22
PENYERTAAN (DEELNEMING) Penyertaan adalah adanya dua orang atau lebih mengambil bagian untuk melakukan/mewujudkan suatu tindak pidana. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah berapa besar bagian seseorang dalam melakukan tindak pidana tersebut, atau sejak kapan dan sejauh mana pengertian mengambil bagian itu. 1 Dalam pengertian secara luas bahwa seseorang turut serta ambil bagian dalam hubungannya dengan orang lain, untuk mewujudkan suatu tindak pidana, mungkin jauh sebelum terjadinya (misalnya: merencanakan), dekat sebelum terjadi (misalnya: menyuruh, menggerakkan untuk melakukan, memberikan keterangan), pada saat terjadinya (misalnya: turut serta, bersama-sama melakukan atau seseorang itu dibantu oleh orang lain) atau setelah terjadinya terjadinya suatu tindak pidana (menyembunyikan pelaku atau hasil tindak pidana pelaku). 2 A. Bentuk-Bentuk Penyertaan Bentuk-bentuk penyertaan diperinci sebagai berikut: 3 Dua orang atau lebih bersama-sama (berbarengan) melakukan suatu tindak pidana; Ada yang menyuruh (dan ada yang disuruh) melakukan suatu tindak pidana; 1 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 336. 2 Ibid. 3 Ibid. 1

PENYERTAAN fix

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENYERTAAN fix

PENYERTAAN

(DEELNEMING)

Penyertaan adalah adanya dua orang atau lebih mengambil bagian untuk

melakukan/mewujudkan suatu tindak pidana. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan

adalah berapa besar bagian seseorang dalam melakukan tindak pidana tersebut,

atau sejak kapan dan sejauh mana pengertian mengambil bagian itu.1

Dalam pengertian secara luas bahwa seseorang turut serta ambil bagian

dalam hubungannya dengan orang lain, untuk mewujudkan suatu tindak pidana,

mungkin jauh sebelum terjadinya (misalnya: merencanakan), dekat sebelum terjadi

(misalnya: menyuruh, menggerakkan untuk melakukan, memberikan keterangan),

pada saat terjadinya (misalnya: turut serta, bersama-sama melakukan atau

seseorang itu dibantu oleh orang lain) atau setelah terjadinya terjadinya suatu tindak

pidana (menyembunyikan pelaku atau hasil tindak pidana pelaku).2

A. Bentuk-Bentuk Penyertaan

Bentuk-bentuk penyertaan diperinci sebagai berikut:3

Dua orang atau lebih bersama-sama (berbarengan) melakukan suatu tindak

pidana;

Ada yang menyuruh (dan ada yang disuruh) melakukan suatu tindak pidana;

Ada yang melakukan dan ada yang turut serta melakukan tindak pidana;

Ada yang menggerakkan dan ada yang digerakkan dengan syarat-syarat

tertentu untuk melakukan tindak pidana;

Pengurus-pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-

komisaris yang (dipraanggapkan) turut campur dalam suatu pelanggaran

tertentu;

Ada petindak (dader) dan ada pembantu untuk melakukan suatu kejahatan.

B. Pokok Persoalan Pada Penyertaan4

1 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 336.

2 Ibid.3 Ibid.4 Ibid, hlm. 337.

1

Page 2: PENYERTAAN fix

Variasi-variasi dalam hubungan yang ditinjau dari sudut penyerta adalah:

Penyerta yang (turut) melakukan tindak pidana itu, tidak mengetahui bahwa

tindakannya merupakan tindak pidana, atau ia terpaksa melakukannya, dan

sebagainya.

Penyerta benar-benar sadar dan langsung turut serta untuk melakukan tindak

pidana (medepleger)

Penyerta melakukan tindak pidana karena adanya suatu keuntungan baginya

atau dipermudah untuk melakukannya (uitgelokte, auctor materialis)

Penyerta hanya sekedar membantu saja (medeplichtige)

Ia dipandang sebagai penyerta dalam suatu pelanggaran karena ia adalah

pengurus dan sebagainya.

