47
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah penyalahgunaan NAPZA semakin banyak dibicarakan baik di kota besar maupun kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia. Peredaran NAPZA sudah sangat mengkhawatirkan sehingga cepat atau lambat penyalahgunaan NAPZA akan menghancurkan generasi bangsa atau disebut dengan lost generation (Joewana, 2005). Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada akhir-akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak koran dan majalah serta media elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin banyak masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model perilaku baru bagi kalangan remaja (DepKes, 2001). Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang rendah tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan faktor lingkungan. Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor keluarga lebih pada hubungan

penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

penggunaan NAPZA, gangguan mental pengguna NAPZA, overdosis, gangguan jiwa, pasien gangguan jiwa

Citation preview

Page 1: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah penyalahgunaan NAPZA semakin banyak dibicarakan baik di

kota besar maupun kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia. Peredaran

NAPZA sudah sangat mengkhawatirkan sehingga cepat atau lambat

penyalahgunaan NAPZA akan menghancurkan generasi bangsa atau disebut

dengan lost generation (Joewana, 2005).

Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori

NAPZA pada akhir-akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak

koran dan majalah serta media elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya

semakin banyak masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA

tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model

perilaku baru bagi kalangan remaja (DepKes, 2001).

Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya

pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan

untuk mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena

pendidikan yang rendah tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu,

faktor keluarga dan faktor lingkungan.

Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut;

faktor keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga; faktor lingkungan

lebih pada kurang positif sikap masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya

ketidakpedulian masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2000). Dampak yang

terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai melakukan penyalahgunaan

dan ketergantungan. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang

dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu

mengalami intoksikasi zat dan withdrawal.

Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi

penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya

terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali mereka yang berminat pada

penanggulangan NAPZA (DepKes, 2001). Berdasarkan permasalahan yang terjadi

di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya tenaga

Page 2: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di rumah sakit untuk

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu dirasakan

perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan

pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan

dan ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).

2.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan  pada klien dengan ganguan

tetanus

2.2 Tujuan Khusus

1.      Mengetahui pengertian dari penggunaan NAPZA

2.      Mengetahui faktor penyebab penggunaan NAPZA

3.      Mengetahui gejala klinis penggunaan NAPZA

4.      Mengetahui dampak penggunaan NAPZA

5. Mengetahui proses keperawatan pada gangguan penyalahgunaan NAPZA

meliputi pengkajian, analisa data dan diagnosa, intervensi dan evaluasi

Page 3: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai

setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah

dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku

psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat

terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan

jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan

toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).

2.2 Rentang Respons Gangguan Penggunaan NAPZA

Respon Adaptif Respon

Maladaptif

Tinggi alamiah

aktivitas fisik,

meditasi

Penggunaan

jarang dari:

nikotin, kafein,

alkohol, obat yang

diresepkan, obat

terlarang

Penggunaann

sering dari:

nikotin, kafein,

alkohol, obat yang

diresepkan, obat

terlarang

Ketergantungan

penyalahgunaan,

gejala putus zat,

toleransi

Respon adaptif - maladaptif dari rentang respon penggunaan zat kimiawi sebagai

kopingadalah sebagai berikut :

a. Beberapa NAPZA secara alamiah ada di dalam individu (endorphin),

berguna untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti melakukan aktivitas

fisik, meditasi, tetapi dalamkadar yang selalu ada pada keseimbangan 

Page 4: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

b. Beberapa individu mengkonsumsi NAPZA seperti: tembakau, kafein,

alkohol, obat-obatresep, dan terlarang dengan penggunaan jarang,

sehingga terjadi ketidakseimbanganakibat adanya peningkatan kadar zat di

dalam tubuh

c. Penggunaan zat semakin sering dan ketagihan

d. Ketergantungan zat adiktif (dependence)

Ketergantungan zat adiktif (dependence) adalah kondisi penyalahgunaan

yang lebih berat, telah terjadiketergantungan fisik dan psikologis.

Ketergantungan fisik ditandaidengan kondisi toleransi dan sindroma putus

zat.

e. Penyalahgunaan zat adiktif (substance abuse)

Penyalahgunaan zat adiktif (substance abuse) adalah penggunaan zat yang

bersifat patologis, relative digunakan lebih sering dari biasanya, walupub

pengguna menderitacukup serius akibat penggunaan tersebut tetapi

individu tidak mampu untuk menghentikan, penggunaan telah berlangsung

kurang lebih 1 bulan, sehingga terjadi penyimpangan perilaku

dan mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, dan pendidikan

f. Sindroma putus zat (withdrawal)

Pada pemakaian yang terus menerus akan tercapai tingkat dosis

toleransi yang cukuptinggi, jika pengguna menghentikan akan timbul

gejala-gejala tertentu sesuai jenis zatyang disalahgunakannya

Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang

ringan sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan

oleh pengguna NAPZA.

