Upload
ainuradi
View
39
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
nn
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari
gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan
asma.Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan kondisi ireversibel
yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan
keluar udara paru–paru.Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan
penyebab kematian kelima terbesar di Amerika Serikat.Penyakit ini menyerang
lebih dari 25% populasi dewasa.(Smeltzer & Bare, 2001).Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, yang
ditandai dengan adanya hambatan aliran udara pada saluran pernapasan yang tidak
sepenuhnya reversibel.Gangguan yang bersifat progresif ini terjadi karena adanya
respon inflamasi paru akibat pajanan partikel atau gas beracun yang disertai efek
ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat penyakit.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama juga
peningkatan morbiditas dan mortalitas di dunia.Peningkatan ini berbanding lurus
dengan semakin tingginya prevalensi merokok di berbagai negara, polusi udara
dan bahan bakar biomasa lainnya yang menjadi faktor risiko utama PPOK.
1
Akhir-akhir ini chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) semakin menarik untuk dibicarakan oleh
karena prevalensi dan mortalitas yang terus meningkat.Sebagai penyebab
kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker
dan penyakit serebro vaskular.Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini
mencapai 24 Miliyar per tahunnya. World health organization (WHO)
memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan
meningkat .Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes.RI tahun 1992,
PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat keenam.Merokok merupakan
faktor resiko terpenting penyebabPPOK disamping faktor risiko lainnya seperti
polusi udara, faktor genetik dan lain-lainnya. (Sudoyo, 2006)
Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan salah satu masalah besar di
bidang kesehatan dengan prevalensi 4-6% pada penduduk dewasa di Eropadengan
prevalensi didominasi jenis kelamin laki-laki dan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia (Gulsvik, 1999). Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah
penyebab utama kematian bagi individu berusia diatas 65 tahun dan merupakan
penyebab kematian ke empat penduduk di Amerika Utara (Hackett, 2010).
Menurut Suradi (2007) mengatakan bahwa angka kesakitan penderita
PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan
pada wanita adalah 2% dengan angka kematian 4% pada umur di atas 45 tahun.
Prevalensi PPOK pada laki-laki sebesar 8,5-22,2% dan pada perempuan sebesar
5,1-16,7%, sedangkan pada orang dewasa pada usia lebih dari 40 tahun mencapai
9-10%. Pada laki-laki usia 55-74 tahun PPOK merupakan penyebab kematian ke
2
tiga dan pada perempuan merupakan penyebab kematian ke empat. Antara tahun
1980 dan tahun 2000, didapat angka kematian akibat PPOK meningkat 28,2%
pada perempuan dan 13% pada laki-laki (Mahler, et al., 2007).
Sedangkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hasil
survei Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan (PPM&PL) di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia yaitu Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan pada tahun 2004
menunjukkan bahwa PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka
kesakitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan
lainnya (2%) .
Latar belakang yang dipaparkan di atas memberikan motivasi kepada
peneliti untuk meneliti tentang prevalensi PPOK berdasarkan usia, jenis kelamin,
dan status sosial penderita di Rumah Sakit Paru Surabaya pada bulan Januari
2013-Desember 2013.
1.2 Rumusan masalah
Berapa prevalensi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) berdasarkan
Jenis Kelamin, Usia dan Status Sosial di Rumah Sakit Wates Husada Gresik Pada
Januari 2013 – Desember 2013?
3
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK) berdasarkan jenis kelamin, usia, dan status sosial di
Rumah Sakit Wates Husada Gresik.
1.3.2 Tujuan Khusus
a) Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
b) Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
berdasarkan jenis kelamin.
c) Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
berdasarkan usia.
d) Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
berdasarkan status sosial.
1.4 Manfaat penelitian
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui
hubungan jenis kelamin, usia daan status sosial dengan kejadian Penyakit
Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
b) Sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Surabaya dalam
perancanaan tindakan lanjut bagi upaya menurunkan angka Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK).
c) Sebagai bahan informasi untuk pengembangan penelitian yang serupa dan
berkelanjutan tentang pelaksanaan surveilans epidemiologi.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
2.1.1 Pengertian
PPOK adalah suatu penyakit yang ditandai oleh adanya hambatan aliran
udara yang disebabkan oleh bronkhitis kronis atau emfisema. Obstruksi aliran
udara pada umumnya pogresif non reversible kadang diikuti oleh hiperaktivitas
jalan napas dan kadangkala parsial reversibel.
