Upload
anindita-ratna-gayatri
View
36
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
preskas boyol
Citation preview
Laporan Kasus
SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 1 TAHUN 5 BULAN DENGAN
DIARE AKUT DEHIDRASI RINGAN-SEDANG DENGAN ANEMIA
HIPOKROMIK MIKROSITIK ET CAUSA DD INFEKSI DD ANEMIA
DEFISIENSI BESI
Oleh :
Anindita Ratna Gayatri G99141032
Nova Sari Nur Salamah G99141033
Pembimbing :
Noor Alifah, dr, SpA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD PANDAN ARANG
BOYOLALI
2015
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AR
Umur : 1 tahun 5 bulan
Tanggal Lahir : 31 Oktober 2013
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Tn. S
Pekerjaan Ayah : Swasta
Nama Ibu : Ny. M
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Nogosari, Boyolali
Berat Badan : 8,8 kg
Tinggi Badan : 78 cm
Tanggal masuk : 3 April 2015
Tanggal Pemeriksaan : 5 April 2015
No. RM : 14464998
B. ANAMNESIS
Alloanamnesis diperoleh dari ibu pasien pada tanggal 5 April 2015
1. Keluhan Utama
Buang air besar (BAB) cair 4 kali sehari
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dirujuk oleh dokter umum ke IGD RS Pandan Arang
Boyolali karena BAB cair hingga pasien lemas. Pasien BAB cair sejak 1
hari SMRS. BAB cair seperti air kental dan berwarna kuning tua seperti
kuning telur tanpa diserta ampas, tidak ada lendir maupun darah.
Frekuensi BAB sekitar 4 kali sehari. Pasien tidak mau makan, namun
masih mau menetek dan selalu ingin minum. Buang air kecil (BAK)
terakhir sekitar 3 jam SMRS, sebanyak ± setengah gelas belimbing.
Pasien juga muntah sejak 3 hari SMRS sekitar 10 kali perhari, muntah
setiap setelah diberi makan. Muntah cair karena pasien hanya mau
minum ASI. Pasien belum diberi obat untuk diare dan muntahnya.
Sekitar 7 hari SMRS, pasien pernah dirawat di RS Banyudono
selama 5 hari karena kejang deamam dan ISPA. Ibu pasien mengatakan
ada pasien lain sekamar dengan pasien yang menderita diare. Pasien
sering meninjam mainan dari penderita diare tersebut.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa : (-)
Riwayat alergi obat/makanan : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit serupa : (-)
Riwayat alergi obat/makanan : (-)
5. Riwayat Lingkungan dan Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya. Rumah pasien cukup
mendapat cahaya matahari dan ventilasinya baik. Sumber air di rumah
pasien adalah air sumur. Sumber air tidak dekat dengan jamban atau
tempat pembuangan sampah. Balita dan anak di sekitar tampat tinggal
pasien tidak ada yang mengalami keluhan seperti pasien. Pasien berobat
dengan menggunakan fasilitas BPJS.
6. Riwayat Kehamilan
Ibu pasien mengatakan tidak merasakan keluhan apapun saat hamil.
Pemeriksaan kehamilan dilakukan secara rutin setiap bulan di bidan. Ibu
pasien mengaku mendapatkan suplemen dari bidan, namun tidak
mengetaui kandungannya. Ibu pasien tidak mengonsumsi jamu atau
obat selain yang diberikan oleh bidan. Riwayat trauma saat hamil (-),
riwayat pijat perut saat hamil (-), riwayat sakit saat hamil (-).
7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir ditolong oleh bidan saat usia kehamilan 40+1 minggu,
spontan, pervaginam dengan berat lahir 3100 gram, menangis (+),
sianosis (-), kuning (-), kejang (-).
8. Riwayat Postnatal
Ibu pasien rutin membawa pasien ke puskesmas setiap bulan untuk
timbang badan dan melakukan imunisasi sesuai jadwal.
