Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP RISIKO
INFEKSI PERNAFASAN PADA PASIEN POST OPERASI LAPARATOMI DENGAN
GENERAL ANESTESI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LABUANG BAJI
MAKASSAR 2017
Arifuddin 1
Kusnanto 2 Fitrian Rayasari
3
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Program Magister Keperawatan, Fakultas Ilmu
Keperawatan
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan yang menggunakan anestesi. Salah
satu efek general anestesi adalah hypersekresi mucus di saluran pernafasan, untuk mengatasi
salah satunya adalah dengan batuk efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisa pengaruh batuk efektif terprogram terhadap risiko infeksi pernafasan pada pasien
post operasi laparatomi dengan general anestesi di RSUD Labuang Baji Makassar. Besar
sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 orang untuk kelompok intervensi 15 orang dan
kelompok kontrol 15 orang. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, lembar
observasi dan SOP tehnik batuk efektif. Penelitian ini menggunakan desain Quasi
Eksperimental dengan pendekatan pre-test and post-test with control group design. Analisis
data yang digunakan adalah Uji Chi-Square. Hasil yang didapatkan bahwa ada perbedaan
pengaruh latihan batuk efektif terprogram terhadap resiko infeksi pernafasan pada katagori
leukosit dengan nilai P Value = 0,040 (p < 0,05). Suhu dengan nilai P Value = 0,009 (p <
0,05), batuk dengan nilai P Value = 0,006 (p < 0,05), dan frekuensi nafas dengan nilai P
Value = 0,000 (p < 0,05). Saran dari penelitian ini diharapkan tenaga perawat mampu
mengajarkan latihan batuk efektif yang baik dan benar serta mampu memantau pelaksanaan
latihan tersebut, tepatnya pada pasien post operasi dengan general anastesi. Sehingga akan
tercapai manfaat yang lebih maksimal.
Kata kunci : Latihan batuk efektif, infeksi pernapasan, general anestesi.
Kepustakaan : 39 (2007-2017)
LATAR BELAKANG
Operasi atau pembedahan merupakan suatu
penanganan medis secara invasif yang
dilakukan untuk mendiagnosa atau
mengobati penyakit, injuri, atau deformitas
tubuh (Nainggolan, 2013). Kiik (2012)
menyatakan bahwa tindakan pembedahan
akan mencederai jaringan yang dapat
menimbulkan perubahan fisiologis tubuh
dan mempengaruhi organ tubuh lainnya.
Salah satu jenis pembedahan yang
bertujuan untuk mengatasi masalah pada
abdomen adalah laparatomi.
Berdasarkan data yang diperoleh dari
World Health Organization (WHO) dalam
Sartika (2013), jumlah pasien dengan
tindakan operasi mencapai angka
peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat
di tahun 2011 terdapat 140 juta pasien di
seluruh rumah sakit di dunia, sedangkan
pada tahun 2012 data mengalami
peningkatan sebesar 148 juta jiwa.
Tindakan operasi di Indonesia pada tahun
2012 mencapai 1,2 juta jiwa (WHO dalam
Sartika, 2013). Berdasarkan Data Tabulasi
Nasional Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Tahun 2009, tindakan bedah
menempati ururan ke-11 dari 50 pertama
penanganan pola penyakit di rumah sakit
se Indonesia yang diperkirakan 32%
diantaranya merupakan tindakan bedah
laparatomi yang meningkat 15 % dari
tahun sebelumnya (DEPKES RI, 2009).
General anestesi adalah anestesi yang
biasanya dilakukan pada operasi besar,
memerlukan ketenangan dari pasien karena
waktu pelaksanaannya yang lama. Anestesi
ini dilakukan dengan cara memasukkan
obat bius baik secara inhalasi maupun
intravena sesaat sebelum pasien dioperasi.
Obat-obatan tersebut bekerja menghambat
aliran listrik ke otak, sehingga otak tidak
bisa mengenali impuls nyeri di area tubuh
tertentu, membuat pasien dalam kondisi
tidak sadar, dan merelaksasi otot. Semua
obat general anestesi dapat menyebabkan
depresi pernapasan sekunder yang
berlangsung selama operasi hingga paska
operasi sebagai efek sisa anestesi.
Perubahan system pernapasan yang terjadi
pada paru ditandai oleh penurunan volume
paru terutama adanya penurunan VC (Vital
Capacity) yang sangat besar yang dapat
mencapai 40–70% dari nilai pre-
operativnya. Disamping itu juga terjadi
penurunan FRC (Functional Residual
Capacity) yang mempunyai efek yang
signifikan terhadap fungsi paru, yaitu
terjadinya penurunan komplian paru,
peningkatan tahanan jalan napas,
mempercepat kolapsnya paru pada bagian
dependent dan berkontribusi terhadap
abnormalitas dari pertukaran gas (Nur
Basuki, 2009).
Mual muntah pasca operasi atau
postoperative nausea and vomiting
(PONV) adalah efek samping yang sering
terjadi setelah tindakan anestesi, angka
kejadiannya lebih kurang 1/3 dari seluruh
pasien yang menjalani operasi atau terjadi
pada 30% pasien rawat inap dan sampai
70% pada pasien rawat inap yang timbul
dalam 24 jam pertama, Chandra (2012).
Efek lain dari general anestesi pada system
pernapasan adalah penurunan kemampuan
pengontrolan posisi lidah yang akan
berpengaruh terhadap patensi jalan napas,
dan juga penurunan kemampuan batuk
efektif serta muntah, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya penumpukan
sekret pada saluran napas. Reflek batuk
yang masih lemah dan nyeri akibat luka
operasi pada abdomen dapat menimbulkan
akumulasi secret di jalan napas. Kondisi ini
akan menimbulkan komplikasi paska
operasi pada system pernapasan.
(Muttaqin, 2009; Perry & Poter, 2014,
Rondhianto,dkk. 2016).
Hipersekresi mukus dan depresi
pernapasan efek anestesi dan immobilisasi
akan menyebabkan penumpukan sekret di
orofaring. Staphylococcus aureus pada
awalnya merupakan flora normal yang ada
pada saluran napas dalam 48 jam akan
berkembang dan berkolonisasi serta dapat
masuk ke paru-paru melalui inhalasi yang
dapat menyebabkan pneumonia (Kohl &
Hanson, 2010; Rondhianto,dkk. 2016).
