7
ISSN: 2655-1586 31 JURNAL ILMIAH MAHASISWA ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN VOLUME 3, No.1, Februari 2019, hal 31-37 Penguatan Konsep Kearifan Lokal Sebagai Bentuk Keharmonisan Lingkungan Hidup Dan Sosial Pada Perancangan Perumahan Dhuafa Di Kota Lhokseumawe Ana Raihan Putri 1 , Muslimsyah 2 , Laila Qadri 2 . 1 Mahasiswa Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala 2 Dosen Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Alamat Email penulis: [email protected] Abstract Dhuafa housing design in the city of Lhokseumawe is a goverment and the Lhokseumawe citizen effort to provide decent housing for the economically listed people below the poverty. In this design, the author tries to present the concept of dhuafa housing which is a form of the harmonization of environment and social life. It planned as the built environment. At once, a new area for the dhuafa in the city of Lhokseumawe in developing the quality of their economic life, by utilizing the potential of the surrounding environment. Dhuafa housing will be equipped with public facilities such as mosque, commercial space, hall, early childhood, and garden, and facilities for assisted economy which include, skill training room (processing of organic and inorganic waste into commercial objects), fish breeding and Urban farming.The purpose of the design is to create a more orderly urban spaces and avoid slum areas as well as to improve the standard of living of the community by providing basic needs of a decent habitable living with facilities that support economic activities of the dhuafa. This design also applies the theme of contextual architecture with emphasis on local wisdom. The use of natural materials wrapped with local vernacular architectural styles, exploited to harmonize the cultural, natural and social environment, in the bandage of modern progress. Keywords: Dhuafa Housing, Housing, Lhokseumawe, Contextual Architecture, Harmony, Local Wisdom. Abstrak Perancangan perumahan dhuafa di kota Lhokseumawe merupakan suatu upaya Pemerintah Kota dan masyarakat Lhokseumawe dalam menyediakan rumah layak huni untuk kalangan yang tercatat secara ekonomi berada di bawah garis kemiskinan. Pada perancangan ini, penulis mencoba menghadirkan konsep perancangan perumahan dhuafa yang merupakan bentuk harmonis lingkungan hidup dan sosial. Perumahan dhuafa yang direncanakan merupakan sebuah kawasan binaan yang juga akan menjadi kawasan baru untuk kaum dhuafa di kota Lhokseumawe dalam mengembangkan kualitas kehidupan ekonomi mereka, dengan memanfatkan potensi lingkungan sekitar. Perumahan dhuafa akan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas publik seperti, masjid, ruang komersil, aula, PAUD, dan taman, serta fasilitas untuk ekonomi binaan yang meliputi, ruang pelatihan keterapilan skill (pengolahan sampah organik dan anorganik menjadi benda komersil), penangkaran ikan dan urban farming. Tujuan perancangan adalah untuk menciptakan ruang kota yang lebih tertata dan terhindar dari perkampungan kumuh sekaligus untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan penyediaan kebutuhan dasar tempat tinggal layak huni yang lengkap dengan fasilitas yang mendukung kegiatan ekonomi kaum dhuafa. Perancangan ini juga menerapkan tema arsitektur konstektual dengan penekanan pada kearifan lokal (local wisdom). Pengunaan material alami dibalut dengan gaya arsitektur vernakular setempat, diharapkap mampu menghadirkan harmonisasi budaya, lingkungan alam dan sosial, di dalam balutan kemajuan modern. Kata Kunci: Perumahan Dhuafa, Perumahan, Lhokseumawe, Arsitektur Kontekstual, Harmonis, Kearifan Lokal. 1. Pendahuluan UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman yang menyebutkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Kota Lhokseumawe, dari total luas wilayah 15.344 Ha kawasan kumuh mencapai 194,5 Ha. Hal itu membuat Lhokseumawe menjadi salah satu kota yang diprioritaskan penanganan kawasan kumuh oleh Kementrian PU dan Perumahan Rakyat (PR) sebagai kota yang memiliki kawasan kumuh ke 139 dari kabupaten/kota di tanah air. Di Indonesia saat ini ada 286 kabupaten/kota yang memiliki kawasan atau permukiman kumuh dengan luas areal 38.411 hektare. Sementara Kota Lhokseumawe memiliki luas kawasan kumuh atau pemukiman kumuh 194,5 hektare dan

