65
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang lebih kita kenal dengan AIDS merupakan penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Penyakit AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai HIV yang dapat menyebabkan daya tahan tubuh seseorang menurun sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi berat atau keganasan yang menyebabkan kematian. 1 HIV/AIDS merupakan sebuah masalah besar yang sangat mengancam, tidak hanya Indonesia tapi juga seluruh negara di dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari penyakit ini. HIV/AIDS tidak hanya menyerang dewasa tapi juga anak-anak. Peningkatan penderita HIV mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anak-anak dan meruntuhkan kerja 1

Bab 2 Refrat Keparat

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang lebih kita kenal dengan AIDS

merupakan penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai

akibat infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Penyakit AIDS adalah penyakit

yang disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai HIV yang dapat menyebabkan daya

tahan tubuh seseorang menurun sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi berat atau

keganasan yang menyebabkan kematian.1

HIV/AIDS merupakan sebuah masalah besar yang sangat mengancam, tidak

hanya Indonesia tapi juga seluruh negara di dunia. Saat ini tidak ada negara yang

terbebas dari penyakit ini. HIV/AIDS tidak hanya menyerang dewasa tapi juga anak-

anak. Peningkatan penderita HIV mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anak-anak

dan meruntuhkan kerja keras terhadap kelangsungan hidup anak-anak pada beberapa

negara yang dikenai.2

United Nation Joint Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), salah satu badan

World Health Organization (WHO) yang khusus mengurusi masalah AIDS,

memperkirakan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh dunia pada

Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang.1 Sedangkan jumlah anak-anak berusia di

bawah 15 tahun yang menderita HIV adalah sekitar 2 juta (1,9 juta-2,3 juta), 90% dari

mereka berada di Sub Sahara Afrika. Sub Sahara Afrika adalah wilayah yang paling

1

banyak dipengaruhi, diikuti oleh Asia. Pada tahun 2007, diperkirakan terdapat 370.000

anak-anak yang baru terinfeksi, kebanyakan melalui transmisi dari ibu ke anak dengan

kemungkinan setengahnya akan meninggal tanpa intervensi awal. Dari 270.000 anak-

anak yang meninggal pada tahun 2007 sebagian besar diantaranya tidak pernah

terdiagnosis sebagai HIV atau menjalani perawatan HIV.3

Infeksi HIV lebih agresif pada bayi dan anak-anak daripada orang dewasa,

dengan 30% meninggal pada tahun pertama kelahiran dan 50% pada usia 2 tahun tanpa

akses terhadap obat-obat penyelamat, termasuk terapi antiretroviral dan preventif seperti

kotrimoksazol (trimethoprim-sulfamethoxazole).3

Penyebab tersering kematian pada bayi dan anak-anak dengan HIV adalah

infeksi saluran pernapasan, diare dan tuberkulosis yang umumnya disebabkan oleh

beberapa faktor risiko, termasuk infeksi oportunistik dan kurang gizi, dari seluruh kasus,

kematian paling banyak terdapat pada anak-anak dengan berat badan kurang. Status gizi

yang buruk membuat anak-anak lebih rentan terhadap morbiditas dan mortalitas,

meskipun mereka menerima terapi antiretroviral3.

Risiko penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak dapat diturunkan melalui diagnosis

dini dan penatalaksanaan yang adekuat dengan cara pemberian antiretroviral profilaksis

untuk ibu dengan HIV positif selama kehamilan, persalinan dengan operasi caesar atau

dengan pemberian imunisasi rutin dan perbaikan gizi.4

2

1.2. Batasan Masalah

Referat ini membahas mengenai patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan HIV

pada anak.

1.3. Tujuan Penulisan

Mengetahui patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan HIV pada anak.

1.4. Metode Penulisan

Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari

berbagai literatur.

1.5. Manfaat Penulisan

Melalui penulisan referat ini diharapkan akan bermanfaat dalam memberikan

informasi dan pengetahuan tentang patogensis, diagnosis, dan penatalaksanaan HIV

pada anak.

3

BAB 2

TINJAUAN UMUM

2.1 Definisi

AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan

oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili

retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.2

2.2 Epidemiologi

WHO memperkirakan lebih dari 39 juta orang di seluruh dunia terinfeksi HIV di

penghujung tahun 2004, termasuk 2,2 juta anak-anak dibawah umur 15 tahun. Lebih

dari 90% penderita HIV tinggal di negara berkembang. Daerah sub sahara afrika

menyumbang angka pertumbuhan tercepat dengan hampir 90% dari total penderita HIV

pada anak. India dan Thailand menyumbang epidemi terbanyak di kawasan asia

tenggara. Depkes pada tahun 2006 memperkirakan terdapat 169.000 – 216.000 ODHA

di Indonesia dengan rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 30 Juni 2007

adalah 4,27 per 100.000 penduduk (revisi berdasarkan data BPS 2005, jumlah penduduk

Indonesia 227.132.350 jiwa). Penderita HIV/AIDS di sumatera barat secara case rate

berjumlah 2,88 (jumlah kasus/jumlah penduduk). 5,6

2.3 Etiologi dan faktor Risiko

2.3.1 Etiologi

Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama human

immunodeficiency virus ini adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili

lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal 2 serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2.

4

HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) mengenai

spektrum penyakit yang menimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1 sebagai

penyebab AIDS yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-

lymphotrophic virus type-3 (HTLV-III), lymphadenopathy associated virus (LAV) dan

AIDS associated virus.4 HIV-1 dan HIV -2 memiliki struktur yang hampir sama. HIV-1

mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai gen vpx, sedangkan HIV-2 mempunyai gen

vpx tetapi tidak mempunyai gen vpu. Gen vpu berfungsi untuk membantu pelepasan

virus sedangkan gen vpx berfungsi untuk meningkatkan infektifitas (daya tularnya).7

2.3.1.1 Struktur HIV

HIV mempunyai inti berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung genom

RNA diploid dan enzim reverse transcriptase (RT), protease serta integrase. Reverse

transcriptase digunakan RNA template untuk memproduksi hybrid DNA. Antigen

kapsid (p24) adalah core antigen virus HIV yang merupakan petanda terdini adanya

infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis

antibodi terhadap HIV-1. Antigen ini menutupi komponen nukleoid, sehingga

membentuk struktur nukleokapsid. Antigen Antigen P17 merupakan bagian dalam

sampul HIV. Pada bagian permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul

glikoprotein (gp120) dengan bagian transmembran gp41. Antigen gp120 ini yang

mengikat reseptor sel CD4 pada sel T dan makrofag.8

5

Gambar 1. Struktur HIV9

2.3.1.2 Siklus hidup

Siklus hidup dibagi menjadi 2 fase :

1. Fase pertama

Dimulai dari melekatnya HIV pada sel host melalui interaksi antara molekul

gp120 dengan molekul CD4 dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5)

