Author
lethuan
View
229
Download
4
Embed Size (px)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP ANAKAN BURUNG WALET SARANG PUTIH (Aerodromus fuciphagus) BERDASARKAN PERBEDAAN FREKUENSI PEMBERIAN
TELUR SEMUT RANG-RANG (Oecophyla smaragdina) PADA FASE STARTER
Naskah Publikasi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh
ISYANA ALIF MARTHANI
NIM. M 0401036
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSETUJUAN
SKRIPSI
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP ANAKAN BURUNG WALET SARANG PUTIH (Aerodromus fuciphagus) BERDASARKAN PERBEDAAN FREKUENSI PEMBERIAN
TELUR SEMUT RANG-RANG (Oecophyla smaragdina) PADA FASE STARTER
Oleh : Isyana Alif Marthanti NIM. M040103655
Telah disetujui untuk diujikan
Surakarta,
Menyetujui
Pembimbing I
Shanti Listyawati, M.Si NIP. 19690608 199702 2 001
Pembimbing II
Estu Retnaningtyas N, STP., M.Si NIP. 19680709 200501 2 001
Mengetahui Ketua Jurusan Biologi
Dra. Endang Anggarwulan, M.Si NIP. 19500320 197803 2 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya
sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari dapat ditemukan adanya unsur penjiplakan maka
gelar kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/atau dicabut.
Surakarta, Januari 2011
Isyana Alif Marthani
NIM. M0406055
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP ANAKAN BURUNG WALET SARANG PUTIH (Aerodromus fuciphagus) BERDASARKAN PERBEDAAN FREKUENSI PEMBERIAN
TELUR SEMUT RANG-RANG (Oecophyla smaragdina) PADA FASE STARTER
Isyana Alif Marthani
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh frekuensi pemberian telur Oecophyla smaragdina pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan Aerodromus fuciphagus pada fase starter. Penelitian menggunakan anakan A. fuciphagus umur satu hari dengan berat rata-rata 1, 62 gram. Anakan A. fuciphagus dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok sebagai kontrol yang diberi larva O. smaragdina dan kelompok lainnya diberi telur O. smaragdina yang masing-masing kelompok dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan. Kelompok pertama diberi pakan dengan frekuensi tiga kali per hari, kelompok kedua diberi pakan dengan frekuensi lima kali per hari, dan kelompok ketiga diberi pakan dengan frekuensi tujuh kali per hari selama 21 hari. Masing-masing kelompok diberi pakan sebanyak 30% dari berat badan. Pengamatan yang dilakukan adalah kandungan nutrisi telur O. smaragdina, pertambahan berat badan dan kecepatan pertumbuhan bulu pada anakan A. fuciphagus, kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus, dan kualitas media pemeliharaan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan frekuensi pemberian telur O. smaragdina menghasilkan perbedaan pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada anakan A. fuciphagus. Pemberian telur O. smaragdina dengan frekuensi pemberian tujuh kali per hari menghasilkan pertambahan berat badan, kecepatam pertumbuhan bulu, dan kelangsungan hidup paling tinggi. Pemberian pakan telur O. smaragdina menghasilkan pertambahan berat badan, pertumbuhan bulu, dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus lebih tinggi dibandingakan pemberian pakan larva O. smaragdina. Kata kunci : Aerodromus fuciphagus, Oecophyla smaragdina, pertumbuhan, kelangsungan hidup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
GROWTH AND SURVIVAL OF YOUNG WHITE-NEST SWIFTLET
(Aerodromus fuciphagus) BASED ON THE FEEDING FREQUENCY OF RANG-RANF ANT (Oecophyla smaragdina) EGGS
IN THE STARTER PHASE
Isyana Alif Marthani Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Sebelas Maret University, Surakarta
The aim of this research is to determine the effect of feeding frequency of Oecophyla smaragdina on growth and survival of young Aerodromus fuciphagus in the starter phase. The research evaluates the experiment with young A. fuciphagus of a day old with an average weight 1.62 grams. Young A. fuciphagus is devided into two groups. One group is controlled by given a larvae O. smaragdina and the other is given an egg O. smaragdina. Each group is devided into three treatments. The first group, feeds with frequency of three times per day. The second group, feeds with frequency of five times per day. The third group feeds with frequency of seven times per day for 21 days. Observations made are nutrient content of egss O. smaragdina, weight gain and feather growth rate in young of A. fuciphagus, survival of young A. fuciphagus, and the quality of maintenance media. The result of the research is that different frequency of egss O. smaragdina affects the growth and survival of young A. fuciphagus. Giving eggs O. smaragdina with frequency of seven times per day produces the highest body weight and rate of feather growth as well as survival. The egg O. smaragdina produces weight gain, feather growth, and higher survival than larvae O. smaragdina.
Keyword : Aerodromus fuciphagus, Oecophyla smaragdina, growth, survival
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTTO
Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan pada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al Baqarah : 32)
Kemenangan kita yang paling besar bukanlah karena kita tak pernah jatuh, melainkan karena kita bangkit setiap kali jatuh
(Confusius)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk :
Suami tercinta atas doa, kasih sayang, perjuangan, dan kesabaran yang diberikan
Safira dan Kayisa sumber inspirasi dan semangat
Almamater tercinta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia serta hidayah-Nya yang tak tehingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul : Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anakan Burung Walet Sarang Putih (Aerodromus fuciphagus) Berdasarkan Perbedaan Frekuensi Pemberian Telur Semut Rang-Rang (Oecophyla smaragdina) pada Fase Starter.
Dalam pelaksanaan penelitian maupun penyusunan skripsi ini penulis mendapatkan banyak masukan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat bermanfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada: 1. Prof. Drs. Sutarno, M. Sc., Ph. D., selaku dekan Fakultas MIPA
Universitas Sebelas Maret. 2. Dra. Endang Anggarwulan, M. Si., selaku Ketua Jurusan Biologi
Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret. 3. Nita Etikawati, M. Si., selaku Pembimbing Akademik. 4. Shanti Listyawati, M. Si., selaku Pembimbing I yang telah banyak
memberikan bimbingan dan pengarahan demi terselesaikannya penulisan skripsi ini.
5. Estu Retnaningtyas., STP.,M. Si., selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan demi terselesaikannya penulisan skripsi ini.
6. Dr. Agung Bidiharjo selaku Penelaah I yang telah memberikan saran dan masukan.
7. Dr. Sugiyarto, M. Si., selaku Penelaah II yang telah memberikan saran dan masukan.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, namun penulis sangat berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta dapat menjadi bahan inspirator bagi penelitian selanjutnya.
Surakarta, Januari 2010
Penyusun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL...
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................
ABSTRAK...
ABSTRACT.
HALAMAN MOTTO..
HALAMAN PERSEMBAHAN..
KATA PENGANTAR.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR...
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I. PENDAHULUAN..
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah...
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian..
BAB II. LANDASAN TEORI.
A. Tinjauan Pustaka.
B. Kerangka Pemikiran ...............................................................
C. Hipotesis .................................................................................
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian.
B. Bahan dan Alat
C. Cara Kerja...
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix
x
xii
xiv
xv
1
1
3
3
4
5
5
14
17
18
18
18
19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Teknik Pengumpulan Data......................................................
E. Analisa Data ...........................................................................
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan Anakan A. fuciphagus ....................................
B. Kelangsungan Hidup Anakan A. Fuciphagus........................
C. Kualitas Media Pemeliharaan ...............................................
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA..
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP PENULIS
25
26
27
31
39
45
48
48
49
50
53
63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Komposisi Senyawa Telur O. smaragdina dan Larva Semut serta
Kebutuhan Senyawa Gizi Anakan Burung Pemakan Serangga
Pertambahan Berat Badan Anakan A. fuciphagus Berdasarkan
Frekuensi Pemberian Telur O. smaragdina.
Data pertumbuhan bulu anakan A. fuciphagus berdasarkan
frekuensi pemberian telur O. smaragdina ......................................
Kelangsungan hidup atau Survival Rate (SR) anakan A.
fuciphagus berdasarkan frekuensi pemberian telur O. smaragdina
pada akhir penelitian ..
Kualitas Media Pemeliharaan Anakan A. fuciphagus Berdasarkan
Pemberian Telur O. smaragdina .
28
31
37
39
46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Skema Kerangka Pemikiran .....................................................
Rata-rata berat badan anakan A. fuciphagus setiap 7 hari
pengamatan berdasarkan frekuensi pemberian telur O.
smaragdina ...............................................................................
Grafik rata-rata kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus
setiap 7 hari pengamatan setelah berdasarkan frekuensi
pemberian telur O. smaragdina .............................................
16
32
40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Lampiran 6.
Lampiran 7.
.
Analisis Pertambahan Berat badan Anakan A. fuciphagus
dengan pakan larva O. smaragdina .