C. Penyertaan dalam Arti Sempit

Yang dimaksud dengan penyertaan dalam arti sempit adalah bentuk

penyertaan yang ditentukan dalam pasal 55 KUHP. Walaupun ketentuan pasal

55 dapat saja dikaitkan dengan pengertian penyertaan, namun yang ditekankan

dalam pasal ini adalah pemidanaan, dimana kepada pelaku dan setiap orang

yang dipersamakan dengan pelaku dibedakan dengan pidana kepada pembantu

(pasal 56 dan 57). Sedangkan yang dipidana sebagai pelaku terdiri dari 4

golongan, yaitu:5

1. Mereka yang melakukan suatu tindakan.

2. Mereka yang menyuruh melakukan suatu tindakan.

3. Mereka yang turut serta melakukan suatu tindakan.

4. Mereka yang dengan sengaja menggerakkan (orang lain) melakukan suatu

tindakan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan secara pasti (limitatif).

Ad 1. Mereka yang melakukan suatu tindakan (pelaku)

5 Ibid, hlm. 338.

2

Page 3: PENYERTAAN fix

Dalam hal ini, seseorang tersebut telah berbuat dan perbuatan itu

memenuhi unsur-unsur dari delik yang bersangkutan.6

Menurut Prof. Van Hamel, pelaku suatu tindak pidana itu hanyalah dia,

yang tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti

yang terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah

dinyatakan secara tegas maupun yang tidak dinyatakan secara tegas. Jadi, pelaku

adalah orang yang dengan seorang diri telah melakukan sendiri tindak pidana

yang bersangkutan. Dalam hal ini, seseorang yang dipandang sebagai seorang

pelaku tidak boleh semata-mata didasarkan pada suatu anggapan, akan tetapi hal

tersebut selalu harus dibuktikan.7

Menurut Prof. Simons, pelaku suatu tindak pidana itu adalah orang yang

melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu

kesengajaan atau suatu ketidaksengajaan seperti yang diisyaratkan oleh undang-

undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-

undang atau telah melakukan tindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan

yang diwajibkan oleh undang-undang, atau dengan kata lain, ia adalah orang yang

memenuhi semua unsur suatu delik seperti yang telah ditentukan dalam undang-

undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur objektif,

tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut

timbul dari dirinya sendiri atau timbul karena digerakkan oleh pihak ketiga.8

Pada dasarnya pendapat kedua profesor tersebut memiliki kesamaan

mengenai siapa yang harus dipandang sebagai pelaku dari suatu tindak pidana,

yaitu dengan melihat kepada bagaimana caranya tindak pidana tersebut telah

dirumuskan di dalam undang-undang ataupun pada sifat dari tindakan yang oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang.9

Ad 2. Mereka yang menyuruh melakukan suatu tindakan (doenpleger)

6 R. Atang Ranoemihardja, Hukum Pidana – Azas-azas, Pokok Pengertian dan Teori serta Pendapat Beberapa Sarjana, Tarsito, Bandung, 1983, hlm. 114.

7 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 593.

8 Ibid, hlm. 594.9 Ibid, hlm. 594-595.

3

Page 4: PENYERTAAN fix

Dalam bentuk penyertaan menyuruh melakukan, penyuruh tidak melakukan

sendiri secara langsung suatu tindakan pidana, melainkan menyuruh orang lain.

Penyuruh berada di belakang layar, sedangkan yang melakukan tindak pidana

adalah seseorang lain yang disuruh.10

Pengertian suatu delik yang dilakukan minimal ada 2 orang, yaitu yang

menyuruh melakukan (doenpleger) dan yang disuruh melakukan (pleger). Jadi

bukan orang itu sendiri yang melakukan delik, melainkan ia menyuruh orang lain

melakukan, walaupun demikian ia tetap dipandang dan dihukum sebagai orang

yang melakukan sendiri.11

Menurut Memorie Van Toelichting, ada dua unsur “menyuruh melakukan”.

Pertama, seseorang dipakai sebagai alat (instrument atau middle). Adanya

manusia yang oleh pembuat delik dipakai sebagai alat ini, itulah salah satu unsur

pokok dan khusus dari yang menyuruh melakukan itu. Kedua, seseorang yang

dipakai sebagai alat tersebut harus berbuat. Dalam hal ini, maka orang yang

dipakai sebagai alat itu adalah sambungan lengan dari yang melakukan.12

Seseorang yang disuruh melakukan suatu delik tidak dapat dihukum karena

tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya (ontoerekeningvatbarheid)

atas perbuatannya, misalnya:13

1. Tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut pasal 44 KUHP

Contoh : A mau membunuh B tetapi tidak berani melakukan sendiri, lalu

menyuruh C (orang gila) untuk melemparkan granat kepada B. Bila C benar-

benar melemparkan granat sehingga B mati, maka C tidak dapat dihukum.