(imunologi dasar). Kemudian diikuti dengan fusi membran sel HIV dengan

membran sel host. Di dalam sel host terjadilah transkripsi DNA HIV dari RNA

HIV oleh enzim RT. DNA HIV yang terbentuk kemudian berinteraksi dengan

DNA sel host dengan bantuan enzim integrase. DNA yang terintegrasi disebut

provirus.8

2. Fase kedua

Transkrip DNA HIV yang telah terintegrasi menjadi RNA genom HIV dan

mRNA kemudian ditransport kedalam sitoplasma untuk ditranslasi menjadi

protein virus dengan bantuan enzim protease. Genom RNA dan protein yang

terbentuk di rakit pada permukaan membrane sel host. Terjadilah partikel HIV

6

melalui proses budding dengan membran sel host sebagai bagian lipid sampul

HIV.8

Gambar 2. Daur hidup HIV9

2.3.2 Faktor Risiko1

1. Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual

2. Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti

3. Bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena

4. Bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang

5. Bayi atau anak yang terpapar dengan alat suntik yang tidak steril

6. Anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.

7

Risiko transmisi vertikal bergantung pada beberapa faktor.10

1. Usia kehamilan. Transmisi vertical jarang terjadi pada waktu ibu hamil muda,

karena plasenta merupakan barier yang dapat melindungi janin dari infeksi pada

ibu. Transmisi terbesar terjadi pada waktu hamil tua dan waktu persalinan.

2. Beban virus di dalam darah

3. Kondisi kesehatan ibu. Stadium dan progresifitas penyakit ibu, ada tidaknya

komplikasi, kebiasaan merokok, penggunaan obat-obat terlarang dan defisiensi

vitamin A.

4. Faktor yang berhubungan dengan persalinan; seperti masa kehamilan, lamanya

ketuban pecah, dan cara penanganan bayi baru lahir.

5. Pemberian profilaksis obat antiretroviral.

6. Pemberian ASI.

2.4 Patogenesis

2.4.1 Cara Penularan HIV Terjadi Melalui Tiga Jalur Transmisi Utama:1

1. Transmisi vertikal dari ibu ke janin

Transmisi terjadi melalui plasenta (intrauterine) atau intrapartum yaitu pada

waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genetalia yang mengandung

HIV. Transmisi ini terjadi pada 20-50% kasus. Risiko tertular HIV melalui

ASI adalah 11-29%. Penularan dapat terjadi pada trimester ketiga, tetapi

pemajanan selama persalinan dan kelahiran merupakan faktor utama yang

membedakan antara persalinan pervaginam dan operasi sesar .

8

2. Transmisi langsung ke peredaran darah melalui transfusi atau jarum suntik

3. Transmisi melalui mukosa genital

2.4.2. Pengaruh HIV Terhadap Sistem Imun

HIV memasuki sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel limfosit

T, sel makrofag, monosit, dan dendrit. Pada infeksi HIV terjadi imunosupresi yang

disebabkan oleh menurunnya jumlah dan terganggunya fungsi sel T CD4. Proses ini

tidak hanya disebabkan oleh efek sitopatik langsung, tetapi juga oleh efek sitopatik tidak

langsung yang dinamakan patogenesis imun 1. Selain efek langsung dan tak langsung

juga ada peranan sel sitotoksik CD8 dalam infeksi HIV, yaitu sel CD8 akan mengikat

sel yang terinfeksi oleh virus HIV dan mengeluarkan perforin yang menyebabkan

kematian sel. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV didalam limfosit CD4.7

2.4.1.1 Efek Sitopatik langsung

1. Proses replikasi virus dalam sel T CD4 , menyebabkan :

a. Peningkatan permeabilitas membran sel T CD4, sehingga ion dan air masuk

kedalam sel dan mengakibatkan lisis sel.

b. Menghambat sintesis protein sel host sehingga mengakibatkan kematian sel

T CD4.1

2. Penimbunan DNA virus yang tidak terintegrasi ke genom host memberikan efek

toksik pada sel T CD4 yang terinfeksi dan menganggu fungsi normal sel host

sehingga sel T CD4 menjadi mati.1

3. Interaksi molekul gp120 HIV dengan molekul CD4 intrasel.1

4. Hambatan maturasi sel prekursor T CD4

9

HIV dapat menginfeksi sel prekursor T CD4 didalam timus sehingga sel tersebut

tidak berkembang menjadi matur. Akibatnya jumlah sel T CD4 perifer

menurun.1

2.4.1.2. Efek sitopatik tidak langsung

Beberapa hipotesis mengenai efek sitopatik tidak langsung dalam hal penurunan

jumlah dan fungsi sel T CD4 yang di akibatkan HIV antara lain:1

1. Pembentukan sel sinsitia

Terjadi karena sel T CD4 yang terinfeksi HIV memproduksi protein virus

gp120 dan mengekspresikannya di permukaan membrannya. Molekul gp120

mempunyai afinitas yang tinggi terhadap sel T CD4 yang belum terinfeksi

sehingga akan mengikat sel T CD4 yang belum terinfeksi dan melebur

menjadi satu dengan 2 inti.

2. Apoptosis sel T reaktif

Molekul gp120 yang dibentuk oleh sel T CD4 yang terinfeksi dapat berikatan

dengan molekul CD4 yang normal.dan oleh kompleks gp120-anti120

membuat sel yang normal menjadi apoptosis. Disamping itu, molekul ini

juga dapat menyebabkan refrakter terhadap semua stimulasi, sehingga fungsi

sel T CD4 berkurang.

3. Destruksi autoimun yang diinduksi HIV

Sel T CD4 normal yang sudah berikatan dengan molekul gp120 selain

mengalami apoptosis juga akan mengalami lisis melalaui proses antibody

dependent cellular cytotoxicity (ADCC) dan fiksasi komplemen.

4. Perubahan produksi sitokin sehingga menginduksi hambatan maturasi

10

a. Adanya gangguan produksi sitokin oleh sel makrofag dan monosit akan

menghambat maturasi sel prekursor T CD4.

b. Disregulasi produksi sitokin pada infeksi HIV mengakibatkan aktivasi sel

T CD4 cenderung ke arah aktivasi sel Th2, yaitu aktivasi imunitas

humoral (sel B). Terjadi aktivasi sel B poliklonal sehingga kadar

immunoglobulin serum meningkat, yang dapat meningkatkan pula

produksi autoantibodi dengan akibat timbulnya penyakit autoimun.

