Upload
hesti-putri-anggraeni
View
72
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Osteoartritis (OA) umumnya menyerang penderita berusia lanjut pada
sendi-sendi penopang berat badan, terutama articulation genu, coxae, lumbal dan
servikal. Pada OA primer/generalisata yang pada umumnya bersifat familial,
dapat pula menyerang sendi-sendi tangan, terutama sendi interfalang distal (DIP)
dan interfalang proksimal (PIP). Articulatio genu merupakan sendi yang paling
sering dijumpai dan merupakan penyebab utama rasa sakit dan
ketidakmampuandibandingkan OA pada bagian sendi lainnya (Maharani,2007).
OA merupakan penyakit sendi pada orang dewasa yang paling umum di
dunia. Satu dari tiga orang dewasa memiliki tanda-tanda radiologis terhadap OA.
OA pada lutut merupakan tipe OA yang paling umum dijumpai pada orang
dewasa. Penelitian epidemiologi dari Joern et al (2010) menemukan bahwa orang
dewasa dengan kelompok umur 60-64 tahun sebanyak 22% . Pada pria dengan
kelompok umur yang sama, dijumpai 23% menderita OA. pada lutut kanan,
sementara 16,3% sisanya didapati menderita OA pada lutut kiri. Berbeda halnya
pada wanita yang terdistribusi merata, dengan insiden OA pada lutut kanan
sebanyak 24,2% dan pada lutut kiri sebanyak 24,7(Rifhan, 2011).
Data Arthritis Research Campaign menunjukkan bahwa lebih dari 550
ribu orang di Inggris menderita OA lutut yang parah dan 2 juta orang
mengunjungi dokter praktek umum maupun rumah sakit karena OA lutut. Lebih
dari 80 ribu operasi replacement sendi lutut dilakukan di Inggris pada tahun 2000
dengan biaya 405 juta Poundsterling (Maharani,2007).
Di Indonesia, OA merupakan penyakit reumatik yang paling banyak
ditemui dibandingkan kasus penyakit reumatik lainnya. Berdasarkan data Badan
Kesehatan Dunia (WHO), penduduk yang mengalami gangguan OA di Indonesia
tercatat 8,1% dari total penduduk. Sebanyak 29% di antaranya melakukan
pemeriksaan dokter, dan sisanya atau 71% mengonsumsi obat bebas pereda nyeri.
1
Di Kabupaten Malang dan Kota Malang ditemukan prevalensi OA sebesar 10%
dan 13,5%. Di Jawa Tengah, kejadian penyakit OA sebesar 5,1% dari semua
penduduk (Maharani, 2007).
B. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah agar penyusun dapat mendiagnosis dan
menatalaksana OA sesuai kompetensi dokter umum berdasarkan pemahaman
terhadap definisi, epidemiologi, fisiologi patogenesis, patofisiologi, prosedur
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan OA.
2
BAB II
ISI
A. Definisi
Osteoarthritis (OA) yang disebut sebagai peradangan pada sendi yang
bersifat kronis dan progresif disertai perubahan fungsi dan struktur rawan sendi
seperti persambungan sendi yang tidak normal, gangguan fleksibilitas,
pembesaran tulang serta gangguan fleksi dan ekstensi (Valderrabano, 2011).
Penyakit OA ini yang merupakan bagian dari arthritis, penyakit ini
menyerang sendi terutama pada tangan, lutut dan pinggul. Orang yang terserang
osteoarthritis biasanya susah menggerakkan sendi-sendinya dan pergerakan nya
menjadi terbatas karena turunnya fungsi tulang rawan untuk menopang badan.
Hal ini dapat mengganggu produktifias seseorang (Price, 2005).
OA merupakan bentuk artitis yang paling umum, dengan jumlah
pasiennya sedikit melampaui separuh jumlah pasien artitis. Gangguan ini lebih
banyak pada perempuan daripada laki-laki dan terutama ditemukan pada orang
yang berusia lebih dari 45 tahaun. Penyakit ini pernah dianggap sebagai penuaan
normal,sebab insidens bertambah dengan meningkatnya usia. Osteoartitis dahulu
diberi nama artitis “yang rusak karena dipakai” karena sendi, namun menjadi aus
dengan bertambahnya usia. Tetapi, temuan-temuan yang lebih baru dalam bidang
biokimia dan biomekanik telah menyanggah teori ini (Price, 2005).
B. Anatomi
1. Sendi
Sendi atau articulatio adalah persambungan di antara dua tulang, yang
dapat menimbulkan gerakan jika didorong dengan gaya tertentu. Sendi
sebenarnya dapat diklasifikasikan secara fisiologi dan anatomi penyusunnya.
Akan tetapi, klasifikasi secara fisiologi lebih banyak dipakai karena dapat
menjelaskan mekanisme kerja sendi. Secara fisiologi, sendi dapat dibagi
menjadi (Martini, 2009):
3
a. Synarthrosis
Synarthrosis yakni sendi yang tidak dapat digerakkan. Synarthrosis terdiri
dari :
1) Sutura
Sutura terletak di os cranium. Ujung-ujung tulang pada sutura
terkunci dan terikat erat oleh jaringan ikat padat.
2) Gomphosis
Gomphosis terletak antara gigi dengan os maxilla dan os mandibula,
dihubungkan oleh jaringan ikat fibrosa yang dinamakan ligamentum
periodontal.
3) Synchondrosis
Synchondrosis terdiri atas lempeng kartilago yang tipis, contohnya
kartilago pada epifisis atau kartilago yang menghubungkan costae
dengan os sternum.
4) Synostosis
Synostosis yaitu gabungan tulang yang tidak dapat digerakkan,
seperti pada os sacrum, portio dari cranium, dan garis epifisis.
b. Amphiarthrosis
Amphiarthrosis adalah sendi yang sebenarnya bisa digerakkan dengan
gaya yang besar. Amphiarthrosis dihubungkan oleh serat kolagen dan
kartilago. Klasifikasinya adalah sebagai berikut :
1) Syndesmosis
Syndesmosis dihubungkan oleh ligamen. Contohnya pada articulatio
distal antara tibia dan fibula.
2) Symphisis
Symphisis dihubungkan oleh bantalan fibrocartilago. Contohnya
pada discus intervertebralis pada vertebrae dan symphisis pubis.
c. Diarthrosis
Diarhtrosis atau sendi synovial yaitu sendi yang bebas digerakkan.
Struktur dari sendi synovial dapat dilihat pada gambar berikut :
4
Gambar 1.Struktur sendi synovial pada lutut (Martini, 2009).
Struktur sendi synovial yaitu(Marieb, 2011) :
1) Kartilago dan bantalan lemak
Pada beberapa sendi termasuk sendi lutut seperti gambar di atas,
struktur ini terletak berlawanan pada permukaan sendi, termasuk
meniscus dan bantalan lemak.Meniscus yaitu fibrokartilago di antara
tulang, yang mengisi ruang synovial atau memberi variasi bentuk
permukaan sendi.
