Upload
giovanny-sumeinar
View
60
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
apendisitis dan peritonitis
Citation preview
Laporan Project Based Learning (PJBL)
APPENDICITIS &
PERITONITIS
Disusun untuk melengkapi tugas blok
Fundamental Pathophysiology of Digestive System
Oleh: Kelompok 6
Anita Ika Lestari 115070207111011
Kinanti Primandini 115070207111013
Wisam Wafi Kurniawan 115070207111015
Maretta Sekar Dewi 115070207111017
Giovanny Sumeinar 115070207111019
Dewanti Erin Sasmi 115070213111001
Dhinar Ika Wardhani P 115070207111025
Yuni Widiyaningsih 115070207111027
Baiq Ririn Vihasti S. 115070207111029
Isroah 115070207111031
Jurusan Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit inflamasi pada system pencernaan sangat banyak,
diantaranya appendisitis dan divertikular disease. Appendisitis
adalah suatu penyakit inflamasi pada apendiks diakibanya
terbuntunya lumen apendiks. Divertikular disease merupakan
penyakit inflamasi pada saluran cerna terutama kolon. Keduanya
merupakan penyakit inflamasi tetapi penyebabnya berbeda.
Appendisitis disebabkan terbuntunya lumen apendiks. dengan
fecalit, benda asing atau karena terjepitnya apendiks, sedang
diverticular disebabkan karena massa feces yang terlalu keras dan
membuat tekanan dalam lumen usus besar sehingga membentuk
tonjolan-tonjolan divertikula dan divertikula ini yang kemudian bila
sampai terjepit atau terbuntu akan mengakibatkan diverticulitis
Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju daripada
Negara berkembang, namun dalam tiga sampai empat dasawarsa
terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100 kasus tiap 100.000
populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini mungkin
disebabkan perubahan pola makan, yaitu Negara berkembang
berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut data epidemiologi
apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas,
dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an,
sedangkan angka ini menurun pada menjelang dewasa. Sedangkan
insiden diverticulitis lebih umum terjadi pada sebagian besar Negara
barat dengan diet rendah serat. Lazimnya di Amerika Serikat sekitar
10%. Dan lebih dari 50% pada pemeriksaan fisik orang dewasa pada
umur lebih dari 60 tahun menderita penyakit ini
Apendisitis dan divertikulitis termasuk penyakit yang dapat
dicegah apabila kita mengetahui dan mengerti ilmu tentang penyakit
ini. Seorang perawat memiliki peran tidak hanya sebagai care giver
yang nantinya hanya akan bisa memberikan perawatan pada pasien
yang sedang sakit saja. Tetapi, perawat harus mampu menjadi
promotor, promosi kesehatan yang tepat akan menurunkan tingkat
kejadian penyakit ini.
Sehingga makalah ini di susun agar memberi pengetahuan
tentang penyakit apendisitis dan diverticulitis sehingga mahasiswa
calon perawat dapat lebih mudah memahami tentang pengertian,
etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, asuhan keperawatan,
penatalaksanaan medis pada pasien dengan apendisitis dan
diverticulitis.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan appendicitis ?
2. Bagaimana klasifikasi appendicitis ?
3. Apa penyebab terjadinya appendicitis ?
4. Bagaimana epidemiologi appendicitis ?
5. Bagaimana patofisiologi appendicitis ?
6. Apa faktor risiko dari appendicitis ?
7. Apa manifestasi klinis dari appendicitis ?
8. Bagaimana pemeriksaan diagnostik appendicitis ?
9. Bagaimana penatalaksaan medis appendicitis ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Appendicitis
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.
Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10
sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).
Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah
penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan
dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum
untuk bedah abdomen darurat. Jadi, dapat disimpulkan apendisitis
adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan
merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.
Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena
tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan
limfoid, dan cacing usus Obstruksi lumen merupakan penyebab
utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat
terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus
buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan
pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa
pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu
dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum).
Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut
kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun,
lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa
mengeluarkan lendir.
Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai
cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi
banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai
cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup
tinggi, dikarenakan oleh peritonitis (peradangan
peritonium ,biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
organ abdomen berfurasi apendik atau saluran cerna atau luka
tembus abdomen)dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi
hancur.