Analisis Kelangsungan Hidup Anakan A. fuciphagus dengan
Pakan Larva O. smaragdina
Analisis Pertambahan Berat Badan pada Anakan
A. fuciphagus dengan Pakan Telur O. smaragdina .
Analisis Kelangsungan Hidup Anakan A. fuciphagus dengan
pakan telur O. smaragdina ...
Analisis Pertambahan Berat Badan Anakan A. fuciphagus
berdasarkan Kelompok Pakan yang diberikan .
Analisis Kelangsungan Hidup Anakan A. fuciphagus
berdasarkan Kelompok Pakan yang diberikan .
Data Kuantitatif
53
54
55
56
57
58
59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Burung Walet merupakan burung spesies Aerodramus yang
menghasilkan sarang dari campuran air liur. Sarang Walet menjadi
komoditas penting dan harganya mencapai jutaan rupiah per kilogram.
Indonesia adalah negara produsen sarang Burung Walet terbesar di dunia.
Mayoritas sarang Burung Walet asal Indonesia berasal dari panen gua dan
panen rumahan (Mardiastuti, 1997).
Burung Walet merupakan burung liar, dan selama ini telah dilakukan
metode pemikatan Burung Walet untuk dikembangbiakkan. Selain itu, saat
ini telah dikembangkan pula sistem beternak Burung Walet yaitu
menangkarkan dari anakan sampai menjadi Burung Walet dewasa yang
kawin dan membuat sarang. Salah satu kendala yang dialami peternak
Burung Walet adalah tingginya tingkat kematian dan pertumbuhan yang
relatif lambat pada anakan umur 1-21 hari. Tingginya tingkat kematian dan
pertumbuhan yang lambat pada fase ini karena burung mengalami kelaparan
yang kemungkinan disebabkan belum diketahui tentang kualitas pakan
yaitu telur semut rang-rang (Oecophyla smaragdina) dan pola pemberian
pakan yang tepat seperti saat anakan diasuh oleh induknya (Marzuki, 1997)
Dalam beternak Walet pakan memegang peranan yang sangat
penting. Pakan dibutuhkan untuk kelangsungan hidup, membentuk sel-sel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
baru, mengganti bagian tubuh yang rusak, pertumbuhan, dan reproduksi
(Marzuki, 1997). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi
tubuh menurut Williams (1998) adalah pakan, genotip, jenis kelamin, dan
hormon. Pakan merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan dan pertumbuhan.
Kualitas pakan terutama ditentukan oleh kandungan kalori dan protein, bila
kandungan kalori dan protein dalam pakan kurang mencukupi maka
masukan senyawa tersebut pada burung akan rendah sehingga pertumbuhan
menjadi lambat, daya tahan tubuh rendah sehingga burung menjadi rentan
penyakit (Bairlein, 1996).
Pakan yang semula digunakan pada ternak Burung Walet Sarang
Putih (Aerodramus fuciphagus) adalah campuran telur dan larva O.
smaragdina. Kandungan nutrisi larva O. smaragdina telah diketahui dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi pada pertumbuhan anakan A. fuciphagus.
Tetapi pemberian campuran pakan tersebut menyebabkan beberapa anakan
A. fuciphagus mengalami diare. kondisi ini kemungkinan disebabkan
kandungan kitin pada larva O. smaragdina yang sulit dicerna oleh anakan A.
fuciphagus, sehingga saat ini pakan yang digunakan peternak A. fuciphagus
adalah O. smaragdina walaupun kandungan nutrisinya belum diketahui
(Marzuki, 1997).
Selain kualitas pakan, frekuensi pemberian pakan yang tepat dapat
meningkatkan konsumsi pakan maupun zat makanan, serta dapat
meningkatkan daya cernanya sehingga produktifitas meningkat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Pemanfaatan suatu bahan pakan dapat ditingkatkan dengan pengaturan
pemberian pakan yang optimal (Siregar, 1994). Menurut Schneider dan
William (1975) penentuan waktu pemberian pakan harus cermat dilakukan
dengan mengamati kebiasaan burung sehari-hari terutama perilaku induk
pada saat memberi makan anakan A. fuciphagus. Dengan latar
belakang tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai kandungan nutrisi
O. smaragdina dan frekuensi pemberian pakan yang tepat untuk dapat
meningkatkan pertumbuhan, kecepatan pertumbuhan bulu, dan menurunkan
angka kematian pada anakan A. fuciphagus.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, dapat dibuat suatu rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Berapakah kadar karbohidrat, protein, dan lipid pada telur O.
smaragdina?
2. Bagaimana pengaruh frekuensi pemberian telur O. smaragdina
terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan kecepatan
pertumbuhan bulu anakan A. fuciphagus?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
1. Mengetahui pengaruh frekuensi pemberian telur O. smaragdina
terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan kecepatan
pertumbuhan anakan A. fuciphagus.
2. Mengetahui kadar karbohidrat, protein, dan lipid pada telur O.
Smaragdina.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam
teknik pemberian pakan pada pemeliharan anakan A. fuciphagus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Klasifikasi dan Morfologi Walet Sarang Putih (Aerodramus
fuciphagus)
Kingdom : Animalia
Phyllum : Cordata
Class : Aves
Ordo : Apodiformes
Famili : Apodidae
Marga : Aerodramus
Species : Aerodramus fuciphagus
(MacKinnon, 1990)
A. fuciphagus berukuran sedang, berwarna coklat kehitam-
hitaman. Tubuh bagian atas coklat kehitaman dengan tungging abu-abu
pucat atau coklat, ekornya sedikit menggarpu, tubuh bagian bawah
coklat. Iris coklat gelap, paruh berwarna hitam, kaki berwarna hitam.
Sarang A. fuciphagus dibuat pada celah-celah batu karang pantai
atau dalam gua kapur yang dalam. Seluruh sarangnya terbuat dari ludah
yang mengeras dan sangat berharga sebagai sarang burung putih.
Bertelur dua butir yang berbentuk memanjang dengan cangkang
berwarna putih. Bersarang secara musiman. A. Fuciphagus merupakan
5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
burung liar yang memiliki ekholokasi atau kemampuan melokasikan
gema di kegelapan gua dengan suara panggilan gemerincing yang keras
(MacKinnon, 1990).
2. Habitat dan Penyebaran A. fuciphagus
A. Fuciphagus adalah burung aerial, sepanjang hari terbang tanpa
istirahat di udara sambil mencari makan berupa serangga terbang. Burung
ini mencari makanan di beberapa tipe habitat yaitu hutan, sawah, tegal,
sungai, dan rawa (Marzuki, 1997; Chasanatun, 1998). Tempat beristirahat
(pada malam hari) dan berbiak A. Fuciphagus adalah di gua-gua atau di
celah-celah batu. Selain itu, A. Fuciphagus juga menggunakan atap
rumah untuk beristirahat dan berbiak. Adaptasi baru ini mendorong orang
untuk mengembangkan budidaya rumah Walet (MacKinnon, 1990).
Penyebarannya di alam meliputi Filipina, Kalimantan, Sumatera, Jawa,
dan Bali (MacKinnon, 1990).
Beberapa faktor abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anakan A. Fuciphagus adalah temperatur dan kelembaban
udara. Sesuai habitat aslinya yang berada di dalam gua, Burung Walet
membutuhkan suhu ruang antara 27-30o C, kelembabannya antara
85-95% dan intensitas cahaya 0.6 lux (Marzuki, 1997). Tetapi
anakan pada fase starter belum memiliki bulu untuk menjaga suhu
tubuhnya sehingga anakan membutuhkan suhu lebih tinggi yaitu 31-34o
C dan kelembaban 70% (Nugroho dkk, 1996).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Menurut Marzuki (1997) kotoran burung yang ada di dalam
sarang akan mengeluarkan gas-gas yang berbahaya terutama bagi anakan
burung yaitu CO2 dan amonia. Sedangkan jenis predator yang sering
memangsa dan menganggu pertumbuhan anakan A. Fuciphagus adalah
semut dan tikus.
Dalam ekosistem gua A. Fuciphagus juga memiliki peranan
penting. Bersama dengan kelelawar, Burung Walet merupakan pemasok
utama energi dan materi bagi ekosistem gua. Kotoran Walet dan
kelelawar yang menjadi guano atau tubuh Burung Walet dan kelelawar
yang mati merupakan sumber makanan bagi komunitas biota gua
(MacKinnon, 1996).