9. Status Imunisasi
Pasien sudah mendapat imunisasi:
BCG : 1 bulan
Hepatitis B : saat lahir, 2, 4 bulan
Polio : 0, 2, 3, 4 bulan
DPT : 3, 4, 5 bulan
Campak : 9 bulan
Kesan : imunisasi dasar sesuai jadwal Depkes
10. Riwayat Perkembangan
Mulai senyum : 2 bulan
Mulai miring : 4 bulan
Mulai tengkurap : 4 bulan
Mulai duduk dibantu : 6 bulan
Mulai berjalan dan menucapkan 1 kata : 1 tahun
Saat ini pasien berusia 1 tahun 5 bulan
Kesan : perkembangan anak sesuai usia
11. Riwayat Nutrisi
Usia 0 – 4 bulan : diberi ASI ± 8 kali perhari
Usia 4 – 12 bulan : ASI + makanan pendamping ASI
Usia 1 – 1 tahun 5 bulan : ASI + makanan keluarga rutin setiap hari
Kesan : kualitas dan kuantitas asupan gizi cukup
12. Pohon Keluarga
I
II
III
An. AL (1 tahun 5 bulan)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. KeadaanUmum
Keadaan umum : tampak sakit sedang, rewel
Derajat kesadaran : kompos mentis
Derajat gizi : kesan gizi baik
2. Tanda vital
BB : 8,8 kg
TB : 78 cm
SiO2 : 99%
Nadi : 108 x/menit, kuat
Pernafasan : 28 x/menit
Suhu : 36,4ºC
3. Penilaian Status Gizi
a) Secara klinis
Nafsu makan : baik
Kepala : rambut jagung (-), susah dicabut (+)
Mata : edema palpebra(-/-),CA(-/-),cekung (-/-)
Mulut : Mukosa basah (+), pecah-pecah (-)
Ekstremitas : edema - - akral dingin - -
- - - -
Status gizi secara klinis : baik
b) Secara Antropometris
Umur : 1 tahun 5 bulan, BB : 8,8 kg, TB : 78 cm
: (8,8/10,8) x 100% = 81,48% -2 SD < Z-score < 0 SD
(normoweight)
: (78,8/81) x 100% = 97,28% -2 SD < Z-score < 0 SD
(normoheight)
: (8,8/10) x 100% = 88,00% -2 SD < Z-score < 0 SD
(gizi baik)
Status gizi secara antropometri : gizi baik, normoweight,
normoheight (WHO)
4. Kepala
Mesosefal, lingkar kepala (LK): 48 cm (0SD < LK < +2SD) (Nellhaus),
wajah dismorfik (-), UUB menutup
5. Mata
Mata cekung (-/-), air mata (+/+), konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik
(-/-), palpebra edema (+/+), pupil isokor(+ 3 mm/ + 3mm).
6. Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), daah (-/-)
7. Mulut
Mukosa basah (+), bibir sianosis (-) , lidah kotor dan hiperemis (-)
8. Telinga
Serumen (-/-)
9. Tenggorok
Uvula di tengah, tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-),
pseudomembran (-)
10. Leher
Bentuk : normocolli
Trakea : di tengah
Kelenjar tiroid : tidak membesar
Tekanan venosa : tidak meningkat
11. Limphonodi
Retroaurikuler : tidak membesar
Submandibuler : tidak membesar
12. Toraks
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sde
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar: vesikuler, ST (-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan sde
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas nomal, regular,
bising (-)
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, asites (-), pekak alih (-),
undulasi (-), turgor kulit kembali agak lambat
14. Urogenital : BAK (+)
15. Anorektal : diaper rash (+)
16. Ekstremitas
Akral dingin - - edema - -
- - - -
ADP agak lemah
CRT < 2 detik
17. Status Neurologis
Refleks Fisiologis
R. Biceps : +2/+2
R. Triceps : +2/+2
R. Patella : +2/+2
R. Achilles : +2/+2
Refleks Patologis
R. Babinski : (-/-)
R. Chaddock : (-/-)
R. Gordon : (-/-)
R. Oppeiheim : (-/-)
R. Schaefer : (-/-)
Meningeal Sign
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Kernig : (-)
Motorik
5555 5555
5555 5555
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Tanggal 4 April 2015
E. RESUME
Pasien datang dengan keluhan BAB 4 kali sehari, lebih cair daripada
biasanya, sejak 1 hari SMRS. BAB cair tidak disertai lendir dan darah. Pasien
tidak mau makan, tapi masih mau menetek. BAK (+). Pasien juga muntah 10
kali perhari. Sebelum sakit, pasien dirawat inap sekamar dengan penderita
diare. Pasien tidak memiliki riwayat alergi makan minuman, atau obat.
Sumber air yang digunakan di rumah relatif bersih. Pasien tidak
mengkonsumsi susu formula, tidak mengganti makanan. Riwayat kehamilan,
kelahiran, postnatal, dan perkembangan baik. Imunisasi lengkap sesuai jadwal
Depkes RI. Riwayat nutrisi secara kuantitas dan kualitas cukup.
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hb 8,6 g/dL 11,5 – 13,5
Hct 26,1 % 34 – 40
AE 4,1 .106/uL 3,9 – 5,3
AT 472 .103/uL 150 - 450
AL 13 .103/uL 6 – 17,0
Limfosit 24,8 % 20 - 40
Monosit 6,9 % 2 - 8
Eosinofil 1 % 1 – 2
Basofil 0 % 0 – 1,5
Netrofil 68,3 % 50 – 70
MCV 63,7 fL 80 – 100
MCH 21 Pg 27 – 32
MCHC 33 % 33 – 36
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien compos mentis, rewel, status
gizi baik, vital sign dalam batas normal, ubun-ubun besar menutup, mata
tidak cekung, air mata cukup, mukosa bibir kering, turgor kulit abdomen
kembali agak lambat, akral hangat, ADP agak lemah, CRT < 2 detik. Pada
pemeriksan laboratororium darah didapatkan Hb turun.
