73
PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA KARANG DI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA PUTRI PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021 M/1442 H

PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA

KARANG DI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PUTRI

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021 M/1442 H

Page 2: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

i

PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA

KARANG DI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

PUTRI

11160950000017

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021 M/1442 H

Page 3: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

ii

PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA KARANG DI KEPULAUAN SERIBU, DKI

Page 4: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

iii

Page 5: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

iv

Page 6: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

v

ABSTRAK

Putri. Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan Pada Karang di

Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas

Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2021. Dibimbing oleh Lily Surayya Eka Putri dan Seiji Arakaki

Pulau-pulau di Kepulauan Seribu banyak mendapatkan tekanan dari lingkungan

sekitar, baik secara alami maupun faktor antropogenik. Kondisi ini dapat

mempengaruhi kehidupan biota di perairan dan sekitarnya, salah satunya terumbu

karang. Penelitian ini bertujuan menganalisis kondisi terumbu karang dan

prevalensi penyakit serta gangguan kesehatan pada karang di Kepulauan Seribu.

Penelitian dilakukan pada 6 stasiun yaitu Pulau Air (Timur), Semak Daun (Selatan),

Karang Beras (Timur), Kotok Besar (Selatan), Kotok Kecil (Utara) dan Karang

Congkak (Timur) dengan metode Underwater Photo Transect (UPT). Pengambilan

data dilakukan di perairan dangkal dengan kedalaman 3-5 meter, meliputi

pengambilan data life form, genus, penyakit, dan parameter kimia dan fisik. Data

life form terumbu karang diolah menggunakan perangkat lunak CPCe 4.1. Kondisi

tutupan terumbu karang pada stasiun penelitian berada dalam kondisi sedang

hingga baik. Life form yang mendominasi berbeda pada setiap stasiun penelitian

diantaranya foliose, branching, submasif dan masif. Penyakit karang yang

ditemukan pada stasiun penelitian antara lain Black Band Disease (BBD), White

Syndrome (WS), dan Ulcerative White Syndrome (UWS) serta kategori gangguan

kesehatan karang lainnya, yaitu Bleaching (Bl), Pigmentation Response (PR),

Sediment Damage (SD), Predation (Pr), dan Growth Anomalies (GA). Prevalensi

keseluruhan penyakit dan gangguan kesehatan karang yang tertinggi terdapat pada

stasiun Pulau Air (17,99%) dan Kotok besar (17,46%). Sediment damage

merupakan gangguan kesehatan karang yang paling banyak ditemukan di semua

stasiun penelitian. Terdapat hubungan yang lemah antara tutupan karang hidup dan

prevalensi penyakit karang.

Kata kunci: Kepulauan Seribu, penyakit, terumbu karang

Page 7: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

vi

ABSTRACT

Putri. The Prevalence of Coral Disease and Compromised Health in Seribu

Islands, DKI Jakarta. Undergraduated Thesis. Department of Biology, Faculty

of Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah

Jakarta. 2021. Advised by Lily Surayya Eka Putri dan Seiji Arakaki

Seribu Islands receive a lot of pressure from the surrounding environment, both

biological and anthropogenic factors. This condition can affect the life of biota in

the waters and its surroundings, one of which is coral reefs. This study aims to

analyzed the condition of coral reefs and the prevalence of diseases and

compromised health in coral reefs in the Seribu Island. The study was conducted at

6 stations, covering Air Island (East), Semak Daun Island (South), Karang Beras

Island (East), Kotok Besar Island (South), Kotok Kecil Island (North), and Karang

Congkak Island (East) applied the Underwater Photo Transect (UPT). Data were

collected in shallow water with a depth of 3-5 meters. Coral reef lifeform data were

processed used CPCe 4.1 software. The condition of coral reef cover at the research

station is in moderate to good condition. The dominated coral life forms was

different at each research station include foliose, branching, submassive and

massive. Coral diseases found at research stations include Black Band Disease

(BBD), White Syndrome (WS), and Ulcerative White Syndrome (UWS) as well as

other categories of coral compromised health, namely Bleaching (Bl), Pigmentation

Response (PR), Sediment Damage (SD), Predation (Pr), and Growth Anomalies

(GA). The highest overall prevalence of disease and compromised health was found

at Pulau Air (17.99%) and Kotok Besar (17.46%) stations. Sediment damage was

the most common coral disease and compromised health in all research stations.

There was a weak relationship between live coral cover and prevalence of coral

disease.

Keywords: Seribu Island; coral reefs; disease

Page 8: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

kelimpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan dalam

menyusun skripsi yang berjudul “Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan

Pada Karang Di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta” sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana sains pada Program Studi Biologi, Fakultas Sains

dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak atas segala

bimbingan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Segala dukungan

dalam bentuk apapun, baik itu langsung maupun tidak lansung, sangat berarti dalam

proses penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Nashrul Hakiem, M.T., Ph.D selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu adiministrasi untuk

penelitian dan skripsi.

2. Dr. Priyanti, M.Si dan Narti Fitriana, M.Si selaku ketua dan sekretaris

Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah membantu adiministrasi untuk penelitian dan

skripsi.

3. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud selaku pembimbing 1 yang

telah memberikan izin pelaksanaan penelitian telah membimbing saya dalam

menyusun skripsi.

4. Dr. Seiji Arakaki selaku pembimbing 2 yang telah membimbing saya dalam

menyusun skripsi.

5. Orang tua yang telah memberikan dukungan materi dan moril, serta

mendoakan sampai saat ini.

6. Seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian dan penulisan skripsi ini yang

tidak dapat disebutkan satu per satu.

7. Teman-teman Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi banyak dukungan moril

kepada penulis.

Page 9: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

viii

Demikianlah skripsi ini disusun, semoga bermanfaat bagi para pembaca

untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan.

Jakarta, Februari 2021

Penulis

Page 10: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

ix

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................................. iv

ABSTRACT ........................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 2

1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................... 3

1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................. 3

1.5. Kerangka Berpikir .................................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5

2.1. Ekosistem Terumbu Karang ................................................................... 5

2.2. Faktor Pembatas Terumbu Karang ......................................................... 8

2.3. Manfaat Terumbu Karang..................................................................... 10

2.4. Penyakit dan Gangguan Kesehatan Karang .......................................... 11

2.5. Kepulauan Seribu.................................................................................. 13

BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 16

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 16

3.2. Alat dan Bahan ..................................................................................... 16

3.3. Teknik Sampling ................................................................................... 17

3.4. Cara Kerja ............................................................................................. 17

3.4.1. Pengukuran Faktor Kimia dan Fisika Perairan ............................. 17

3.4.2. Pengambilan Data Terumbu Karang ............................................. 17

3.5. Analisis Data ......................................................................................... 18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 20

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ................................................................. 20

4.2. Kondisi Tutupan Terumbu Karang ....................................................... 24

4.3. Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan Pada Karang ............... 29

4.4. Hubungan Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan Karang

dengan Tutupan Karang Hidup .................................................................... 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 38

5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 38

5.2. Saran ..................................................................................................... 38

Page 11: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

x

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39

LAMPIRAN .......................................................................................................... 45

Page 12: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kondisi umum lokasi penelitian ............................................................. 20

Tabel 2. Kondisi Kimia dan Fisik Perairan ........................................................... 22

Tabel 4. Prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan pada karang di stasiun

penelitian ................................................................................................. 30

Page 13: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka bepikir dari penelitian prevalensi penyakit dan gangguan

kesehatan pada karang di Kepulauan Seribu ........................................ 4

Gambar 2. Contoh penyakit dan gangguan kesehatan pada karang. a) brown band

disease; b) pigmentation response (Beeden et al., 2008) ................... 12

Gambar 3. Peta lokasi penelitian ........................................................................... 16

Gambar 4. Ilustrasi metode Underwater Photo Transect (UPT) .......................... 18

Gambar 5. Persentase tutupan karang hidup di stasiun penelitian ........................ 24

Gambar 6. Bentuk pertumbuhan karang hidup di stasiun penelitian .................... 26

Gambar 7. Tutupan substrat dasar di stasiun penelitian ........................................ 28

Gambar 8. Penyakit Ulcerative White Spot pada karang Porites.......................... 32

Gambar 9. Gangguan penyakit karang di stasiun penelitian; a) pigmentation

response dan b) sediment damage pada stasiun penelitian ................ 33

Gambar 10. Hubungan prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan karang

dengan tutupan karang hidup ............................................................. 36

Page 14: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Pengambilan data dan identifikasi menggunakan perangkat lunak

CPCe 4.1 .......................................................................................... 45 Lampiran 2. Penyakit dan gangguan kesehatan pada yang yang ditemukan di

stasiun penelitian .............................................................................. 46 Lampiran 3. Data pada stasiun Pulau Air.............................................................. 47 Lampiran 4. Data pada stasiun Pulau Semak daun ............................................... 49 Lampiran 5. Data pada stasiun Pulau Karang beras .............................................. 51 Lampiran 6. Data pada stasiun Pulau Kotok besar ............................................... 52 Lampiran 7. Data pada stasiun Pulau Kotok kecil ................................................ 55 Lampiran 8. Data pada stasiun Pulau Karang congkak......................................... 57

Page 15: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …
Page 16: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepulauan Seribu terletak di Laut Jawa dan Teluk Jakarta yang terdiri dari

110 gugus-gugus pulau. Secara administrasi, Kabupaten Admininstrasi Kepulauan

Seribu memiliki luas wilayah 8,70 km2, yang terbagi menjadi 2 kecamatan, yaitu

Kepulauan seribu bagian utara dan bagian selatan. Kepulauan Seribu memiliki

karakteristik dan potensi alam yang berbeda dengan wilayah DKI Jakarta lainnya

(BPS Kabupaten Kepulauan Seribu, 2019). Pulau-pulau di Kepulauan Seribu

banyak mendapatkan tekanan dari lingkungan sekitar, baik secara alami maupun

faktor antropogenik. Kondisi ini dapat mempengaruhi kehidupan biota di perairan

dan sekitarnya, salah satunya terumbu karang (Dedi & Arifin, 2017).

Kondisi terumbu karang yang buruk dapat dipengaruhi oleh aktivitas manusia

dan perubahan iklim (Hadi et al., 2018). Peruntukan Kepulauan Seribu mengalami

perubahan, yang awalnya untuk pemukiman, perikanan dan pertambangan,

ditambah menjadi kawasan konservasi dan pariwisata (Estradivari, Setyawan, &

Yusri, 2009). Perubahan tersebut meningkatkan aktivitas manusia di sekitar

Kepulauan Seribu yang dapat menyebabkan pertumbuhan karang keras terganggu

bahkan rusak. Meningkatnya aktivitas pariwisata yang tidak mengedepankan

kondisi lingkungan serta penambatan jangkar nelayan dilokasi snorkeling atau

diving diduga dapat berdampak cukup signifikan pada karang keras (Hadi et al.,

2018; Latuconsina, 2019). Konsekuensi dengan meningkatnya aktivitas manusia di

wilayah pesisir sehingga mengganggu kesehatan lautan (Hetherington et al., 2005).

Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat

memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma

nutfah. Keberadaan terumbu karang dari tahun ke tahun mengalami kemunduran,

yaitu terjadi kerusakan yang mengkhawatirkan sehingga menimbulkan penyusutan

dalam jumlah kuantitas dan kualitas. Kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu

beberapa dekade terakhir dan berdasarkan data tahun 2005 dan 2007, pulau-pulau

yang terletak di Teluk Jakarta memiliki kekayaan karang keras yang sangat terbatas.

Page 17: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

2

Penelitian tutupan karang keras di beberapa pulau di Kepulauan Seribu

menunjukkan kondisi terumbu karang dengan kategori sedang hingga buruk

(Banata, 2015; Tanzil, 2018; Utami, 2018). Rendahnya persentase karang keras

dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor lingkungan, biologis maupun

antropogenik. Ketiga faktor ini memiliki keterkaitan satu sama lain. Penyakit

karang merupakan dampak yang dapat ditimbulkan dari berbagai faktor tersebut

dan salah satu ancaman utama yang dapat menyebabkan kematian karang secara

cepat dan masal (Estradivari et al., 2009; Giyanto et al., 2017)

Penyakit karang dapat timbul dikarenakan adanya hubungan antara patogen,

lingkungan dan hewan karang (Sabdono, 2008). Penelitian mengenai prevalensi

penyakit karang di Kepulauan Seribu telah dilakukan oleh Johan, Kristanto,

Haryadi, & Radiarta (2014) tentang puncak prevalensi Black Band Disease dengan

melakukan survei kondisi terumbu karang di beberapa pulau berdasarkan jarak

lokasi penelitian dengan Teluk Jakarta dengan metode belt transect. Penelitian

lainnya mengenai kondisi kesehatan pada karang dilaporkan oleh Dedi & Arifin

(2017) tentang prevalensi beberapa penyakit dan gangguan kesehatan pada karang

di pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta yang mencakup Pulau Bokor, Pulau Lancang

Kecil, Pulau Kongsi, Pulau Burung dan Pulau Pari. Diantaranya ditemukan

penyakit seperti skeletal eroding band, brown band disease, white syndrome, dan

lain-lain.

Seiring dengan adanya perubahan iklim dan meningkatnya aktivitas manusia,

perairan semakin banyak menerima buangan limbah dan faktor antropogenik

lainnya yang dapat meningkatkan kerusakan pada terumbu karang dan timbulnya

penyakit-penyakit karang yang lain. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian

mengenai penyakit karang untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang

dan sebagai monitoring dan salah satu upaya pemantauan dalam pengambilan

tindakan pengelolaan.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1) Bagaimana kondisi terumbu karang di perairan Kepulauan Seribu?

Page 18: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

3

2) Bagaimana prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan pada karang di

perairan Kepulauan Seribu?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Memperoleh data kondisi terumbu karang di perairan Kepulauan Seribu

2) Memperoleh data prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan pada karang

di perairan Kepulauan Seribu

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan

data ilmiah terkait kondisi terumbu karang dan prevalensi penyakit serta gangguan

kesehatan karang di perairan Kepulauan Seribu serta sebagai salah satu upaya

pemantauan dalam pengambilan tindakan pengelolaan.

