Upload
penjual-tomat
View
73
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
keloid
Citation preview
TUGAS REFRAT
KELOID
Pembimbing :
dr. BUDI YUWONO Sp.B
Diajukan oleh :
Retno Ageng Cahyaningtyas, S.Ked
(J5000 800 53)
KEPANITRAAN KLINIK ILMU BEDAH DI RSUD SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keloid adalah pertumbuhan jaringan ikat padat hiperproliferatif
jinak akibat respon penyembuhan luka abnormal. Keloid terjadi karena
sintesis dan penumpukan kolagen yang berlebihan dan tidak terkontrol
pada kulit yang sebelumnya terjadi trauma dan mengalami
penyembuhan luka.1
Keloid berbeda dengan skar hipertrofik karena keloid menyebar
melewati garis batas luka awal, menginvasi kulit normal di sekitarnya,
tumbuh mirip pseudotumor dan cenderung rekuren setelah eksisi.2
Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog,
terutama karena respon terhadap pengobatan yang bervariasi.
Berbagai metoda terapi telah dilakukan untuk mengobati keloid.
Metoda terapi keloid yang banyak digunakan saat ini adalah
kortikosteroid, pembedahan, radiasi, laser dan silicone gel sheets.3
Keloid sering timbul kembali walaupun telah diterapi dengan berbagai
teknik. Sampai saat ini pun, belum ada baku emas penanganan keloid.4
Oleh karena itu, pemahaman mendasar tentang patogenesis, berbagai
metoda penanganan dan pencegahan kekambuhan keloid penting
untuk dimiliki oleh dokter yang akan menangani kondisi ini.
Bekas luka keloid dan hipertrofik adalah proliferasi jinak dan
fibrosis yang menunjukkan respon penyembuhan luka abnormal pada
individu yang rentan.5 Scar hipertrofi mengikuti sternotomy garis
tengah untuk operasi jantung jarang terjadi, terjadilebih dalam
pigmentasi kulit. Diperkirakan bahwa sampai dengan 4,5% dari
populasi umum menderita hipertrofi jaringan parut.6
Harus dibedakan antara istilah keloid dan parut hipertropik. Pada
parut hipertropik, besar parut masih sesuai dengan lukanya, tidak
pernah melewati batas tepi luka dan pada suatu saat akan mengalami
fase maturasi.7
B. Tujuan Penelitian
Tujuan pada referat ini adalah pengetahuan tentang patogenesis,
manifestasi klinis, gambaran histopatologis, pencegahan dan terutama
berbagai metode penanganan keloid.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. Definisi
Keloid merupakan jaringan parut akibat luka atau trauma yang
berkembang berlebihan, menimbul dan melebihi ukuran luka atau
trauma yang terjadi.8 Keloid merupakan tumor jaringan ikat kulit yang
umumnya timbul akibat trauma dan bakat.9
B. Anatomi dan Fisiologi
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan
membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang
dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit
merupakan organ yang paling esensial dan vital serta merupakan
cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis
dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga
bergantung pada lokasi tubuh. Pembagian kulit secara garis besar
tersusun atas tiga lapisan utama,10 yaitu :
1. Lapisan epidermis atau kutikel, terdiri atas : stratum korneum,
stratum lusidum,stratum granulosum, stratum spinosum dan
stratum basale (terdiri atas dua jenis sel :sel-sel kolumner dan sel
pembentuk melanin).
2. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin). Secara garis besar
dibagi menjadi dua bagian, yakni : pars papillare dan pars
retikulare.
3. Lapisan subkutis (hipodermis) adalah kelanjutan dermis, terdiri atas
jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang
terletak di bagian atas dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di
subkutis (pleksus profunda). Pleksus yang di dermis bagian atas
mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus yang disubkutis dan
di pars papillare juga mengadakan anastomosis, di bagian ini
pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan
pembuluh darah terdapat saluran getah bening.10
Ada tujuh fungsi utama kulit adalah fungsi proteksi (pelindung
terhadap cedera fisik,kekeringan, zat kimia, kuman penyakit dan
radiasi), absorpsi, ekskresi, persepsi (faal perasa dan peraba yang
dijalankan oleh ujung saraf sensoris Vater paccini, Meisner,Krause, dan
Ruffini yang terdapat di dermis), pengatura suhu tubuh
(termoregulasiakibat adanya jaringan kapiler yang luas di dermis,
adanya lemak subkutan, dan kelenjar keringat), pembentukan pigmen,
pembentukan vitamin D, dankeratinisasi).10
Gb. Tiga Lapisan Kulit.11
C. Etiologi
Faktor-faktor yang memainkan peran utama dalam pembentukan
keloid adalah predisposisi genetik dan beberapa bentuk trauma kulit.
