Upload
jhob-mhacker
View
270
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas
prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi
tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam
etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi
saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan
memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun
menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para
anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata
bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik,
sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna
ujaran dan pada pengguna bahasa.
Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa
sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem
formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika,
dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik,
Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai
pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu
makna, seperti akan saya jelaskan kemudian, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda
dengan makna yang dikaji dalam semantik.
Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22),
terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui
oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa
menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini
penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai
dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam
pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang
dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara
umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah
dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain
kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik
(sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa
tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan
untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence)
yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang
berlaku khusus dalam setiap bahasa.
Laporan ini bertujuan menjelaskan pentingnya bidang pragmatik untuk dipelajari
dalam program studi linguistik. Untuk tujuan tersebut, saya mengawali makalah ini dengan
pembahasan mengenai pengertian pragmatik, perkembangannya, menjelaskan secara singkat
topik-topik bahasannya, dan, menunjukkan pentingnya pragmatik. Berangkat dari uraian
tersebut, penulis berinisiatif untuk mengambil judul Kajian Pragmatik pada acara Talk
Show @Show_imah yang ditayangkan di Trans TV.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang ada, maka penulis merumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana deiksis yang digunakan pada percakapan dalam acara Talk Show
@Show_imah yang ditayangkan di Trans TV?
2. Jenis praanggapan apakah yang digunakan pada percakapan dalam acara Talk Show
@Show_imah yang ditayangkan di Trans TV?
3. Bagaimana tindak tutur pada percakapan dalam acara Talk Show @Show_imah yang
ditayangkan di Trans TV?
4. Jenis implikatur percakapan apakah yang terdapat dalam acara Talk Show @Show_imah
yang ditayangkan di Trans TV?
5. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip pragmatic pada percakapan dalam acara Talk
Show @Show_imah yang ditayangkan di Trans TV?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengetian Pragmatik
Stephen C. Levinson telah mengumpulkan sejumlah batasan pragmatik yang berasal
dari berbagai sumber dan pakar, yang dapat dirangkum seperti berikut ini.
a. Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsir (Morris,
1938:6). Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan
penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimat dengan
suatu proposisi (rencana, atau masalah). Dalam hal ini teori pragmatik merupakan bagian
dari performansi.
b. Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang
tergramatisasikan atau disandikan dalam struktur sesuatu bahasa.
c. Pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori
semantik, atau dengan perkataaan lain: memperbincangkan segala aspek makna ucapan
yang tidak dapat dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi
kebenaran kalimat yang ciucapkan. Secara kasar dapat dirumuskan: pragmatik = makna –
kondisi-kondisi kebenaran.
d. Pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan
dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah
mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-
kalimat dan konteks-konteks secara tepat.
e. Pragmatik adalah telaah mengenai deiksis, implikatur, anggapan penutur
(presupposition), tindak ujar, dan aspek struktur wacana.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa
pengertian pragmatic adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah penggunaan bahasa.
Satuan-satuan lingual dalam penggunaannya. studi kebahasaan yang terikat konteks dan
cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana
satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi
2. Deiksis
Deiksis adalah kata atau frasa yang menghunjuk kepada kata, frasa, atau ungkapan yang telah
dipakai atau yang akan diberikan (Agustina, 1995:40). Purwo (1984:1) menjelaskan bahwa
sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-
ganti, tergantung pada siapa yang menjadi sipembicara dan tergantung pada saat dan tempat
dituturkannya kata itu.
Pengertian deiksis yang lain dikemukakan oleh Lyons (1977:637) dalam Djajasudarma
(2010:51) yang menjelaskan bahwa deiksis adalah lokasi dan identifikasi orang, objek,
peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam
hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau
yang diajak bicara. Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwa deiksis adalah kata, frasa, atau
ungkapan yang rujukannya berpindah-pindah tergantung siapa yang menjadi pembicara dan
waktu, dan tempat dituturkannya satuan bahasa tersebut.