Sedangkan yang dihukum sebagai pembunuh adalah A.

2. Karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (overmacht)

menurut pasal 48 KUHP

Contoh : A bermaksud membakar rumah B, kemudian dengan menodongkan

pistolnya kepada C menyuruh C membakar rumah B. Jika C membakar rumah

itu, maka ia tidak dapat dihukum karena terpaksa melakukan oleh kekuasaan

yang tidak bias dihindari. Sedangkan A, meskipun tidak membakar sendiri

tetapi tetap dihukum sebagai pembakar rumah B.

10 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hlm. 341.11 R. Atang Ranoemihardja, log.cit, hlm. 114.12 E Uthrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, hlm. 18-19.13 Ibid, hlm. 26.

4

Page 5: PENYERTAAN fix

3. Melakukan delik itu atas perintah jabatan yang tidak sah menurut pasal 51

KUHP

Contoh : Seorang kapten polisi ingin membalas dendam terhadap musuhnya

yaitu A, ia memerintahkan kepada B seorang bawahannya untuk menangkap

A dengan alasan A telah melakukan pencurian. Jika B melaksanakan perintah

itu dengan penuh keyakinan dan itikad baik (te goedertrouw) bahwa perintah

itu adalah sah, lalu A dimasukkan ke dalam tahanan, maka B tidak dapat

dihukum, sedangkan yang dihukum merampas kemerdekaan orang lain

menurut pasal 333 KUHP adalah kapten polisi tersebut.

4. Melakukan delik itu tanpa kesalahan sama sekali

Contoh : A mau mencuri sepeda yang berada di depan stasiun, tetapi A tidak

berani mengambilnya sendiri, lalu si A menyuruh B mengambil sepeda itu

dengan mengatakan bahwa sepeda itu adalah miliknya. Jika B memenuhi

permintaan itu, ia tidak sah mencuri karena unsur “sengaja” tidak terdapat di

B. yang dihukum tetap si A.

Ad 3. Mereka yang turut serta melakukan suatu tindakan (medepleger)

Memorie van Toelichting mengemukakan bahwa yang turut melakukan

adalah tiap orang yang sengaja “meedoet” (turut berbuat) dalam melakukan satu

peristiwa pidana.14 Van Hamel berpendapat baru dianggap ada persoalan pelaku-

pelaku peserta (turut serta melakukan) bilamana tiap-tiap pelaku peserta adalah

petindak sesuai dengan rumusan delik. Mengikuti jalan pemikiran ini, maka jika R

melakukan pembongkaran, sedangkan yang mengambil (mencuri) suatu barang

adalah T, maka R bukan pelaku peserta dari pencurian dengan jalan merusak /

membongkar (pasal 365 ayat 1 ke 5) melainkan hanyalah pembantu.

Kemudian Simons berpendapat bahwa seseorang pelaku peserta adalah

petindak walaupun tidak memenuhi semua unsur-unsurnya tetapi harus

memenuhi semua keadaan pribadi (persoonlijke hoedanigheid) petindak

sebagaimana dirumuskan dalam delik. Jadi, jika pasal 419 KUHP menentukan

bahwa subjeknya adalah seorang pegawai negeri/pejabat, maka pelaku peserta

itupun harus seorang pegawai negeri. Menurut pendapat ini, jika peserta itu tidak

memenuhi keadaan pribadi petindak, maka ia bukan petindak melainkan

pembantu. Hal ini didasarkan oleh beliau bahwa melakukan, menyuruh

14 Ibid, hlm. 18.

5

Page 6: PENYERTAAN fix

melakukan, dan turut serta melakukan itu dirumuskan senafas dalam pasal 55

ayat 1, yang harus dianggap sebagai petindak. Mengikuti pendapat ini, jika E

(yang dititipi sejumlah uang oleh G) bersama-sama dengan kawannya (H)

menghabiskan uang titipan itu, maka H bukanlah seorang pelaku peserta untuk

melakukan penggelapan (pasal 372), karena pada H tidak terdapat unsur “uang

itu ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”.