Kulit atau luka akan menimbulkan ketegangan dan menjadi penyebab
penting dalam pembentukan bekas luka hipertrofik dan keloid. Scar
yang melalui sendi atau lipatan kulit di sudut kanan cenderung untuk
membentuk bekas luka hipertrofik,karena kekuatan disebabkan oleh
ketegangan konstan yang terjadi. Meskipun keloid dapat terjadi pada
semua usia,namun cenderung dialami pada usia pubertas. Bahwa
individu yang lebih muda lebih sering mengalami trauma dan kulit
mereka lebih elastis dibandingkan kulit seseorang yang usianya lebih
tua.
Kebanyakan keloid dialami seseorang yang berkulit hitam dan itu
disebabkan oleh faktor genetik. Terbentuknya keloid terutama terjadi
pada bagian tubuh dengan konsentrasi melanosit yang tinggi, dan
sangat jarang pada telapak kaki dan telapak tangan. Terbentuknya
keloid juga telah dikaitkan dengan faktor endokrin. Menopause juga
mendorong resesi keloid, sedangkan wanita melaporkan pembesaran
onset keloid selama kehamilan 12
D. Patogenesis
Pemahaman tentang penyembuhan luka normal sangat penting
dalam upaya memahami mekanisme pembentukan keloid. Secara
klasik, penyembuhan luka terbagi dalam tiga fase, yaitu: inflamasi,
fibroblastik dan maturasi.2
Secara umum, keloid timbul setelah cedera atau inflamasi kulit
pada individu yang beresiko. Keloid dapat terjadi dalam jangka waktu
satu bulan sampai satu tahun setelah trauma atau inflamasi. Trauma
kulit pada dermis retikuler atau lapisan kulit lebih dalam lagi
cenderung berpotensi menjadi skar hipertrofik dan keloid. Beberapa
penyebab keloid yang sering dilaporkan adalah: akne, folikulitis,
varicella, vaksinasi, tindik telinga, luka robek dan luka operasi. Luka
kecil sekalipun, bahkan bintil bekas gigitan serangga dapat menjadi
keloid. Injeksi menggunakan jarum ukuran kecil, seperti injeksi
anestesi lokal, biasanya tidak menimbulkan keloid. Keloid dapat terjadi
pada injeksi yang memprovokasi inflamasi, seperti vaksinasi.
Penelitian di Taiwan mendapatkan bahwa 10% remaja mendapat
keloid pada tempat bekas injeksi vaksin Bacil Calmette Guerin (BCG).1
Setelah terjadi trauma/luka, pada lokasi luka terjadi degranulasi
platelet, aktifasi faktor pembekuan dan komplemen, mengakibatkan
pembentukan bekuan fibrin untuk hemostasis. Bekuan ini selanjutnya
Gambar: Keloid linear lateral leher
dekstra.13
berperan sebagai rangka untuk penyembuhan luka. Degranulasi
platelet menyebabkan pelepasan dan aktifasi sitokin poten termasuk
transforming growth factor-β (TGF-β), epidermal growth factor (EGF),
insulin like growth factor-1 (IGF-1) dan platelet-derived growth factor
(PDGF). Growth factor berfungsi merekrut dan mengaktifkan sel
netrofil, epitel, endotel makrofag, sel mast dan fibroblas.2
Pembentukan jaringan granulasi dan maturasi skar membutuhkan
keseimbangan antara biosintesis kolagen dan degradasi matriks
hingga dicapai penyembuhan luka optimal. Makrofag, fibroblas dan
pembuluh darah bergerak ke tempat luka untuk mengembalikan
integritas dermal yang rusak. Makrofag merupakan sumber sitokin
yang berfungsi untuk stimulasi fibroplasia dan angiogenesis. Fibroblas
berfungsi membangun komponen matriks ekstraseluler baru, memulai
sintesis kolagen dan menciptakan regangan tepi luka melalui protein
yang kontraktil seperti aktin dan desmin. Pembuluh darah menyuplai
oksigen dan nutrisi untuk mempertahankan pertumbuhan sel.
Degradasi matrik dikoordinasikan melalui aksi kolagenase,
proteoglikanase, metalloproteinase dan protease.14
Seiring dengan proses diatas, faktor antifibrotik juga dilepaskan,
termasuk interferon-α dan interferon-β yang diproduksi oleh leukosit
dan fibroblas, sedangkan interferon-γ diproduksi oleh limfosit T.