Page 19: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

4

1.5. Kerangka Berpikir

Adapun kerangka berpikir pada penelitian ini sebagai berikut :

Gambar 1. Kerangka bepikir dari penelitian prevalensi penyakit dan gangguan

kesehatan pada karang di Kepulauan Seribu

Aktivitas di

Kepulauan Seribu

Kerusakan pada

terumbu karang

Adanya faktor

lingkungan dan

biologis

Timbulnya penyakit dan

gangguan kesehatan pada

karang

Identifikasi bentuk

pertumbuhan terumbu

karang (lifeform)

Informasi kondisi, prevalensi

penyakit dan gangguan kesehatan

karang di Kepulauan Seribu

Identifikasi penyakit

dan gangguan kesehatan

karang

Analisis data

Page 20: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang adalah suatu ekosistem yang terdiri dari hewan, tumbuhan,

ikan, kerang dan biota lainnya yang terdapat di kawasan tropis yang memerlukan

intensitas cahaya matahari untuk hidup. Kondisi yang paling baik untuk

pertumbuhan karang di suatu perairan adalah yang mempunyai kedalaman 15 – 20

meter, bahkan ia juga dapat hidup pada kedalaman 60 - 70 meter dengan

perkembangan yang tidak sempurna (Dahuri, 2003). Satu individu karang diwakili

oleh satu polip yang tersusun oleh saluran pencernaan yang sederhana dan tiga

lapisan tubuh. Seluruh jaringan karang polip didukung oleh kerangka kapur yang

merupakan hasil sekresi hewan karang (Giyanto et al., 2017).

Karang merupakan hewan hidup filum Invertebrata seperti halnya ubur-ubur,

yang dikenal sebagai Cnidaria. Karang yang terkecil disebut polip. Ukuran polip

bervariasi, yaitu kurang dari 1 mm hingga 15 cm lebih. Sebagian besar karang hidup

berkoloni yang terdiri atas ribuan polip dalam sebuah struktur karang. Namun ada

pula jenis karang yang hidup soliter sebagai polip tunggal. Karang menggunakan

kalsium dan molekul karbonat dari air laut untuk membentuk kerangkanya. Alga

berukuran mungil yang disebut Zooxanthellae atau alga simbiotik, tumbuh di dalam

struktur karang. Keberadaan Zooxanthellae dalam struktur karang membuat karang

tampak berwarna dan memberinya energi untuk tumbuh. Zooxanthellae tumbuh

pada sel-sel dalam jaringan karang. Simbiosis Zooxanthellae dengan karang

memiliki keuntungan yaitu: Zooxanthellae memberi energi sebesar 98% pada

karang dari hasil fotosintesis berupa asam amino, gula dan oksigen yang digunakan

untuk pertumbuhan dan reproduksi karang (Suharsono, 2008).

Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang

Acropora dan non-Acropora. Perbedaan Acropora dengan non-Acropora terletak

pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan

radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit (English et

al., 1994).

Page 21: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

6

1) Non-Acropora

a. Bentuk Bercabang (Coral Branching), memiliki cabang lebih panjang daripada

diameter yang dimiliki. Banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian

atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka. Banyak

memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu.

b. Bentuk Padat (Coral Massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk

seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya

ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu.

c. Bentuk Kerak (Coral Encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan

permukaan yang kasar dan keras serta berlubang- lubang kecil, banyak terdapat

pada lokasi yang terbuka dan berbatu- batu, terutama mendominasi sepanjang

tepi lereng terumbu. Memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil

yang sebagian tubuhnya tertutup cangkang.

d. Bentuk lembaran (Coral Foliose), merupakan lembaran-lembaran yang

menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau

melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah- daerah yang terlindung.

Memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain.

e. Bentuk Jamur (Coral Mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur,

memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat

mulut.

f. Bentuk submasif (Coral Submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan- tonjolan

atau kolom-kolom kecil.

g. Karang api (Millepora), semua jenis karang api dapat dikenali dengan adanya

warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh.

h. Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada

rangkanya.

2) Acropora

a. Acropora bentuk cabang (Acropora Branching), bentuk bercabang seperti

ranting pohon.

b. Acropora meja (Acropora Tabulate), bentuk bercabang dengan arah mendatar

dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau

bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.

Page 22: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

7

c. Acropora merayap (Acropora Encrusting), bentuk merayap, biasanya terjadi

pada Acropora yang belum sempurna.

d. Acropora submasif (Acropora Submassive), percabangan bentuk gada/lempeng

dan kokoh.

e. Acropora berjari (Acropora Digitate), bentuk percabangan rapat dengan cabang

seperti jari-jari tangan.

Terumbu karang adalah ekosistem yang rentan dan mudah rusak. Terdapat

dua faktor yang dapat merusak terumbu karang diantaranya:

1) Faktor Alam

Karang merupakan organisme yang rentan terhadap perubahan lingkungan.

Faktor-faktor alam yang potensial mengganggu karang adalah predator, kompetitor

dan bioerosi, dan penyakit. Salah satu faktor utama yang menyebabkan karang

rusak adalah keberadaan predator yang mampu merusak koloni terumbu karang dan

memodifikasi struktur karang. Acanthaster planci (bintang laut berduri atau bulu

seribu) merupakan bintang laut bertangan banyak yang berukuran sangat besar

memakan jaringan karang hidup dan mampu merusak seluruh koloni-koloni karang.

Bencana alam juga dapat menyebabkan kerusakan massal pada karang, seperti

badai tropis, banjir, gelombang pasang (tsunami), aktivitas gunung api dan gempa

bumi.

2) Faktor Manusia

Kegiatan manusia dapat menyebabkan kerusakan pada karang, baik langsung

maupun tidak langsung , seperti sedimentasi, eutrifikasi , pencemaran minyak dan

kegiatan konstruksi dan pebangunan serta pemboman. Pembangunan pesisir untuk

perumahan, resort, hotel, industri, pelabuhan dan pembangunan marina seringkali

menyebabkan terjadinya reklamasi daratan dan pengerukan tanah. hal ini dapat

meningkatkan sedimentasi sehingga meningkatkan kerusakan karang. Peledak

seberat 0,5 kg yang diledakkan pada dasar terumbu karang yang menyebabkan

karang pada radius 3 m dari pusat ledakan hancur. Ikan pada radius 10 m dari pusat

ledakan jatuh/mati. Bahan yang digunakan untuk membuat bom sangat bervariasi

antara lain: mesin dari bahan bom dan pupuk yang berasal dari jenis pupuk urea

dengan kandungan Nitrogen yang tinggi, sedangkan alat yang digunakan yaitu botol

plastik (Afni, 2017). Sampah yang semakin banyak di perairan juga menjadi salah

Page 23: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

8

satu penyebab kerusakan karang. Ekosistem terumbu karang telah terkontaminasi

oleh sampah yang berasal dari aktifitas manusia (Assuyuti, Zikrillah, Tanzil,

Banata, & Utami, 2018).

Kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan terumbu karang

hidup mengacu pada Keputusan Menteri LH No. 4 tahun 2001 sebagai berikut

(Menteri Lingkungan Hidup, 2001):

a. Baik Sekali : 75 - 100%

b. Baik : 50 - 74,9%

c. Sedang : 25 - 49,9%

d. Buruk : 0 - 24,9%

2.2. Faktor Pembatas Terumbu Karang

Terumbu karang tidak dapat hidup di air tawar atau muara ataupun hidup

disemua tempat, akan tetapi hidup di perairan laut. Ada beberapa faktor pembatas

yang membatasi penyebaran karang, yaitu:

a. Up welling

Akibat dinamika massa air yang disebabkan oleh arus, kondisi batimetri dan

faktor-faktor lain menyebabkan fenomena up welling. Arus up welling ini

membawa massa air dingin dari lapisan bawah ke lapisan

substat terumbu karang (Santoso & Kardono, 2008).

b. Cahaya Matahari

Cahaya yang cukup harus tersedia untuk fotosintesis Zooxanthellae simbiotik

dalam jaringan karang dapat terlaksana dengan baik. Tanpa cahaya yang cukup, laju

fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk

menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula.

Titik kompensasi untuk karang ialah kedalaman, intensitas cahaya berkurang

sampai 15 – 20% dari intensitas di permukaan (Nybakken, 1998).

c. Salinitas

Salinitas merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air

laut daerah tropis rata-rata sekitar 35 ‰ dan binatang karang hidup subur pada

salinitas 34-36 ‰. Perairan pantai akan terus menerus mengalami pemasukan air

tawar secara teratur dari aliran sungai, sehingga salinitasnya berkurang yang akan

Page 24: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

9

mengakibatkan kematian terumbu karang, yang juga membatasi sebaran karang

secara lokal (Nybakken, 1998; Supriharyono, 2007).

d. Suhu

Perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang ratarata

suhu tahunannya 23-35°C. Perairan yang terlalu panas juga tidak baik untuk karang.

Batas atas suhu bervariasi, tetapi biasanya antara 30 - 35°C (86 sampai 95°F). Salah

satu tanda karang mengalami stress karena suhu yang terlalu tinggi adalah karang

mengalami pemutihan (coral bleaching) dan karang mengeluarkan

Zooxanthellae dari tubuhnya (Castro & Huber, 2005).

e. Sedimentasi

Terumbu karang sangat sensitif terhadap sedimentasi, akibatnya terumbu

karang tidak lagi ditemukan pada daerah yang terlalu banyak pemasukan air tawar

yang membawa banyak endapan lumpur meskipun keadaan lingkungannya cukup

baik. Kebanyakan hewan karang tidak dapat bertahan karena adanya endapan yang

menutupinya sehingga menyumbat struktur pemberian makanannya. Endapan juga

menyebabkan kurangnya cahaya matahari yang dibutuhkan untuk fotosintesis,

sehingga akan menyebabkan kematian bagi karang (Supriharyono, 2000).

f. Arus

Proses pertumbuhan karang memerlukan arus. Gelombang yang kuat tidak

akan merusak koloni karang dengan kerangka-kerangka yang padat dan masif.

Gelombang laut memberikan sumber air yang bagus, memberi oksigen dalam air

laut dan menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang. Gelombang juga

memberi plankton yang baru bagi koloni karang (Nybakken, 1998). Gelombang

yang cukup kuat menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang. Struktur

terumbu karang mampu bertahan dari gelombang besar khususnya struktur terumbu

karang yang masif (Rachmawati, 2001).

g. Nutrien

Kebanyakan terumbu karang tumbuh di perairan dengan sedikit nutrien. Pada

perairan rendah nutrien, alga tidak tumbuh dengan cepat dan tetap terkontrol. Hal

ini menjadikan karang tetap mendapatkan ruang dan cahaya. Perairan yang

memiliki nutrien yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman dan alga

di perairan tersebut akan meningkat. Terumbu karang dapat dipengaruhi oleh

Page 25: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

10

peningkatan pertumbuhan alga karena meningkatnya nutrient anorganik. Alga

khususnya makroalga berkompetisi dengan terumbu karang pada substrat bahkan

dapat menyebabkan tertutupnya koloni karang dan menyebabkan kematian karang

(Castro & Huber, 2005).

2.3. Manfaat Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang mempunyai banyak manfaat. Manfaatnya tidak

hanya berasal dari terumbu karang, tetapi juga dari berbagai macam penyusun

ekosistem yang berkaitan erat dengan hewan karang dalam hubungan yang

fungsional dan harmonis. Menurut Amin (2009), terumbu karang dapat

diklasifikasikan menurut fungsinya, yaitu:

a. Fungsi pariwisata

Terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan

sangat produktif, dengan bentuk dan warna yang beraneka ragam. Keindahan

karang, kekayaan biologi dan kejernihan airnya membuat kawasan terumbu karang

terkenal sebagai tempat rekreasi. Skin diving atau snorkeling, SCUBA dan fotografi

adalah kegiatan yang umumnya untuk menikmati terumbu karang.

b. Fungsi perikanan

Terumbu karang merupakan tempat tinggal ikan-ikan karang yang harganya

mahal, sehingga nelayan menangkap ikan di kawasan terumbu karang. Jumlah

panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang secara lestari di seluruh

dunia mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12% dari jumlah tangkapan perikanan

dunia.

c. Fungsi perlindungan pantai

Jenis terumbu karang yang berfungsi untuk melindungi pantai adalah terumbu

karang tepi dan penghalang. Jenis terumbu karang ini berfungsi sebagai pemecah

gelombang alami yang melindungi pantai dari erosi, banjir pantai, dan peristiwa

perusakan lainnya yang diakibatkan oleh fenomena air laut. Terumbu karang juga

memberikan kontribusi untuk akresi (penumpukan) pantai dengan memberikan

pasir untuk pantai dan memberikan perlindungan terhadap desa-desa dan

infrastruktur seperti jalan dan bangunan-bangunan lainnya yang berada di

Page 26: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

11

sepanjang pantai. Apabila dirusak, maka diperlukan milyaran rupiah untuk

membuat penghalang buatan yang setara dengan terumbu karang.

d. Fungsi biodiversitas

Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas dan keanekaragaman

jenis biota yang tinggi. Keanekaragam hidup di ekosistem terumbu karang per unit

area sebanding atau lebih besar dibandingkan dengan hal yang sama di hutan tropis.

Terumbu karang ini dikenal sebagai laboratorium untuk untuk ilmu ekologi. Potensi

untuk bahan obat-obatan, anti virus, anti kanker dan penggunaan lainnya sangat

tinggi.

2.4. Penyakit dan Gangguan Kesehatan Karang

Penyakit karang adalah suatu gangguan yang terjadi pada karang yang

mengakibatkan kegagalan fungsi karang secara fisiologis (Raymundo, Couch,

Bruckner, & Harvell, 2008). Penyakit karang juga didefinisikan sebagai sesuatu

kegagalan fungsi vital hewan karang, organ, atau sistem, termasuk interupsi,

penghentian pertumbuhan dan perkembangbiakan, atau kegagalan fungsi lain,

penyebabnya bisa berasal dari sumber biotik atau abiotik (Stedman’s Medical

Dictionary, 1982 dalam Johan, 2010). Penyakit yang disebabkan oleh faktor biotik,

agen etiologinya adalah makhluk hidup seperti patogen atau parasit. Terjadinya

disfungsi melibatkan interaksi antara inang, agen, lingkungan dan genetik. Definisi

ini mencakup baik penyakit menular (infectious) maupun penyakit tidak menular

(non-infectious). Istilah sindrom juga sinonim dengan penyakit. Penyakit menular

diakibatkan oleh pathogen sedangkan penyakit tidak menular disebabkan oleh

mutasi genetik, malnutrisi, dan/atau faktor lingkungan (Weil dan Rogers dalam

Dubinsky et al., 2011). Inang merupakan organisme yang dipengaruhi oleh

penyakit contohnya seperti karang hexacoral atau octocoral. Agen penyakit

merupakan faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat

menyebabkan penyakit. Agen yang menular mampu menyebabkan infeksi dan

dapat menular antar inang. Lingkungan merupakan faktor ketiga yang merupakan

tahap dimana interaksi antara inang dan agen terjadi (Dubinsky & Stambler, 2011)

Penyebab munculnya penyakit karang dapat disebabkan oleh patogen,

cekaman lingkungan, atau gabungan dari faktor biotik dan abiotik. Penyakit biotik

Page 27: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

12

disebabkan oleh mikroorganisme patogenik seperti virus, bakteri, fungi, dan

protista dan pada umumnya spesifik pada suatu spesies dan menular. Penyakit

abiotik terjadi sebagai akibat stress lingkungan alami maupun karena perbuatan

manusia termasuk perubahan pada kondisi ambien atau paparan polutan

(Sutherland, Porter, & Torres, 2004). Sementara karang sehat adalah suatu kondisi

hewan karang di mana fungsi anggota tubuhnya dapat berfungsi secara optimal

tanpa adanya penyakit atau keadaan yang tidak normal (Johan, 2010).