Beberapa tindakan pembedahan dengan
derajat sedang sampai operasi besar yang
memerlukan perawatan di ruang intensive
care unit (ICU) dengan lama perawatan 5
sampai 10 hari sering menimbulkan
komplikasi pneumonia. Berdasarkan
national nasocomial infection survailence
system, angka kejadian pneumonia pasca-
operasi mencapai 18% dan angka kesakitan
serta kematian sekitar 30% sampai 46%
tergantung jenis dan tipe pembedahan. hal
tersebut menambah lama rawat inap sekitar
7–9 hari dan meningkatkan biaya
perawatan di rumah sakit sekitar US $
12.000-US $ 40.000 per pasien
(Supriadi,dkk, 2016).
Hasil survey point prevalensi dari 11
rumah sakit di DKI Jakarta yang dilakukan
oleh Perdalin Jaya dan Rumah Sakit
Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso
Jakarta pada tahun 2003 didapatkan angka
infeksi IADP (Infeksi Aliran Darah
Primer) 26,4%, pneumonia 24,5% dan
infeksi saluan napas lain 15,1% (Depkes
RI 2008). Pneumonia adalah infeksi atau
peradangan pada salah satu atau kedua
paru-paru, lebih tepatnya peradangan itu
terjadi pada kantung udara (alveolus,
jamak: alveoli). Kantung udara akan terisi
cairan atau nanah, sehingga menyebabkan
gejala sesak napas (napas cepat), batuk
berdahak, demam, menggigil, dan
kesulitan bernapas. Infeksi tersebut
disebabkan oleh berbagai organisme,
termasuk bakteri, virus dan jamur
(McLuckie, 2009).
Hospital-acquired pneumonia yaitu
neumonia yang didapat di rumah sakit
merupakan infeksi bakteri yang terjadi
selama 48 jam lebih dirawat di rumah sakit
karena penyakit lainnya. Pneumonia ini
bisa lebih serius karena biasanya bakteri
penyebab lebih resisten (kebal) terhadap
antibiotik. Health care-acquired
pneumonia perawatan kesehatan
pneumonia adalah infeksi bakteri yang
terjadi pada orang-orang yang tinggal di
fasilitas perawatan jangka panjang atau
telah dirawat di klinik rawat jalan,
termasuk pusat-pusat dialisis ginjal.
Pneumonia aspirasi yaitu terjadi ketika
seseorang menghirup makanan, minuman,
muntahan atau air liur masuk ke dalam
paru-paru. Pengobatan utama pneumonia
tergantung pada jenis pneumonianya
(penyebab) dan tingkat keparahannya,
sehingga ada yang hanya perlu rawat jalan,
namun beberapa perlu perawatan inap di
rumah sakit atau klinik, Jeffrey C.
Pommerville (2010).
Batuk efektif beserta teknik melakukanya
akan memberikan banyak manfaat
diantaranya untuk melonggarkan dan
melegakan pernapasan maupun mengatasi
asma akibat adanya lendir yang memenuhi
saluran pernapasan baik dalam bentuk
sputum maupun secret dalam hidung yang
timbul akibat adanya infeksi pada saluran
pernapasan maupun karena sejumlah
penyakit yang diderita seseorang serta
untuk mengeluarkan sekret yang
menyumbat jalan napas dan untuk
meringankan keluhan saat terjadi sesak
napas pada penderita jantung, (Depkes RI,
2011). Tujuan dari batuk efektif adalah
Melatih otot pernapasan agar dapat
melakukan fungsi dengan baik,
mengeluarkan dahak atau sputum yang ada
disaluran pernapasan dan melatih pasien
agar terbiasa melakukan cara pernapasan
dengan baik (Depkes RI, 2011).
Studi pendahuluan yang telah dilakukan di
RSUD Labuang Baji Makassar yaitu
rumah sakit Negeri kelas B yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran
spesialis dan subspesialiasi luas sehingga
oleh pemerintah di tetapkan sebagai
rujukan regional atau sebagai rumah sakit
pemerintah daerah (PEMDA). Jumlah
pasien dengan general anestesi pada tahun
2016 adalah 964 pasien. Hasil wawancara
dengan perawat di bangsal yang merawat
pasien paska operasi di RSUD Labuang
Baji Makassar diperoleh informasi bahwa
dalam sehari rata rata terdapat 1-2 pasien
pasca operasi laparatomi dengan general
anestesi mengalami peningkatan sekresi
mukus dan saliva. Masalah lain yang
ditemukan pada pasien pasca operasi
laparatomi dengan general anestesi selain
nyeri, pasien mengeluhkan rasa haus,
mual, muntah, bibir kering, dan berdahak.
Dalam pengelolan pasien pasca operasi
dengan general anestesi di RSUD Labuang
Baji Makassar adalah dengan latihan
napas dalam dengan teknik deep breathing
exercise (DBE) yang bertujuan untuk
memperbaiki ventilasi, meningkatkan
kapasitas paru dan mencegah kerusakan
paru. Pemberian latihan batuk efektif pasca
operasi laparatomi dengan general anestesi
belum menjadi pilihan di RSUD.Labuang
Baji Makassar karena pasien takut luka
operasi bertambah nyeri, perdarahan dan
khawatir jahitan luka operasi terlepas.
Dalam penelitian Rondhianto, dkk (2016)
responden diajarkan batuk efektif yaitu
cara batuk yang benar untuk membantu
dalam membuang sekret beserta bakteri
termasuk Staphylococcus aureus, sehingga
jalan napas menjadi bersih dan bakteri
Staphylococcus aureus menjadi berkurang
jumlahnya yang ada di jalan napas. Dalam
keadaan normal saluran pernapasan
memproduksi sekitar 100 ml sekret per
harinya. Pada keadaan lingkungan yang
tidak mendukung seperti pemberian obat
anestesi ataupun dalam keadaan sakit,
maka produksi dahak bertambah, oleh
karena itu sekret harus dikeluarkan dengan
jalan batuk efektif.
Menurut model konsep Dorothea E. Orem
berfokus pada self care dan kebutuhan
perawatan diri pasien untuk
mempertahankan kehidupan, kesehatan,
perkembangan dan kesejahtraan. Ada 3
prinsip dalam keperawatan diri sendiri
yaitu: 1). Perawatan diri yang bersifat
holistik, seperti kebutuhan oksigen, air,
nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, 2).