Interferon berfungsi menghambat sintesis kolagen dan fibronektin oleh
fibroblas. Interferon juga menghambat diferensiasi fibroblas. Maturasi
skar berakhir dengan dengan regresi stimulasi sitokin dan stimuli
angiogenik, menghasilkan skar yang hiperemis dan contracted. Scar
remodelling terjadi pada 6-12 bulan selanjutnya, dengan skar yang
terbentuk mendekati 70-80% tensile strength kulit normal. Fase
inflamasi yang memanjang mengakibatkan peningkatan aktifitas
sitokin. Resiko pembentukan keloid meningkat seiring dengan aktifitas
sitokin yang berkepanjangan.15
Penelitian lain tentang patogenesis keloid mendapatkan bahwa
pada keloid terjadi down-regulation gen yang terkait apoptosis. Selain
itu pada biakan fibroblas keloid didapatkan produksi kolagen dan
matriks metalloproteinase lebih besar dibandingkan fibroblas dermal
normal.16
E. Gejala klinis
Manifestasi klinis keloid berupa plak atau nodul kenyal, berwarna
merah atau merah muda (sering disertai telangiektasis), biasanya
gatal dan nyeri, yang tidak dapat pulih secara spontan dan ukurannya
makin lebar seiring dengan waktu.17 Tanda karakteristik keloid adalah
skar tebal berwarna merah di area sternal.18 Lee dkk melaporkan
bahwa dari 28 pasien keloid; 86% mengeluh gatal dan 46% mengeluh
nyeri, gatal terutama pada tepi lesi sedangkan nyeri pada bagian
tengah lesi.19
Gambar: Dua buah keloid di regio presternal, lokasi yang
sering terkena.17
Karena sebab yang belum jelas, keloid sering terjadi pada dada,
bahu, punggung atas, leher belakang dan lobus telinga. Beberapa
peneliti berpendapat bahwa keloid terjadi secara primer pada area
kulit dengan high skin tension. Peneliti lain tidak sependapat dengan
pendapat tersebut karena keloid jarang dijumpai pada telapak tangan
atau kaki, daerah dengan skin tension cukup tinggi. Selain itu keloid
juga sering terjadi pada lobus telinga, daerah dengan skin tension
minimal. Beberapa penulis juga melaporkan kejadian keloid di genital,
dan sudah ada 70 kasus keloid pada kornea yang dilaporkan.1
F. Histopatolgi
Karakteristik histologis keloid adalah peningkatan kolagen dan
glikosaminoglikan. Terdapat banyak serabut kolagen berhyalin tebal
yang tersusun secara tidak teratur, disebut sebagai keloidal collagen.1
Susunan kolagen yang tidak beraturan ini berbeda dari serabut
kolagen normal yang tersusun secara paralel terhadap epidermis.
Selain itu pada keloid terdapat beberapa gambaran histologis,
diantaranya: tidak adanya pembuluh darah yang tersusun vertikal,
adanya gambaran seperti ujung lidah di bawah epidermis dan papiler
dermis yang tampak normal, gambaran horizontal fibrous band dan
fascia like band di dermis retikuler bagian atas.20
Gambar. Pewarnaan hematoksilin eosin pada paraffin sections jaringan
keloid. Tampak penebalan epidermis dan gambaran seperti ujung lidah
di bawah epidermis dan papiler dermis yang tampak normal. E,
epidermis; D, dermis.20
G. Penatalaksanaan.
Berdasarkan pemahaman tentang patogenesis keloid yang ada
saat ini, terdapat tiga pendekatan terapi yang dapat digunakan:
Keloid pada wajah
manipulasi terhadap aspek mekanis penyembuhan luka, koreksi
terhadap ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen,
dan perubahan respon imun/inflamasi.2
Penanganan keloid merupakan masalah yang sulit, karena
rendahnya respon penyembuhan terhadap berbagai terapi dan
cenderung kambuh. Keloid yang hanya diterapi dengan pembedahan
memiliki angka kekambuhan sampai 80%.1
Pada ukuran dan jumlah lesi keloid harus diukur untuk
merencanakan penanganan keloid. Penggolongan ini penting karena
lesi yang kecil (dini) dapat diterapi secara radikal dengan cara
pembedahan dan terapi ajuvan. Terapi laser sebagai monoterapi juga
efektif untuk terapi radikal keloid dini. Terapi konservatif non bedah,
tidak efektif jika digunakan sebagai monoterapi.21
Pasien dengan keloid berukuran besar biasanya disertai infeksi dan
nyeri, sehingga pengurangan ukuran masa keloid dan terapi
simtomatik dengan berbagai modalitas terapi harus dipertimbangkan
kasus per kasus.21
Penanganan keloid yang paling sering digunakan dan paling sering
dilaporkan efikasinya adalah injeksi kortikosteroid intralesi, bedah
eksisi, cryotherapy, laser, radiasi dan silicone gel sheeting. Beberapa
metode penanganan keloid lain lebih jarang digunakan namun secara
efikasi cukup efektif adalah: imiquimod topikal dan antimetabolit (5-
fluorouracil dan bleomisin).