Menurut Hoge Raad, orang yang turut serta melakukan dapat terjadi

dalam berbagai bentuk yaitu:15

Setiap orang yang bersama-sama mengerjakan secara sempurna suatu tindak

pidana disebut petindak-petindak atau pelaku-pelaku, tetapi dibenarkan pula

untuk menyebutkan mereka sebagai turut serta melakukan atau pelaku

peserta”.

Jika A mengerjakan secara sempurna suatu tindak pidana sebagai

dirumuskan dalam undang-undang, sedangkan peserta-peserta lainnya hanya

mengerjakan sebagian saja, maka dilihat dari sudut A itu sendiri, ia adalah

pelaku. Tetapi karena A bekerja sama dengan orang lain maka ia dapat juga

dikualifikasikan sebagai pelaku peserta.

Tindakan pelaksanaan dari seseorang peserta yang walaupun tidak

memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana disebut juga sebagai pelaku

peserta.

Kesimpulan di atas tercermin dari keputusan H.R. yang menyatakan

bahwa walaupun pada seseorang (yang sudah turut melakukan tindakan

pelaksanaan) tiada memenuhi unsur keadaan pribadi dari pelaku tetapi di dalam

bekerja sama, ia mengetahui adanya keadaan pribadi tersebut pada pelaku

dengan siapa ia bekerja sama, maka orang itu adalah seorang pelaku peserta.16

Ad 4. Mereka yang dengan sengaja menggerakkan (orang lain) melakukan

suatu tindakan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan secara pasti

(limitatif)

Bentuk penyertaan penggerakan mirip dengan bentuk penyertaan

menyuruh melakukan. Perbedaannya ialah, bahwa dalam bentuk-bentuk

penyertaan menyuruh melakukan terdapat syarat-syarat:

15 Arrest H.R. 21 Juni 1926 W.11541.16 Ibid.

6

Page 7: PENYERTAAN fix

Peserta yang disuruh (manus ministra) adalah peserta yang tidak dengan

dipidana.

Bahwa daya-upaya pada penyuruh (manus domina), tidak dirumuskan secara

limitatif.

Sedangkan syarat-syarat pada penyertaan penggerakan adalah:

Yang digerakkan (materiele/fisike dader) dapa dipidana karena melakukan

suatu tindak pidana seperti halnya penggerak (auctor intellectualis) dapat

dipidana karena menggerakkan.

Daya-upaya yang digunakan penggerak dirumuskan secara limitatif.

Dalam bentuk penyertaan penggerakan, inisiatif berada pada penggerak.

Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tak akan terjadi bila inisiatif tidak ada

pada penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap sebagai petindak dan

harus dipidana sepadan dengan pelaku yang secara fisik melakukan (auctores

physici) tindak pidana yang digerakkan. Tidak menjadi persoalan apakah pelaku

yang digerakkan itu sudah atau belum mempunyai kesediaan tertentu

sebelumnya untuk melakukan tindak pidana. Pokoknya tindak pidana yang

digerakkan sudah terwujud. Syarat-syarat dalam bentuk penyertaan penggerak

adalah:17

Kesengajaan penggerak ditujukan agar sesuatu tindakan tertentu dilakukan

oleh pelaku yang digerakkan

Daya-upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan

dalam undang-undang

Adanya orang yang digerakkan, dan telah melakukan suatu tindakan karena

daya-upaya tersebut

Pelaku yang digerakkan harus telah melakukan tindak pidana yang

digerakkan atau percobaan untuk tindak pidana tersebut.

Mereka yang dengan sengaja menggerakkan (orang lain) melakukan

suatu tindakan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan secara pasti (limitatif)

sering juga disebut membujuk melakukan (uitlokker). Dalam hal membujuk

melakukan minimal terdapat dua orang, yaitu yang membujuk dan yang dibujuk.

Demikian juga dengan cara membujuk, harus sesuai dengan yang tercantum

dalam pasal 55 (2) KUHP.

