Upload
ayuherwan
View
234
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
INTERNATIONAL STANDARS FOR TUBERCULOSIS CARE (ISTC)
Disusun oleh:
Ayu Herwan Mardatillah
NIM: 1310029039
Pembimbing:
dr. Mauritz Silalahi, Sp.P
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2014
Referat Pendek
LEMBAR PENGESAHAN
INTERNATIONAL STANDARS FOR TUBERCULOSIS CARE (ISTC)
Referat Pendek
Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinikpada Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Disusun oleh:
Ayu Herwan Mardatillah
NIM: 1310029039
Dipresentasikan pada Agustus 2014
Pembimbing
dr. Mauritz Silalahi, Sp.P
19700513 200003 1 002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Kasus dengan judul “International Standars for Tuberculosis Care”. Referat ini disusun
berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan penulis yang bersumber dari textbook, jurnal,
guidelines terbaru dan referensi ilmiah lainnya.
Dalam pelaksanaan hingga terselesaikannya Laporan Kasus ini, penulis banyak
memperoleh bantuan yang tak ternilai harganya dari berbagai pihak, untuk itu dalam
kesempatan ini, dengan segala hormat dan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Zamruddin Hasid, SE.,SU selaku Rektor Universitas Mulawarman.
2. Bapak dr. H. Emil Bachtiar Moerad, Sp.P, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman.
3. dr. Sukartini, Sp. A selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Kuntjoro, Sp.PD, selaku Ketua Lab/SMF IPD Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman.
5. dr. Mauritz Silalahi, Sp.P, selaku Pembimbing Referat yang dengan sabar
memberikan arahan, motivasi, saran dan solusi yang sangat berharga dalam
penyusunan Referat ini.
6. dr. Nirapambudi, Sp.PD, selaku dosen Pembimbing Klinik yang dengan sabar
memberikan bimbingan, saran, dan solusi selama penulis menjalani
co.assisten di lab/SMF IPD.
7. Dosen-dosen klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman khususnya
staf pengajar IPD, terimakasih atas ilmu yang telah diajarkan kepada kami.
8. Kedua orang tua tercinta dan yang telah begitu banyak mencurahkan kasih
sayang dan tak pernah bosan mendoakan, mengingatkan, dan memberikan
dukungan moril maupun materiil kepada penulis.
3
9. Rekan-rekan dokter muda IPD Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
yang selalu memberikan dukungan dan semangat kebersamaan dalam
menghadapi segala permasalahan demi mencapai cita-cita kita yang mulia.
10. Dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk semua saran dan kritik
yang membangun. Harapan penulis, semoga laporan kasus yang sederhana ini
benar-benar dapat membawa manfaat bagi seluruh pihak serta turut berperan demi
kemajuan ilmu pengetahuan.
Samarinda, Agustus 2014
Penulis
4
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDULiLEMBAR PENGESAHANKATA PENGANTARDAFTAR ISIBAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang1.2 Tujuan……………………………………………………………………6
BAB 2 ISI…………………………………………………………………………7BAB 3 PENUTUP………………………………………………………………..DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….
5
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sangat kompleks, karena
sangat efektifnya penularan, sangat istimewanya pathogenesis dan perjalanan
penyakitnya yang kronik. Penyakit TB dapat mengenai semua sistem organ dan
tidak jarang terjadinya kekeliruan terkait hal diagnosis TB, terutama di negara
dengan prevalensi rendah. Sebaliknya di negara dengan prevalensi tinggi seperti
Indonesia seringkali terjadi overdiagnosis. Menyadari akan hal tersebut, para ahli
dari berbagai organisasi kesehatan dan medis yang bergerak di bidang TB merasa
perlu mengembangkan suatu panduan baku guna menghilangkan atau
meminimalisasi terjadinya kesalahan.
