25
Pengertian Penyertaan Penyertaan adalah apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang, sehingga harus dicari pertaunggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa tersebut. Bisa dilihat dalam melakukan peristiwa pidana, sering seorang pembuat (dader) dibantu oleh orang lain, dan justru karena bantuan orang tersebut maka peristiwa pidana itu mungkin dilakukan. 1 Sehingga timbul pertanyaan apakah orang yang membantu tersebut dapat diminta pertanggungjawaban juga. Dengan adanya lembaga penyertaan orang yang membantu tersebut dapat diminta pertanggungjawaban walaupun ia sendiri tidak melakukan suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana. Pengaturan penyertaan terdapat didalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 berbunyi sebagai berikut: “(1) Dihukum sebai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu: 1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan. 2. Mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan 1 E. Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, 1986, hal. 5

Paper Aspid (Penyertaan)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penyertaan

Citation preview

Pengertian Penyertaan

Penyertaan adalah apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang, sehingga harus dicari pertaunggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa tersebut. Bisa dilihat dalam melakukan peristiwa pidana, sering seorang pembuat (dader) dibantu oleh orang lain, dan justru karena bantuan orang tersebut maka peristiwa pidana itu mungkin dilakukan.[footnoteRef:1] Sehingga timbul pertanyaan apakah orang yang membantu tersebut dapat diminta pertanggungjawaban juga. Dengan adanya lembaga penyertaan orang yang membantu tersebut dapat diminta pertanggungjawaban walaupun ia sendiri tidak melakukan suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana. [1: E. Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, 1986, hal. 5]

Pengaturan penyertaan terdapat didalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 berbunyi sebagai berikut: (1) Dihukum sebai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu:1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan.2. Mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakan orang lain untuk melakuakn tindak pidana yang bersangkutan.(2) Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini yang dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkanuntuk dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.Sedangkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 56 adalah:Dihukum sebagai pembantu-pembantu didalam suatu kejahatan, yaitu :1. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebut.2. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-saran atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.Von Feuerbach mengenal dua jenis peserta, yaitu; a) mereka yang langsung berusaha terjadinya peristiwa dan b) mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka yang disebut dalam poin a, yaitu mereka yang tidak langsung berusaha.[footnoteRef:2] Golongan yang pertama disebut sebagai Urheber sedangkan golongan yang kedua disebut sebagai Gehilfe. Pembagian ini dapat juga dilihat didalam KUHP pasal 55 dan 56 KUHP. Dimana yang masuk dalam golongan Urheber adalah, pleger (melakukan), doen pleger (menyuruh melakukan), medepleger (turut melakukan) dan uitlokker (yang membujuk). Sedangkan yang masuk kedalam golongan Gehilfe yaitu medeplichtige (yang membantu). [2: Ibid, hal. 7]

Bentuk-bentuk Penyertaan

1. Menyuruh Melakukan (Doen Plegen)Di dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana itu biasanya disebut sebagai orang middellijk dader atau seorang mettelbare tater, yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut pelaku tidak langsung karena ia memang secara tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana, melainkan dengan perantara orang lain. Si pelaku itu seolah-olah menjadi alat belaka (instrument) yang dikendalikan oleh si penyuruh. Dalam ilmu pengetahuan hukum si pelaku dinamakan manus ministra (tangan yang dikuasai) sedangkan si penyuruh dinamakan manus domina (tangan yang menguasai).[footnoteRef:3] [3: Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Edisi Ketiga, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 119]

Menurut ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP, seorang middelijke dader atau seorang pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri.Oleh karena dalam bentuk deelneming doen plegen ini selalu terdapat seorang middelijke dader, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu middelijke daderschap.Untuk adanya suatu doen plegen seperti yang dimaksudkan di dalam pasal 55 ayat 1 angka 1 KUHP itu, orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu:1. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningvatbaar seperti yang dimaksudkan didalam pasal 44 KUHP2. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan3. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai unsur schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut4. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu memenuhi unsur oogmerk, padahal unsur tersebut telah disyaratkan didalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana tersebut diatas5. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht atau dibawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan6. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu7. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang, yakni sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah tidak perlu, bahwa orang yang telah menyuruh melakukan itu harus secara tegas memberikan perintahnya kepada orang yang telah disuruhnya melakukan sesuatuUntuk adanya suatu doen plegen itu adalah juga tidak perlu, bahwa suruhan untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus diberikan secara langsung untuk middelijke dader kepada orang materieele dader. Melainkan ia dapat juga diberikan dengan perantaraan orang lain.