Penyakit pada karang memiliki jenis yang banyak dengan ciri-ciri yang juga

beragam diantaranya Skeletal Eroding Band (SEB), Black Band Disease (BBD),

Brown Band Disease (BrBD), White Syndrome (WS), predation, Ulcerative White

Spots (UWS) dan lain-lain. Sedangkan gangguan kesehatan karang lainnya adalah

pigmentation response, aggressive overgrowth, growth anomalies, sediment

damage, dan flatworm infestation.

Gambar 2. Contoh penyakit dan gangguan kesehatan pada karang. a) brown band

disease; b) pigmentation response (Beeden et al., 2008)

Prevalensi merupakan persentase jumlah koloni yang terinfeksi penyakit

dengan jumlah total koloni karang pada suatu perairan (Raymundo et al., 2008).

Sifat karang yang sesil membuat karang tidak bisa menghindar dari perubahan

lingkungan sekitar terutama pada karang yang memiliki bentuk lembaran yang

lebih mudah menampung bahan dari laut. Karang berada di dasar laut, sehingga

karang mudah sensitif dengan perubahan sekitar. Keadaan tersebut menyebabkan

karang rentan terhadap penyakit (Hamdani, 2014).

a

a

b

a

Page 28: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

13

2.5. Kepulauan Seribu

Kepulauan Seribu berada di posisi geografis antara 106° 20’ 00’’ BT hingga

106° 57’ 00’’ BT dan 5° 10’ 00’’ LS hingga 5° 57’ 00’’ LS, terdiri dari gugus-gugus

pulau terbentang vertikal dari teluk Jakarta hingga ke utara yang berujung di Pulau

Sebira (Estradivari et al., 2009). Kepulauan Seribu sebelumnya merupakan

kecamatan yang menjadi bagian dari Kota Administrasi Jakarta Utara. Tetapi,

melalui UU No.34/1999 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Negara RI, Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten Administrasi dan terpisah dari

Kota Administrasi Jakarta Utara. Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki luas

daratan 8.70 km2 atau 870 ha dan luas total (daratan dan perairan) mencapai 11.8

km2 atau 1,180.8 ha yang terbagi menjadi 6 kelurahan, dan 2 kecamatan, dengan

110 pulau. Secara administrasi dan Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta, wilayah

Kepulauan Seribu. yang menjadi pulau pemukiman hanya terdapat 11 pulau dengan

total luas pulau pemukiman mencapai 230.22 ha (Bahri, Hamdani, & Wibowo,

2017).

Letak Kepulauan Seribu yang berada di Laut Jawa dan Teluk Jakarta

merupakan suatu wilayah dengan karakteristik dan potensi alam yang berbeda

dengan wilayah DKI Jakarta lainnya. Wilayah ini pada dasarnya merupakan

gugusan pulau-pulau terumbu karang yang terbentuk dan dibentuk oleh biota koral

dan biota asosiasinya (algae, moluska, foraminifera dan lain-lain) dengan bantuan

proses dinamika alam. Sesuai dengan karakteristik tersebut dan kebijaksanaan

pembangunan DKI Jakarta, maka pengembangan wilayah Kepulauan Seribu

diarahkan terutama untuk meningkatkan kegiatan pariwisata, meningkatkan

kualitas kehidupan masyarakat nelayan melalui peningkatan budidaya laut, dan

pemanfaatan sumber daya perikanan dengan konservasi ekosistem terumbu karang

dan mangrove (BPS Kabupaten Kepulauan Seribu, 2019)

Tipe iklim di Kepulauan Seribu adalah tropika panas dengan suhu maksimum

mencapai 32 °C dan suhu minimum 21 °C, sementara suhu rata-rata mencapai 27

°C. Kelembaban udara rata-rata 80% dan termasuk sistem musim ekuator yang

cenderung dipengaruhi oleh variasi tekanan udara. Pada November hingga April

berlangsung musim hujan dengan hari hujan berkisar antara 10 sampai 20 hari per

bulan. Sementara musim kemarau terjadi pada Mei hingga Oktober dengan 4-10

Page 29: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

14

hari hujan per bulan. Mengacu pada data tahun 2000, curah hujan bulanan di

Kepulauan Seribu tercatat rata-rata 142,54 mm dengan curah hujan terendah pada

Juni (0 mm) dan tertinggi pada September (307 mm) (Estradivari et al., 2009).

Kondisi pasang surut di Kepulauan Seribu dapat dikategorikan sebagai harian

tunggal. Kedudukan air tertinggi dan terendah adalah 0,6 m dan 0,5 m dibawah

duduk tengah. Rata-rata ketinggian air pada pasang perbani adalah 0,9 m dan rata-

rata ketinggian air pada pasang mati adalah 0,2 m. Ketinggian air tahunan terbesar

mencapai 1,10 m. Melalui beberapa pengukuran di sejumlah lokasi dalam waktu

yang berbeda, kecepatan arus di Kepulauan Seribu berkisar 0,6 cm/detik hingga

77,3 cm/detik. Kecepatan arus dipengaruhi kuat oleh angin dan sedikit pasang surut.

Arus permukaan pada musim barat berkecepatan maksimum 0,5 m/detik dengan

arah ke timur sampai tenggara. Pada musim timur kecepatan maksimumnya 0,5

m/detik. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai ketinggian

antara 0,5-1,175 m dan musim timur 0,55–1,0 m (Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu, 2005).

Suhu air permukaan di Kepulauan Seribu pada musim barat berkisar antara

28,5° C–30,0° C. Pada musim timur suhu air permukaan antara 28,5° C–31,0° C.

Hal tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada fluktuasi yang nyata antara musim

barat dengan musim timur. Salinitas berkisar antara 30‰ - 34‰ baik pada musim

barat maupun pada musim timur. Beberapa parameter kualitas air laut menunjukkan

ada yang melampaui baku mutu pada lokasi tertentu, seperti Cu, Cd, dan Hg,

diantaranya merupakan perairan pulau-pulau berpenghuni seperti Pulau Tidung,

Pulau Pari, Pulau Panggang, Pulau Pramuka, dan Pulau Kelapa (LAPI-ITB, 2001).

Salah satu arahan pengembangan wilayah Kepulauan Seribu adalah

peningkatan kegiatan pariwisata. Namun bagi pemerintah daerah dan masyarakat

setempat kegiatan pariwisata belum memberi kontribusi yang berarti. Eksploitasi

perairan laut seperti perikanan, pertambangan dan transportasi laut bahkan

menimbulkan dampak lingkungan yang merusak. Misalnya, penangkapan ikan

menggunakan bahan beracun atau bahan peledak merusak lingkungan perairan dan

terumbu karang (BPS Kabupaten Kepulauan Seribu, 2019).

Pariwisata merupakan sektor ekonomi penting bagi Kepulauan Seribu.

Banyak orang yang datang ke Kepulauan Seribu untuk berwisata. Berdasarkan

Page 30: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

15

gugusan pulau-pulau di Kepulauan Seribu yang berjumlah 110 pulau, tidak semua

pulau yang merupakan pulau wisata. Pulau-pulau wisata di Kepulauan Seribu

dibagi menjadi pulau wisata umum yang berjumlah 45 pulau, pulau bersejarah 4

pulau, pulau cagar alam 2 pulau, dan pulau resort berjumlah 10 pulau. Bagi yang

menyukai puing-puing bangunan tua, bisa mengunjungi Pulau Damar dan Pulau

Onrust. Wisata yang menjadi andalan adalah wisata bahari, baik itu menikmati

pemandangan laut, maupun melakukan aktivitas seperti menyelam, snorkeling,

maupun memancing. Penyelaman banyak dilakukan di beberapa daerah seperti

Pulau Semak Daun, Pulau Karang Congkak, Karang Kroya, Karang Pilang, Pulau

Pramuka, Pulau Kotok, Karang Bongkok, Pulau Opak, Pulau Kaliage, Pulau Semut,

Pulau Petondan Timur, Pulau Petondan Barat, Pulau Sepa, dan Gosong Laga

(TNKpS, 1999 dalam Estradivari et al., 2009).

Page 31: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

16

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Agustus 2019 di beberapa pulau di

Kepulauan Seribu yang termasuk dalam tiga zona yang berbeda diantaranya Pulau

Air (Timur), Semak Daun (Selatan), Karang Beras (Timur), Kotok Besar (Selatan),

Kotok Kecil (Utara) dan Karang Congkak (Timur).

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan antara lain SCUBA (Self Contained Underwater

Breathing Apparatus), alat tulis, Global Positioning System (GPS), DO meter, pH

meter, hand refractometer, termometer, roll meter, frame persegi yang dibuat dari

pipa dengan ukuran 1x1 m, dan kamera digital bawah air.

Page 32: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

17

3.3. Teknik Sampling

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode

pengambilan data yang digunakan adalah Underwater Photo Transect (UPT) atau

Transek Foto Bawah Air. Pada setiap stasiun penelitian dilakukan pengambilan data

sebanyak 5 titik dengan jarak antar titik sejauh 10 meter. Setiap titik dibentangkan

transek sepanjang 7 meter dengan peletakkan frame persegi pada setiap meternya.

Pengambilan gambar pada frame berukuran 50x50 cm untuk life form dan 1x1 m

untuk penyakit karang.

3.4. Cara Kerja

3.4.1. Pengukuran Faktor Kimia dan Fisika Perairan

Pengambilan data faktor kimia dan fisika perairan meliputi temperatur, pH,

DO dan salinitas. Suhu perairan diukur menggunakan termometer, tingkat

keasaman (pH) diukur menggunakan pH meter, DO diukur menggunakan DO

meter, dan salinitas diukur menggunakan hand refractometer. Pengambilan faktor

kimia dan fisika dilakukan satu kali pada setiap stasiun penelitian.

3.4.2. Pengambilan Data Terumbu Karang

Data terumbu karang yang diambil meliputi bentuk pertumbuhan (lifeform)

karang, genus dan penyakit serta gangguan kesehatan karang. Metode Underwater

Photo Transect (UPT) atau Transek Foto Bawah Air dilakukan di perairan dangkal

dengan kedalaman berkisar antara 3-4 meter dengan 5 titik pengambilan data pada

setiap stasiun. Pengambilan data dilakukan dengan membentangkan transek

sepanjang 7 meter di kedalaman yang telah ditentukan. Kemudian dilakukanan

peletakkan frame persegi pada setiap meternya. Selanjutnya dilakukan

pengambilan foto pada frame. Langkah-langkah tersebut dilakukan pada setiap titik

di semua stasiun penelitian.

Page 33: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

18

Gambar 4. Ilustrasi metode Underwater Photo Transect (UPT) (Giyanto et al.,

2014)

3.5. Analisis Data

Data terumbu karang yang telah diperoleh diidentifikasi dan diolah dengan

menggunakan perangkat lunak CPCe 4.1 untuk bentuk pertumbuhan (lifeform)

terumbu karang, sedangkan genus dan penyakitnya diidentifikasi secara visual

berdasarkan buku Coral of the world (Veron, 2002), buku panduan Underwater

Cards for Assessing Coral Health on Indo-Pacific Reefs (Beeden et al., 2008) dan

Coral Disease Handbook (Raymundo et al., 2008). Analisis regresi dan korelasi

digunakan untuk mengetahui hubungan antara parameter kimia fisika dengan

tututpan karang hidup menggunakan Microsoft Excel.

Untuk mendapatkan data-data kuantitatif berdasarkan foto-foto bawah air

yang dihasilkan dari metode UPT, analisis data dilakukan terhadap setiap frame

dengan cara melakukan pemilihan sampel titik acak. Teknik ini digunakan dengan

menentukan banyaknya titik acak (random point) yang dipakai untuk menganalisis

foto. Jumlah titik acak yang digunakan adalah sebanyak 30 buah untuk setiap

framenya. Jumlah tersebut sudah representatif untuk menduga persentase tutupan

kategori dan substrat. Berdasarkan proses analisis foto yang dilakukan terhadap

setiap frame foto yang dilakukan, maka dapat diperoleh nilai persentase tutupan

kategori untuk setiap frame dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Giyanto,

2013):

𝐾𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛

𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑐𝑎𝑘 x 100%

Page 34: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

19

Prevalensi penyakit karang diketahui dengan membandingkan jumlah koloni

karang yang terserang suatu jenis penyakit dibagi dengan jumlah total koloni yang

sehat dan terserang penyakit kemudian dikali 100% dengan rumus menurut Muller

dan Van Woesik (2011) sebagai berikut:

𝑃 = 𝑃𝑖

𝑃0 × 100%

Keterangan:

P = Persentase Prevelensi

Pi = Jumlah Koloni karang yang terserang penyakit

Po = Total koloni

Page 35: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

20

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian

a) Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki luas daratan 8,70 km2 atau 870 ha dan

luas total (daratan dan perairan) mencapai 11,8 km2 atau 1180,8 ha yang terbagi

menjadi 6 kelurahan, dan 2 kecamatan, dengan 110 pulau (BPS Kabupaten

Kepulauan Seribu, 2019). Seluruh stasiun penelitian terletak di Kecamatan

Kepulauan Seribu Utara, kecuali Pulau Karang Beras yang terletak di bagian

Selatan. Masing-masing stasiun penelitian memiliki kondisi yang berbeda (Tabel

1). Perbedaan tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi

lingkungan sekitar pulau.