2) Bantalan lemak
Bantalan lemak menutupi lapisan membrane synovial dan biasanya
terletak superfisial dari capsul sendi.Bantalan lemak ini melindungi
kartilago pada sendi dan bertindak sebagai pembawa material untuk
sendi. Saat sendi bergerak, bantalan lemak akan mengisi ruang sendi
dan mengubah bentuk sendi.
3) Ligamen
Ligamentum accessorium berfungsi untuk menguatkan dan
membatasi perputaran sendi. Ligamentum extracapsuler akan
menghubungkan tulang-tulang antarsendi dan melintas ke luar
5
capsul sehingga menyokong dinding sendi agar tetap kuat.
Ligamentum intracapsuler terletak di dalam capsul dan mencegah
adanya gerakan yang dapat membahayakan sendi.
4) Tendon
Tendon membatasi gerakan dan menyokong sendi secara mekanik,
meskipun tendon bukan bagian dari sendi.
5) Bursae
Bursae adalah kantong jaringan ikat, mengandung cairan synovial
dan terletak di membrane synovial. Bursae mengurangi gesekan dan
bertindak sebagai shock absorbers.
2. Kartilago
Kartilago terdiri dari jaringan kartilago yang terutama disusun oleh
air.Tingginya kandungan air di dalamnya menjadikan kartilago bersifat lentur
atau mampu kembali ke bentuk semula setelah ditekan.Kartilago tidak
mengandung pembuluh darah atau saraf (Marieb, 2011).
Gambar 2.Letak kartilago dalam tubuh manusia (Marieb, 2011).
6
C. Histologi
Kartilago terdiri dari sel yang disebut kondrosit dan matriks ekstraseluler
yang menyusun serabut dan substansi dasar. Kondrosit mensintesis dan
mensekresi matriks ekstraseluler. Kondrosit terletak di dalam rongga matriks
yang disebut lakuna. Kolagen, asam hyaluronic, proteoglikan, dan sejumlah
kecil glikoprotein adalah makromolekul penting yang ada di seluruh tipe
matriks kartilago. Berdasarkan komposisinya, ada 3 macam kartilago
(Junquera, 2007) :
1. Kartilago hyalin
Kartilago hyalin terletak di permukaan sendi yang bisa digerakkan, di
dinding tractus respiratorius yang lebar (hidung, laring, trachea, bronchi),
ujung ventral dari costae yang bersambung pada sternum, dan di lempeng
epifisis, yang bertanggung jawab pada pertumbuhan tulang panjang
(Junquera, 2007).
Kartilago hyalin mengandung serat kolagen tipe II dan sejumlah kecil
kolagen tipe IX, X, dan XI. Proteoglikan pada kartilago ini mengandung
kondroitin 4-sulfat, kondroitin 6-sulfat, dan keratin sulfat, yang berikatan
secara kovalen pada inti protein. Sebanyak 200 buah dari proteoglikan ini
berikatan nonkovalen pada molekul panjang asam hialuronik, membentuk
agregasi proteoglikan yang berinteraksi dengan kolagen. Komponen
terpenting matriks kartilago adalah glikoprotein struktural yang disebut
kondronektin, suatu makromolekul yang berikatan spesifik dengan
glikosaminoglikan dan kolagen tipe II, yang memerantarai kondrosit
dengan matriks ekstraseluler. Matriks kartilago mengelilingi masing-
masing kondrosit yang kaya glikosaminoglikan dan miskin kolagen. Zona
perifer ini disebut zona teritorial, atau kapsular (Junquera, 2007).
Selain kartilago di persendian, semua kartilago hyalin ditutupi oleh
selapis jaringan ikat padat, yaitu perikondrium, yang penting untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan kartilago. Jaringan ikat ini kaya akan serat
kolagen tipe I, serat-serat elastin, dan mengandung banyak fibroblas.
7
Bagian perikondrium yang dekat kartilago bersifat lebih seluler dan secara
berangsur beralih, dan menyatu dengan kartilago.Hal ini karena sel-sel
pada lapisan dalam perikondrium meletakkan matriks di sekitarnya,
sehingga menyatu dengan kartilago sebagai kondrosit yang khas (Leeson,
1996).
Sel di lapisan yang dalam dari perikondrium, yakni kondroblas dapat
dengan mudah berdiferensiasi menjadi kondrosit yang terdapat di dalam
lakuna. Di bagian perifer kartilago hyalin, kondrosit muda berbentuk elips
berjajar paralel di permukaan, dapat berkelompok hingga delapan sel.
Kelompok-kelompok ini disebut isogenus atau cell nest.Sel yang letaknya
lebih perifer berbentuk lonjong dan memanjang sejajar
permukaan(Junquera, 2007; Leeson, 1996).
Gambar 3.Bagian-bagian kartilago hyalin (Junquera, 2007).
Gambar 4.Kartilago hyalin (Junquera, 2007).
8
Nutrisi kartilago didapat dari matriks, karena kartilago tidak memiliki
pembuluh darah, limfe, dan saraf.Kandungan cairan yang melimpah di
dalam matriks memungkinkan nutrient, gas-gas terlarut, dan produk sisa
dengan mudah berdifusi antara pembuluh darah kecil pada perikondrium
dan kondrosit-kondrosit yang letaknya lebih ke sentral kartilago.Meskipun
difusi ini prosesnya terbatas, namun sudah cukup memenuhi kebutuhan
kartilago karena kondrosit itu sendiri berfungsi melalui metabolisme
glikolitik (Leeson, 1996).
Seiring meningkatnya usia, kartilago akan semakin keruh dan
berkurang selnya. Jumlah proteoglikan matriks berkurang, sebaliknya
jumlah protein non-kolagennya meningkat, dan lama-kelamaan akan terjadi
proses kalsifikasi. Butiran kalsium fosfat dan kalsium karbonat halus
diendapkan pada substansi interseluler.Awalnya berada di dekat sel,
kemudian ke seluruh matriks.Butiran ini bertambah besar dan menyatu
sehingga kartilago menjadi keras dan rapuh. Pengkapuran pada substansi
interseluler menyebabkan nutrien tidak dapat berdifusi dan lama-kelamaan
sel-sel kondrosit akan mati dan matriks secara berangsur akan diresorpsi
(Leeson, 1996).
Regenerasi kartilago yang hilang atau rusak sebagian sangatlah
rendah. Kerusakan tulang diperbaiki melalui proses yang lambat. Jaringan
perikondrium berproliferasi dan mengisi kembali bagian yang
rusak.Jaringan ini secara berangsur diubah menjadi kartilago, mirip
pertumbuhan aposisional (Leeson, 1996).
2. Kartilago elastin
Kartilago elastin dijumpai pada aurikula telinga, dinding kalanis
auditorius externus, tuba eustachius, epiglotis, dan kartilago cuneiform
pada laring. Kartilago elastin mengandung serat elastin yang banyak dan
serat kolagen tipe II. Kartilago elastin yang masih segar berwarna kuning
karena adanya elastin dalam serat elastin dan lebih keruh jika dibandingkan
dengan kartilago hyalin (Junquera, 2007; Leeson, 1996).