Penguatan Konsep Kearifan Lokal Sebagai Bentuk

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ISSN: 2655-1586

31 JURNAL ILMIAH MAHASISWA ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN VOLUME 3, No.1, Februari 2019, hal 31-37

Penguatan Konsep Kearifan Lokal Sebagai Bentuk Keharmonisan Lingkungan

Hidup Dan Sosial

Pada Perancangan Perumahan Dhuafa Di Kota Lhokseumawe

Ana Raihan Putri

1, Muslimsyah

2, Laila Qadri

2.

1Mahasiswa Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala

2Dosen Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala

Alamat Email penulis: [email protected]

Abstract Dhuafa housing design in the city of Lhokseumawe is a goverment and the Lhokseumawe citizen effort to

provide decent housing for the economically listed people below the poverty. In this design, the author tries to present

the concept of dhuafa housing which is a form of the harmonization of environment and social life. It planned as the

built environment. At once, a new area for the dhuafa in the city of Lhokseumawe in developing the quality of their

economic life, by utilizing the potential of the surrounding environment. Dhuafa housing will be equipped with public

facilities such as mosque, commercial space, hall, early childhood, and garden, and facilities for assisted economy

which include, skill training room (processing of organic and inorganic waste into commercial objects), fish breeding

and Urban farming.The purpose of the design is to create a more orderly urban spaces and avoid slum areas as well as

to improve the standard of living of the community by providing basic needs of a decent habitable living with facilities

that support economic activities of the dhuafa. This design also applies the theme of contextual architecture with

emphasis on local wisdom. The use of natural materials wrapped with local vernacular architectural styles, exploited to

harmonize the cultural, natural and social environment, in the bandage of modern progress.

Keywords: Dhuafa Housing, Housing, Lhokseumawe, Contextual Architecture, Harmony, Local Wisdom.

Abstrak

Perancangan perumahan dhuafa di kota Lhokseumawe merupakan suatu upaya Pemerintah Kota dan

masyarakat Lhokseumawe dalam menyediakan rumah layak huni untuk kalangan yang tercatat secara ekonomi berada

di bawah garis kemiskinan. Pada perancangan ini, penulis mencoba menghadirkan konsep perancangan perumahan

dhuafa yang merupakan bentuk harmonis lingkungan hidup dan sosial. Perumahan dhuafa yang direncanakan

merupakan sebuah kawasan binaan yang juga akan menjadi kawasan baru untuk kaum dhuafa di kota Lhokseumawe

dalam mengembangkan kualitas kehidupan ekonomi mereka, dengan memanfatkan potensi lingkungan sekitar.

Perumahan dhuafa akan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas publik seperti, masjid, ruang komersil, aula, PAUD, dan

taman, serta fasilitas untuk ekonomi binaan yang meliputi, ruang pelatihan keterapilan skill (pengolahan sampah

organik dan anorganik menjadi benda komersil), penangkaran ikan dan urban farming. Tujuan perancangan adalah

untuk menciptakan ruang kota yang lebih tertata dan terhindar dari perkampungan kumuh sekaligus untuk

meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan penyediaan kebutuhan dasar tempat tinggal layak huni yang lengkap

dengan fasilitas yang mendukung kegiatan ekonomi kaum dhuafa. Perancangan ini juga menerapkan tema arsitektur

konstektual dengan penekanan pada kearifan lokal (local wisdom). Pengunaan material alami dibalut dengan gaya

arsitektur vernakular setempat, diharapkap mampu menghadirkan harmonisasi budaya, lingkungan alam dan sosial, di

dalam balutan kemajuan modern.

