28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun yang menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh (Schwartzman, 2010). 2.2 Epidemiologi Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan pria 5:1. Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa Negro dan Cina. Pada anak perempuan, awitan SLE banyak ditemukan pada umur 9-15 tahun (Bartels, CM., et al., 2011). 2.3 Etiopatogenesis Etiopatogenesis dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak bukti bahwa 3

Refrat Bab II SLE (systemic lupus eritematosus)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Refrat Bab II SLE

Citation preview

6

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 DefinisiLupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun yang menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh (Schwartzman, 2010).

2.2 EpidemiologiPenyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan pria 5:1. Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa Negro dan Cina. Pada anak perempuan, awitan SLE banyak ditemukan pada umur 9-15 tahun (Bartels, CM., et al., 2011).2.3 EtiopatogenesisEtiopatogenesis dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor (MHC) kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin. Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula, dengan aktivasi poliklonal stimulasi antigenik spesifik pada kedua sel tersebut. Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah produksi autoantibodi dan pembentukan imun kompleks yang merusak berbagai organ bila mengendap. Bagian terpenting dari patogenesis ini adalah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas (Isbagio et al., 2009).

Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultraviolet, tembakau, obat-obatan, dan virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan perburukan manifestasi lupus yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit dan munculnya gejala lupus pada organ lainnnya. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar (mononucleosis). Hal ini dapat dibuktikan bahwa sistem imun mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat berhubungan dengan penyebab lupus. Virus rubella dan sitomegalovirus juga dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal. Penyandang lupus wanita : pria adalah 9 : 1 dan sebagian besar penyandang wanita adalah mereka dalam usia produktif. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun. Estradiol berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, meningkatkan aktivasi dan kelangsungan hidup sel-sel, sehingga mendukung respon imun berkepanjangan (Eisenberg, H., 2010, Fauci et al., 2008, Mok , C., 2003, Silva C., 2001).

2.4 Manifestasi klinisManifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit SLE ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria SLE (Espinoza G et.al., 2010).

2.4.1 Manifestasi MuskuloskeletalPada penderita LES, manifestasi muskuloskeletal ditemukan poliartritis, biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan dengan terapi steroid. Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis timbul pada penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid (Espinoza G et.al., 2010).

2.4.2 Manifestasi KulitKelainan kulit yang sering didapatkan pada SLE adalah fotosensitivitas, butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid, alopesia, lesi psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari dan gangren. Gejala di kulit termasuk ruam malar (butterfly rash), ulkus di kulit dan mukosa, purpura, alopesia (kebotakan), fenomena Raynaud, dan fotosensitifitas (Espinoza G et.al., 2010).

2.4.3 Manifestasi KardiovaskularKelainan kardiovaskular pada SLE antara lain penyakit perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung (Espinoza G et.al., 2010).

2.4.4 Manifestasi Paru-paruKelainan paru-paru pada SLE seringkali bersifat subklinik sehingga foto toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien SLE dengan batuk, sesak nafas atau kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada 60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan dan secara klinik tidak bermakna. Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara klinis seringkali sulit dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung kongestif (Espinoza G et.al., 2010).

2.4.5 Manifestasi Ginjal Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien SLE harus dilakukan dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.Nefritis lupus umumnya belum bergejala pada masa awitan, tetapi sering berkembang menjadi progresif dan menyebabkan kematian. Gejalanya berupa edema, hipertensi, gangguan elektrolit, dan gagal ginjal akut. Biopsi ginjal diindikasikan pada pasien yang tidak responsif pada terapi kortikosteroid. Pengendalian hipertensi sangat penting untuk mempertahankan fungsi ginjal (Espinoza G et.al., 2010).

2.4.6 Manifestasi HemopoetikPada SLE, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun. Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada SLE ditemukan pada 20% kasus (Espinoza G et.al., 2010).

2.4.7 Manifestasi Susunan SarafKeterlibatan Neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada SLE. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan (Espinoza G et.al., 2010).