17 R. Atang Ranoemihardja, op.cit., hlm. 117.

7

Page 8: PENYERTAAN fix

Menurut rumusan yang tercantum dalam pasal 55 (2) sub 2e KUHP, Maka

unsur-unsur “membujuk” itu adalah:18

1. Dengan memakai salah satu atau beberapa cara-cara yang disebut dalam

KUHP, sengaja membujuk (mengajak) seorang lain untuk melakukan suatu

perbuatan yang dilarang oleh KUHP.

2. Adanya kehendak pada yang melakukan atau yang dibujuk untuk melakukan

perbuatan yang dilarang oleh KUHP, adalah akibat bujukan dari yang

membujuk.

3. Yang dibujuk telah melaksanakan atau telah mencoba melaksanakan

perbuatan (dilarang) yang dikehendakinya. Hanya ada satu kehendak pada

yang dibujuk itu tidaklah cukup, haruslah yang dibujuk itu telah melakukan

perbuatan.

4. Oleh sebab itu, yang dibujuk bertanggung jawab penuh menurut hukum

pidana. Apabila ia tidak dapat dihukum, maka tidak ada “membujuk” tetapi

yang ada “menyuruh melakukan”.

WFL Buchkens mengemukakan contoh-contoh kasus perkara tentang

“pembajakan” sebagai berikut:

a. Keputusan Pengadilan Negeri Bogor tanggal 7 Mei 1938.

Bahwa pembujukan dengan kesanggupan dan upah uang kepada seorang

perantara, dengan sepengetahuan si pembujuk telah membujuk lagi kepada

orang lain untuk membunuh seseorang, dihukum sebagai pembujukan pada

kejahatan yang diterangkan dalam pasal 340 KUHP.

Dalam pasal 55 KUHP diancam hukuman pada pembujukan terhadap

suatu perbuatan pidana (delik) dan bukan pada orang, sehingga karenanya

menurut hukum tidaklah menjadi soal oleh siapa perbuatan pidana yang dibujuk

itu dilakukan, jadi pembujukan itu pada pembujukan itu menurut undang-undang

diperlukan.

b. Keputusan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 20 Desember 1973,

menentukan bahwa terdakwa A telah salah karena pembujukan terhadap

pembakaran dengan sengaja, walaupun si A yang telah dibujuknya itu sendiri

tidak membakar, akan tetapi ia telah membujuk lagi dua orang lainnya, oleh

karenanya A dihukum karena pembujukan untuk pembakaran dengan sengaja.

18 E Uthrecht, op.cit., hlm. 89.

8

Page 9: PENYERTAAN fix

D. Pembantuan

Pasal 56 KUHP menentukan bahwa “dihukum sebagai orang yang membantu

melakukan kejahatan:19

1. Mereka yang dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan

Dalam hal membantu melakukan kejahatan, bantuan diberi pada saat

kejahatan sedang dilakukan,yang menjadi ukuran adalah waktu pemberian

bantuan, menurut pasal 56 ayat 1, waktu pemberian bantuan harus berbarengan

dengan terjadinya suatu kejahatan.

2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempataan, sarana, atau

keterangan untuk melakukan kejahatan itu

Dalam hal membantu untuk melakukan kejahatan , bantuan diberi pada waktu

sebelum kejahatan dilakukan. Perlu juga memperhatikan hanya mengenai

membantu untuk melakukan kejahatan, Hal ini juga merupakan kesengajaan

memberikan bantuan kepada orang lain untuk mempermudah orang lain tersebut

melakukan suatu kejahatan.

Perbedaan antara dua jenis pembantuan diatas adalah:

Jenis pertama (pasal 56 ke-1):

1. Bantuan diberikan berbarengan atau pada saat kejahatan dilakukan

2. Daya upaya yang merupakan bantuan tidak dibatasi (dapat berupa apa

saja, berwujud ataupun tidak)

Contoh : Pada saat D melarikan seseorang wanita sebagaimana dilarang

oleh pasal 332 KUHP. Ia bertemu dengan P yang sedang mengemudikan

mobil. D minta tolong kepada P untuk emngntarkan D dan wanita itu,

setelah kepada P diberitahukan maksud D mengenai wanita itu. Kemudian

P mengantarkannya dan setelah itu ia pergi. Contoh lain misalnya pada

saat DD sedang menganiaya seseorang, kebetulan PP yang memakai

tongkat sedang lewat. Atas permintaan DD untuk meneruskan

penganiayaan tersebut, PP telah memberikan tongkatnya.