Kelainan patologis anatomis dan fisiologis PPOK terdapat disaluran
pernafasan bagian perifer mulai dari bronkiolus terminalis sampai ke alveolus.
Bagian tersebut merupakan area pertukaran gas yang penting untuk
mempertahankan kehidupan manusia. Akibat kelainan tersebut, pada PPOK yang
berat akan terjadi gangguan pertukaran gas dengan berbagai komplikasinya,
antara lain kegagalan pernafasan.
Penyakit-penyakit paru yang secara klinis dapat menimbulkan PPOK ialah
asma bronkial, bronkhitis kronis, dan emfisema. Ketiga penyakit tersebut masing-
masing dapat berlanjut ke PPOK yang berat. Penderita bronkhitis kronis dan
emfisema biasanya seorang perokok berat, dan tidak merasakan gejala apapun
sampai di usia lanjut. Pada saat itu barulah dirasakan bahwa kemapuan untuk
bekerja mulai menurun dan batuk-batuk mulai terjadi.Gejala yang ditimbulkan
pada PPOK biasanya terjadi bersama-sama dengan gejala primer dari penyakit ini.
Bila penyebabnya Bronkhitis Kronis maka gejala yang utama adalah produksi
5
sputum yang berlebihan. Tetapi bila penyebabnya adalah Emfisema maka gejala
utamanya adalah kerusakan pada alveoli dengan keluhan klinis berupa dsypnoe
yang terjadi sehubungan dengan adanya gerak badan.
2.1.2 Patogenesis Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Menurut para ahli ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya PPOK yaitu
faktor eksogen dan endogen. Faktor endogen (genetik) tersebut dapat
bermanifestasi menjadi PPOK tanpa adanya pengaruh faktor luar: Lebih atau
sama dengan 70%: 69%-60%: 59%-31%: Kurang atau sama dengan 30%
(eksogen), akan tetapi yang banyak dijumpai adalah kecenderungan untuk PPOK
meningkat akibat adanya interaksi antara faktor endogen dan eksogen. Pendapat
yang menyatakan bahwa genetik merupakan faktor risiko PPOK (Dutch
Hypothesis) ditentang oleh pakar dari Inggris (British Hypothesis) yang
menyatakan bahwa hanya faktor eksogen yang berperan.
Ada 2 mekanisme patogenesis PPOK yang penting yaitu faktor endogen
(herediter) dan eksogen (iritasi karena asap rokok, bahan-bahan polutan dan
infeksi paru). Faktor endogen dapat menimbulkan obstruksi bronkus tanpa atau
dengan pengaruh faktor eksogen. Obstruksi bronkus disebabkan adanya spasme
otot bronkus, hipersekresi kelenjar mukus, edema dinding bronkus dan kelenturan
paru yang menurun. Apabila iritasi oleh faktor iritan eksogen masih berlangsung
terus maka obstruksi bronkus akan menunjukkan tanda-tanda klinis yang nyata
yaitu sesak nafas, batuk kronis, produksi dahak yang berlebihan dan gangguan
fungsi paru. Tergantung pada beratnya penyakit, pada stadium akhir (Phenotype
6
patient) dapat terjadi gangguan pertukaran gas sehingga terjadi hipoksemia
jaringan. Komplikasi yang sering dijumpai dapat memperberat PPOK ialah infeksi
paru. Pada stadium lanjut akan terjadi gangguan pada jantung kanan yang dikenal
sebagai kor pulmonal. Pada stadium ini penderita selalu sesak nafas walaupun
hanya melakukan pekerjaan rutin sehari-hari misalnya memakai baju. Pengelolaan
penderita PPOK ditujukan pada 3 hal yang penting yaitu mencegah komplikasi,
meringankan gangguan pada fungsi paru, dan meningkatkan kualitas hidup.
2.1.3 Gejala Umum
PPOK ditandai oleh adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh
bronkhitis kronik maupun emfisema.Bronkhitis kronis ditandai oleh adanya
sekresi mukus bronkus yang berlebihan dan tampak dengan adanya batuk
produktif selama 3 bulan atau lebih, dan setidaknya berlangsung selama 3 tahun
bertururt-turut, serta tidak disebabkan oleh penyakit lain yang mungkin
menyebabkan gejala tersebut. Emfisema menunjukkan adanya abnormalitas,
pembesaran permanen pada saluran udara bagian bawah sampai bronkhiolus
terminal dengan kerusakan pada dinding dan tanpa fibrosis yang nyata.