Pada tahun 2006 berbagai organisasi dunia yang terlibat dalam upaya
penanggulangan TB seperti World Health Organization (WHO), Dytch
Tuberculosis Foundation, American Thoracic Society (ATS), International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease, US Centers for disease control and
prevention, Stop TB Partnership, dan Indian Medical Association menyusun suatu
standar untuk penatalaksaan TB, yakni International Standards for Tuberculosis
Care (ISTC). Di Indonesia, ISTC suda diterima dan didukung oleh Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) dan telah disosialisasikan.
1.2 Tujuan
Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit TB dalam hal
penemuan kasusnya.
Mendiagnosa dengan cepat dan menyusun rencana tatalaksana yang tepat
kepada pasien.
6
BAB II
ISI
INTERNATIONAL STANDARS FOR TUBERCULOSIS CARE (ISTC)
International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) adalah kumpulan
standar penanganan tuberkulosis yang bersifat internasional dengan tujuan untuk
menggambarkan suatu tingkat penanganan yang dapat diterima secara luas yang
harus dilakukan oleh seluruh praktisi baik pemerintah maupun swasta dalam
penanganan pasien TB atau diduga menderita TB. ISTC juga bertujuan untuk
mengefektifkan semua provider baik yang berasal dari sektor pemerintah maupun
swasta dalam menangani penderita TB. Suatu standar mutu pelayanan yang sangat
tinggi penting untuk menyembuhkan penderita TB, mencegah penularan penyakit
kepada anggota keluarga dan kontak serta menjaga kesehatan masyarakat pada
umumnya. Penanganan yang di bawah standar akan berakibat kegagalan
pengobatan, transmisi kuman TB yang berkelanjutan kepada anggota keluarga dan
anggota masyarakat lain serta menimbulkan resistensi ganda obat (MDR).
STANDAR UNTUK DIAGNOSIS
Standard 1
Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih, yang tidak
jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.
Addendum
Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk evaluasi adalah berat badan
yang sulit naik dlam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir dan gizi buruk.
Standard 2
Semua pasien (dewasa, remaja dan anak yang dapat mengeluarkan dahak) yang
diduga menderita tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak
7
mikroskopik minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak 1
spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.
Addendum
Bila hasil pemeriksaan BTA1 negatif, maka dilakukan pemeriksaan sputum kedua
pagi hari. Satu spesimen harus berasal dari pagi.
Standard 3
Pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis
ekstraparu, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk
pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasiliti dan sumber daya, dilakukan
pemeriksaan biakan dan histopatologi.
Addendum
Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto thoraks untuk mengetahui ada
tidaknya TB paru dan TB milier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila
mungkin, pada anak.
Standard 4
Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberculosis seharusnya
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.
Standard 5
Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan kriteria
berikut : minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negative (termasuk
minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai tuberculosis dan tidak
ada respons terhadap antibiotika spektrum luas (Catatan : fluorokuinolon harus
dihindari karena aktif terhadap M.tuberculosis complex sehingga dapat
menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita tuberkulosis). Untuk pasien ini, jika
tersedia fasiliti, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang diduga
terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan.
8
Standard 6
Diagnosis tuberkulosis intratoraks (yakni, paru, pleura dan kelenjar getah bening
hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus dahak
negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis
dan pajanan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti infeksi
tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferron gamma release assay).
Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasiliti, bahan dahak seharusnya diambil
untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung atau induksi dahak).
Addendum
Untuk penatalaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan dan kasus
tuberculosis yang menular. Bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberculin postif
atau interferon gamma release essay) dan kelainan radiografi thoraks sesuai TB.
STANDARD UNTUK PENGOBATAN
Standard 7
Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab
kesehatan masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi
tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tapi juga harus mampu
menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan serta dapat menangani
ketidakpatuhan bila terjadi. Dengan melakukan hal itu penyelenggara kesehatan
akan mampu meyakinkan kepatuhan kepada paduan sampai pengobatan selesai.
Standard 8
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati
harus diberi paduan obat lini pertama yang disepakati secara
internasionalmenggunakan obat yang biovalibilitinya telah diketahui. Fase awal
seharusnya terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol.