F. DAFTAR MASALAH
1. BAB 4 kali perhari
2. Muntah 10 kali perhari
3. Tidak ada riwayat alergi
4. Tidak mengkonsumsi susu fomula
5. Keadaan umum compos mentis, rewel
6. Status hidrasi menurun
7. Hb, MCV, dan MCH turun
G. DIAGNOSIS BANDING
1. Diare akut
2. Gastroenteritis
3. Intoleransi makanan
H. DIAGNOSIS KERJA
1. Diare akut dehidrasi ringan-sedang + vomitus
2. Gizi baik
I. PENATALAKSANAAN
1. Rawat bangsal anak
2. Diet ASI/ASB
3. IVFD RL 65 ml/jam selama 5 jam dilanjutkan 40 ml/jam
4. Injeksi metamizol 90 mg/8 jam
5. Injeksi ondansetron 0,9 mg/8 jam
6. Zinc syrup 1 dd 1
7. Probiotik 2 dd 1 sachet
8. Oralit sachet 100 ml/diare, 50 ml/muntah
J. MONITORING
1. Keadaan umum dan tanda vital tiap 8 jam
2. Balans cairan dan diuresis tiap 8 jam
3. Status hidrasi tiap 8 jam
K. PLAN
Cek feses rutin
L. EDUKASI
1. ASI tetap diberikan
2. Kebersihan perorangan, cuci tangan sebelum makan
3. Kebersihan lingkungan
4. Penyediaan air minum yang bersih
M. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
N. FOLLOW UP
Tanggal 6 April 2015
S : Demam (-), muntah (-), diare (-), BAK (+)
O: KU: CM, sakit sedang, gizi kesan baik
Tanda vital : HR: 108 x/menit
T: 36,4 0C
RR: 28 x/menit
Kepala : mesocephal
Mata : oedem palpebra (-/-), mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), air mata (+/+)
Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Telinga : sekret (-/-)
Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-)
Tenggorok : mukosa faring hiperemis (-), tonsil T2-T2
Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
Thoraks : simetris, retraksi (-/-)
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali
cepat
Ekstremitas :
Akral Dingin
- -
- -
Capillary refill time< 2 detik, Arteri dorsalis pedis teraba kuat
Oedem
- -
- -
Assesment :
1. Riwayat diare akut dehidrasi ringan-sedang
2. Gizi baik
Terapi :
1. Rawat bangsal anak
2. Diet ASI/ASB
3. IVFD D5 ¼ NS 40 ml/jam
4. Injeksi metamizol 90 mg/8 jam
5. Injeksi ondansetron 0,9 mg/8 jam
6. Zinc syrup 1 dd 1
7. Probiotik 2 dd 1 sachet
8. Oralit sachet 100 ml/diare, 50 ml/muntah
Tanggal 7 April 2015
S : Demam (-), muntah (-), diare (-), BAK (+)
O: KU: CM, sakit sedang, gizi kesan baik
Tanda vital : HR: 108 x/menit
T: 36,4 0C
RR: 28 x/menit
Kepala : mesocephal
Mata : oedem palpebra (-/-), mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), air mata (+/+)
Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Telinga : sekret (-/-)
Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-)
Tenggorok : mukosa faring hiperemis (-), tonsil T2-T2
Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
Thoraks : simetris, retraksi (-/-)
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali
cepat
Ekstremitas :
Akral Dingin
- -
- -
Capillary refill time< 2 detik, Arteri dorsalis pedis teraba kuat
Assesment :
1. Riwayat diare akut dehidrasi ringan-sedang
2. Gizi baik
Terapi :
1. Rawat bangsal anak
2. Diet ASI/ASB
3. IVFD D5 ¼ NS 40 ml/jam
4. Injeksi metamizol 90 mg/8 jam
Oedem
- -
- -
5. Injeksi ondansetron 0,9 mg/8 jam
6. Zinc syrup 1 dd 1
7. Probiotik 2 dd 1 sachet
8. Oralit sachet 100 ml/diare, 50 ml/muntah
Tanggal 8 April 2015
S : Demam (-), muntah (-), diare (-), BAK (+)
O: KU: CM, sakit sedang, gizi kesan baik
Tanda vital : HR: 104 x/menit
T: 36,5 0C
RR: 42 x/menit
Kepala : mesocephal
Mata : oedem palpebra (-/-), mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), air mata (+/+)
Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Telinga : sekret (-/-)
Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-)
Tenggorok : mukosa faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
Thoraks : simetris, retraksi (-/-)
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali
cepat
Ekstremitas :
Akral Dingin
- -
- -
Capillary refill time< 2 detik, Arteri dorsalis pedis teraba kuat
Assesment :
9. Riwayat diare akut dehidrasi ringan-sedang
10. Gizi baik
Terapi :
a. IVFD D5 1/2 NS 40 ml/jam
b. Injeksi antrain 90 mg/8 jam
c. Injeksi ondansetron 0,9 mg/8 jam
d. Zinc syrup 1 dd 1
e. Probiotik 2 dd 1 sachet
f. Oralit sachet 100 ml/diare, 50 ml/muntah
Oedem
- -
- -
BAB II
ANALISA KASUS
A. ANALISA DIAGNOSIS
Pasien datang dengan keluhan kejang, 1x, seluruh tubuh kaku
kurang lebih 5 menit, mata melirik ke atas, dan sadar setelah kejang. Satu
hari sebelum kejang, pasien demam tinggi dan saat kejang pasien masih
demam. Saat di IGD RSDM, dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan suhu 39,6oC dan pada pemeriksaan
penunjang tidak didapatkan adanya kelainan. Gejala ini sesuai dengan
kriteria kejang demam menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI, yaitu
kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh > 38oC tanpa disertai adanya
infeksi susunan saraf pusat, kelainan elektrolit, dan kelainan metabolit lain.