2.1.4 Gejala Klinis
Pada penderita PPOK selalu akan mengeluh batuk-batuk berdahak yang
sudah bertahun-tahun lamanya. Bila tidak disertai infeksi sekunder, dahak akan
berwarna keputih-putihan yang mungkin sampai kelabu (karena partikel-partikel
debu bila ada polusi udara). Tetapi bila ada infeksi sekunder, dahak akan lebih
7
kental, dan berwarna kuning sampai hijau dan seperti pus.
Pada stadium dini, keluhan sesak nafas hanya dirasakan kalau sedang
melakukan pekerjaan fisik ekstra (dyspnoe d’effort) yang masih dapat ditoleransi
penderita dengan mudah, namun lama kelamaan sesak ini semakin progresif. Pada
stadium berikutnya penderita secara fisik tak mampu melakukan ativitas apapun
tanpa bantuan oksigen, karena sambil duduk pun tetap akan terasa sesak nafas.
Stadium ini dikenal dengan julukan ”social death”, karena penderita sudah harus
menghentikan kegiatan sosialnya.
Pada dasarnya penderita PPOK tidak akan mengeluh tentang panas badan,
tetapi karena sering mendapatkan infeksi sekunder sub akut, maka dalam periode-
periode itu penderita akan mengeluh tentang panas badan rendah (subfebril)
sampai tinggi. Pada stadium lanjut sesak nafas yang berkepanjangan akan terjadi
dan akan menimbulkan hipertropi otot-otot nafas bantuan, yang akan nyata sekali
pada m.sterno-cleido-mastoideus yang akan selalu aktif bekerja menaiki rongga
thoraks keatas pada setiap inspirasi.
Ada penderita yang tampak kebiru-biruan (blue bloater) karena sianosis
yang dialaminya disertai dengan tanda-tanda gagal jantung kanan (edema perifer),
biasanya penderita ini agak gemuk dan sesak nafasnya tidak terlalu berat,
walaupun hiposekmianya agak berat. Ada pula yang tampak kemerahjambuan
(pink puffer), biasanya penderita cenderung kurus tanpa gangguan jantung kanan
dan hipoksemia yang dideritanya agak ringan, tetapi mengeluh sesak nafas berat
dan kadang diikuti dengan rasa mual. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua
penderita akan mengikuti kedua pola ini secara mutlak, kebanyakan akan berada
8
dikeduanya.
Thoraks pun mengalami perubahan, sekarang diameter sagitalnya menjadi
sama dengan diameter transversal, sehingga bentuk drum (barrel chest).
Disamping itu kedua bahu akan tertarik keatas dan kadang-kadang kifosis tulang
belakang bagian torakal akan lebih nyata. Karena tekanan udara intrapulmonal
cenderung tinggi, letak diafragma rendah.
Fermitus suara juga akan melemah, sebaliknya perkusi akan menghasilkan
suara hipersonor. Auskultasi akan menghasilkan suara nafas bronkovesikuler
tetapi akan semakin lemah intensitasnya dengan semakin parahnya kondisi
penderita. Wheezing terdengar sepanjang hari dan di seluruh paru, baik saat
inspirasi maupun ekspirasi. Ronki basah juga akan semakin terdengar dari yang
halus sampai sedang.
2.1.5 Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal nafas yang
digolongkan menjadi gagal nafas kronik dan gagal nafas akut. Pada gagal nafas
kronik ditandai dengan sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah
dan puruen, demam, dan kesadaran menurun. Selain itu dapat timbul pula infeksi
berulang yang terjadi akibat produksi sputum berlebihan sehingga terbentuk
koloni kuman. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai
dengan menurunnya kadar limposit darah. Komplikasi lain adalah terjadinya kor
pulmonal yang ditandai oleh P pulmonal pada EKG dan hematokrit > 50%, dapat
disertai gagal jantung kanan.
9
2.1.6 Faktor Penyebab Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Peran masing-masing faktor resiko penyebab PPOK telah banyak
dipelajari di luar negeri, tetapi seberapa jauh kontribusi masing-masing faktor
tersebut terhadap patogenesis PPOK tidak banyak dilaporkan. Adapun beberapa
faktor determinan yang menyebabkan PPOK adalah:
a) Kebiasaan merokok
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga
120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang
berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu
ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada
ujung lainnya.Rokok adalah gulungan tembakau yang disalut dengan daun
nipah (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002). Selain itu rokok juga di
bungkus dengan kotak kecil agar muat dengan saku.