Kata Kunci: Perumahan Dhuafa, Perumahan, Lhokseumawe, Arsitektur Kontekstual, Harmonis, Kearifan Lokal.

1. Pendahuluan UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Permukiman yang menyebutkan, bahwa setiap orang

berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat

tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik

dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia,

dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam

pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai

salah satu upaya membangun manusia Indonesia

seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif.

Kota Lhokseumawe, dari total luas wilayah 15.344

Ha kawasan kumuh mencapai 194,5 Ha. Hal itu

membuat Lhokseumawe menjadi salah satu kota yang

diprioritaskan penanganan kawasan kumuh oleh

Kementrian PU dan Perumahan Rakyat (PR) sebagai

kota yang memiliki kawasan kumuh ke 139 dari

kabupaten/kota di tanah air. Di Indonesia saat ini ada

286 kabupaten/kota yang memiliki kawasan atau

permukiman kumuh dengan luas areal 38.411 hektare.

Sementara Kota Lhokseumawe memiliki luas kawasan

kumuh atau pemukiman kumuh 194,5 hektare dan

ISSN: 2655-1586

32 JURNAL ILMIAH MAHASISWA ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN VOLUME 3, No.1, Februari 2019, hal 31-37

kawasan kumuh itu diperkirakan akan bertambah lagi

menjadi 81,30 hektar (Harian Analisa, 18 Juni 2016)

Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota

Lhokseumawe menerima 2.000 permohonan bantuan

rumah kaum dhuafa pada tahun 2013. Sedangkan

Pemko Lhokseumawe melalui Dinas Perkerja Umum

(PU) hanya membangun 96 rumah dhuafa dengan pagu

dana senilai Rp 7,2 miliar pada tahun 2014 dan 79

rumah dhuafa pada tahun 2015, yang berarti sejak tahun

2013 hingga 2015, Pemerintah Lhokseumawe telah

membangun hanya 175 rumah.

Berdasarkan data di

atas, dari total 2.000 permohonan bantuan rumah, masih

ada 1.825 permohonan (Ir. Zulkifli, Kepala Dinas Cipta

Karya Aceh, dilansir dari Tabloid Tabangun Aceh edisi

59 Oktober 2016, halaman 11).

Pembangunan rumah bantuan oleh pemerintah

memiliki standarisasi tertentu terkait dengan harga

bangunan dan dana yang perlu disediakan ,sehingga hal

tersebut secara langsung telah mempengaruhi bentukan

dan luasan rumah bantuan. Rumah tipe 36 sampai 45

merupakan alternatif terakhir yang disediakan oleh

pemerintah sebagai tipe untuk rumah bantuan, padahal

terkait luasan standar luas lantai berdasarkan SNI-03-

1733-2004 disebutkan bahwa untuk 1 keluarga dengan

asusmsi 5 anggota (2 orang tua dan 3 anak) luas lantai

minimum yang harus dipenuhi adalah 51 m2.

Perhitungan luas lantai minimum yang distandarkan

oleh SNI di hitung berdasarkan kebutuhan udara segar

setiap jiwa dalam 1 jam di dalam ruangan. Sehingga

rumah dengan luas lantai di bawah dari 51 m2 dapat

dikatan rumah tersebut tidak sehat dan tidak layak huni.

Pemberian rumah bantuan dengan luas lantai 36 m2

maupun 45 m2 pada kaum dhuafa dapat dikatakan

kurang efektif, dengan luasan tersebut mereka tidak

mendapatkan standar uadara segar minimum, sehingga

mereka hidup di dalam rumah yang masih tidak layak

huni. Secara sosialpun, rumah dengan luasan tersebut

juga menjadi penegasan identitas penghuni yang

merupakan kaum tidak mampu. Hal ini tidak dapat

mengahdirkan keselarasan tingkat sosial di kehidupan

bermasyarakat.