3. Sistem Pencernaan A. fuciphagus
Pada mulut terdapat paruh yang sangat kuat dan berfungsi untuk
mengambil makanan. Makanan yang diambil oleh paruh kemudian masuk
kedalam rongga mulut lalu menuju esofagus. Bagian bawah esofagus
membesar berupa kantong yang disebut tembolok, kemudian masuk ke
lambung kelenjar. Disebut lambung kelenjar (proventrikulus) karena
dindingnya mengandung kelenjar yang menghasilkan getah lambung yang
berfungsi untuk mencerna makanan secara kimiawi. Selanjutnya makanan
masuk menuju lambung pengunyah yang disebut lambung pengunyah
karena dindingnya mengandung otot-otot kuat yang berguna untuk
menghancurkan makanan, dan masuk menuju usus halus (Yeh, 2005)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu dialirkan kedalam
usus halus. Hasil pencernaan berupa sari-sari makanan diserap oleh kapiler
darah pada dinding usus halus. Burung mempunyai dua usus buntu yang
terletak antara lambung dan usus. Usus buntu berguna untuk memperluas
daerah penyerapan sari makanan. Sisa makanan didorong ke usus besar
kemudian ke dalam poros usus (rektum) dan akhirnya dikeluarkan melalui
kloaka ( Pearce, 2006)
Burung Walet adalah pemakan serangga primer. Jenis serangga
yang menjadi makanan utamanya adalah serangga terbang. Berdasarkan
penelitian dengan analisis isi lambung burung, Prawiradilaga (1990)
mendapati 37 marga dari 10 bangsa serangga yang menjadi makanan
Burung Walet. Urutan dominasi bangsa serangga tersebut adalah Burung
Walet adalah Hymenoptera (40%), Ephemerptera (26,4%), dan
Homoptera (15,4%).
Burung pemakan serangga juga mengontrol jumlah serangga atau
hama di alam ataupun di ekosistem pertanian agar tetap stabil. Dari
kajian Prawiladilaga (1990), 72,5% marga serangga makanan burung
pemakan serangga-termasuk Burung Walet adalah serangga hama. Balen
(1989) memperkirakan tiap harinya satu ekor Burung Walet
mengkonsumsi 22 individu serangga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
4. Pertumbuhan A. fuciphagus
Pertumbuhan merupakan proses pertambahan berat badan, proses
pematangan alat reproduksi, proses pertumbuhan bulu (Rasyaf, 1993)
perubahan bentuk, komposisi tubuh seperti otot, tulang, dan organ serta
komponen kimia terutama lemak, air, dan protein. (Soeparno,1992).
Faktor yang mempengaruhi kondisi tubuh menurut Williams (1982)
adalah pakan, genotip, dan jenis kelamin. Untuk mencapai pertumbuhan
yang optimal harus mempunyai kualitas dan kuantitas pakan yang sesuai
dengan kebutuhan pada setiap periode hidup burung.
Periode Pertumbuhan pada burung dibagi menjadi 3 fase yaitu
fase starter (0-3 minggu), fase grower (3-6 minggu), dan fase layer (lebih
dari 6 minggu). Pada fase starter kebutuhan energi dan protein lebih
tinggi daripada fase layer, karena pada fase starter burung menggunakan
kalori dan protein untuk pertumbuhan dan aktifitas (Johnston, 1993),
maka burung memerlukan pakan kurang lebih 30% dari total berat badan
(Marzuki, 1997).
5. Pakan
Pakan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dimakan,
dicerna sebagian atau seluruhnya, dapat diabsorbsi serta bermanfaat bagi
hewan yang dibudidayakan (Kamal, 1994). Pakan yang dikonsumsi
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan ,
produksi dan penimbunan lemak (North, 1984)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Pakan alami terdiri atas organisme hidup yang diproduksi atau
dipelihara secara terpisah dalam unit produksi atau sengaja dikumpulkan
dari alam. Organisme pakan alami yang terdapat pada serangga
mengandung sejumlah unsur gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
dan kelangsungan hidup seperti protein, mineral, vitamin, dan sumber
energi lain (Redford, 1984).
Protein hewani memiliki nilai lebih yaitu kandungan nutrisi yang
lebih lengkap seperti asam amino lisin dan metionin. Susunan asam
amino bahan pakan hewani sangat mirip dengan asam amino tubuh
hewan, daya cerna tinggi, dan kaya mineral. Asam amino lisin dan
metionin tinggi diperlukan untuk pertumbuhan (Rohaeni, 2003).
Pada beberapa spesies burung pemakan serangga, induk burung
menggunakan larva serangga sebagai makanan anakan sejak menetas
sampai berumur 6 minggu (Landry, et al., 1986). Larva serangga
merupakan salah satu jenis pakan yang memiliki kandungan nutrisi
lengkap yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan burung muda.
Keseimbangan asam amino larva serangga hampir sama dengan
vertebrata dan lebih baik daripada protein nabati( Robel, et al., 1995).
Kandungan nutrisi larva serangga per 100 gram adalah energi
141,3 kkal, air 67,2 %, protein 57,7 %, dan karbohidrat 2,3 %, lemak
13,4 % (Morton, 1973). Larva serangga juga mengandung komponen
kitin. Aspek yang paling dominan pada serangga yang memiliki efek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
negatif pada pencernaan burung adalah kitin (Speakman, 1997). Kitin
relatif tidak dapat dicerna dan dapat menghambat akses enzim
pencernaan untuk lemak dan protein (Bryant dan Bryant, 2000). Efisiensi
pada pencernaan tanpa kitin sangat tinggi, koefisien energi
metabolismenya bisa mencapai 100% sedangkan pencernaan larva
serangga yang mengandung kitin hanya 50-80% (Karasov, 2001). Pada
beberapa spesies burung pemakan serangga, induk burung selalu
membuang bagian serangga yang mengandung kitin sebelum
memberikannya pada anakan burung (Kaspari, 2000).
Berbeda dengan burung dewasa, anakan burung membutuhkan
makanan yang tinggi protein. Protein sangat penting untuk pertumbuhan,
penelitian pada anakan beberapa burung pemakan serangga menyebutkan
pakan yang mengandung 13,5% protein meningkatkan berat badan hanya
60 % dalam 4 hari, sedangkan pakan dengan kandungan protein 51,8 %
meningkatkan berat badan 93% (Street dan MacDonald, 1977). Menurut
Wahju (1997) dalam penggunaan beberapa macam protein yang terdapat
dalam bahan-bahan pakan perlu diperhatikan untuk mencapai hasil
terbaik dalam setiap perkembangan, pertumbuhan, dan produksi.
Ketersediaan pakan berpengaruh terhadap pertumbuhan.
Pertumbuhan yang maksimal dapat dicapai jika ketersediaan pakan baik
kualitas maupun kuantitas adalah cukup. Perbedaan spesies dan ukuran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
serta adanya keanekaragaman kondisi lingkungan dalam budidaya
memerlukan teknik pemberian pakan yang berbeda (NRC, 1994).
6. Frekuensi Pemberian Pakan
Frekuensi pemberian pakan adalah kekerapan waktu pemberian
pakan dalam sehari. Pada hampir semua jenis burung, frekuensi
pemberian pakan meningkat pada saat anakan mulai memasuki fase
grower karena anakan mengalami masa transisi yaitu saat anakan burung
tidak lagi dierami induknya. Peningkatan frekuensi pemberian pakan
berhubungan dengan peningkatan kebutuhan energi pada anakan seiring
pertambahan usia (OConnor, 1985) dan nafsu makan yang meningkat
akibat penurunan suhu tubuh anakan saat tidak lagi dierami induknya
(Taylor dan Kamp, 2002). Pada burung-burung tropis waktu pemberian
pakan oleh induk pada anakan yang sudah tidak dierami lagi adalah
setiap 169 menit (OConnor, 1985).
Faktor lain yang menyebabkan peningkatan frekuensi pemberian
pakan adalah ukuran lambung yang lebih kecil daripada burung dewasa
sedangkan anakan burung mempunyai tingkat metabolisme lebih tinggi
daripada burung dewasa sehingga anakan membutuhkan persentasi pakan
yang lebih banyak. Maka untuk memenuhi kebutukan energi dan protein
anakan perlu masukan kalori dan protein dalam pakan secara kontinyu
(Nir, et al., 1978).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Pemberian pakan pada waktu yang tepat dan teratur berkaitan erat
dengan proses sekresi enzim pencernaan yang mendapat rangsangan
berupa pakan dalam saluran pencernaan, proses tersebut terjadi secara
kontinyu (Ganong, 2002 dan Nir, et al., 1978).
Frekuensi pemberian pakan erat kaitannya dengan frekuensi lapar.
Kekerapan frekuensi pemberian pakan ini sengaja diatur untuk memacu
pertumbuhan dengan anggapan pemberian pakan sedikit demi sedikit
namun dengan frekuensi lebih sering, anakan tidak akan lekas kenyang
dan nafsu makan tetap terjaga (Nir, et al., 1978).
7. Mortalitas
Mortalitas atau kelangsunganhidup adalah peluang hidup pada
periode tertentu. Tingkat kematian pada suatu populasi dipengaruhi oleh
faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar meliputi kondisi lingkungan
abiotik, kompetisi antar spesies, pemangsa dan kekurangan pakan. Faktor
dalam meliputi umur dan kemampuan untuk mencerna makanan
(Klasing, 1998).
Variasi mortalitas pada anakan burung berbeda pada tiap spesies.