Respon adaptif Respon Maladaptif (yosep, 2007)

Eksperimental Rekreasional Situasional Peyalahgunaan

Ketergantungan

Keterangan :

Page 5: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

a. Eksperimental

Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tau dari remaja.

Sesuai kebutuhan pada masa tubuh kembangnya, klien biasanya ingin

mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.

b.Rekreasional

Penggunaan zat aditif pada waktu berkumpil dengan teman sebaya,

misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acar ulang tahun.

Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-temannya.

c. Situasional

Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi

dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk

melarikan diri atu mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu

menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan

frustasi.

d.Penyalahgunaan

Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan

secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku

mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan

pekerjaan.

e. Ketergantungan

Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik

dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan

sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa

menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertyentu menurunkan

jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan

kumpilan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan). Sedangkan

toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan

dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang bisa diinginkannya.

2.3 Jenis-Jenis NAPZA

NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:

Page 6: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

1.Narkotika

Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang

dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi

hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan

ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika

yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan

lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat

berbahaya yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis

maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk.

1999).

Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:

1) Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai

sebagai narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan

proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan

sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak

boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena

terlaluberisiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan

daun koka.

2) Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses

yang bersifat sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai

penghilang rasa sakit/analgesik. Contohnya yaitu seperti

amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan

sebagainya.

Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut:

a. Depresan : membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.

b. Stimulan : membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas

kerja dan merasa badan lebih segar.

c. Halusinogen : dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi

yang mengubah perasaan serta pikiran.

Page 7: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara

isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin, morfin,

kodein, dan lain-lain.

2.Psikotropika

Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika

adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat

psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang

menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang

tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang

membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf

simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy

(metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan

speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah

halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan

dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan

benzodiazepine merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan

rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan

psikologis bila digunakan dalam waktu lama.

3. Zat Adiktif Lainnya

Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk

tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan

lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai

sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi.

Bahanbahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke

dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek

merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999).

Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras

(minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar

ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan

B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan

Page 8: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%)

seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu

aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir

semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah

0,10% (Marviana dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile,

dan solvent/inhalasia.

2.4 Faktor Predisposisi

Penyebab penyalahgunaan NAPZA menurut Hawari (2000) adalah interaksi

antara faktor predisposisi, faktor kontribusi dan faktor pencetus. Faktor kontribusi

yaitu kondisi keluarga yang tidak baik (disfungsi keluarga) seperti keluarga yang

tidak utuh, kesibukan orang tua dan hubungan interpersonal dalam keluarga yang

tidak harmonis. Faktor pencetus yaitu pengaruh teman sebaya serta tersedia dan

mudahnya memperoleh barang yang dimaksud (easy availability).

Faktor predisposisi terbagi dalam tiga kelompok yaitu :

1. Faktor biologik, Meliputi: kecenderungan keluarga, terutama

penyalahgunaan alkohol dan perubahan metabolisme alkohol yang

mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman.

2. Faktor psikologik, meliputi: kepribadian ketergantungan oral, harga diri

rendah, sering berhubungan dengan penganiayaan pada masa kanak-kanak,

perilaku maladaptif yang dipelajari secara berlebihan, mencari kesenangan

dan menghindari rasa sakit, sifat keluarga termasuk tidak stabil, tidak ada

contoh yang positif, rasa kurang percaya tidak mampu memperlakukan

anak sebagai individu serta orang tua yang adiksi.

3. Faktor sosiokultural, meliputi: ketersedian dan penerimaan sosial

terhadap pengguna obat, ambivalen sosial tentang penggunaan dan

penyalahgunaan zat, seperti tembakau, alkohol dan maryuana, sikap, nilai,

norma dan sosial kultural kebangsaan, etnis dan agama, kemiskinan

dengan keluarga yang tidak stabil dan keterbatasan kesempatan

2.5 Faktor Presipitasi

Page 9: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

Harboenangin (dikutip dari Yatim, 1986) mengemukakan ada beberapa faktor

presipitasi yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor

eksternal dan faktor internal.

1. Faktor Internal

a. Faktor Kepribadian

Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih

cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu

biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah.

Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh

ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah

cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi.

b. Inteligensia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang

untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada

pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya.

c. Usia

Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan

narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan,

dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih tua,

narkoba digunakan sebagai obat penenang.

d. Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu

Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri.

Mulanya merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau

ingin merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya.

Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama.

e. Pemecahan Masalah

Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk

menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba

Page 10: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada

permasalahan yang ada.

2. Faktor Eksternal

a. Keluarga

Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab

seseorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim

UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun

1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota

keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu:

1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami

ketergantungan narkoba.

2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari

pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan

ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak).

3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya

penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik.

Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan

anak, maupun antar saudara.

4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter.

5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut

anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang

harus dicapai dalam banyak hal.