Jenis kedua (pasal 56 ke-2):

1. Bantuan diberikan sebelum kejahatan dilakukan

19 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hlm. 370-373.

9

Page 10: PENYERTAAN fix

2. Daya upaya (yang merupakan bantuan) dibatasi atau tertentu,yaitu

kesempatan, sarana, dan keterangan

Contoh: C berniat mencuri dirumah majikan B. untuk melaksanakan niat

tersebut ia telah meminta keteranga kepada B mengenai situasi rumah

tersebut antara lain: kapan rumah itu sepi, dimana letak barang-barang

berharga, bagaimana cara tertuduh untuk mencurinya. B memberikann

yang dibilang C. Pada malam harinya C melakukan pencurian tersebut.

3. Syarat untuk masing-masing jenis pembantuan

Syarat untuk masing-masing jenis pembantuan yaitu:

1. Pembantu harus mengetahui macam kejahatan yang dikehendaki oleh

petindak (pelaku utama)

2. Bantuan yang diberikan oleh pembantu adalah membantu petindak untuk

mewujudkan kejahatan tersebut. Bukan untuk mewujudkan kejahatan lain.

3. Kesengajaan pembantu ditujukan untuk memudahkan atau memperlancar

petindak melakukan kejahatan yang dikehendaki petindak. Dengan

perkataan lain kesengajaan pembantu bukan merupakan unsur dari

kesengajaan tersebut. Justru kesengajaan petindak yang merupakan unsur

dari kejahatan tersebut.

Jika ada yang pembantu tentu ada yang dibantu, yaitu yang disebut sebagai

pelaku utama atau petindak. Hubungan antara pembantu dengan petindak atau

pelaku utama adalah pembantuan. Pembantuan bersamaan dengan terjadinya

kejahatan (pasal 56 ke1) atau mendahului terjadinya kejahatan (pasal 56 ayat

ke2). Pembantuan dapat terjadi selama dan sebelum pelaksanaan dari suatu

kejahatan, yang dalam kedua hal tersebut bersifat fisik. Pembantuan harus

diberikan dengan sengaja, namun ini tidak berarti bahwa pembantu harus

mengetahui pula cara bagaimana bantuan yang diberikannya dimanfaatkan,

kapan dan dimana atau siapa yang dirugikan, cukup ia mengetahui bahwa

bantuan yang diberikan misalnya adalah untuk melakukan pencurian.

Menurut prof.Simons20

1. Jenis pertama (pada saat) : Cara-cara membantu melakukan kejahatan

ditentukan seperti halnya cara-cara melakukan pembujukan, dan juga dapat

digunakan dalam menyuruh melakukan. Dengan demikan maka setiap tindakan

20 P.A.F. Lamintang, op.cit., hlm. 647-648.

10

Page 11: PENYERTAAN fix

yang telah dilakukan orang dengan maksud membantu orang lain melakukan

suatu kejahatan itu, dapat membuat orang tersebut dituntut dan dihukum karena

dengan sengaja telah membantu orang lain, pada waktu orang lain tersebut

sedang melakukan suatu kejahatan, bantuan ini bersifat materil,moral ataupun

intelektual.

2. jenis kedua (sebelum) : cara-cara membantu itu ditetapkan secara limitatif,

yaitu member kesempatan,daya upaya atau keterangan. Bantuan yang diberikan

dapat bersifat materil (menyerahkan senjata atau alat-alat kepada pelakunya),

intelektual (memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan

pencurian terhadap barang-barang yang dalam pengawasannya.

Pemberian bantuan harus diberikan dengan sengaja, dan harus ditujukan

kepada semua unsur dari kejahatan, bahkan harus ditujukan kepada unsur –

unsur yang oleh undang – undang telah tidak disyaratkan, bahkan opzet

pelakunya harus juga ditujukan kepada unsur-unsur tersebut. Ini berarti bahwa

walaupun kejahatan yang sedang atau yang akan dilakukan oleh pelakunya itu

sebenarnya merupakan suatu culpoos misdrijf atau suatu kejahatan yang

menurut rumusannya didalam undang-undang sebenarnya dapat dilakukan

dengan tida sengaja akan tetaoi terhadap kejahatna tersebut, seorang pembantu

harus meminyai suatu opzet, namun hal ini sangat jarang terjadi bahkan

merupakan sesuatu yang tidak mungkin.