Pasien mengalami kejang 1x, tidak berulang dalam 24 jam, kejang < 15
menit, kejang terjadi pada seluruh tubuh. Sehingga diagnosis mengarah
pada kejang demam sederhana. Pasien juga mengalami infeksi saluran
pernapasan akut, yaitu batuk pilek yang sudah diderita selama 1 minggu.
Tanda klinis ini diperlukan untuk menyingkirkan adanya infeksi di luar
susunan saraf pusat. Pada pemeriksaan penunjang tidak didapatkan adanya
kelainan sehingga dapat menyingkirkan kejang yang disebabkan oleh
gangguan metabolik maupun elektrolit.
B. ANALISA PENATALAKSANAAN
Pasien mendapat diet nasi lauk 1200 kkal/hari. Sesuai usianya,
pasien sudah diperbolehkan mengonsumsi makanan keluarga. Perhitungan
kalori per hari didapatkan dari Recommended Daily Allowance (RDA)
untuk anak sakit tidak parah dengan gizi baik menurut tinggi badan
berdasarkan usia yaitu 120 kkal/kgbb/hari. Pemberian diazepam tablet
diperlukan pada saat suhu lebih dari 38.5oC sebagai pencegahan terhadap
terjadinya kejang berikutnya. Paracetamol syrup diberikan sebagai
antipiretik sehingga dapat menurunkan demam.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Anemia Defisiensi Besi
2.1 DEFINISI
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi
kosong, yang akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang. Pada pertengahan abad XVI, kekurangan zat besi digambarkan
sebagai penyakit yang dikenal sebagai Klorosis.(26,27) Orang yang
pertama sekali memakai istilah Klorosis adalah Verandeus untuk
menggantikan nama ” de morbo vergineo ” yang dikemukan oleh Johannes
Lange pada tahun 1554 untuk suatu penyakit dengan gejala-gejala muka
pucat kehijauan, palpitasi, edem, sakit sendi, dan gangguan gastrointestinal
berupa obstipasi, serta nyeri tekan pada epigastrium. Klorosis merupakan
suatu anemia kekurangan zat besi yang dijumpai pada gadis-gadis berumur
14-17 tahun dan ibu-ibu muda.(26,27) Gambaran klinis dari penyakit
tersebut ialah muka pucat warna kuning kehijauan sebagai akibat dari
kadar zat besi dalam darah yang tidak adekuat, disamping adanya
kebutuhan zat besi yang meningkat untuk pertumbuhan dan karena haid.
Anemia defisiensi besi ialah anemia yang secara primer disebabkan
oleh kekurangan zat besi dengan gambaran darah yang beralih secara
progresif dari normositer normokrom menjadi mikrositik hipokrom dan
memberi respon terhadap pengobatan dengan senyawa besi (WHO).(21,22)
Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin atau hematokrit kurang dari
batas normal sesuai usia (bayi dan anak) atau jenis kelamin (dewasa).
Akibatnya, berkurangnya kemampuan menghantarkan oksigen yang
dibutuhkan untuk metabolisme tubuh yang optimal. (28,29,30)
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan
hemoglobin (Hb) berkurang.