2. Klasifikasi Appendicitis
Klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah
sebagai berikut :
1. Appendicitis Akut
Apendisitis akut adalah keadaan akut abdomen yang
memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi
yang lebih buruk jika telah terjadi perforasi, maka komplikasi dapat
terjadi seperti peritonitis umum, terjadinya abses, dan komplikasi
pasca operasi seperti fistula dan infeksi luka operasi (Jaffe &
Berger, 2005).
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang
didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan
tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsangan
peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah
epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual
dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke
titik McBurney (Bedah UGM, 2009; Burkit et al, 1992). Di sini nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatic setempat. Kadang tidak ada nyeri
epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita seperti
memerlukan obat pencahar.
Bila dilakukan penekanan kemudian dilepaskan pada titik
MC. Burney maka pasien apendisitis akut akan merasa sangat
nyeri. Penekanan juga dapat dilakukan di abdomen kiri bawah,
dikatakan apendisitis bila merasa nyeri pada abdomen kanan
bawah (bedah UGM, 2009).
a. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub
mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk
dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam
lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi
menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa
nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise,
dan demam ringan. Pada appendicitis kataral terjadi
leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema,
dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai
edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding
appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini
memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada
appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan
di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai
dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri
lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak
aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada
seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Appendicitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah
arteri mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren.
Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami
gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna
ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis
akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan
peritoneal yang purulen.
2. Appendicitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum,
kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa
flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
3. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk
berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari
sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
4. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang
sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga
perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks
tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5. Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut
supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi
mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi
parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut
kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding
appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan
eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa.
Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
Pada pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi
terkadang menggambarkan hasil yang normal. Setelah dilakukan
apendektomi, gejala akan menghilang pada 82-93% pasien (Jaffe
& Berger, 2005). Patologi anatomi digunakkan untuk menegakkan
apendisitis kronikkarena diagnosis sebelum operasi sangat sulit
ditetapkan (Smink & Soybel, 2005). Ciri Apendisitis kronikadalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa,
dan infiltrasi sel inflamasi kronik(Pieter, 2005).
3. Etiologi Appendicitis
Penelitian menunjukkan peran kebiasaan makan-makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Kuman yang
sering ditemukan dalam apendiks belum diketahui secara pasti.
Lumen yang sering ditemukan dalam apendiks ditemukan dalam
apendiks yang meradang adalah E. Coli dan streptococus.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri.
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus. Diantaranya adalah
obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Apendisitis merupakan
infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan
akibat :
1. Hiperplasia dari folikel limfoid
2. Adanya fekalit dalam lumen appendiks
3. Tumor appendiks
4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis
5. Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin atau cairan mucosa
yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini akan
semakin meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan
tekanan intra mucosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan
menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi
peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada
dinding apendiks. (Mansjoer et.al., 2005 ; Sjamsuhidajat et.al., 2005 ;
Yopi Simargi et al., 2008).
Penyebab lain obstruksi lumen appendix juga dapat
disebabkan oleh apendikolit, fekalomas (tinja yang mengeras) yang
akhirnya merusak suplai darah dan merobek mukosa yang
menyebabkan inflamasi, parasit (biasanya cacing ascaris), benda
asing, karsinoid, jaringan parut, mukus, dan lain-lain (Subanada,
dkk, 2007, Price dan Wilson, 2006).
4. Epidemiologi Appendicitis
Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada
di Negara berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat
perubahan pola makan di Negara berkembang yang banyak
mengkonsumsi makanan berserat. Apendisitis merupakan
kedaruratan bedah paling sering di Negara-negara Barat. Namun
dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara
bermakna. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya
pada anak kurang dari 2 tahun jarang dilaporkan. Insiden
apendisitis tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah
umur 30 tahun insiden apendisitis mengalami penurunan jumlah.
Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali
pada umur 20-30 tahun, insiden laki-laki lebih sering. Ini
disebabklan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa
tersebut.(Pieter, 2005)
Di Indonesia insidens apendisitis akut jarang dilaporkan.