1. Injeksi Kortikosteroid Intralesi
Injeksi kortikosteroid intralesi (KIL) merupakan metoda
penanganan keloid yang paling banyak dilakukan karena mudah
dikerjakan, dapat diterima dengan baik dan efektif mengurangi
gejala. (Hochman dkk, 2008) Triamsinolon asetonid dengan
konsentrasi 10-40 mg/ml, merupakan jenis steroid yang sering
digunakan.15
Secara in vitro triamsinolon asetonid bekerja dengan cara
menghambat pertumbuhan fibroblas. Efek negatif terhadap
mitogenesis fibroblas dan sintesis kolagen mungkin disebabkan oleh
penurunan produksi TGF-β1 dan peningkatan produksi beta
fibroblast growth factor (bFGF) yang terjadi pada fibroblas yang
diterapi dengan triamsinolon asetonid. Efek antimitotik
kortikosteroid terhadap keratinosit dan fibroblas mengakibatkan
perlambatan proses re-epitelialisasi dan pembentukan kolagen baru.
Kortikosteroid juga menekan inflamasi dengan menghambat migrasi
leukosit, monosit dan fagositosis.
Dosis triamsinolon asetonid yang diperlukan untuk terapi keloid
lebih tinggi daripada untuk penyakit lain. Robles menganjurkan
dosis awal sebesar 40 mg/ml. Injeksi dapat diulang tiap 4-6 pekan
tergantung respons keloid. Injeksi KIL menyebabkan keloid jadi
mendatar, lebih lunak dan meringankan gejala nyeri dan gatal.
Namun injeksi KIL jarang sekali menghasilkan perbaikan komplit dan
bertahan lama.1
Komplikasi yang dapat terjadi akibat KIL adalah telangiektasis,
atrofi kulit dan hipo atau hiperpigmentasi. Selain itu tindakan injeksi
KIL sendiri merupakan tindakan yang cukup menyakitkan bagi
pasien. Untuk mengurangi nyeri saat injeksi KIL, sebelum injeksi
digunakan salap anestetik eutectic mixture of local anesthetics
(EMLA), dapat juga dengan cara triamsinolon diencerkan dengan
lidokain, atau anestesi dengan cara infiltrasi menggunakan lidokain.
Cara yang terakhir disebutkan lebih efektif dalam mengurangi nyeri
saat injeksi KIL. Karena nyeri saat injeksi dan kekhawatiran terhadap
penggunaan kortikosteroid dosis tinggi secara berulang maka injeksi
KIL sulit digunakan untuk keloid yang berukuran besar atau
berjumlah banyak.22
2. Bedah Eksisi
Bedah eksisi merupakan cara penanganan keloid yang pertama
kali dikenal. Pertama kali dilakukan oleh Druit di tahun 1844 dan
disempurnakan oleh De Costa pada tahun 1903. Secara umum
pembedahan diperlukan sebagai terapi lini kedua untuk lesi yang
tidak berespon terhadap terapi lain. Selain itu bedah eksisi juga
dilakukan pada lesi keloid yang luas sehingga membutuhkan
debulking lebih dahulu sebelum terapi lain dilakukan.2
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan pada bedah
eksisi keloid. Semua sumber yang dapat menyebabkan inflamasi,
termasuk folikel rambut yang terperangkap, kista epitelial dan sinus
tract harus dibuang, karena hal tersebut dapat berpotensi menjadi
sumber fibrogenic growthstimuli. Rekonstruksi bedah sedapat
mungkin didesain untuk mengurangi trauma jaringan dan wound
tension, serta mencegah terjadinya dead space, hematom dan
infeksi. Reorientasi skar harus sejajar dengan garis skin tension.2
Jika kulit sekitar eksisi tidak dalam kondisi tension yang
berlebihan, keloid berukuran kecil dapat dieksisi dan luka ditutup
secara primer. Namun jika penutupan primer tidak mungkin
dilakukan dan memerlukan tandur kulit, maka dilakukan eksisi
keloid dengan meninggalkan daerah berbentuk elips yang akan
ditanamkan tandur kulit. Daerah berbentuk elips ini berfungsi untuk
menurunkan central tensile forces, dan diharapkan dapat
menurunkan kemungkinan untuk kambuh. Tandur kulit full thickness
lebih baik dibanding tandur kulit split thickness, karena
memungkinkan penutupan luka lebih baik dan menyediakan
struktur mikrovaskuler yang cukup untuk meyakinkan terjadi
anastomosis dengan struktur mikrovaskuler host sehingga
mengurangi angiogenesis dan proliferasi fibroblast.2
Bedah eksisi pada kebanyakan kasus keloid bukanlah tindakan
kuratif. Rekurensi setelah tindakan berkisar antara 45% sampai
100%. Karena rekurensi yang tinggi ini, bedah eksisi saja tanpa
terapi tambahan bukanlah terapi terbaik. Eksisi sering
menyebabkan skar yang lebih panjang dari keloid asalnya dan bila
