngeal spasme induksi, intubasi atau ekstubasi

Penyebaran infeksi karena pneumonia

Asma

Bronkospasme berat selama induksi, intubasi atau ekstubasi

Plug mukosa

Postoperatif pneumonia

Penyakit jantung iskemi

Iskemia berat dan disfungsi ventrikel

Aritmia

Perioperatif Infark myokard

Komplikasi dapat terjadi pada kasus infark dini (<3 bulan) dan angina tidak stabil

3

Page 4: refrat RSO jadi

Hipertensi

Tekanan darah labil perioperatif

Aritmia

Iskemia miokard

Stroke

Gagal ventrikel kiri

Diabetes

Hipoglikemia/hiperglikemia

Disfungsi autonom-aritmia, hipotensi

Iskemia/ infark miokard tersembunyi

Refluks gastrooesophageal

Artritis

Kesulitan membuka mulut karena laringoskopi dan intubasi

Kesulitan posisi

Tulang-tulang belakang tidak stabil

Pengobatan

Pengetahuan terhadap dosis yang diperlukan, jadwal dan tipe pengobatan merupakan

hal yang penting. Khususnya obat-obat yang bekerja pada :

Sistem kardiovaskular (antihipertensi, antiangina, antiaritmia)

Sistem pembekuan darah (antikoagulan)

Sistem endokrin (agen anti diabetik, steroid)

Tonus bronchomotor

Sistem saraf (antidepresan, antikonvulsan)

Beberapa pengobatan harus dihentikan penggunaannya (antikoagulan) atau

memodifikasi dosis (insulin). Walaupun demikian, kebanyakan obat-obatan sebaiknya

dilanjutkan sampai waktu operasi (khususnya obat-obat antihipertensi, anti angina)

kemudian dimulai lagi secepatnya.

4

Page 5: refrat RSO jadi

Masalah-masalah Yang Berhubungan Dengan Anestesi

Beberapa masalah yang berkaitan dengan pembiusan pasien sebelumnya, harus

diketahui dari rekam medis pasien tersebut (selama pasien tidak menyadarinya) atau

dengan pertanyaan langsung jika pasien masih ingat kejadiannya. Aspek-aspek berikut

ini akan mempengaruhi manajemen preoperatif pasien :

Beberapa masalah yang berkaitan dengan airway management, khususnya jika

pada proses pembiusan sebelumnya terdapat kesulitan dalam proses

laringoskopi-intubasi.

Respon terhadap kontrol nyeri dan beberapa efek opioid yang tak

menguntungkan.

Nausea dan vomitus post operasi dan respon terhadap terapinya.

Masa pemulihan yang terlalu lama.

Perawatan di HDU / ICU yang tidak diharapkan sebelumnya.

Terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan atau reaksi terhadap obat seperti

hipertermia malignan, apnoe karena pemberian suksinilkolin, dan reaksi

anafilaksis.

Alergi / Reaksi Obat

Alergi atau reaksi hipersensitivitas lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan

efek samping obat yang tidak diinginkan. Perbedaan antara keduanya biasanya dapat

diketahui dengan mengajukan pertanyaan spesifik kepada pasien. Manifestasi klinis

pada kulit (urtikaria, eritema), bronkhospasme, kolaps kardiovaskular, dan atau edema

angioneurotik, harus dinyatakan sebagai reaksi alergi sampai dapat dibuktikan lain.

Berlainan dengan agen anestesi, alergi terhadap antibiotik, plester perekat, lateks, spray

dan jenis makanan tertentu penting untuk dicatat ; hal ini akan mempengaruhi

pemilihan teknik anestesi (tabel 6.3). Alergi terhadap lateks akhir-akhir ini lebih sering

terjadi (atau mungkin lebih umum dikenali). Riwayat terjadinya reaksi alergi setelah

kontak dengan produk karet seperti kondom, kateter urin, dan sarung tangan operasi

juga perlu diketahui. Terdapat juga reaksi silang terhadap beberapa jenis buah seperti

buah kiwi. Dermatitis kontak setelah terpapar lateks biasa terjadi dan tidak perlu terlalu

5

Page 6: refrat RSO jadi

dikhawatirkan akan terjadi reaksi anafilaksis. Banyak produk (kecuali sarung tangan

bedah dan sarung tangan biasa non steril) yang tidak mengandung lateks.