Tabel 1. Kondisi umum lokasi penelitian (Dinas Penataan Kota, 2014; Putri &

Kristiyanto, 2018)

Stasiun Pengelola Zonasi Sub Zona Kegiatan

Pulau Air Pribadi Kawasan luar

TNKpS

Zona

perdagangan

dan jasa

-Wisata air

-Penginapan

-Area

perkemahan

Pulau Semak

Daun Pribadi Pemukiman

Zona terbuka

hijau

budidaya

-Wisata air

-Area

perkemahan

- Sea farming

Pulau Karang

Beras Pribadi

Kawasan luar

TNKpS

Zona

perdagangan

dan jasa

-Wisata air

-Pendopo

Pulau Kotok

Besar Pribadi

Pemanfaatan

wisata

Zona

perdagangan

dan jasa

-Wisata air

-Konservasi

Elang Bondol

-Penginapan

-Restoran

Pulau Kotok

Kecil Pribadi

Pemanfaatan

wisata

Zona terbuka

hijau

budidaya

-Wisata air

-Penginapan

Pulau Karang

Congkak

Pemerintah

Provinsi Pemukiman

Zona terbuka

hijau

budidaya

-Wisata air

-Area

perkemahan

Page 36: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

21

Kepulauan Seribu diperuntukkan untuk pemukiman, perikanan,

pertambangan, kawasan konservasi dan pariwisata. Pada tahun 2002, Kepulauan

Seribu ditetapkan sebagai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS). Kawasan

TNLKpS terbagi ke dalam 4 zona, yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona

Pemanfaatan Wisata, dan Zona Pemukiman. Pulau Air yang berada di luar kawasan

TNKpS dijadikan sebagai daerah penyangga. Daerah penyangga berfungsi

melindungi keberadaan taman nasional beserta ekosistemnya terhadap gangguan

dari luar kawasan yang dapat membahayakan kelestarian potensi di dalam kawasan

TNKpS (Yulianda et al., 2017). Hanya Pulau Karang Congkak yang dikelola oleh

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sedangkan pulau lainnya dikelola secara pribadi

oleh perorangan atau perusahaan. Dengan adanya fasilitas yang menunjang

kegiatan di pulau-pulau tersebut, terdapat beberapa kekurangan seperti keterbatasan

air tawar di Pulau Air, Karang Beras dan Karang Congkak. Air tawar biasanya

didapatkan di pulau sekitar yang berpenduduk.

Pembagian zonasi berdasarkan dari sumber daya alam yang terdapat di pulau-

pulau tersebut. Meskipun Pulau Semak Daun dan Karang Congkak termasuk ke

dalam zona pemukiman, namun pulau tersebut merupakan pulau yang tidak

berpenghuni. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 juga membagi pulau-pulau di

Kepulauan Seribu menjadi beberapa sub zona. Sub zona ditujukan guna pengaturan

dan pengendalian pemanfaat tata ruang dan pelaksanaan kegiatan yang yang

diadakan di pulau tersebut.

b) Kondisi Kimia dan Fisik Perairan

Parameter kimia dan fisika perairan yang diambil meliputi suhu, DO, salinitas

dan pH. Suhu yang diperoleh berkisar 29,8-33,4 °C, nilai DO berkisar 7,5-12,5

(mg/l), salinitas memiliki nilai antara 35-43 ‰ dan nilai pH antara 6,25-7,22. Data

secara lengkap disajikan pada Tabel 2.

Page 37: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

22

Tabel 2. Kondisi Kimia dan Fisik Perairan

No. Pulau Suhu(°C) DO(mg/l) Salinitas(‰) pH

1. Air 30,8 7,8 43 6,3

2. Semak Daun 30,2 7,5 35 7,1

3. Karang Beras 31,5 10,3 35 7,2

4. Kotok Besar 30,7 11,6 35 6,3

5. Kotok Kecil 33,4 7,7 40 7,1

6. Karang Congkak 29,8 12,5 35 6,5

Suhu merupakan salah satu parameter fisik perairan yang menjadi faktor

pembatas bagi terumbu karang. Perubahan suhu yang bervariasi dapat

mempengaruhi kehidupan terumbu karang. Suhu yang berubah secara mendadak

sekitar 4-6oC di bawah atau di atas ambang batas dapat mengurangi pertumbuhan

karang, bahkan dapat menyebabkan kematian (Tambunan, Anggoro, & Purnaweni,

2013). Suhu pada stasiun penelitian berkisar 29,8-33,4 °C. Hanya suhu perairan

pada Pulau Karang Congkak yang merupakan suhu ideal bagi pertumbuhan

terumbu karang, sedangkan suhu pada lokasi lainnya memiliki nilai yang cukup

tinggi bagi terumbu karang. Hal tersebut dikemukan pada standar baku mutu

perairan laut berdasarkan KepMen LH Nomor 51 tahun 2004 bahwa suhu perairain

untuk terumbu karang berkisar antara 28-30°C. Kenaikan suhu air laut di atas suhu

normalnya, akan menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) sehingga

warna karang menjadi putih. Bila hal tersebut berlanjut secara terus-menerus dalam

kurun waktu beberapa minggu, akan menyebabkan kematian pada karang (Giyanto

et al., 2017). Meskipun begitu, terumbu karang masih dapat hidup pada suhu

perairan yang tinggi. Hewan karang dapat bertahan hidup pada kisaran suhu antara

18 - 36°C dengan suhu optimal untuk pertumbuhan adalah 26 - 28°C dan sebagian

besar karang akan mengalami kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan

pada suhu <16 oC dan >33,5oC (Supriharyono, 2000). Pola suhu dalam perairan

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas,

ketinggian geografis dan oleh faktor penutupan oleh vegetasi pepohonan sekitar

(Reid, Marshall, Logan, & Kleine, 2011).

Parameter kondisi perairan lainnya adalah Dissolve Oxygen (DO). Nilai DO

pada stasiun penelitian berada dalam kisaran yang cukup tinggi yaitu 7,5-12,5 mg/l.

Page 38: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

23

Kadar oksigen terlarut dalam perairan tersebut sesuai dengan standar baku mutu

untuk air laut berdasarkan KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004, yaitu >5 mg/l.

Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari

udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut.

Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor seperti

kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara sepeti arus,

gelombang, dan pasang surut (Odum, 1993).

Salinitas menjadi salah satu faktor penting bagi keberlangsungan hidup

terumbu karang. Salinitas pada stasiun penelitian berkisar 35-43 ‰. Salinitas ideal

bagi pertumbuhan adalah berkisar antara 30-36‰ dan terumbu karang rentan pada

salinitas dengan kisaran kurang dari 27 ‰ (Giyanto et al., 2017). Pulau Air dan

Pulau Kotok Kecil memiliki nilai salinitas yang sangat tinggi (Tabel 2). Kondisi

tersebut masih berada dalam kisaran toleransi terumbu karang karena karang juga

memiliki tingkat pertahanan terhadap salinitas tinggi seperti dari jenis Acropora

dan Porites yang mampu bertahan hidup sampai pada salinitas 48 ‰ (Thamrin,

2006). Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas di luar kisaran

tersebut, pertumbuhannya menjadi kurang baik bila dibandingkan pada salinitas

normal (Dahuri, 2003). Salinitas dapat berubah akibat bertambah dan berkurangnya

molekul-molekul air melalui proses penguapan dan air hujan. Apabila laju

penguapan di suatu daerah lebih besar dari pada hujan maka salinitas akan

meningkat. Sebaliknya pada daerah dengan curah hujan lebih besar dari pada

penguapan maka salinitas berkurang, namun kondisi ini juga dipengaruhi oleh garis

lintang dan musim (Reid et al., 2011).

Nilai derajat keasaman (pH) pada stasiun penelitian berkisar antara 6,3-7,2.

Kisaran pH dalam baku mutu air untuk biota laut menurut KepMen LH Nomor 51

Tahun 2004, yaitu sebesar 7-8. Tiga pulau pada stasiun penelitin diantaranya Pulau

Air, Kotok Besar dan Karang Congkak memiliki pH dibawah dari baku mutu. Hal

tersebut kurang baik untuk terumbu karang karena pH perairan yang terlalu asam

atau terlalu basa dapat mengurangi produktivitas terumbu karang bahkan dapat

menyebabkan kematian. Tingkat keasaman air laut mempengaruhi pengandapan

logam dalam sedimen, semakin tinggi nilai pH maka akan semakin mudah terjadi

akumulasi dengan logam. Peningkatan nilai pH dari muara hingga laut lepas

Page 39: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

24

disebabkan oleh adanya masukan limbah dari daratan (sungai) ke lingkungan

perairan (Nybakken, 1998; Paramitha, Utomo, & Desrita, 2013).

4.2. Kondisi Tutupan Terumbu Karang

Tutupan karang hidup pada setiap stasiun penelitian memiliki persentase yang

berbeda (Gambar 5). Persentase tutupan karang hidup merupakan persentase rata-

rata dari beberapa transek. Persentase tutupan karang tertinggi berada di Pulau

kotok Kecil sebesar 73,24%. Kemudian Pulau Karang beras dengan persentase

71,91%, Pulau Air 57,01%, Pulau Kotok Besar 54,96%, Pulau Karang Congkak

43,19%, dan Pulau Semak Daun dengan persentase terendah, yaitu 36,19%.

Gambar 5. Persentase tutupan karang hidup di stasiun penelitian

Kondisi terumbu karang pada suatu perairan dapat ditentukan dengan

persentase tutupan karang hidup. Berdasarkan KepMen LH No.4 tahun 2001,

tutupan karang hidup di Pulau Kotok kecil dan Pulau Karang beras masuk dalam

kategori baik bahkan hampir mencapai kategori sangat baik. Terdapat berbagai

macam faktor yang memengaruhi tingginya persentase tutupan karang, seperti

faktor lingkungan dan aktivitas manusia. Berdasarkan data kimia fisik, kedua pulau

memiliki beberapa faktor lingkungan yang cukup baik, kecuali suhu. Suhu pada

kedua pulau memiliki nilai yang cukup tinggi. Hal tersebut akan menimbulkan

dampak yang buruk jika terjadi terus-menerus. Kenaikan suhu pada terumbu karang

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

P. Air P. SemakDaun

P. KarangBeras

P. KotokBesar

P. KotokKecil

P. KarangCongkak

Per

sen

tase

(%

)

Stasiun penelitian

Page 40: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

25

dapat menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) dan akan menyebabkan

kematian pada karang (Giyanto et al., 2017).

Hal lain yang menjadi faktor tingginya tutupan karang adalah kecepatan arus

yang rendah. Penelitian yang dilakukan Fauziah, Komala, & Hadi (2018)

menyatakan bahwa Pulau Karang beras merupakan wilayah dengan kecepatan arus

yang rendah dengan nilai rata-rata 0,04m/s. Rendahnya kecepatan arus

memudahkan planula karang keras untuk menempel pada substrat. Faktor lainnya

adalah susunan vegetasi daratan yang rapat dan tidak terdapat kegiatan

pembangunan pada pulau tersebut. Meskipun tergolong dalam pulau yang

diperuntukan untuk pariwisata, Pulau Karang beras dan Kotok kecil merupakan

pulau yang dimiliki oleh pribadi. Dengan begitu, tidak semua wisatawan dapat

mengunjungi pulau tersebut sehingga aktivitas disekitar pulau menjadi sangat

rendah (Fauziah et al., 2018; Syam & Mujiyanto, 2011). Bentuk pertumbuhan

terumbu karang yang mendominasi pada stasiun Karang Beras adalah foliose (CF)

(Gambar 6). Sementara itu, pada stasiun Kotok Kecil didominasi bentuk

pertumbuhan branching (ACB). Bentuk foliose sangat tergantung pada kejernihan

suatu perairan dan sering ditemukan mendominasi suatu daerah (Barus, Prartono,

& Soedarma, 2018). Biasanya berada pada perairan dangkal berkaitan dengan

intensitas cahaya yang diperolehnya dengan bentuk koloni berupa lembaran

(Suharsono, Tuti, Giyanto, & Manogar, 2010). Bentuk karang bercabang tergolong

jenis karang dengan pertumbuhan yang cepat, namun sangat rentan terhadap

partikel tersuspensi yang tinggi dan arus kencang. Jenis karang ini biasa digunakan

oleh ikan dan invertebrata laut sebagai tempat berlindung (Barus et al., 2018).

Page 41: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

26

Gambar 6. Bentuk pertumbuhan karang hidup di stasiun penelitian. a) P. Air; b) P.

Semak Daun; c) P. Karang Beras; d) P. Kotok Besar; e) P. Kotok Kecil;

f) P. Karang Congkak. Keterangan; ACB: Acropora branching; ACE:

Acropora encrusting, ACS: Acropora submassive, ACT: Acropora

tabulate, ACD: Acropora digitate, CE: Coral encrusting, CM: Coral

massive, CB: Coral branching, CF: Coral foliose, CS: Coral submassive,

CMR: Coral mushroom, dan CME: Coral millepora

Pulau Air memiliki persentase tutupan terumbu karang yang termasuk dalam

kategori terumbu karang yang baik dengan persentase 57,01%. Wilayah perairan

dangkal ke tubir Pulau Air cukup jauh dan tipe pertumbuhan karang yang

merupakan karang tepi atau fringing reef, memungkinkan Pulau Air cukup

terlindung (Iqbal, 2013). Selain itu, Pulau Air merupakan daerah penyangga yang

dekat dengan Pulau Pramuka sebagai pulau yang berada dibagian selatan Taman

Nasional Kepulauan Seribu (Banata, 2015). Menurut Soemarwoto (1985), daerah

penyangga adalah daerah yang mengelilingi kawasan lindung yang berfungsi

membatasi aktifitas manusia di kawasan lindung agar tidak merusak ekosistem di

dalam kawasan lindung. Kondisi terumbu karang yang baik didukung oleh faktor

kimia fisika yang baik untuk pertumbuhan karang, namun salinitas pada stasiun

penelitian memiliki nilai cukup tinggi, yaitu 43 ‰. Kondisi tersebut masih berada

dalam kisaran toleransi terumbu karang karena karang memiliki tingkat pertahanan

f e d

c b a

Page 42: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

27

terhadap salinitas tinggi (Thamrin, 2006). Salinitas ideal bagi terumbu karang

berkisar antara 30-36 ‰. Namun, meskipun terumbu karang mampu bertahan pada

salinitas diluar kisaran tersebut, pertumbuhannya menjadi kurang baik bila

dibandingkan pada salinitas normal (Dahuri, 2003).

Kotok besar juga termasuk dalam terumbu karang kategori baik dengan

persentase 54,96%. Kondisi ini didukung oleh faktor kimia fisika yang baik, hanya

saja suhu pada stasiun penelitian (30,7 °C) sedikit melebihi dari standar baku mutu

perairan, yaitu 28-30 °C. Penelitian yang dilakukan oleh (Fauziah et al., 2018) juga

menunjukkan terumbu karang dengan kategori sedang di Pulau Kotok Besar.