Insidens apendisitis akut pada pria berjumlah 242 sedang kan pada
wanita jumlahnya 218 dari keseluruhan 460 kasus (Ruchiyat
dkk,1999). Tahun 2008, insiden apendisitis mengalami
peningkatan. Hal ini diakibatkan karena peningkatan konsumsi
junk food dari pada makanan berserat. Apendisitis kronik
insidennya hanya 1 - 5 %.
Insiden apendisitis pada laki – laki tertinggi pada umur 10 –
14 tahun (27.6% per 10.000 penduduk), sementara pada wanita
insiden tertinggi pada umur 15 – 19 tahun (20,5% per 10.000
penduduk) (Bernard & David, 2005; douglas & david, 2005.)
5. Patofisiologi Appendicitis
(Terlampir)
6. Faktor Risiko Appendicitis
Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian
distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini
merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.
(Gearhart.S.L & Silen.W, 2008)
a. Faktor Host
1. Umur
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling
sering pada dewasa muda. Penelitian Addins (1996) di Amerika
Serikat, appendicitis tertinggi pada usia 10-19 tahun dengan
Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3 per 10.000
penduduk. Hal ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan
limfoid karena jaringan limfoid mencapai puncak pada usia
pubertas.
2. Jenis Kelamin
Penelitian Omran et al (2003) di Kanada, Sex Specific
Morbidity Rate (SSMR) pria : wanita yaitu 8,8 : 6,2 per 10.000
penduduk dengan rasio 1,4 : 1. Penelitian Gunerhan (2008) di
Turki didapat SSMR pria : wanita yaitu 154,7 : 144,6 per
100.000 penduduk dengan rasio 1,07: 1. Kesalahan diagnosa
appendicitis 15-20% terjadi pada perempuan karena munculnya
gangguan yang sama dengan appendicitis seperti pecahnya
folikel ovarium, salpingitis akut, kehamilan ektopik, kista
ovarium, dan penyakit ginekologi lain.
3. Ras
Faktor ras berhubungan dengan pola makan terutama diet
rendah serat dan pencarian pengobatan. Penelitian Addins
(1996) di Amerika Serikat, IR kulit putih : kulit hitam yaitu 15,4 :
10,3 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,5 : 1. Penelitian
Richardsonet al (2004) di Afrika Selatan, IR kulit putih : kulit
hitam yaitu 2,9 : 1,7 per 1.000 penduduk dengan rasio 1,7 : 1.
Penelitian Ponsky (2004) di Children's National Medical
Center Amerika Serikat dengan desain Case Control pada anak
umur 5-17 tahun didapat penderita ruptur appendicitis 1,66 kali
lebih besar pada anak keturunan Asia (Odds Ratio [OR]: 1,66;
95% Confidence Interval [CI] : 1,24-2,23) dan 1,13 kali lebih
besar pada anak kulit hitam (OR: 1,13; 95% CI: 1,01-1,30)
dibandingkan anak bukan penderita ruptur appendicitis.
Penelitian Smink (2005) di Boston dengan desain Case Control
pada anak umur 0-18 tahun didapat penderita ruptur
appendicitis 1,24 kali lebih besar pada kulit hitam (OR: 1,24;
95% CI: 1,10–1,39) dan 1,19 kali lebih besar pada anak
hispanik (OR: 1,19; 95% CI: 1,10–1,29) dibandingkan anak
bukan penderita ruptur appendicitis.
b. Faktor Agent
Proses radang akut appendiks disebabkan invasi
mikroorganisme yang ada di usus besar. Pada kultur ditemukan
kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan Eschericia coli,
Splanchicus sp, Lactobacilus sp, Pseudomonas sp, dan
Bacteriodes splanicus. Bakteri penyebab perforasi yaitu bakteri
anaerob 96% dan aerob 4%.
c. Faktor Environment
Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi
perubahan pola makan dalam masyarakat seiring dengan
peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi lemak dan rendah
serat. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran konsumsi
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
appendicitis. Kebiasaan konsumsi rendah serat mempengaruhi
defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi lumen sehingga
memiliki risiko appendicitis yang lebih tinggi.
7. Manifestasi Klinis Appendicitis
Menurut Cecily Lynn & Linda (2009), manifestasi klinis
appendicitis :
1. Sakit, kram didaerah periumbilikus menjalar ke kuadaran kanan
bawah dengan intensitas nyeri tertinggi pada titik McBurney (yang
terletak dipertengahan antara Krista iliaka anterior superior kanan
dan umbilikus).
