9
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk dapat menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya. Hal ini dikarenakan pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara dan urusan pelayanan publik yang demikian kompleks mustahil dapat diurus secara menyeluruh oleh institusi negara (sentralisasi). Oleh karena itulah kemudian dicetuskan ide desentralisasi, yang mencoba menggugat kelemahan yang ada pada diskursus sentralisasi tersebut. Kerangka desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah untuk melaksanakan pemerintahan sendiri selain dipandang positif dari sisi efektifitas manajemen pemerintahan, pelaksanaan desentralisasi juga dipandang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan setiap warga negara untuk menentukan sendiri nasib dan mengapresiasikan keinginannya secara bebas (Setiyono, 2004: 205). Mengingat tujuan kebijakan desentralisasi sendiri 1

Reformasi Administrasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk dapat menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya. Hal ini dikarenakan pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara dan urusan pelayanan publik yang demikian kompleks mustahil dapat diurus secara menyeluruh oleh institusi negara (sentralisasi). Oleh karena itulah kemudian dicetuskan ide desentralisasi, yang mencoba menggugat kelemahan yang ada pada diskursus sentralisasi tersebut.

Citation preview

Page 1: Reformasi Administrasi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat

sangat tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk

dapat menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut

biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya. Hal ini

dikarenakan pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara dan urusan pelayanan

publik yang demikian kompleks mustahil dapat diurus secara menyeluruh oleh institusi

negara (sentralisasi). Oleh karena itulah kemudian dicetuskan ide desentralisasi, yang

mencoba menggugat kelemahan yang ada pada diskursus sentralisasi tersebut.

Kerangka desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah untuk

melaksanakan pemerintahan sendiri selain dipandang positif dari sisi efektifitas

manajemen pemerintahan, pelaksanaan desentralisasi juga dipandang sesuai dengan

prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan setiap warga negara untuk menentukan

sendiri nasib dan mengapresiasikan keinginannya secara bebas (Setiyono, 2004: 205).

Mengingat tujuan kebijakan desentralisasi sendiri yaitu untuk menciptakan suatu sistem

pembagian kekuasaan antar daerah yang mapan dimana pemerintah pusat dapat

meningkatkan kapasitas, memperoleh dukungan masyarakat, dan mengawasi pembagian

sumber daya dengan adil. Desentralisasi yang juga merupakan bentuk pelaksanaan dari

demokrasi lokal dengan memanfaatkan keefektifitasan pemerintah daerah pada akhirnya

juga diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah agar lebih bertanggung jawab

dalam mengelola dan memberikan pelayanan kepada masyarakat yang ada di daerah.

Namun konsep desentralisasi yang sampai saat ini masih berjalan justru

membuka kesempatan untuk melahirkan “raja-raja kecil” daerah. Sebagai akibatnya, ide

desentralisasi itu tidak lantas memperbaiki kinerja daerah dalam mengelola urusan

publiknya, justru malah cenderung mengabaikannya. Penyelenggaraan urusan publik

1

Page 2: Reformasi Administrasi

2

yang berpindah dari pusat ke daerah juga memberikan kesempatan terjadinya praktek

korupsi di daerah. Ini terlihat dari banyaknya pejabat daerah baik di birokrasi maupun di

non birokrasi (lembaga legislatif) yang terlibat kasus hukum, politisasi birokrasi

merajalela, serta pelayanan di daerah menjadi lahan rebutan antar daerah sehingga

pungutan menjadi berlapis-lapis untuk satu produk barang. Kinerja birokrasi yang masih

kurang baik inilah yang kemudian dinilai sebagai kegagalan dalam semangat

desentralisasi.

Melalui desentralisasi, telah terjadi transfer kewenangan dan pembiayaan yang

sangat besar dari pemerintah pusat kepada daerah otonom. Sebagian tanggung jawab

memajukan bangsa negara sekarang berada di tangan pemerintah daerah. Padahal masih

banyak pemerintah daerah yang masih menjalankan birokrasinya secara tradisional,

yang pada gilirannya menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia dibanding negara-

negara lainnya.