Menurut Estradivari et al., (2009), Pulau Kotok besar yang merupakan tujuan

wisata, telah mengalami peningkatan penutupan karang yang sangat signifikan,

Pulau Kotok besar yang dimanfaatkan sebagai tujuan wisata ternyata memberi

pengaruh yang baik terhadap kondisi tutupan karang hidup karena pulau ini lebih

mendapat perhatian khusus agar manarik wisatawan. Bentuk pertumbuhan terumbu

karang didominasi oleh karang submasif (CS) (Gambar 6). Umumnya karang-

karang kecil yang berbentuk submassive menempati daerah rataan terumbu

(Suryanti, Supriharyono, & Roslinawati, 2011).

Berdasarkan persentase tutupan terumbu karang pada Pulau Semak daun dan

Karang congkak, keduanya termasuk dalam kategori dengan kondisi terumbu

karang sedang (25%-49,9%). Penelitian sebelumnya telah dilakukan di kedua pulau

yang sama dan diperoleh persentase terumbu karang dengan kategori sedang

(Purnomo, Hariyadi, & Yonvitner, 2013; Santoso, 2010). Pulau Semak daun dan

Karang congkak dikunjungi wisatawan untuk kegiatan snorkling, diving dan wisata

pantai seperti berenang, berjemur atau berkemah. Tingginya minat pengunjung

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kategori pasir pantai yang merupakan

pasir putih, ketersediaan air tawar, pantai yang sangat luas dan arus (Direktorat

PJLHK, 2017). Tingginya aktivitas pariwisata di Pulau Semak Daun dan Karang

congkak merupakan salah satu penyebab lebih rendahnya tutupan karang di pulau

ini daripada stasiun penelitian yang lainnya. Kegiatan wisata bahari memiliki

pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi terumbu karang. Tanpa adanya

pengawasan yang baik, aktivitas-aktivitas tersebut cenderung merusak terumbu

karang (Putri, Hidayat, & Sukandar, 2012). Bentuk perumbuhan yang mendominasi

Page 43: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

28

di kedua pulau adalah bentuk karang masif (Gambar 6). Umumnya karang dengan

bentuk pertumbuhan masif lebih kebal terhadap tekanan dari arus yang cukup besar.

Karang masif mampu beradaptasi di lingkungan yang keruh hal ini menunjukan

karang masif dapat mendominasi karena mampu beradaptasi dalam lingkungan

kronis (Suharsono, 2008). Hal ini dikarenakan CM memiliki ukuran yang besar dan

struktur yang lebih kokoh dibanding bentuk pertumbuhan lainnya sehingga lebih

tahan terhadap tekanan arus yang cukup besar. Menurut Supriharyono (2007), CM

memiliki ketahanan yang paling toleran terhadap kenaikan suhu. Edinger, Kolasa,

& Risk (2000) menyatakan bahwa CM lebih toleran terhadap sedimentasi dan

eutrofikiasi.

Ekosistem terumbu karang tidak hanya terdiri dari karang keras. Terdapat

beberapa kompenan lain yang menyusun ekosistem terumbu karang antara lain

alga, biota lain dan komponen abiotik. Masing-masing kompenen yang terdapat

pada stasiun penelitian memiliki persentase yang berbeda (Gambar 7).

Gambar 7. Tutupan substrat dasar di stasiun penelitian

Persentase abiotik di stasiun penelitian berkisar 3,90 % - 29,14 %. Komponen

abiotik terdiri dari batu, pasir, dan patahan karang (rubble). Rubble merupakan

kompenen abiotik yang mendominasi di hampir seluruh stasiun penelitian

(Lampiran 2-7). Tingginya persentase patahan karang diduga dapat disebabkan oleh

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

P. Karang Beras P. Kotok Kecil P. Air P. Kotok Besar P. Semak Daun P. KarangCongkak

Per

sen

tase

(%

)

Stasiun Penelitian

Karang Hidup Karang Mati Biota Lain Alga Abiotik

Page 44: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

29

faktor antropogenik berupa aktivitas manusia seperti lalu lintasnya kapal-kapal

(Utami, 2018). Adanya muatan dari darat yang terbawa oleh arus pesisir pantai juga

dapat menjadi salah satu faktor terdapatnya patahan karang.

Substrat dasar alga berkisar antara 4,12 % - 32,10 % dengan beberapa

kategori alga seperti Halimeda sp., Padina sp., turf algae, kumpulan alga dan

makroalga lainnya. Persentase karang mati juga didominasi oleh DCA (dead coral

with algae). Apabila biota-biota pemakan alga jumlahnya sangat sedikit maka

terumbu karang akan didominasi oleh dead coral with algae (DCA). Lapisan alga

dapat menghambat proses pemulihan karang. Alga dengan cepat mengambil alih

kerangka karang yang mati sehingga substrat yang terbentuk tidak sesuai untuk

pertumbuhan karang (Anggara, Afrizal, & Elizal, 2017). Selain pengaruh dari

kegiatan manusia, umumnya ekosistem terumbu karang mengalami tekanan seperti

eutrofikasi (penyuburan), pengembangan pesisir, sedimentasi dan penangkapan

berlebih sehingga kondisi terumbu karang menurun. Tekanan-tekanan tersebut

dapat mengakibatkan pergantian fase komunitas sehingga makroalga memiliki

pertumbuhan lebih cepat daripada terumbu karang itu sendiri (Jompa & Mccook,

2002; Lardizabal, 2007). Salah satu penyebab utama terjadinya blooming

makroalga pada ekosistem terumbu karang adalah meningkatnya unsur hara yang

menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan alga sampai pada kondisi dimana

ketersediaan populasi hewan herbivora tidak sanggup lagi mengontrol kelimpahan

alga ini yang pada gilirannya menyebabkan kematian karang akibat tertutup alga.

Sementara karang sendiri hanya membutuhkan sedikit nutrient untuk kondisi ideal

perkembangannya (Mansur, Kamal, & Krisanti, 2013).

4.3. Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan Pada Karang

Prevalensi keseluruhan penyakit dan gangguan kesehatan pada karang yang

ditemukan di tiap stasiun menunjukkan hasil yang variatif. Pulau Air dan Kotok

besar menjadi stasiun yang memiliki nilai prevalensi tertinggi, yaitu 17,99% dan

17,46%. Kemudian prevalensi pada Pulau Karang congkak 14,71%, Semak daun

14,09%, Kotok kecil 9,96% dan Karang beras 8,55%.

Penyakit karang menyebabkan kegagalan fungsi vital hewan karang, organ

atau sistem organ, terganggunya proses pertumbuhan dan perkembangbiakan,

Page 45: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

30

gangguan dalam proses reproduksi, perubahan struktur komunitas, penurunan

keanekaragaman spesies dan kelimpahan asosiasi hewan laut di terumbu karang.

Penyebabnya bisa berasal dari sumber biotik atau abiotik (Stedman's Medical

Dictionary, 1982 dalam Johan, 2010). Total penyakit dan gangguan kesehatan

karang yang ditemukan berjumlah 8 jenis (Tabel 3). Penyakit karang yang

ditemukan pada stasiun penelitian antara lain Black Band Disease (BBD), White

Syndrome (WS), dan Ulcerative White Syndrome (UWS) serta kategori gangguan

kesehatan karang lainnya, yaitu Bleaching (Bl), Pigmentation Response (PR),

Sediment Damage (SD), Predation (Pr), dan Growth Anomalies (GA). Bleaching,

pigmentation response dan sediment damage merupakan jenis yang ditemukan di

seluruh stasiun penelitian. Sementara itu, black band disease, white syndrome dan

growth Anomalies yang paling sedikit ditemukan, masing-masing hanya diperoleh

di dua stasiun yang berbeda-beda. Data lengkap disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan pada karang di stasiun

penelitian

No Penyakit dan gangguan

kesehatan

Prevalensi (%)

Air Semak

Daun

Karang

Beras

Kotok

Besar

Kotok

Kecil

Karang

Congkak

Penyakit

1. Black Band Disease

(BBD) - - 0,28 0,3 - -

2. White Syndrome (WS) 0,26 - 0,28 - - -

3. Ulcerative White

Syndrome (UWS) 0,26 0,34 0,28 0,3 - 0,59

Gangguan Kesehatan

1. Bleaching (Bl) 3,08 3,02 3,7 3,25 4,21 2,06

2. Pigmentation Response

(PR) 1,8 2,68 0,28 2,96 0,38 0,88

3. Sediment Damage (SD) 11,31 4,7 3,13 10,65 5,36 10,59

4. Predation (Pr) 1,03 3,36 0,57 - - 0,29

5. Growth Anomalies (GA) 0,26 - - - - 0,29

Total 17,99 14,09 8,55 17,46 9,96 14,71

BBD ditemukan pada Pulau Karang beras dan Kotok besar dengan nilai

prevalensi yang rendah, yaitu 0,28-0,3%. Penyakit BBD dikenali dengan adanya

pita melingkar berwarna hitam atau merah kecoklatan antara jaringan karang yang

hidup dan skeleton karang yang terbuka (Beeden et al., 2008), Penelitian

sebelumnya mengenai penyakit BBD di Kepulauan Seribu memiliki prevalensi

Page 46: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

31

berkisar antara 0.31% sampai 31.64% (Delpopi, Zamani, Soedharma, & Johan,

2015; Johan, 2013). Pengamatan secara optikal menunjukkan adanya beragam jenis

bakteri yang mengkoloni jaringan karang tersebut. Namun, agen utama penyebab

penyakit BBD tersebut adalah bakteri golongan Cyanobacterium. Jumlah penyakit

BBD yang tinggi dapat dijadikan indikator perubahan iklim di suatu perairan

(Edmunds, 1991). Penelitian Harvell (2007) juga menyatakan bahwa telah ada

korelasi dengan meningkatnya insiden penyakit karang Black Band Disease dengan

meningkatnya suhu perairan dan juga polusi. Di kedua stasiun, penyakit BBD

menginfeksi genus Acropora dengan bentuk pertumbuhan branching. Laju infeksi

BBD pada karang branching cukup cepat yaitu sekitar 4-8 mm/hari sedangkan pada

karang tabular sekitar 1-4 mm/hari (Beeden et al., 2008).

White syndrome juga hanya ditemukan di dua stasiun penelitian, yaitu Pulau

Air dan Karang beras dengan prevalensi 0,26% dan 0,28%. WS ditandai dengan

hilangnya jaringan karang dan tidak adanya pita yang terlihat jelas diantara jaringan

yang sehat dan skeleton yang kosong. Lesi yang terjadi pada skeleton menunjukkan

warna putih pada awalnya dan perlahan menjadi cokelat seiring dengan skeleton

yang mejadi kotor (Raymundo et al., 2008). Karang yang terinfeksi WS dapat

kehilangan jaringan dengan cepat, yaitu >20 mm/hari. Ulcerative White Spot juga

memiliki tanda hilangnya jaringan pada karang sehingga karang menjadi putih.

Namun berbeda dengan WS, hilangnya jaringan karang yang disebabkan oleh UWS

berbentuk pola multifocal (bintik-bintik yang tersebar) dan berbentuk bulat telur

dengan diameter <1 cm. UWS ditemukan pada hampir semua stasiun penelitian

kecuali P. Kotok kecil. Nilai prevalensi penyakit UWS berkisar antara 0,26-0,59%.

Pada stasiun penelitian, penyakit UWS didominasi menginfeksi genus Porites

dengan bentuk pertumbuhan karang masif (Gambar 8). Kepadatan karang Porites

sebagai inang dapat menjadi salah satu penyebab rentannya genus ini terhadap

penyakit karena hampir disetiap stasiun penelitian, jumlah karang Porites

mendominasi komposisi karang masif. Tingginya kepadatan inang berhubungan

dengan meningkatnya laju transmisi penyakit secara horizontal (Bruno et al., 2007;

Riznawati, 2015).

Page 47: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

32

Gambar 8. Penyakit Ulcerative White Spot pada karang Porites

Penyakit karang timbul akibat kombinasi dan interaksi antara karang

sebagai inang, media penularan, dan tekanan dari lingkungan. Infeksi oleh virus,

bakteri, fungi dan protista adalah penyakit yang disebabkan faktor biotis. Selain

penyakit, terdapat juga kategori gangguan kesehatan karang. Gangguan kesehatan

secara abiotis disebabkan oleh tekanan lingkungan seperti suhu, sedimen, toksit,

dan radiasi ultra violet (Raymundo et al., 2008). Bleaching merupakan pemutihan

pada terumbu karang yang ditandai dengan hilangnya alga Zooxanthellae dari

jaringan karang. Berbeda dengan WS, dalam kondisi bleaching karang masih

memiliki jaringan yang hidup. Namun, jika kondisi ini terus berlanjut, akan

menimbulkan stress dan kematian pada karang. Bleaching ditemukan di semua

stasiun penelitian dengan prevalensi 2,06%-4,21%.

Pemutihan karang umumnya dikategorikan dalam jenis penyakit karang

yang disebabkan oleh tekanan lingkungan seperti naiknya suhu permukaan laut,

penuruan suhu laut, dan peningkatan radiasi matahari (Cervino, Hayes, Goreau, &

Smith, 2004; Le Tissier & Brown, 1996; Yee, Yeung, & Cheng, 2008). Pemutihan

karang merupakan tanggapan terhadap perubahan lingkungan yang menyebabkan

keluarnya polip karang ketika terjadinya stres pada karang (Hayes dan Goreau,

1992). Selain suhu yang dapat menyebabkan terjadinya pemutihan karang, salinitas

merupakan salah satu faktor yang berdampak pada terjadinya pemutihan karang.

Suhu dan salinitas pada semua stasiun penelitian memiliki nilai yang tinggi, yaitu

29,8-33,4 °C dan 35-43 ‰. Suhu ideal bagi pertumbuhan karang berkisar 27-29 °C,

sedangkan Nilai salinitas yang ideal berkisar 30-36 ‰ (Giyanto et al., 2017).

Perubahan salinitas yang drastis akan menyebabkan suplai nutrien pada

Page 48: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

33

Zooxanthellae berkurang dan hal ini dapat menghambat pertumbuhan karang dan

keseimbangan Zooxanthellae terganggu (Stimson & Kinzie, 1991).