Pendapat Simons ini berbeda dengan Prof.Van Hattum yaitu dimana untuk

suatu delik itu telah disyaratkan adanya suatu opzet, mak seorang pembantu

harus juga mempunyai suatu opzet. Akan tetapi bilamana menurut rumusan delik

telah dinyatakan bahwa delik tersebut dapat dilakukan dengan tidak sengaja,

maka dengan adanya ketidaksengajaan seperti itu sudah mencukupi bagi

seorang pembantu.

Menurut Prof.Simons, supaya seorang pembantu dapt dihukum, maka harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, yaitu:21

1. Syarat objektif: apabila perbuatan yang telah dilakukan oleh pembantu tersebut

memang telah ia maksudkan untuk mempermudah atau untuk mendukung

dilakukannya suatu kejahatan , yang berarti bahwa apabila alat-alat yang oleh

seorang pembantu telah diserahkan kepada seornag pelaku itu ternyata tidak

21 Ibid., hlm. 648-649.

11

Page 12: PENYERTAAN fix

dipergunakan oleh pelakunya untuk melakukan kejahatannya, maka pembantuan

tersebut tidak dapat dihukum.

2. Syarat subjektif: apabila perbuatan yang telah dilakukan oleh pembantu tersebut,

benar-benar telah dilakukan dengan sengaja,dalam arti bahwa pembantuan

tersebut memang mengeathui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah

atau dapat mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh orang lain, dan

perbuatan mempermudah atau mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh

orang lain itu memang ia kehendaki.

4. Pembantuan aktif dan pasif

Mengenai membantu dengan berbuat dapat dikemukankan bahwa berbuat itu

adalah suatu sikap aktif. Tetapi membnatu dapat juga diadakan dengan tinggal

diam yaitu dengan sikap pasif, misalnya seorang penjaga malam justru bertugas

menjaga barang tertentu membiarkan seorang pencuri mengambil barang yang

seharusnya menjaga barang trsebut. Kewajiban hukum dari seorang penjaga

malam tersebut adalah menjaga barang dan menutup tempat barang itu disimpan

dengan tidak melakukan kewajiban hukunm tersebut berarti memberikan

kesempatan kepada pencuri yaitu membantu mencuri.22

Pembantuan aktif adalah sesuai dengan penafsiran secara tata bahasa, yaitu

benar-benar terjadi suatu gerakan untuk melakukan sesuatu tindakan(bantuan).