Predasi merupakan penyebab utama tingkat kematian pada anakan
maupun telur burung. Selain karena predasi, tingkat mortalitas pada
anakan juga banyak disebabkan oleh kelaparan dan iklim. Anakan belum
memiki bulu sehingga membutuhkan suhu lebih tinggi daripada burung
dewasa untuk menjaga suhu tubuhnya. Pengeraman dilakukan oleh induk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
agar suhu tubuh anakan tetap hangat dan menghindari resiko hypothermia
yang bisa mengakibatkan kematian (OConnor, 1985).
Menurut Lack (1968) bahwa kematian dan suplai makanan adalah
faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan pada burung. Angka
kematian yang disebabkan predator dapat dikurangi dengan
memperpendek periode bersarang pada anakan burung, karena pada saat
burung belum bisa terbang maka predator akan sangat mudah memangsa
anakan burung. Untuk itu anakan memerlukan energi besar untuk tumbuh
yang didapatkan dengan peningkatan suplai pakan dari induk. Laju
pertumbuhan pada anakan burung dapat dioptimalkan dengan mengetahui
pola mortalitas pada setiap spesies burung.
B. Kerangka pemikiran
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian Pengaruh
Frekuensi Pemberian Pakan terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan
Hidup Anakan Burung Walet Sarang Putih (Aerodramus fuciphagus) adalah
sebagai berikut:
Frekuensi pemberian pakan erat kaitannya dengan frekuensi lapar.
Kekerapan frekuensi pemberian pakan diatur untuk memacu pertumbuhan
dengan anggapan pemberian pakan sedikit demi sedikit namun dengan
frekuensi lebih sering, anakan tidak akan lekas kenyang dan nafsu makan
tetap terjaga (Nir et al, 1978). Asupan makanan yang kontinyu menjaga
masukan kalori dan protein pada burung terpenuhi sehingga pertumbuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
menjadi optimal, kecepatan pertumbuhan bulu meningkat, serta daya tahan
tubuh meningkat sehingga burung menjadi tahan terhadap penyakit.
Pemberian pakan pada waktu yang tepat dan teratur juga berkaitan
erat dengan proses sekresi enzim pencernaan yang mendapat rangsangan
berupa pakan dalam saluran pencernaan secara kontinyu. Sekresi enzim
dalam saluran pencernaan yang teratur akan mengurangi gangguan
pencernaan yang sering terjadi pada saat anakan Burung Walet berada
dalam fase starter (Ganong, 2002 dan Nir, et al., 1978) sehingga tingkat
mortalitas yang tinggi pada fase tersebut menurun. Kerangka pemikiran
secara skematis tersaji pada Gambar 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Frekuensi pemberian pakan
Kelompok 3 Kelompok 2
Kelompok 1
Pemberian pakan
3 kali perhari
Pemberian pakan
5 kali perhari
Pemberian pakan
7 kali perhari
Evaluasi
Pertambahan berat badan Mortalitas
Anakan Burung Walet Sarang Putih
(Aerodramus fuciphagus)
Kemungkinan terjadi penambahan berat badan,peningkatan
kecepatan pertumbuhan bulu, dan penurunan tingkat mortalitas
pada frekuensi pemberian pakan tinggi
Telur Semut Rang-rang
Komposisi Karbohidrat, Protein, dan Lemak
Peningkatan kecepatan pertumbuhan bulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
C. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
1. Pemberian pakan dengan frekuensi tinggi meningkatkan laju
pertumbuhan anakan Burung Walet Sarang Putih
(Aerodramus fuciphagus)
2. Pemberian pakan dengan frekuensi tinggi menurunkan tingkat
mortalitas anakan Burung Walet Sarang Putih (Aerodramus
fuciphagus)
3. Pemberian pakan dengan frekuensi tinggi meningkatkan kecepatan
pertumbuhan bulu anakan Burung Walet Sarang Putih
(Aerodramus fuciphagus)
4. Komposisi kimiawi dari telur Semut Rang-rang (Oecophyla
smaragdina) dapat memacu laju pertumbuhan dan menurunkan
tingkat mortalitas anakan Burung Walet Sarang Putih (Aerodramus
fuciphagus)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
BAB III
METODE PENELITIAN
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei 2008. Pelaksanaan
terhadap hewan uji dilakukan di Sub. Lab. Biologi Laboratorium Pusat
MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. Analisis proksimat pakan
dilaksanakan di Laboratorium Kimia, Pusat Studi Pangan dan Gizi PAU
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan adalah inkubator untuk pemeliharaan anakan
Burung Walet Sarang Putih (Aerodramus fuciphagus), pinset untuk
pemberian pakan, timbangan analitik, hygro-thermometer untuk mengukur
suhu dan kelembaban udara di dalam inkubator, lux meter untuk mengukur
intensitas cahaya pada inkubator, oven, tanur pengabuan, bunsen, desikator,
cawan petri, kertas saring, alat extraksi soxhlet, labu kjeldahl, alat destilasi,
autoklaf, gelas ukur, gelas beker, erlenmeyer, hot plate.
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan, antara lain : Anakan A. fuciphagus
sebanyak 30 ekor dengan umur 1 hari dan berat badan rata-rata 1,6 gr
diperoleh dari pengumpul telur dan anakan A. fuciphagus di Bangil Jawa
16
17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Timur, telur semut rang-rang (Oecophyla smaragdina), aquades, HCL,
dietileter, H2SO4, K2SO4 anhidrat, asam borat, merkuri oksida (HgO), metal
biru, metal merah.
C. Cara Kerja
1. Rancangan percobaan
Dosis pemberian pakan pada anakan Burung Walet Sarang Putih
mengacu Biro Penelitian dan Rehabilitasi Sarang Burung (1997) adalah
30% dari berat badan. Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan
acak lengkap (RAL) dengan 3 macam perlakuan dan 10 ulangan pada
masing-masing perlakuan. Hewan uji dibagi menjadi 3 kelompok dengan
perincian sebagai berikut:
Perlakuan 1 : pakan 30% dari berat badan diberikan 3 kali sehari, yaitu
pukul 07.00 WIB, 12.00 WIB, 19.00 WIB.
Perlakuan 2 : pakan 30% dari berat badan diberikan 5 kali sehari, yaitu
pukul 07.00 WIB, 11.00 WIB, 12.00 WIB, 15.00 WIB,
19.00 WIB
Perlakuan 3 : pakan 30% dari berat badan diberikan 7 kali perhari, yaitu
pukul 07.00 WIB, 09.00 WIB, 11.00 WIB, 13.00 WIB,
15.00 WIB, 17.00 WIB, 19.00 WIB.
Perlakuan diberikan selama 21 hari pada anakan umur 1 hari.
Perubahan jumlah pakan dilakukan pada hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
21 setelah selesai penimbangan hewan uji dengan dosis 30% dari berat
badan.
2. Tahap Persiapan
Pembersihan tempat kerja dan inkubator dengan disinfektan agar
bebas hama dan penyakit. Anakan A. fuciphagus ditimbang terlebih dahulu
dan diletakkan pada inkubator dengan kondisi terkontrol.
3. Pengukuran Berat Tubuh
Pengukuran berat tubuh anakan A. fuciphagus dilakukan pada hari
ke-1, hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-21. Pengukuran dilakukan dengan
menimbang anakan A. fuciphagus dengan timbangan analitik.
4. Pengamatan Kualitas Inkubator
Untuk mengetahui kelayakan inkubator bagi kelangsungan hidup
anakan Walet maka dilakukan pengamatan terhadap suhu dan kelembaban
setiap hari menggunakan alat hygro-thermometer, intensitas cahaya
menggunakan alat lux meter, serta sterilitas terhadap hama dan predator.
5. Perhitungan Pertumbuhan Berat A. fuciphagus
Pengukuran berat tubuh rata-rata anakan A. fuciphagus diukur pada
awal dan akhir penelitian, berdasarkan rumus menurut Weatherley (1972):
W = Wt Wo
W : pertumbuhan berat tubuh anakan Walet (gr) Wt : berat tubuh rata-rata pada akhir penelitian (gr) Wo : berat tubuh rata-rata pada awal penelitian (gr)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
6. Perhitungan Kecepatan Pertumbuhan Bulu A. fuciphagus
Pengukuran kecepatan pertumbuhan bulu dilakukan dengan
mengamati dan menetapkan waktu perubahan warna kulit anakan A.
fuciphagus menjadi kehitaman sebagai ciri-ciri pertumbuhan bulu (Marzuki,
1997)
7. Penghitungan Kelangsungan Hidup A. fuciphagus
Penghitungan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus ada
masing-masing perlakuan dengan menghitung jumlah anakan A. fuciphagus
yang hidup pada awal sampai akhir penelitian dengan rumus menurut
Effendie (1979).