Pigmentation Response merupakan gangguan kesehatan karang yang muncul

sebagai respon dari berbagai stresor seperti kompetisi dan kenaikan suhu

(Haapkylä, Seymour, Trebilco, & Smith, 2007). PR ditandai dengan adanya garis,

benjolan, bintik atau bentuk yang tidak beraturan berwarna merah muda, ungu atau

biru (Raymundo et al., 2008). PR ditemukan disemua stasiun penelitian dengan

nilai prevalensi berkisar 0,28%-2,96%. Dedi & Arifin, (2017) menyatakan bahwa

prevalensi PR di Teluk Jakarta sebesar 20,83% yang mencakup 5 pulau. Terumbu

karang genus Porites dengan bentuk pertumbuhan masif merupakan karang yang

mendominasi terkena gangguan ini. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian

Riska et al., (2019) yang menyatakan gangguan penyakit karang PR banyak

menginfeksi genus Porites. Respon dari munculnya bintik-bintik berwana merah

muda atau ungu merupakan pengaruh dari mekanisme stres karang yang disebabkan

oleh larva Cirripedia yang menempel pada permukaan karang hidup pada genus

Porites (Benzoni, Galli, & Pichon, 2010).

Ga

Gambar 9. Gangguan penyakit karang di stasiun penelitian; a) pigmentation

response dan b) sediment damage pada stasiun penelitian

Selain bleaching dan pigmentation response, sediment damage juga

ditemukan di semua stasiun penelitian sekaligus memiliki nilai prevalensi yang

paling tingi dibandingkan penyakit dan gangguan kesehatan karang lainnya. SD

ditemukan dengan nilai prevalensi yang berkisar antara 3,13%-11,31%. Pulau Air,

Kotok besar dan Karang congkak menjadi stasiun penelitian dengan nilai prevalensi

SD tertinggi. Ketiga pulau tersebut termasuk ke dalam wilayah seksi pengelolaan

taman nasional (SPTN) III. SPTN III merupakan wilayah dengan jarak paling dekat

ke daratan utama sehingga banyak dikunjungi wisatawan khususnya wisatawan-

a b

Page 49: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

34

wisatawan lokal (Yulianda et al., 2017). SD ditandai dengan adanya sedimen yang

menumpuk sehingga penutupi permukaan dan polip karang. SD dapat terjadi

diakibatkan tingginya pengaruh aktivitas antropogenik. Adanya aktivitas wisata

bahari di seluruh stasiun penelitian menjadi salah satu faktor tingginya sedimentasi

di pulau tersebut (Tabel 1). Menurut Zikrillah (2016) juga menyatakan, kerusakan

terumbu karang di Kepulauan Seribu diakibatkan adanya sedimentasi. Tumpukan

sedimen pada karang dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan kematian

karang. Sedimen yang kaya akan bahan organ menyebabkan peningkatan konstan

hidrogen sulfida yang dapat meningkatkan degradasi lendir karang dan

menyebabkan kematian jaringan karang (Weber et al., 2012). Peningkatan

sedimentasi juga akan menutupi koralit karang dan mengurangi penetrasi cahaya

yang dibutuhkan oleh Zooxanthellae untuk proses fotosintesis. Pada umumnya

penumpukan sedimen terjadi pada kawasan perairan yang arus dan sirkulasi airnya

tidak terlalu deras sehingga partikel sendimen tidak dapat dibersihkan dari tubuh

karang (Rogers, 1990).

Gangguan kesehatan karang yang disebabkan oleh predator terdapat di semua

stasiun penelitian kecuali Pulau Kotok besar dan Kotok kecil. Predator karang yang

dapat menyebabkan gangguan kesehatan diantaranya Acanthaster plancii, Drupella

sp., Coralliophila sp., dan gigitan ikan seperti Parrotfish, Trigger/Pufferfish,

Damselfish, dan Butterflyfish (Beeden et al., 2008). Masing-masing serangan dari

predator menimbulkan tanda-tanda yang berbeda. Berdasarkan tanda-tanda yang

ditemukan pada terumbu karang di stasiun penelitian, menunjukkan tanda bekas

gigitan ikan, diduga berasal dari Parrotfish (Scaridae). Hal tersebut ditandai dengan

adanya bercak-bercak putih yang tidak beraturan pada karang genus Porites dengan

bentuk pertumbuhan masif. Penelitian Dedi & Arifin (2017) pada pulau-pulau di

Teluk Jakarta juga menunjukkan adanya gangguan kesehatan karang berupa fish

bite dengan prevalensi 1,85%. Selain dapat menimbulkan kerusakan pada terumbu

karang, Pemangsa pada karang seperti ikan, Drupella sp, Achantaster plancii

berpotensi sebagai vektor bagi infeksi penyakit yang diakibatkan oleh bakteri

(Rotjan & Lewis, 2008).

Growth anomalies adalah kondisi ketika jaringan karang mengalami kelainan

pertumbuhan. GA terbagi menjadi explained growth anomalies dan unexplained

Page 50: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

35

growth anomalies. Explained growth anomalies berupa kelainan yang sebabkan

oleh invertebrata seperti kepiting dan teritip. Sedangkan unexplained growth

anomalies berupa gumpalan atau plak putih atau abu-abu yang tidak beraturan dan

perbesaran struktur karang atau biasa disebut tumor (Beeden et al., 2008). GA

hanya ditemukan di dua stasiun penelitian yaitu Pulau Air dan Karang congkak.

Tumor pada karang biasanya muncul berupa gumpalan pada bagian koloni karang

dengan densitas zooxanthella yang rendah. Penyebab perbedaan ukuran belum

diketahui secara pasti. Pigmen pada jaringan yang mengalami kelainan

pertumbuhan pada umumnya lebih pucat atau lebih muda dari jaringan sehat,

karena disebabkan berkurangnya Zooxanthellae atau tidak ada sama sekali (Aldyza

& Afkar, 2015). Tumor tumbuh pada bagian tubuh karang tetapi tidak membunuh

koloni. Namun pada bagian koloni yang bertumor akan mengalami penurunan

jumlah polip dan fekunditas, serta tidak munculnya tentakel pada bagian karang

yang terinfeksi tumor. Karang juga akan menjadi lebih sensitif terhadap perubahan

lingkungan seperti kenaikan suhu (Johan, 2010; Yamashiro, 2004). Menurut Aeby

et al. (2011) hubungan yang kuat ditemukan antara banyaknya gangguan growth

anomalies pada karang Acropora dan Porites serta kepadatan inang keduanya, serta

aktivitas manusia. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara aktivitas

antropogenik dan kesehatan karang.

4.4. Hubungan Prevalensi Penyakit dan Gangguan Kesehatan Karang dengan

Tutupan Karang Hidup

Berdasarkan nilai persentase prevalensi penyakit dan gangguang kesehatan

karang dan persentase tutupan karang hidup didapatkan hasil persamaan regesi

linear yang disajikan pada gambar 10.

Page 51: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

36

Gambar 10. Hubungan prevalensi penyakit dan gangguan kesehatan karang

dengan tutupan karang hidup

Analisis regresi persentase tutupan karang hidup terhadap prevalensi penyakit

dan gangguan kesehatan karang diperoleh y = -0,1503x + 22,224 dengan nilai R2 =

33,79% yang menunjukkan bahwa adanya pengaruh negatif antara keduanya.

Koefisien korelasi (r) memiliki nilai -0,581 yang menunjukkan hubungan yang

sangat lemah. Raymundo, Rosell, Reboton, & Kaczmarsky (2005) juga menyatakan

bahwa terdapat hubungan korelasi yang lemah antara tutupan karang hidup dan

prevalensi penyakit karang. Grafik regresi linear menunjukkan bahwa semakin

tinggi persentase prevalensi, semakin rendah persentase tutupan karang hidup. Hal

tersebut berbeda dengan Dedi & Arifin (2017) yang menyatakan bahwa tingginya

nilai persentase prevalensi, diikuti dengan tingginya persentase tutupan karang

hidup. Perbedaan tersebut diduga dapat terjadi karena disebabkan oleh beberapa

faktor. Salah satunya dominansi genus tertentu pada stasiun penelitian. Porites

merupakan salah satu genus yang mendominasi di beberapa stasiun penelitian

(Lampiran 3C-8C). Beberapa penyakit yang ditemukan pada stasiun penelitian juga

didominasi menginfeksi genus Porites, seperti ulcerative white symdrome,

pigmentation response, dan predasi. Menurut Raymundo et al., (2005), Porites

rentan terhadap penyakit dan gangguan kesehatan karang seperti ulcerative white

syndrome, tumor, pigmentation response, dan necrotic syndrome. Korelasi positif

yang kuat juga ditunjukkan antara prevalensi dan kelimpahan genus Porites.

y = -0,1503x + 22,224R² = 0,3379

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

0 20 40 60 80

Pre

vale

nsi

(%

)

Persentase tutupan karang hidup (%)

Page 52: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

37

Kondisi tersebut juga terjadi pada penelitian Fahlevy et al. (2019) yang

menunjukkan bahwa penyakit karang tertentu memiliki prevalensi tinggi pada

karang hidup yang rendah.

Page 53: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

38

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Kondisi tutupan terumbu karang pada beberapa pulau di Kepulauan Seribu

berada dalam kondisi sedang hingga baik. Dua stasiun penelitian diantaranya

memiliki persentase tutupan karang <50%, yaitu Pulau Karang congkak dan

Semak daun. Sementara stasiun penelitian lainnya, yaitu Pulau Air, Karang

beras, Kotok besar, dan Kotok kecil memiliki persentase >50%.

2. Penyakit karang yang ditemukan pada stasiun penelitian antara lain Black Band

Disease (BBD), White Syndrome (WS), dan Ulcerative White Syndrome

(UWS) serta kategori gangguan kesehatan karang lainnya, yaitu Bleaching

(Bl), Pigmentation Response (PR), Sediment Damage (SD), Predation (Pr),

dan Growth Anomalies (GA). Prevalensi keseluruhan penyakit dan gangguan

kesehatan karang yang tertinggi terdapat pada stasiun Pulau Air dan Kotok

besar. Sediment damage adalah yang paling banyak ditemukan di semua

stasiun penelitian.

5.2. Saran

Perlu adanya penelitian secara berkala mengenai kondisi terumbu karang dan

penyakit serta gangguan kesehatan pada terumbu karang. Pengawasan dan

perhatian penuh terhadap aktivitas-aktivitas di sekitar pulau dan pemantauan serta

pengelolaan pulau-pulau juga diperlukan sehingga ekosistem terumbu karang tetap

terjaga dengan baik. Selain itu, diperlukan peran masyarakat sekitar maupun para

wisatawan untuk menerapkan ekowisata dan lebih bijak dalam membuang dan

mengelola sampah ataupun limbah.

Page 54: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

39

DAFTAR PUSTAKA

Aeby, G. S., Williams, G. J., Franklin, E. C., Kenyon, J., Cox, E. F., Coles, S., &

Work, T. M. (2011). Patterns of coral disease across the Hawaiian

Archipelago : relating disease to environment. PloS ONE, 6(5).

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0020370

Afni, N. (2017). Kondisi terumbu karang di Pulau Samatellu Pedda Kecamatan

Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan (Skripsi). UIN

Alauddin Makassar.

Aldyza, N., & Afkar. (2015). Analisis genus dan penyakit karang di perairan Pulau

Tuan Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Biotik, 3(2),

107–115.

Amin. (2009). Terumbu karang; aset yang terancam (akar masalah dan alternatif

solusi penyelamatannya). Region, 1(2).

Anggara, S. P., Afrizal, T., & Elizal. (2017). The condition of coral reefs in the

waters around the Banyan Tree Bintan Bintan Regency Riau Islands Province

(Skripsi). Universitas Riau.

Assuyuti, Y. M., Zikrillah, R. B., Tanzil, M. A., Banata, A., & Utami, P. (2018).

Distribusi dan jenis sampah laut serta hubungannya terhadap ekosistem

terumbu karang Pulau Pramuka, Panggang, Air, dan Kotok Besar di

Kepulauan Seribu Jakarta. Majalah Ilmiah Biologi Biosfera : A Scientific

Journal, 35(2), 91–102. https://doi.org/10.20884/1.mib.2018.35.2.707

Bahri, A. D., Hamdani, A., & Wibowo, A. (2017). Di Balik Krisis Agraria dan

Ekosistem Kepulauan Seribu : Apakah Wisata Bahari adalah Jawabannya?

Jakarta.

Banata, A. (2015). Kepadatan Acanthaster planci L. dan hubungannya dengan

persentase tutupan karang hidup di Pulau Air (daerah penyangga Taman

Nasional Kepulauan Seribu) (Skripsi). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Barus, B. S., Prartono, T., & Soedarma, D. (2018). Environmental effect on coral

reefs life form in the Lampung Bay. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan

Tropis, 10(3), 699–710.

Beeden, R., Willis, B. L., Raymundo, L. J., Page, C. A., Weil, E., & Disease, C.

(2008). Underwater cards for assessing coral health on indo-pacific reefs

underwater cards for assessing coral health on Indo-Pacific reefs how to use

these cards. St.Lucia: CRTR.

Benzoni, F., Galli, P., & Pichon, M. (2010). Pink spots on Porites: not always a

coral disease. Coral Reef, 29, 4810. https://doi.org/10.1007/s00338-009-0571-

z

BPS Kabupaten Kepulauan Seribu. (2019). Kabupaten Kepulauan Seribu dalam

angka 2019. Jakarta: BPS Kabupaten Kepulauan Seribu.

Bruno, J. F., Selig, E. R., Casey, K. S., Page, C. A., Willis, B. L., Harvell, C. D., …

Page 55: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

40

Melendy, A. M. (2007). Thermal stress and coral cover as drivers of coral

disease outbreaks. PLoS Biology, 5(6), 1220–1227.

https://doi.org/10.1371/journal.pbio.0050124

Castro, P., & Huber, M. E. (2005). Marine Biology (5th ed.). New York: Mc Graw-

Hill Companies Inc.

Cervino, J. M., Hayes, R., Goreau, T. J., & Smith, G. W. (2004). Zooxanthellae

regulation in yellow blotch/band and other coral diseases contrasted with

temperature related bleaching: In situ destruction vs expulsion. Symbiosis,

37(1–3), 63–85.

Dahuri, R. (2003). Keanekragaman hayati laut. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dedi, & Arifin, T. (2017). Kondisi kesehatan karang di pulau – pulau kecil Teluk

Jakarta. Jurnal Kelautan Nasional, 11(3), 175–187.

Delpopi, M., Zamani, N. P., Soedharma, D., & Johan, O. (2015). Prevalensi,

insidensi dan perkembangan black-band disease pada karang Scleractinia

(Montipora spp) di Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari. Ilmu Kelautan,

20(1), 52–60. https://doi.org/10.14710/ik.ijms.20.1.52-60

Dinas Penataan Kota. (2014). Buku Saku Perda Nomor 1 Tahun 2014 Kepulauan

Seribu. Jakarta: Suku Dinas Penataan Kota Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu.