kambuh dapat terjadi keloid yang lebih besar lagi. Injeksi
kortikosteroid intralesi untuk menurunkan angka rekurensi dapat
dilakukan intraoperatif atau pasca eksisi. Umumnya digunakan
triamsinolon asetonid intralesi, dimulai dua minggu setelah eksisi,
dilanjutkan sampai satu tahun atau sampai wound bed tetap sejajar
dengan kulit sekitar selama. Alternatif monoterapi tambahan lain
adalah imiquimod topikal dan terapi radiasi.21
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa wound tension yang
berlebihan mungkin menyebabkan pembentukan keloid, oleh karena
itu disarankan penyatuan tepi luka didesain untuk meminimalisir
wound tension. Perawatan seksama harus dilakukan untuk menjaga
wound tension di garis luka supaya tetap relaks, hal ini dicapai
dengan teknik aseptik dan dengan mempertahankan wound
eversion secara optimal.21
3. Radiasi
Mekanisme terapi radiasi dalam mencegah keloid masih sangat
kurang dimengerti. Radiasi diduga mengontrol sintesis kolagen
dengan cara mengeliminasi fibroblas abnormal dan meningkatkan
fibroblas normal yang telah ada. Radioterapi juga dihubungkan
dengan penghambatan pembentukan neovascular buds dan
proliferating young fibroblasts sehingga menurunkan produksi
kolagen pada fase awal penyembuhan luka. Analisis in vitro terapi
radiasi terhadap fibroblas keloid menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan apoptosis sel tersebut akibat radiasi. Kombinasi
pembedahan dengan radiasi pascaoperasi merupakan metoda yang
lebih efektif untuk mengatasi keloid dibandingkan dengan terapi
radiasi saja. Tingkat keberhasilan kombinasi ini bervariasi antara 67
sampai 98% dengan angka rekurensi turun sampai dibawah 20%.
Radiasi biasanya dimulai segera setelah pembedahan dengan dosis
total tidak lebih dari 20 Gy selama beberapa kali pemberian. Guix
dkk menyimpulkan bahwa terapi radiasi dengan menggunakan high-
dose-rate brachyterapy lebih efektif dibanding superficial x-ray atau
low-energy electron beam.23
Efek samping yang sering terjadi adalah transient erythema
dan hiperpigmentasi. Terapi radiasi memiliki resiko karsinogenesis,
sehingga walaupun resiko ini kemungkinan kecil terjadi pada keloid,
pasien harus tetap diberitahu agar waspada karena secara teori hal
itu mungkin terjadi.1
4. Cryotherapy
Cryotherapy menggunakan refrigerant, sebagai terapi tunggal
atau dikombinasi dengan injeksi KIL telah lama digunakan sebagai
terapi keloid. Metoda aplikasi cryotherapy adalah dengan cara
ditempelkan, disemprotkan, dan disuntikkan intralesi. Dalam sebuah
penelitian randomized clinical trial, Layton dkk mendapatkan bahwa
lesi vaskuler dini berespon lebih baik secara signifikan dibanding lesi
yang lebih besar, sehingga disimpulkan cara ini efektif untuk keloid
berukuran kecil.15
Bahwa kerusakan sel dan mikrovaskuler yang diakibatkan oleh
cryotherapy, secara langsung menyebabkan stasis dan
pembentukan trombus sehingga terjadi nekrosis serta perlunakan
dan pendataran keloid. Secara in vitro, cryotherapy mampu
mengubah sintesis kolagen dan differensiasi keloidal collagen
menjadi normal. Kelemahan cryotherapy adalah nyeri yang
ditimbulkan cukup berat dan waktu penyembuhan yang lama,
sehingga pasien sering tidak datang kembali. Metoda ini
memerlukan kombinasi dengan cara pengobatan lain. Pada pasien
dengan warna kulit gelap dapat terjadi efek hipopigmentasi, yang
dapat menimbulkan masalah baru.24,1
5. Laser
Mekanisme yang mendasari efek terapi laser pada keloid,
masih belum jelas sepenuhnya. Coagulation necrosis pembuluh
darah akibat efek selective photothermolysis dan efek panas yang
dihasilkan oleh energi laser menyebabkan penghancuran kolagen,
perbaikan susunan serat kolagen, sintesis kolagen baru dan
pelepasan histamin. Nekrosis pembuluh darah juga menyebabkan
penurunan aliran darah kapiler di papila dermis. Kolagen yang baru
terbentuk, bukanlah keloidal collagen melainkan kolagen normal.25
Laser karbondioksida (CO2) merupakan salah satu jenis laser
yang pertama kali digunakan untuk terapi keloid. Pada tahun 1982
continous wave CO2 laser sukses dalam eksisi keloid. Keuntungan
laser adalah bersifat non traumatik dan memiliki efek anti inflamasi.