9
Kartilago elastin merupakan modifikasi kartilago hyalin.Namun, sel-
selnya sedikit mengandung lemak dan glikogen.Matriksnya mengandung
serat-serat kolagen dan serat elastin yang luas.Penyebaran serat-serat ini
umumnya lebih padat di bagian tengah kartilago, dibungkus perikondrium,
dan pertumbuhannya terjadi secara interstisial dan aposisional dari
perikondrium.Tidak seperti kartilago hyalin, kartilago elastin jarang
mengalami kalsifikasi (Leeson, 1996).
Gambar 5.Bagian-bagian kartilago elastin (Junquera, 2007).
Gambar 6.Kartilago elastin (Junquera, 2007).
3. Fibrokartilago
Fibrokartilago adalah jaringan intermediet di antara jaringan ikat
padat dan kartilago hyalin. Fibrokartilago dapat ditemukan pada discus
intervertebralis, perlekatan ligamen tertentu pada permukaan kartilago
tulang, dan simfisis pubis. Fibrokartilago selalu dihubungkan dengan
10
jaringan ikat padat, dan batas wilayah antara dua jaringan ini tidak jelas
(Junquera, 2007).
Fibrokartilago mengandung kondrosit, baik itu tunggal maupun
isogen, biasanya tersusun berbaris, dipisahkan oleh serat kolagen tipe I
yang di antaranya terdapat daerah-daerah kecil dengan matriks tulang
rawan hyalin. Karena kaya akan serat kolagen tipe I, matriks
fibrokartilago ini bersifat asidofilik dan tidak memiliki perikondrium.
Pembentukan fibrokartilago menyerupai jaringan ikat biasa, yakni dari
fibroblast yang dipisahkan oleh bahan fibrilair.Sel-sel tersebut kemudian
berubah menjadi kondrosit (Junquera, 2007; Leeson, 1996).
Gambar 7.Bagian-bagian fibrokartilago (Junquera, 2007).
Gambar 8. Fibrokartilago (Junquera, 2007).
11
D. Fisiologi Persendian
Persendian dapat diklasifikasikan menurut struktur dan fungsi persendian
sebagai berikut (Sloane, 2003) :
1. Klasifikasi Struktural Persendian
a. Persendian fibrosa
Persendian fibrosa tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan
jaringan ikat fibrosa.
b. Persendian kartilago
Persendian fibrosa tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan
jaringan ikat kartilago.
c. Persendian sinovial
Persendian sinovial memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan
kapsul dan ligamen artikular yang membungkusnya.
2. Klasifikasi Fungsional Persendian
a. Sendi sinartrosis atau sendi mati
Secara struktural, sendi ini dibungkus dengan jaringan ikat fibrosa atau
kartilago, seperti :
1) Sutura adalah sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa
rapat dan hanya dapat ditemukan pada tulang cranium. Contoh
sutura adalah sutura sagital dan sutura parietal.
2) Sinkondrosis sendi yang tulang-tulangnya dihubungkan dengan
kartilago hialin. Salah satu contohnya adalah lempeng epifisis
sementara antara epifisis dan diafisis pada tulang panjang seorang
anak. Saat sinkrondosis sementara berosifikasi, maka bagian
tersebut dinamakan sinostosis.
b. Amfiartrosis
Amfiartrosis adalah sendi dengan pergerakan terbatas yang
memungkinkan terjadinya sedikit gerakan sebagai respon terhadap
torsi dan kompresi. Klasifikasinya adalah :
12
1) Simfisis adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan dengan
diskus kartilago, yang menjadi bantalan sendi dan memungkinkan
terjadinya sedikit gerakan. Contoh simfisis adalah simfisis pubis
antara tulang-tulang pubis dan diskus vertebralis antar badan
vertebra yang berdekatan.
2) Sindesmosis terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan
dihubungkan dengan serat-serat jaringan ikat kolagen. Contoh
sindesmosis dapat ditemukan pada tulang yang terletak bersisian
dan dihubungkan dengan membran interosesus, seperti pada tulang
radius dan ulna, serta tibia dan fibula.
3) Gomposis adalah sendi dimana tulang berbentuk kerucut masuk
dengan pas dalam kantong tulang, seperti gigi yang tertanam pada
alveoli tulang rahang. Pada contoh tersebut, jaringan ikat fibrosa
yang terlibat adalah ligamen peridontal.
c. Diartrosis
Diartrosis adalah sendi yang dapat bergerak bebas, disebut juga sendi
sinovial. Sendi ini memiliki rongga sendi yang berisi cairan sinovial,
suatu kapsul sendi yang menyambung kedua tulang, dan ujung tulang
pada sendi sinovial dilapisi kartilago aurikular. Sendi ini memiliki
lapisan (Sloane, 2003):
1) Lapisan terluar
Terbentuk dari jaringan ikat fibrosa rapat berwarna putih yang
memanjang sampai bagian periosteum tulang yang menyatu pada
sendi.
2) Lapisan terdalam
Terbentuk dari membran sinovial yang melapisi keseluruhan sendi,
kecuali pada kartilago aurikular.
3. Klasifikasi persendian sinovial
Persendian ini didasarkan pada bentuk permukaan yang berartikulasi.
a. Sendi sferodial
13
Sendi sferodial terdiri dari sebuah tulang dengan kepala beberntuk bulat
yang masuk dengan pas ke dalam rongga berbentuj cangkir pada tulang
lain. Sendi ini memungkinkan rentang gerak yang lebih besar, menuju ke
tiga arah. Contohnya adalah articulatio coxae dan glenohumeral.
b. Sendi engsel
Sendi engsel merupakan permukaan convex sebuah tulang masuk dengan
pas pada permukaan konkaf tulang kedua. Sendi ini memungkinkan
gerak ke satu arah. Contohnya adalah articulatio genue dan cubiti.
c. Sendi kisar (pivot joint)
Tulang yang berbentuk kerucut yang masuk dengan pas ke dalam
ekungan tulang kedua, dan dapat berputar ke segala arah. Contohnya
adalah persendian tempat tulang atlas berotasi di sekitar prosesus
odontoid os axis, dan persendian antara bagian kepala proksimal tulang
radius dan ulna.
d. Persendian kondiloid
Terdiri dari sebuah kondilus oval suatu tulang yang masuk dengan pas ke
dalam rongga berbentuk elips di tulang kedua. Sendi ini memungkinkan
gerak ke dua arah. Contohnya adalah sendi antara tulang radius dan
tulang karpal serta sendi antara kondilus oksipital tengkorak dan atlas.
e. Sendi pelana
Sendi ini memiliki permukaan tulang yang berartikulasi berbentuk
konkaf di satu sisi dan konveks pada sisi lainnya; sehingga tulang
tersebut akan masuk dengan pas ke dalam permukaan tulang kedua yang
bentuk konveks dan konkafnya berada pada sisi yang berlawanan. Satu-
satunya sendi pelana sejati yang ada pada tubuh adalah persendian antara
tulang karpal dan metakarpal pada ibu jari.
f. Sendi peluru
Salah satu sendi yang permukaan kedua tulang yang berartikulasi
berbentuk datar, sehingga memungkinkan gerakan meluncur antara satu
tulang dengan tulang lainnya. Contohnya adalah persendian intervertebra,
14
dan persendian antara tulang-tulang karpal dan tulang-tulang
tarsal(Sloane, 2003).