Merokok merupakan masalah kesehatan global, WHO memperkirakan
jumlah perokok didunia sebanyak 2,5 milyar orang dengan dua per tiganya
berada di negara berkembang. Di negara berkembang paling sedikit satu dari
empat orang dewasa adalah perokok.
Menurut buku Report of The WHO Expert Commite on Smoking
Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya PPOK. Asap rokok dapat
mengganggu aktifitas bulu getar saluran pernafasan, fungsi makrofag dan
mengakibatkan hipertropi kelenjar mukosa. Pengidap PPOK yang merokok
mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi (6,9-25 kali) dibandingkan
dengan bukan perokok. Resiko PPOK yang diakibatkan oleh rokok empat kali
10
lebih besar daripada bukan perokok.
Mekanisme kerusakan paru akibat rokok terjadi melalui 2 tahap yaitu
jalur utama melalui peradangan yang disertai kerusakan matriks ekstrasel dan
jalur kedua ialah menghambat reparasi matriks ekstrasel. Mekanisme
kerusakan paru akibat rokok melalui radikal bebas yang dikeluarkan oleh asap
rokok. Bahan utama perusak sel akibat proses diatas adalah protease,
mielperoksidase, oksidan dan radikal bebas.
b) Pekerjaan
Faktor pekerjaan berhubungan erat dengan unsur alergi dan
hiperreaktivitas bronkus. Dan umumnya pekerja tambang yang bekerja di
lingkungan yang berdebu akan lebih mudah terkena PPOK.
c) Tempat Tinggal
Orang yang tinggal di kota kemungkinan untuk terkena PPOK lebih
tinggi daripada orang yang tinggal di desa. Hal ini berkaitan dengan kondisi
tempat yang berbeda antara kota dan desa. Dimana dikota tingkat polusi udara
lebih tinggi dibandingkan di desa.
d) Jenis Kelamin
Pada pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita. Hal ini
disebabkan lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada
wanita.
e) Faktor Genetik
Belum diketahui jelas apakah fator genetik berperan atau tidak.
11
f) Polusi Lingkungan
Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab
penyakit diatas, tetapi bila ditambah merokok, resiko akan lebih tinggi. Zat-zat
kimia yang dapat menyebabkan PPOK adalah zat-zat pereduksi dan zat-zat
pengoksidasi seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.
g) Status Sosial Ekonomi
Pada status ekonomi rendah kemungkinan untuk mendapatkan PPOK
lebih tinggi. Hal ini disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih
rendah.
h) Usia
Gejala PPOK jarang muncul pada usia muda, umumnya setelah usia 50
tahun keatas. Hal ini dikarenakan keluhan muncul karena adanya terpaan asap
beracun yang terus menerus dalam waktu yang lama. Pada orang yang masih
terus merokok setelah usia 45 tahun fungsi parunya akan menurun dengan
cepat dibandingkan yang tidak merokok dan pada usia di atas 60 tahun gejala-
gejala PPOK akan mulai muncul.
2.1.7 Pencegahan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
A. Pencegahan Primer
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
12
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan
(2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan
dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktivitas optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi
penderita.
13
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
• Berhenti merokok Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu
diagnosis PPOK ditegakkan
• Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau
kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
• Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
• Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
• Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya.Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
14
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
• Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
• Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian
edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu
banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit
kronik progresif yang ireversibel. Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit
Ringan
a. Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
b. Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain
berhenti merokok
c. Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
a. Menggunakan obat dengan tepat
b. Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
c. Program latihan fisik dan pernapasan
15
Berat
a. Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
b. Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
c. Penggunaan oksigen di rumah
2. Menghindari infeksi.
Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari oleh karena dapat
menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.
3. Lingkungan yang sehat dan kebutuhan cairan yang cukup.
4.Obat - obatan
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang
(long acting). Macam-macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik Digunakan pada derajat ringan sampai berat,
disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir
( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2 Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi
sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk
16
tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2 Kombinasi kedua golongan
obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.
Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin
darah.
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250
mg.
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
17
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II :amoksisilin, asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
baru
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan
N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang
sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum
yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi
tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
Antitusif
Diberikan dengan hati – hati.
5. Terapi Oksigen
Diberikan pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55 mmHg.