2. Turut Melakukan (Medeplegen)Medeplegen disamping merupakan suatu bentuk deelneming, maka ia juga merupakan suatu bentuk daderschap. Apabila seseorang itu melakukan suatu tindak pidana, maka biasanya ia disebut sebagai seorang dader atau seorang pelaku. Apabila beberapa orang yang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap peserra didalam tindak pidana itu dipandang sebagai seorang mededader dari peserta atau peserta lainnya.Misalnya tiga orang secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dengan bersepeda secara berjejer diatas jalan umum, yang oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman.Menurut Hoge Raad ada dua unsur yang harus untuk dapat dikatakan sebagai turut serta yaitu; a) antara para peserta ada satu kerjasama yang diinsyafi dan b) para peserta bersama-sama telah melaksanakan.[footnoteRef:4] [4: E. Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, 1986, hal. 37]

Menurut Prof. Lamintang, hakim tidak perlu menyebutkan secara tegas bentuk-bentuk keturutsertaan yang telah dilakukan oleh seorang tertuduh, oleh karena pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah terjadi itu sendiri sebenarnya telah menunjukkan bentuk ketrutsertaan yang dilakukan oleh masing-masing peserta didalam suatu tindak pidana yang telah mereka lakukan.[footnoteRef:5] [5: P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 615-633]

Menurut van Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada, yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta didalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu daderschap secara sempurna.Menurut Prof. Van Hattum, perbuatan medepelegen didalam pasal 55 KUHP itu haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.Ini berarti bahwa suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu culpoos delict itu dapat dihukum dan sebaliknya suatu ketidaksengajaan turut melakukan sesuatu opzetettelijk atau suatu culpos delict itu menjadi tidak dapat dihukum.Sehingga menurut Prof. Van Hattum opzet seorang medeplegen itu harus ditujukan kepada:a. Maksud untuk bekerjasama dengan orang lain dalam melakukan suatu tindak pidana danb. Dipenuhinya semua unsur dari tindak pidana tersebut yang diliputi oleh unsur opzet yang harus dipenuhi oleh pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang disyaratkan dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.Menurut Prof. Legemeijer, baik orang yang mempunyai opzet untuk membunuh koraban, maupun orang yang turut melakukan dengan maksud semata-mata menganiaya koraban itu kedua-duanya harus dipersalahkan telah turut melakukan suatu penganiayaan berat yang menyebabkan matinya oranglain.Sebagai alasan telah dikemukakannya bahwa bentuk-bentuk daderschap yang disebutkan dalam pasal 55 KUHP itu harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga bentuk-bentuk daderschap tersebut harus disamakan dengan plegen.Menurut Prof. Van Hattum, untuk adanya suatu medeplegen itu tidak diperlukan adanya suatu kesamaan opzet pada masing-masing peserta kejahatan.Perbedaan medeplegen dengan medeplichtigheid disebutkan dalam Memorie van toechlichting : Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang membantu melakukan itu adalah, bahwa orang yang disebutkan pertama itu secara langsung telah ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebutkan terakhir itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan.Kedua bentuk ini mempunyai akibat yang berbeda-beda, yaitu dihubungkan dengan jenis delik yang dapat menjadi objek dari kedua bentuk deelneming tersebut. Pada medeplegen yang dapat dihukum adalah turut melakukan baik kejahatan maupun pelanggaran, sedang pada medeplichtigheid itu yang dapat dihukum hanyalah membantu melakukan kejahatan saja. Oleh karena menurut pasal 60 KUHP itu, perbuatan membantu melakukan pelanggaran dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang tidak dapat dihukum.Dewasa ini sudah tidak lagi menjadi persoalan, apakah orang yang tidak mempunyai suatu persoonlijke hoedanigheid atau suatu sifat pribadi itu dapat turut melakukan suatu Kwaliteitsdelict atau tidak, oleh karena menurut paham yang terbaru, seseorang yang tidak mempunyai kualitas tertentu yang oleh undang-undang telah disyaratkan harus dimiliki oleh pelakunya itu, dapat saja turut melakukan apa yang disebut kwaliteits delicten, hanya saja dengan satu syarat, yaitu bahwa mereka itu mengetahui bahwa rekan pesertanya didalam melakukan suatu kwaliteitsdelict itu memiliki kualitas seperti itu.Bagi suatu medeplegen, seperti halnya dengan suatu poging, diperlukan adanya suatu begin van uitvoering atau suatu permulaan pelaksanaan, walaupun undang-undang sendiri telah mensyaratkan hal tersebut secara tegas.