Tabel 6.3. Alergi dan Implikasinya pada Anestesi

Alergi Implikasi

Antibiotik Pemilihan antibiotik untuk anafilaksis

Kerang, ikan, dan makanan laut lain Reaksi silang dengan agen kontras dan

protamine iv

Kuning telur, kacang kedelai Kemungkinan terjadi reaksi silang dengan

propofol

Anestesi lokal ester Pemilihan agen

Lateks Sarung tangan yang tidak mengandung

lateks, iv set, kateter, tracheal tube,

perangkat monitor, dan alat lain

Plester perekat Penggunaan bermacam trypoallergic

Riwayat Sosial / Kebiasaan

Riwayat kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan ketergantungan obat penting

diketahui. Pada perokok, adanya batuk produktif dapat mengindikasikan pasien butuh

terapi dan evaluasi lebih lanjut. Berhenti merokok selama lebih dari 12 jam akan

menurunkan jumlah CO-Hb darah secara signifikan dan memperbaiki transport oksigen

ke jaringan. Efek menguntungkan terhadap reaktivitas dan sekresi saluran napas tidak

akan terlihat (dalam bentuk menurunnya komplikasi paru-paru) sampai 4 minggu

berhenti merokok. Intoksikasi akut terhadap alkohol akan mengurangi kebutuhan

terhadap anestesi dan dapat mencetuskan terjadinya hipotermia serta hipoglikemia.

Penghentian konsumsi alkohol dapat menyebabkan agitasi, konfusi, hipertensi, palpitasi

dan kejang. Penyalahgunaan obat stimulan merupakan predisposisi terjadinya aritmia

dan konvulsi. Penggunaan stimulan dapat meningkatkan kebutuhan agen anestesi

(peningkatan MAC). Penyalahgunaan opioid meningkatkan dosis agen anestesi yang

dibutuhkan selama operasi.

6

Page 7: refrat RSO jadi

B. PEMERIKSAAN FISIK

Semua pasien harus ditimbang.

Kepala, Leher, dan Jalan Napas

Pemeriksaan jalan napas harus dilakukan terhadap semua pasien yang akan

menjalani proses pembiusan. Adanya deformitas yang nyata, derajat pembukaan mulut,

rentang gerak cervical spine, devisai trakheal, lesi pada rongga mulut atau pada leher

memiliki arti penting (tabel 6.4). Ukuran mandibula harus dinilai dengan mengukur

jarak thyro-mental (jarak antara batas bawah mandibula ke thyroid notch dengan leher

dalam posisi ekstensi penuh). Jika jarak ini < 6.5 cm, laringoskopi mungkin akan lebih

sulit dilakukan. Tes lain yang dapat dilakukan untuk memperkirakan sulit atau

mudahnya laringoskopi dan intubasi trakhea adalah klasifikasi Malampati (tabel 6.5).

Penilaiannya dilakukan pada pasien dalam posisi duduk tegak. Pertama pasien

diperintahkan untuk membuka mulutnya selebar mungkin, lidah dijulurkan keluar dan

kemudian berkata ’aaaaahhh’. Struktur-struktur yang terlihat pada rongga mulut dicatat.

Pada Malampati kelas 3 dan 4 intubasi akan lebih sulit dilakukan. Tetapi tes ini tidak

begitu sensitif dan spesifik.