Namun selanjutnya didapat bahwa eksisi keloid menggunakan
continous wave CO2 laser yang dilanjutkan dengan penyembuhan
luka sekunder, gagal menekan pertumbuhan dan mencegah
rekurensi keloid. Saat ini laser CO2 digunakan untuk debulking
keloid berukuran besar, sebelum terapi lain dimulai.2
6. Silicone gel sheeting
Penggunaan silicone gel sheet merupakan suatu kemajuan baru
dalam penatalaksanaan keloid dan jaringan skar hipertrofik. Silicone
gel sheet tersebut berupa gel like transparent, flexible, inert sheet
dengan ketebalan 3,5 mm yang digunakan untuk terapi dan
pencegahan keloid ataupun jaringan skar hipertrofik. Lapisan
tersebut terbuat dari medical-grade silicone (polimer
polydimethylsiloxane)dan diperkuat dengan silicon
membranebacking. Lapisan tersebut dapat melekat dengan mudah
pada jaringan skar atau direkatkan dengan plester. Lapisan dapat
dicuci setiap hari dan dipakai kembali, maksimal sampai 12 hari.
Silicone gel sheet didesain untuk digunakan pada kulit yang intak.
Lapisan membran tersebut sebaiknya tidak digunakan pada luka
terbuka atau pada kulit dengan kelainan dermatologi yang
mengintervensi kontinuitas kulit. Idealnya, silicone sheet
diaplikasikan pada stadium awal ketika jaringan skar mulai
menunjukkan tanda ke arah berkembangnya jaringan skar
hipertrofik (kemerahan, membesar). Pasien berisiko tinggi untuk
menderita jaringan skar abnormal, seperti pasien berumur di bawah
40 tahun, riwayat skar hipertrofik atau keloid sebelumnya, atau kulit
gelap dapat dianjurkan untuk menggunakan silicone sheet segera
setelah luka telah menyembuh (setelah pengangkatan jahitan pada
luka).1
Pembalutan dengan gel silikon efektif untuk keloid bila
digunakan setelah bedah eksisi, hal ini bertujuan untuk
mencegah kambuhnya keloid. Gel sheets dilaporkan dapat
melembutkan skar dan menurunkan ukuran skar, mengurangi
eritem dan gejala gatal dan nyeri. Silicone gel sheeting sebaiknya
diaplikasikan segera setelah eksisi dan dilanjutkan selama 12 jam
per hari untuk 1 bulan. Lamanya pemakaian membutuhkan tingkat
kepatuhan pasien yang baik.15
Sebuah penelitian yang membandingkan penggunaan silicone
gel sheeting dengan non silicone gel sheets mendapatkan efektifitas
yang sama antara keduanya dalam mengurangi ukuran skar,
mengurangi indurasi dan mengurangi gejala. Hal ini menyiratkan
bahwa efek yang menguntungkan dari metoda ini sebenarnya
adalah sifat oklusif dari lapisan gel yang dipercaya meningkatkan
hidrasi keloid, bukanlah materi silikonnya.24
7. 5-Fluorouracil
5-Fluorouracil (5-FU), merupakan analog pirimidin yang banyak
digunakan dalam pengobatan kanker dan glaukoma. Dalam sel 5-FU
dikonversikan menjadi substrat aktif yang menghambat sintesis
DNA dengan cara kompetitif terhadap penggabungan urasil.
Penelitian terbaru mendapatkan bahwa 5-FU memiliki efikasi yang
baik untuk menangani keloid. Kemampuan 5-FU untuk untuk
mengganggu TGF-b signaling merupakan dasar penggunaan 5-FU
untuk menghambat pembentukan keloid. Teknik yang digunakan
dalam penelitian efikasi 5-FU terhadap keloid adalah dengan injeksi
intralesi atau menempatkan kain yang sebelumnya direndam
dengan 5-FU selama 5 menit sebelum luka ditutup.