%100xN
NSR
o
t=
SR : tingkat kelangsungan hidup (%) Nt : jumlah anakan Walet yang hidup rata-rata pada akhir penelitian (ekor) No : jumlah anakan Walet yang hidup rata-rata pada awal penelitian (ekor)
8. Analisis Nutrisi
Sebelum dianalisis, terlebih dahulu dilakukan penyiapan bahan dasar
yaitu: Telur O. smaragdina segar memiliki kadar air 60-70% sehingga
perlu diturunkan kadar airnya dengan dilakukan pengepresan. Telur O.
smaragdina tersebut kemudian ditimbang seberat 20 gr dan disterilkan pada
suhu 121oC dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. Sampel telur O.
smaragdina dianalisis nutrisinya dengan metode analisis proksimat, yaitu:
a. Kadar Air
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Menggunakan metode pemanasan. Sampel ditimbang sekitar 2
gram kemudian sampel dimasukkan dalam cawan yang sudah dikatahui
beratnya. Cawan yang berisi sampel dimasukkan dalam oven dan
dikeringkan pada suhu 100-105oC selama sekitar 3 jam. Setelah itu
didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Cawan yang berisi
sampel dimasukkan lagi dalam oven 100-105oC selam 1 jam kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang lagi. Langkah tersebut
dilakukan berulang-ulang sehingga dicapai berat yang tetap (Sudarmaji
dkk, 1997). Perhitungannya:
%100)100/(12
32 --
=BBBB
ggAir
B1 = Berat cawan kosong B2 = Berat cawan dengan sampel sebelum dikeringkan B3 = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (Sudarmaji dkk., 1997)
b. Abu
Dilakukan dengan menimbang abu hasil pembakaran. Sampel
ditimbang 2 gram dan dimasukkan dalam cawan kemudian dibakar
dengan api kecil diatas pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi.
Cawan yang berisi sampel tersebut dimasukkan ke dalam tanur dan
diabukan pada suhu 500-550oC sampai sampel bebas dari karbon yang
berwarna keabu-abuan sampai putih kemudian didinginankan
dalam desikator dan ditimbang (Sudarmaji dkk., 1997).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Perhitungannya :
%100)100/(12
32 --
=BBBB
ggAir
B1 = Berat cawan kosong (gram) B2 = Berat cawan dengan sampel sebelum diabukan (gram)
B3 = Berat cawan dengan sampel setelah diabukan (gram) (Sudarmaji dkk., 1997).
c. Lemak
Menggunakan metode Soxhlet. Sampel ditimbang 2 gram dan
dimasukkan dalam Erlenmeyer kemudian ditambahkan 30 ml HCL 8 N
dan 20 ml akuades. Erlenmeyer tersebut dipanaskan dengan hot plate
hingga isinya mendidih selama 15 menit (dihitung mulai saat mendidih)
kemudian disaring dalam keadaan panas dengan kertas saring basah.
Kertas saring dan residu dicuci dengan akuades sampai bebas dari
asam kemudian dikeringkan dengan oven 100-1050C. Residu
diekstrak dengan dietileter menggunakan alat ekstraksi soxhlet selama
2 jam. Ekstrak ditampung dalam labu yang telah diketahui berat
kosongnya. Dietileter diuapkan dengan destilasi pendingin balik. Labu
yang berisi lemak diangin-anginkan sampai bebas eter kemudian
dikeringkan dalam oven 100-105oC. labu yang berisi lemak
dimasukkan dalam oven lagi, didinginkan dan ditimbang lagi, langkah
ini dilakukan hingga tercapai berat yang tetap (Sudarmaji dkk., 1997).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Perhitungannya:
%100)100/(0
12 -
=B
BBgglemakKadar
B1 = Berat sample (gram) B2 = Berat cawan dengan sampel sebelum diabukan (gram) B3 = Berat cawan dengan sampel setelah diabukan (gram) (Sudarmaji dkk., 1997).
d. Protein
Manggunakan metode Kjedahl. Sampel ditimbang 2 gram dan
dimasukkan dalam labu Kjedahl kemudian ditambah 20 ml H2SO4
pekat, 0,7 gHgO, dan 10 g K2SO4. Sampel didestruksi dalam ruang asam
dengan panas dan beberapa tetes sampai tak berasap lagi. Destruksi
diteruskan dengan panas lebih tinggi hingga cairan menjadi jernih dan
didinginkan. Destruat dilarutkan dengan 50 ml akuades dan
dipindahkan secara kuantitatif ke dalam alat destilasi. Alat destilasi
dihubungkan dengan penampung Erlenmeyer yang berisi 50 ml asam
borat 3% dan beberapa tetes indicator (campuran metil biru dan metil
merah dengan perbandingan 1:2) kemudian didihkan selama 15 menit.
setelah mendidih ditambahkan NAOH berlebih (perubahan warna
jernih menjadi coklat). Destilasi dilakukan sampai volume destilat
dalam penampung mencapai sekitar 200 ml. destilat ditritasi dengan
HCL 0,1 N. Blanko dikerjakan dengan akuades sebagai pengganti
sampel (Sudarmaji dkk., 1997).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Perhitungannya :
%100)(
)100/( 21 -
=B
VVggnitrogenKadar
V1 = Banyaknya ml HCL yang digunakan pada sampel V2 = Banyaknya ml HCL yang digunakan dalam blanko B = Berat sampel
Kadar protein (g/100g) = N x Faktor konversi
N = Kadar nitrogen
Untuk sampel yang belum diketahui nilai factor konversinya,
gunakan 6,25 sebelum memperoleh nilai yang sebenarnya (Sudarmaji
dkk., 1997).
e. Karbohidrat
Menggunakan metode carbohydrat by different. Kadar
karbohidrat dapat diperoleh dari selisih perhitungan berat sampel
dikurangi berat air, abu, protein, dan lemak yang dinyatakan dalam
persen (Sudarmaji dkk., 1997).
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengamatan kelangsungan hidup dan pertumbuhan anakan A.
Fuciphagus dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran kelangsungan
hidup dan berat rata-rata untuk masing-masing perlakuan dilakukan pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
awal dan akhir penelitian. Pengamatan kondisi inkubator yang berupa suhu,
kelembaban, hama, dan predator dilakukan setiap hari.
E. Analisis Data
Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis
varians (ANAVA) untuk mengetahui nyata atau tidaknya pengaruh
perlakuan yang diberikan terhadap parameter yang diukur dalam penelitian
ini. Apabila diketahui adanya pengaruh yang berbeda nyata, maka
dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncans Multiple Range Test) pada taraf
signifikan 5% untuk mengetahui tingkat perbedaan antar perlakuan,
sedangkan untuk data kualitas inkubator dibandingkan dengan rentang
optimumnya berdasarkan literatur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Usaha budidaya A. fuciphagus secara intensif membutuhkan
kualitas, kuantitas, dan pola pemberian pakan yang tepat sesuai dengan
kebutuhan setiap periode hidup A. fuciphagus. Dalam mengambil makanan,
anakan A. fuciphagus umur 0- 7 hari tidak selektif karena anakan belum
dapat melihat sehingga akan memakan apa saja yang dimasukkan ke dalam
mulutnya. Akibatnya asupan gizi sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan
yang diberikan. Hal ini penting karena dapat mempengaruhi pertumbuhan
anakan A. fuciphagus.
Pakan yang digunakan dalam budidaya A. fuciphagus adalah telur
O. smaragdina. Pemberian telur O. smaragdina sebagai pakan pada
budidaya A. fuciphagus karena telur tersebut tidak mengandung kitin. Kitin
pada serangga memiliki efek negatif karena relatif tidak dapat dicerna dan
dapat menghambat suplai enzim pencernaan untuk lemak dan protein
(Bryant & Bryant, 2000), menurunkan kuantitas bakteri probiotik,
Bifidibacterium dan Lactobacillus dalam lambung (Tanaka, et al., 1997).
Efisiensi pada pencernaan tanpa kitin sangat tinggi, koefisien energi
metabolisme bisa mencapai 100%, sedangkan pencernaan larva serangga
yang mengandung kitin hanya 50-80% (Karasov, 2001).
Pada penelitian ini telur O. smaragdina diberikan 30 % dari berat
badan anakan A. fuciphagus dengan variasi frekuensi pemberian yaitu 3 kali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
per hari, 5 kali per hari, dan 7 kali per hari. Variasi frekuensi yang
digunakan mengacu pada frekuensi pemberian pakan induk burung tropis
liar pemakan serangga pada anakannya salah satunya adalah burung jalak
yaitu setiap 169 menit (OConnor, 1985) atau kurang lebih setiap 3 jam
sekali. Aktivitas pemberian pakan oleh induk burung dimulai pada pagi
hingga petang hari (Klasing, 1997). Berdasarkan pertimbangan tersebut,
maka diharapkan dapat menghasilkan frekuensi yang ideal pada budidaya A.
fuciphagus.