Pemberian oksigen konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus
memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, dan toleransi beban kerja.Lama
pemberian 15 jam setiap hari, yang bertujuan mencegah hipoksemia yang sering
terjadi bila penderita tidur, pemberian oksigen pada waktu melakukan aktifitas
yang bertujuan menghilangkan sesak nafas dan meningkatkan kemampuan
aktifitas. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen diatas 90%. Terapi
18
diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurang-
nya sesitivitas terhadap CO2.
6. Rehabilitasi
Pencegahan ini berupa rehabilitasi, disebabkan pasien cenderung menemui
kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi
agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah :
a. Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah membantu mengeluarkan sputum dan
meningkatkan efisiensi batuk, mengatasi gangguan pernapasan pasien,
memperbaiki gangguan pengembangan thoraks, meningkatkan kekuatanotot-
otot pernapasan, dan mengurangi spasme otot leher.
b. Rehabilitasi psikis
Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan
mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya.
c. Rehabilitasi pekerjaan
Berguna untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuan fisiknya.
19
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Keterangan :
20
UsiaUsia
Jenis KelaminJenis Kelamin
Status Sosial
Ekonomi
Status Sosial
Ekonomi
Faktor GenetikFaktor
Genetik
Kebiasaan Merokok
Kebiasaan Merokok
PerempuanPerempuan
Laki - LakiLaki - Laki
Riwayat Pendidikan
Riwayat Pendidikan
PekerjaanPekerjaan
Tempat TinggalTempat Tinggal Polusi LingkunganPolusi Lingkungan
Pengetahuan tentang PPOKPengetahuan tentang PPOK
PPOKPPOK
Tidak ditelitiTidak diteliti DitelitiDiteliti
3.2 Definisi Operasional
3.2.1. Rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun terekam tentang
identitas, anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnosis, segala pelayanan
dan tindakan medik yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik yang
dirawat inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat
(Gondodiputro, 2007).
3.2.2. Karakteristik adalah kualitas atau atribut yang menunjukkan sifat suatu
objek atau organisme.
3.2.3. Pasien PPOK eksaserbasi akut adalah pasien yang dinyatakan menderita
PPOK eksaserbasi akut berdasarkan hasil diagnosis dokter dan tercatat dalam
rekam medis.
3.2.4. Status Sosial adalah salah satu komponen variabel nondemografi, seperti
pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain, sedangkan demografi adalah suatu ilmu yang
mempelajari penduduk di suatu wilayah terutama mengenai jumlah, struktur (usia,
jenis kelamin, agama, dan lain-lain), dan proses perubahannya (kelahiran,
kematian, perkawinan, dan lain-lain). Dalam penelitian ini, status social terdiri
dari:
a. Usia adalah lamanya hidup pasien PPOK eksaserbasi akut yang dihitung
berdasarkan tahun sejak pasien lahir, sesuai yang tercatat pada rekam medis.
b. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien PPOK eksaserbasi akut sesuai yang
tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:
1. Laki-laki
2. perempuan
c. Pekerjaan adalah aktivitas utama pasien PPOK sesuai yang tercatat pada rekam
medis, yang dikategorikan atas:
21
1. Petani
2. Wiraswasta
3. Pegawai Swasta
4. PNS/ TNI/ POLRI
5. Pensiunan PNS/ TNI/ POLRI
6. Ibu Rumah Tangga
7. Pekerja Lepas(Buruh, Nelayan)
8. Tidak Bekerja
22
BAB IV
METODE PENELITIAN
IV.1 Rancangan Penelitian
A. Rancangan Penelitian
1. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional yaitu
deskriptif karena tujuannya adalah mengetahui ”prevalensi PPOK
berdasarkan jenis kelamin, usia dan status ekonomi di Rumah Sakit
Wates Husada Gresik pada tahun 2013”
2. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Cross Sectional ,
karena variabel pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan
secara simultan dalam waktu bersamaan dan tidak dilakukan
follow up.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah populasi terjangkau yaitu
pasien yang terdiagnosis PPOK di Rumah Sakit Wates Husada
Gresik
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut.Apabila populasi besar, dan
peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada populasi,
23
hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dana, tenaga dan
waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil
dari populasi tersebut. Sampel adalah seluruh pasien dengan
penyakit PPOK di Rumah Sakit Wates Husada Gresik dengan
mengumpulkan data rekam medis pada bulan januari 2013 –
Desember 2013.
Besar Sampel
Besar sampel ditetapkan dengan rumus proporsi binomial
(Suyanto, 2010).