2.4.3 Perjalanan Klinis HIV

2.4.3.1. Fase infeksi akut

Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus bertindak sebagai antigen precenting

cell (APC) menangkap virus yang kemudian bermigrasi ke kelenjar limfoid dan

mempresentasikannya ke sel limfosit CD4 sehingga merangsangnya. Sel dendrit

mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel

dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Sel dendrit dapat

menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.11

Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam

jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan

viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi

virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau

T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran

infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen

11

virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang

menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.11

2.4.3.2 Fase laten klinis (clinical laten period)

Pada fase ini kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan

destruksi sel. Sistem imun masih kompeten untuk mengatasi infeksi mikroba

oportunistik dan belum tampak gejala klinik infeksi HIV. Pada fase ini jumlah virus

rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV, tetapi penghancuran sel

T CD4+ di jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlahnya dalam sirkulasi terus

berkurang.11

2.4.3.3 Fase kronik progresif

Fase ini rentan terhadap infeksi lain dan respon imun terhadap infeksi tersebut

akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Penyakit HIV berjalan

terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS yaitu dimana terjadi destruksi seluruh

jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan

viremia HIV meningkat drastis. Pada penderita AIDS mudah mendapat infeksi

oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati

HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).11

2.5 Diagnosis

Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan pada masa perinatal dan pada

anak kecil sangat sulit karena antibodi maternal terhadap HIV yang didapat secara pasif

12

mungkin masih ada pada darah anak sampai pada umur 18 bulan. Tantangan diagnostik

bertambah meningkat bila anak sedang menyusu atau pernah menyusu. Meskipun

infeksi HIV tidak dapat disingkirkan sampai 18 bulan pada beberapa anak, sebagian

besar anak akan kehilangan antibodi HIV pada umur 9-18 bulan.4 Alur diagnosis HIV

pada anak < 18 bulan dan masih mendapat ASI dapat dilihat lampiran 1. Sedangkan alur

dignosis HIV pada anak < 18 bulan dengan ibu HIV positif dan hasil uji virologi negatif

dapat di lihat di lampiran 2. Untuk anak > 18 bulan bagan diagnosis HIV dapat dilihat di

lampiran 4.

2.5.1 Test HIV

Tes HIV secara sukarela dan bebas dari paksaan, dan persetujuan harus diperoleh

sebelum melakukan tes HIV. Semua tes diagnostik HIV harus rahasia, diikuti dengan

konseling, dan dilakukan hanya dengan informed consent, mencakup telah

diinformasikan dan sukarela.4

Pada anak, hal ini berarti persetujuan orang tua atau pengasuh anak. Pada anak

yang lebih tua, biasanya tidak diperlukan persetujuan orang tua untuk tes atau

pengobatan. Akan tetapi untuk remaja lebih baik jika mendapat dukungan orang tua dan

mungkin persetujuan akan diperlukan secara hukum. Menerima atau menolak tes HIV

tidak boleh mengakibatkan konsekuensi yang merugikan terhadap kualitas perawatan

yang diberikan. 4

2.5.1.1 Tes antibodi (Ab) HIV ELISA atau rapid test4

Tes cepat makin tersedia dan aman, efektif, sensitif dan dapat dipercaya untuk

mendiagnosis infeksi HIV pada anak mulai umur 18 bulan. Untuk anak berumur < 18

13

bulan tes cepat antibodi HIV merupakan cara yang sensitif, dapat dipercaya untuk

mendeteksi bayi yang terpajan HIV dan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak

yang tidak mendatpatkan ASI.

Diagnosis HIV dilaksanakan dengan merujuk pada pedoman nasional yang berlaku di

Indonesia yaitu dengan strategi III tes HIV yang menggunakan 3 jenis tes yang berbeda

dengan urutan tertentu sesuai yang direkomendasikan dalam pedoman atau dengan

pemeriksaan virus (metode PCR).

Tes cepat HIV dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak

dengan malnutrisi atau keadaan klinis berat lainnya di daerah dengan prevalensi tinggi

HIV. Untuk anak berumur < 18 bulan, semua tes antibodi HIV yang positif harus

dipastikan dengan tes virologis sesegera mungkin. Jika hal ini tidak tersedia ulangi tes

antibodi pada umur 18 bulan.

2.5.1.2 Tes virologis

Tes virologis untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode yang

paling dipercaya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak berumur < 18 bulan sampel

darah harus dikirim ke laboratorium khusus yang dapat melakukan tes ini (dirujuk ke RS

daerah yang menjadi untuk program perawatan, dukungan dan pengobatan HIV-PDP).

Jika anak pernah mendapatkan pencegahan dengan zidovudine (ZDV) selama atau

sesudah persalinan, tes virologis tidak dianjurkan sampai 4-8 minggu setelah lahir,

karena ZDV mempengaruhi tingkat kepercayaan tes. Satu tes virologis yang positif pada

4-8 minggu sudah cukup untuk membuat diagnosis infeksi pada bayi muda. Jika bayi

14

muda masih mendapat ASI dan tes virologis RNA negatif, perlu diulang 6 minggu

setelah anak benar-benar disapih untuk memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV.4

2.5.2 Stadium HIV pada anak

2.5.2.1 Kriteria Klinis

WHO telah membuat sistem tahapan klinis untuk anak yang menderita HIV, yaitu: 4,10

Stadium Klinis 1

1. Tanpa gejala (asimtomatis)

2. Limfadenopati generalisata persisten

Stadium Klinis 2

1. Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasani.

2. Erupsi papular pruritis

3. Infeksi virus kutil yang luas

4. Moluskum kontagiosum yang luas

5. Infeksi jamur di kuku

6. Ulkus mulut yang berulang

7. Pembesaran parotid persisten tanpa alasan

15

8. Eritema lineal gingival (LGE)

9. Herpes zoster

10. Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore,

sinusitis, atau tonsilitis)

Stadium Klinis 3

1. Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku

2. Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih)

3. Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-

menerus, lebih dari 1 bulan)

4. Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu)

5. Oral hairy leukoplakia (OHL)

6. Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut

7. Tuberkulosis pada kelenjar getah bening

8. Tuberkulosis paru

9. Pneumonia bakteri yang parah dan berulang

10. Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala

16

11. Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis

12. Anemia (<8g/dl), neutropenia (<500/mm3) atau trombositopenia (<50.000/mm3)

Stadium Klinis 4

1. Gagal tumbuh yang berat atau malanutrisi berat tanpa alasan dan tidak

menanggapi terapi yang baku.

2. Pneumonia Pneumosistis (PCP)

3. Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi

tulang atau sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk pneumonia)

4. Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan atau

viskeral pada tempat apa pun)

5. Tuberkulosis di luar paru

6. Sarkoma Kaposi

7. Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)

8. Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan)

9. Ensefalopati HIV

10. Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi organ

lain, yang mulai pada usia lebih dari 1 bulan)

17

11. Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis)

12. Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis)

13. Kriptosporidiosis kronis

14. Isosporiasis kronis

15. Infeksi mikobakteri non-TB diseminata

16. Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B

17. Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)

18. Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV

18

2.5.2.2 Kriteria Imunologis

Tabel 1. Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4+6

Catatan:

1. CD4+ adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi.

2. Digunakan bersamaan dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi

petunjuk dini progresivitas penyakit karena nilai CD4+ menurun lebih

dahulu dibandingkan kondisi klinis.

3. Pemantauan CD4+ dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau

penggantian obat.

4. Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4+. Untuk anak < 5 tahun

digunakan persentase CD4+. Bila ≥ 5 tahun, persentase CD4+ dan nilai

CD4+ absolut dapat digunakan.