Efek samping yang sering terjadi adalah nyeri di lokasi
injeksi, ulserasi dan rasa terbakar.1
Beberapa terapi baru yang potensial adalah:
1. Panjang gelombang ultraviolet A(340-400 nm, UVA1), dapat
membantu mencegah kekambuhan setelah eksisi keloid
melalui kemampuannya untuk mengurangi sel mast.
2. Quercetin, flavonol, telah berhasil ditemukan untuk
menghambat proliferasi dan kontraksi fibroblas dari bekas
luka yang berlebihan.
3. Sedangkan Prostaglandin E2 (Dinoprostone) berfungsi
untuk mengembalikan perbaikan luka yang normal.
4. Pada Zat pemutih yang kuat karena keloid belum
ditemukan dialbinos dan mengalami penurunan ketika
vitiligo berkembang pada kulitas keloid.
5. Sebuah selmast inhibitor ampuh karena sel mast tidak
hanya meningkat pada keloid, tetapi juga memiliki
hubungan yang kuat dengan fibroblas diantara inflamasi
dan stabil keloid. Daerah regresi contral dari keloid tidak
memiliki keintiman sel fibroblast-mast.
6. Terapi gen.26
Krioterapi digunakan nitroge liquid yang mempengaruhi
mikrovaskularisasi dan menyebabkan kerusakan sel melalui kristal
intrasel yang mengakibatkan anoksia sel. Penggunaan krioterapi
tanpa modalitas tanpa modalitas terapi yang lain menghasilkan
resolusi tanpa rekurensi pada 51 74% pasien setelah 30 bulan
observasi. Eksisi Rekurensi dapat terjadi sekitar 45-100% pada
pasien dengan terapi eksisi tanpamodalitas terapi lain seperti
radioterapi atau injeksi kortikosteroid post eksisi.
Terapi laser dapat digunakan laser karbon dioksida, laser argon
atau YAG laser. Dengan laser karbon dioksida, lesi dapat terpotong
dan terbakar dengan trauma jaringan yang minimal.
H. Pencegahan
Pencegahan pembentukan keloid merupakan faktor penting yang
harus diperhatikan dalam penanganan keloid. Klinisi harus waspada
terhadap faktor resiko keloid, termasuk riwayat keloid, riwayat keloid
dalam keluarga, tension di lokasi trauma dan warna kulit gelap. Keloid
timbul jika sebelumnya terjadi cedera kulit walaupun cedera tersebut
ringan sekali. Keloid juga dapat berasal dari proses inflamasi yang
lemah, termasuk akne dan injeksi. Perhatian khusus harus diberikan
ketika mengobati pasien dengan riwayat keloid. Faktor yang dapat
dikelola untuk mencegah terjadinya keloid adalah daya mekanik luka
(stretching tension), pencegahan infeksi luka dan reaksi benda asing.21
Beberapa hal penting untuk mencegah keloid adalah:
1. Hindari gerakan berlebihan yang dapat meregangkan luka
2. Gunakan perban dan kain pembalut luka dengan tepat.
3. Hindarkan luka dari daya mekanis langsung (misalnya gesekan dan
garukan)
4. Gunakan gel sheeting dan plester perekat.
5. Untuk pasien dengan luka di telinga, kurangi kontak dengan bantal
ketika tidur, untuk mencegah gesekan.
6. Untuk pasien wanita dengan luka di dada, gunakan bra dan
pakaian dalam ketat untuk mencegah regangan kulit yang
disebabkan oleh berat payudara.
7. Untuk pasien dengan luka di supra pubik, dianjurkan untuk
memakai korset.
8. Setelah pembedahan dan trauma, luka yang terjadi harus dijaga
tetap bersih dengan cara melakukan irrigasi dan mengoleskan obat
antibakteri atau anti jamur.
9. Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis
daerah luka (termasuk lubang tindik telinga) dengan benda
asing.27,21
BAB III
KESIMPULAN
Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog.
Beberapa metoda terapi telah digunakan dengan tingkat keberhasilan
bervariasi. Berdasarkan pemahaman tentang patogenesis keloid yang ada
saat ini, terdapat tiga pendekatan terapi yang dapat digunakan
manipulasi terhadap aspek mekanis penyembuhan luka, koreksi terhadap
ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen, dan perubahan
respon imun/inflamasi. Berbagai metoda terbaru, seperti penggunaan
antineoplastic agent, hasilnya cukup baik dan menjanjikan. Terdapat
algoritma penanganan yang cukup baik, namun diskusi dengan pasien
untuk menentukan tujuan akhir terapi merupakan hal penting yang harus
dilakukan dalam menangani keloid.
DAFTAR PUSTAKA
.1. Robles, D.T., Berg, D. 2007. Abnormal wound healing: keloids.