4. Pergerakan pada sendi sinovial
Pergerakan ini merupakan hasil kerja otot rangka yang melekat pada
tulang-tulang yang membentuk artikulasi. Otot tersebut memberikan tenaga,
tulang sebagai pengungkit, dan sendi sebagai penumpu. Gerakan yang dapat
dihasilkan sendi sinovial (Sloane, 2003):
a. Fleksi
Gerakan yang memperkecil sudut antara dua tulang atau dua bagian
tubuh. Seperti saat menekuk siku (menggerakkan lengan ke arah depan),
menekuk lutut (menggerakan tungkai ke arah belakang), atau juga
menekuk torso ke arah samping. Gerakan tersebut terdiri dari:
1) Dorsofleksi adalah gerakan menekuk telapak kaki di pergelangan ke
arah depan
2) Plantar fleksi adalah gerakan meluruskan telapak kaki pada
pergelangan kaki.
b. Ekstensi
Gerakan yang memperbesar sudut antara dua tulang atau dua bagian
tubuh, terdiri dari:
1) Ekstensi bagian tubuh kembali ke posisi anatomis, seperti gerak
meluruskan persendian pada siku dan dan lutut setelah fleksi.
2) Hiperekstensi mengacu pada gerakan yang memperbesar sudut pada
bagian-bagian tubuh melebihi 180°, seperti gerakan menekuk torso
atau kepala ke arah belakang.
c. Abduksi
Gerakan bagian tubuh menjauhi garis tengah tubuh, atau menjauhi aksis
longitudinal tungkai. Seperti gerakan abduksi jari tangan dan jari kaki.
d. Adduksi
Kebalikan dari abduksi, adalah gerakan bagian tubuh saat kembali ke
aksis utama tubuh atau aksis longitudinal tungkai.
15
e. Rotasi
Gerakan tulang yang berputar di sekitar aksis pusat tulang itu sendiri
tanpa mengalami dislokasi lateral. Gerakan rotasi terdiri dari :
1) Pronasi adalah rotasi medial lengan bawah dalam posisi anatomis,
yang mengakibatkan telapak tangan menghadap ke belakang.
2) Supinasi adalah rotasi lateral lengan bawah, yang mengakibatkan
telapak tangan menghadap ke depan.
f. Sirkumduksi
Kombinasi dari semua gerakan angular dan berputar untuk membuat
ruang berbentuk kerucut. Gerakan seperti ini berlangsung pada
persendian panggul, bahu, trunkus, pergelangan tangan, dan persendian
lutut.
g. Inversi
Gerakan sendi pergelangan kaki yang memungkinkan telapak kaki
menghadap ke dalam atau ke arah medial.
h. Eversi
Gerakan sendi pergelangan kaki yang memungkinkan telapak kaki
menghadap ke arah luar.
i. Protraksi
Memajukan bagian tubuh, seperti saat menonjolkan rahang bawah ke
depan, atau memfleksi girdel pektoral ke arah depan.
j. Retraksi
Gerakan menarik bagian tubuh ke arah belakang, seperti saat meretraksi
mandibula, atau meretraksi girdel pektoral untuk membusungkan dada.
k. Elevasi
Pergerakan struktur ke arah superior, seperti saat mengatupkan mulut
atau mengangkat bahu.
l. Depresi
Menggerakkan suatu struktur ke arah inferior, seperti saat membuka
mulut.
16
E. Patogenesis
OA adalah penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan
kartilago sendi dan paling sering menyerang bagian vertebra, panggul, lutut dan
pergelangan kaki. Berdasarkan patogenesisnya, OA dibedakan menjadi dua,
yaitu OA primer dan OA sekunder.OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu
OA yang penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan
penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi, serta lebih
banyak ditemukan dibandingkan OA sekunder. OA idiopatik memiliki dasar
genetik yang kuat dengan pola penurunan secara dominan pada wanita dan pola
resesif pada pria. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan
endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan herediter, jejas mikro dan makro
serta imobilisasi yang terlalu lama. OA sekunder biasanya timbul pada keadaan
trauma, termasuk penggunaan sendi yang berulang-ulang (terbukti hanya pada
penggunaan berlebihan dalam bekerja bukan pada penggunaan atletik/olahraga)
(Davey, 2005; Sudoyo, 2009).
Gambar 9.Bagan patogenesis OA (Sudoyo, 2009)
17
Usia, stress mekanis (penggunaan sendi berlebihan), obesitas, genetik, humoral, defek anatomikerusakan molekul matriks ekstraseluler dan produk degradasi kartilago di cairan synovial sendiInflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan nyeriPeningkatan terbatas sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit (kompensasi perbaikan)Hipertrofi kartilagoOA
OA sering dipandang sebagai akibat dari suatu proses ketuaan yang tidak
dapat dihindari. Namun setelah dilakukan penelitian terhadap penyakit ini, para
pakar berpendapat bahwa ternyata OA merupakan penyakit gangguan
homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan
kartilago yang penyebabnya belum jelas diketahui. Jejas mekanis dan kimiawi
pada sinovial sendi yang terjadi akibat multifaktorial antara lain karena faktor
usia, stress mekanis atau penggunaan sendi yang berlebihan, defek anatomi,
obesitas, genetik, humoral dan faktor kebudayaan, diduga merupakan faktor
penting yang merangsang kerusakan molekul matriks esktraseluler dan produk
degradasi kartilago di dalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi
inflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan nyeri. OA ditandai dengan fase
hipertrofi kartilago yang berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari
sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit sebagai kompensasi
perbaikan.OA merupakan hasil kombinasi antara degradasi rawan sendi,
remodelling tulang dan inflamasi cairan sendi (Marks,et al, 2000; Sudoyo,
2009).
Gambar 10.Bagan patogenesis inflamasi sendi (Marks,et all, 2000; Sudoyo, 2009)
18
Kartilago sendi dapat perbaikan sendiri Kondrosit replikasiProduksi matriks baruInduksi kondrosit sintesis DNA dan protein kolagenDegradasi kolagen ubah keseimbangan metabolisme kartilago sendiKelebihan produk terakumulasi di sendiHambat fungsi kartilago sendiRespon imunInflamasi sendi
Rawan sendi ternyata dapat melakukan perbaikan sendiri dimana
kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Proses ini
dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipetida yaitu insulin-like growth
faktor (IGF-1), growth hormone, transforming growth factor β (TGF- β) dan
coloni stimulating factors (CSFs). Faktor-faktor tersebut menginduksi kondrosit
untuk mensintesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan protein seperti kolagen
serta proteoglikan. Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah
keseimbangan metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi
matriks rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat
fungsi rawan sendi serta mengawali suatu respons imun yang menyebabkan
inflamasi sendi (Sudoyo, 2009).
Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas
fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan
terjadinya penumpukan thrombus dan komplek lipid pada pembuluh darah
subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan
subkondral tersebut. Hal ini mengakibatkan dilepasnya mediator kimiawi
seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone
angina lewat subkondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensible yang
dapat menghantarkan rasa sakit (Sudoyo, 2009).