Perawatan mandiri yang harus dilakukan
sesuai dengan tumbuh kembang manusia,
3). Perawatan mandiri yang harus
dilakukan karena adanya masalah
kesehatan atau penyakit (Alligood, 2017).
Self care adalah kemampuan individu
untuk melakukan perawatan diri.
Perawatan diri dapat mengalami gangguan
atau hambatan bila seseorang jatuh pada
kondisi sakit atau kondisi yang melelahkan
seperti stres fisik dan psikologis. Self- care
deficit terjadi apabila self -care agency
lebih kecil dari self-care demands atau
kemampuan lebih kecil dari kebutuhan.
Apa bila kekuatan self-care demands lebih
besar atau sama dengan self -care agency
maka tidak terjadi deficit atau klien mampu
memenuhi self-care. Pada saat klien
mengalami deficit maka dibutuhkan
nursing agency melalui nursing system
yaitu apakah klien di bantu sepenuhnya,
sebagian atau hanya dengan dukungan dan
pendidikan. Nursing agency menggunakan
kegiatan gabungan berarti bahwa kegiatan
perawat perlu dikoordinasi, dilakukan
secara serentak atau berhubungan dengan
layanan asuhan keperawatan yang akan
diberikan. Seseorang yang melakukan
kegiatan ini harus mempunyai pengetahuan
tentang asuhan keperawatan yang
diberikan sehingga dapat mengambil suatu
keputusan yang tepat bagi klien
(Burhanuddin, 2016).
Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Diketahuinya pengaruh latihan batuk
efektif terprogram terhadap risiko
infeksi pernapasan pada pasien post
operasi laparotomi dengan general
anestesi bagi perawat di RSUD
Labuang Baji Makassar
2. Praktisi
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan
masukan bagi manajemen RSUD
Labuang Baji Makassar terhadap
mutu pelayanan keperawatannya.
b. Memperkaya sumber bacaan di
bidang keperawatan serta dapat
dijadikan acuan penelitian lebih
lanjut.
c. Dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalan meningkatkan
kualitas pemberian asuhan
keperawatan kepada pasien secara
profesional.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain Quasi
Eksperimental. Menurut Sopiyuddin
(2013), penelitian Quasi Eksperimental
merupakan desain yang memiliki
kelompok kontrol yang bertujuan untuk
mengungkapkan hubungan sebab akibat
dan pemilahan kedua kelompok tersebut
dilakukan dengan cara Non Random atau
tidak acak. Penelitian ini menggunakan
pre-test and post-test with control group
design. Dalam penelitian ini responden
adalah pasien pasca operasi laparatomi
yang dipilih tanpa melakukan random
kemudian akan dibagi dalam dua
kelompok, untuk kelompok intervensi akan
diberikan latihan batuk efektif terprogram
sedangkan untuk kelompok kontrol akan
diberikan juga perlakuan sesuai dengan
standar operasional prosedur yang
ditetapkan oleh RSUD Labuang Baji
Makassar. Selanjutnya untuk kedua
kelompok tersebut akan dilakukan pre-test
sebelum intervensi dan dilakukan post-tes
setelah dilakukan intervensi (Kelana,
2011).
Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek
penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam
penelitian ini adalah semua pasien post
operasi laparatomi dengan general
anastesi yang di rawat di ruang rawat
inap dalam 3 bulan terakhir januari
sampai dengan maret 2017 mencapai
97 orang di RSUD Labuang Baji
Makassar.
2. Sampel Sampel adalah sebagian yang diambil
dari keseluruhan objek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi
(Sopiyuddin, 2016). Dalam penelitian
ini penarikan sampel dilakukan secara
tidak acak non probability sampling
yang menggunakan metode
consecutive sampling. Sampel dalam
penelitian ini adalah pasien post
operasi dengan general anastesi di
RSUD Labuang Baji Makassar. Maka
peneliti mengambil sampel 15 untuk
masing-masing kelompok intervensi
dan kelompok kontrol sehingga total
sampel sebanyak 30 orang.
Tempat & Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang rawat
inap RSUD Labuang Baji Makassar yang
merupakan salah satu rumah sakit rujukan
paru di Sulawesi Selatan. Waktu
penelitian yang digunakan adalah sekitar 3
bulan meliputi persiapan satu bulan,
pelaksanaan satu bulan, dan perekapan satu
bulan. Waktu penelitian akan di mulai pada
bulan April sampai dengan bulan Juni
2017.
Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data atau Instrument
penelitian merupakan alat-alat yang akan
digunakan untuk pengumpulan data.
Instrument penelitian ini dapat berupa :
lembar observasi, formulir–formulir lain
berkaitan dengan pencatatan data dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2012).
Dalam penelitian ini digunakan kuesioner
terkait karakteristik responden, lembar
observasi dengan risiko infeksi saluran
pernapasan dan SOP batuk efektif untuk
mengumpulkan yang terdiri dari:
1. Kuesioner mengenai karakteristik
responden.
Kuesioner mengenai karakteristik
responden terdiri dari usia, jenis
kelamin, pendidikan dan pekerjaan,
selanjutnya kebiasaan merokok.
2. Standar Operasional Prosedur
Pelaksanaan batuk efektif terpadu
dengan menggnakan standar
operasional prosedur yang terdiri dari
pengertian, tujuan, indikasi,
kontraindikasi, persipan alat, persiapan
klien, prosedur pelaksanaan yang terdiri
dari 13 langkah, evaluasi dan 5 hal yang
harus diperhatikan.
3. Infeksi pernapasan
Untuk pengukuran infeksi pernapasan
yaitu: kadar leukosit diukur dengan
pemeriksaan laboratorium dengan hasil
ukur 1. Leukositosis (>12000 /µl, 2.
Normal (4000-12000 / µl . Suhu diukur
dengan menggunakan alat ukur
thermometer dengan hasil ukur 1. >
37,5 °C dan 2. 36-37,5°C. Batuk diukur
dengan menggunakan lembar observasi
dengan hasil ukur 1. Berdahak dan 2.
Tidak berdahak. Suara napas diukur
dengan menggunakan Stetoskop dengan
hasil ukur 1. Tidak normal dan 2.
Normal. Sesak napas diukur
menggunakan lembar observasi dengan
hasil ukur 1. Sesak napas dan 2. Tidak
sesak napas. Irama napas diukur dengan
menggunakan lembar observasi dengan
hasil ukur 1. Irama tidak teratur dan 2.