6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan

dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering

berlebihan dalam menanggapi sesuatu.

b. Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)

Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu

cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi

seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Peer group terlibat

lebih banyak dalam delinquent dan penggunaan obat-obatan. Dapat

Page 11: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

dikatakan bahwa faktor-faktor sosial tersebut memiliki dampak yang

berarti kepada keasyikan seseorang dalam menggunakan obat-obatan,

yang kemudian mengakibatkan timbulnya ketergantungan fisik dan

psikologis.

c. Faktor Kesempatan

Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut

sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Pengalaman feel good saat

mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan untuk

memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu. Seseorang

dapat menjadi pecandu karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus

atau secara bersamaan. Karena ada juga faktor yang muncul secara

beruntun akibat dari satu faktor tertentu.

2.6 Tanda dan Gejala

Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga

sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat

yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat

berbeda pada jenis zat yang berbeda.

Tanda dan Gejala Intoksikasi

Opiate Ganja Sedative-hipnotik Alcohol Anfetamine

1. Eforia

2. mengantuk

3. bicara cadel

4. konstipasi

5. penurunan

kesadaran

1. eforia

2. mata merah

3. mulut kering

4. banyak

bicara

dan tertawa

nafsu makan

meningkat

5. gangguan

1. pengendalian

diri berkurang

2. jalan

sempoyongan

3. mengantuk

4. memperpanjang

tidur

5. hilang

kesadaran

1. mata merah

2. bicara cadel

3. jalan

sempoyongan

4. perubahan

persepsi

5. penurunan

kemampuan

menilai

1. selalu

terdorong

untuk

bergerak

2. berkeringat

3. gemetar

4. cemas

5. depresi

6. paranoid

Page 12: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

persepsi

Tanda dan Gejala Putus Zat

Opiate Ganja Sedative-hipnotik Alcohol Anfetamin

1. nyeri

2. mata dan

hidung berair

3. perasaan

panas dingin

4. diare

5. gelisah

6. tidak bisa

tidur

jarang

ditemu

kan

1. cemas

2. tangan gemetar

3. perubahan

persepsi

4. gangguan

daya ingat

5. tidak bisa tidur

1. cemas

2. depresi

3. muka merah

4. mudah marah

5. tangan

gemetar

6. mual muntah

7. tidak bisa

tidur

1. cemas

2. depresi

3. kelelahan

4. energi

berkurang

5. kebutuhan

tidur

meningkat

2.7 Penatalaksanaan Masalah NAPZA

Penatalaksanaan masalah NAPZA terdiri dari pengobatan dan pemulihan

(rehabilitasi).

1. Pengobatan

Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi.

Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala

putus zat, dengan dua cara yaitu:

a. Detoksifikasi tanpa subsitusi

Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat

yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk

menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja

sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.

b. Detoksifikasi dengan substitusi

Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat

misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna

Page 13: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya

diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis

secara bertahap sampai berhenti sama sekali.

2. Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan

terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar

pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat

mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin.Tujuannya

pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan

spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga

kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).

Alur Perawatan Klien di Rumah Sakit

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi

sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena

rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan

rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:

1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi

2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA

3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya

4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan

baik

Page 14: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja

6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan

dengan lingkungannya.

Bagan tipe rehabilitasi

Psikososial Kejiwaan Komunitas Keagamaan

Program

rehabilitasi

psikososial

merupakan

persiapan untuk

kembali ke

masyarakat

(reentry

program). Oleh

karena itu, klien

perlu dilengkapi

dengan

pengetahuan dan

keterampilan

misalnya dengan

berbagai kursus

atau balai latihan

kerja di pusat-

pusat

rehabilitasi.

Dengan

demikian

diharapkan bila

klien selesai

menjalani

program

rehabilitasi dapat

Dengan

menjalani

rehabilitasi

diharapkan

agar klien

rehabilitasi

yang

semua

berperilaku

maladaptif

berubah

menjadi adaptif

atau dengan

kata

lain sikap dan

tindakan

antisosial dapat

dihilangkan,

sehingga

mereka

dapat

bersosialisasi

dengan sesama

rekannya

maupun

personil yang

membimbing

Berupa program

terstruktur yang

diikuti oleh

mereka yang

tinggal dalam

satu tempat.

Dipimpin oleh

mantan pemakai

yang dinyatakan

memenuhi

syarat sebagai

koselor, setelah

mengikuti

pendidikan dan

pelatihan.

Tenaga

profesional hanya

sebagai konsultan

saja. Di sini klien

dilatih

keterampilan

mengelola waktu

dan perilakunya

secara efektif

dalam

kehidupannya

sehari-hari,

Pendalaman,

penghayatan, dan

pengamalan

keagamaan atau

keimanan ini

dapat

menumbuhkan

kerohanian

(spiritual power)

pada diri seseorang

sehingga mampu

menekan risiko

seminimal mungkin

terlibat kembali

dalam

penyalahgunaan

NAPZA apabila

taat dan rajin

menjalankan

ibadah, risiko

kekambuhan hanya

6,83%; bila

kadang-kadang

beribadah

risiko kekambuhan

21,50%, dan

apabila tidak sama

Page 15: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

melanjutkan

kembali

sekolah/kuliah

atau bekerja

dan

mengasuhnya

sehingga dapat

mengatasi

keinginan

mengunakan

narkoba lagi atau

nagih (craving)

dan mencegah

relaps.

sekali menjalankan

ibadah agama

risiko kekambuhan

mencapai 71,6%.