Data yang disampaikan oleh Ease Of Doing Business (2011) sebagaimana yang

dikutip dari Bappenas (2011) menyatakan bahwa posisi Indonesia dalam Kemudahan

Melakukan Bisnis pada tahun 2011 menurun dibandingkan tahun 2010. Selama setahun

terakhir, Indonesia telah melakukan tiga reformasi positif di tiga kriteria, yaitu pendirian

usaha (pengurangan biaya dan waktu pembuatan akte pendirian usaha), pengurangan

tarif pajak penghasilan serta pengurangan waktu ekspor dengan NSW. Tetapi indonesia

masih buruk dalam pelaksanaan kontrak (dari segi jumlah prosedur, waktu serta biaya).

Secara umum kemudahan usaha di Indonesia masih jauh di bawah rata-rata (masih di

bawah Vietnam).

Lain halnya dengan data yang disampaikan oleh Global Competitiveness Index

(2011) sebagaimana yang telah dikutip Bappenas (2011), menyatakan bahwa pada

publikasi terbaru tahun 2011-2012, peringkat Indonesia untuk indeks daya saing global

adalah peringkat 44 (score 4,38) dari 142 negara yang disurvei. Posisi Indonesia tersebut

turun 2 peringkat dibanding periode sebelumnya yaitu peringkat 46 (score 4,43) dari 139

negara. Berdasarkan GCI 2011-2012, Indonesia masih kurang kompetitif dibanding

Page 3: Reformasi Administrasi

3

negara-negara Asia Tenggara yang lain, seperti: Singapura, Malaysia, Brunei

Darussalam dan Thailand walaupun berada diatas Vietnam dan Filipina. Daya saing

Indonesia yang rendah disebabkan oleh banyak faktor antara lain infrastruktur yang

rusak, inefisiensi birokrasi, korupsi, ketidakpastian hukum. Inefisiensi birokrasi antara

lain ditandai oleh pelayanan publik yang berbelit-belit, memerlukan prosedur yang

panjang, waktu yang lama serta biaya yang tidak jelas.

Dari gambaran di atas dapat kita ketahui bahwa kinerja birokrasi Indonesia

memang masih mengecewakan. Dalam survey yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk

bahkan dijelaskan nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal produktifitas kualitas

layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas birokrasi kita juga masih sangat

rendah. Bahkan sebagaimana dikutip oleh Dwiyanto dkk, menurut The World

Competitiveness Yearbook tahun 1999, tingkat indeks competitiveness birokrasi kita

berada pada urutan terendah dari segi kualitas pelayanan publik dibandingkan dengan

100 negara lain di dunia. Hal ini terbukti dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa

dari segi orientasi pelayanan birokrasi, kita masih cenderung tidak sepenuhnya

mencurahkan waktu dan tenaga untuk menjalankan tugas melayani rakyat. Hampir 40%

birokrat yang menjadi responden dalam penelitian itu menyatakan bahwa mereka

memiliki pekerjaan lain di luar pekerjaaannya sebagai aparatur negara. Kondisi ini

otomatis mengurangi konsentrasi mereka dalam bekerja sehingga tidak fokus

mengerjakan tugas-tugasnya (Setiyono, 2004: 131). Hal ini tentu saja menambah daftar

panjang buruknya birokrasi (selain prosedur birokrasi yang berbelit-belit, lama, kurang

peka terhadap tuntutan masyarakat, dll.) di negeri ini yang membuat masyarakat juga

semakin tidak percaya kepada kinerja aparat untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan

publik tersebut.

Sebenarnya dengan adanya desentralisasi, birokrasi daerah dapat secara leluasa

penuh dan secara mandiri dapat mengelola dan mengorganisir daerahnya masing-

masing. Aparatur pemerintah daerah juga dapat menjalankan fungsi-fungsi manajemen

pemerintahan seperti perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),

Page 4: Reformasi Administrasi

4

pengarahan (actuating), dan pengawasan (controlling) secara mandiri dan bebas dari

campur tangan pemerintah pusat. Dengan desentralisasi juga daerah dapat menentukan

bentuk organisasi, mengembangkan budaya birokrasi, dan menentukan standar kriteria

pencapaian tujuan yang dipandang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi lokal.