2.2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai
pada anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada
anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5 %, anak praremaja 2,6%
dan remaja 26%. Di Amerika Serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun
diketahui kekurangan besi, lebih kurang 9% remaja wanita kekurangan
besi. sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya
berkurang saat pubertas. Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit
hitam dibanding kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan
status sosial ekonomi anak kulit hitam yang lebih rendah.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia
prevalensi ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun
1992 prevalens ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5%.(20,23)
Pada tahun 2002 prevalensi anemia pada usia 4-5 bulan di Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan bahwa 37% bayi memiliki
kadar Hb di bawah 10gr/dl sedangkan untuk kadar Hb di bawah 11gr/dl
mencapai angka 71%.(21) Pauline di Jakarta juga menambahkan selama
kurun waktu 2001-2003 tercatat sekitar 2 juta ibu hamil menderita anemia
gizi dan 8,1 juta anak menderita anemia.(22) Selain itu data menunjukkan
bahwa bayi dari ibu anemia dengan berat bayi normal memiliki
kecendrungan hampir 2 kali lipat menjadi anemia dibandingkan bayi
dengan berat lahir normal dari ibu yang tidak menderita anemia.
Berdasarkan data prevalensi anemia defisiensi gizi pada ibu hamil di 27
provinsi di Indonesia tahun 1992, Sumatera Barat memiliki prevalensi
terbesar (82,6%) dibandingkan propinsi lain di Indonnesia.
2.3. ETIOLOGI
Pada bayi dan anak anemia defisiensi besi disebabkan oleh faktor
nutrisi, dimana intake makanan yang mengandung besi heme kurang,
seperti daging sapi, ayam, ikan, telur sebagai protein hewani yang mudah
diserap. Serta kurangnya intake besi non heme seperti sereal, gandum,
jagung, kentang, ubi jalar, talas, beras merah, beras putih, kismis, tahu,
sayuran,
kacang-kacangan, buah-buahan (kurma, apel, jambu, alpukat,
nangka, salak). Selain itu anak terkadang sering mengkonsumsi makanan
yang menghambat absorpsi besi seperti polifenol, kalsium dan protein
kedelai.
Penyebab utama anemia defisiensi pada anak di negara
berkembang adalah infeksi cacing. Setiap cacing dapat mengakibatkan
perdarahan kronis dan dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
Infestasi cacing tambang dapat mengisap darah sebanyak 0,03
ml/hari/ekor (Necator Americanus) dan 0,15 ml/hari /ekor (Ancilostonum
duodenaltinale). Jumlah kehilangan darah pada gangguan ringan
diperkirakan kurang lebih 2-3 ml/hari, sedangkan pada gangguan berat
dapat sampai 100ml/hari.
Pemakaian obat-obatan yang dapat mengganggu agregasi
trombosit, misalnya aspirin dapat menyebabkan perdarahan
gastrointestinal yang akan berakhir menjadi anemia defisiensi besi.
Penyebab lain perdarahan gastrointestinal dan malaria terutama di
daerah endemik. Pada masa pubertas terutama perempuan perdarahan
karena haid yang berlebihan (>80 ml/hari) dapat juga menyebabkan
anemia defisiensi besi.
Beberapa keadaan yang mengakibatkan gangguan fungsi maupun
perubahan anatomi saluran pencernaan menyebabkan malabsorbsi besi
seperti malnutrisi energi protein, infeksi usus, pasca bedah usus.
Pertumbuhan yang sangat cepat disertai dengan penambahan
volume darah yang banyak akan meningkatkan kebutuhan akan besi. Pada
akhir tahun pertama berat badan anak mencapai 3 kali berat badan lahir.
Pertumbuhan yang pesat dijumpai juga pada bayi lahir prematur dan pada
masa pubertas.
Berdasarkan keterangan di atas, anemia defisiensi besi dapat
disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta
kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
2.4. PATOFISIOLOGI
2.4.1. Pembentukan Hemoglobin
Sel darah merah manusia dibuat dalam sumsum tulang. Dalam
keadaan biasa (tidak ada anemi, tak ada infeksi, tak ada penyakit sumsum
tulang), sumsum tulang memproduksi 500x109 sel dalam 24 jam. Hb
merupakan unsur terpenting dalam plasma eritrosit. Molekul Hb terdiri
dari 1.globin, 2. protoporfirin dan 3. besi (Fe). Globin dibentuk sekitar
ribosom sedangkan protoporfirin dibentuk sekitar mitokondria. Besi
didapat dari transferin.
Dalam keadaan normal 20% dari sel sumsum tulang yang berinti
adalah sel berinti pembentuk eritrosit. Sel berinti pembentuk eritrosit ini
biasanya tampak berkelompok-kelompok dan biasanya tidak masuk ke
dalam sinusoid.
Pada permulaan sel eritrosit berinti terdapat reseptor transferin.
Gangguan dalam pengikatan besi untuk membentuk Hb akan
mengakibatkan terbentuknya eritrosit dengan sitoplasma yang kecil
(mikrositer) dan kurang mengandung Hb di dalamnya (hipokrom).