Rehabilitasi dalam hal ini yang akan dibahas adalah modalitas terapi Therapeutic

Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan perilaku. Therapeutic

Community direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah

penggunaan NAPZA dalam waktu lama dan berulang kali kambuh atau sulit

untuk berada dalam kondisi abstinen atau bebas dari NAPZA. TC dapat

digambarkan sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien yang

membutuhkan lingkungan yang mendukung dan dukungan lain yang bermakna

dalam mempertahankan kondisi bebas NAPZA atau abstinen.

Gambaran dari TC adalah sebagai berikut:

a. Program dan struktur yang tinggi/ketat

b. Umumnya pasien berada dalam program untuk 6-12 bulan

c. Program pengobatan

d. Program pendidikan

e. Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya (seringkali pasien

mengalami gangguan fungsi kehidupan yang serius)

f. Diarahkan pada pasien yang mempunyai riwayat perilaku kriminal

g. Mengembangkan system dukungan yang sesuai kebutuhan pasien

h. Menstabilkan fungsi kehidupan pasien

i. Rehabilitasi vokasional

Program ini mempunyai suatu aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang

diistilahkan dengan cardinal rules dan five pilars yang sangat mengikat setiap

residen untuk menjalankan dan siap menerima sanksi bila melanggar aturan

tersebut ( pasien peserta TC lazim disebut residen ).

Page 16: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

Tahapan program TC yang harus dijalani oleh setiap residen adalah sebagai

berikut:

a) Proses Intake dan Orientasi (2-4 minggu);

1. Wawancara awal

2. Informed consent

3. Pemeriksaan fisik

4. Pengisian formulir

5. Orientasi program (walking paper}

6. Pengenalan program dan fasilitas layanan

b) Untuk Younger Member (anggota termuda 1-3 bulan)

1. Aktif mengikuti program

2. Penerapan sanksi (reward and punishment)

3. Dikunjungi keluarga

4. Kegiatan Family Support Group

5. Kegiatan Kelompok

c) Untuk Middle Member (anggota menengah 4-6 bulan)

1. Mulai bertanggungjawab terhadap sebagian operational

fasilitas/rumah

2. Menjadi buddy bagi younger member

3. Sudah dapat keluar fasilitas TC dengan pendamping

4. Kegiatan dalam kelompok

5. Dilakukan Family Support Group (FSG)

d) Untuk Older member (anggota lama 6-8 bulan)

1. Sudah bertanggungjawab penuh terhadap rumah/fasilitas.

2. Pelaksanaan reward dan punishment secara penuh

3. Boleh meninggalkan fasilitas/rumah

4. Dilakukan kegiatan FSQ

5. Mengikuti kegiatan kelompok

6. Dinyatakan graduate/lulus

e) Tahapan Re-Entry (3 sampai 6 bulan):

a. Fase Orientasi (2 minggu);

1. Pengenalan program re-entry

Page 17: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

2. Didampingi buddy

3. Tidak boleh dikunjungi keluarga

4. Tidak boleh meninggalkan fasilitas TC

5. Sanksi berupa tugas-tugas mengurus fasilitas

6. Mengikuti kegiatan kelompok

b. Fase A (1,5 - 2 bulan);

1. Mengikuti kegiatan kelompok

2. Dapat dikunjungi keluarga setiap waktu

3. Diberi ijin menginap 1 malam setiap 2 minggu sekali

4. Boleh menerima uang jajansetiap minggu secara teratur

5. Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC

c. Fase B (2 bulan);

1. Mengikuti kegiatan kelompok

2. Dapat dikunjungi setiap waktu

3. Diberi ijin pulang menginap 2 malam setiap 2 minggu

4. Boleh meminta tambahan uang jajan

5. Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC

d. Fase C (2 bulan);

1. Mengikuti kegiatan kelompok

2. Dapat dikunjungi setiap waktu

3. Diberi ijin pulang

4. Boleh meminta tambahan uang jajan

5. Boleh melakukan kegiatan di luar fasilitas TC

6. Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk

persiapan pulang

Aftercare Program

a. Program yang ditujukan bagi mantan residen/alumni TC, Program

ini dilaksanakan di luar fasilitas TC dan dikuti oleh semua angkatan

dibawah supervisi staf re-entry. Tempat pelaksanaan disepakati bersama

Page 18: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

b. Program ini bertujuan agar alumni TC mempunyai

tempat/kelompok yang sehat dan mengerti tentang dirinya serta

mempunyai lingkungan hidup yang positif

c. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah :

1. Sharing dalam kelompok tanpa ditanggapi

2. Meminta anggota untuk menanggapi suatu topik

3. Waktu dan tempat pelaksanaan disepakati bersama

Intervensi Psikososial, suatu pendekatan yang mengutamakan pada masalah

psikologis dan sosial yang disandang oleh pasien dengan tujuan untuk

meningkatkan kemampuan pasien menghadapi setiap masalah (Coping

Mechanism).