2. Anoreksia, mual, muntah, demam
3. Muntah (tanda awal yang umum, kurang umum pada anak yang
lebih besar).
4. Nyeri lepas (nyeri yang timbul sewaktu tekanan dihilangkan dari
bagian yang sakit), merupakan gejala klasik peritonitis dan umum
ditemukan di apendisitis. Terjadi sefans muscular atau
pengencangan perut (Elizabeth J Corwin. 2009)..
5. Bising usus menurun atau tidak ada sama sekal, konstipasi.
6. Diare (sedikit, berair).
7. Kesulitan berjalan atau bergerak.
8. Iritabilitas
Sedangkan Smeltzer & Bare, 2001 adalah :
a. Nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri di daerah
epigastrium di sekitar umbilicus, adanya keluhan mual dan muntah
b. Nafsu makan menurun
c. Nyeri tekan local pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan
d. Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh
perut,tetapi paling terasa nyeri pada titik Mc Burney
e. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.
f. Demam biasanya ringan 37,50C – 38,50C
g. Nyeri timbul saat berjalan
h. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi
Untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor
Alvarado, yaitu:
2.1. Pemeriksaan Diagnostik Appendicitis
Pemeriksaan fisik.
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan
distensi abdomen.
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa
nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan
perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis.
Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut
kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Dan
apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa
sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg
sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah
bila pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri.
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan
letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang
meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis apendisitis pelvika. Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi
dari suhu ketiak (axilla), lebih menunjang lagi adanya radang usus
buntu.
d. Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks
yang meradang. Pada apendiks yang terletak pada retro sekal
maka uji Psoas akan positif dan tanda perangsangan peritoneum
tidak begitu jelas, sedangkan bila apendiks terletak di rongga
pelvis maka Obturator sign akan positif dan tanda perangsangan
peritoneum akan lebih menonjol.
Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan
ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada m.psoas
mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks
yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika (Akhyar Yayan, 2008 )
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
menentukan dan mendiagnosa adanya penyakit radang usus
buntu (Appendicitis). Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada klien
dengan appendisitis menurut Doengoes, 2000 adalah :
a. Pemeriksaan Diagnostik
- Pemeriksaan diagnostik pre operasi apendektomi :
1) SDP : Leukositosis di atas 12.000 / mm3 , neutrofil
meningkat sampai 75 %.
2) Urinalisis : normal, tetapi eritrosit / leukosit mungkin ada.
3) Foto abdomen : dapat menyatakan adanya pengerasan
material pada apendiks ( fekalit ), atau ileus terlokalisir.
4) Pemeriksaan rectal toucher akan teraba benjolan dan
penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.
- Pemeriksaan diagnostik post op apendektomi :
1) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya
peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya
infeksi.
2) Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya
komplikasi pasca pembedahan
Laboratorium
Darah lekosit akan terjadi peningkatan lekosit lebih dari 10.000-
20.000/ml (leukositosis) sebagai respon fisiologis untuk melindungi
tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang pada appendicitis
akut dan perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi
dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat.
Pemeriksaan urin sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal
yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan
appendisitis.Urin ditemukan jumlah lekosit dan bakteri yang
diterlihat.
Hb (hemoglobin) nampak normal
Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan appendicitis
infiltrat
Radiologi
Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa
appendicitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala
dapat ditemukan gambaran sebagai berikut :
Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan
cairan
Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam
diafragma
Foto polos abdomen setelah enema barium akan nampak jika
appendik tidak terisi oleh kontras dicurigai adanya sumbatan
(fekolit)
Adapun macam-macam pemeriksaan radiologi diantaranya :
Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.
Pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang
dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
Abdominal X-Ray untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
USG : Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai
adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya.
Barium enema : Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan
barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan
komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya
dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Laparoscopi : Suatu tindakan dengan menggunakan kamera
fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat
divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah
pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini
didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga
dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.
1. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan
pemeriksaan skening ini. Gambaran penebalan diding apendiks
dengan jaringan lunak sekitar yang melekat, mendukung keadaan
apendiks yang meradang. CT- Scan sangat baik untuk mendeteksi
apendiks dengan abses atau flegmon . Pada pasien yang tidak
hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna untuk
mendiagnosis appendisitis dan abses periappendikular sekaligus
menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut dan
pelvis yang menyerupai appendicitis (Bedah UGM, 2009.
2. Laparoskopi (Laparoscopy)
Dibidang bedah, laparoskopi dapat berfungsi sebagai alat
diagnostik dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis apendisitis
secara langsung, laparoskopi juga dapat digunakan untuk melihat
keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat
terutama pada pasien wanita. Pada apendisitis akut laparoskopi
diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi
laparoskopi(Smink & Soybel, 2005).
3. Appendicogram
Pada appendicitis kronis, dilakukan pemeriksaan appendicogram.
Dimana akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa
appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan usus
oleh fekalit. Kontras dapat mengisi lumen (filling), mengisi
sebagian (partial filling), dan tidak dapat mengisi (non filling).
8. Penatalaksanaan Medis Appendicitis
Penatalaksanaan Medis
- Appendiktomi cito (app akut, abses dan perforasi)
- Appendiktomi elektif (app kronik)
- Konservatif kemudian operasi elektif (app infiltrate)
(PPNI Klaten – 2013)
Penatalaksanaan Apendisitis Akut
- Perawatan Kegawatdaruratan
a. Berikan terapi kristaloid untuk pasien dengan tanda-tanda
klinis dehidrasi atau septicemia.
b. Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan
apapun melalui mulut.
c. Berikan analgesik dan antiemetik parenteral untuk
kenyamanan pasien.
d. Berikan antibiotik intravena pada pasien dengan tanda-tanda
septicemia dan pasien yang akan dilanjutkan ke laparotomi.
- Antibiotik Pre-Operatif
a. Pemberian antibiotik pre-operatif telah menunjukkan
keberhasilan dalam menurunkan tingkat luka infeksi pasca
bedah.
b. Pemberian antibiotic spektrum luas untuk gram negatif dan
anaerob diindikasikan.
c. Antibiotik preoperative harus diberikan dalam hubungannya
pembedahan.
- Tindakan Operasi
a. Bila diagnosis klinis sudah jelas, maka tindakan paling tepat
adalah apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan
yang baik. Penundaan tindakan bedah sambil pemberian
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
b. Jika apendiks mengalami perforasi, maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis dan antibiotika.
c. Bila terjadi abses apendiks maka terlebih dahulu diobati
dengan antibiotika IV, massanya mungkin mengecil, atau
abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu
beberapa hari.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita
appendicitis meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada
penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah
berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk
mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum
operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta
pemberian antibiotik sistemik.
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis
maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang
appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan
pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah
ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta
untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan
( akhyar yayan,2008 ). Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa
ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat
apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko
perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum
umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara
laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh
para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas
sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium
dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi
diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan
akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang
sudah meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang
penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya telah
dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum
operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi
dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi
dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya,
teknik konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan
cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks
(Sanyoto, 2007).
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian
antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman
anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan
sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, DeJong, 2004).
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu
dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan
bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut
sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan
juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap
selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang
disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu
dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik
(Sanyoto, 2007).
Daftar Pustaka
Mansjoer, A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius.
Rahmad Juwono. 1999. Ilmu Penyakit Dalam Edisi 3. Jakarta:
FKUI.
Sjaifoellah Noer. 1998. Standar Perawatan Pasien. Jakarta: Monica
Ester.
Brunners & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Edisi 8. Jakarta:
EGC.
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta:
EGC.
Schwartz, Seymour. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah.
Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, edisi 6. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, W.D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi
revisi. Jakarta: EGC.
Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi, edisi
2. Jakarta: EGC.
Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B., 2007. Appendicitis. In:
Essential Surgery Problems, Diagnosis, & Management. Fourth
Edition. London: Elsevier, 389-398.
Chapter II. Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19162/4/Chapter
%20II.pdf . Diaksestanggal 25 Februari 2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat
kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan
nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan
penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah,
misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan, infeksi,
obstruksi atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi
yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna
sehingga terjadilah peritonitis.