Perhatikan contoh kalimat berikut.
1) Begitulah isi sms yang dikirimkannya padaku dua hari yang lalu.
2) Hari ini bayar, besok gratis.
3) Jika Anda berkenan, di tempat ini Anda dapat menunggu saya dua jam lagi.
Dari contoh di atas, kata-kata yang dicetak miring dikategorikan sebagai dieksis. Pada kalimat
(1) yang dimaksud dengan begitulah tidak bisa diketahui karena uraian berikutnya tidak
dijelaskan. Pada kalimat (2) kapan yang dimaksud dengan hari ini dan besok juga tidak jelas,
karena kalimat itu terpampang setiap hari di sebuah kafetaria. Pada kalimat (3) kata Anda
tidak jelas rujukannya, apakah seorang wanita atau pria, begitu juga frasa di tempat ini
lokasinya tidak jelas.
Semua kata dan frasa yang tidak jelas pada kalimat di atas dapat diketahui jika konteks untuk
masing-masing kalimat tersebut disertakan. Dalam berpragmatik kalimat seperti di atas wajar
hadir di tengah-tengah pembicaraan karena konteks pembicaraan sudah disepakati antara si
pembicara dan lawan bicara.
Dalam kajian pragmatik, deiksis dapat dibagi menjadi jenis-jenis seperti diuraikan berikut ini.
a. Deiksis Orang
Deiksis orang adalah pemberian rujukan kepada orang atau pemeran serta dalam peristiwa
berbahasa (Agustina, 1995:43). Djajasudarma (2010:51) mengistilahkan dengan deiksis
pronomina orangan (persona), sedangkan Purwo (1984:21) menyebutkan dengan deiksis
persona. Dalam kategori deiksis orang, yang menjadi kriteria adalah peran pemeran serta dalam
peristiwa berbahasa tersebut (Nababan, 1987:41). Bahasa Indonesia mengenal pembagian kata
ganti orang menjadi tiga yaitu, kata ganti orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga.
Dalam sistem ini, orang pertama ialah kategori rujukan pembicara kepada dirinya sendiri, seperti
saya, aku, kami, dan kita. Orang kedua adalah kategori rujukan kepada seseorang (atau lebih)
pendengar atau siapa yang dituju dalam pembicaraan, seperti kamu, engkau, anda, dan kalian.
Orang ketiga adalah kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara dan bukan pula
pendengar, seperti dia, ia, beliau, -nya, dan mereka. Contoh pemakaian deiksis orang dapat
dilihat dalam kalimat-kalimat berikut.
1. Mengapa hanya saya yang diberi tugas berat seperti ini?
2. Saya melihat mereka di pasar kemarin.
Kata-kata yang dicetak miring seperti contoh-contoh tersebut di atas adalah contoh dari kata-kata
yang digunakan sebagai penunjuk dalam dieksis orang. Contoh kata seperti itu dipakai dalam
percakapan sebagai pengganti atau rujukan dari yang dimaksud dalam suatu peristiwa berbahasa.
b. Dieksis Tempat
Dieksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang atau tempat yang dipandang dari
lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa itu (Agustina, 1995:45). Dalam berbahasa, orang
akan membedakan antara di sini, di situ dan di sana. Hal ini dikarenakan di sini lokasinya dekat
dengan si pembicara, di situ lokasinya tidak dekat pembicara, sedangkan di sana lokasinya tidak
dekat dari si pembicara dan tidak pula dekat dari pendengar. Purwo (1984:37) mengistilahkan
dengan deiksis ruang dan lebih banyak menggunakan kata penunjuk seperti dekat, jauh, tinggi,
pendek, kanan, kiri, dan di depan. Sedangkan Djajasudarma (2010:65) mengistilahkannya
dengan dieksis penunjuk.
Contoh penggunaan dieksis tempat dapat dilihat pada kalimat-kalimat berikut.