Tidak berhasilnya sitoplasma sel eritrosit berinti mengikat Fe untuk
pembentukan Hb dapat disebabkan oleh rendahnya kadar Fe dalam darah.
Hal ini dapat disebabkan oleh 1. kurang gizi, 2. gangguan absorbsi Fe
(terutama dalam lambung), 3. kebutuhan besi yang meningkat akan besi
(kehamilan, perdarahan dan dalam masa pertumbuhan anak). Sehingga
menyebabkan rendahnya kadar transferin dalam darah. Hal ini dapat
dimengerti karena sel eritrosit berinti maupun retikulosit hanya memiliki
reseptor transferin bukan reseptor Fe.
2.4.2. Metabolisme Besi
Pengangkutan besi dari rongga usus hingga menjadi transferin
merupakan suatu ikatan besi dan protein di dalam darah yang terjadi dalam
beberapa tingkatan. Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang
lebih besar di dalam lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri oleh
pengaruh asam lambung (HCl). Di dalam usus halus, ion feri diubah
menjadi ion fero oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian
diabsorpsi oleh sel mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai
persenyawaan feritin dan sebagian lagi masuk ke peredaran darah yang
berikatan dengan protein, disebut transferin. Selanjutnya transferin ini
dipergunakan untuk sintesis hemoglobin.
Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai
labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri,
terutama bila makan mengandung vitamin atau fruktosa yang akan
membentuk suatu kompleks besi yang larut , sedangkan fosfat, oksalat dan
fitat menghambat absorpsi besi.(43,44)
Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada
pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali
ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesis hemoglobin.
Jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan akan besi sangat sedikit.
Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang terkelupas dan
karena perdarahan sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian besi yang
berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis
2.5. Tahap Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan
negatif besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi
yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus
berkurang. tahap defisiensi besi, yaitu:
• Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency,
ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan
besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada
keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum
menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya
kekurangan besi masih normal.
• Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient
erythropoietin atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang
tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin
menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free
erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
• Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan
ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup
sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi
didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini
telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi yang
lebih lanjut.
2.6. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis ADB sering terjadi perlaban dan tidak begitu
diperhatikan oleh penderita dan keluarganya. Pada yang ringan diagnosis
ditegakkan hanya dari temuan laboratorium saja. Gejala yang umum
terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dl terjadi
mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia hanya ringan
saja. Bila kadar Hb turun berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi jantung
dan murmur sistolik. (21,28)
Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat
kekurangan
besi seperti:(21,47,48)
• Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia
(bentuk kuku konkaf atau spoon-shaped nail), atrofi papila lidah,
postcricoid oesophageal webs dan perubahan mukosa lambung dan usus
halus.
• Intoleransi terhadap latihan: penurunan aktivitas kerja dan daya
tahan tubuh
• Termogenesis yang tidak normal: terjadi ketidakmampuan untuk
mempertahankan suhu tubuh normal pada saat udara dingin
• Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi karena
fungsi leukosit yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil
mempunyai kemampuan untuk fagositosis tetapi kemampuan untuk
membunuh E.coli dan S. aureus menurun. Gejala iritabel berupa
berkurangnya nafsu makan dan berkurangnya perhatian terhadap sekitar
tapi gejala ini dapat hilang setelah diberi pengobatan zat besi beberapa
hari.
Pada beberapa pasien menunjukkan perilaku yang aneh berupa
pika yaitu gemar makan atau mengunyah benda tertentu karena rasa
kurang nyaman di mulut yang disebabkan enzim sitokrom oksidase yang
mengandung besi berkurang.(11,26 )
2.7. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan
laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah lengkap seperti Hb,
leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan morfologi darah tepi dan
pemeriksaan status besi (Fe serum, Total iron binding capacity (TIBC),
saturasi transferin, feritin).(28,35)
Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb
merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan
lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks
eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar
Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena
perdarahan jumlahnya meningkat. Gambaran morfologi darah tepi
ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis dan poikilositosis
(dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, mikrosit dan sel fragmen).
(21,49)
Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang
berlangsung lama dapat terjadi granulositopenia. Pada keadaan yang
disebabkan infeksi cacing sering ditemukan eosinofilia. Jumlah trombosit
meningkat 2-4 kali dari nilai normal. Trombositosis hanya terjadi pada
penderita dengan perdarahan yang masif.
2.8. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab
dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat
besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga
penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe
dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah
dan sama efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pada penderita
yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak
dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan.
Pemberian preparat besi
Pemberian preparat besi peroral
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan
garam feri. Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan
suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous sulfat karena harganya yang
lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat dan ferous suksinat
diabsorpsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes
(drop).(21,28)
Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-
6 mg besi/ kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi
yang ada dalam garam ferous. Garam ferous sulfat mengandung besi
sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek
samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan efek
penyembuhan yang lebih cepat.(28) Absorpsi besi yang terbaik adalah
pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat
menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal
tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera
setelah makan meskipun akan mengurangi absorpsi obat sekitar 40-50%.
Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting
karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita.
Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada
penderita teratasi. Respons terapi dari pemberian preparat besi dapat
dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium.
Pemberian preparat besi parenteral
Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan
harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi
alergi. Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding
peroral. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini
mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan:(24,35)
Dosis besi (mg) — BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,
Hemoglobin A2
Hemoglobin normal diluar periode neonatal adalah hemoglobin A
dan dua hemoglobin kecil, yaitu; hemglobin A2 dan hemoglobin F. Pada
orang dewasa, Hemoblobin A2 (HbA2) sekitar 1,5- 3,5% hemoglobin
total. Persentase tersebut jauh lebih rendah saat lahir sekitar 0,2-0,3%,
dengan kenaikan tingkat dewasa pada 2 tahun pertama kehidupan, tetapi
ada kenaikan yang lambat pada umur tiga tahun. Pada dewasa normal
HbA2 menunjukan distribusi yang normal. Pengurangan sintesis HbA2
dianggap sebagai gangguan yang diperoleh, yaitu sebagai akibat dari
kekurangan zat besi atau terganggunya pengiriman zat besi untuk
mengembangkan sel-sel eritroid.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dwi Wastoro Dadiyanto, M. Heru Muryawan, Anindita S, Buku ajar IKA.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro; 2011;135
2. Khanis abdul. Defisiensi Besi Dengan Parameter sTfR Sebagai Faktor Risiko
Bangkitan Kejang Demam. 2010.
3. Brian Chung, Virginia Wong. Relationship Between Five Common Viruses
and Febrile Seizure in Children. Arch Dis Child;2007. 92:589-593
4. Kementrian Kesehatan. Pusat Data dan Informasi. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2011, Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2012.
5. Widodo DP. Kejang demam: apa yang perlu diwaspadai? Dalam Penanganan
demam Pada Anak Secara Professional. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XL VII. H 58-66. Jakarta; 2005.
6. Johnston MV. Seizures in Childhood In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, ed. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia : WB Saunders
Co;2007.p.2457-71 Stastrom CE. The Incidence and Prevalence of Febrile
Seazures. In : Baram TZ,
7. Shinnar S, ed, Febrile seizures. San Diego : Academic press;2002.p.1-25
8. Soetomenggolo TS,Ismael S, Penyuting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta :
BP IDAI.2000.h244-52.
9. Wu J, Fisher RS. Hyperthermic Spreading Depressions in the Immature Rat
Hippocampal Slice. J Neurophysiol. 2000;84(3): 1355-60
10. RekIin JC. Funk GD. Bayliss DA. Dong XW. Feldman JL. Synaptic Control
of Inotoneuronal Excitability. Pbvsio 1 Rev .2000:80:767-852.
11. Voipe JJ. Neurology of Tile Newborn. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders
Cornpany;2001.
12. RekIin K. Funk GD. Bayliss DA. Dong XW. Feldman JL. Synaptic control of
inotoneuronal excitability. Available from www.
Ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1074207 Pbvsio 1 Rev. 2000:80:767-852. Voipe
JJ. Neurology of Tile Newborn. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders
Cornpany;2001.
13. Nakayama I. Hamano K. Iwasaki N. Nakahara S. Horionie Y. Saitoh H. et al.
Significant Evidence for Linkae of Febrile Seizures to Chromosome 5q14-
q15. Hum Mol Genet. 2000:9:87-91.
14. Surges R. Schuize-Bonhage A. Ahenmuller DM. Hippocampal Involvement
in Secondarily Generalised Seizures of Extrahippocampal Origin.
JournalNeuro Neurosurg Psychiatry .2008:79:924-9.
15. Parmar H. Lim SH. Tan NC. Lim CC. Acute Symptomatic Seizures and
Hippocampus Damage : DWI and MRS Findings. Neurology; 2006:66:1732-
5
16. Vesteigaard M. Pedersen CB. Sidenius P. Olsen J. Christensen J. The Long-
Term Risk of Epilepsy After Febrile Seizures in Susceptible Subgroups. Am J
Epidemiol ;2007:165:91 1-8. Epub 30th of January 2007.