5. Ambang batas kadar CD4+ untuk imunodefisiensi berat pada anak ≥ 1

tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan (5%). Pada anak

< 1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4+ tidak dapat memprediksi

19

mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai CD4+

yang tinggi.

2.6 Tatalaksana HIV12,13,14,15

Tujuan tatalaksana penderita HIV pada anak sama seperti penyakit lain yaitu

memelihara kesehatan secara menyeluruh, memantau serta mencegah progresivitas

penyakit, pencegahan infeksi opurtunistik, evaluasi serta terapi kejiwaan serta edukasi

dan dukungan kepada orangtua dan keluarga.15

2.6.1. Pemeliharaan Kesehatan Menyeluruh

Pemeliharaan kesehatan rutin termasuk penilaian tumbuh kembang nutrisi,

imunisasi, deteksi dan tatalaksana bila timbul infeksi, pencegahan trauma, pemeriksaan

gigi geligi, pendengaran serta penglihatan pada semua anak. Bila kondisi stabil, dokter

spesialis anak sedikitnya memeriksa pasien 2 atau 3 kali dalam setahun sambil

mengingatkan pasien untuk berobat secara teratur.15

2.6.2. Penilaian Tumbuh Kembang

Pementauan berkala tumbuh kembang adalah bagian yang penting pada

tatalaksana infeksi HIV pada anak. Gagal tumbuh merupakan hal yang biasa dijumpai

pada anak dengan infeksi pada awal kejadian epidemi. Sejumlah kecil pasien lahir

dengan berat badan lahir rendah tetapi sebagian besar tumbuh normal inutero dan tidak

dapat dibedakan dengan bayi yang tidak terinfeksi hanya dari berat saat lahir.15

20

2.6.3. Konseling

Jika ada alasan untuk menduga infeksi HIV sedangkan status HIV anak tidak

diketahui, harus dilakukan konseling pada keluarganya dan tes untuk HIV harus

ditawarkan. Konseling pra-tes mencakup mendapatkan persetujuan atau informed

consent sebelum dilakukan tes. Sebagian besar anak terinfeksi melalui penularan

verrtikal dari ibu, berarti ibu atau seringkali ayahnya juga terinfeksi. Mereka mungkin

tidak mengetahui hal ini. Bahkan di negara dengan prevalensi tinggi, HIV tetap

merupakan kondisi dengan stigma yang ekstrim dan orang tuanya mungkin merasa

keberatan untuk menjalani tes.4

Konseling HIV harus memperhitungkan anak sebagai bagian dari keluarga. Hal

ini mencakup implikasi psikologis HIV terhadap anak, ibu, ayah, dan anggota keluarga

lain. Konseling harus menekankan bahwa walaupun penyembuhan saat ini belum

memungkinkan, banyak hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas dan

lamanya kehidupan anak dan hubungan ibu-anak. Jika tersedia pengobatan

antiretroviral, akan sangat meningkatkan kelangsungan hidup dan kualitas hidup anak

dan orangtuanya. Konseling harus jelas menunjukkan bahwa petugas rumah sakit

bersedia membantu dan bahwa ibu tidak perlu takut untuk datang ke Puskesmas atau

Rumah sakit pada saat penyakitnya masih dini, walau hanya untuk mengajukan

pertanyaan. Konseling membutuhkan waktudan harus dilakukan oleh petugas yang

terlatih. Jika petugas pada tingkat rujukan pertama belum terlatih, bisa meminta bantuan

dari sumber lain, misalnya LSM lokal yang bergerak di bidang AIDS.4

21

2.6.4. Pemberian Obat Anti Retroviral/Anti Retroviral Therapy (ART)

Saat ini tujuan terapi HIV bukanlah untuk membasmi virus dan menyembuhkan

pasien tetapi untuk menekan virus dalam jangka waktu yang lama. Terapi ARV yang

ada saat ini sudah mampu menekan replikasi virus sebanyak log 0,5 hingga log 3 dan

memperbaiki beberapa gejala serta meningkatkan derajat hidup penderita. Keputusan

untuk penggunaan anti retrovirus bergantung pada viral load, jumlah dari sel CD4 dan

kondisi klinis. Obat yang digunakan adalah gabungan dari 2 atau 3 jenis obat, yang

punya efek terhadap virus, sistem imun dan gejala klinisnya. Pemantauan dari

keberhasilan terapi dideteksi dengan menghitung viral load dan jumlah CD4 plasma.

Manajemen dari infeksi HIV pada anak membutuhkan perawatan kesehatan yang lebih

intensif, ARV yang lebih ampuh dan perlindungan dari infeksi opurtunistik.15

Prinsip dari pemberian anti retrovirus5 :

a. Mencegah replikasi dari virus yang menyebabkan kejerusakan sitem imun.

b. Tingkat viral load mengindikasikan progesifitas penyakit, sedangkan jumlah

CD4+ menggambarkan besarnya risiko dan infeksi opurtunistik.

c. Penggunakan terapi kombinasi untuk mencegah resistensi virus.

d. Tujuan untuk menekan replikasi virus dapat dicapai dengan inisiasi penggunaaan

kombinasi anti retrovirus yang belum pernah digunakan pasien sebelumnya dan

tidak ada resistensi silang dengan obat yang dipakai sebelumnya.

e. Pelekatan dengan kompeks regimen obat sangat penting untuk keberhasilan

terapi.

22

Efisiensi dan daya tahan regimen terapi ART tergantung dari ketaatan

(adherence) pada terapi ART. Adheren berarti penggunaan dosis yang tepat, pada saaat

yang tepat dan cara yang tepat (contoh dengan makanan dan minuman yang tepat serta

sebelum atau sesudah makan) menurut rencana terapi.3

Adheren pada balita dan anak-anak merupakan tantangan tersendiri karena faktor

yang berkaitan dengan anak-anak, pengasuh, obat, lingkungan dan hubungan antara

kesemua faktor tersebut. Rasa yang tidak enak, pil yang besar atau cairan yang banyak,

penghitungan dosis berkala, pembatasan diet dan efek samping bisa menghambat intake

harian dari pengobatan yang dibutuhkan. Lebih jauh lagi, keberhasilan penanggulangan

seorang anak membutuhkan komitmen dan keterlibatan dari pengasuh yang konsisten

dan bertanggung jawab. Persiapan penatalaksanaan yang adekuat, penilaian yang sering

dan antisipasi dari ketidaktaatan merupakan kunci keberhasilan terapi ART.3

Persiapan pemberian ART:15

a. Memulai ART bukanlah suatu keadaan gawat darurat. Namun setelah dimulai,

obat ARV harus diberikan tepat waktu setiap hari. Ketidakpatuhan berobat

merupakan alasan utama kegagalan pengobatan.

b. Memulai pemberian ART pada saat anak atau orangtua belum siap dapat

mengakibatkan kepatuhan yang buruk dan resistensi ART.