1. Tempat itu terlalu jauh baginya, meskipun bagimu tidak.
2. Duduklah bersamaku di sini.
Kata-kata yang dicetak miring seperti contoh-contoh tersebut di atas adalah contoh dari kata-kata
yang digunakan sebagai penunjuk dalam deiksis tempat.
c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu adalah pengungkapan atau pemberian bentuk kepada titik atau jarak waktu yang
dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat (Agustina, 1995:46). Contoh deiksis waktu
adalah kemarin, lusa, besok, bulan ini, minggu ini, atau pada suatu hari.
Kalimat-kalimat berikut adalah contoh pemakaian dari kata penunjuk deiksis waktu.
1. Dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri, yang bernama Fitri dapat makan gratis
besok. (tulisan di sebuah restoran)
2. Gaji bulan ini tidak seberapa yang diterimanya.
3. Saya tidak dapat menolong Anda sekarang ini.
d. Deiksis Wacana
Deiksis wacana adalah rujukan kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah
diberikan atau yang sedang dikembangkan (Agustina, 1995:47). Deiksis wacana ditunjukkan
oleh anafora dan katafora. Sebuah rujukan dikatakan bersifat anafora apabila perujukan atau
penggantinya merujuk kepada hal yang sudah disebutkan. Senada dengan hal itu, Hasanuddin
WS. (2009:70) menjelaskan bahwa anafora adalah hal atau fungsi yang menunjuk kembali
kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam kalimat atau wacana.
Contoh kalimat yang bersifat anafora dapat dilihat dalam kalimat berikut.
1. Wati belum mendapatkan pekerjaan, padahal dia sudah diwisuda dua tahun yang lalu.
2. Joni baru saja membeli mobil BMW. Warnanya merah dan harganya jangan ditanya.
Sebuah rujukan atau referen dikatakan bersifat katafora jika rujukannya menunjuk kepada hal
yang akan disebutkan (Agustina, 1995:42). Contoh kalimat yang bersifat katafora dapat
dilihat dalam kalimat berikut.
1. Di sini, digubuk tua ini mayat itu ditemukan.
2. Setelah dia masuk, langsung Toni memeluk adiknya.
e. Deiksis Sosial
Deiksis sosial adalah mengungkapkan atau menunjukkan perbedaan ciri sosial antara
pembicara dan lawan bicara atau penulis dan pembaca dengan topik atau rujukan yang
dimaksud dalam pembicaraan itu (Agustina, 1995:50). Contoh deiksis sosial misalnya
penggunaan kata mati, meninggal, wafat dan mangkat untuk menyatakan keadaan meninggal
dunia. Masing-masing kata tersebut berbeda pemakaiannya. Begitu juga penggantian kata
pelacur dengan tunasusila, kata gelandangan dengan tunawisma, yang kesemuanya dalam tata
bahasa disebut eufemisme (pemakaian kata halus). Selain itu, deiksis sosial juga ditunjukkan
oleh sistem honorifiks (sopan santun berbahasa). Misalnya penyebutan pronomina persona
(kata ganti orang), seperti kau, kamu, dia, dan mereka, serta penggunaan sistem sapaan dan
penggunaan gelar. Contoh pemakaian deiksis sosial adalah pada kalimat berikut.
1. Apakah saya bisa menemui Bapak hari ini?
2. Saya harap Pak Haji berkenan memenuhi undangan saya.
Selain pembagian lima deiksis di atas, dalam kajian pragmatik juga dibedakan antara deiksis
sejati dengan deiksis tak sejati dan deiksis kinesik dengan deiksis simbolik (Agustina,
1995:51). Penjelasan deiksis tersebut akan dijelaskan berikut ini.
3. Tindak Tutur
Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ / speech act, speech event): pengujaran kalimat
untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana,
2008: 154). Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian
berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.
a. Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan
sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping
memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan
dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata
dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai
dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian.
Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak”
dalam tindak lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’
(yaitu si P) dan “ngelak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa
bermaksud untuk minta minum.
Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan
fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, “Aku
ngelak” yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta minum’ adalah sebuah tindak ilokusi.
Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara
singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT
melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di
sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.
b. TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif
Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT
(dalam Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:
1) TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang
dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.
2) TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT
melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh,
memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
3) TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai
evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji,
mengucapkan terima kasih, mengritik, dan mengeluh.
4) TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di
dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.
5) TT deklaratif merupakan TT yang dilakukan P dengan maksud untuk menciptakan hal
(status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya memutuskan, membatalkan,
melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.
c. TT Langsung vs TT Tidak Langsung
Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang berbeda-beda derajat
kelangsungannya dalam menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal
ini berkaitan dengan tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-
TL). Derajat kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik
ilokusi ( di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat
pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin
langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang
paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9), berupa isyarat halus. Karena kata
“meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran (9), maka MT harus mencari-
cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.
Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau
tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal
itu, kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat
macam ujaran, yaitu:
(1) TT-LH : “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada
pasiennya.
(2) TT-LTH : “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel
kepada
MT-nya yang selalu “cerewet”.
(3) TT-TLH : “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh
dokter gigi
kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
(4) TT-TLTH : “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat
menutup mulut
kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak
MT-nya
untuk tidak membuka rahasia.
Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas
dapat dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).
1) Tindak tutur langsung (TT-L)
2) Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
3) Tindak tutur harafiah (TT-H)
4) Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
5) Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
6) Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
7) Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)\
8) Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)
d. Tindak tutur langsung-tidak langsung dan literal-tidak literal
Berdasarkan isi kalimat atau tuturannya, kalimat dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu
kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif).
Berdasarkan modusnya, kalimat atau tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan langsung dan
tutran tidak langsung. Misalnya:
[Tuturan langsung]
A: Minta uang untuk membeli gula!
B: Ini.
[Tuturan tidak langsung]
A: Gulanya habis, nyah.
B: Ini uangnya. Beli sana!
Kadang-kadang secara pragmatis kalimat berita dan tanya digunakan untuk memerintah,
sehingga merupakan TT tidak langsung (indirect speech). Hal ini merupakan sesuatu yang
penting dalam kajian pragmatik. Misalnya:
1. Rumahnya jauh. (ada maksud: jangan pergi ke sana).
2. Adiknya sakit. (ada maksud: jangan ribut atau tengoklah!)
Berdasarkan keliteralannya, tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan literal dan tuturan tidal
literal.
1. Tuturan literal: tuturan yang sesuai dengan maksud atau modusnya. Misalnya, Buka
mulutnya! (makna lugas: buka).
2. Tuturan tidak literal: tuturan yang tidak sesuai dengan maksud dalam tulisan/tuturan.
Misalnya, Buka mulutnya! (makna tidak lugas: tutup). Hal ini disebut juga ‘nglulu’
Dalan bahasa kadang-kadang terjadi, yang bagus dikatakan jelek (hal ini disebut banter
[bEnte]), yang jelek dikatakan bagus (disebut ‘ironi’).
Masing-masing tindak tutur (langsung, tidak langsung, literal, dan tidak literal) apabila
disinggungkan (diinterseksikan) dapat dibedakan menjadi 8 macam seperti sebagai berikut.
1) TT langsung
2) TT tidak langsung
3) TT literal
4) TT tidak literal
5) TT langsung literal
6) TT tidak langsung literal
7) TT langsung tidak literal
8) TT tidak langsung tidak literal
4. Prinsip-Prinsip Pragmatik
Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat
dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule
1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini
terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi
informasi sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang
menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim),
memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim),
menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara
singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64).
Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi
kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan
(2004: 12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi
secara tersirat (implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).
