PRAGMATIK

Embed Size (px)

Citation preview

PRAGMATIK (Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia) Dr. R. Kunjana Rahardi, M.HumMoediono (1992) menyatakan bahwa apabila didasarkan pada nilai komunikatifnya, kalimat dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi 5 yaitu : 1. Kalimat 2. Kalimat perintah. 3. Kalimat 4. Kalimat tanya seruan atau interrogative ekslamatif adalah adalah untuk mengajukan untuk pertanyaan. atau digunakan mengungkapkan keheranan atau kekaguman atas hal tertentu. 5. Kalimat penegas atau emfatik adalah untuk memberikan penekanan atau penegasan khusus terhadap pokok pembicaraan tertentu. Berbeda dengan Ramlan (1987), menyatakan bahwa berdasarkan fungsinya dalam hubungannnya dengan situasi, kalimat dapat digolongkan menjadi 3 yaitu : Kalimat berita, kalimat Tanya dan kalimat suruh. Keraf (1980) mendefinisikan kalimat perintah sebagai kalimat yang atau berita perintah atau atau deklaratif imperative adalah adalah digunakan untuk untuk

menyampaikan berita yang berupa pernyataan. memberikan

digunakan untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu, kalimat berita adalah kalimat yang mendukung suatu pengungkapan peristiwa agar orang diberitahu sesuatu karena ia tidak mengetahui hal tertentu. kejadian dan kalimat Tanya adalah kalimat yang mengandung permintaan

Menurut Alisjahbana, sosok kalimat perintah itu dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu : 1. Perintah yang menunjuk kepada suatu kewajiban 2. Perintah yang bermakna mengejek 3. Perintah yang bermaksud memanggil 4. Perintah yang merupakan permintaan Terdapat 3 macam teori yang dapat dijadika dasar atau pijakn didalam penelitian kesantunan pragmatic tentang imperative dan pemakaian tuturan imperative didalam bahasa Indonesia ini. Ketiga teori itu adalah : 1. Teori tindak tutur (Speech Act theory) 2. Teori kesantunan berbahasa (Politeness Theory) 3. Teori praanggapan , implikatur dan entailment. Penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji didalam penelitian kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan, dalam hal ini, maksud dan fungsi tuturan imperative bahasa Indonesia. John R.Searly (1983) dalam bukunya Speech Act : An Essay in The philosophy of Language menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa terdapat setidaknya 3 macam tindak tutur yaitu : 1. Tindak lokusioner (locutionary acts = the act of saying something) : adalah tindak bertutur dengan kata, frasa dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa dan kalimat itu. Dalam tindak lokusioner ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang

disampaikan oleh si penutur, karena sifatnya hanya memberitahu atau menginformasikan. Misalnya : Tuturan tanganku gatal 2. Tindak ilokusioner (illocutionary acts = the act of doing something) :adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini mengharapkan mitra tutur dapat merespon atau melakukan tindakan tertentu karena tanganku gatal. 3. Tindak perlokusioner (perlocutionary acts = the act of affecting someone) ; adalah tindak tutur yang menumbuhkan pengaruh kepada mitra tutur. Tuturan tanganku gatal, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur Selanjutnya , Searle (1983),menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam 5 macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif, yaitu : 1. Asertif (Assertives), yaitu bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan , misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh (complaining) dan mengklaim (claiming). 2. Direktif (Directives), yaitu bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan , misalnya, memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), merekomendasi (recommending). 3. Ekspresif (Expressives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterimakasih (thanking), member selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising) dan berbelasungkawa (condoling).

4. Komisif (Commissives) adalah bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing) dan menawarkan sesuatu (offering). 5. Deklarasi (Declarations) adalah bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan memecat dengan kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning), nama (dismissing), membaptis (baptizing), memberi

(naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (isolating) dan menghukum (sentencing) Satu hal yang perlu dicatat bahwa Searle menggolongkan tindak tutur ke dalam bentuk-bentuk tuturan bahwa : Ternyata satu tindak tutur dapat memiliki maksud dan fungsi yang bermacam-macam. Berbeda dengan Searle (1983), yang membuat pengelompokan demikian, menurut Leech (1983) dan Blum-Kulka (1987), justru menyatakan hal yang berbalikan, yakni bahwa satu maksud atau satu fungsi bahasa dinyatakan dengan bentuk tuturan yang bermacam-macam. Menyuruh (commanding) misalnya dapat dinyatakn dengan berbagai macam cara seperti : 1. Dengan kalimat imperative (Tutup pintu itu!) 2. Dengan kalimat performatif eksplisit ( Saya minta saudara menutup pintu itu!) 3. Dengan kalimat performatif berpagar (Sebenarnya saya mau minta saudara menutup pintu itu) 4. Dengan pernyataan keharusan (Saudara harus menutup pintu itu) 5. Dengan pernyataan keinginan ( Saya ingin pintu itu ditutup) 6. Dengan rumusan saran (Bagaimana kalau pintu itu ditutup?) 7. Dengan persiapan pertanyaan (Saudara dapat menutup pintu itu?)

8. Dengan isyarat yang kuat (Dengan pintu seperti itu, saya kedinginan) 9. Dengan isyarat halus ( Saya kedinginan) Dari berbagai macam cara menyatakan suruhan diatas dapat

disimpulkan 2 hal mendasar yaitu : 1. Adanya tuturan langsung 2. Adanya tuturan tidak langsung Semakin jauh jarak tempuhnya, semakin tidak langsunglah tuturan. Jadi tingkat kelangsungan tuturan itu dapat diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh dan kejelasan pragmatiknya. Kejelasan pragmatik artinya kenyataan bahwa semakin tembus pandang maksud sebuah tuturan akan semakin langsunglah maksud tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tidak tembus pandang maksud sebuah tuturan akan

semakin tidak langsunglah maksud tuturan itu. Apabila kejelasan pragmatik itu dikaitkan dengan kesantunan, semakin jelas maksud sebuah tuturan akan semakin tidaklah santunlah tuturan itu, demikianlah sebaliknya, semakin tidak tembus pandang maksud suatu tuturan akan menjadi semakin santunlah tuturan itu. Fraser (1990) menunjukkan bahwa sedikitnya terdapat 4 pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur : 1. Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social-norm view). Dalam pandangan ini, kesantunan dalam bertutur ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan cultural yang ada dan berlaku didalam masyarakat bahasa itu. Apa yang dimaksud dengan

santun didalam bertutur, menurut pandangan ini,dapat disejajarkan dengan etiket berbahasa (language etiquette). 2. Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah Maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (face-saving). Dalam pandangan ini, kesantunan contract). Pandangan kesantunan sebagai dalam bertutur juga maksim percakapan dapat dianggap sebagai sebuah kontrak percakapan (conversational menganggap prinsip kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerjasama (cooperative principle). Prinsip kesantunan ini terutama mengatur tujuan-tujuan relasional yang berkaitan erat dengan upaya pengurangan friksi dalam interaksi personal antar manusia pada masyarakat bahasa tertentu. Rumusan prinsip kesantunan yang sampai dengan saat ini dianggap paling lengkap dan paling komprehensif adalah rumusan Leech (1983). Prinsip kesantunan itu selengkapnya dituangkan dalam 6 maksim interpersonal yang selengkapnya adalah ; Tact maxim, generosity maxim, approbation maxim, modesty maxim, agreement maxim, sympathy maxim. Dalam model kesantuna Leech ini, setiap unsure maxim interpersonal memiliki skala yang bermanfaat untuk menentukan peringkat kesantunan tuturan. Skala kesantunan Leech yaitu ; Cost-benefit scale, Optionality scale, Indirectness scale, Authority scale and Social distance scale. Berbeda dengan skala kesantunan Leech seperti disampaikan didepan di dalam model kesantunan Brown and Levinson (1987) hanya terdapat 3 skala pengukur peringkat kesantunan tuturan, mencakup : Social distance between speaker and hearer, the speaker and hearer relative power, the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services (Brown and Levinson, 1987:74).

3. Pandangan yang ketiga adalah melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational contract). Kontrak percakapan itu sangat ditentukan oleh hak dan kewajiban peserta tutur yang terlibat didalam kegiatan bertutur itu. Selain itu, kontrak percakapan juga ditentukan oleh penilaian peserta pertuturan terhadap faktor2 kontekstual yang relevan. Kontrak percakapan juga berkaitan sangat erat dengan proses terjadinya sebuah percakapan. Singkatnya, Fraser memandang bertindaksantun itu sejajar dengan bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa. 4. Pandangan keempat ini berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial (social indexing).