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi
berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-
organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus
gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi,
iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi
bakteri secara inokulasi kecil-kecilan. Kontaminasi yang terus
menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya
benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor
yang memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera
diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit
yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan
diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan
melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan peritonitis ?
2. Bagaimana klasifikasi peritonitis ?
3. Apa penyebab terjadinya peritonitis ?
4. Bagaimana epidemiologi peritonitis ?
5. Bagaimana patofisiologi peritonitis ?
6. Apa faktor risiko dari peritonitis ?
7. Apa manifestasi klinis dari peritonitis ?
8. Bagaimana pemeriksaan diagnostik peritonitis ?
9. Bagaimana penatalaksaan medis peritonitis ?
10. Apa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien peritonitis ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Peritonitis adalah inflamasi atau peradangan pada selaput
peritoneum, yaitu lapisan serosa rongga abdomen. Peradangan yang
biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga perut
(peritoneum)—lapisan membran serosa rongga abdomen dan dinding
perut sebelah dalam. Peradangan ini merupakan komplikasi
berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-
organ abdomen (misalnya, apendisitis, salpingitis), rupture saluran
cerna atau dari luka tembus abdomen.
2. KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut agen:
a. Peritonitis kimia, misalnya peritonitis yang disebabkan karena
asam lambung, cairan empedu, cairan pankreas yang masuk
ke rongga abdomen akibat perforasi.
b. Peritonitis septic, merupakan peritonitis yang disebabkan
kuman. Misalnya karena ada perforasi usus, sehingga kuman-
kuman usus dapat sampai ke peritoneum dan menimbulkan
peradangan.
Klasifikasi menurut sumber kuman:
a. Peritonitis primer (spontan)
Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal
dari penyebaran secara hematogen. Sering disebut juga
sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). Peritonitis ini
bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh
perforasi atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ
visera dengan inokulasi bakterial pada rongga peritoneum.
Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama
oleh bakteri gram negatif (E.coli, klebsiella pneumonia,
pseudomonas, proteus) , bakteri gram positif ( streptococcus
pneumonia, staphylococcus). Peritonitis primer dibedakan
menjadi:
1) Spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik,
misalnya kuman tuberkulosa.
2) Non- spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non
spesifik, misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak
spesifik.
b. Peritonitis sekunder
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab
utama, diantaranya adalah:
1) Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus
gastrointestinal atau traktus genitourinarius ke dalam
rongga abdomen, misalnya pada : perforasi appendiks,
perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus,
kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk.
2) Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke
peritoneum saat terjadi pankreatitis, atau keluarnya asam
empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
3) Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters
Terapi dilakukan dengan pembedahan untuk
menghilangkan penyebab infeksi (usus, appendiks, abses),
antibiotik, analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri, dan cairan
intravena untuk mengganti kehilangan cairan. Mengetahui
sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non operatif
1) Secara non operatif
Dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat
digunakan dengan efektif sebagai terapi, bila suatu abses
dapat dikeringkan tanpa disertai kelainan dari organ visera
akibat infeksi intra-abdomen
2) Cara operatif
Dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari
organ visera akibat infeksi intra abdomen
Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder
antara lain adalah syok septik, abses, perlengketan
intraperitoneal.
c. Peritonitis Tersier
Biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien
imunokompromise. Organisme penyebab biasanya organisme
yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative Staphylococcus,
S.Aureus, gram negative bacili, dan candida, mycobacteri dan
fungus. Gambarannya adalah dengan ditemukannya cairan
keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan
atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan dengan antibiotika IV
atau ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan
berdasarkan tipe kuman yang didapat pada tes laboratorium.
Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis
berulang, abses intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini
sebaiknya kateter dialisis dilepaskan.
3. EPIDEMIOLOGI
Menurut survey WHO Jumlah penderita PERITONITIS di dunai
berkisar 5,9 jt/tahun. Insiden di negara barat telah menurun jelas pada
dekade terakhir, sedangkan di Afrika jarang dilaporkan adanya
penyakit ini. Di Indonesia belum diteliti apakah ada kesan ada
kenaikan insiden. Di Amerika, insiden pada orang kulit hitam
sebanding atau sedikit lebih tinggi dibanding orang kulit putih. Terdapat
predisposisi familier, tetapi hubungannya lebih jelas. Lebih banyak
ditemukan pada orang yang golongan darah O, dan juga lebih sering
ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi.