Menurut Leech (1993), pragmatik umum tidak dikendalikan atau tidak diatur (regulated)
oleh kaidah seperti dalam semantik, melainkan prinsip (=retoris) yang bersifat
nonkonvensional, yaitu dimotivasi oleh tujuan-tujuan sosial. Misalnya, seorang guru yang
bermaksud menyuruh muridnya untuk membersihkan kelas, dia dapat memilih satu di
antara tuturan-tuturan berikut.
(1) Bersihkan kelasnya! (kalimat imperatif)
(2) Kelasnya kotor. (kalimat deklaratif)
(3) Saya ingin kelasnya bersih. (kalimat deklaratif)
(4) Kelasnya kotor sekali ya? (kalimat interogatif)
(5) Kenapa kelasnya kotor ya? (kalimat interogatif)
a. Prinsip Kerja Sama
Maksim kuantitas: berikan jumlah informasi yang tepat; termanifestasikan dalam sub-sub
maksim berikut.
(a) Sumbangan informasi harus seinformatif yang dibutuhkan.
(b) Sumbangan informasi tidak melebihi kebutuhan.
Contoh:
X: Siapa yang tidak mengerjakan PR?
Y: Saya Pak. (memang yang ditanyakan hanya siapa)
Y: Saya Pak, karena sakit. (yang ditanyakan hanya siapa, bukan mengapa)
(2) Maksim kualitas: usahakan sumbangan indormasi Anda benar; termanifestasikan
dalam sub-sub maksim berikut.
(a) Jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini tidak benar.
Contoh:
X: Siapa yang mengambil buku di meja saya?
Y: Adi Pak. (padahal Y tahu bukan Adi yang mengambil buku)
(b) Jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
Contoh:
X: Siapa yang mengambil buku di meja saya?
Y: Sepertinya Adi yang mengambil Pak.
X: Apa kamu punya buktinya?
Y: ya tidak ada Pak. Tapi sepertinya memang Adi yang mengambil.
(3) Maksim hubungan: usahakan perkataan Anda ada relevansinya.
Contoh:
X: Siapa yang mengambil buku di meja saya?
Y: Harga buku itu lebih mahal ya Pak?
(4) Maksim cara: usahakan perkataan Anda mudah dimengerti; termanifestasikan dalam
sub-sub maksim berikut.
(a) Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar.
Contoh:
X: Kenapa dia juga ditahan?
Y: Ya kena getahnya.
(b) Hindarilah ketaksaan.
Contoh:
X: Anda memenuhi panggilan pengadilan untuk diperiksa. Anda bersalah?
Y: Warga negara yang baik itu taat hukum.
(c) Usahakan pernyataan yang ringkas (tidak bertele-tele).
Contoh:
X: Apakah dengan menikah lagi Aa’ tidak takut ditinggalkan jama’ah?
Y: Saya hanya ingin melaksanakan ajaran agama dengan baik dan benar. Karena itulah
tugas yang harus saya emban sampai saya mati nanti.
(d) Usahakan berbicara dengan teratur.
Contoh:
X: Jelaskan apa tujuan penelitian Anda!
Y: Adapun yang menjadi tujuan daripada penelitian yang ada di dalam penelitian adalah
untuk dapatnya memperoleh deskripsi struktur mantra saja.
b. Prinsip Sopan Santun
(1) Maksim kearifan:
(a) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin.
(b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
Contoh:
X: Mau sewa mobil mahal Pak. Padahal saya urusan saya banyak.
Y: Tak usah memikirkan sewa! Pakailah mobilku ini!
(2) Maksim kedermawanan:
(a) buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin.
(b) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
Contoh:
X: Aduh bagaimana ini pak? Harus dibagi berapa-berapa berasnya?
Y: Sudahlah, saya ambil satu ons saja.
X: Tapi Bapak butuh banyak kan?
Y: Tidak apa-apa.
(3) Maksim pujian:
(a) kecamlah orang lain sesedikit mungkin.
(b) pujilah orang lain sebanyak mungkin.