23

Pemberian ART berdasarkan kriteria klinis:15

a. Risiko kematian tertinggi terjadi pada anak dengan stadium klinis 3 atau 4

sehingga harus segera dimulai ART.

b. Anak usia < 12 bulan dan terutama < 6 bulan memiliki risiko paling tinggi unutk

menjadi progresif atau meninggal pada nilai CD4+ normal.

c. Pada anak > 12 bulan dengan TB, khususnya pulmonal dan kelenjar serta

lymphoid-intertitial pneumonitis (LIP), kadar CD4+ harus diperiksa untuk

menentukan kebutuhan dan waktu pemberian ART. Bila mungkin, lakukan tes

CD4+ saat anak tidak dalam kondisi sakit akut.

d. Nilai CD4+ dapat berfluaktuasi menurut individu dan penyakit yang dideritanya.

Bila mungkin harus ada 2 nilai CD4+ di bawah ambang batas sebelum ART

dimulai.

e. Bila belum ada indikasi untuk ART lakukan evaluasi klinis dan nilai CD4+

setiap 3-6 bulan sekali atau lebih sering pada anak dan bayi yang lebih muda

Penggunaan kriteria klinis dan imunologi15

a. Anak < 18 bulan dengan uji antibodi HIV positif dan berada dan berada dalam

kondisi klinis yang berat dan uji PCR tidak tersedia harus segera mendapat

terapi. ARV setelah kondisi klinisnya stabil. Uji antibodi harus diulang pada usia

18 bulan.

24

b. Anak < 18 bulan dengan uji PCR positif dan kondisi klinis yang berat atau tanpa

gejala terapi dengan presentase CD 4+ < 25% harus mendapat ART secepatnya.

Tes antibodi harus dilakukan pada usia 18 bulan.

c. Anak > 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif dan dalam kondisi klinis yang

berat atau CD4+ < 25% sebaiknya juga mendapat ART.

Antiretro virus (ART) dikelompokan berdasarkan kemampuan mereka dalam

menghambat enzim reverse trankiptase atau enzim protease virus. Penghambat reverse

trankiptase dapat dibagi lagi kedalam nukleotida reverse trankiptase inhibitors (NRTIs)

dan non- nukleotida reverse trankiptase inhibitors. NRTI merupakan obat utama dalam

terapi HIV. Terbagi dalam 2 golongan derifat thyamine dan non-thyamine derifat.

Terapi kombinasi yang sering digunakan adalah gabungan dari tymidine analog NRTIs,

non Tymidine analog NRTTs dan protease inhibitor.16,17

Obat-obat yang digunakan dalam Terapi HIV (ARV)5,13

1. Nucleoside/nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTIs)

a. Abacavir (Ziagen, ABC)

Dosis : 8 mg/kgbb (max 300mg) per oral 2 kali sehari untuk anak usia 3 bulan-18

tahun

Sediaan : tablet 300mg, cair 20mg/ml

Efek samping : Mual, Muntah, tidaknafsu makan, demam, diare. Jarang :

hipersensitifitas, pengkreatitis, peningkatan trigliserida

25

b. Didanosine (Videx, DDI )

Dosis : 2 mg- 8bln : 50-100 mg/m2 Per Oral.2 kali sehari. Anak anak : 120mg/m2 2

kali sehari.

Sediaan : cair 10 mg/ml, Serbuk 100, 167, 250 mg

Interaksi dengan : dapsone, ketoconazole, itraconazole, ethambutol, zalcitabine,

metronidazole, fluoroquinolone.

Efek samping : Sakit kepala, diare, mual muntah. Jarang : pengkreatitis, neuropati

perifer, abnormalitas elkrolit.

c. Emtricitabine (Emtriva, FTC )

Dosis : Anak > 33 kg 200mg kapsul, satu kali sehari

Efek samping : sakit kepala, mual muntah. Jarang : hepatomegali.

d. Lamivudine (Epivir, Epivir HBV, 3TC )

Dosis : Neonatus dan bayi , 30 hari 2 mg/kgbb PO. Bayi, anak dan remaja :

4mg/KgBB (max 150 mg )]

Sediaan : cair 10 mg/ml, tablet 150 mg

Interaksi : Trimethoprim/sulfa

Efek samping : mual muntah , sakit kepala, diare, sakit perut.

e. Stavudine (Zerit, d4T )

Dosis : 1 mg/kgbb PO 2 kali sehari.

Sediaan : Cair 1 mg/ml, capsul 15, 20, 30, 40 mg

ES : mual, sakit kepala

26

f. Zidovudine (Retrovir, AZT, ZDV)

Dosis Profilaksis : Neonatus 2mg/kgbb PO tiap 6 jam atau 2,7 mg/kgbb PO tiap 8

jam atau 1,5 mg/kgbb iv tiap 6 jam.

Bayi Prematur( < 30mg masa gestasi) : 1,5 mg/kgbb IV tiap 12

jam

Dosis Terapi : Umur 6 minggu – 12 tahun 160 mg/m2 PO tiap 8 jam atau 180 – 280

mg/m2 Po tiap 12 jam

Efek samping : Sakit kepala supresi sumsum tulang. Jarang myopati hepatomegali

Sediaan : cairan 10 mg/ml, capsul 100 mg, tablet 30 mg, Injelksi 10 mg/ml

Interaksi : Ganciclovir, fluconazole, rifampin, atovaquone, pentamidine, probenecid,

valproic acid

2. Non Nucleoside/nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTIs)

a. Efavirenz (Sustiva, EFV)

Dosis : 10– <15 kg : 200 mg. 15– <20 kg : 250 mg. 20– <25 kg : 300 mg.

25– <32.5 kg : 350 mg. 32.5– <40 kg. 400 mg.

Per Oral 1 kali sehari sebelum tidur.

Sediaan : capsul 50, 100, 200 mg.

Interaksi : Induces p450 3A4 antihistamines, sedative-hypnotics, calcium

channel blockers, ergots, cisapride, warfarin, amphetamines,

rifampin, anticonvulsants

27

Efek samping : Gejala nerurologi dan psikiatri ( insomnia, mimpi buruk, depresi,

halusinasi )

b. Nevirapine (Viramune, NVP)

Dosis : neonatus 0-2 bulan 5 mg/kg PO 1 kali sehari.

2 bulan – 14 tahun: 4 mg/kgbb selama PO 1 kali sehari.

Sediaan : cair 10 mg/ml, tablet 200 mg

Interaksi : Induces p450 3A ketoconazole, rifampin/rifabutin, methadone,

anticonvulsants, oral contraceptives

ES : Ruam, sakit kepala, demam, mual. Jarang : hepatitis, hipersensitifitas.

3. Protease Inhibitor

a. Amprenavir (Agenerase, APV)

Dosis : 4-16 tahun ,50kg 22,5/kgbb PO 2 kali sehari. >50 kg : 1400 mg PO 2 kali

sehari.

Sediaan : cair : 15 mg/ml, capsul 50, 150, mg

Interaksi : CYP3A4 inhibitor rifampin, sedative-hypnotics, calcium channel

blockers, ergots, cisapride.