Irama teratur. Frekuensi napas diukur
dengan menggunakan lembar observasi
dengan hasil ukur 1. RR > 20 x/menit
dan 2. RR 16-20 x/menit (frekuensi
normal). Usia diukur dengan
menggunakan lembar observasi diukur
dalam satuan usia dalam tahun.
Kebiasaan merokok diukur dengan
menggunakan lembar observasi dengan
hasil ukur 1. Merokok, 2. Tidak
merokok.
Analisa Data
1. Analisa Univariat
Analisis Univariat adalah analisis yang
bertujuan untuk menjelaskan atau
medeskripsikan karakteristik distribusi
frekuensi variabel yang diteliti
(Hastono, 2010). Hasil analisis
meliputi proporsi untuk data kategorik
sedangkan mean, median, standar
deviasi, nilai minimal dan maksimal
untuk data numerik. Variabel yang
dilakukan analisis meliputi usia, jenis
kelamin, agama, pendidikan dan
pekerjaan dengan jenis data kategorik
sehingga menggunakan analisis
statistik distribusi frekuensi.
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat merupakan analisa
data terhadap variabel penelitian
dilakukan untuk mengetahui apakah
ada perbedaan antara 2 kelompok
(Hastono & Sabri, 2011). Analisa
bivariat pada penelitian ini adalah uji
hipotesis komparatif numerik
berpasangan, dengan alasan peneliti
membandingkan 2 metode dengan 2
kali pengukuran (pre-test dan post-
test), analisis data yang digunakan
adalah Uji Chi-Square.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini akan ditampilkan
dalam bentuk distribusi frekuensi,analisa
univariat dan bivariat.
A. Analisis Univariat
Analisis univariat dalam penelitian ini
meliputi karakteristik pasien post
operasi laparotomi yang terdiri dari
usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, riwayat merokok, dan risiko
infeksi pernapasan (pemeriksaan
leukosit, suhu, batuk, sesak napas,
suara napas, irama napas dan frekuensi
napas) pada kelompok latihan batuk
efektif terprogram dan tidak
terprogram. Deskripsi variabel dapat
dilihat sebagai berikut :
1. Gambaran Karakteristik
Responden
Tabel dibawah ini menunjukan
karakteristik responden
berdasarkan usia, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, riwayat
merokok jumlah 30 responden.
Table 5.1 Distribusi Responden
Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan,
Pekerjaan, Riwayat Merokok di RSUD Labuang
Baji Makassar (n=30) N
o
Variable Deskripsi Katagori
Kelompok
Intervensi
n=15
Kelompok
Kontrol
n=15
F % F %
1 Usia 15-25 tahun
26-30 tahun
31-40 tahun
> 40 tahun
0
1
4
10
0
3,3
13,3
33,3
2
0
8
5
13,3
0
53,3
16,7
2 Jenis
Kelamin
Laki-laki
Perempuan
11
4
36,7
13,3
9
6
30,0
20,0
3 Pendidikan Tidak
sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan
Tinggi
1
10
2
1
1
3,3
33,3
6,7
3,3
3,3
1
4
5
4
1
3,3
13,3
16,7
13,3
3,3
4 Pekerjaan IRT
Buruh
Petani
Wiraswasta
Guru
Pelajar
4
3
4
3
1
0
13,3
10,0
13,3
10,0
3,3
0
4
2
2
4
1
2
13,3
6,7
6,7
13,3
3,3
6,7
5 Kebiasaan
Merokok
Tidak
Merokok
Merokok
10
5
33,3
16,7
10
5
33,3
16,7
Pada table 5.1 dapat disimpulkan bahwa
mayoritas yang menjadi responden pada
kelompok intervensi adalah mayoritas usia
>40 tahun sebanyak 10 orang (33,3). Jenis
kelamin responden mayoritas laki-laki
sebanyak 11 orang (36,7%). Pada
umumnya pendidikan responden
berpendidikan SD sebanyak 10 orang
(33,3%). Mayoritas pekerjaan responden
sebagai ibu rumah tangga sebanyak 4
orang (13,3%) dan petani sebanyak 4 orang
(13,3%). Dan kebiasaan merokok dari
responden mayoritas tidak merokok
sebanyak 10 orang (33,3%).
Sedangkan pada kelompok kontrol adalah
mayoritas usia 31-40 tahun sebanyak 8
orang (53,3). Jenis kelamin responden
mayoritas laki-laki sebanyak 9 orang
(30,0%). Pada umumnya pendidikan
responden berpendidikan SMP sebanyak 5
orang (16,7%). Mayoritas pekerjaan
responden sebagai ibu rumah tangga
sebanyak 4 orang (13,3%) dan wiraswasta
sebanyak 4 orang (13,3%). Dan kebiasaan
merokok dari responden mayoritas tidak
merokok sebanyak 10 orang (33,3%).
2. Statistik Deskriptif
Distribusi kadar leukosit, suhu,
kondisi batuk, kondisi sesak, suara
napas, irama napas, dan frekuensi
napas responden di RSUD.
Labuang Baji Makassar. Table 5.2
Distribusi kadar leukosit, suhu, kondisi batuk, kondisi sesak,
suara napas, irama napas, dan frekuensi napas responden di
RSUD. Labuang Baji Makassar
No Variable Kelompok
Intervensi
Kelompok Kontrol
Mean SD Mean SD
1 Kadar Leukosit
Pre test
Post test
1,67
1,80
0,488
0,414
3,07
1,80
0,488
0,414
2 Suhu
Pre test
Post test
1,73
1,80
0,458
0,414
1,73
1,80
0,458
0,414
3 Kondisi Batuk
Pre test
Post test
1,47
1,60
0,516
0,507
1,47
1,60
0,516
0,507
4 Kondisi Sesak
Pre test
Post test
1,73
1,93
0,458
0,258
1,73
1,93
0.458
0,258
5 Suara Napas
Pre test
Post test
1,87
1,93
0,352
0,258
1,87
1,93
0,352
0,258
6 Irama Napas
Pre test
Post test
1,73
1,87
0,458
0,352
1,73
1,93
0,458
0,352
7 Frekuensi
Napas
Pre test
Post test
1,67
1.67
0,488
0,488
1,67
1.67
0,488
0,488
Statistik deskriptif yang tertera pada tabel
5.2 berguna untuk mengetahui karakter
sampel yang digunakan dalam penelitian.