17. Leung LS. Wit K. Epilepsy-Based Changes in Hippocanipal Exitability:
Causes and Affects. Adv Neurology. 2006:97:63-8
18. Trainor JL. Hampers LC. Krug SE. Listernick R. Children with First-Time
Simple Febrile Seizures are at Low Risk of Serious Bacterial Illness. Acad
Emerg Med . 2001:8:781-7
19. Chiu SS. Tse CY. Lau YL, Peiris M. Influenza A Infection is an Important
Cause of Febrile Seizures. J Pediatrics. 2001 :108:1 -719
20. Chou IC. Peng CT. Huang CC. Tsai JJ. Tsai FJ. Tsai CH. Association
Analysis of Gamma 2 Subunit of Gamma Aminobutyric Acid Type A
Receptor Polymoiphisnis with Febrile Seizures. Pediatr Res. 2003:54:26-9
21. Nakayama I. Hamano K. Iwasaki N. Nakahara S. Horionie Y. Saitoh H. et a.
Significant evidence for 1inkae of febrile seizures to chromosome 5q14-q15.
Hum Mol Genet. 2000:9:87-91
22. Kuglei SL. Joluison WG. Genetics of the febrile seizure susceptibility trait.
Brain Dev. 1998:20:265-74
23. Ratala H. Uhari M. Hietala 3. Factors triggering in first febrile seizures. : 84:
407—10. Acta Paediatric .1995.
24. Cainfielci P, Cainfield C, Gordon K. Antecedents and risk factors for febrile
seizures. In: Baram TZ. Shinnar S. ed.. Febrile Seizures. p. 1-25. San Diego
Academic press; 2002.
25. Xium Wang, Meichun Xu, Lizhong Du. Association Analysis of Gamma 2
subunit of Gamma-Aminobutyric Acid (GABA) Type A Receptor and
Voltage-Gated Sodium Chanel Type II Alpha-Polypeptide Gene Mutation in
Southern Chines Children with Febrile Seozures. J Child Neurol. 2007;22:
714-9
26. Tatli Z. Yaii XX. Haftelou S. Ribak CE. Barani TZ. Seizure-Induced
Nenonatal Injury. J Neurosci. 1998:18:4285-94.
27. Armon K. Stephenson T. MacFaul R. Hemingway P. Werneke U. Smith S.
An Evidence and Consensus Based Guideline for The Management of a Child
After a Seizure. Emer: Med.2003:20:13-20
28. Vesteraard M. Wisborg K. Henriksen TB. Secher NJ. Ostergaard JR. Olsen J.
Prenatal Exposure to Cigarettes, Alcohol and Coffee and The Risk for Febrile
Seizures. Pediatrics . 2005: 1 16(5): 1089-94
29. Surges R. Schuize-Bonhage A. Ahenmuller DM. Hippocampal Involvement
in Secondarily Generalised Seizures of Extrahippocampal Origin. JNeurol
Neurosurg Psychiatry. 2008:79:924-9.
30. Nakayama I. Hamano K. Iwasaki N. Nakahara S. Horionie Y. Saitoh H. et a.
Significant evidence for 1inkae of febrile seizures to chromosome 5q14-q15.
Hum Mol Genet. 2000:9:87-91.
31. Bahtera T. Faktor risiko Kejang Demam Sebagai Piediktor Bangkitan Kejang
Demam berulang. Kajian mutasi gen vollase kanal ion natrium. 2007.
32. Browning JD, O’Dell BL. Zinc Defeiciency Decreas The Concentration of
Nethyl D-Aspartate Receptors in Guinea Pig Cortical Synaptic Membranes. J
Nutr. 1995; 125:2083-9
33. Agget P. Zinc. In: Annales Nestle 52/3. Trace Elments in Infancy and
Childhood. Swiszerland: Nestle Ltd; 1994:95-106
34. Sadono, dkk. Bayi Berat Lahir Rendah Sebagai Salah Satu Faktor Risiko
Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Bayi (Studi Kasus di Kabupaten
Blora). Jurnal Epidemiologi Universitas Diponegoro. 2005. Available from
http:repository.undip.ac.id/
35. Sukmawati, Sri Dara. Hubungan Status Gizi, BBL, Imunisasi dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros. Media Gizi Pangan, Vol.
X, Edisi 2, Juli – Desember.2010.
36. Nasution, Kholisah, dkk. Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di
Daerah Urban Jakarta. Jurnal Sari Pediatri, Vol IV, No.01, Juni 2012.
37. Nana S dan Tinah. Hubungan Pendidikan Ibu dan Status Ekonomi Keluarga
Dengan Kejadian ISPA pada Balita. Jurnal Kebidanan, vol. IV, No. 01 Juni
2012.
38. Cahaya, Indra dan Nurmaini. Faktor-faktor Kesehatan Lingkungan
Perumahan yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada Balita di Perumahan
Nasional (Perumnas) Mandala, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli
Serdang. 2005.
39. Karlinda, Tri dan Warni Susilawati. Hubungan Keberadaan Anggota
Keluarga Yang Merokok Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Nusa Indah Kota Bengkulu Tahun 2010.
40. Yuwono, TA. Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita Wilayah Kerja Puskesmas
Kawungan Kabupaten Cilacap. 2008.