Clinics in Dermatology 25:26-32.2. Urioste, S.S., Arndt, K.A., Dover, J.S. 1999. Keloids and
hypertrophic scars: Review and treatment strategies. Seminars in Cutaneous Medicine and Surgery 18(2):159-71
3. Durani, P., Bayat, A. 2008 Level of evidence for the treatment of keloid disease. Journal of Plastic, Reconstructive & Aesthetic Surgery 61:4-17
4. Sridharani, S.M., Magarakis, M., Manson, P.N., Singh, N.K., Basdag, B., Rosson, G.D. 2010. The emerging role of antineoplastic agents in the treatment of keloids and hypertrophic scars. Annals of Plastic Surgery 64:355-61
5. Kose O, Waseem A: Keloids and Hypertrophic Scars: Are They Two Different Sides of the Same Coin? Dermatol Surg 2008. http://www.cardiothoracicsurgery.org.
6. Atiyeh BS: Nonsurgical Management of Hypertrophic Scars: Evidence Based Therapies, Standard Practices, and Emerging Methods. Aesthetic Plast Surg 2007, 31(5):468-92. http://www.cardiothoracicsurgery.org.
7. Sjamsuhidayat R & Wim de jong. 20012.Buku Ajar Ilmu bedah edisi III. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
8. Sjamsoe Daili. E,dkk. 2005. Penyakit kulit yang umum di Indonesia. Jakarta: PT Medical Multimedia Indonesia.
9. Siregar, RS, Dr. SpKK . 2005. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. EGC. Jakarta.
10.Moore, KL. 2002. Anataomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates11. Tedd woods. 2012. www.skinlayer.net/3-layers-of-skin12. DOLORES WOLFRAM, MD, .2009.Hypertrophic Scars and
KeloidsFA Review of Their Pathophysiology, Risk Factors, and Therapeutic Management . www.theaaams.com/wp.../12/Kelloids-rx.pdf
13. Paul A.K . 2004. Medical and surgical therapies for keloids. http://www.ncbi.nlm.nih.gov.
14. Ulrich, D., Ulrich, F., Unglaub, F., Piatkowski, A., Pallua, N. 2010. Matrix metalloproteinases and tissue inhibitors of metalloproteinases in patients with different types of scars and keloids. Journal of Plastic, Reconstructive & Aesthetic Surgery 63:1015-21
15. Butler, P.D., Longaker, M.T., Yang, G.P. 2008. Current progress in keloid research and treatment. J Am Coll Surg 206:731-41.
16. Steifert, O., Mrowietz, U. 2009. Keloid scarring: bench and bedside. Arch Dermatol Res 301:259-72
17. Harting, M., Hicks, M.J., Levy, M.L. 2008. Dermal hypertrophies. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fizpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7thed. New York: The McGraw-Hill Companies, 553-4
18. Shelley, B.W., Shelley, E.D. 1992. Scar. Dalam: Advanced dermatologic diagnosis. 1st ed. Philadelphia:WB Saunders Company, 1153-6
19. Lee, S., Yosipovitch, G., Chan, Y., Goh, C. 2004. Pruritus, pain, and small nerve fiber function in keloids: A controlled study. J Am Acad Dermatol 51:1002-6.
20. Ong, C.T., Khoo, Y.T., Mukhopadhyay, A., Masilamani, J., Do, D.V., Lim, J., dkk. 2010. Comparative proteomic analysis between normal skin and keloid scar. British Journal of Dermatology 162:1302-15.
21. Ogawa, R. 2010. The most current algorithms for the treatment and prevention of hypertrophic scars and keloids. Plast Reconstr Surg 125:557-68.
22. Hochman, B., Locali R.F., Matsuoka, P.K., Ferreira, L.M. 2008. Intralesional Triamcinolone Acetonide for Keloid Treatment:A Systematic Review. Aesth Plast Surg 32:705-9
23. Speranza, G., Sultanem, K., Muanza, T. 2008. Descriptive study of patients receiving excision and radiotherapy for keloids. Int J Radiation Oncology Biol Phys 71:1465-9
24. Berman, B., Villa A.M., Ramirez, C.C. 2005. Novel opportunities in the treatment and prevention of scarring. J Cutan Med Surg 32-6
25. Cho, S.B., Lee, J.H., Lee, S.H., Lee, S.J., Bang, D., Oh S.H. 2010. Efficacy and safety of 1064-nm Q-switched Nd:YAG laser with low fluence for keloids and hypertrophic scars. JEADV24:1070-4
26.Staff pengajar Bagian Ilmu bedah FK UI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
27.Kelly, A.P. 2009. Update on the management of the keloids. Semin Cutan Med Surg. 28:71-6.