Dari tabel dapat dilihat bahwa N atau
jumlah sampel adalah 30 responden di
antranya 15 kelompok intervensi dan 15
responden kelompok kontrol. Responden
diambil dari populasi responden pasca
operasi laparatomi yang baresiko
mengalami infeksi pernafasan di RSUD
Labuang Baji Makassar. Mean atau rata-
rata berfungsi memberikan informasi
mengenai nilai tengah dari sebaran data-
data yang ada. Standar deviasi adalah nilai
statistik yang digunakan untuk menentukan
bagaimana sebaran data dalam sampel, dan
seberapa dekat titik data sampel ke mean
atau rata-rata nilai sampel.
B. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk
menjelaskan perbedaan antara variabel,
analisis ini dinilai sebelum dan sesudah
diberikan latihan batuk efektif
terprogram terhadap sampel yang
berisiko mengalami infeksi pernapasan
di RSUD Labuang Baji Makassar.
Analisa bivariat dilakukan dengan
menggunakan uji statistik Chi-Square
dilakukan pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol untuk
mengetahui perbedaan pengaruh batuk
efektif terhadap risiko pernapasan
antara sebelum dan sesudah diberikan
intervensi. Secara lengkap hasil analisis
sebagai berikut:
1. Risiko Infeksi Pre dan Post
Intervensi Terprogram
Analisis pengaruh latihan batuk
efektif terprogram terhadap risiko
infeksi pada responden di RSUD.
Labuang Baji Makassar dianalisis
dengan Chi-Square. Hasil analisis
dapat dilihat pada tabel 5.3. Tabel 5.3
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif
Terprogram Terhadap Leukosit Pada
Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)
Leuk
osit
Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Tidak
norm
al
Normal
N % N % N % 0,022
Tidak
normal
3 60 2 40 5 33,3
Normal 0 0,0 10 83,
3
10 66,7
Total 3 20 12 80,
0
15 100
Hasil analisis pada tabel 5.3 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif
terprogram terdapat 5 orang
(33,3%) responden yang
mempunyai leukosit tidak normal,
dan 10 orang (66,7%) responden
mempunyai leukosit normal.
Setelah diberikan latihan batuk
efektif terprogram terdapat 3 orang
(20,0%) responden yang masih
mempunyai leukosit tidak normal
dan 12 orang (80,0%) responden
mempunyai leukosit normal. Hasil
uji statistik Chi-Square
menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan leukosit
responden sebelum dan setelah
diberikan latihan batuk efektif
terprogram dengan nilai P Value =
0,022 (p < 0,05). Tabel 5.4
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Suhu Pada Responden di
RSUD. Labuang Baji Makassar
(n=15) Suhu Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Tidak
normal
Normal
N % N % N % 0,009
Tidak
normal
3 75,0 1 25,0 4 26,
7
Normal 0 0,0 11 91,7 11 73,
3
Total 3 20,0 12 80,0 15 10
0
Hasil analisis pada tabel 5.4 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif
terprogram terdapat 4 orang
(26,7%) responden yang
mempunyai suhu tidak normal, dan
11 orang (73,3%) responden
mempunyai suhu normal. Setelah
diberikan latihan batuk efektif
terprogram terdapat 3 orang
(20,0%) responden yang masih
mempunyai suhu tidak normal dan
12 orang (80,0%) responden
mempunyai suhu normal. Hasil uji
statistik Chi-Square menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan suhu responden sebelum
dan setelah diberikan latihan batuk
efektif terprogram dengan nilai P
Value = 0,009 (p < 0,05). Tabel 5.5
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Batuk Pada Responden di
RSUD. Labuang Baji Makassar
(n=15) Batuk Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Berdaha
k
Tidak
Berdahak
N % N % N % 0,006
Berdahak 6 75,
0
2 22,
2
8 53,
3
Tidak
Berdahak
0 0,0 7 77,
8
7 46,
7
Total 6 75,
0
12 80,
0
15 10
0
Hasil analisis pada tabel 5.5 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif
terprogram terdapat 8 orang
(53,3%) responden yang
mempunyai batuk berdahak, dan 7
orang (46,7%) responden
mempunyai batuk tidak berdahak.
Setelah diberikan latihan batuk
efektif terprogram terdapat 6 orang
(75,0%) responden yang masih
mempunyai batuk berdahak dan 12
orang (80,0%) responden
mempunyai batuk tidak berdahak.
Hasil uji statistik Chi-Square
menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan batuk
responden sebelum dan setelah
diberikan latihan batuk efektif
terprogram dengan nilai P Value =
0,006 (p < 0,05). Tabel 5.6
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif
Terprogram Terhadap Sesak Napas Pada
Responden di RSUD. Labuang Baji
Makassar
(n=15) Sesak Napas Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Sesak Tidak
sesak
N % N % N % 0,267
Sesak 1 22,
0
3 75,
0
4 26,
7
Tidak
sesak
0 0,0 1
1
77,
8
11 73,
3
Total 1 6,7 1
4
93,
3
15 10
0
Hasil analisis pada tabel 5.6 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif
terprogram terdapat 4 orang
(26,7%) responden yang masih
sesak napas, dan 11 orang (73,3%)
responden yang tidak sesak napas.
Setelah diberikan latihan batuk
efektif terprogram terdapat 1 orang
(6,7%) responden yang masih sesak
napas 14 orang (93,3%) responden
yang tidak sesak napas. Hasil uji
statistik Chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat pengaruh
yang signifikan sesak napas
responden sebelum dan setelah
diberikan latihan batuk efektif
terprogram dengan nilai P Value =
0,267 > 0,05. Tabel 5.7
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Suara Napas Pada
Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar
(n=15) Suara Napas Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Tidak
normal
Normal
N % N % N % 0,867
Tidak
normal
0 0,0 2 14,
7
2 13,
3
Normal 1 7,7 12 93,
3
13 86,
7
Total 1 6,7 14 93,
3
15 10
0
Hasil analisis pada tabel 5.7 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif
terprogram terdapat 2 orang
(13,3%) responden yang
mempunyai suara napas tidak
normal, dan 13 orang (86,7%)
responden mempunyai suara napas
normal. Setelah diberikan latihan
batuk efektif terprogram terdapat 1
orang (6,7%) responden yang masih
mempunyai suara napas tidak
normal dan 14 orang (93,3%)
responden mempunyai suara napas
normal. Hasil uji statistik Chi-
Square menunjukkan bahwa tidak
terdapat pengaruh yang signifikan
suara napas responden sebelum dan
setelah diberikan latihan batuk
efektif terprogram dengan nilai P
Value = 0,867 > 0,05. Tabel 5.8
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Irama Napas Pada
Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar
(n=15) Irama Napas Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Tidak
teratur
Teratur
N % N % N % 0,057
Tidak
teratur
2 50,
0
2 50.