Gejala-gejala yang muncul pada pasien OA adalah nyeri yang telah ada
bertahun-tahun pada satu atau lebih sendi dan intensitasnya hilang timbul sesuai
dengan cuaca dan beban kerja, pembengkakan dan deformitas terutama pada
lutut dan jari-jari, instabilitas tangan saat memegang sesuatu atau menyisir
rambut, jalan terbatas dan kelebihan. Faktor resiko dari OA adalah adanya
riwayat keluarga yang menderita OA, riwayat trauma sendi, penambahan berat
badan, pekerjaan yang memerlukan gerakan yang berulang terutama pada lutut
(jongkok), siku dan punggung (angkat beban) dan tangan (jalur perakitan dan
pekerjaan pabrik) (Brashers, 2008).
19
F. Patofisiologi
Gambar 11.Bagan patofisiologi OA(Kasper et al,2008)
20
Gambar 12.Bagan patofisiologi OA(Arend, 2007)
Setelah terjadi luka pada kartilago, biasanya terjadi mitosis. Ketika
aktivitas metabolik dari khondrosit cluster sini tinggi, efeknya adalah aktivitas
proteoglikan mengalami deplesi di matrix yang mengelilingi kondrosit. Hal ini
dikarenakan aktivitas katabolik lebih besar dari pada sintesisnya. Seiring
dengan perkembangannya, matrix kolagen menjadi terluka dan proteoglikan
keluar, serta pembengkakan kartilago terjadi dari atraksi molekul ion air.
Karena proteoglikan pada kartilago yang rusak tadi tidak dapat lagi memaksa
proksimitas, kartilago tidak lagi dapat kembali ketempat asalnya seperti orang
sehat, dan kartilago menjadi lebih beresiko untuk kerusakan lainnya. Kondrosit
di sel basal kartilago juga mengalami apoptosis( Kasper, et al, 2008).
Hilangnya alterasi di kartilago pada tulang subchondral dan stimulasi
oleh GH dan sitokin, maka osteoklast dan osteoblast di tulang subchondral
menjadi aktif. Produksi dalam formasi tulang juga menebal dan kaku pada
lempeng subchondral yang terjadi ketika kartilago ulseratif. Trauma terhadap
21
sendi menjadi faktor primer terhadap respon ini, dengan penyembuhan yang
malah menghasilkan kekakuan. Area kecil dari osteonekrosis biasanya ada di
sendi dengan penyakit ini. Kematian tulang jugadapat terjadi karena trauma
dengan pengikisan dari mikrovaskuler yang berefek turunnya suplai darah.
Pada batas sendi, dekat area kartilago yang hilang, terbentuk osteophyte.
Hal ini memunculkan pertumbuhan kartilago baru, dengan invasi neurovascular
dari tulang, kartilago ini ossifikasi. Osteophyt penanda penting pada
pemerikasaan radiografi, dan pada keganasan osteophyte tumbuh lebih
besar(Kasper, et al, 2008).
Synovium memproduksi cairan pelumas untuk meminimalisir stres ketika
gerakan. Pada sendi orang sehat, synovium terdiri dari satu lapisan tidak
terputus berisilemak dan terdiri dari 2 jenis sel, makrofag dan fibroblast, tetapi
pada OA, hal ini dapat menyebabkan edema dan inflamasi. Ada migrasi
makrofag dari perifer kejaringan, dan sel synovial berploriferasi(Brashers,
2008).
Karena kartilago tidak mempunyai saraf maka kehilangan kartilago
tidak akan menimbulkan rasa sakit. Tetapi pada OA, sakit datang dari
struktur diluar kartilago. Menurut penelitian sumber sakitdapatdisebabkan
oleh peradangan synovial, efusi sendi, dan edema bone narrow. Peradangan
synovial atau synovitis dapat terjadi pada sebagian kasus OA. Sakit juga
dapat disebabkan hal diluarsendi yaitu bursa dekat sendi, contohnya yang
biasanya terjadi adalah anserine bursitis dan illiotibial band
syndrome(Brashers, 2008).
G. Tanda dan Gejala OA
1. Predileksi Sendi pada OA
Predileksi OA yaitu pada sendi – sendi carpometacarpal I.
Sendi carpometacarpal (Putz & Pabzt, 2006) :
a) Sendi karpometakarpal ibu jari / articulatio carpometacarpal pollicis
b) Sendi karpometacarpal II – V / articulatio carpometacarpales II-V,
22
sendi metatarsophalangeal I (Putz & Pabzt, 2006) :
a) Sendi metatarsophalangea : articulatio metatarsophalangea
b) Sendi lutut : articulatio genus
c) Sendi panggul : articulatio coxae,
sendi apofiseal tulang belakang, lutut dan paha. Sebagai perbandingan
OA siku, pergelangan tangan, glenohumeral atau pergelangan kaki jarang
sekali dan terutama terbatas pada orang tua. Distribusi yang selektif
seperti itu sampai sekarang masih sulit dijelaskan. Salah satu teori
mengatakan bahwa sendi – sendi yang sering terkena OA adalah sendi –
sendi yang paling akhir mengalami perubahan – perubahan evolusi,
khususnya dalam kaitan dengan gerakan mencekeram dan berdiri dua
kaki. Sendi – sendi tersebut mungkin mempunyai rancang bangun yang
sub optimal untuk gerakan – gerakan yang mereka lakukan, mempunyai
cadangan mekanis yang tak mencukupi, dan dengan demikian lebih sering
gagal daripada sendi – sendi yang sudah mengalami adaptasi lebih lama
(Sudoyo, 2009).
2. Riwayat Penyakit
a. Nyeri sendi
Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang
dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang – kadang
menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan yang lain. Nyeri
pada OA juga dapat berupa penjalaran atau akibat radikulopati,
misalnya pada OA servikal dan lumbal. OA lumbal menimbulkan
stenosis spinal mungkin menimbulkan keluhan nyeri di betis, yang
biasa disebut dengan claudicatio intermitten (Sudoyo, 2009).
b. Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan – pelan
sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri (Sudoyo, 2009).
23
c. Kekakuan sendi setelah sendi tersebut digerakkan beberapa lama,
tetapi kekakuan ini akan menghilang setelah sendi digerakkan,
misalnya kaku setelah duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang
cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur (Price, 2005).
d. Pembesaran sendi (deformitas)
Pasien mungkin menunjukkan bahwa pada salah satu sendinya
(seringkali terlihat di lutut atau tangan) secara pelan – pelan membesar
(Sudoyo, 2006).
e. Krepitasi tulang, rasa gemeretak (kadang – kadang dapat terdengar)
pada sendi yang sakit (Sudoyo, 2009).
f. Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien. Hampir semua
pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul menjadi
pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain
merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA yang
umumnya tua (Sudoyo, 2009).
3. Pemeriksaan Fisik
a. Hambatan gerak
Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada OA yang masih dini
(secara radiologis). Biasanya bertambah berat dengan semakin
beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi
kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan)
maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja) (Sudoyo, 2009).
b. Krepitasi
Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut. Pada
awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau
remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Dengan bertambah
beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu.
Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang
24
sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif di manipulasi
(Sudoyo, 2009).
c. Pembengkakan Sendi yang Seringkali Asimetris
Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi
yang biasanya tak banyak (<100 cc). Sebab lain ialah karena adanya
osteofit, yang dapat mengubah permukaan sendi (Sudoyo, 2009).
d. Tanda – tanda peradangan
Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan
gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin
dijumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya tanda – tanda ini
tak menonjol dan timbul belakangan, seringkali dijumpai di lutut,
pergelangan kaki dan sendi – sendi kecil tangan dan kaki (Sudoyo,
2009).
e. Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen
Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama,
perubahan permukaan sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan
perubahan pada tulang dan permukaan sendi (Sudoyo, 2009).
f. Perubahan gaya berjalan
Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi
tumpuan berat badan. Terutama dijumpai pada OA lutut, sendi paha
dan OA tulang belakang dengan stenosis spinal. Pada sendi – sendi
lain, seperti tangan, bahu, siku dan pergelangan tangan, OA juga
menimbulkan gangguan fungsi (Sudoyo, 2009).
b. Diagnosis
Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan
radiografis.Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA
ialah (Sudoyo, 2009):
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada
bagian yang menanggung beban)
b. Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
25
c. Kista tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi
Berdasarkan perubahan-perubahan radiogragrafi di atas, secara
radiografi OA dapat digradasi menjadi ringan sampai berat (criteria
Kellgren dan Lawrance). Derajat OA dinilai menjadi lima derajat oleh
Kellgren dan Lawrence. Pada derajat 0, tidak ada gambaran OA. Pada
derajat 1, OA meragukan dengan gambaran sendi normal, tetapi terdapat
osteofit minimal. Pada derajat 2, OA minimal dengan osteofit pada 2
tempat, tidak terdapat sklerosis dan kista subkondral, serta celah sendi
baik. Pada derajat 3, OA moderat dengan osteofit moderat, deformitas
ujung tulang, dan celah sendi sempit. Pada derajat 4, OA berat dengan
osteofit besar, deformitas ujung tulang, celah sendi hilang, serta adanya
sklerosis dan kista subkondral (Milne, et al dalam Hartono, 2007). Harus
diingat bahwa pada awal penyakit, radiografi sendi seringkali masih
normal (Sudoyo, 2009).
Pemeriksaan penginderaan dan radiografi sendi lain (Sudoyo, 2006):
a. Pemeriksaan radiografi sendi lain atau penginderaan magnetic
mungkin diperlukan pada beberapa keadaan tertentu. Bila OA pada
pasien dicurigai berkaitan dengan penyakit metabolik atau genetik
seperti alkaptonuria, oochronosis, dysplasia epifisis,
hiperparatiroidisme, penyakit Paget atau hemokromatosis (terutama
pemeriksaan radiografi pada tengkorak dan tulang belakang).
b. Radiografi sendi lain perlu dipertimbangkan juga pada pasien yang
mempunyai keluhan banyak sendi (OA generalisata).
c. Pasien – pasien yang dicurigai mempunyai penyakit – penyakit yang
meskipun jarang tetapi berat (osteonekrosis, neuropati Charcot,
pigmented sinovitis) perlu pemeriksaan yang lebih mendalam. Untuk
diagnosis pasti penyakit – penyakit tersebut seringkali diperlukan
diperlukan pemeriksaan lain yang lebih canggih seperti sidikan tulang,
26
penginderaan dengan resonansi magnetic (MRI), atroskopi dan
artrografi.
d. Pemeriksaan lebih lanjut (khususnya MRI) dan mielografi mungkin
juga diperlukan pada pasien dengan OA tulang belakang untuk
menetapkan sebab – sebab gejala dan keluhan – keluhan kompresi
radikular atau medulla spinalis.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tak banyak
berguna. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) dalam batas
– batas normal kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan
arthritis peradangan. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor rheumatoid
dan komplemen) juga normal. Pada OA yang disertai peradangan,
mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai
sedang, peningkatan ringan sel peradangan (<2000/µL) dan peningakatan
protein (Kasper, 2008; Sudoyo, 2009).
d. Pemeriksaan Penunjang
Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi
yang terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA
adalah(Soeroso, 2009):
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada
bagian yang menanggung beban seperti lutut).
b. Peningkatan densitas tulang subkondral (sklerosis).
c. Kista pada tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi.
27
Gambar 12. Gambaran X-Ray lutut pada OA medial (Kasper, et al, 2008)
Keterangan gambar :
1) Panah putih menunjukkan penyempitan celah sendi
2) Panah hitam : sklerosis tulang yang menyebabkan penebalan
3) Baji putih : osteofit pada medial femur
H. Diagnosis
Diagnosis (OA) biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan
radiografis. Pada sebagian besar kasus, radiologis pada sendi yang terkena
osteoartritis sudah cukup memberikan gambaran diagnostik yang lebih canggih.
Gambar 13. X-Ray OA lutut (Buccini, 2005)
Diagnosis osteoartritis lutut berdasarkan klinis, klinis dan radiologis, serta
klinis dan laboratories (Klippel, 2001) :
1. Klinis : Nyeri sendi lutut dan 3 dari kriteria di bawah ini :
a. Umur > 50 tahun
28
b. Kaku sendi < 30 menit
c. Krepitasi
d. Nyeri tekan tepi tulang
e. Pembesaran tulang sendi lutut
f. Tidak teraba hangat pada sendi
Catatan : Sensitivitas 90% dan spesifitas 69%
2. Klinis dan radiologis :
Nyeri sendi dan paling sedikit 1 dari 3 kriteria di bawah ini :
a. Umur > 50 tahun
b. Kaku sendi < 30 menit
c. Krepitasi disertai osteofit
Catatan : Sensitivitas 91% dan spesifitas 86%
3. Klinis dan laboratoris :
Nyeri sendi ditambah adanya 5 dari kriteria di bawah ini :
a. Usia > 50 tahun
b. Kaku sendi < 30 menit
c. Krepitasi
d. Nyeri tekan tepi tulang
e. Pembesaran tulang
f. Tidak teraba hangat pada sendi terkena
g. LED < 40 mm/jam
h. RF < 1:409. Analisis cairan sinovium sesuar osteoartritis
Catatan : Sensitivitas 92% dan spesifitas 75%
Kriteria diagnosis osteoartritis tangan adalah nyeri tangan, ngilu atau
kaku dan disertai 3 atau 4 kriteria berikut (Milne AD, et al.2007):
1. Pembengkakan jaringan keras > 2 diantara 10 sendi tangan
2. Pembengkakan jaringan keras > 2 sendi distal interphalangea (DIP)
3. Pembengkakan <3 sendi metacarpo-phalanea (MCP)
4. Deformitas pada 1 diantara 10 sendi tangan
29
Catatan : 10 sendi yang dimaksud adalah : DIP 2 dan 3, PIP 2 dan 3 dan CMC
1 masing-masing tangan. Sensitivitas 94% dan spesifitas 87%.