3. Membujuk Melakukan (Uitlokking)Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya-upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan penggerakkan yang inisiatif berada pada penggerak. Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tidak akan terjadi bila inisiatif tidak ada pada penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap sebagai petindak dan harus dipidana sepadan dengan pelaku yang secara fisik menggerakkan. Tidak menjadi persoalan apakah pelaku yang digerakkan itu sudah atau belum mempunyai kesediaan tertentu sebelumnya untuk melakukan tindak pidana.[footnoteRef:6] [6: E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002. hlm 350-359]

Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur: uitlokker/aktor intelektualis), unsur-unsurnya adalah:a) unsur obyektif:unsur perbuatan, adalah menganjurkan orang lain melakukan perbuatan, caranya ialah:i) memberikan sesuatusesuatu di sini hars berharga, sebab kalau tidak tidak berarti apa-apa/tidak dapat mempengaruhi orang yang dianjurkan. Misalnya uang, mobil, pekerjaan dsb. Contoh: A memberikan uang 10 jt kepada B untuk membunuh Cii) menjanjikan sesuatu janji adalah upaya yang dapat menimbulkan kepercayaan bagi orang lain, janji itu belum diwujudkan, tetapi janji itu telah menimbulkan kepercayaan untuk dipenuhi. Contoh: A berjanji kepada B akan memberikan uang jika berhasil membunuh Ciii) menyalahgunakan kekuasaanmenyalahgunakan kekuasaan: adalah menggunakan kekuasaan yang dimiliki secara salah. Kekuasaan ini adalah kekuasaan dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan. Oleh karena itu upaya menyalahgunakan kekuasaan di sini diperlukan 2 syarat:1) upaya ini digunakan dalam hal yang berhubungan atau dalam ruang lingkup tugas pekerjaan dari pemegang kekuasaan dan orang yang ada di bawah pengaruh kekuasaan (orang yang dianjurkan)2) hubungan kekuasaan itu harus ada pada saat dilakukannya upaya penganjuran dan pada saat pelaksanaan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan. Apabila hubungan kekuasaan itu telah putus, maka tidak terdapat penganjuran, karenanya pelaku mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya.iv) menyalahgunakan martabatmartabat di sini misalnya orang yang mempunyai kedudukan terhormat, misalnya tokoh politik, pejabat publik, seperti camat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat. Kedudukan seperti itu mempunyai kewibawaan yang dapat memberikan pengaruh pada masyarakat atau orang-orang, sehingga pengaruh tersebut dapat disalahgunakan. (menyalahgunakan martabat)v) kekerasanmenggunakan kekuatan fisik pada orang lain sehingga menimbulkan akibat ketidakberdayaan orang yang menerima kekerasan itu. Tetapi syaratnya adalah berupa ketidakberdayaan yang sifatnya sedemikian rupa sehingga dia masih memiliki kesempatan dan kemungkinan cukup untuk melawan kekerasan itu tanpa resiko yang terlalu besar (menolak segala apa yang dianjurkan)vi) ancamanAncaman adalah suatu paksaan yang bersifat psikis yang menekan kehendak orang sedemikian rupa sehingga dia memutuskan kehendak untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh orang yang mengancam. Ancaman juga menimbulkan ketidakberdayaan, tetapi tidak bersifat fisik, melainkan psikis, misalnya menimbulkan rasa ketakutan, rasa curiga, was-was. Misalnya akan dilaporkan akan dibuka rahasianya. Ancaman di sini juga harus dapt menimbulkan kepercayaan bahwa yang diancamkan itu akan diwujudkan oleh pengancam. Sebab kalau tidak ada kepercayaan, misalnya hanya bercanda saja, maka hanya pembuat materiilnya saja yang dipidana.vii) PenyesatanPenyesatan berupa perbuatan yang sengaja dilakukan untuk mengelabui atau mengkelirukan anggapan atau pendirian orang dengan segala sesuatu yang isinya tidak benar atau bersifat palsu, sehingga orang itu menjadi salah atau keliru dalam pendirian. Perbedaan penyesatan dalam pembuat penyuruh dan pembuat penganjur adalah:1. penyesatan pada bentuk pembuat penyuruh adalah penyesatan yang ditujukan pada unsur tindak pidana, misal penjahat yang menyuruh kuli untuk menurunkan sebuah kopor milik orang lain. Tetapi penyesatan pada pembuat pengajur tidaklah ditujukan pada unsur tindak pidana tetapi ditujukan pada unsur motif tindak pidana. Contoh A