Etambutol boleh dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang dewasa
dan anak dengan sediaan hapus dahak negatif, tidak menderita tuberkulosis paru
yang luas atau penyakit ekstraparu yang berat, serta telah diketahui HIV negatif.
Fase lanjutan yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan
9
selama 4 bulan. Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan
alternatif pada fase lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat
dinilai, akan tetapi hal ini berisiko tinggi untuk gagal dan kambuh , terutama
untuk pasien yang terinfeksi HIV.
Dosis obat antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi
internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri kombinasi 2 obat (isoniazid dan
rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin dan pirazinamid), dan 4 obat (isoniazid,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol) sangat direkomendasikan terutama jika
menelan obat tidak diawasi.
Addendum
Secara umum, terapi TB diberikan selama 6 bulan, namun pada TB ekstraparu
yakni meningitis TB, TB tulang, TB milier, Tb kulit, dan lain-lain, terapi TB
dapat diberikan lebih lama sesuai evaluasi medis.
Khusus untuk anak rejimen yang diberikan terdiri atas RHZ, E ditambahkan bila
penyakitnya berat.
Standar 9
Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) kepada pengobatan, suatu
pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan
pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan,
seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan
seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai usia dan
harus memanfaatkan bermacam-macam
intervensi yang direkomendasikan serta layanan pendukung yang
tersedia,termasuk konseling dan penyuluhan pasien. Elemen utama dalam strategi
yang berpihak kepada pasien adalah penggunaan cara-cara menilai dan
mengutamakan kepatuhan terhadap paduan obat dan menangani ketidakpatuhan,
bila terjadi.
Cara-cara ini seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh
kedua belah pihak, yaitu pasien dan penyelenggara pelayanan . Cara-cara ini dapat
mencakup pengawasan langsung menelan obat (directly observed therapy - DOT)
10
oleh pengawas menelan obat yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien dan
sistem kesehatan.
Standard 10
Semua pasien harus dimonitor responsnya terhadap terapi; penilaian terbaik pada
pasien tuberkulosis ialah pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen)
paling tidak pada waktu fase awal pengobatan selesai (dua bulan) pada lima bulan,
dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan sediaan apus dahak positif pada
pengobatan bulan kelima harus dianggap gagal pengobatan dan pengobatan harus
dimodifikasi secara tepat (lihat standard 14 dan 15). Pada pasien tuberkulosis
ekstraparu dan pada anak, respons pengobatan terbaik dinilai secara klinis.
Pemeriksaan foto toraks umumnya tidak diperlukan dan dapat menyesatkan.
Addendum
Respons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru. BTA
negative dapat dinilai dengan foto thoraks.
Standard 11
Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu,
pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan prevalensi resistensi obat
dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Uji sensitivitas obat
seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang
sebelumnya pernah diobati. Pasien yang apus dahak tetap positif setelah
pengobatan tiga bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat, atau kasus
kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat. Untuk
pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitivitas/resistensi
obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksanakan segera
untuk meminimalkan kemungkinan penularan. Cara-cara pengontrolan infeksi
yang memadai seharusnya dilakukan.
11
Standard 12
Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR)
seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat
antituberkulosis lini kedua. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih
efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan. Cara-cara yang
berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman
dalam pengobatan pasien dengan MDR- TB harus dilakukan.
Standar 13
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis dan
efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.
12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Prinsip dasar ISTC tidak berubah. Penemuan kasus dan pengobatan tetap
menjadi hal yang utama, tentunya ISTC dibuat untuk melengkapi guidline
program penanggulangan TB nasional yang tetap konsisten dengan rekomendasi
WHO, bukan untuk menggantikan rekomendasi lokal dan nasikonal. Selain itu
juga yang tak kalah penting adalah tanggung jawab penyedia pelayanan kesehatan
untuk menjamin pengobatan sampai selesai dan sembuh
13
DAFTAR PUSTAKA
Sub Direktorat Tuberkulosis. Buku Modul Pelatihan Penanggulangan TB MDR. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI ; 2009
Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). The Hague : Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2006
14