Pada 39 kasus peritonitis neonatal ditemukan sekitar 51,3%
mempunyai peritonitis mekonium. Asites pada 45% kasus dan muntah-
muntah pada 40% kasus, 30% mempunyai massa pada abdominal.
Angka mortalitas pada peritonitis mekonium sekitar 80%.
4. ETIOLOGI
a. Infeksi bakteri
1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2) Appendisitis yang meradang dan perforasi
3) Tukak peptik (lambung / dudenum)
4) Tukak thypoid
5) Tukan disentri amuba / colitis
6) Tukak pada tumor
7) Salpingitis
8) Divertikulitis
b. Secara langsung dari luar.
1) Operasi yang tidak steril
2) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida,
terjadi peritonitisyang disertai pembentukan jaringan
granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut
juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis
lokal.
3) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
4) Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis.
Terbentuk pula peritonitis granulomatosa.
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut
seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media,
mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah
streptokokus atau pnemokokus.
Adapun penyebab spesifik dari peritonitis adalah :
1) Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering
menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, usus,
kandung empedu atau usus buntu. Sebenarnya peritoneum
sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak
berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan
peritoneum cenderung mengalami penyembuhan bila diobati.
2) Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif
melakukan kegiatan seksual
3) Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan
oleh beberapa jenis kuman (termasuk yang menyebabkan
gonore dan infeksi chlamidia)
4) Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul
di perut (asites) dan mengalami infeksi
5) Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera
pada kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus
selama pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam
perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk
menyambungkan bagian usus.
6) Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering
mengakibatkan peritonitis. Penyebabnya biasanya adalah
infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam perut.
7) Iritasi tanpa infeksi; Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis
akut) atau bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga
dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.
5. PATOFISIOLOGI (Terlampir)
6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang
berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik.
Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari
dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum
peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi
dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik
meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah,
dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok
(Doherty, 2006).
a. Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada
pada peritonitis. Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-
tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya
didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006).
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-
menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan
timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada
daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya
intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya
lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan
penyebaran dari peritonitis (Schwartz et al, 1989).
b. Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan
dapat diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh
haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti dengan
menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya
sekitar 38OC sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989). (Corwin, 2001).
c. Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates.
Gejala ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan
kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka
yang tampak pucat (Cole et al,1970).
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies
Hipocrates biasanya berada pada stadium pre terminal. Hal ini
ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan
dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan
dapat menyebabkan nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989).
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat
dengan tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan
mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik,
angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et al,1970).
d. Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena
dua factor. Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke
cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua
dikarenakan terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970).
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata
melibatkan kuman gram negative dimana dapat menyebabkan
terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari
fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui
bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan
sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang
terlihat pada manusia (Cole et al,1970).
e. Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan
atau komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan
asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang
lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi
untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi,
berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang
menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal
seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih
lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat
perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk
(Schwartz et al, 1989).
f. Rigiditas Abdomen
Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi
akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai
respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen
ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pada pemeriksaan fisik.
1) Perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi,
pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum
melakukan pemeriksaan abdomen.
2) Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau
sepsis juga perlu diperhatikan.
3) Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan
akan sangat menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien,
namun pemeriksaan abdomen ini harus dilakukan untuk
menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
4) Inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas
operasi menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut
membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang
disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya
akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau
distended.
5) Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang
paling terasa sakit di abdomen.
6) Auskultasi, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari
yang ditunjuk pasien. Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah
terjadi penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis
umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama
sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh
sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus
paralitik).
7) Palpasi, Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik
dan viseral yang sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum
parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu
dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan
nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang
tidak nyeri dengan bagian yang nyeri.
8) Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya
proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri
somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan
dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi
otot terhadap rangsangan tekanan.
9) Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri
tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans
muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang
meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.