1. Intervensi psikososial merupakan komponen kunci untuk terapi

gangguan penggunaan NAPZA yang komprehensif baik secara individu

maupun kelompok

2. Intervensi ini dapat diberikan pada setiap tahapan terapi baik dalam

keadaan intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi yang disesuaikan

dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadaran penuh

3. Untuk melaksanakan intervensi ini diperlukan pelatihan

ketrampilan yang khusus dan memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan

jenis intervensi

4. Pendekatan psikososial saja bukan yang superior, program terapi

harus didesain sesuai kebutuhan pasien dengan mempertimbangkan

faktor budaya, umur, gender serta komorbiditas

PENCEGAHAN KEKAMBUHAN

Kambuh merupakan pengalaman yang sering terjadi dalam proses pemulihan

pasien gangguan penggunaan NAPZA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

faktor yang dapat diprediksi dalam kekambuhan adalah sistem keyakinan yang

salah dan menetap (....'Saya seorang pecandu dan saya tidak bisa berhenti

menggunakan NAPZA...'). Di bawah ini beberapa strategi yang digunakan dalam

pencegahan kekambuhan :

Page 19: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

1. Tingkatkan komitmen untuk berubah (misal menggunakan

wawancara memotivasi)

2. Identifikasi situasi resiko tinggi yang menimbulkan kekambuhan

(Kapan, dimana, dengan siapa dan bagaimana penggunaan Napza bisa

terjadi)

3. Mengajarkan kamampuan masing hadapi masalah (coping skill),

misalnya: ketrampilan sosial, ketrampilan manajemen diri, monitoring diri

dari penggunaan NAPZA,

4. Mengembangkan strategi untuk menghadapi situasi yang dapat

menyebabkan terjadinya kekambuhan :

1. apa yang harus dilakukan pasien dalam suatu kejadian yang dapat

menimbulkan kambuh?

2. Dimana pasien mendapatkan dukungan?

3. Apa peran yang dapat diberikan dari teman atau keluarga?

4. Seberapa cepat pasien harus membuat perjanjian untuk kembali

ketempat praktek?

Program 12 Langkah

Fokus dari Program 12 Langkah adalah penerapan langkah-langkah itu dalam

kehidupan sehari-hari. Disinilah penggunaan istilah falsafah menjadi lebih

relevan, karena langkah-langkah ini menjadi panduan untuk menjalani kehidupan

sebagai seorang pecandu yang ingin mempertahankan kebersihannya dan

membina perjalanan spiritualnya. Jadi, lebih dari sekedar peraturan 12 Langkah

menjadi "Falsafah Hidup" seorang pecandu untuk diamalkan ketika menjalani

kehidupan kesehariannya. Dan berdasarkan paradigma Disease Model of

Addiction, penyakit kecanduan mempunyai potensi untuk kambuh sewaktu-waktu

apabila tidak diredam oleh program pemulihan yang berkesinambungan. Dengan

pengamalan atau praktek dari langkah-langkah inilah para pecandu akan dapat

meredam penyakitnya agar tidak kambuh sepanjang hayatnya. Pada penjelasan

ini, setiap langkah akan diuraikan secara singkat maknanya dan karena setiap

langkah di targetkan untuk mengatasi setiap aspek spesifik dalam penyakit

kecanduan, uraian ini akan mencakup fungsi klinikal yang dapat diterapkan baik

Page 20: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

dalam kondisi di dalam atau diluar institusi/panti rehabilitasi. Berikut ini adalah

contoh 12 langkah seperti yang tertera dalam program Narcotic Anonymous

(NA).

12 LANGKAH NARCOTIC ANONYMOUS

1. Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita

sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali.

2. Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita

sendiri yang dapat mengembatikan kita kepada kewarasan.

3. Kita membuat keputusan untuk menyerahkan kemauan dan arah

kehidupan kita kepada kasih Tuhan sebagaimana kita mamahamiNya.

4. Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh,

menyeluruh dan tanpa rasa gentar.

5. Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan kepada

seorang manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-kesalahan

kita.

6. Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan

karakte kita.

7. Kita dengan rendah hati memohon kepadaNya untuk

menyingkirkan semua kekurangan-kekurangan kita.

8. Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan

menyiapkan diri untuk meminta maaf kepada mereka semua.

9. Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang

tersebut bila mana memungkinkan, kecuali bila melakukannya akan justru

melukai mereka atau orang lain.

10. Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita dan

bila mana kita bersalah, segera mengakui kesalahan kita.

11. Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk

memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita

memahamiNya, berdoa hanya untuk mengetahui kehendakNya atas diri

kita dan kekuatan untuk melaksanakannya.