2.4.8 Manifestasi GastrointestinalDapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT yang harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun (Espinoza G et.al., 2010).2.5 Diagnostik LESDiagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1997, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah (Hochberg et al., 1997) :

Ruam malarEritema yang menetap, rata atau menonjol pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.

Ruam diskoidPlak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikuler. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.

FotosensitifitasRuam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari.

Ulkus mulutUlkus mulut atau orofaring

Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer

Serositisa. Pleuritis

b. Perikarditis

a. Riwayat nyeri pleuritis atau pleuritic rub yang didengar oleh dokter atau terdapat bukti efusi pleura.b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.

Gangguan renala. Proteinuria menetap > 0,5 gram per hari atau > +3 bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif.b. Terdapat silinder seluler berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

Gangguan neurologia. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik ( uremia, ketoasidosis, ketidak seimbangan elektrolit)b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan

Gangguan hematologia. Anemia hemolitik dengan retikulosisb. Lekopenia < 4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih.c. Limfopenia < 1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih.d. Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan.

Gangguan imunologika. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal.b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm.c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang didasarkan atas:1.) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM2.) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar3.) Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan konfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.

Antibodi antinuklear positif (ANA)Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindrom lupus yang diinduksi obat.

2.7 Diagnosis BandingDiagnosis banding untuk SLE menurut Fauci et al. (2008) adalah: Acute Pericarditis Antiphospholipid Syndrome Autoimmune Hepatobilliary Disease Fibromyalgia Hepatitis C Infectious Mononucleosis Infective Endocarditis Lyme Disease Lymphoma, B-Cell Mixed Connective-Tissue Disease Polymyositis Rheumatoid Arthritis Scleroderma Sjogren Syndrome Undifferentiated Connective-Tissue Disease2.8 Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang untuk LES adalah darah tepi lengkap, LED, urinalisis, sel LE, ANA*, antibodi anti doublestranded-DNA*, antibodi antifosfolipid, faktor rheumatoid, titer komplemen C3, C4,dan CH50*, titer IgM, IgG, dan IgA, uji Coombs, kreatinin, ureum darah*, protein urin >0.5 gram/24 jam (Nefritis)*, dan pencitraan (foto Rontgen toraks*, USG ginjal, MRI kepala) . Dalam menegakkan diagnosis tidak semua pemeriksaan laboratorium ini harus ada, tetapi pemeriksaan awal (diberi tanda*) sebaiknya dilakukan.2.9 Penatalaksanaan1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)NSAIDs merupakan pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke (Isbagio et al., 2009).2. KortikosteroidPenggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemeriksaan serial kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi digunakan untuk pencegahan atau pengobatan osteoporosis karena meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit jantung. Bifosfonat tidak baik digunakan selama kehamilan. Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi obat imunosupresan. Steroid juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik (Isbagio et al., 2009).

Tabel 1. Terminologi Pembagian Kortikosteroid

a. Indikasi Pemberian KortikosteroidDosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampaitinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral (Jacobs and Bijlsma, 2009).

Tabel 2. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid Pada Reumatologi

b. Efek Samping KortikosteroidEfek samping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu penggunaan.Efek samping yang sering ditemui pada pemakaian kortikosteroid dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Efek Samping yang Sering Ditemui Pada Pemakaian Kortikosteroid

Cara Pemberian KortikosteroidPulse Terapi KortikosteroidPulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon diberikan selama 3 hari berturut-turut (Hoes et al., 2007).

c. Cara pengurangan dosis kortikosteroidKarena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis kortikosteroid mulai dikurangisegera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan de isiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis. Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/ hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit (Hoes et al., 2007).

d. Sparing agen kortikosteroidIstilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakansebagai sparing agent ini adalah azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan metotrexate. Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek samping kortikosteroid (Hoes et al., 2007).

3. Immunosupresan AzathioprineAzathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan tubuh (Ntali et al., 2009).

Mycophenolate mofetilMycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada azathioprine namun kontra indikasi dalam kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur bila disertai penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan (Ntali et al., 2009).