0
4 26,
7
Teratur 0 0,0 11 84,
6
11 73,
3
Total 2 13,
3
13 84,
7
15 10
0
Hasil analisis pada tabel 5.8 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif
terprogram terdapat 4 orang
(26,7%) responden yang
mempunyai irama napas tidak
teratur, dan 11 orang (73,3%)
responden mempunyai irama napas
teratur. Setelah diberikan latihan
batuk efektif terprogram terdapat 2
orang (13,3%) responden yang
masih mempunyai irama napas
tidak teratur dan 13 orang (84,7%)
responden mempunyai irama napas
teratur. Hasil uji statistik Chi-
Square menunjukkan bahwa tidak
terdapat pengaruh yang signifikan
irama napas responden sebelum
dan setelah diberikan latihan batuk
efektif terprogram dengan nilai P
Value = 0,057 > 0,05. Tabel 5.9
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif
Terprogram Terhadap Frekuensi Napas Pada
Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)
Frekuensi Napas Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Tidak
normal
normal
N % N % N % 0,000
Tidak
normal
5 10
0
0 0.0 5 33,
3
Normal 0 0,0 10 10
0
10 66,
7
Total 5 33,
3
10 66,
7
15 10
0
Hasil analisis pada tabel 5.9 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif
terprogram terdapat 5 orang
(33,3%) responden yang
mempunyai frekuensi napas tidak
normal, dan 10 orang (66,7%)
responden mempunyai frekuensi
napas normal,. Setelah diberikan
latihan batuk efektif terprogram
terdapat 5 orang (33,3%) responden
yang masih mempunyai frekuensi
napas tidak normal, dan 10 orang
(66,7%) responden mempunyai
frekuensi napas normal. Hasil uji
statistik Chi-Square menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan frekuensi napas
responden sebelum dan setelah
diberikan latihan batuk efektif
terprogram dengan nilai P Value =
0,000 (p < 0,05).
2. Risiko Infeksi Pre dan Post
Intervensi Tidak Terprogram
Analisis pengaruh latihan batuk
efektif tidak terprogram terhadap
risiko infeksi pada responden di
RSUD. Labuang Baji Makassar
dianalisis dengan Chi-Square. Hasil
analisis dapat dilihat pada tabel
5.10. Tabel 5.10
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak
Terprogram Terhadap Leukosit Pada
Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar
(n=15) Leuk
osit
Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Tidak
normal
Normal
N % N % N % 0,400
Tidak
normal
1 16,
7
5 35,
7
6 40,
0
Normal 0 0,0 9 64,
3
9 60,
0
Total 1 6,7 14 63,
3
15 10
0
Hasil analisis pada tabel 5.10 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif tidak
terdapat 6 orang (40,0%) responden
yang mempunyai leukosit normal
tidak normal, dan 9 orang (60,0%)
responden mempunyai leukosit
normal. Setelah diberikan latihan
batuk efektif tidak terprogram
terdapat 1 orang (6,7%) responden
yang masih mempunyai leukosit
tidak normal dan 14 orang (63,3%)
responden mempunyai leukosit
normal. Hasil uji statistik Chi-
Square menunjukkan bahwa tidak
terdapat pengaruh yang signifikan
leukosit responden sebelum dan
setelah diberikan latihan batuk
efektif tidak terprogram dengan
nilai P Value = 0,400 > 0,05.
Tabel 5.11
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif tidak Terprogram Terhadap Suhu Pada Responden di
RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)
Suhu Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Tidak
normal
Normal
N % N % N % 0,267
Tidak
normal
2 25,
0
6 46,
2
8 53,
3
Normal 0 0,0 7 53,
8
7 46,
7
Total 2 13,
3
13 86,
7
15 10
0
Hasil analisis pada tabel 5.11 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif tidak
terprogram terdapat 8 orang
(53,3%) responden yang
mempunyai suhu tidak normal, dan
7 orang (46,7%) responden
mempunyai suhu normal. Setelah
diberikan latihan batuk efektif tidak
terprogram terdapat 2 orang
(13,3%) responden yang masih
mempunyai suhu tidak normal dan
13 orang (86,7%) responden
mempunyai suhu normal. Hasil uji
statistik Chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat pengaruh
yang signifikan suhu responden
sebelum dan setelah diberikan
latihan batuk efektif tidak
terprogram dengan nilai P Value =
0,267 > 0,05. Tabel 5.12
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak Terprogram Terhadap Batuk Pada Responden di
RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15) Batuk Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Berdaha
k
Tidak
Berdahak
N % N % N % 0,363
Berdahak 3 27,
3
8 66,
7
11 73,
3
Tidak
Berdahak
0 0,0 4 33,
3
4 26,
7
Total 3 20,
0
12 80,
0
15 10
0
Hasil analisis pada tabel 5.12 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif tidak
terprogram terdapat 11 orang
(73,3%) responden yang
mempunyai batuk berdahak, dan 4
orang (26,7%) responden yang
batuk tidak berdahak. Setelah
diberikan latihan batuk efektif tidak
terprogram terdapat 3 orang
(20,0%) responden yang masih
mempunyai batuk berdahak dan 12
orang (80,0%) responden yang
tidak berdahak. Hasil uji statistik
Chi-Square menunjukkan bahwa
tidak terdapat pengaruh yang
signifikan batuk responden sebelum
dan setelah diberikan latihan batuk
efektif tidak terprogram dengan
nilai P Value = 0,363 >0,05. Tabel 5.13
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak Terprogram Terhadap Sesak Napas Pada
Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)
Sesak Napas Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Sesak Tidak
sesak
N % N % N % 0,000
Sesak 5 100 0 0,0 5 33,3
Tidak
sesak
0 0,0 10 10
0
10 66,7
Total 5 33,3 10 66,
7
15 100
Hasil analisis pada tabel 5.13 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif tidak
terprogram terdapat 5 orang
(33,3%) responden yang
mempunyai sesak napas, dan 10
orang (66,7%) responden tidak
sesak. Setelah diberikan latihan
batuk efektif tidak terprogram
terdapat 5 orang (33,3%) responden
yang masih sesak napas dan 10
orang (66,7%) responden yang
tidak sesak. Hasil uji statistik Chi-
Square menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan
sesak napas responden sebelum dan
setelah diberikan latihan batuk
efektif tidak terprogram dengan
nilai P Value = 0,000 (p < 0,05).