Page 21: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

12. Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari langkah-

langkah ini, kita mencoba menyampaikan pesan ini kepada para pecandu

dan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini dalam segala hal yang kita

lakukan.

2.8 Bentuk Peran Orang Terdekat

Hubungan Tugas Keluarga dalam Pemulihan Pasien Ketergantungan Narkoba

Menurut Friedman (2003: 9) menyatakan bahwa keluarga memiliki peran

pendukung yang penting selama periode pemulihan dan rehabilitasi klien. Jika

dukungan ini tidak tersedia, keberhasilan pemulihan/rehabilitasi menurun secara

signifikan. Demikian pula sebaliknya jika dukungan tersedia maka keberhasilan

pemulihan akan berjalan dengan baik.

Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil

keputusan dalam kesehatan, Ikut merawat anggota keluarga yang sakit,

memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada

sangatlah penting dalam mengatasi kecemasan klien.(Friedman, 2003 : 146).

Menurut Willis (2010: 177) Keluarga merupakan salah satu kekuatan pendukung

yang dapat mempercepat penyembuhan pasien,sehingga dukungan keluarga

sangat dibutuhkan bagi pasien dalam menghadapi masa masa pemulihannya.

Menurut Mann dalam Willis (2010: 174) pemulihan pasien yang mengalami

ketergantungan narkoba tidak bisa hanya dengan detoksifikasi tetapi juga harus

dengan pendekatan rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual spiritual dan fisik.

Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa peran sosial termasuk

dalam hal ini keluarga dalam upaya penyembuhan pasien memang tidak bisa

dikesampingkan.

Selanjutnya Menurut Ali (2010: 38) tugas keluarga ketika pasien menjalani

perawatan dirumah sakit adalah mentaati semua anjuran tim profesional, serta

Page 22: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

memberikan dukungan dalam bentuk perhatian. Berdasarkan pemaparan diatas

maka peneliti menyimpulkan bahwa tugas keluarga tentang pemeliharaan

kesehatan berhubungan dengan periode perawatan remaja ketergantungan

narkoba.

Menyadari bahwa masalah penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks dan bersifat

multidimensi, maka partisipasi berbagai pihak dalam berbagai tingkatan

merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Keluarga mempunyai peran yang

sangat berarti dalam pemulihan pecandu. Permasalahannya, banyak keluarga tidak

memahami masalah penyalahgunaan NAPZA dan upaya-upaya

penaggulangannya. Pada dasarnya, penyalahgunaan NAPZA akan menjadi

“penyakit keluarga” dimana masalah kecanduan yang dialami oleh seorang

anggota keluarga pada akhirnya akan mempengaruhi keluarga secara keseluruhan.

Pemulihan yang dijalani oleh pecandu selain memperbaiki kualitas hidup dirinya

sendiri juga merupakan kesempatan untuk membangun dan memperbaiki peran

serta fungsi keluarga. Namun ini hanya akan berhasil apabila setiap anggota

keluarga berupaya keras untuk turut serta dalam proses pemulihan tersebut. Untuk

dapat berpartisipasi dalam upaya ini, keluarga perlu memahami fase pemulihan

yang dijalani oleh korban penyalahguna NAPZA. Motivasi keluarga merupakan

tenaga kejiwaan yang dapat membangkitkan seseorang dalam perjuangan

hidupnya dan oleh karenanya menjadi tenaga penggerak yang sangat vital bagi

korban penyalahguna NAPZA untuk keluar dari penderitaannya dan untuk

mengatasi problem-problem yang dihadapi.Motivasi mempunyai pengaruh besar

dalam setiap perbuatan dan merupakan latar belakang perbuatan itu dilakukan,

sehingga motivasi mampu menggerakkan rasa dan pikiran korban penyalahguna

NAPZA untuk kembali menjalani hidup sehat tanpa menggunakan NAPZA lagi.

Melihat bahwa keinginana sembuh seorang korban penyalahguna NAPZA tidak

selalu datang dari dalam diri sendiri dan dalam pengobatan medis tidak selalu

berhasil oleh karena itu dukungan keluarga diperlukan korban penyalahguna

NAPZA dalam pemulihan.

Page 23: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

Menurut Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, motif dibedakan kedalam dua

bagian yaitu:

1. Motif intrinsik, yaitu motif yang tidak usah dirangsang dari luar, karena

memang dalam diri individu sendiri telah ada dorongan itu. Misalnya,

seorang korban penyalahguna NAPZA yang datang sendiri ke panti

rehabilitasi bukan karena paksaan dari orang tua atau merasa malu kepada

temannya tetapi ada keinginaan dalam diri sendiri untuk kembali sehat

tanpa menggunakan NAPZA lagi.

2. Motif ekstrinsik, yaitu motif yang disebabkan oleh pengaruh rangsangan

dari luar. Misalnya, seorang penyalahguna NAPZA dibawa untuk

mengikuti program rehabilitasi oleh keluarga. Peran keluarga dan tempat

penyelenggara program rehabilitasi menjadi kekuatan utama penderita

(korban) keluar dari problem yang dihadapi.