Terjadinya kesan negatif dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah (birokrasi)

diakibatkan karena birokrasi selama ini tidak bisa merespon keinginan warga

masyarakat. Konsep lama birokrasi kemudian dinilai tidak lagi mampu menyesuaikan

diri dengan perkembangan masyarakat yang sangat pesat sehingga birokrasi tidak lagi

mampu memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Birokrasi lama yang didesain untuk

bekerja lambat, berhati-hati, dan metodologis sudah tidak dapat diterima oleh konsumen

yang memerlukan pelayanan cepat, efisien, tepat waktu, dan simpel (sederhana).

Apalagi sekarang telah memasuki era globalisasi yang menuntut segala sesuatunya

berjalan serba cepat dan tepat. Oleh karena itulah usaha untuk mereformasi birokrasi

Indonesia harus dilakukan. Gerakan reformasi ini menghendaki birokrasi memiliki

netralitas politik, transparan, responsibel, akuntabel, bersih dan berwibawa. Untuk

mencapai tujuan mencapai atau menciptakan birokrasi yang lebih baik, kinerja birokrasi

dan penyelenggaraan pemerintahan (daerah) yang lama harus segera dapat ditinggalkan

dan diganti dengan paradigma birokrasi yang baru. Hal tersebut perlu agar pelaksanaan

desentralisasi (otonomi daerah) tidak menjadi sia-sia akibat terjadinya inefisiensi di

dalam tubuh birokrasi pemerintah kita.

1.2. Perumusan Masalah

Kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah dimaksudkan untuk menciptakan

pelayanan serta penyaluran jasa-jasa dan barang-barang publik (public service delivery)

secara efisien dan efektif serta sesuai dengan tuntutan masyarakat. Masalahnya,

sejumlah studi di negara-negara yang melaksanakan kebijakan desentralisasi

menemukan fakta bahwa desentralisasi tidak serta merta memperbaiki pelayanan publik

dan menggerakkan demokrasi di daerah. Tidak sedikit, efek samping dari desentralisasi

justru bertolak belakang dengan tujuannya, seperti berkurangnya kualitas pelayanan

Page 5: Reformasi Administrasi

5

publik dan merebaknya korupsi di daerah. Untuk memperbaiki pelayanan publik di

daerah, kemudian perlu dilakukan reformasi birokrasi. Seiring dengan kebijakan

desentralisasi, poin penting reformasi birokrasi adalah memangkas birokrasi yang

sentralistik ke yang terdesentralisasi. Hal ini dimaksudkan agar potensi yang dimiliki

oleh daerah dapat digunakan secara maksimal dalam rangka untuk mengelola

manajemen pemerintahannya (birokrasi daerah).

Dari uraian dan kenyataan di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam

penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah di Indonesia?

2. Bagaimanakah upaya Pemerintah Daerah dalam meningkatkan Pelayanan

Publik di daerahnya melalui Reformasi Birokrasi?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana proses reformasi birokrasi yang

berjalan di Pemerintah Daerah di Indonesia pada umumnya.

2. Untuk memahami proses reformasi birokrasi dalam upaya meningkatkan

pelayanan publik di Pemerintah Daerah di Indonesia.

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Berdasarkan kegunaan akademik. Diharapkan memberi kontribusi positif

terhadap pengembangan studi politik lokal khususnya mengenai reformasi

birokrasi Pemerintah Daerah di Indonesia pada umumnya.

2. Berdasarkan kegunaan praktis. Diharapkan hasil penelitian dapat menjadi

bahan pertimbangan dan perbandingan dalam memahami reformasi birokrasi

Pemerintah Daerah di Indonesia.

Page 6: Reformasi Administrasi

6