Untuk itu, pada perancangan ini, tanpa mengurangi

standar nyaman dan standar minimum tersebut, penulis

mencoba menghadirkan konsep perumahan dhuafa yang

sehat dan layak huni dengan memanfaatkan pontensi

kearifan lokal yang tersedia di lokasi perancangan,

seperti penggunaan material-material alami lokal,

memanfaatkan potensi air dan lahan, serta melestarikan

kembali budaya dan sosialisai antar masyarakat. Dengan

ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk perancangan

perumahan bantuan lainnya agar dapat memberikan

rumah dengan standar sehat dan layak huni tanpa

adanya keberatan dalam hal pendanaan. Sehingga

nantinya akan membentuk suatu keselarasan dan

keharmonisan lingkungan hidup dan sosial bagi

penghuninya.

2. Metode Perancangan

Metode yang digunakan terdiri dari beberapa

langkah merancang, yaitu:

2.1 Studi Objek Perancangan Perumahan Dhuafa di Kota

Lhokseumawe diawali dengan kajian berupa studi

terhadap objek dan menganalisis beberapa studi banding

yang sesuai dengan objek.

2.2 Studi Lokasi Kajian yang dilakukan berupa studi terhadap

tapak dan lingkungan, yaiutu potensi-potensi lahan yang

bisa dimanfaatkan untuk keberlansungan hidup sehat

dan layak. Studi dilakukan pada lingkup yang

berhubungan langsung dengan tapak yang berlokasi di

Jalan Teungku Di Lhokseumawe, Desa Banda Masen,

Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe.

2.3 Studi Tema Tema pada perancangan ini diuraikan secara

deskriptif yang menjadi gagasan ide dan konsep pada

bangunan. Sehingga gagasan ide digunakan sebagai

konsep secara fungsional dan dasar pemikiran cara awal

membentuk tatanan lansekap dan bentuk bangunan.

2.4 Analisis Perancangan Merancang Perumahan Dhuafa diperlukan suatu

analisis mengenai fungsional, kondisi lingkungan,

sosial, budaya serta analisis fisik bangunan. Sehingga

akan hadirnya konsep perancangan yang menfanfaatkan

kearifan lokal sehingga sesuai dengan kebutuhan kaum

dhuafa dalam meningkatkan kualitas kehidupan mereka.

2.5 Konsep Perancangan Setelah menganalisis dan menstudi, maka akan

muncul beberapa konsep perancangan yang akan

diterapkan pada rancangan lansekap dan bangunan.

Dengan demikian, terwujudlah hasil rancangan dengan

penguatan kosep kearifan lokal.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Kebutuhan Ruang Perumahan Dhuafa di Kota Lhokseumawe adalah

lingkungan binaan yang secara kuantitatif ruangan

membutuhkan luasan sebagai berikut:

Gambar 1 Standar luas lantai

Gambar 2 Standar luas lantai

ISSN: 2655-1586

33 JURNAL ILMIAH MAHASISWA ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN VOLUME 3, No.1, Februari 2019, hal 31-37

Pada perancangan ini dengan asumsi 5 orang

pengguna (2 orang tua dan 3 anak), mengikuti formula

luasan lantai standar, penulis berasumsi bahwa, ruang

yang disediakan untuk anak, sama besar dengan

kebutuhan orang tua karena anak-anak akan tumbuh

dewasa. Sehingga akan meminimalisir kemungkinan

penambahan ruang oleh pengguna dikemudian hari.