Contoh:
X: Bagaimana pendapatmu tentang novelku ini?
Y: Warna sampulnya saja yang kurang menarik. Isinya bagus sekali Pak.
(4) Maksim kerendahan hati:
(a) pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.
(b) kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
Contoh:
X: Wah hebat bisa kamu juara!
Y: Ah cuma tingkat RT. Kalau tingkat RW, saya ini tidak ada apa-apanya.
(5) Maksim kesepakatan:
(a) usahakan ketidaksepakatan dengan orang lain sesedikit mungkin.
(b) usahakan kesepakatan dengan orang lain sebanyak mungkin.
Contoh:
X: Anda setuju dengan ide saya?
Y: Satu saja yang kurang setuju Pak. Lainnya, saya setuju semua.
(6) Maksim simpati:
(a) kurangilah rasa antipati kepada orang lain hingga sekecil mungkin.
(b) tingkatkanlah rasa simpati kepada orang lain hingga sebesar mungkin.
Contoh:
X: Saya sangat kecewa dengan hasil yang saya raih ini?
Y: Kenapa begitu? Tapi saya bangga kalau kamu kecewa. Karena dengan begitu berarti
kamu punya semangat yang tinggi untuk mendapat hasil yang jauh lebih baik.
5. Implikatur Percakapan
Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu
implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional
merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung
implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan
penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan
karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58). Contoh.
1) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya
2) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok
Contoh (1) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama
biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (2) merupakan implikatur
konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah
Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?
Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice,
implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang
pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (2) di atas, sedangkan yang kedua
tidak, misalnya contoh (1) di atas.
Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang implikatur ini, berikut akan dipaparkan
beberapa ciri-ciri implikatur menurut beberapa ahli. Menurut Nababan (1987:39) ada 4,
sebagai berikut:
a. Sesuatu implikatur percakapan dapat dibatalkan dalam hal tertentu, umpamanya dengan
menambahkan klausa yang mengatakan bahwa seseorang tidak mau memakai
implikatur percakapan itu, atau memberikan suatu konteks untuk membatalkan
implikatur itu.
b. Biasanya tidak ada cara lain untuk mengatakan apa yang dikatakan dan masih
mempertahankan implikatur yang bersangkutan.
c. Implikatur percakapan mempersyaratkan pengetahuan terlebih dahulu arti konvensional
dari kalimat yang dipakai. Oleh karena itu, isi implikatur percakapan tidak termasuk
dalam arti kalimat yang dipakai.
d. Kebenaran isi dari suatu implikatur percakapan bukan tergantung pada kebenaran yang
dikatakan. Oleh karena itu, implikatur tidak didasarkan atas apa yang dikatakan, tetapi
atas tindakan yang mengatakan hal itu.
Senada dengan pendapat sebelumnya Grice, H.P (Mujiyono, 1996:40) mengemukakan ada 5
ciri-ciri dari implikatur percakapan, yakni:
a. Dalam keadaan tertentu, implikatur percakapan dapat dibatalkan baik dengan cara
eksplisit ataupun dengan cara kontektual (cancellable).
b. Ketidakterpisahan implikatur percakapan dengan cara menyatakan sesuatu. Biasanya
tidak ada cara lain yang lebih tepat untuk mengatakan sesuatu itu, sehingga orang
memakai tuturan bermuatan implikatur untuk menyampaikannya (nondetachable).
c. Implikatur percakapan mempersyaratkan makna konvensional dari kalimat yang dipakai,
tetapi isi implikatur tidak masuk dalam makna konvensional kalimat itu
(nonconventional).
d. Kebenaran isi implikatur tidak tergantung pada apa yang dikatakan, tetapi dapat
diperhitungkan dari bagaimana tindakan mengatakan apa yang dikatakan (calcutable).
e. Implikatur percakapan tidak dapat diberi penjelasan spesifik yang pasti sifatnya
(indeterminate).
B. Kerangka Pikir