Sampel adalah bagian dari sebuah populasi yang dianggap
dapat mewakili dari populasi tersebut. Untuk menentukan
besarnya sampel menurut Arikunto (2002: 112) apabila subjek
kurang dari 100, lebih baik diambilsemua sehingga
penelitiannya penelitian populasi.
C. Variabel Penelitian
Variabel
Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Penderita PPOK
2. Umur/Usia
3. Jenis Kelamin
4. Status ekonomi (Pekerjaan)
24
D. Lokasi dan Waktu Penelitian
a) Lokasi : Penelitian dilaksanakan di poliklinik Penyakit Dalam dan
bagian Rawat Inap yang tercantum di Rekam Medis Rumah Sakit
Wates Husada Gresik..
b) Penelitian data yang diambil dari data Rekam Medis Pasien Rawat
Inap Rumah Sakit Wates Husada Gresik pada bulan Januari –
Desember 2013
c) Penelitian dilapangan dilaksanakan melihat dari rekam medis (data
sekunder)
d) Bahan, Alat/Instrumen Penelitian
Alat
- Laptop
- Printer
Bahan
- Kertas
- Rekam medis Rumah Sakit Wates Husada Gresik.
e) Prosedur Penelitian/Pengumpulan Data
1. Persiapan penelitian
Persiapan penelitian meliputi: mempersiapkan rekam medis
yang akan diteliti, menetapkan metode pengumpulan data
berdasarkan variabel yang diteliti.
25
2. Rencana Kerja
a. Menentukan rekam medis
b. Memberi penjelasan kepada petugas rumah sakit tentang
tujuan yang akan diteliti.
f) Metode Analisis Data
1. Pengkajian Data (editing)
Peneliti mengkaji dan meneliti kembali kelengkapan rekam medis
yang telah terkumpul untuk proses berikutnya.
2. Pemberian Kode (coding)
Peneliti mengklasifikasikan hasil yang didapat dari rekam medis untuk
kemudian dilakukan entry data dengan menggunakan komputer.
3. Analisis Deskriptif
Hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan diagram batang
dengan menggunakan program komputer MS Excel 2007.
4. Uji Statistik
Data penelitian ini diolah dan dianalisis secara kuantitatif dengan
menggunakan program komputer SPSS Versi 17 dengan
menggunakan uji Descriptive Frequency.
g) Kriteria Sampel
Dalam pemilihan sampel, peneliti membuat kriteria bagi sampel
yang di ambil. Sampel yang diambil berdasarkan pada kriteria inklusi,
26
yaitu karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau layak untuk diteliti.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
1). Pasien yang tidak terganggu jiwanya
2). Pasien yang menderita PPOK
27
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Penelitian yang berjudul “Prevalensi Penyakit Paru Obtruksi Kronis
berdasarkan jenis kelamin, usia, pekerjaan” ini dilakukan pada tanggal 8 – 11
April 2014 di RS Wates Husada Gresik. Penelitian ini dilakukan dengan cara
melihat dari hasil rekam medis pasien rawat inap. Penelitian ini menggunakan
metode pendekatan Cross Sectional , karena variabel pada objek penelitian diukur
atau dikumpulkan secara simultan dalam waktu bersamaan dan tidak dilakukan
follow up.
B. Karakteristik Responden
1. Jumlah penderita PPOK berdasarkan jenis kelamin
No Jumlah Penderita PPOK Jenis Kelamin Prosentase
1 15 Perempuan 27,77%
2 39 Laki-laki 72,23%
Jumlah 54 100%
Penelitian yang dilakukan menghasilkan jumlah penderita PPOK sebanyak
54 penderita. Dimana 27,77 persen (15 penderita) berjenis kelamin perempuan
dan 72,23 persen (39 penderita). Penelitian ini dilakukan dengan melihat rekam
medis.
28
Agar dapat mempermudah, maka disajikan dalam bentuk diagram sebagai
berikut:
Menurut grafik, jenis kelamin responden terbesar adalah laki-laki sebesar
72,23%, sedangkan jenis kelamin terendah adalah perempuan sebesar 27,77%.