Luas lantai utama = 5x9.6 m2 = 48 m

2

Luas lantai pelayanan = 50%x48 m2= 24 m

2

Total Luas Lantai = 48 m2+24 m

2 =72 m

2

Dengan rincian pada tabel di bawah ini :

Tabel 1 Daftar Besaran Ruang Bangunan Hunian untuk

Perumahan Dhuafa di Kota Lhokseumawe

No. Ruang Analisis

Besaran

Ruang

Sumber Besaran

Ruang

1 Kamar

Tidur

Utama

(2 m x 4

m) + 2 m2

Analisis

Penulis 10 m

2

2 Kamar

Tidur

Anak

2(2 m x 4

m)

Analisis

Penulis 16 m

2

3 Ruang

Keluarga

3 m x 3 m Analisis

Penulis 9 m

2

4 Ruang

Tamu

3 m x 3 m Analisis

Penulis 9 m

2

5 Dapur

Ruang

Makan

(3 m x 1,5

m) +2,25

Analisis

Penulis 6,75 m

2

6 Kamar

Mandi

1,5 m x 1,5

m

Analisis

Penulis 2,25 m

2

7 Teras 3 m x 3 m Analisis

Penulis 9 m

2

8 Total 62 m2

9 62 m2 + 15% Sirkulasi 72 m

2

Tabel 2 Daftar Besaran Ruang Bangunan Publik untuk

Perumahan Dhuafa di Kota Lhokseumawe

No Kebutuhan Ruang Sumber Besaran

Ruang

1 Masjid (400 orang) SNI-03-1733 600 m2

2 PAUD (90 orang) Analisis

Penulis

400 m2

3 Ruang Pelatihan

Skill (100)

Analisis

Penulis

520 m2

4 Aula (400 orang) SNI-03-1733 573 m2

5 Toko (10 unit) Analisis

Penulis

80 m2

Total 2,173 m2

Berdasarkan perhitungan di atas, kebutuhan luas

lantai minimum adalah dua kali lipat dari luasan lantai

yang disediakan oleh pemerintah pada kasus perumahan

bantuan selama ini, yaitu rumah bantuan tipe 36 dengan

anggaran 1 rumah seharga 77 juta rupiah. Pada

perancangan ini penulis memberikan solusi luasan lantai

hunian yang lebih luas, tanpa meningkatkan dana yang

distandarkan, yaitu dengan penggunaan material-

material lokal. Selain itu pada site direncakan adanya

runag untuk kegiatan produktivitas komersil petani dan

nelayan, yaitu urban farming, pengolahan sampah

menjadi barang ekonomi dan penangkaran ikan,

diharapkan masyarakat dhuafa dapat meningkatkan

kualitas hidup mereka.

3.2 Perancangan dengan Penerapan Arsitektur

Kontekstual dan Penekanan pada Kearifan

Lokal 3.2.1 Studi tapak dan lingkungan

Tabel 3 Deskripsi Lokasi Perancangan

No. Lokasi Perancangan Jalan Teungku Di

Lhokseumawe, Desa

Banda Masen,

Mukim

Lhokseumawe Utara,

Kecamatan Banda

Sakti Kota

Lhokseumawe 1 Luas Lahan 10,6 Ha 2 Peruntukan Lahan Permukiman 3 Kepadatan Sedang 4 Peraturan Pemerintah KDB 80% 5 GSB 4 m 6 Batasan lokasi 7 Sebelah Utara Kebun Kelapa dan

Permukiman warga 8 Sebelah Timur Jalan Kenari 9 Sebelah Barat Tambak 10 Sebelah Selatan Sekolah IT

Gambar 3 Peta lokasi

ISSN: 2655-1586

34 JURNAL ILMIAH MAHASISWA ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN VOLUME 3, No.1, Februari 2019, hal 31-37

Gambar 4 lokasi Site

3.2.2 Studi tema

Pada Perancangan Perumahan Dhuafa di Kota

Lhokseumawe ini, tema yang dipilih adalah penerapan

Arsitektur Kontekstual, pemilihan tema didasarkan pada

tujuan dari perancangan dan fungsi dari perumahan,

yaitu menciptakan konsep perumahan dhuafa yang

memiliki harmonisasi dengan lingkungannya, baik

secara fisik maupun non fisik (sosial). Pembentukan

harmonisasi tersebut diharapkan bisa terbentuk bukan

sekedar dari kesamaan dengan bentukan bangunan pada

kondisi existing site saat ini, tetapi juga harus mampu

menunjukkan identitas perancangan dengan

penyesuaian pada lingkungan.