I. Penatalaksanaan
1. Terapi non-medikamentosa
a. Edukasi atau penerangan
Terapi ini bertujuan agar pasien mengetahui sedikit tentang
penyakitnya, bagaimana menjaganya agar penyakit tidak bertambah
parah, serta agar persendiannya tetap dapat dipakai (Sudoyo, 2009).
b. Terapi fisik dan rehabilitasi
Terapi ini untuk melatih pasien agar persendian ini tetap dapat
dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit
(Sudoyo, 2009).
c. Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan faktor yang akan
memperberat OA. Oleh karena itu, berat badan harus selalu dijaga agar
tidak berlebihan (Sudoyo, 2009).
Menurut penelitian berdasarkan populasi yang diikuti dengan follow up
selama 22 tahun, dicari hubungan OA pada lutut dengan tingkat obesitas,
stress fisik saat kerja, dan luka trauma pada sendi lutut. Penelitian yang
dimulai dari tahun 1980an dan menggunakan sebanyak 8000 subjek penelitian
ini diperiksa oleh klinisi dengan menggunakan riwayat, gejala dan
pemeriksaan klinis yang terstandarisasi. Hasilnya cukup mengejutkan, yaitu
orang dengan bmi antara 25 – 29 lebih mudah 1,7 kali terkena OA daripada
orang normal(BMI<25), dan orang dengan BMI lebih dari 30 kemungkinan
terkena OA adalah 7 kali lebih besar dari orang normal(BMI<25).Sedangkan
orang yang mempunyai strees fisik yang berat saat kerja dapat terkena 18,3
kali lebih mudah daripada orang yang bekerja ringan atau tanpa stress fisik.
Dan untuk orang yang pernah mengalami trauma pada sendi lutut dapat
mengalami OA 5,1 kali lebih mudah daripada orang yang tidak pernah terkena
trauma(Toivane, 2010).
30
1. Terapi medikamentosa
a. Oral
i. Acetaminophen
Acetaminophen atau parasetamol dapat menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang.Parasetamol dijadikan
pilihan analgesik pertama pada pasien dengan OA lutut, pangul,
atau tangan.Dosis maksimal untuk dewasa yaitu 500-1000 mg,
empat kali sehari (Kasper et al, 2008; FKUI, 2009).
ii. NSAID
NSAID yang digunakan umumnya bersifat anti-inflamasi,
analgesic, dan antipiretik.Efek antipiretiknya baru terlihat pada
dosis yang lebih besar daripada efek analgesiknya.NSAID harus
diminum bersama dengan makanan.Efek sampingnya dapat
menimbulkan ulkus dan perdarahan pada saluran gastrointestinal.
Macam-macam NSAID yang dapat digunakan yaitu (Kasper, et al,
2008; FKUI, 2009) :
a) Naproksen : 2 kali 375-500 mg sehari.
b) Salisilat : 2 kali 1500 mg sehari
c) Ibuprofen : 3-4 kali 600-800 mg sehari
iii. COX2-selective inhibitor
Obat-obatan ini contohnya selekoksib.Obat golongan ini
dikembangkan untuk dapat menghindari efek samping pada
saluran gastrointestinal.Dosisnya yaitu 100-200 mg/hari (Kasper,
et al, 2008; FKUI, 2009).
iv. Opioid
Opioid juga dipakai untuk analgesik. Terdiri menjadi analgesic
opioid kuat dan lemah, yaitu (Neal, 2006) :
i) Analgesic opioid kuat : Morfin, Buprenorfin, Petidin,
Metadom, Fentanil, Fenazosin dan Diarmofin.
ii) Analgesik opioid lemah : Kodein dan Dekstropropoksifen
31
b. Topikal
Dapat diberikan krim capsaicin 0.025-0.075% 3-4 kali sehari
(Kasper, et al, 2008).
c. Injeksi intra-artikular hialuronan dan steroid
Injeksi dapat diberikan untuk mengurangi nyeri.Tetapi setelah
diteliti lebih lanjut tidak menunjukkan keuntungan yang nyata pada
pasien OA, sehingga pemakaiannya masih kontroversial.Injeksi asam
hialuronik dapat diberikan untuk mengurangi gejala pada OA lutut dan
panggul.Injeksi dapat diberikan 3-5 kali perminggu, tergantung dari
persiapan pasien (Kasper, et al, 2008).
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penggunaan terapi
kortikosteroid pada pasien OA (khususnya OA genue) lebih efektif
daripada asam hyaluronat dalam jangka pendek (sekitar 4 minggu),
sedangkan penggunaan asam hyaluronat lebih efektif untuk jangka
panjang. Dengan menyadari tentang pola respon ini, karena hal tersebut
sangat berguna bagi klinisi dalam menentukan rencana terapi yang akan
diberikan kepada pasien OA. Hal ini juga bermanfaat dalam menentukan
studi masa depan apakah dengan penggabungan 2 agent tersebut dapat
memberikan efek sinergis yang bermanfaat untuk praktik klinis. Uji
meta – analisis tersebut membandingkan asam hyaluronic dengan
kortikosteroid yang menunjukkan pola efikasi atau kemanjuran yang
relative bervariasi dari waktu ke waktu. Dalam jangka pendek (sampai 4
minggu) kortikosteroid tampaknya lebih efektif untuk nyeri. Pada
pendekatan pengobatan yang kedua, memiliki khasiat yang sama dengan
4 minggu setelah memulai pengobatan, akan tetapi dalam 8 minggu dan
seterusnya, produk asam hyaluronat memiliki efek yang lebih besar.
Dalam hal ini asam hyaluronat konsentrasi tinggi mengganti cairan
synovial pada daerah OA sehingga meningkatkan viskositas. Pemberian
terapi ini juga mengembalikan mekanisme penyerapan shock dan
32
kemampuan melumas dari cairan synovial yang sebelumnya habis, serta
mengurangi induksi nyeri (Bannuru, et al., 2009).
d. Injeksi Tanezumab
Dua injeksi tanezumab –antibodi monoclonal yang menghambat
faktor pertumbuhan saraf—selama 8 minggu pada rentang dosis antara
10-200 μg per kilogram menunjukkan pengurangan yang signifikan pada
nyeri di lutut, kekakuan, dan keterbatasan fungsi fisiologis pada pasien
dengan OA lutut. Pengurangan nyeri terjadi pada pasien yang
mengonsumsi tanezumab dosis tinggi (100 atau 200 µg per kilogram)
dibandingkan dengan pasien yang mengkonsumsi dosis lebih rendah
karena tidak tampak keuntungan yang jelas. Secara klinis, keringanan
nyeri sering dideskripsikan sebagai pengurangan intensitas nyeri sekitar
30% dari garis dasar. Pada pemakaian tanezumab, pengurangan nyeri
dapat mencapai 45-62% (Lane, 2010).
e. Terapi bedah
Terapi ini diberikan apabila terapi medikamentosa tidak berhasil
untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila
terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
i. Osteotomi
ii. Artroplasti sendi total
iii. Arthroscospik debridement dan joint lavager(Sudoyo, 2006)
Ada 2 tipe terapi pembedahan :
i. Realignment osteotomi
Permukaan sendi direposisikan dengan cara memotong tulang dan
merubah sudut dari weightbearing. Tujuannya itu untuk membuat
kartilago sendi yang sehat menopang sebagian besar berat tubuh.