Disini keluarga menjadi bagian dari kekuatan motif ekstrinsik. Keluarga

memberikan rangsangan, dorongan, dan dukungan serta mempunyai pengaruh

terhadap perubahan-perubahan perikaku yang positif pada diri korban

penyalahgunaan NAPZA. Sentuhan hangat keluarga seperti: perhatian, kasih

sayang dan empati merupakan bentuk rangsangan atau motivasi yang membuat

korban penyalahgunaan NAPZA dapat berubah menjadi lebih baik

dengan mulai rasa kesadaran untuk tidak mengkonsumsi NAPZA lagi dan dapat

kembali menjalani hidup sehat.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Kaji situasi kondisi penggunaan zat

Page 24: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

a. Kapan zat digunakan

b. Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah

c. Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara

Kaji risiko yang berkaitan dengan penggunaan zat

a. Berbagi peralatan suntik

b. Perilaku seks yang tidak nyaman

c. Menyetir sambil mabuk

d. Riwayat over dosis

e. Riwayat serangan (kejang) selama putus zat

Kaji pola penggunaan

a. Waktu penggunaan dalam sehari (pada waktu menyiapkan makan

malam)

b. Penggunaan selama seminggu

c. Tipe situasi (setelah berdebat atau bersantai di depan TV)

d. Lokasi (timbul keinginan untuk menggunakan NAPZA setelah

berjalan melalui rumah bandar)

e. Kehadiran atau bertemu dengan orang-orang tertentu (mantan

pacar, teman pakai)

f. Adanya pikiran-pikiran tertentu (“Ah, sekali nggak bakal ngerusak”

atau “Saya udah nggak tahan lagi nih, saya harus make”)

g. Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan)

h. Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat

tidur atau stres yang berkepanjangan)

Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi

bila tidak menggunakan.

3.2 Diagnosa Keperawatan

Masalah yang mungkin muncul pada klien dengan penyalah gunaan

NAPZA antara lain:

Overdosis :

a. Bersihan jalan napas tidak efektif

b. Penurunan output jantung

c. Hipertermi

Page 25: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

d. Hipotermi

e. Intoleransi aktivitas

f. Risiko cedera

Putus Zat

a. Nyeri akut

b. Diare

c. (Risiko) Defisit volume cairan

d. Gangguan sensori persepsi

e. Gangguan pola tidur

f. Gangguan proses pikir

g. Ansietas

h. Risiko perilaku kekerasan

Rehabilitasi

a. Koping individu tidak efektif: ketidakmampuan menolak keinginan

menggunakan zat kembali

b. Distres spiritual

c. Gangguan konsep diri: harga diri rendah

d. Koping keluarga tidak efektif

e. Gangguan proses keluarga

f. Ketidakberdayaan

3.3 Diagnosa Keperawatan dan Tindakan Keperawatan

Pada saat klien telah berada di ruang rehabilitasi, tidak menutup kemungkinan

akan muncul masalah yang sama seperti ketika klien berada pada ruang

detoksifikasi.Penyebabnya adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak

melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan

dalam timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga atau

orang terdekat klien dalam membantu mengurangi penyalahgunaan dan

penggunaan zat.

Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi adalah

Page 26: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

Koping individu tidak efektif: ketidakmampuan menolak keinginan

menggunakan zat kembali

Tujuan: Pasien dapat mengontrol keinginan untuk meggunakan zat

Rencana tindakan Keperawatan:

a. Melatih konsentrasi: mengadakan kelompok diskusi pagi

b. Memberikan konselin untuk merubah moral dan spiritual klien selama ini

yang menyimpang, ditujukan agar klien menjadi manusia yang

bertanggung jawab, sehat mental, rasa bersyukur, dan optimis

c. Mengoptimalkan peran keluarga serta orang terdekat klien untuk

senantiasa mensupport dalam rehabilitasi

d. Mempersiapkan klien untuk kembali ke masyarakat, dengan bekerja sama

dengan pekerja social, psikolog

Page 27: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

(Sumber: Keliat dkk, 2006)

Menurut Keliat dkk. (2006), tujuan tindakan keperawatan untuk keluarga adalah

sebagai berikut:

a. Keluarga dapat mengenal masalah ketidakmampuan anggota keluarganya

berhenti menggunakan NAPZA

b. Keluarga dapat meningkatkan motivasi klien untuk berhenti

c. Keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien NAPZA

d. Keluarga dapat mengidentifikasi kondisi pasien yang perlu dirujuk

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada keluarga anatara lain: (Keliat

dkk, 2006)

a. Diskusikan tentang masalah yang dialami keluarga dalam merawat klien

Page 28: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

b. Diskusikan bersama keluarga tentang penyalahgunaan/ketergantungan zat

(tanda, gejala, penyebab, akibat) dan tahapan penyembuhan klien

(pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi).

c. Diskusikan tentang kondisi klien yang perlu segera dirujuk seperti:

intoksikasi berat, misalnya penurunan kesadaran, jalan sempoyongan,

gangguan penglihatan (persepsi), kehilangan pengendalian diri, curiga

yang berlebihan, melakukan kekerasan sampai menyerang orang lain.