Dubinsky, Z., & Stambler, N. (2011). Coral reefs: An ecosystem in transition.

Springer Science, 1–552. https://doi.org/10.1007/978-94-007-0114-4

Edinger, E. N., Kolasa, J., & Risk, M. J. (2000). Biogeographic variation in coral

species diversity on coral reefs in three regions of Indonesia. Diversity and

Distributions, 6(3), 113–127. https://doi.org/10.1046/j.1472-

4642.2000.00076.x

Edmunds, P. J. (1991). Extent and effect of Black Band Disease on a Caribbean

reef. Coral Reefs, 10(3), 161–165. https://doi.org/10.1007/BF00572175

Estradivari, Setyawan, E., & Yusri, S. (2009). Terumbu Karang Jakarta. Jakarta:

Yayasan TERANGI.

Fahlevy, K., Khodijah, S., Prasetia, M. F., Idham, A., Yudha, F. K., Subhan, B., &

Madduppa, H. (2019). Live hard coral coverage and coral diseases distribution

in the Ujung Kulon National Park, Banten, Indonesia. AACL Bioflux, 12(4).

Fauziah, S., Komala, R., & Hadi, T. A. (2018). Struktur komunitas karang keras

(bangsa Scleractinia) di pulau yang berada di dalam dan di luar kawasan

Taman Nasional, Kepulauan Seribu. BIOMA, 14(1), 10–18.

https://doi.org/10.21009/Bioma14(1).6

Giyanto. (2013). Metode transek foto bawah air untuk Penilaian kondisi terumbu

karang. Oseana, XXXVIII(1), 47–61.

Giyanto, Abrar, M., Hadi, T. A., Budiyanto, A., Hafizt, M., Salatalohy, A., &

Iswari, M. yulia. (2017). Status terumbu karang di Indonesia 2017 (Suharsono,

Ed.). Jakarta: COREMAP-CTI Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI.

Giyanto, Manuputty, A. E., Abrar, M., Siringoringo, R. M., Suharti, S. R., Wibowo,

Page 56: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

41

K., Anita, D. Z. (2014). Panduan monitoring kesehatan terumbu karang.

Jakarta: PT. Sarana Komunikasi Utama.

Haapkylä, J., Seymour, A. S., Trebilco, J., & Smith, D. (2007). Coral disease

prevalence and coral health in the Wakatobi Marine Park, south-east Sulawesi,

Indonesia. Marine Biological Association, 87(April), 403–414.

https://doi.org/10.1017/S0025315407055828

Hadi, T. A., Giyanto, Prayudha, B., Hafizt, M., Budiyanto, A., & Suharsono.

(2018). Status terumbu karang Indonesia 2018. Jakarta: Pusat Penelitian

Oseanografi – LIPI.

Hamdani, B. (2014). Laju Infeksi, Prevalensi, dan Insiden Penyakit Karang Black

Band Disease Pada Karang Keras (Scleractinia) Di Perairan Pulau

Barranglompo (Skripsi). Universitas Hasanuddin.

Harvell, C. D. (2007). Coral Disease Environmental Drivers, and The Balance

Between Coral and Microbial Associates. Oceanography, 20(1), 36–59.

Hetherington, J., Leous, J., Anziano, J., Brockett, D., Cherson, A., Dean, E., …

Reilly, K. (2005). The marine debris research, prevention and reduction act: a

policy analysis. The Marine Debris Team, …, (January 2005), 40.

https://doi.org/10.13140/RG.2.2.26619.54562

Iqbal, M. (2013). Aplikasi SIG Untuk Kesesuaian Wilayah Wisata Snorkeling dan

Scuba Diving di Pulau Air dan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu

(Skripsi). Institut Pertanian Bogor.

Johan, O. (2010). Penyebab, dampak, dan manajemen penyakit karang di ekosistem

terumbu karang. Media Akuakultur, 5(2), 144–152.

Johan, O. (2013). Epidemiologi penyakit karang sabuk hitam (black band disease)

di Kepulauan Seribu, Jakarta. Institut Pertanian Bogor.

Johan, O., Kristanto, A. H., Haryadi, J., & Radiarta, I. N. (2014). Puncak prevalensi

penyakit karang jenis sabuk hitam (black band disease) di Kepulauan Seribu,

Jakarta. Jurnal Riset Akuakultur, 9(November 2011), 307–317.

Jompa, J., & Mccook, L. J. (2002). The effects of nutrients and herbivory on

competition between a hard coral (Porites cylindrica) and a brown alga

(Lobophora variegata). American Society of Limnology and Oceanography,

47(2), 527–534.

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. (2005). Sebaiknya Anda tahu: Data

Kabupaten administrasi Kepulauan Seribu. Jakarta: Bagian Humas dan

Protokol, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

LAPI-ITB. (2001). Laporan Akhir Pengelolaan Laut Lestari: Pendataan dan

Pemetaan Potensi Sumberdaya Alam Kepulauan Seribu dan Pesisir Teluk

Jakarta. Jakarta: LAPI-ITB.

Lardizabal, S. (2007). Beyond the refugiu: a makroalgal primer. Reefkeeping

Magazine, 5(12).

Latuconsina, H. (2019). Ekologi perairan tropis: prinsip dasar pengelolaan sumber

daya hayati perairan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Page 57: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

42

Le Tissier, M. D. A. A., & Brown, B. E. (1996). Dynamics of solar bleaching in the

intertidal reef coral Goniastrea aspera at Ko Phuket, Thailand. Marine Ecology

Progress Series, 136(1–3), 235–244. https://doi.org/10.3354/meps136235

Mansur, W., Kamal, M. M., & Krisanti, M. (2013). Estimation of organic waste and

waters carrying capacity in relation to coral reefs management on Semak Daun

Island Thousand Islands. Depik, 2(3), 141–153.

Menteri Lingkungan Hidup. (2001). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

tentang : kriteria baku kerusakan terumbu karang. (4), Nomor 51.

Nybakken, J. W. (1998). Biologi laut: suatu pendekatan ekologi. Jakarta:

PT.Gramedia.

Odum, E. P. (1993). Dasar-dasar ekologi (edisi keti). Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Paramitha, A., Utomo, B., & Desrita. (2013). Study of chlorophyll-a around sea of

Belawan, North Sumatera. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, 106–119.

Purnomo, T., Hariyadi, S., & Yonvitner. (2013). Study the potential of shallow

water for increasing marine tourism and utilization imfact to local people (case

study semak daun island as support area tourism activity pramuka island of

Kepulauan Seribu Administration Regency) Triyadi. Depik, 2(3), 172–183.

Putri, L. S. E., Hidayat, A. F., & Sukandar, P. (2012). Diversity of coral reefs in

Badul Island Waters, Ujung Kulon, Indonesia. Journal of Biological Sciences,

1(3), 59. Retrieved from www.isca.in

Putri, Lily Surayya E, & Kristiyanto. (2018). Role of government and private sector

in marine ecotourism related to conservation of biodiversity in Seribu Islands.

International Journal of GEOMATE, 14(43), 140–147.

https://doi.org/10.21660/2018.43.3698

Rachmawati, R. (2001). Terumbu Buatan (Artificial Reef). Pusat Riset Teknologi

Kelautan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan

Perikanan Republik Indonesia.

Raymundo, L. J., Couch, C. S., Bruckner, A. W., & Harvell, C. D. (2008). Coral

disease handbook. Melbourne: Coral Reef Targeted Research and Capacity

Building for Management Program.

Raymundo, L. J., Rosell, K. B., Reboton, C. T., & Kaczmarsky, L. (2005). Coral

diseases on Philippine reefs: genus Porites is a dominant host. Disease of

Aquatic Organisms, 64, 181–191.

Reid, C., Marshall, J., Logan, D., & Kleine, D. (2011). Terumbu karang dan

perubahan iklim: Panduan pendidikan dan pembangunan kesadartahuan.

Brisbane: Coral Watch The University of Queensland.

Riska, Tasak, A. R., Lalang, Kamur, S., Wahab, I., & Maharani. (2019).

Identification of coral reef diseases and health disruption in the waters of

Langgapulu Village, Konawe Selatan, Southeast Sulawesi. Ilmu Kelautan,

1(2), 63–74.

Page 58: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

43

Riznawati, A. E. (2015). Prevalensi white syndrome padakarang masif di perairan

pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Paiton, Probolinggo (Tesis). Institut

Teknologi Sepuluh Nopember.

Rogers, C. S. (1990). Responses of coral reefs and reef organisms to sedimentation.

Marine Ecology Progress Series, 62, 185–202.

Rotjan, R. D., & Lewis, S. M. (2008). Impact of coral predators on tropical reefs.

Marine Ecology Progress Series, 367, 73–91.

https://doi.org/10.3354/meps07531

Santoso, A. D. (2010). Kondisi terumbu karang di pulau karang congkak kepulauan

seribu. Jurnal Hidrosfir Indonesia, 5(2), 73–78.

Santoso, A. D., & Kardono. (2008). Teknologi konservasi dan rehabilitasi terumbu

karang. Teknologi Lingkungan, 9(3), 121–226. Retrieved from

http://ejurnal.bppt.go.id/index.php/JTL/article/view/465/366

Soemarwoto, O. (1985). Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan. Jakarta:

Djambatan.

Stimson, J., & Kinzie, R. A. (1991). The temporal pattern and rate of release of

zooxanthellae from the reef coral Pocillopora damicornis (Linnaeus) under

nitrogen-enrichment and control conditions. Journal of Experimental Marine

Biology and Ecology, 153(1), 63–74. https://doi.org/10.1016/S0022-

0981(05)80006-1

Suharsono. (2008). Jenis-jenis karang Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

Suharsono, S., Tuti, M. I. Y., Giyanto, & Manogar, R. (2010). Pengaruh kekeruhan

terhadap ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu. Jakarta: LIPI.

Supriharyono. (2000). Pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah

pesisir tropis. Jakarta: Djambatan.

Supriharyono. (2007). Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Jakarta: Djambatan.

Suryanti, Supriharyono, & Roslinawati, Y. (2011). The depth influence to the

morphology and abundance of corals at Cemara Kecil Island, Karimunjawa

National Park. Jurnal Saintek Perikanan, 7(1), 63–69.

Sutherland, K. P., Porter, J. W., & Torres, C. (2004). Disease and immunity in

Caribbean and Indo-Pacific zooxanthellate corals. Marine Ecology Progress

Series, 266(Table 1), 273–302. https://doi.org/10.3354/meps266273

Syam, A. R., & Mujiyanto. (2011). Populasi ikan karang dan biota penempel di

sekitar terumbu buatan perairan Pulau Kotok kecil dan Pulau Harapan,

Kepulauan Seribu. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumber Daya Ikan

III, 1–14.

Tambunan, J. M., Anggoro, S., & Purnaweni, H. (2013). Kajian kualitas lingkungan

dan kesesuaian wisata Pantai Tanjung Pesona Kabupaten Bangka. Prosiding

Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 356–362.

Tanzil, M. A. (2018). Tutupan karang di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu dan

kaitannya dengan kepadatan Acanthaster planci (Skripsi). UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Page 59: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

44

Thamrin. (2006). Karang: Biologi reproduksi dan ekologi. Pekanbaru: Mandiri

Press.

Utami, P. (2018). Kondisi karang hidup ditinjau dari kepadatan Acanthaster planci

L. dan hubungannya dengan aspek antropogenik di perairan Pulau Panggang,

Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (Skripsi). UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Weber, M., Beer, D. De, Lott, C., Polerecky, L., Kohls, K., Abed, R. M. M., …

Fabricius, K. E. (2012). Mechanisms of damage to corals exposed to

sedimentation. Proceedings of the National Academy of Sciences, (May), 1–

10. https://doi.org/10.1073/pnas.1100715109

Yamashiro, H. (2004). Coral disease. Ministry of the Environment of Japan: The

Japanese Coral Reef Society.

Yee, R. W. Y., Yeung, A. C. L., & Cheng, T. C. E. (2008). The impact of employee

satisfaction on quality and profitability in high-contact service industries.

Journal of Operations Management, 26(5), 651–668.

https://doi.org/10.1016/j.jom.2008.01.001

Yulianda, F., Samosir, A., Fachrudin, A., Adimu, H. E., Febryane, A., & Muhidin.

(2017). Daya dukung lingkungan di Taman Nasional Kepulauan Seribu.

Bogor: Direktorat PJLHK.