10)Perkusi, Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada
peritoneum, adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat
ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan
shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar
akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena
adanya udara bebas tadi.
b. PemeriksaanDiagnostik
1) Test laboratorium
a) Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung
banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak
limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi
peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat.
b) Hematokrit meningkat
c) Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium
pada pasien peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40,
BE= -4 )
2) X. Ray
Dari tes X Ray didapat foto polos abdomen 3 posisi (anterior,
posterior, lateral), didapatkan:
a) Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b) Usus halus dan usus besar dilatasi.
c) Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus
perforasi.
3) Diagnosis Peritoneal Lavage (DPL)
Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan
cedera intra abdomen, setelah trauma tumpul yang disertai
dengan kondisi :
Hilangnya kesadaran
Intoksikasi alkohol
Perubahan sensori, misalnya pada cedera medula
spinalis
Cedera pada costae atau processus transversus
vertebra.
Tehnik ini adalah suatu tindakan melakukan bilasan
rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis
sampai 1.000 ml melalui kanul, setelah sebelumnya pada
pengisapan tidak ditemukan darah atau cairan.
Pada DPL dilakukan analisis cairan kualitatif dan kuantitatif,
hal-hal yang perlu dianalisis antara lain: kadar pH, glukosa,
protein, LDH, hitung sel, gram stain, serta kultur kuman aerob
dan anaerob. Pada peritonitis bakterialis, cairan peritonealnya
menunjukkan kadar pH = 7 dan glukosa kurang dari 50 mg/dL
dengan kadar protein dan LDH yang meningkat. Tehnik ini
dikontraindikasikan pada kehamilan, obesitas, koagulopati dan
hematom yang signifikan dengan dinding abdomen.
4) Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang
untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan
abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3
posisi, yaitu :
a) Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan
proyeksi anteroposterior.
b) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau
memungkinkan, dengan sinar dari arah horizontal proyeksi
anteroposterior.
c) Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan
sinar horizontal proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film
yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya.
Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35×43 cm.
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan
pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3
posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:
a) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat,
ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu
pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan
dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone
appearance).
b) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan
perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan
pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak
tinggi, sedang jika panjang-panjang kemungkinan gangguan
di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara
bebas infra diafragma dan air fluid level.
c) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis
diperoleh adanya air fluid level dan step ladder appearance.
8. PENATALAKSANAAN
a. Bila peritonitismeluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena
syok dan kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan
diberikan cairan vena yang berupa infuse NaCl atau Ringer Laktat
untuk mengganti elektrolit dan kehilangan protein. Lakukan
nasogastric suction melalui hidung ke dalam usus untuk
mengurangi tekanan dalam usus.
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting.
Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan
dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan.
Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus
dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi. 8,17
b. Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam:
Ampisilin 2g IV, kemudian 1g setiap 6 jam, ditambah
gantamisin 5 mg/kg berat badan IV dosis tunggal/hari dan
metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis
bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik,
dan kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan
antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai
menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan
tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada
saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama
operasi.
c. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase
bedah dan perbaikan dapat diupayakan.Lavase peritoneum
dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan
antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon
iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi,
sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini
akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan,
karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari
cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi
kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana
terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat
direseksi.
e. Pembedahan atau laparotomi mungkin dilakukan untuk mencegah
peritonitis. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan
mayor adalah insisi dan drainase terhadap abses. (Saifuddin, Abdul
Bari.2008.Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo)
f. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan
dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal
digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh
abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi
yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada
lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada
umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat
dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus
yang perforasi.
9. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut
sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi
komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
1. Komplikasi dini.
1. Septikemia dan syok septic.
2. Syok hipovolemik.
3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol
dengan kegagalan multisystem.
4. Abses residual intraperitoneal.
5. Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut.
1. Adhesi.
2. Obstruksi intestinal rekuren.
DAFTAR PUSTAKA
Burner and suddarth, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah,-edisi 8,-volume 2, Jakarta : EGC.
Engram, Barbara, 1994, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah, Vol 2, Jakarta : EGC.
Perry & Potter, 2006, Fundamental Keperawatan volume 2, Jakarta
: EGC.
Guyton, Arthur.c, John E.hall.2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta : EGC
Mansjoer Arief.M,dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Media
Ausculapius, FKUI
Schwartz, Shires, Spencer. Peritonitis dan Abses Intraabdomen
dalam Intisari Prinsip–Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC.
2000. Hal 489–493.