ES : Mual mantah, diare, ruam. Jarang : insulin resistance, redistirbusi lemak.

b. Lopinavir/Ritonavir (Kaletra, LPV/RTV)

Dosis : > 6 Bulan 7– <15 kg:12 mg LPV dan 3 mg RTV/kg PO 2 kali sehari. 15–

40 kg:10 mg LPV dan 2.5 mg RTV/kg PO 2 klai sehari.

Sediaan : cair 80 mg/ml , tablet 133,3 mg.

28

Interaksi : Induces p450 3A antihistamines, sedative-hypnotics, calcium channel

blockers, antiarrhythmics, ergots, cisapride, warfarin,

amphetamines, rifampin,

ES : diare, sakit kepala, mual muntah. Jarang : diabetes melitus.

c. Ritonavir (Norvir, RTV)

Dosis : 200 mg/m2 tiap 12 jam.

Sediaan : 20 mg/ml, tablet 33.3 mg

ES : mual muntah, diare, peningkatan lipid serum.

Selain Obat-obatan yang terdiri dari 1 agen, saat ini telah tersedia ARV

kombinasi yang terdiri dari 3 atau lebih agen yang disebu Fixed Dose Combination

( FDC ) yang terderi dari stavudin (d4T), lamivudin (3TC) dan nevirapin (NVP).14

Inisiasi terapi harus dimulai saat anak sudah menunjukan gejala klinis atau

adanya bukti disfunsi dari sistem imun tampa melihat umur atau Viral Loadnya. Anak

yang kecil adari 1 tahun perjalanan penyakitnya sangat cepat sehingga inisiasi terapi

harus dimulai tepat saat anak pertama kali diketahui telah terinfeksi dengan virus HIV.5

Berdasarkan pedoman penatalaksaan infeksi HIV yang dikeluakan DEPKES,

pemberiaan ARV dimulai saat anak sudah positi terinfeksi dengan virus HIV dan berada

pada kriteria WHO 3 atau 4. Namun bila tidak memenuhi kriteria WHO 3 atau 4, maka

dilihat lagi apakah level CD4+ sudah menunjukan imunodefisiensi berat. Bila anak

berusia > dari 12 bulan di lihat lagi apakah dia menderita tuberculosis, lymphoid-

interstitial pneumonitis, atau oral hairy leukoplakia atau Trombositopenia. Bila infeksi

29

tersebut sudah ada maka dilakukan lagi pemeriksaan CD4+, untuk melihat apakah

terjadi imunodefisiensi berat atau tidak. Penundaaan pemberian ART dapat dilakukan

bila hasil pemeriksaan tersebut menunjukan tidak ada imunodefisiensi berat, terapi ARV

dapat ditunda. Tapi pemberian ART harus diberikan segera bila keadaan tersebut tidak

ada.6

Berikut bagan algoritma pemberian ART pada anak6

Bagan 1. Algoritma pemberian ART pada anak.6

30

ART yang diberikan berupa kombinasi dari beberapa ARV. Berdasarkan

pedoman pemberian ARV, obat lini pertama yang diberikan pada anak yang memenuhi

kriteria pemberian ARV adalah 2 NRTIs dan 1 NNRTIs. ARV yang tetap diberikan

pada pengobatan lini pertama adalah 3TC (lamivudin). Sedangkan 3 obat lainnya dipilih

antara zidofudin(AZT) dan Stavudin (d4T) dari golongan NRTIs, nevirapin(NVP) dan

efavirenz(EFV) dari golongan NNRTIs. Obat golongan NRTIs lain yang bias juga

diberikan adalah Abacavir(ABC). 5,6

Lamividin (3TC) selalu digunakan dalam terapi lini pertama dalam pengobatan

HIV karena mamiliki catatan keamanan, efektifitas dan tolerantibilitas yang baik.

Namun mudah mengalami resistensi bila digunakan secara tunggal. FDC juga bias

digunakan dlam terapi lini pertama karena mengandung agen agen yang sama dengan

terapi lini pertama konfensional. Tetepi perlu dipertimbangkan antara kepraktisan

pengobatan dengan ketersediaan obat.6

Pada anak penderita HIV dengan komplikasi TB perlu dipertimbangakan

penggantian terapi untuk mencegah interaksi dengan Rifampisin, karena diantara OAT

hanya Rifampisin yang berinteraksi dengan ARV. Jika regimen yang digunakan adalah

2 NRTIs + ABC atau EFV, regimen tidak usah ditukar, sedangkan bila NNRTIs yang

digunakan adalah NVP maka perlu diganti dengan ABC atau EFV dengan tetap

menggunakan NRTI yang sebelumnya. Pemantauan fungsi hati pada penggunaan

bersama ARV dengan Rifampisin perlu dilakukan, karena efek hepatotoksiknya yang

tumpang tindih.6

31

Penggantian antiretroviral dapat dilakukan dengan pertimbangan Regimen yang

digunakan tidak lagi efektif. Terbukti dengan meningkatnya viral load, menurunnya

jumlah sel CD4 dan progesifitas dari menifestasi klinisnya.5

Secara klinis ada beberapa kriteria untuk dapat menyimpulkan bahwa terapi ARV

gagal:6

a. Penurunan atau tidak adanya laju pertumbuhan pada anak yang awalnya

berespons terhadap pengobatan.

b. Hilangnya neurodevelopmental milestones atau munculnya ensefalopati.

c. Adanya infeksi oportunistik baru atau keganasan atau rekurensi infeksi seperti.

kandidiasis oral yang refrakter terhadap pengobatan atau kandidiasis esofagus.

d. Gejala bukan IRIS atau penyebab lainnya yang tidak relevan.

Sedangkan kriteria imunologis yang harus dipenuhi adalah:6

a. Munculnya imunodefisiensi berat menurut usia setelah pernah pemulihan imun

inisial.

b. Imunodefisiensi berat menurut usia yang progresif, dikonfirmasi dengan minimal

satu pemeriksaan CD4+.

c. Penurunan cepat sampai di bawah ambang batas imunodefisiensi berat menurut

usia.

Sebelum diputuskan menggunakan pengobatan ARV lini II perlu

dipertimbangkan hal-hal lain yang menyebabkan penderita mengalami kegagalan

pengobatan. Kepatuhan biasanya merupakan faktor utama kegagalan pengobatan

sehingga faktor ini harus diselesaikan terlebih dahulu. Faktor lain yang harus

32

diperhatikan adalah pola pengasuhan pengobatan. Bila factor-faktor ini telah

disingkirkan maka penggantian ARV perlu dipertimbangkan.5,6

Bila yang digunakan adalah 2 NRTIs + 1 NNRTIs maka terapi lini ke 2 yang

digunakan adalah 2 NRTIs baru + 1 PI. Bila NRTI yang digunakan lini pertama adalah