2. Jumlah penderita PPOK berdasarkan usia
Usia Jumlah Penderita
PPOK
Prosentase
40-49 2 3,70%
50-59 11 20,37%
60-69 21 38,89%
70-79 12 22,22%
>80 8 14,82%
Jumlah 54 100%
29
Penelitian berdasarkan usia ini didapatkan jumlah penderita PPOK di
rentang usia antara 40-49 tahun sebanyak 2 orang (3,70%), rentang usia 50-59
tahun sebanyak 11 orang (20,37%), rentang usia 60-69 tahun sebanyak 21 orang
(38,89%), rentang usia 70-79 tahun sebanyak 12 orang (22,22%), dan usia lebih
dr 80 tahun sebanyak 8 orang (14,82%).
Untuk mempermudah, maka disajikan dalam bentuk grafik sebagai
berikut:
Dari gambar dapat dilihat usia responden tertinggi adalah rentang usia
antara 60-69 tahun sebesar 38,89% sedangkan usia responden terendah adalah
rentang usia antara 40-49 tahun sebesar 3,7%.
3. Jumlah penderita PPOK berdasarkan pekerjaan
Pekerjaan Jumlah Penderita prosentase
30
PPOK
Petani 20 37,04%
Swasta 7 12,96%
Sopir 2 3,70
Nelayan 15 27,78%
Buruh 10 18,52
54 100%
Penelitian berdasarkan pekerjaan dalam penelitian ini didapatkan sebanyak
20 orang (37,04%) sebagai petani, sebanyak 7 orang (12,96%) sebagai pegawai
swasta, sebanyak 2 orang (3,70%) sebagai sopir, sebanyak 15 orang (27,78%)
sebagai nelayan, dan sebanyak 10 orang (18,52%) seagai buruh.
Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:
31
Menurut gambar dapat dilihat responden PPOK yang bekerja sebagai
petani memiliki prosentase terbesar yaitu 37,04% dan paling rendah adalah
responden yang bekerja sebagai sopir yaitu 3,7%.
32
BAB VI
PEMBAHASAN
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa
responden PPOK berdasarkan jenis kelamin adalah 27,77 persen (15 penderita)
berjenis kelamin perempuan dan 72,23 persen (39 penderita) berjenis kelamin
laki-laki, maka dapat diketahui bahwa laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Sedangkan data responden berdasarkan usia adalah 40 tahun keatas, dengan
rentang usia terbanyak antara 60-69 tahun. Responden penderita PPOK
berdasarkan pekerjaan dapat diketahui bahwa pekerjaan responden dari terbanyak
sampai paling sedikit adalah responden dengan pekerjaan sebagai petani, nelayan,
buruh, swasta, dan paling sedikit bekerja sebagai sopir. Hal ini dapat dikaitkan
dengan fungsi rumah sakit tersebut sebagai rumah sakit rujukan yang juga
melayani Askes dan Jamkesmas. Selain itu, faktor pekerjaan berhubungan erat
dengan alergi dan hipereaktifitas bronkus, dimana pekerja yang bekerja di
lingkungan berdebu akan lebih berisiko menderita PPOK.
Maka hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Suradi pada tahun 2007 yang mengatakan bahwa angka kesakitan penderita
PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan
pada wanita adalah 2% dengan angka kematian 4% pada umur di atas 45 tahun.
Prevalensi PPOK pada laki-laki sebesar 8,5-22,2% dan pada perempuan sebesar
5,1-16,7%, sedangkan pada orang dewasa pada usia lebih dari 40 tahun mencapai
9-10%. Menurut Russel (2002) dalam Suradi (2009), kelainan struktur jaringan
berkaitan erat dengan respons inflamasi ditimbulkan oleh paparan partikel atau
gas beracun, tetapi dinyatakan faktor utama dan paling dominan ialah asap rokok
dibanding yang lain. Gejala klinis yang paling banyak dikeluhkan pasien adalah
sesak napas dengan sensitivitas terhadap PPOK yaitu sebesar 98,9%, artinya dari
100 pasien PPOK terdapat 99 pasien yang mengalami keluhan sesak napas.
33
Jenis pengobatan yang paling banyak diberikan adalah antibiotik yaitu sebesar
93,2%. Hal ini dapat dikaitkan dengan gejala utama yang biasanya dikeluhkan
oleh pasien yaitu batuk berdahak dan sesak napas. Selain itu, Infeksi bakteri
mempunyai peranan dalam patogenesis eksaserbasi PPOK dan pada dasarnya
antibiotik menunjukkan efek yang menguntungkan bagi pasien PPOK dengan
eksaserbasi akut (Shinta, 2007). Menurut GOLD (2009), antibiotik harus
diberikan kepada pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu
adanya peningkatan volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan
peningkatan sesak.