Zikrillah, R. B. (2016). Kondisi Ekosistem Terumbu Karang pada Zona yang

Berbeda di Kepulauan Seribu (Skripsi). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 60: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

45

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pengambilan data dan identifikasi menggunakan perangkat lunak

CPCe 4.1

Page 61: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

46

Lampiran 2. Penyakit dan gangguan kesehatan pada yang yang ditemukan di stasiun

penelitian

Keterangan:

a. Black band disease

b. White syndrome

c. Bleaching

d. Predation (fish bite)

e. Growth anomalies

f. Growth anomalies (Invertebrate gall)

a b c

d e f

Page 62: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

47

Lampiran 3. Data pada stasiun Pulau Air

a. Tutupan substrat

CATEGORIES # Points %

Coral

Acropora branching (ACB) 78 7,44

Acropora digitate (ACD) 0 0,00

Acropora encrusting (ACE) 4 0,38

Acropora submassive (ACS) 0 0,00

Acropora tabular (ACT) 54 5,15

Coral (general) (CORAL) 0 0,00

Coral branching (CB) 1 0,10

Coral encrusting (CE) 14 1,33

Coral foliose (CF) 155 14,78

Coral heliopora (CHL) 0 0,00

Coral juvenile (CORJU) 0 0,00

Coral massive (CM) 144 13,73

Coral millepora (CME) 9 0,86

Coral mushroom (CMR) 3 0,29

Coral submassive (CS) 136 12,96

Non-Coral

Non-Coral (NC) 0 0,00

Dead coral

Dead coral with algae (DCA) 38 3,62

Diseased coral (DCOR) 1 0,10

Old dead coral (ODC) 18 1,72

Recently dead coral (RDC) 0 0,00

Other biota

Ascidians, anemones, gorgonians, giant clams, etc

(OT) 7 0,67

soft corals (SC) 0 0,00

sponges (SP) 0 0,00

Algae

Halimeda (HA) 0 0,00

Padina sp. (PA) 9 0,86

algal assemblage (AA) 124 11,82

coraline algae (CA) 0 0,00

macroalgae (MA) 0 0,00

turf algae (TA) 30 2,86

Abiotik

rock (RCK) 12 1,14

rubble (R) 143 13,63

sand (S) 69 6,58

silt (SI) 0 0,00

Tape, wand, shadow

shadow (SH) 0 0,00

Page 63: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

48

tape (TAPE) 0 0,00

wand (WAND) 1 0,10

Total pts. minus (tape+wand+shadow): 1049,00 100,00

b. Penyakit dan gangguan kesehatan

No. Penyakit dan gangguan kesehatan Koloni terinfeksi

1. Sedimentation Damage 44

2. Growth Anomalieses 1

3. WS 1

4. Bleaching 12

5. Predasi 4

6. Pigmentatin Response 7

7. UWS 1

Total 70

c. Genus yang ditemukan

Genus Sehat Sakit

Porites 58 17

Acropora 40 2

Montipora 134 17

Favia 10 2

Fungia 8 2

Alveopora 6 1

Pocillopora 7 0

Favites 18 4

Pachyseris 1 1

Pavona 2 0

Echinopora 3 1

Leptasrea 0 1

Platigyra 4 1

Goniastra 14 9

Acanthastrea 0 1

Cypastrea 7 7

Symphillia 3 1

Litophyllon 3 0

Barabattoia 3 1

Total 321 68

389

Page 64: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

49

Lampiran 4. Data pada stasiun Pulau Semak daun

a. Tutupan substrat

CATEGORIES # Points %

Coral

Acropora branching (ACB) 22 2,10

Acropora digitate (ACD) 4 0,38

Acropora encrusting (ACE) 0 0,00

Acropora submassive (ACS) 1 0,10

Acropora tabular (ACT) 0 0,00

Coral (general) (CORAL) 0 0,00

Coral branching (CB) 9 0,86

Coral encrusting (CE) 16 1,52

Coral foliose (CF) 30 2,86

Coral heliopora (CHL) 0 0,00

Coral juvenile (CORJU) 0 0,00

Coral massive (CM) 230 21,90

Coral millepora (CME) 5 0,48

Coral mushroom (CMR) 9 0,86

Coral submassive (CS) 54 5,14

Non-Coral

Non-Coral (NC) 0 0,00

Dead coral

Dead coral with algae (DCA) 18 1,71

Diseased coral (DCOR) 0 0,00

Old dead coral (ODC) 6 0,57

Recently dead coral (RDC) 0 0,00

Other biota

Ascidians, anemones, gorgonians, giant clams, etc

(OT) 3 0,29

soft corals (SC) 0 0,00

sponges (SP) 0 0,00

Algae

Halimeda (HA) 0 0,00

Padina sp. (PA) 49 4,67

algal assemblage (AA) 187 17,81

coraline algae (CA) 0 0,00

macroalgae (MA) 0 0,00

turf algae (TA) 101 9,62

Abiotik

rock (RCK) 0 0,00

rubble (R) 260 24,76

sand (S) 46 4,38

Page 65: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

50

silt (SI) 0 0,00

Tape, wand, shadow

shadow (SH) 0 0,00

tape (TAPE) 0 0,00

wand (WAND) 0 0,00

Total pts. minus (tape+wand+shadow): 1050,00 100,00

b. Penyakit dan gangguan kesehatan

No. Penyakit dan gangguan kesehatan Koloni terinfeksi

1. Sedimentation Damage 14

2. Bleaching 9

3. Predasi 10

4. Pigmentatin Response 8

5. UWS 1

Total 42

c. Genus yang ditemukan

Genus Sehat Sakit

Porites 92 22

Acropora 29 0

Montipora 33 1

Favia 27 3

Fungia 23 8

Alveopora 2 2

Pocillopora 1 0

Favites 10 0

Pachyseris 1 1

Seriatopora 1 0

Milepora 5 0

Echinopora 2 0

Platigyra 3 0

Goniastra 18 2

Diploastrea 3 0

Cypastrea 4 3

Symphillia 1 1

Ctenactis 255 43

510 86

596

Page 66: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

51

Lampiran 5. Data pada stasiun Pulau Karang beras

a. Tutupan substrat

CATEGORIES # Points %

Coral

Acropora branching (ACB) 248 23,78

Acropora digitate (ACD) 0 0,00

Acropora encrusting (ACE) 72 6,90

Acropora submassive (ACS) 0 0,00

Acropora tabular (ACT) 5 0,48

Coral (general) (CORAL) 0 0,00

Coral branching (CB) 60 5,75

Coral encrusting (CE) 1 0,10

Coral foliose (CF) 293 28,09

Coral heliopora (CHL) 0 0,00

Coral juvenile (CORJU) 0 0,00

Coral massive (CM) 34 3,26

Coral millepora (CME) 11 1,05

Coral mushroom (CMR) 2 0,19

Coral submassive (CS) 24 2,30

Non-Coral

Non-Coral (NC) 0 0,00

Dead coral

Dead coral with algae (DCA) 18 1,73

Diseased coral (DCOR) 0 0,00

Old dead coral (ODC) 41 3,93

Recently dead coral (RDC) 0 0,00

Other biota

Ascidians, anemones, gorgonians, giant clams, etc

(OT) 0 0,00

soft corals (SC) 0 0,00

Algae

Halimeda (HA) 0 0,00

Padina sp. (PA) 1 0,10

algal assemblage (AA) 39 3,74

turf algae (TA) 3 0,29

Abiotik

rock (RCK) 7 0,67

rubble (R) 146 14,00

sand (S) 38 3,64

Tape, wand, shadow

shadow (SH) 0 0,00

Page 67: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

52

tape (TAPE) 7 0,67

wand (WAND) 0 0,00

Total pts. minus (tape+wand+shadow): 1043,00 100,00

b. Penyakit dan gangguan kesehatan

No. Penyakit dan gangguan kesehatan Koloni terinfeksi

1. Sedimentation Damage 11

2. White Syndromee 1

3. Predasi 2

4. Pigmentatin Response 1

5. UWS 1

6. Bleaching 13

7. Black Band Disease 1

Total 30

c. Genus yang ditemukan

Genus Sehat Sakit

Porites 22 2

Acropora 64 3

Montipora 99 6

Favia 1 0

Fungia 45 11

Alveopora 2 0

Favites 5 1

Pachyseris 4 0

Seriatopora 61 1

Milepora 2 0

Echinopora 6 1

Platigyra 1 1

Physoghyra 1 0

Goniastra 4 3

Acanthastrea 1 0

Cypastrea 0 1

Symphillia 1 0

Pavona 1 0

Ctenactis 0 1

Total 320 31

351

Page 68: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

53

Lampiran 6. Data pada stasiun Pulau Kotok besar

a. Tutupan substrat

CATEGORIES # Points %

Coral

Acropora branching (ACB) 76 7,25

Acropora digitate (ACD) 0 0,00

Acropora encrusting (ACE) 15 1,43

Acropora submassive (ACS) 20 1,91

Acropora tabular (ACT) 14 1,34

Coral (general) (CORAL) 0 0,00

Coral branching (CB) 5 0,48

Coral encrusting (CE) 117 11,16

Coral foliose (CF) 19 1,81

Coral heliopora (CHL) 0 0,00

Coral juvenile (CORJU) 0 0,00

Coral massive (CM) 38 3,63

Coral millepora (CME) 0 0,00

Coral mushroom (CMR) 4 0,38

Coral submassive (CS) 268 25,57

Coral tubipora (CTU) 0 0,00

Non-Coral

Non-Coral (NC) 0 0,00

Dead coral

Dead coral with algae (DCA) 139 13,26

Diseased coral (DCOR) 0 0,00

Old dead coral (ODC) 14 1,34

Recently dead coral (RDC) 0 0,00

Other biota

Ascidians, anemones, gorgonians, giant clams, etc

(OT) 18 1,72

soft corals (SC) 4 0,38

sponges (SP) 0 0,00

zoanthids (ZO) 0 0,00

Algae

Halimeda (HA) 0 0,00

Padina sp. (PA) 8 0,76

algal assemblage (AA) 0 0,00

coraline algae (CA) 0 0,00

macroalgae (MA) 0 0,00

turf algae (TA) 44 4,20

Abiotik

rock (RCK) 0 0,00

Page 69: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

54

rubble (R) 197 18,80

sand (S) 48 4,58

silt (SI) 0 0,00

Tape, wand, shadow

shadow (SH) 0 0,00

tape (TAPE) 2 0,19

wand (WAND) 0 0,00

Total pts. minus (tape+wand+shadow): 1048,00 100,00

b. Penyakit dan gangguan kesehatan

No. Penyakit dan gangguan kesehatan Koloni terinfeksi

1. Sedimentation Damage 36

2. Pigmentatin Response 10

3. UWS 1

4. Bleaching 11

5. Black Band Disease 1

Total 59

c. Genus yang ditemukan

Genus Sehat Sakit

Porites 104 15

Acropora 28 1

Montipora 94 11

Favia 3 0

Fungia 20 9

Alveopora 3 2

Favites 2 4

Pachyseris 0 0

Seriatopora 7 0

Milepora 2 0

Echinopora 7 2

Sandalolitha 2 0

Goniastra 7 2

Acanthastrea 2 1

Cypastrea 0 5

Ctenactis 5 0

286 52

338

Page 70: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

55

Lampiran 7. Data pada stasiun Pulau Kotok kecil

a. Tutupan substrat

CATEGORIES # Points %

Coral

Acropora branching (ACB) 247 23,52

Acropora digitate (ACD) 0 0,00

Acropora encrusting (ACE) 0 0,00

Acropora submassive (ACS) 0 0,00

Acropora tabular (ACT) 24 2,29

Coral (general) (CORAL) 0 0,00

Coral branching (CB) 63 6,00

Coral encrusting (CE) 46 4,38

Coral foliose (CF) 195 18,57

Coral heliopora (CHL) 0 0,00

Coral juvenile (CORJU) 0 0,00

Coral massive (CM) 7 0,67

Coral millepora (CME) 32 3,05

Coral mushroom (CMR) 4 0,38

Coral submassive (CS) 151 14,38

Coral tubipora (CTU) 0 0,00

Non-Coral

Non-Coral (NC) 0 0,00

Dead coral

Dead coral with algae (DCA) 105 10,00

Diseased coral (DCOR) 0 0,00

Old dead coral (ODC) 0 0,00

Recently dead coral (RDC) 0 0,00

Other biota

Ascidians, anemones, gorgonians, giant clams, etc

(OT) 9 0,86

soft corals (SC) 0 0,00

sponges (SP) 0 0,00

zoanthids (ZO) 0 0,00

Algae

Halimeda (HA) 0 0,00

Padina sp. (PA) 3 0,29

algal assemblage (AA) 0 0,00

coraline algae (CA) 0 0,00

macroalgae (MA) 0 0,00

turf algae (TA) 123 11,71

Abiotik

rock (RCK) 13 1,24

Page 71: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

56

rubble (R) 22 2,10

sand (S) 6 0,57

silt (SI) 0 0,00

Tape, wand, shadow

shadow (SH) 0 0,00

tape (TAPE) 0 0,00

wand (WAND) 0 0,00

Total pts. minus (tape+wand+shadow): 1050,00 100,00

b. Penyakit dan gangguan kesehatan

No. Penyakit dan gangguan kesehatan Koloni terinfeksi

1. Sedimentation Damage 14

2. Pigmentatin Response 1

3. Bleaching 11

Total 26

c. Genus yang ditemukan

Genus Sehat Sakit

Porites 32 1

Acropora 48 8

Montipora 52 5

Favia 0 1

Fungia 20 5

Alveopora 0 1

Pocillopora 0 0

Favites 0 0

Pachyseris 2 2

Seriatopora 26 0

Milepora 15 0

Echinopora 32 3

Sandalolitha 1 0

Goniastra 2 0

Cypastrea 1 0

Pavona 1 0

Ctenactis 2 1

Total 234 27

261

Page 72: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

57

Lampiran 8. Data pada stasiun Pulau Karang congkak

a. Tutupan substrat

CATEGORIES # Points %

Coral

Acropora branching (ACB) 26 2,51

Acropora digitate (ACD) 0 0,00

Acropora encrusting (ACE) 0 0,00

Acropora submassive (ACS) 0 0,00

Acropora tabular (ACT) 0 0,00

Coral (general) (CORAL) 0 0,00

Coral branching (CB) 0 0,00

Coral encrusting (CE) 15 1,45

Coral foliose (CF) 2 0,19

Coral heliopora (CHL) 0 0,00

Coral juvenile (CORJU) 0 0,00

Coral massive (CM) 275 26,57

Coral millepora (CME) 10 0,97

Coral mushroom (CMR) 0 0,00

Coral submassive (CS) 119 11,50

Non-Coral

Non-Coral (NC) 0 0,00

Dead coral

Dead coral with algae (DCA) 47 4,54

Diseased coral (DCOR) 2 0,19

Old dead coral (ODC) 3 0,29

Recently dead coral (RDC) 0 0,00

Other biota

Ascidians, anemones, gorgonians, giant clams, etc

(OT) 11 1,06

soft corals (SC) 10 0,97

sponges (SP) 0 0,00

Algae

Halimeda (HA) 0 0,00

Padina sp. (PA) 79 7,63

algal assemblage (AA) 138 13,33

turf algae (TA) 39 3,77

Abiotik

rock (RCK) 0 0,00

rubble (R) 125 12,08

sand (S) 134 12,95

Tape, wand, shadow

shadow (SH) 14 1,33

Page 73: PREVALENSI PENYAKIT DAN GANGGUAN KESEHATAN PADA …

58

tape (TAPE) 0 0,00

wand (WAND) 0 0,00

Total pts. minus (tape+wand+shadow): 1035,00 100,00

b. Penyakit dan gangguan kesehatan

No. Penyakit dan gangguan kesehatan Koloni terinfeksi

1. Sedimentation Damage 36

2. Growth Anomalies 1

3. Bleaching 7

4. Predasi 1

5. Pigmentatin Response 3

6. UWS 2

Total 50

c. Genus yang ditemukan

Genus Sehat Sakit

Porites 73 12

Acropora 26 0

Montipora 55 8

Favia 4 0

Fungia 6 3

Alveopora 5 1

Pocillopora 12 0

Favites 37 4

Pachyseris 5 3

Pavona 1 0

Milepora 2 0

Leptasrea 1 0

Platigyra 8 1

Sandalolitha 1 0

Goniastra 18 9

Acanthastrea 9 2

Cypastrea 11 11

Symphillia 8 1

Diploastrea 2 0

Barabattoia 1 0

285 55

340