sakit hati pada C dan karenanya A mengehendaki agar C mengalami penderitaan. Untuk itu A menyampaikan berita bohong yang menyesatkan B bahwa C telah berslingkuh dengan isterinya B dengan membuat alibi (pernyataan) palsu, dan dengan sangat meyakinkan A menganjurkan kepada B agar membunuh atau dianiaya saja C. Penyesatan di sini adalah ditujukan pada motif agar B sakit hati dan membenci C, atau memberikan dorongan agar timbul sakit hati, benci dan dendam pada B, sehingga mendorong B untuk melakukan sesuai dengan kehendak A. apabila B tersesat dalam pendirian dan kemudian membunuh atau menganiaya C maka terjadi bentuk pembuat penganjur.2. Berbuat karena tersesat dalam hal unsur tindak pidana, pembuatnya tidak dapat dipidana. Di sini terjadi bentuk pembuat penyuruh yang dipidana adalah pembuat penyuruhnya. Pembuat materiilnya tidak dapat dipidana. Tetapi berbuat karena tersesat dalam hal unsur motif, yang terjadi adalah bentuk pembuat penganjur, dimana keduanya sama-sama dapat dipidana.viii) memberi kesempatanmemberikan kesempatan adalah memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi orang lain untuk melakukan tindak pidana. Contoh: A penjaga gudang yang menganjurkan kepada B untuk mencuri di gudang dengan kespakatan pembagian hasilnya, sengaja memberi kesempatan kepada B untuk mencuri dengan berpura-pura sakit sehingga pada malam itu dia absen dari tugasnya.ix) memberi saranamember sarana berupa memberikan alat atau bahan untuk digunakan dalam melakukan tindak pidana. Misalnya A penjaga gudang sengaja menganjurkan pada B untuk mencuri di gudang dengan kesepakatan bagi hasil dengan cara memberikan kunci duplikat.x) memberi keterangan.memberikan informasi, berita-berita yang berupa kalimat yang dapat menarik kehendak orang lain sehingga orang yang menerima informasi itu timbul kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana, yang kemudian tindak pidana itu benar dilaksanakan.b) unsur subyektif: dengan sengaja.Ada 5 syarat dari seorang pembuat penganjur:i) kesengajaan si pembuat penganjur yang harus ditujukan pada 4 hal:(1) ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran(2) ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya (point a dan b kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan menganjurkan dengan upaya-upaya, dan akibat dari perbuatan tersebut, serta terjadi hubungan sebab akibat)(3) ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang dianjurkan). Kesengajaan itu harus ditujukan agar orang lain itu melakukan tindak pidana. Contoh: A dengan menjanjikan upah sebesar 20 juta kepada B untuk membunuh C. perbuatan yang dimaksud adalah tindak pidana pembunuhan. Di sini kesengajaan A ditujukan pada orang lain (dalam hal ini B) untuk melakukan pembunuhan. Dalam hal ini tidak ditujukan pada orang satu-satunya (B) karena bisa saja yang melaksanakan pembunuhan itu tetapi orang lain (C)(4) ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipidana. (hal ini penting untuk membedakan dengan pembuat penyuruh (doen pleger)ii) dalam melakukan perbuatan meganjurkan harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana Pasal 55 (1) angka 2. Tidaklah boleh dengan menggunakan upaya lain, misalnya menghimbau. Hal ini yang membedakan antara pembuat penganjur dengan pembuat penyuruh. Pada pembuat penyuruh dapat menggunakan segala cara, asalkan pembuat materiilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.iii) terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (pembuat peklaksananya) untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya-upaya penganjuran oleh si pembuat penganjur. Di sini terjadi hubungan sebab akibat. Sebab adalah digunakan upaya penganjuran, dan akibat adalah terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan. Jadi jelaslah inisiatif dalam hal penganjuran selalu dan pasti berasal dari pembuat penganjur. Hal ini pula yang membedakan dengan bentuk pembantuan. Pada pembantuan (pasal 56) inisiatif untuk mewujudkan tindak pidana selalu berasal dari pembuat pelaksananya, dan bukan dari pembuat pembantu.iv) orang yang dianjurkan (pembuat pelaksanaanya) telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkanv) orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggung jawab.