Maka dapat disimpulkan bahwa kesakitan penderita PPOK terjadi pada
usia lebih dari 40 tahun dengan rentang usia puncak 60-69 tahun dan laki-laki
lebih banyak daripada perempuan. Sedangkan berdasarkan pekerjaan responden
terbanyak adalah berprofesi sebagai nelayan.
34
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kesakitan penderita
PPOK terjadi pada usia lebih dari 40 tahun dengan rentang usia puncak 60-69
tahun dan laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Sedangkan berdasarkan
pekerjaan responden terbanyak adalah berprofesi sebagai nelayan.
7.2. Saran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui jumlah
penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) berdasarkan jenis kelamin, usia
dan status sosial kemudia sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Gresik
dalam perancanaan tindakan lanjut bagi upaya menurunkan angka Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK) dan juga sebagai bahan informasi untuk pengembangan
penelitian yang serupa dan berkelanjutan tentang pelaksanaan surveilans
epidemiologi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman terhadap
penelitian selanjutnya. Selain itu, diharapkan dapat memperluas variabel lainnya
seperti derajat sesak napas, komplikasi, jenis antibiotik, maupun hasil identifikasi
biakan sputum.
35
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin, 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan, Jakarta : Salemba Medika.
Arikunto, 2002. Metodologi Penelitian. Penerbit Pustaka Sinar Harapan Jakarta
Brunner & Suddarth. (2005). Keperawatan Medikal Bedah.(edisi 8). Jakarta :
EGC
Depkes RI. 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.Profil
Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan. Jakarta:2008
Doengoes Marilyn, E, 2001. Penerapan Proses Keperawatan Dan Diagnosa
Keperawatan, Edisi 2, Jakarta : EGC.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications Resources.
Available from: http://www.goldcopd.org
Gondodiputro, S., 2007. Bahaya Tembakau dan Bentuk-bentuk Sediaan
Tembakau. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran. Available from:
http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Rokok.
Pdf. Diakses 31 Mei 2013
Gulsvik, A (1999) Mortality and Prevalence of Chronic Obstruktive Pulmonary
Disease in Differet Part of Erope. Dept of Thoracic Medicine, University
36
of Bergen. Monaldi-Arch-Chest-Dist. 54(2): 160-2.
Hackett, T.L., Knighht, Sin, D.D., (2010) Potential role of stem cell in
management of COPD, Int J Chron Obstruct Pulmon Dis.,27: ;5:81-1
Ikawati, Z., 2007. Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan. 21, 22, 23, 27, 33-
34, Pustaka Adipura, Yogyakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002). Departemen Pendidikan Nasional Edisi
ke-3. Balai. Pustaka, Jakarta. Gramedia
Mahler, C., Ammenwerth, E., Wagner, A., Tautz, A., Happek, T., Hoppe, B., et al.
(2007). Effects of a Computer Based Nursing Documentation System On
The Quality Of Nursing Documentation. Journal Medical System.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK ( PPOK ) PEDOMAN DIAGNOSIS &
PENATALAKSANAAN DI INDONESIA.
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok diakses tanggal 31
Mei 2013.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2006.Pantangan Merokok Pada Penderita
Penyakit Paru Obstruksi Kronik. http://klikpdpi.com di akses tanggal
30 Mei 2013
Shinta, dkk. 2007. Studi Penggunaan Antibiotik Pada Eksaserbasi Akut
Penyakit Paru Obstruksi Kronik : Studi Pada Pasien IRNA Medik di
Ruang Paru Laki dan Paru Wanita RSU Dr. Soetomo Surabaya.
http://lib.unair.ac.id/ di akses tanggal 31 Mei 2013.
37
Smeltzer, S.C. and Bare, B.G. 2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8 Vol.2.Jakarta : EGC
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner and Suddarth, (terjemahan), Alih Bahasa : Agung Waluyo, Editor
Monica Ester, Ed. 8, Vol. 2, EGC, Jakarta
Sudoyo A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI; 2006.
Suradi, 2007. PPOK, Penyakit yang Perlu Diwaspadai Perokok.
http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnew.cgi?newsid1173429241,25820
diakses 31 Mei 2013
Suradi. 2009. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Tinjauan Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Guru Besar, Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Available from:
http://www.uns.ac.id/2009/penelitian.php?act=det&idA=263
Suyanto,2010. Metodologi Dan Aplikasi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta:
Nuha Medika
38