Dapat pula dikombinasikan dengan ligament (Thomas, 2003)
ii. Arthroplasty
Permukaan sendi yang arthritis dipindahkan , dan permukaan sendi
yang baru ditanam. Permukaan penunjang biasanya terbuat dati
33
logam yang berada dalam high-density polyethylene (Thomas,
2003)
J. Prognosis
OA tidak dapat diprediksi, tergantung pada sendi yang terlibat dan laju
perkembangan penyakit. Individu dengan OA sering mengalami periode ketika
gejala yang ringan dan periode ketika mereka lebih parah. Jadi untuk prognosis
penyakit OA dapat dibedakan menjadi 2 yaitu (Moskowitz, 2007) :
1. OA memiliki prognosis dubia ad bonam jika :
a. Pola hidup sehat yang diterapkan pada pasien OA,yang meliputi pola
makan dan olahraga kemudian dibantu oleh obat-obat konservatif
untuk mengatasi nyeri dan pada kasus-kasus berat memerlukan
operasi.
b. Prognosis baik untuk pasien dengan OA yang telah menjalani
penggantian sendi, dengan tingkat keberhasilan untuk pinggul dan
lutut artroplasti yang umumnya lebih dari 90%. Namun, prostesis sendi
mungkin perlu revisi 10-15 tahun setelah instalasi, tergantung pada
tingkat aktivitas pasien.
2. OA memiliki prognosis dubia ad malam jika :
a. Problem utama yang sering dijumpai adalah nyeri apabila sendi
tersebut dipakai dan meningkatnya ketidakstabilan bila harus
menanggung beban,terutama pada lutut
b. Pasien OA lutut dengan obesitas mengalami peningkatan rasa nyeri
pada daerah persendian lutut dibandingkan dengan pasien yang tidak
obesitas.
c. Pasien tidak menerapkan pola hidup sehat dan menjaga aktivitasnya.
34
BAB III
KESIMPULAN
1. OA adalah penyakit yang menyerang sendi terutama pada tangan, lutut dan
pinggul
2. Tanda dan gejala pada OA dilihat dari pemeriksaan fisik yaitu adanya hambatan
gerak, krepitasi, pembengkakan sendi, tanda-tanda peradangan, perubahan bentuk
sendi permanen, dan perubahan gaya berjalan.
3. Pemeriksaan radiologi OA ditemukan penyempitan celah sendi yang seringkali
asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban), peningkatan densitas
(sklerosis) tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada pinggir sendi, perubahan
struktur anatomi sendi
4. Pemeriksaan laboratorium kebanyakan tidak ditemukan kelainan, hanya padaOA
yang disertai peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis
ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel peradangan (<2000/µL) dan
peningakatan protein.
5. Penatalaksaanan medika mentosa dengan pemberian obat yang bertujuan untuk
mengurangi rasa sakit yang bersifat anti inflamasi dan non medika mentosa yang
berupa edukasi dan terapi fisik untuk mengurangi rasa sakit.
6. Prognosis OA bersifat kronik, berjalan progesif lambat, tidak meradang, ditandai
dengan deteriorasi, abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada
permukaan persendiaan. Pola hidup sehat yang harus diterapkan pada pasien
osteoartitis,yang meliputi pola makan dan olahraga kemudian dibantu oleh obat-
obat konservatif untuk mengatasi nyeri.
35
DAFTAR PUSTAKA
Bannuru, et al., 2009. Therapeutic Trajectory of Hyaluronic Acid Versus
Corticosteroids in the Treatment of Knee Osteoarthritis: A Systematic
Review and Meta-Analysis. Arthritis & Rheumatism (Arthritis Care &
Research). 61 (12) : 1704 – 1711.
Brashers, Valentina L. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi & Pemeriksaan
Manajemen. Jakarta : EGC.
Buccini, Cynthia K. 2005. Your Aching Knee. (online) Boston : Boston University
Alumni. Diakses di :http://www.bu.edu/bostonia/fall05/knee/ (Diakses
tanggal 22 November 2011).
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
FKUI. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Junquera, Luiz Carlos. Jose Carneiro. 2007. Basic Histology : Text and Atlas 11th
Edition. USA :McGraw Hills.
Kasper, DL, Braunwald E. Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.
2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine 17thEdition. New York :
McGraw-Hill Medical Publishing.
Klippel, JH. 2001. Primer on the rheumatic disease. 12ed. Atlanta:
Arthritisfoundation.
Lane, Nancy E., Thomas J. Schnitzer; Charles A. Birbara; Masoud Mokhtarani;
David L. Shelton; Mike D. Smith; Mark T. Brown. 2010. Tanezumab for the
Treatment of Pain from Osteoarthritis of the Knee. The New England
Journal of Medicine. 363 : 1528-1529
Leeson, C. Roland. Thomas S Leeson. Anthony A Paparo. 1996. Textbook of
Histology. W.B. Saunders Company
Maharani, Eka Pratiwi. 2007. Faktor-faktor Resiko Osteoarthritis Lutut. Tesis,
Program pasca sarjana. Universitas Diponegoro. Semarang
Marieb, Elaine N. Katjha Hoehn. 2011. Human Anatomy and Physiology 7th Edition.
USA : Pearson-Benjamin Cummings.
36
Marks, Dawn B, et all. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar : Sebuah Pendekatan
Klinis. Jakarta : EGC.
Martini, Frederic, Nath. 2009. Fundamentals Of Anatomy & Physiology. USA :
Pearson-Benjamin Cummings.
Moskowitz, Roland; Altmand D. Roy; Hocberg, March; Buck Walter, Joseph.2007.
Osteoarthitis Diagnosis and Medical / Surgical Management.USA : Wolters
Kluwe
Neal J, Michael. 2006. Medical Pharmacology at a Glance. jakarta .Erlangga
Rifhan, Zanurul.2011.Hubungan Antara Waist-Hip Ratio Dengan Derajat Nyeri
Penyakit Osteoartritis Lutut Pada Pasien Di Rsup.H.Adam Malik Medan.
Tesis.Program pasca sarjana. Universitas Sumatera Utara.
Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klini Proses –
Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC. Hal 1380 – 1383.
Putz, R., Pabst, R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta: Tabel Otot, Sendi dan
Saraf Edisi 22. Jakarta: EGC
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Ed.
Joewono Soeroso. Jakarta : Interna Publishing.
Toivane, Arto T. Heliovaara, Markku. Impivaara, Olli. Arokoski, Jari P. A. Knekt,
Paul. Lauren, Hanna. Kroger, Heikki. 2010. Rheumatology. 49:308–314.
Valderrabano, Victor; ChristinaSteiger.2011. Treatment and Prevention of
Osteoarthritis through Exercise and Sports. Journal of Aging Research.2011
: 1-6.
Thomas RH, Daniel TR : Ankle arthritis. J Bone Joint surg Am 85-A;923-936. 2003
Arend, William P, MD.2007.Goldman: Cecil Medicine, 23rd ed.Philadelphia :
Elsevier Saunders
37