Perbedaan Membujuk Melakukan dengan Menyuruh MelakukanApabila dalam hal pembujukan, orang yang dibujuk, oleh suatu sebab tertentu pada akhirnya tidak dapat dikenai hukuman, maka si pembujuk hanya dapat dihukum apabila dapa dinamakan sebagai penyuruh (middelijke dader).[footnoteRef:7] [7: Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Edisi Ketiga, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 132]

4. Pembantu (Medeplichtige)Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis:a) Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Ini mirip dengan medeplegen (turut-serta), namun perbedaannya terletak pada:i) pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan;ii) pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turutserta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri;iii) pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana;iv) Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.b) Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat/kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula/tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.

Perbedaan Membantu Melakukan dengan Turut MelakukanDalam menetukan perbedaan antara membantu melakukan dengan turut melakukan digunakan dua ukuran yaitu; 1. Wujud kesengajaan yang ada pada si pelaku dan 2. Kepentingan atau tujuan dari pelaku.Ukuran kesengajaan dapat berupa (1) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar turut melakukan tindak pidana atau hanya memberikan bantuan, atau (2) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar mencapai akibat yang merupakan unsur dari tindak pidana (constitutief gevolg), atau hanya turut berbuat atau membantu apabila pelaku utama menghendakinya.Ukuran mengenai kepentingan atau tujuan bernada sama yaitu apabila si pelaku ada kepentingan sendiri atau tujuan sendiri, atau hanya membantu untuk memenuhi atau untuk mencapai tujuan dari pelaku utama.[footnoteRef:8] [8: Ibid, hal. 126-127]

Pertanggungjawaban PembantuBerbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.Namun ada beberapa catatan pengecualian :a) pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana:- membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 (4)) dengan cara member tempat untuk perampasan kemerdekaan,- membantu menggelapkan uang/surat oleh pejabat (Pasal 415),- meniadakan surat-surat penting (Pasal 417).b) pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu tindak pidana:- membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 (3)),- dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349).Sedangkan pidana tambahan bagi pembantu adalah sama dengan pembuatnya (Pasal 57 ayat (3)) dan pertanggungjawaban pembantu adalah berdiri sendiri, tidak digantungkan pada pertanggungjawaban pembuat.

Penyertaan yang tak dapat dihindarkan (Noodzakelijke Deelneming / Necessary Complicity)Penyertaan yang tak dapat dihindarkan terjadi apabila tindak pidana yang dilakukan tidak dapat terjadi tanpa adanya penyertaan dengan orang lain. Jadi tindak pidana itu terjadi kalau ada orang lain sebagai penyerta.Delik-delik yang termasuk dalam kategori ini adalah:[footnoteRef:9] [9: Ibid, hal. 136]

i) Menyuap/membujuk orang lain untuk tidak menjalankan hak pilih (Pasal 149 ayat 1 dan 2 KUHP);ii) Turut serta pada suatu perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan atau pada suatu perkumpulan yang terlarang oleh undang-undang. (Pasal 169 KUHP)iii) Bersama-sama di muka umum melakukan kekerasan terhadap orang atau barang (Pasal 170 KUHP);iv) Perang Tanding atau duel atau tweegevecht (Pasal 184 KUHP);v) Bigami atau menikah dengan diketahui oleh kedua belah pihak bahwa salah satu pihak sudah kawin, yaitu hal yang menghalang-halangi sahnya pernikahan (Pasal 279 KUHP);vi) Turut serta dalam suatu serangan atau perkelahian (Pasal 358 KUHP).vii) Berzinah dari Pasal 284. Kini pihak yang belum kawin disebut turut melakukan tindak pidana ini.

DAFTAR PUSTAKA

Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara Jakarta, 2003

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997

E. Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, 1986

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Edisi Ketiga, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009