Tabel 6.4. Kondisi yang Berhubungan dengan Kesulitan Airway Mangement

Hidung

Deviasi Septum Kesulitan dalam insersi nasotracheal tube,

perdarahan

Polip Sama dengan diatas

Mulut

Skar dan kontraktur pada wajah Restriksi ketika membuka mulut

Makroglosia Kesulitan dalam memvisualisasikan laring

saat laringoskopi

Penonjolan gigi seri Sama seperti diatas dan cenderung

berbahaya

Pertumbuhan gigi yang jelek Gigi mudah tanggal

Mahkota gigi Proteksi dari bahaya

7

Page 8: refrat RSO jadi

Mandibula

Mandibula yang pendek atau tertarik ke

belakang

Kesulitan dalam memvisualisasikan laring

saat laringoskopi

Masalah pada sendi temporo-

mandibular

Kesulitan dalam membuka mulut, bisa

terjadi perburukan gejala setelah

manipulasi mandibula saat airway

management

Leher

Kontraktur akibat luka bakar Kesulitan dalam memvisualisasikan laring

saat laringoskopi

Skar pasca trakheostomi Butuh tracheal tube dengan diameter yang

lebih kecil

Leher yang pendek dan gemuk Kesulitan dalam laringoskopi

Goiter / pembengkakan leher lainnya Deviasi atau kompresi jalan napas atas

Selulitis Deviasi, kompresi, atau pembengkakan

jalan napas atas

Restriksi gerakan leher Kesulitan dalam laringoskopi, petensial

terjadi trauma

Arthritis rheumatoid Jika terdapat bukti adanya subluksasi sendi

atlanto-aksial, atau munculnya kelainan

neurologis saat gerakan leher, – hati-hati

dalam memfiksasi kepala setelah induksi

dan selama intubasi

8

Page 9: refrat RSO jadi

Tabel 6.5. Klasifikasi Mallampati

Kelas 1 : Dinding posterior faring, palatum mole, dan uvula terlihat jelas

Kelas 2 : Uvula tertutup sebagian oleh lidah, dinding posterior faring dan palatum

mole masih terlihat

Kelas 3 : Hanya palatum mole yang terlihat, dinding posterior faring dan uvula

tertutup seluruhnya oleh lidah

Kelas 4 : Hanya palatum durum yang terlihat, dinding posterior faring, uvula, dan

palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah

Dada dan Prekordium

Pemeriksaan fisik jantung dan paru harus dilaksanakan sesuai dengan kondisi

klinis pasien. Pada semua pasien, harus dilakukan auskultasi lapang paru untuk

membuktikan respirasi normal.

Abdomen

Jika terdapat distensi abdomen harus dicatat sebagai peningkatan resiko

regurgitasi dan aspirasi pulmoner yang signifikan.

Neurologi

Jika terdapat perubahan tingkat kesadaran, harus dicatat. Juga setiap terdapat

masalah neurologi (misalnya hemiparesis atau neuropati) harus dicatat. Hal ini dapat

bermanfaat jika gejala-gejala neurologis terjadi setelah dilakukan general atau regional

anestesi.

Punggung (Tulang belakang)

Infeksi pada kulit di atas tulang belakang merupakan kontraindikasi untuk

injeksi spinal atau epidural. Beberapa deformitas spinal juga dapat memprediksi

kesulitan dalam melakukan prosedur ini dan berpotensi terjadi kerusakan neurologi

(oleh karena itu merupakan kontraindikasi relatif).

9

Page 10: refrat RSO jadi

Ekstremitas

Anggota gerak atas harus diperiksa untuk menentukan sisi yang tepat untuk

kanulasi venosa. Jika direncanakan blok lokal, tanda-tanda anatomis yang khas harus

diperiksa dan setiap infeksi kulit harus dicatat karena dapat menjadi kontraindikasi

anestesi lokal.

C. PEMERIKSAAN-PEMERIKSAAN

Pemeriksaan laboratorium rutin preoperatif sekarang diminimalisasi.

Pemeriksaan seharusnya disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien. The

National Institute for Clinical Excellence telah membuat pedoman dan sebagian besar

rumah sakit menggunakan versi mereka sendiri. Hal-hal berikut harus dijadikan

petunjuk.

Hemoglobin

Pasien sehat yang akan menjalani pembedahan elektif dengan perkiraan kehilangan

darah < 10% dari total volume darah tidak memerlukan penilaian hemoglobin.

Penilaian Hemoglobin diperlukan pada :

Neonatus < 6 bulan

Wanita > 50 tahun

Pria > 65 tahun

Penyakit Sickle Cell

Keganasan

Kelainan hematologi

Kehilangan darah preoperatif

Trauma

Malnutrisi

Penyakit Sistemik lainnya dan ASA 3 atau di atasnya.

Ureum dan Elektrolit

Tidak diindikasikan pada pasien sehat yang akan menjalani operasi elektif.