Pada Perancangan Perumahan Dhuafa di Kota

Lhokseumawe ini, tema akan mempengaruhi segala

aspek perancangan, seperti site plan, denah, fasade, dan

material. Kemudian berdasarkan gaya arsitektural yang

ingin ditonjolkan adalah arsitektur vernakular, maka

secara umum, hasil perancangan dan konsep yang

diharapkan akan sesuai dengan kebudayaan Aceh.

Dalam kasus ini akan mengaplikasikan unsur-unsur

desain yang ada pada rumah Aceh pada rancangan,

terutama adalah sistem rumah panggung.

3.2.3 Penerapan tema

a. Penerapan tema terhadap konsep tapak

Gambar 5 Analisis terhadap iklim

Konsep-konsep kearifan yang diterapkan pada

tapak adalah hasil penyesuaian dengan effesiensi energi

dan iklim setempat, yaitu effesiensi lahan, konservasi

tanaman, konservasi air, memaksimalkan pencahayaan

dan penghawaaan alami, menggunakan bahan material

rumah lingkungandan alami, serta adanya pengelolaan

persampahan.

Gambar 6 Analisis terhadap iklim

Adapun effesiensi penggunaan lahan dipaparkan

pada tabel tata guna lahan berikut ini.

Tabel 4 Tata Guna Lahan

No Kebutuhan Ruang Jumlah

Unit

Besaran

Ruang

1 Hunian (Lantai 1 :

36 m2)

365 13.140 m2

2 Masjid 1 600 m2

3 PAUD 1 400 m2

4 Ruang Pelatihan Skill 1 520 m2

5 Aula 1 573 m2

6 Toko 10 80 m2

Total 15.313 m2

No Kebutuhan Ruang Besaran

Ruang

Sumber

1 Hunian dan Fasilitas

Penunjang

15.313

m2

Analisis

2 Sarana Jalan 25% 26,500m2 Analisis

3 Parkir 3% Luas

Pelayanan

65,19 m2 SNI 03-

1733-2004

Total

41.878,19 m2 atau 40%

dari luas lahan dan

80% dari KDB

ISSN: 2655-1586

35 JURNAL ILMIAH MAHASISWA ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN VOLUME 3, No.1, Februari 2019, hal 31-37

No Kebutuhan Ruang Besaran

Rruang

Sumber

1 Area Terbangun 40%

Luas Lahan

41.878,19

m2

Analisis

2 Taman bersama, area

urban farming, ruang

terbuka hijau, danau,

lapangan olahraga,

dll. 60% luas lahan

64.121,81

m2

Analisis

Total 106,000 m2

b. Penerapan tema terhadap konsep bentuk

bangunan dan material

Konsep bentuk massa bangunan berasal dari

konsep rumah pangung Aceh. Bentukan ini

dapat menghadirkan ruang bawah yang dapat

digunakan sebagai ruang sosialisai antar

penghuni, sekaligus juga merupakan sebuah

respon yang terhadap lingkungan yang berada

di pinggir sungai.

Gambar 7 Material alami dan struktur rumah pangung

c. Penerapan tema terhadap konsep sosial

Gambar 8 Ilustrasi interaksi masayarakat dalam

menggunakan fasilitas umum

Pada perancangan ini, penulis ingin menghadirkan

bentuk keharmonisan lingkungan hidup dan sosial

dengan mengupakayan adanya konservasi sumber daya

alam seperti tumbuhan, air dan lahan yang maksimal

dan bernilai komersil, untuk meningkatkan kualitas

kehidupan kaum dhuafa di sisi ekonomi dan sosial.

Selain adanya konservasi sumber daya alam, pada

perancangan juga dihadrikan pengelolaan sampah

organik dan anorganik untuk menjadi benda atau barang

bernilai ekonomi.