Pakan yang akan digunakan selama penelitian diujikan terlebih
dahulu kualitasnya untuk mengetahui kandungan protein, karbohidrat,
lemak, abu, dan air. Kandungan komponen ini dapat dilihat dalam tabel 1
Tabel 1. Komposisi Senyawa Telur O. smaragdina dan Larva Semut serta Kebutuhan Senyawa Gizi Anakan Burung Pemakan Serangga
Komposisi
Nutrien
Telur O. smaragdina
(%)a
Larva O. smaragdina
(%)b
Kebutuhan Senyawa Gizi Anakan Burung Pemakan Serangga
(%)c
Protein
Lemak
Karbohidrat
Air
Abu
15,2
3,9
4,1
65,5
0,8
17,7
3,4
2,3
67,2
-
14,1
2,6
3,9
78
-
Keterangan a. Hasil analisis proksimat b. Redford (1984) c. Street dan Macdonald ( 1977)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Hasil analisis proksimat pakan yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu telur O. smaragdina mempunyai kandungan protein dan air lebih
rendah daripada pakan berupa larva serangga, sedangkan kadar lemak dan
karbohidrat pada telur O. smaragdina lebih tinggi daripada pada larva
semut. Kandungan nutrisi larva semut menurut Redford (1984), adalah
protein 17,7%, karbohidrat 2,3%, lemak 3,4%, dan air 67,2%. Saat ini
belum ada data yang jelas mengenai kebutuhan nutrisi pakan yang ideal
bagi anakan A. fuciphagus, maka pada penelitian ini menggunakan data
penelitian pada tiga jenis burung pemakan serangga yang dinyatakan oleh
Street dan Macdonald (1977) sebagai dasar pembanding, mengingat A.
fuciphagus termasuk burung pemakan serangga. Kebutuhan nutrisi pada
anakan burung pemakan serangga meliputi protein 14,15%, karbohidrat
3,9%, lemak 2,6%, dan air 78%, sesuai dengan pernyataan tersebut, maka
kandungan nutrisi pakan ini dari hasil analisis proksimatnya dapat
dinyatakan sudah dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anakan A. fuciphagus.
Molekul yang paling penting dalam tubuh suatu organisme adalah
protein karena menurut Lehninger (1982) protein merupakan makromolekul
penyusun protoplasma aktif dalam semua sel hidup. Adapun fungsi-fungsi
protein antara lain sebagai pembentuk hormon, enzim, antibodi,
memperbaiki jaringan rusak, dan membentuk jaringan baru (Tacon, 1987).
Kadar protein pakan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan
dan kelangsungan hidup anakan burung (Beckerton, et al.,2002; Cole, et
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
al., 1992). Kualitas protein ditentukan oleh jumlah dan susunan asam
aminonya (Hiromoto, et al., 2000). Namun dalam prakteknya, suatu
organisme tidak hanya membutuhkan protein dalam mendukung kehidupan,
tetapi juga membutuhkan nutrisi lain seperti karbohidrat, lemak, vitamin,
dan mineral dalam jumlah cukup yang masing-masing fungsinya saling
berkesinambungan dalam mendukung kehidupan organisme tersebut
(Cilleirs dan Hayes, 2000).
Selain kualitas pakan, frekuensi pemberian pakan yang tepat dapat
meningkatkan konsumsi pakan maupun zat makanan serta dapat
meningkatkan daya cernanya sehingga produktivitas meningkat.
Pemanfaatan suatu bahan pakan dapat ditingkatkan dengan pengaturan
pemberian pakan yang optimal (Siregar, 1985). Frekuensi pemberian pakan
juga berkaitan dengan frekuensi lapar. Kekerapan frekuensi pemberian
pakan diatur untuk memacu pertumbuhan dengan anggapan pemberian
pakan sedikit demi sedikit namun dengan frekuensi lebih sering,
mengakibatkan anakan A. fuciphagus tidak lekas kenyang dan nafsu makan
tetap terjaga (Nir et al., 1978), juga berkaitan dengan proses sekresi enzim
pencernaan yang mendapat rangsangan berupa pakan dalam saluran
pencernaan secara kontinyu. Adanya makanan dalam mulut secara refleks
merangsang sekresi lambung. Sekresi enzim dalam saluran pencernaan yang
teratur akan mengurangi gangguan pencernaan yang sering terjadi pada saat
anakan berada dalam fase starter (Ganong, 2002 dan Nir et al., 1978).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Asupan makanan yang kontinyu menjaga masukan kalori dan
protein pada anakan A. fuciphagus terpenuhi sehingga pertumbuhan menjadi
optimal, kecepatan pertumbuhan bulu meningkat, serta daya tahan tubuh
meningkat, sehingga anakan A. fuciphagus menjadi tahan terhadap penyakit
sehingga angka kelangsungan hidup pada fase tersebut meningkat.
A. Pertumbuhan Anakan A. fuciphagus
Berdasarkan hasil penelitian selama 21 hari dapat diperoleh
gambaran mengenai pertumbuhan berat, pertumbuhan bulu, kelangsungan
hidup anakan A. fuciphagus. Parameter tersebut didukung dengan hasil
analisis kualitas media pemeliharaan.
Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran, panjang, maupun
berat (Kimball, 1994), proses pematangan alat reproduksi dan proses
pertumbuhan bulu (Rasyaf, 1993). Dalam penelitian ini, parameter yang
digunakan untuk menjelaskan data pertumbuhan adalah pertambahan berat
dan pertumbuhan bulu.
Tabel 2. Pertambahan Berat Badan Anakan A. fuciphagus Berdasarkan Frekuensi Pemberian Telur O. smaragdina
Jenis Pakan Frekuensi Pemberian
Pakan
Pertambahan Berat Badan
SD (gram)
Rata-rata Pertambahan
Berat Badan SD (gram)
Telur O. smaragdina
3 kali 10,76 0,58a 12,351,45a 5 kali 12,200,23b
7 kali 14,090,20c Larva
O. smaragdina 3 kali 8,700,48d
10,131,36b 5 kali 9,900,30e 7 kali 11,780,43f
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya beda nyata (P
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Sebagai kontrol, pemberian larva O. smaragdina dengan frekuensi
3, 5, dan 7 kali per hari. Pada tabel 2 terlihat bahwa dari perlakuan
pemberian telur O. smaragdina diperoleh pertambahan berat badan rata-
rata sebesar 12,35 gram. Hasil uji DMRT 5% menunjukkan perlakuan
tersebut beda nyata (P
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
menjadi jeli tersebut akan membungkus molekul lemak dari makanan
(Rismana, 2003). Sehingga asupan nutrisi yang diperlukan khususnya lemak
pada anakan A. fuciphagus yang diberi larva O. smaragdina akan berkurang,
karena tidak dapat diserap tubuh dan terbuang bersama kotoran.
Gambar 2 menunjukkan bahwa pertumbuhan anakan A. fuciphagus
pada fase starter berdasarkan pemberian telur O. smaragdina mulai terlihat
pada hari ke-7, pertumbuhan anakan A. fuciphagus mulai meningkat. Pada
pengamatan harian, dari hari ke-0 sampai hari ke-2 pertambahan berat
anakan A. fuciphagus pada semua perlakuan hampir sama. Pada tahap awal
anakan beberapa spesies burung pemakan serangga masih memiliki
cadangan makanan, akibatnya makanan yang diberikan belum banyak
berpengaruh pada pertumbuhan anakan (Konarzewski et al., 2003). Ketika
memasuki hari ke-3 sampai hari ke-7, anakan mulai bergantung pada
makanan yang diberikan. Oleh karena itu, setelah tujuh hari pengaruh pakan
yang diberikan pada anakan A. fuciphagus mulai terlihat. Seperti yang
ditunjukkan pada gambar 1, pertambahan berat anakan A. fuciphagus dari
setiap perlakuan mulai hari ke-7 cenderung meningkat. Hal ini disebabkan
A. fuciphagus masih dalam fase pertumbuhan pada saat dipelihara.
Pertumbuhan yang pesat ini disebabkan kandungan nutrisi yang terdapat
dalam telur O. smaragdina yang diberikan dapat digunakan secara efisien
untuk proses fisiologi tubuh anakan A. fuciphagus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Burung pemakan serangga memiliki esofagus yang sempit, tetapi
memiliki lambung lebih luas yang diperlukan untuk menyediakan lebih
banyak pepsin dan HCL untuk mencerna protein (Wooleer et al., 1990),
mengingat telur ataupun larva O. smaragdina yang dikonsumsi oleh anakan
A. fuciphagus mengandung protein dengan presentase nutrisi tertinggi
dibanding nutrisi lain di dalamnya. Selain itu, protein juga sangat penting
bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan A. fuchiphagus.
Menurut Barton dan Houston (1993), tingkat konsumsi pakan
dipengaruhi oleh kecepatan pakan meninggalkan saluran pencernaan.