10

Page 11: refrat RSO jadi

Diindikasikan pada :

Pasien > 65 tahun

Penyakit Ginjal

Diabetes

Hipertensi

Penyakit jantung iskemik/vaskuler

Peyakit liver

Pasien dalam pegobatan digoxin, diuretik, steroid, ACE inhibitor,dan agen

antiaritmia.

Sebaliknya, koreksi cepat pada kelainan elektrolit dapat menyebabkan pasien yang

stabil menjadi bermasalah, seperti demielinisasi pontin sentral pada saat koreksi

hiponatremi, dan aritmia pada saat koreksi hipokalemia. Bila memungkinkan, operasi

sebaiknya ditunda, dan kelainan elektrolit dikoreksi secara perlahan-lahan (2-3 hari

untuk hiponatremia).

Angka Pembekuan

Dindikasikan pada :

Penyakit perdarahan yang sudah diketahui atau koagulopati

Terapi antikoagulan

Tranfusi darah untuk mengganti > 20% total volume darah

Infus koloid atau plasma pengganti > 20% total volume darah (total volume

darah berkisar antara 70-80 ml/kg BB)

Bruit yang tidak bisa dijelaskan

Kehilangan darah/berkurangnya hemoglobin yang tidak bisa dijelaskan

Hipersplenisme

Penyakit liver

Gagal Ginjal

11

Page 12: refrat RSO jadi

Elektrokardiogram (EKG)

Diindikasikan pada :

Pria > 40

Wanita > 50

Penyakit Kardiovaskuler

Penyakit Ginjal

Diabetes

Ketidakseimbangan Elektrolit

Aritmia

Pasien yang diterapi dengan antihipertensi, antiaritmia, dan antiangina.

Perubahan pada EKG (dalam 3 bulan) harus dianggap signifikan dan perlu pemeriksaan

lebih lanjut.

Foto Rontgen

Diindikasikan pada :

Penyakit dada

Penyakit kardiovaskuler

Perokok lama dengan gejala penyakit dada

Keganasan

Pada kondisi-kondisi di atas (dalam waktu kurang dari 3 bulan) Foto Rontgen cukup

memuaskan, kecuali jika ada perubahan gejala.

Pemeriksaan Lain

Pemeriksaan lain mungkin diperlukan untuk menilai derajad keparahan penyakit,

efektivitas pengobatan, dan apakah pasien dalam kondisi medis optimal serta adanya

resiko-resiko pada pasien.

Pemeriksaan ini meliputi :

Test Fungsi Paru

Analisa Gas Darah

Echocardiografi

12

Page 13: refrat RSO jadi

EKG

Enzim-enzim hepar (pada alkoholis, penyakit liver)

Gula Darah (Diabetes)

Fungsi Endokrin (hipo/hipertiroidisme)

Beberapa pemeriksaan juga diperlukan untuk menentukan nilai dasar preoperatif

yang dibandingkan dengan nilai intra dan post operatif (misalnya Analisa Gas

Darah).

D. MENILAI RESIKO ANESTESI

Penilaian resiko penting dalam hal :

Data kelengkapan kondisi medis

Terdapat persetujuan tindakan

Menyusun tahap tindakan yang sesuai

Menyiapkan keperluan untukperawatan perioperatif (monitor ketat, HDU/ICU)

Kondisi klinis dapat dinilai dengan klasifikasi status fisik ASA (tabel 6. 6).

ASA kelas 4 atau lebih dan kebanyakan ASA kelas 3 tidak memenuhi syarat untuk

pembedahan lama (satu hari) dan sering memerlukan monitor extra ketat selama dan

setelah operasi. Kelas satu dan lima akan dijelaskan sendiri. Perbedaan antara kelas

dua dan tiga serta kelas tiga dan empat tidak begitu tegas. Beikut contoh kelas 2, 3

dan 4 :

Kelas 2 : hipertensi terkontrol tanpa komplikasi

Kelas 3 : penyakit arteri koroner dengan angina

Kelas 4 : infark miokard dengan gagal jantung

Pada laporan kematian tahun 1999, NCEPOD melaporkan bahwa 84 % pasien

meninggal adalah pasien dengan ASA kelas > 3. Berbagai sistem skoring lain telah

digambarkan untuk menilai resiko pasien dengan penyakit jantung, pernapasan atau

penyakit sistemik dan hal ini dibahas pada bagian lain dalam buku ini.