Kondisi lain dari klien yang perlu mendapat perhatian keluarga adalah

gejala putus zat seperti nyeri (sakau), mual sampai muntah, diare, tidak

dapat tidur, gelisah, tangan gemetar, cemas yang berlebihan, depresi

(murung yang berkepanjangan).

d. Diskusikan dan latih keluarga merawat klien NAPZA dengan cara:

menganjurkan keluarga meningkatkan motivasi klien untuk berhenti atau

menghindari sikap-sikap yang dapat mendorong klien untuk memakai

NAPZA lagi (misalnya menuduh klien sembarangan atau terus menerus

mencurigai klien memakai lagi); mengajarkan keluarga mengenal ciri-ciri

klien memakai NAPZA lagi (misalnya memaksa minta uang, ketahuan

berbohong, ada tanda dan gejala intoksikasi); ajarkan keluarga untuk

membantu klien menghindar atau mengalihkan perhatian dari keinginan

untuk memakai NAPZA lagi; anjurkan keluarga memberikan pujian bila

klien dapat berhenti walaupun 1 hari, 1 minggu atau 1 bulan; dan anjurkan

keluarga mengawasi klien minum obat.

3.4 Evaluasi

Evaluasi yang diharapkan dari klien adalah sebagai berikut:

1. Klien mengetahui dampak NAPZA

2. Klien mampu melakukan cara meningkatkan motivasi untuk berhenti

menggunakan NAPZA

3. Klien mampu mengontrol kemampuan keinginan menggunakan NAPZA

kembali

4. Klien dapat menyelesaikan masalahnya dengan koping yang adaptif

Page 29: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

5. Klien dapat menerapkan cara hidup yang sehat

6. Klien mematuhi program pengobatan

Evaluasi yang diharapkan dari keluarga adalah sebagai berikut:

1. Keluarga mengetahui masalah yang dialami klien

2. Keluarga mengetahui tentang NAPZA

3. Keluarga mengetahui tahapan proses penyembuhan klien

4. Keluarga berpartisipasi dalam merawat klien

5. Keluarga memberikan motivasi pada klien untuk sembuh

6. Keluarga mengawasi klien dalam minum obat

Page 30: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus

bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan

kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Peran perawat

mempengaruhi pada keberhasilan dalam mencapai tujuan dan hasil akhir yang

diharapkan dalam perawatan. Dimana asuhan keperawatan pada pasien

penyalahgunaan NAPZA ditekankan pada aspek psikososial, kejiwaan,

komunitas dan keagamaan. Peran keluarga dan lingkungan juga sangat

diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan pasien penyalahgunaan

NAPZA. Kebanyakan dari pengguna menjadikan NAPZA sebagai pelarian

atau pemecahan suatu masalah.

4.2 SARAN

Upaya mencegah kekambuhan klien dengan penyalahgunaan

NAPZA sangat tergantung dari motivasi internal dari klien itu sendiri untuk

terlepas dari kecanduan. Tidak kalah penting dari hal itu juga peran serta

orang terdekat untuk senantiasa memberi dukungan dan memberikan

pengawasan kepada penderita.

Page 31: penyalahgunaan NAPZA terhadap pasien dengan gangguan jiwa

DAFTAR PUSTAKA

(2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas) mengenai

penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta:

Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Direktorat Jenderal

Kesehatan Masyarakat.

(2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di tempat

rehabilitasi pada pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat Kesehatan

Jiwa Masyarakat Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen

Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.

Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan).

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Cokingting, P.S., Darst,E, dan Dancy, B. 1992. Mental Health and Psichiatric

Nursing. Chapter 8. Philadelpia : J.B.,Lippincott Company

Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman penyelenggaraan

sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika,

psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan

RI.

Gunawan, Weka.2006.Keren Tanpa Narkoba.Jakarta:Grasindo

Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (narkotik, alkohol

dan zat adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Joewana, S. (2004). Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat

Psikoaktif. Jakarta: EGC.

Marviana, dkk. (2000). Narkoba dan Remaja. Jakarta: Gramedia.

Partodihardjo,Subagyo.2010.Kenali Narkoba dan Musuhi

Penyalahgunaannya.Jakarta:Esensi

Purba, Jenny Marlindawani. Et al. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan

Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press

Stuart, Gail W. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3rd ed. Jakarta : EGC

Winarno, Heri. Et al. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan

Jarum Suntik Bergantian Diantara Pengguna Napza Suntik di Semarang Jurnal

Promosi Kesehatan Indonesia. vol 3 no.2

Wresniwiro. (1999). Narkoba dan Pengaruhnya. Jakarta: Widya Medika.