AZT/d4T + 3TC maka diganti dengan ddI+ABC, sedangkan bila yang digunakan

ABC+3TC maka lini keduanya adalah ddI+AZT. Sedangkan PI yang digunakan dipilih

antara LPV, SQV dan NFV. Bila terapi lini pertama yang digunakan adalah 3NRTIs

maka ditukar dengan 1 NRTI+ 1NNRTIs + 1 PI. Biasanya diganti dengan ddI +

EFV/NVP + LPV/SQV/NFV.6

2.7 Pengobatan TB Pada Anak Dengan HIV-AIDS6

Pedoman internasional merekomendasikan bahwa TB pada anak yang terinfeksi

HIV harus diobati dengan rejimen selama 6 bulan seperti pada anak yang tidak

terinfeksi HIV. Apabila memungkinkan, anak yang terinfeksi HIV harus diobati

denganrejimen rifampisin selama durasi pengobatan, karena penggunaan etambutol pada

kasus dewasa denan infeksi HIV untuk masa lanjutan pengobatan angka relaps TB-nya

tinggi. Sebagian besar anak dengan TB, termasuk yang terinfeksi HIV, mempunyai

respon yang bagus terhadap rejimen selama 6 bulan. Kemungkinan penyebab kegagalan

pengobatan seperti ketidakpatuhan berobat, absorbsi obat yang buruk, resistens obat dan

diagnosis banding, harus diselidiki lebih lanjut pada anak yang tidak mengalami

perbaikan dengan terapi anti TB.

33

Dosis rekomendasi obat anti TB lini pertama untuk dewasa dan anak

Tabel 2. Dosis rekomendasi obat anti TB lini pertama untuk dewasa dan anak6

Rekomendasi rejimen pengobatan untuk setiap kategori diagnostik TB secara

umum sama antara anak dengan dewasa. Kasus baru masuk kategori I (apusan baru

positif TB pulmonal, apusan baru negatif TB pulmonal dengan keterlibatan parenkim

luas, bentuk TB ekstrapulmonal yang berat, penyakit HIV penyerta yang berat) atau

kategori III (apusan baru negatif TB pulmonal, di luar kategori I, bentuk TB

ekstrapulmonal yang lebih ringan). Sebagian besar kasus TB anak adalah TB pulmonal

dengan apusan negatif atau bentuk TB ekstrapulmonal yang tidak berat, sehingga masuk

dalam kategori III. Kasus TB pulmonal anak dengan apusan positif, kerusakan jaringan

pulmonal yang luas atau bentuk TB ekstrapulmonal yang berat (seperti TB abdominal

atau TB tulang/sendi) masuk dalam kategori I. Kasus meningitis TB dan TB miliar

memerlukan pertimbangan yang khusus. Kelompok yang sebelumnya pernah diobati

masuk dalam diagnosis kategori II (sebelumnya terdapat apusan positif TB pulmonal)

34

atau kategori IV (kronik dan multidrug resistant [MDR-TB]). Terapi TB pada anak yang

terinfeksi HIV memerlukan perhatian khusus.

Rekomendasi rejimen pengobatan untuk anak pada setiap diagnosis kategori TB6

Tabel 3. Rekomendasi rejimen pengobatan untuk anak pada setiap diagnosis kategori

TB6

E = etambutol; H = isoniazid; R = rifampisin; S = streptomisin;Z = pirazinamid, MDR = multidrug-resistant

35

2.8. Pemantauan Setelah Mulai Mendapat ART6

Tabel. 4 Pemantauan setelah mulai mendapat ART6

1. Pasien anak yang diberi ART dengan cepat bertambah berat dan tingginya sesuai

dengan pertumbuhan, karenanya penghitungan dosis harus dilakukan setiap

kontrol. Dosis yang terlalu rendah akan menimbulkan resistensi.

2. Obat yang diminum bersamaan harus ditanyakan setiap kali kunjungan seperti

apakah kotrimoksazol diminum (pada anak yang terindikasi) atau ada obat lain

yang potensial berinteraksi dengan ART.

3. Kepatuhan minum obat ditanyakan dengan cara menanyakan dosis yang terlewat

dan waktu anak minum obat. Yang ideal adalah menghitung sisa tablet atau

puyer, atau sisa sirup bila tersedia sediaan sirup.

36

Tabel 5. Pemantauan setelah mendapat terapi ART6

4. Pemantauan kadar hemoglobin (Hb dan leukosit harus dilakukan bila anak

menerima AZT pada bulan 1,2,dan ke-3.

5. Pemeriksaan kimia darah lengkap meliputi enzim-enzim hati, fungsi ginjal,

glukosa, lemak, amilase, lipase dan elektrolit. Pemantauan bergantung pada

gejala dan obat ART yang dipilih. Pada remaja putri dengan CD4+ > 250

sel/mm3 pemantauan fungsi hati dalam 3 bulan pertama ART dipertimbangkan

bilai memakai NVP. Juga pada kasus anak dengan koinfeksi hepatitis B dan C

atau penyakit hati lainnya.

6. Tes kehamilan harus dilakukan pada remaja putri yang akan mendapat EFV, dan

juga dilakukan konseling keluarga.

7. Apabila terdapat perburukan klinis, maka pemeriksaan CD4+ lebih awal

dilakukan. Hitung limfosit total tidak dapat digunakan untuk pemantauan terapi

ART sehingga tidak dapat menggantikan CD4+. Bila pemeriksaan CD4+ tidak

tersedia, gunakan parameter klinis untuk pemantauan.

37

2.9 Imunisasi3

Semua anak yang teinfeksi HIV harus mendapatkan semua program

prngembangan imunisasi, termasuk vaksin Haemophillus influenza tipe B dan

pneumococcus, sedini mungkin dalam hidupnya, berdasarkan jadwal yang

direkomendasikan secara nasional. Program tersebut perlu memastikan semua anak dan

bayi yang terpapar atau mendapat HIV menerima imunisasi untuk vaksin pencegahan

penyakit. Jadwal imunisasi lanjutan juga perlu ditambahkan.3

1. Vaksin Campak

Meskipun imunokompromise berat, bayi dengan infeksi HIV harus mendapatkan

vaksin campak pada usia 6 bulan, diikuti dengan dosis tambahan pada 9 bulan. Semua

anak dengan HIV juga harus diberikan kesempatan imunisasi campak pada usia

memasuki sekolah. Anak atau bayi dengan imunokompromis berat atau HIV dengan

klinis yang berat harus ditunda pemberian vaksin sampai perbaikan imunologi.3

2. Vaksin konyugat pneumococcus

Tiga dosis vaksin konyugat pneumococcus adalah aman dan imunogenik pada

anak dengan HIV maupun yang tidak terinfeksi HIV berusia kurang dari 2 tahun dan

harus diberikan pada usia 2, 4, 6 dan 12-15 bulan. Vaksin ini, bagaimanapun harus

ditunda pemberiannya pada pasien dengan imunokompromise berat.3

3. Bacille Calmette Guerin (BCG)

38

Penemuan baru mengindikasikan risiko tinggi berkembangnya penyakit

diseminasi BCG pada bayi yang HIV dan vaksin BCG tidak boleh diberikan pada anak

yang diketahui mengidap HIV. Bagaimanapun, anak bayi tidak dapat diketahui

terinfeksi HIV pada saat lahir, sehingga vaksin BCG harus diberikan pada saat lahir