MethotrexateMethotrexate merupakan asam folat antagonis yang diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin. Digunakan seminggu sekali dan jika diperlukan diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada hari yang sama dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi, leukopenia, trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal kadang-kadang dapat terjadi (Ntali et al., 2009). CyclosporinCyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatinin serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi sehingga pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting (Ntali et al., 2009). CyclophosphamideObat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Telah terbukti meningkatkan efek pengobatan terhadap pasien lupus ginjal dibandingkan hanya diberikan steroid saja. Obat ini juga banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian atau sebagai infus intravena sesuai dengan keparahan penyakit. Efek samping utama yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko infeksi, kegagalan fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan peningkatan risiko keganasan (Ntali et al., 2009).

RituximabRituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi dengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan penurunan tingkat autoantibodi. Rituximab telah menyebabkan kemajuan dramatis pada beberapa odapus. Saat ini Rituximab termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus (Ntali et al., 2009).

Pengobatan SLE RinganPilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:Obat-obatan- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.- Obat anti in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi.- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan)- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.-Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang-kurangnya 15 (SPF 15) (Kirwan et al., 2004).

Pengobatan SLE SedangPilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara (Kirwan et al., 2004).

Pengobatan SLE Berat atau Mengancam NyawaPilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan seperti (Kirwan et al., 2004) : Glukokortikoid Dosis TinggiLupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 60 mg / hari (1 mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1 g / hari selama 3 hari bertutut-turut. Obat Imunosupresan atau SitotoksikTerdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.

Algoritma penatalaksanaan SLE (Ntali et al., 2009)

2.9 Komplikasi Komplikasi penyakit SLE menurut Mayo Clinic Staff (2012) dapat mempengaruhi banyak bagian tubuh, seperti:

a.GinjalLupus dapat menyebabkan kerusakan ginjal serius, dan gagal ginjal merupakan salah satu penyebab utama kematian pada penderita lupus. Tanda dan gejala dari masalah ginjal mungkin termasuk gatal seluruh tubuh, nyeri dada, mual, muntah dan kaki bengkak (edema).

b.OtakPada otak akan mengalami sakit kepala, pusing, perubahan perilaku, halusinasi, dan bahkan stroke atau kejang. Banyak orang dengan lupus masalah memori pengalaman dan mungkin mengalami kesulitan mengekspresikan pikiran.

c. Darah dan pembuluh darahLupus dapat menyebabkan masalah pada darah, termasuk anemia dan peningkatan risiko perdarahan atau pembekuan darah. Hal ini juga dapat menyebabkan peradangan pada pembuluh darah (vaskulitis).

d. Paru-paru dan JantungPada paru-paru akan terkena pleuritis. Pleuritis akan membuat dada terasa nyeri. Lupus dapat menyebabkan radang otot jantung, arteri atau membran jantung (pericarditis). Risiko penyakit jantung dan serangan jantung sangat meningkat juga.

e. Jenis lain dari komplikasiLupus juga meningkatkan risiko:-Infeksi dan KankerOrang dengan lupus lebih rentan terhadap infeksi karena kedua penyakit dan perawatan yang melemahkan sistem kekebalan tubuh. Infeksi yang paling sering mempengaruhi orang-orang dengan lupus termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pernapasan, infeksi jamur, salmonella, herpes dan herpes zoster. Lupus juga akan meningkatkan resiko kanker -Kematian jaringan tulang (nekrosis avascular)Hal ini terjadi ketika pasokan darah ke tulang berkurang dan sendi panggul yang paling sering terkena.-Komplikasi kehamilanWanita dengan lupus memiliki peningkatan risiko keguguran. Lupus meningkatkan risiko tekanan darah tinggi selama kehamilan (preeklampsia) dan kelahiran prematur. Untuk mengurangi risiko komplikasi ini, dokter menyarankan menunda kehamilan sampai penyakit di bawah kendali selama minimal 6 bulan.2.10 PrognosisPrognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada SLE kurang dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan medis umum (Bartel CM, et.al., 2001).

3