Tabel 6. 6 Klasifikasi ASA

Kelas 1 Pasien sehat

Kelas 2 Penyakit sistemik ringan

13

Page 14: refrat RSO jadi

Kelas 3 Penyakit sistemik berat dengan keterbatasan aktivitas

Kelas 4 Penyakit sistemik berat tak mampu beraktivitas dan mengancam nyawa

Kelas 5 Hampir mati, tak dapat diharapkan hidup dalam 24 jam dengan atau

tanpa operasi

Jika prosedur dilakukan sebagai tindakan emergensi maka tanda ”e” ditambahkan

pada kelas ASA

E. INFORMASI PADA PASIEN DAN PERSETUJUAN

Pasien mungkin takut, cemas atau khawatir terhadap tindakan bedah dan

pembiusan sehingga informasi dan keterangan yang diberikan jangan spesifik yang

berhubungan dengan pembedahan (seperti prognosis bedah, luka operasi, bekas luka,

cacat, keterbatasan pola hidup). Anestesi berhubungan dengan kecemasan meliputi

kematian, kesadaran, nyeri selama operasi, nyeri setelah operasi, kehilangan kontrol,

mual dan muntah.

Coba periksa kecemasan ini dan tentramkan pasien :

Berikan keterangan dengan sabar.

Coba realistis dengan resikonya tapi dengan cara yang bijak. Pasien mempunyai

hak untuk tahu resiko utama (dengan angka kejadian lebih dari 1 %, pada tabel

6.7) dan resiko signifikan yang menyebabkan luka permanen.

Terangkan apa yang akan dilakukan untuk mengurangi dan menghindari resiko.

Gambarkan apa yang seharusnya diharapkan pasien (pemasangan kanul dan

monitor) sebelum induksi anestesi dan saat pemulihan

Diskusikan pilihan cara anestesi (GA atau regional) dengan pasien.

Diskusikan alternatif cara jika rencana awal tak bekerja (misal GA jika RA

gagal).

Semua diskusi ini dilakukan sesederhana mungkin dengan bahasa pasien.

Jumlah informasi yang diberikan tergantung pada keingintahuan pasien dan

pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.

14

Page 15: refrat RSO jadi

Tabel 6.7 Komplikasi yang sering terjadi

Regional anestesi

sakit kepala (blok subarchnoid)

perdarahan lokal

cedera saraf

efek partial

General anestesi

tenggorokan kering / luka

suara serak

cedera gigi

mual muntah setelah operasi

komplikasi lain sesuai penyakit sebelumnya

Kanulasi pembuluh darah

tidak nyaman

hematoma

thrombosis

nyeri

infeksi

F. PERSIAPAN PREOPERASI PADA PASIEN

Pada umumnya, untuk operasi elektif :

Pasien dewasa puasa makan berat 6 jam sebelum operasi. Mereka boleh makan

ringan pagi hari ketika operasi dijadwalkan pada siang hari.

Anak dan balita puasa makan atau minum susu 6 jam sebelum operasi.

Semua pasien tidak boleh minum 2 jam sebelum operasi.

Bayi puasa ASI atau formula 4 jam sebelum operasi.

Alasan puasa sebelum operasi yaitu untuk meminimalkan isi perut dan

hubungannya dengan resiko terjadinya muntah (regurgitasi) dan aspirasi setelah

induksi anestesi. Meskipun puasa cukup, beberapa pasien masih bersiko muntah dan

15

Page 16: refrat RSO jadi

terjadi aspirasi paru, pasien ini mempunyai kemampuan pengosongan lambung yang

lambat atau penurunan tonus sfingter esofagus yang lemah. (tabel 6.8 dan 6.9).

Profilaksis antasid harus disiapkan dan intubasi trakea harus dilakukan dengan

metode yang cepat. Pasien ini tidak cocok untuk pemasangan laryngeal mask airway.

Pada pasien dengan pembedahan emergensi, perlu dipertimbangkan adanya perut

yang terisi penuh bahkan meskipun saat ini kelaparan. Jelas, pasien ini mempunyai

penyakit abdomen akut dan akan terjadi gastric stasis. Namun, stasis dapat juga

terjadi akibat cemas, nyeri dan analgesik narkotik.