Tabel 514
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak Terprogram Terhadap Suara Napas Pada
Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar
(n=15) Suara Napas Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Tidak
normal
Normal
N % N % N % 0,524
Tidak
normal
0 0,0 4 30,
8
4 26,
7
Normal 2 18,
2
9 69,
2
11 73,
3
Total 2 13,
3
13 86,
7
15 10
0
Hasil analisis pada tabel 5.14 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif tidak
terprogram terdapat 4 orang
(26,7%) responden yang
mempunyai suara napas tidak
normal, dan 11 orang (73,3%)
responden mempunyai suara napas
normal. Setelah diberikan latihan
batuk efektif tidak terprogram
terdapat 2 orang (13,3%) responden
yang masih mempunyai suara
napas tidak normal dan 13 orang
(86,7%) responden mempunyai
suara napas normal. Hasil uji
statistik Chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat pengaruh
yang signifikan suara napas
responden sebelum dan setelah
diberikan latihan batuk efektif tidak
terprogram dengan nilai P Value =
0,524 > 0,05. Tabel 5.15
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak
Terprogram Terhadap Irama Napas Pada
Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar
(n=15) Irama Napas Post Test
Total
P
Value
Pre
Test
Tidak
teratur
Teratur
N % N % N % 0,200
Tidak
teratur
1 33,
3
2 14,
3
3 20,
0
Teratur 0 0,0 12 85,
7
12 80,
0
Total 1 6,7 14 93,
3
15 10
0
Hasil analisis pada tabel 5.15 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif tidak
terprogram terdapat 3 orang
(20,0%) responden yang
mempunyai irama napas tidak
teratur, dan 12 orang (80,0%)
responden mempunyai irama napas
teratur. Setelah diberikan latihan
batuk efektif tidak terprogram
terdapat 1 orang (6,7%) responden
yang masih mempunyai irama
napas tidak teratur dan 14 orang
(93,3%) responden mempunyai
irama napas teratur. Hasil uji
statistik Chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat pengaruh
yang signifikan irama napas
responden sebelum dan setelah
diberikan latihan batuk efektif tidak
terprogram dengan nilai P Value =
0,200 > 0,05. Tabel 5.16
Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak
Terprogram Terhadap Frekuensi Napas Pada
Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)
Frekuensi Napas Post Test
Total
P Value
Pre
Test
Tidak
normal
normal
N % N % N % 0,007
Tidak
normal
5 71,
4
2 20,
0
7 46,
7
Normal 0 0,0 8 80,
0
8 53,
3
Total 5 33,
3
10 66,
7
1
5
10
0
Hasil analisis pada tabel 5.16 pada
penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi
didapatkan bahwa sebelum
diberikan latihan batuk efektif tidak
tidak terprogram terdapat 7 orang
(46,7%) responden yang
mempunyai frekuensi napas tidak
normal, dan 8 orang (53,3%)
responden mempunyai frekuensi
napas normal. Setelah diberikan
latihan batuk efektif tidak
terprogram terdapat 5 orang
(33,3%) responden yang masih
mempunyai frekuensi napas tidak
normal, dan 10 orang (66,7%)
responden mempunyai frekuensi
napas normal. Hasil uji statistik
Chi-Square menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan
frekuensi napas responden sebelum
dan setelah diberikan latihan batuk
efektif tidak terprogram dengan
nilai P Value = 0,007 (p < 0,05).
PEMBAHASAN
Penelitian pada kelompok ini menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh latihan batuk
efektif terprogram terhadap risiko infeksi
pernapasan dengan menggunakan indikator
kadar leukosit, suhu, batuk, sesak napas,
suara napas, irama napas, dan frekuensi
napas diantaranya sebagai berikut:
1. Kadar leukosit
Dimana hasil penelitian ini
menunjukkan data dari risiko infeksi.
Pada penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi didapatkan
bahwa sebelum diberikan latihan batuk
efektif terprogram terdapat 5 orang
(33,3%) responden yang mempunyai
leukosit normal tidak normal, dan 10
orang (66,7%) responden mempunyai
leukosit normal. Setelah diberikan
latihan batuk efektif terprogram
terdapat 3 orang (20,0%) responden
yang masih mempunyai leukosit tidak
normal dan 12 orang (80,0%)
responden mempunyai leukosit normal.
Hasil uji statistik Chi-Square
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan leukosit responden
sebelum dan setelah diberikan latihan
batuk efektif terprogram dengan nilai P
Value = 0,040 (p < 0,05).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Diah Susmiarti
(2014), Hasil foto thoraks yang
menggambarkan adanya infiltrat dan
terdapatnya bakteri C. Freundii pada
kultur sputum responden 3 menambah
skor pada penilaian CPIS. Menurut
Porzecanski (2006) berdasarkan pada
kriteria klinik National Nosocomial
Infection Surveillance System (NNIS)
untuk diagnosis pneumonia tidak hanya
ditentukan berdasarkan satu gejala
klinis saja yaitu peningkatan suhu
seperti yang terjadi pada responden 1
akan tetapi penegakan diagnosis
pneumonia dapat ditegakkan dengan
kriteria klinis lain yaitu leukositosis.
Menurut Isselbacher (1999) perubahan
warna dan konsistensi pada seseorang
menunjukkan adanya infeksi oleh
bakteri atau kuman penyebab. Dahak
atau sputum yang dikeluarkan terdiri
dari air, elektrolit dan glukosa, lendir
glikoprotein, transudat, dan lipid
sehingga diperlukan pemeriksaan
sputum yang teliti yang akan
memperjelas keadaan pasien dari pada
pemeriksaan sputum secara kasat mata.