untuk semua bayi tanpa menghiraukan paparan HIV di daerah dengan endemik TB dan

populasi dengan prevalensi HIV tinggi.3

4. Haemophillus influenza tipe B

Haemophillus influenza tipe B telah diketahui sebagai penyebab pada meningitis

anak-anak dan penyebab utama pada pneumonia bakteri pada anak HIV. Adanya HIV

menjadikan risiko tinggi untuk berkembangnya penyakit infasif akibat dari H. Influenza

tipe B, khususnya pneumonia bakteri. Profilaksis kotrimoksazol dapat mengurangi

risiko community acquired pneumonia . Vaksin ini membutuhkan 3 kali pemberian

(biasanya diberikan pada usia 2,4, dan 6 bulan). Dosis booster direkomendasikan pada

banyak negara pada usia 12-18 bulan, tapi dapat tidak diperlukan khususnya pada

negara dengan pendapatan rendah dan menengah, dimana kebanyakan penyakit H

influenza terjadi sebelum usia ini. Imunisasi harus ditunda pada anak dengan

imunokompromise berat. Pada beberapa negara, vaksin lainnya direkomendasikan

sebagai bagian vaksin rutin terutama hepatitis B.3

2.10 Prognosis

39

Pada negara berkembang prognosis dari penyakit ini lebih tergambar dengan

melihat kepada gejala klinisnya. Manifestasi klinis yang lebih berat seperti adanya

infeksi opurtunistic (seperti ensepalopati) mempunyai pronosis yang lebih buruk dari

anak yang hanya menunjukan gejala seperti hepatomegali, splenomegali atau

limfadenopati. Anak dengan gejala infeksi berat, 75% berakir dengan kematian sebelum

usia 3 tahun. Sedangkan anak dengan gejala demam yang menetap, infeksi bakteri yang

serius anemia yang menetap dan trombositopenia, hanya 30% yang berahir dengan

kematian pada usia yang sama.11

40

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. HIV menyebabkan imunosupresi pada manusia dengan cara menurunkan jumlah

dan mengganggu fungsi sel T CD4. efek ini dicapai mlalui dua cara yaitu efek

langsung dan efek tidak langsung.

2. Tujuan umum dari terapi HIV adalah untuk memperpanjang harapan hidup

pnderita bukan untuk menghilangkan penyakit. Obat yang digunakan ada dua

jenis yaitu anti revers transkriptase (NRTIs dan NNRTIs) dan anti proteinase.

Obat ini digunakan secara kombinasi 2 atau 3 obat sekaligus

3.2 Saran

1. HIV ini menular melalui kontak cairan tubuh, tidak melalui aktitas sosial seperti

bersalaman,mengobrol dan sebagainya sehingga penderita HIV tidak perlu

dikucilkan dalam pergaulan sehari-hari

2. Diagnosis yang tepat dan teliti harus dilakukan untuk menghindari

underdiagnosis pada anak yang terinfeksi HIV

3. Setiap pasien yang sudah terdiagnosis HIV harus diawasi dengan ketat baik

secara klinis dan imunologis

41

DAFTAR PUSTAKA

1. Matondang C.S. AIDS pada anak. Dalam: Matondang C.S, Penyunting. Buku

ajar alergi-imunologi anak. Jakarta: BPIDAI; 1996; 274-86.

2. Djoerban Zubairi, Samsuridjal Djauzi. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo,

Aru W, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, et al, Editor. Buku ajar ilmu penyakit

dalam edisi keempat jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

FKUI/RSUPN-CM; 2006; 1803-8.

3. World Health Organization.Scale up of HIV-Related Prevention, Diagnosis, Care

and Treatment for Infants and Children: A Programming Framework. 2008.

Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2008; 15-23. Diunduh dari:

http://www.unicef.org/aids/index_documents.html

4. World Health Organization. Buku saku pelayanan kesehatan anak di Rumah

Sakit. Jakarta: WHO Indonesia: 2009;223-49.

5. Yogev Ram, Ellen Gould Chadwick. Acquired Immunodeficiency Syndrome

(Human Immunodeficiency Virus). Dalam: Kliegman Robert M, Behrman

Richard E. Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition. Philadelphia : Saunders ;

2007; 1109-21.

6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV

dan Terapi Anti retroviral pada Anak di Indonesia. Jakarta : DEPKES RI: 2008.

7. Maceda Lan, Virginia. Virus imunodefisiensi manusia (HIV) dan sindrom

imunodefisiensi didapat (AIDS). Dalam: Price, Sylvia Anderson, Lorraine

McCarty Wilson, Editor. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit.

Editor edisi bahasa Indonesia: Huriawati Hartanto, dkk edisi 6. Jakarta: EGC

2005; 224-46.

8. Garna Baratawidjaja Karnen. Imunologi dasar. Edisi ke-7. Jakarta. Balai Penerbit

FKUI; 2006.

9. HIV life cycle diakses dari http://www.medscape.com

42

10. Suradi Rulina, Boris Januar. Penatalaksanaan bayi dari ibu pengidap HIV/AIDS.

Makalah lengkap kongres nasional VIII perinasia dan simposium internasional.

Medan: 2003.

11. Merati Tuti Parwati, Samsuridjal Djauzi. Respon imun infeksi HIV. Dalam:

Sudoyo, Aru W, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, et al, Editor. Buku ajar ilmu

penyakit dalam edisi keempat jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit

Dalam FKUI/RSUPN-CM; 2006; 272-.6.

12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kurang Perhatian Terhadap

Pencegahan AIDS pada Bayi dan Ibu. Diakses dari http://www.depkes.go.id

tanggal 19 November 2009.

13. Borkowsky William. Acquired Immunodeficiency Syndrome And Human

Immunodeficiency Virus. Dalam: Gershon A, Hotez P, Katz S, Penyunting.

Krugman's Infectious Diseases of Children 11th edition. Philadelphia: Mosby ;

2004; 607-17

14. Gibson L L, Durbin W J. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection .

Dalam: Roberts K B. Manual of Clinical Problems in Pediatrics 5th edition.

Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001

15. Munasir Z, Muktiarti D. Tatalaksana infeksi HIV pada anak. Dalam: Akib A,

Munasir Z, Windiastuti E, Endyani B, Muktiarti D, Penyunting. HIV infection in

infant and children in Indonesia: Current challenges in management. Departemen

Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jakarta: 2009

16. Boggs J M. Human Immunodeficiency Virus Disease And Related Opportunistic

Infections. Dalam: Daniel C, et al, Penyunting. Manual of Allergy and

Immunology: Diagnosis and Therapy 4th edition. Lippincott Williams & Wilkins

Publishers ; 2002.

17. McKinney R.E. Jr. Antiretroviral Therapy In Pediatric Acquired

Immunodeficiency Syndrome. Dalam : McMillan J A, et al, Penyunting. Oski's

43

Pediatrics: Principles and Practice, 3rd Edition. Lippincott Williams & Wilkins

Publishers ; 2000.

44