G. PREMEDIKASI

Hal ini jarang digunakan pada pasien dewasa kecuali ada indikasi spesifik.

Premedikasi mungkin diperlukan :

Untuk mengurangi kecemasan pasien yang berlebihan

Mengurangi nyeri (bila perlu) untuk bergerak, posisi dan prosedur (kanulasi,

analgesik regional) sebelum induksi anestesi.

Indikasi spesifik seperti profilaksis antasid, trinitrat gliceryl

TABEL 6.8 Faktor yang berhubungan dengan penurunan tonus sphincter

esophagus bawah

- Kegemukan

- Kehamilan (setelah trimester pertama)

- Hiatus hernia

- Penyakit reflek gastroesofagal

- Distensi abdomen

- Obat-obatan : atropine, glycopyrrolate, opioids, anestesi volatile

TABEL 6.9 Faktor yang meningkatkan rata-rata pengosongan lambung

Fisiologis

- asam

- makanan yang mengandung protein tinggi

16

Page 17: refrat RSO jadi

- kehamilan

Patofisiologi

- kecemasan (ansietas)

- trauma

- bedah

- syok

- nyeri

- diabetes

Obat-obatan

- opioids

- antikolinergik

- antidepresan trisiklik

Anak-anak sering diberikan obat-obatan premedikasi sedatif dan krim anestesi

lokal topikal yang dioleskan pada kulit pada sisi kanulasi vena.

Benzodiazepin, opioids dan antikolinergik adalah ansiolitik tradisional.

Benzodiazepin

Temazepam 10-20 mg diberikan per oral 1-2 jam sebelum sedasi prosedur

pembedahan dan amnesia tanpa memperpanjang sedasi setelah operasi. Diazepam 5-10

mg diberikan per oral 1-2 jam sebelum sedasi prosedur pembedahan, tapi masih

dimungkinkan diperpanjang setelah pembedahan. Dalam ruang anestesi, midazolam

intravena 1-3 mg menimbulkan amnesia dan sedasi.

Opioids

Indikasi utama pemberian opioids adalah untuk menghilangkan nyeri pre operasi

(fraktur, akut abdomen). Morfin 5-10 mg intramuskuler 60-90 menit sebelum

pembedahan adalah cukup. Opioids sering dikombinasikan dengan antiemetik (sebagai

contoh cyclizine 50 mg).

17

Page 18: refrat RSO jadi

Antikolinergik

Indikasi utama adalah untuk mengurangi sekresi oral pada dewasa dan untuk

mencegah bradikardi selama induksi pada anak-anak. Glycopyrrolate dapat digunakan

pada dosis 0,2-0,4 mg intravena untuk dewasa dan 10-20 µg/kgBB untuk anak-anak.

Profilaksis untuk aspirasi pneumonitis

Dalam induksi anestesi, reflek batuk hilang dan regurgitasi dari perut dapat

diaspirasi ke trakea. Pemisahan aspirasi pneumonitis tergantung keasaman (pH) dari isi

perut dan volumenya. Pasien yang terutama beresiko termasuk wanita hamil, begitu

juga dengan hiatus hernia, reflek gastroesofagal, gangguan jalan napas, ileus dan

kegemukan (lihat juga tabel 6.8 dan 6.9). Obat-obatan dapat digunakan untuk

meminimalisasi sekret gaster dan volume isi gaster.

Histamin (H2) antagonis dan inhibitor pompa proton

Ranitidin 150-300 mg per oral atau 50-100 mg iv/im mengurangi keasaman dan

volume isi gaster. Inhibitor pompa proton seperti omeprazole dapat digunakan sebagai

alternatif.

Antasid

Antasid yang non partikulat seperti sodium sitrate 30-60 mg dapat diberikan

segera sebelum induksi anestesi.

Prokinetik

Metoclopramide, suatu dopamin antagonis, dapat digunakan untuk meningkatkan

pengosongan lambung, secara simultan meningkatkan tonus dari sphincter esofagal

bawah. Ada sedikit bukti bahwa beberapa agen secara signifikan menurunkan resiko

regurgitasi.

18

Page 19: refrat RSO jadi

19