Anakan A. fuciphagus mempunyai kapasitas lambung yang terbatas
dibandingkan burung dewasa. Saat pemberian pakan pada pemberian telur
O. smaragdina 3 kali jumlah pakan yang diberikan setiap waktu pemberian
lebih banyak daripada jumlah pakan pada pemberian telur O. smaragdina 5
kali dan pemberian telur O. smaragdina 7 kali. Jumlah pakan pada
pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari tersebut melebihi kapasitas
lambung anakan A. fuciphagus sehingga terlihat telur O. smaragdina
berdesakan di esofagus karena tidak semua pakan bisa memasuki lambung,
sedangkan jumlah pakan yang diberikan pada pemberian telur O.
smaragdina 7 kali per hari lebih sedikit dengan frekuensi pemberian yang
lebih banyak. Saat pemberian pakan, seluruh telur O. smaragdina yang
diberikan dapat memasuki lambung, terlihat bahwa tidak ada pakan yang
masih berdesakan di esofagus. Selain itu volume makanan yang berlebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
menyebabkan anakan A. fuciphagus lekas kenyang sehingga menurunkan
nafsu makannya (Royama, 1976). Saat memasuki minggu yang kedua,
nafsu makan anakan pada perlakuan pemberian pakan 3 kali per hari dan
pemberian pakan 5 kali per hari mengalami penurunan dan mengalami
puncaknya pada saat anakan A. fuciphagus memasuki minggu ketiga yaitu
pada umur 14 hari, terlihat anakan tidak membuka mulut dan tidak
memakan telur O. smaragdina yang diberikan.
Dengan meningkatkan frekuensi pemberian pakan yaitu pemberian
pakan sedikit demi sedikit maka makanan yang ada dalam saluran
pencernaan tidak terlalu banyak sehingga lebih banyak kesempatan untuk
dicerna (Shim dan Vohra, 1984). Peningkatan frekuensi pemberian pakan
tidak hanya akan meningkatkan konsumsi pakan tetapi juga meningkatkan
jumlah bahan pakan yang tercerna dan akan menambah nutrisi yang dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan tubuh (Austin, 1977). Menurut Soeparno
(1992) konsumsi pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pertambahan berat badan. Konsumsi pakan yang menurun pada anakan A.
fuciphagus pada kelompok pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari
dan pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari menyebabkan nutrisi
yang didapatkan anakan terutama untuk pertumbuhan juga menurun
sehingga terlihat bahwa berat badan anakan kelompok pemberian telur O.
smaragdina 3 kali per hari dan pemberian telur O. smaragdina 5 kali per
hari lebih rendah daripada pemberian telur O. smaragdina 7 kali per hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Pakan dan kebiasaan makan berubah sesuai dengan tahap
kehidupan. Jumlah yang diperlukan oleh anakan burung tergantung dari
umur dan ukuran lambung. Kemampuan lambung pada anakan burung
terbatas dibanding burung dewasa maka untuk memenuhi kebutuhan energi
dan protein, anakan perlu masukan kalori dan protein dalam pakan secara
kontinyu (Nir et al.,1978). Pemenuhan kebutuhan pakan secara kontinyu
perlu dilakukan dengan mengatur frekuensi pemberian pakan.
Tabel 3. Data pertumbuhan bulu anakan A. fuciphagus berdasarkan
frekuensi pemberian telur O. smaragdina. Jenis Pakan Frekuensi Pemberian
Pakan Pertumbuhan Bulu
(Hari ke-) Telur O.smaragdina 3 kali 8
5 kali 7 7 kali 6
Larva O.smaragdina 3 kali 10 5 kali 8 7 kali 7
Pertumbuhan bulu pada anakan A. fuciphagus tiap perlakuan juga
berbeda. Pada pemberian pakan dengan menggunakan telur O. smaragdina
7 kali per hari, anakan mengalami pertumbuhan bulu lebih cepat yaitu pada
hari ke-6, sedangkan anakan A. fuciphagus dengan pemberian larva O.
smaragdina dengan frekuensi pemberian yang sama mengalami
pertumbuhan bulu pada hari ke-7.
Pengamatan harian yang dilakukan pada anakan A. fuciphagus
menunjukkan bahwa pada perlakuan pemberian pakan telur O. smaragdina
7 kali per hari, anakan mengalami pertumbuhan bulu lebih cepat daripada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
anakan A. fuciphagus pada pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari
dan 5 kali per hari. Pada pemberian telur O. smaragdina 7 kali per hari
anakan A. fuciphagus mengalami pertumbuhan bulu pada hari ke-6. Pada
pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari, anakan mengalami
pertumbuhan bulu pada hari ke-7 sedang pada pemberian telur O.
smaragdina 3 kali per hari pertumbuhan bulu anakan mulai terjadi pada hari
ke-8 pemeliharaan.
Kebutuhan asam amino saat A. fuciphagus mengalami pertumbuhan
bulu akan meningkat. Karena asam amino dibutuhkan burung untuk
mensintesis folikel dan kantung bulu,serta pembuluh darah epidermis
(Klasing, 1998). Folikel dan kantung bulu terdiri lebih dari 90% masa
protein. Komposisi asam amino pada bulu sangat berbeda dengan protein
tubuh ataupun protein dalam telur (Wetherbee, 1997). Bulu diperkaya
kandungan asam amino sistein, valin, dan leusin (Weller, 1987). Pada saat
pertumbuhan bulu, usia anakan A. fuciphagus sudah memasuki minggu
kedua sehingga anakan sudah sangat tergantung pada makanan yang
diberikan. Nafsu makan anakan terutama pada kelompok pemberian telur O.
smaragdina 3 kali dan 5 kali per hari sudah mulai menurun sehingga nutrisi
yang diperlukan untuk pertumbuhan bulu tidak terpenuhi. Hal ini
menyebabkan pertumbuhan bulu pada anakan A. fuciphagus kelompok
pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari dan pemberian telur O.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
smaragdina 5 kali lebih lambat daripada anakan A. fuciphagus dengan
pemberian telur O. smaragdina 7 kali per hari.
B. Kelangsungan Hidup Anakan A. fuciphagus
Berdasarkan hasil penelitian selama 21 hari dapat diperoleh
gambaran mengenai pertumbuhan berat, pertumbuhan bulu, kelangsungan
hidup anakan A. fuciphagus. Parameter tersebut didukung dengan hasil
analisis kualitas media pemeliharaan.
Mortalitas atau kelangsungan hidup adalah peluang hidup pada
periode tertentu. Tingkat kematian pada suatu populasi dipengaruhi oleh
faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar meliputi kondisi lingkungan
abiotik, kompetisi antar spesies, pemangsa dan kekurangan pakan. Faktor
dalam meliputi umur dan kemampuan untuk mencerna makanan (Klasing,
1998).
Tabel 4. Kelangsungan hidup atau Survival Rate (SR) anakan A. fuciphagus berdasarkan frekuensi pemberian telur O. smaragdina pada akhir penelitian.
Jenis Pakan Frekuensi Pemberian Pakan
Kelangsungan Hidup SD
Kelangsungan Hidup SD
(%)
Telur O. smaragdina
3 kali 46,6218,23a 75,5226,64a 5 kali 79,9618,29b
7 kali 1000,00c
Larva O. smaragdina
3 kali 13,3218,23d 37,7424,74b 5 kali 46,6218,23e
7 kali 53,2818,23f Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada beda nyata (P
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Gambar 3. Grafik rata-rata kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus
setiap 7 hari pengamatan setelah berdasarkan frekuensi pemberian telur O. smaragdina.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
hari ke-1 hari ke-7 hari ke-14 hari ke-21
jum
lah
indi
vidu
(eko
r)
3 kali pemberian telur O. smaragdina
5 kali pemberian telur O. smaragdina
7 kali pemberian telur O. smaragdina
3 kali pemberian larva O. smaragdina
5 kali pemberian larva O. smaragdina
7 kali pemberian larva O. smaragdina
Pada gambar 3 terlihat bahwa dari pemberian telur O. smaragdina 7
kali per hari diperoleh kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus rata-rata
sebesar (100%) dan dari hasil uji DMRT 5% (lampiran 2), perlakuan
tersebut berbeda nyata (P
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
sebesar 75,52 %. Perlakuan tersebut beda nyata (P
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Hasil budidaya anakan A. fuciphagus dilakukan Marzuki (1997)
dengan pemberian larva serangga sebanyak 30% berat badan anakan A.
fuciphagus selama 18 hari dengan frekuensi pemberian pakan 5 kali per
hari. Namun hasil penelitian pemberian telur O. smaragdina pada anakan A.
fuciphagus selama 21 hari pemeliharaan dengan dosis pakan yang sama
tetapi dengan frekuensi pemberian pakan yang lebih besar yaitu 7 kali per
hari memberikan kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang lebih baik.
Tingkat kelangsungan hidup yang dicapai pada penelitian ini dengan
pemberian telur O. smaragdina dengan frekuensi pemberian 7 kali sehari
adalah 100% sedangkan pada budidaya yang dilakukan Marzuki (1997)
hanya mencapai 55%. Perbedaan kelangsungan hidup dan pertumbuhan
pada anakan A. fuciphagus mungkin disebabkan oleh pemberian telur O.
smaragdina yang tidak mengandung kitin sehingga meningkatkan energi
metabolisme dibanding pencernan larva serangga yang mengandung kitin.