Pembantua pasif adalah tidak melakukan suatu tindakan,namun dengan

kepasifannya itu ia telah dengan sengaja memberi bantuan. Misalnya A melihat

suatu kejahatan terjadi, tetapi ia tidak berbuat apa-apa, masalahnya adalah

sejauh manakah beban atau kewjaiban seseorang untuk harus atau wajib

mencegaha suatu kejahatan atau bagaimakah seseorang menyaksikan suau

kejahatan yang sedang terjadi, dapat dikatakan sebagai pembamu. Dari

pertanyaan itu dapat dijawab yaitu apabila seseorang itu berdasarkan undang-

undang ataupun perjanjaiann mempunyai beban atau kewajiban untuk

mencegah terjadinya kejahatan tersebut,dan ia tidak berbuat demikian ,maka ia

adalah pembantu. Seseorang dipandang sebagai pembantu pasif apabila

menurut kepatutan dalam masyarakat seseorang berkewjiban untuk mencegah

22 E Uthrecht, op.cit., hlm. 80-81.

12

Page 13: PENYERTAAN fix

kejahatan tetapi tidak melaksankannya, jadi bukan hanya yang mempunyai

kewajiban berdasarkan undang-undang atau perjanjian saja.23

Menurut prof. Simons suatu percobaan untuk membantu melakukan

kejahatan tidaklah dapat dihukum. Membantu melakukan suatu percobaan dapat

terjadi, jika orang memang bermaksud membantu melakukan suatu kejahatan

tersebut hanya emngahsilkan suatu percobaan dan dianggap tidak begitu

penting.24

Ditegaskan pula bahwa tindakan yang sdang atau akan dilakukan harus

merupakan kejahatan,bukan pelanggaran (pasal 60). Dengan menggunakan

penafsiran a contrario terhadap pasal 56, jelas bahwa pembnatuan untuk

melakukan pelanggaran tidak dipidana( tentunya ada pengecualian apabila diatur

menyimpang seperti yang dimungkinkan dalam pasal 103 KUHP).25

5. Pertanggungjawaban pembantuan

Dilihat dari sudut ajaran bentuk pertanggungjawaban peserta mandiri dan

peserta terkait, pembantu termasuk dalm golongan bentuk pertanggungjawaban

peserta terkait, artinya pertanggungjawaban peserta terkait/tegantung pada

pertanggungjawaban pelaku. Apabila misalnya pelaku benar-benar melakukan

kejahatan yang dikehendakinya ,maka tanggungjawab pembantu hukumannya

adalah dikurangi sepertiga dari maksimum yang diancamkan untuk kejahatan

tersebut. Apabila hanya sampai percoabaan saja,dan tidak jadi melaksankan

kejahatannya maka bagi pelaku dan pembantu tidak dipidana.26

Akibat hukum dari suatu pembantuan dalam apasal 57 KUHP yaitu:27

1. Ancaman hukuman yang terberat dari hukuman-hukuman pokok yang

diancamkan terhadap suatu kejahatan itu, bagi perbuatan membantu

melakukan kejahatan, dikurangi dengan sepertiganya.

2. Apabila kejahatan itu merupakan suatu kejahatan yang diancam dengan

hukuman mati atau dengan hukuman penjara seumur hidup, maka dijatuhkan

suatu hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.

23 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hlm. 374-375.24 P.A.F. Lamintang, op.cit., hlm. 650.25 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hlm. 371.26 Ibid., hlm. 375.27 P.A.F. Lamintang, op.cit., hlm. 653.

13

Page 14: PENYERTAAN fix

3. Hukuman-hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap perbuatan

membantu melakukan kejahatan adalah sama dengan hukuman-hukuman

tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap kejahatan itu sendiri.

4. Pada waktu menjatuhkan hukuman, yang diperhatikan hanyalah tindakan-

tindakan, dengan tindakan-tindakan mana, orang yang membantu melakukan

kejahatan itu dengan sengaja telah mempermudah atau telah mendukung

dilakukannya suatu kejahatan, berikut semua akibat-akibatnya.

KESIMPULAN

▪ Orang yang berbuat kejahatan dikelompokkan menjadi:

1. Pembuat / dader yang terdiri atas :

a. Pelaku (pleger)

b. Yang menyuruhlakukan (doenpleger)

c. Yang turut serta (medepleger)

d. Penganjur (uitlokker)

2. Pembantu / Medeplichtige yang terdiri atas :

a. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan

b. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan

14

Page 15: PENYERTAAN fix

▪ Pelaku (pleger) yaitu orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi

rumusan delik.

▪ Orang yang menyuruhlakukan (doenpleger), yaitu orang yang melakukan

perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedangkan perantaraan ini hanya

sebagai alat (tidak dapat dipertanggungjawabkan).

▪ Orang yang turut serta melakukan (medepleger), yaitu orang yang dengan

sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.

▪ Penganjur (uitlokker) ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan

suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh

UU (psl 55 (1) ke-2) yaitu :

a. memberi atau menjanjikan sesuatu;

b. menyalahgunakan kekuasaan atau martabat;

c. dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan; atau

d. dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan.

▪ Pembantuan (medeplichtige) memiliki sifat accessoir dilihat dari perbuatannya,

sedangkan dilihat dari pertanggungawabannya memiliki sifat tidak accessoir.

▪ Ada 2 jenis pembantuan

1. Pada saat terjadinya tindak pidana

Caranya: tidak ditentukan secara limitatif oleh UU.

2. Sebelum terjadinya tindak pidana

Caranya: ditentukan secara limitatif oleh UU (yaitu dengan memberi

kesempatan, sarana, atau keterangan).

DAFTAR PUSTAKA

E Uthrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Jember,

1962.

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

R. Atang Ranoemihardja, Hukum Pidana – Azas-azas, Pokok Pengertian dan Teori

serta Pendapat Beberapa Sarjana, Tarsito, Bandung, 1983.

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1997.

15

Page 16: PENYERTAAN fix

16