Gambar 9 Urban farming

Pada perancangan ini, akan diterapkan sitem

vegetasi urban farming atau disebut juga bercocok

tanam perkotaan. Ini merupakan suatu metode

penanaman bibit-bibit tumbuhan yang bisa dikonsumsi

dan juga merupakan salah satu penghijauan yang

dilakukan di perkotaan. Metode ini dapat menghemat

lahan dan memiliki media tanam yang berinovasi sesuai

tuntutan zaman. Metode ini juga merupakan suatu solusi

untuk meningkatkan produktivitas masyarakat dalam

penghasilkan produk terjamin untuk dikonsumsi sendiri.

Sehingga nantinya masyarakat (pengghuni perumahan)

tidak perlu membeli lagi keperluan rempah dan sayur

serta herbal yang dibutuhkan sehari-hari. Contohnya

adalah penanaman belimbing muluh, sebagai perasa

alami untuk makanan khas Aceh, hampir setiap rumah

atau lingkungan perumahan di Aceh menanam tanaman

ini di perkarangan mereka.

ISSN: 2655-1586

36 JURNAL ILMIAH MAHASISWA ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN VOLUME 3, No.1, Februari 2019, hal 31-37

Gambar 10 Pengolahan sampah yang berkelanjutan

4. Hasil

Gambar 10 Fasilitas dan Penzoningannya

Gambar 11 Layout

Gambar 12 Potongan lahan

Gambar 13 Suasana Kawasan Penangkaran Ikan

Penekanan konsep kearifan lokal atau local

wsidom pada perancangan ini terletak pada penggunaan

bahan material, pemanfaatan potensi site yan dibatasi

oleh sungai di sisi selatan serta memiliki danau existing

yang kemudian direncakan sebagai tempat penangkaran

ikan. Selain penggunaan bahan material dan penagkaran

ikan, juga ada urban farming, dimana masyarakat dapat

meneganbangkan sektor pertanian di lahan sendiri.

Gambar 14 Perencanaan Urban Farming

Gambar 15 Suasana Urban Farming

Gambar 16 Tampak Hunian

ISSN: 2655-1586

37 JURNAL ILMIAH MAHASISWA ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN VOLUME 3, No.1, Februari 2019, hal 31-37

5. Kesimpulan Perancangan Perumahan Dhuafa di Kota

Lhokseumawe menitikberatkan konsep rancangan yang

sesuai dengan tema, yaitu arsitektur kontekstual dengan

penekanan pada kearifan lokal (local wisdom) dengan

balutan bentukan bangunan bergaya arsitektur

vernakular rumah panggung Aceh. Penataan layout atau

tata masa bangunan dihasilkan dari pendekatan inside

out city, yang mengutamakan kemudahan akses sebagai

patokan utama penataan masa bangunan. Perancagan

bentukan bangunan dan kebutuhan ruang didasarkan

pada standar-standar yang telah ditetapkan di dalam

SNI, dengan mengalami beberapa analisa dan asumsi

yang disesuaikan. Hasil perancangan ini masih dapat

dikembangkan lebih jauh untuk mendapatkan hasil akhir

yang lebih baik, untuk itu penulis dengan terbuka

menerima kritik, saran-saran dan masukan dari

pembaca.

6. Daftar Pustaka [1] Anonim. 2003. Keputusan Menteri Permukiman dan

Prasarana Wilayah Nomor: 24/Kpts/M/2003

Tentang Pengadaan Perumahan Dan Permukiman

Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan

[2] Anonim. 2011. UU No. 1 Tahun 2011 tentang

Perumahan dan Kawasan Permukiman

[3] Anonim. 2016. Lhokseumawe Prioritaskan

Penanganan Kawasan Kumuh. Harian Analisa, 18

Juni 2016

[4] Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Lhokseumawe

2015. Jumlah angka Kemiskinan Kota Lhokseumawe

[5] Ir. Zulkifli, Kepala Dinas Cipta Karya Aceh, dilansir

dari Tabloid Tabangun Aceh edisi 59 Oktober 2016,

halaman 11.

[6] SNI-03-1733-2004