Selain itu frekuensi pemberian pakan yang tinggi juga berpengaruh pada
kelangsungan hidup dan pertumbuhan anakan A. fuciphagus.
Pemberian frekuensi pakan yang berbeda pada penelitian ini
menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang berbeda pula.
Pemberian pakan 7 kali sehari memberikan pertumbuhan berat badan dan
kelangsungan hidup tertinggi sedangkan pemberian pakan 3 kali sehari
memberikan hasil terendah. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa frekuensi
pemberian pakan paling banyak yaitu 7 kali sehari selain sesuai dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
frekuensi pemberian pakan induk burung pemakan serangga di alam liar ,
juga memungkinkan makanan masuk sedikit demi sedikit ke dalam
lambung. Anakan A. fuciphagus memiliki kapasitas lambung yang terbatas,
sehingga makanan yang masuk sedikit demi sedikit tetapi kontinyu akan
memberikan kesempatan makanan untuk dicerna, sedangkan pemberian
pakan 3 kali sehari dengan jumlah pakan yang sama memberikan hasil
pertumbuhan dan kelangsungan hidup terendah, hal ini diduga karena
volume makanan yang masuk terlalu banyak maka makanan yang ditelan
pun melebihi kapasitas lambung anakan A. fuciphagus. Bila terjadi demikian
maka makanan yang masuk tidak dapat dicerna dengan sempurna, karena
makanan berdesakan dalam saluran cerna yang melebihi kapasitas lambung,
dan makanan akan keluar lagi dari usus dalam keadaan belum tercerna
dengan baik dan belum terserap sarinya oleh usus (Voronov, 1974). Selain
itu volume makanan yang berlebih menyebabkan anakan A. fuciphagus
lekas kenyang sehingga menurunkan nafsu makannya (Royama, 1976). Hal
ini terlihat saat masuk minggu yang kedua, nafsu makan anakan pada
pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari mulai turun dan mengalami
puncaknya pada saat anakan A. fuciphagus memasuki minggu ketiga yaitu
pada umur 14 hari. Perilaku anakan A. fuciphagus saat mencium bau pakan
yang didekatkan di sekitar paruhnya adalah dengan membuka mulutnya.
Hal ini terjadi karena penglihatan anakan burung pada fase starter belum
sempurna (Klasing, 1998). Tetapi pada saat memasuki minggu ke-2, anakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
A. fuciphagus terutama pada pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari
tidak menghabiskan seluruh telur O. smaragdina yang diberikan. Nafsu
makan yang turun menyebabkan konsumsi makan menjadi berkurang,
sehingga asupan nutrisi yang diperlukan anakan A. fuciphagus tidak
terpenuhi yang menyebabkan pertumbuhan menjadi lambat yang pada
akhirnya bisa menyebabkan kematian. Pada saat memasuki hari ke-9,
beberapa anakan A. fuciphagus pada kelompok pemberian telur O.
smaragdina 3 kali per hari dan kelompok pemberian telur O. smaragdina 5
kali per hari terlihat pucat, lemah, dan nafsu makan menurun. Memasuki
hari ke-10 beberapa anakan A. fuciphagus pada kelompok pemberian telur
O. smaragdina 3 kali per hari mengalami kematian dan terjadi kematian
setiap hari secara acak pada kelompok pemberian telur O. smaragdina 3
kali per hari dan kelompok pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari
sampai berakhirnya penelitian. Anakan A. fuciphagus yang mengalami
kematian memiliki ciri-ciri yang hampir seragam yaitu tubuh kurus dan
pucat. Jumlah kematian yang terjadi pada kelompok pemberian telur O.
smaragdina 3 kali per hari lebih banyak daripada kematian yang terjadi
pada kelompok pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari yang diberi
perlakuan pemberian telur O. smaragdina dengan frekuensi yang lebih
tinggi, sedangkan pada pemberian telur O. smaragdina 7 kali per hari,
kelangsungan hidup mencapai 100%. Dari keseluruhan parameter yang
diukur dan diamati pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian telur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
O. smaragdina 7 kali per hari merupakan perlakuan yang paling baik
karena menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup tertinggi
dibandingkan perlakuan yang lain.
C. Kualitas Media Pemeliharaan
Selain faktor kualitas dan frekuensi pemberian pakan, kualitas media
pemeliharaan juga memegang peranan yang besar dalam mendukung
pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus. Pada
penelitian ini, parameter kualitas media pemeliharaan yang diukur adalah
suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan sterilitas terhadap hama dan
predator. Alasan pemilihan parameter ini karena beberapa parameter
tersebut diketahui mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup
anakan A. fuciphagus.
Suhu merupakan kualitas media yang sangat berpengaruh pada
pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus. Pengukuran
terhadap suhu dilakukan dengan tujuan untuk menstabilkan suhu media
sesuai dengan kebutuhan ideal anakan A. fuciphagus. Pada penelitian ini
pengukuran suhu, kelembaban, intensitas cahaya, serta sterilitas terhadap
hama dan predator dilakukan setiap hari sebelum pemberian telur O.
smaragdina.
Dari pengukuran kualitas media pemeliharaan selama 21 hari
terdapat fluktuasi dari masing-masing parameter kualitas media. Hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
pengukuran kualitas media pemeliharaan selama penelitian dapat dilihat
dalam tabel 5. Pada tabel 5 terlihat bahwa kualitas media pemeliharaan
anakan A. fuciphagus dalam penelitian ini masih dalam kisaran yang layak.
Suhu merupakan salah satu parameter yang sangat penting peranannya
dalam mendukung pertumbuhan, metabolisme, dan kelangsungan hidup
anakan A. fuciphagus.
Setiap burung mempunyai suhu minimum, optimum, dan maksimum
untuk hidupnya. Juga mempunyai kemampuan menyesuaikan diri sampai
batasan tertentu (Ricklefs, 1989). Anakan A. fuciphagus pada fase starter
belum memiliki bulu yang sempurna untuk menghangatkan tubuhnya
sehingga anakan memerlukan kisaran suhu ideal 27-30oC, kelembaban
antara 85-95%, dan intensitas cahaya 0,6 lux (Marzuki,1997). Sehingga
kisaran suhu media selama penelitian masih dalam batas toleransi yaitu 27-
29oC.
Tabel 5. Kualitas Media Pemeliharaan Anakan A. fuciphagus Berdasarkan Pemberian Telur O. smaragdina.
Parameter Kisaran kualitas media pemeliharaan pada kelompok perlakuan
Kelayakan
Perlakuan Pemberian telur O. smaragdina
3 kali 5 kali 7 kali
Suhu (oC)
Kelembaban (%)
Intensitas cahaya (lux)
Hama dan predator
27,3-29,5 27,3-29,3 27,4-29,5
86-90 85-90 86-90
0,6 0,6 0,6
Tidak ada Tidak ada Tidak ada
27-30
85-95
0,6
Tidak ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Hama yang sering mengganggu anakan A. fuciphagus yang
dibudidayakan adalah semut dan tikus, semut sering menggigit anakan
karena pada saat menetas anakan belum memiliki bulu, sedangkan tikus
sering memangsa anakan A. fuciphagus. Sehingga media pemeliharaan
dibuat tertutup dan dikelilingi kapur semut sehingga media pemeliharaan
anakan A. fuciphagus tetap steril.
Secara keseluruhan, kualitas media pemeliharaan anakan A.
fuciphagus yang diukur pada penelitian ini masih menunjukkan kisaran
normal (Tabel 5). Oleh karena itu, kualitas media pemeliharaan anakan A.
fuciphagus selama penelitian ini dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap
perbedaan kelangsungan hidup dan pertumbuhan anakan A. fuciphagus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perbedaan frekuensi pemberian telur O. smaragdina menghasilkan
perbedaan pertumbuhan pada anakan A. fuciphagus. Pada pemberian
telur O. smaragdina 7 kali sehari anakan A. fuciphagus mengalami
pertambahan berat badan tertinggi.
2. Perbedaan frekuensi pemberian telur O. smaragdina menghasilkan
perbedaan kelangsungan hidup pada anakan A. fuciphagus. Pada
pemberian telur O. smaragdina 7 kali sehari anakan A. fuciphagus
mempunyai kelangsungan hidup tertinggi.
3. Perbedaan pemberian pakan berupa telur O. smaragdina dan larva
O. smaragdina menghasilkan perbedaan pertumbuhan, pertumbuhan
bulu, dan kelangsungan hidup pada anakan A. fuciphagus. Pemberian
pakan telur O. smaragdina menghasilkan pertambahan berat badan,
pertumbuhan bulu, dan kelangsungan hidup lebih tinggi daripada pakan
larva O. smaragdina.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai alternatif bahan pakan
lain yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup
anakan A. fuciphagus.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai frekuensi pemberian
pakan ideal bagi anakan A. fuciphagus.