Nilai PaO 2/FiO2 pada responden 3
yaitu < 240 seperti yang terjadi pada
responden 1. Menurut Morton (2012)
tekanan parsial oksigen dalam darah
arteri (PaO2) menggambarkan tingkat
kelarutan oksigen di dalam plasma,
sedangkan fraksi oksigen inspirasi
(FiO2) merupakan jumlah kandungan
oksigen inspirasi yang diberikan oleh
ventilator ke pasien dengan konsentrasi
21-100%. Nilai normal PaO2/FiO2
yaitu 300–500. Adanya penurunan
PaO2/FiO2 menggambarkan
perburukan pada sistem respirasi
pasien. Bakteri C. Freundii yang
ditemukan pada hasil kultur sputum
responden 3 merupakan enterobacter
spesies, gram negatif, berbentuk
batang, anaerob dan merupakan flora
normal pada saluran pencernaan.
Adapun pergerakan bakteri ini ke organ
lain dikaitkan dengan lemahnya daya
tahan tubuh penderita.
Analisis peneliti bahwa bahwa
diagnosis infeksi pernapasan tidak
hanya ditentukan berdasarkan satu
gejala klinis saja yaitu peningkatan
suhu, tetapi penegakan diagnosis
infeksi pernapasan dapat ditegakkan
dengan kriteria klinis lain yaitu
leukositosis. Apabila suhu tubuh naik
terlalu tinggi, sel-sel tubuh dapat
mengalami kerusakan, hususnya sel-
sel pada sistem saraf sedangkan
leukositosis yang terjadi merupakan
tanda reaksi tubuh terhadap masuknya
mikroorganisme patogen dengan
meningkatkan jumlah dan jenis sel-sel
darah putih yang beredar di mana
leukosit atau sel darah putih berperan
dalam melindungi tubuh terhadap
infeksi dan bakteri berbahaya.
2. Suhu
Pada penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi didapatkan
bahwa sebelum diberikan latihan batuk
efektif terprogram terdapat 4 orang
(26,7%) responden yang mempunyai
suhu normal tidak normal, dan 11
orang (73,3%) responden mempunyai
suhu normal. Setelah diberikan latihan
batuk efektif terprogram terdapat 3
orang (20,0%) responden yang masih
mempunyai suhu tidak normal dan 12
orang (80,0%) responden mempunyai
suhu normal. Hasil uji statistik Chi-
Square menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan suhu
responden sebelum dan setelah
diberikan latihan batuk efektif
terprogram dengan nilai P Value =
0,009 (p < 0,05).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Diah Susmiarti
(2014), Pada responden 1 terdapat
peningkatan suhu pada hari ke 3 yaitu
≥ 39° C disertai adanya sputum namun
tidak purulent dan tidak ada
peningkatan leukosit. Nilai PaO2 = 93
dan FiO2 = 40% didapatkan
PaO2/FiO2 = 232,5. Penilaian foto
thorak hari ke 3 terhadap responden 1
tidak dapat dilaksanakan oleh karena
mesin thoraks cito bed sedang dalam
perbaikan, sedangkan foto thoraks hari
ke 1 adanya infiltrat sulit terbaca
dikarenakan adanya hemotoraks pada
rongga pleura. Hasil kultur sputum
terdapat adanya bakteri klebsiella
ozaenae.
Menurut Porzecanski (2006)
berdasarkan pada kriteria klinik
National Nosocomial Infection
Surveillance System (NNIS) bahwa
adanya tanda klinis demam > 38° C (>
100,4°F) yang bukan disebabkan
gangguan lain merupakan salah satu
tanda klinik adanya infeksi nosokomial
pneumonia. Menurut Kowalak (2012)
demam terjadi ketika agen penyebab
infeksi memasuki tubuh. Kenaikan
suhu akan membantu tubuh melawan
infeksi karena banyak mikroorganisme
tidak bisa hidup dalam lingkungan
yang panas. Apabila suhu tubuh naik
terlalu tinggi, sel-sel tubuh dapat
mengalami kerusakan, hususnya sel-sel
pada sistem saraf sedangkan
leukositosis yang terjadi merupakan
tanda reaksi tubuh terhadap masuknya
mikroorganisme patogen dengan
meningkatkan jumlah dan jenis sel-sel
darah putih yang beredar di mana
leukosit atau sel darah putih berperan
dalam melindungi tubuh terhadap
infeksi dan bakteri berbahaya.
Menurut Augustyn (2007) penurunan
terhadap kemampuan tubuh dalam
menyaring dan melembabkan udara
pada saluran nafas atau berkurangnya
reflek batuk akibat adanya
endotrachealtube serta terganggunya
mechanisms clearanse dari silia dalam
pembersihan karena cedera mukosa
selama intubasi. Adanya endotracheal
tube akan menyediakan tempat bagi
bakteri untuk masuk ke dalam trakea,
keadaan selanjutnya dari halhal
tersebut akan meningkatkan produksi
dan sekresi lendir. Mekanisme
pertahanan alami pasien yang menurun
akan meningkatkan kemungkinan
kolonisasi bakteri dari mikrorganisme.
Analisis peneliti bahwa demam terjadi
ketika agen penyebab infeksi
memasuki tubuh. Kenaikan suhu akan
membantu tubuh melawan infeksi
karena banyak mikroorganisme tidak
bisa hidup dalam lingkungan yang
panas. Apabila suhu tubuh naik terlalu
tinggi, sel-sel tubuh dapat mengalami
kerusakan, khususnya sel-sel pada
sistem saraf. Sehingga dibutukan
latihan batuk efektif untuk membantu
meransang terbukanya sistim koleteral,
meningkatkan distribusi ventilasi,
meningkatkan volume paru dan
memfasilitasi pembersihan saluran
napas.
3. Batuk
Pada penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi didapatkan
bahwa sebelum diberikan latihan batuk
efektif terprogram terdapat 8 orang
(53,3%) responden yang mempunyai
batuk berdahak, dan 7 orang (46,7%)
responden mempunyai batuk tidak
berdahak. Setelah diberikan latihan
batuk efektif terprogram terdapat 3
orang (20,0%) responden yang masih
mempunyai batuk berdahak dan 12
orang (80,0%) responden mempunyai
batuk tidak berdahak. Hasil uji statistik
Chi-Square menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan
batuk responden sebelum dan setelah
diberikan latihan batuk efektif
terprogram dengan nilai P Value =
0,006 (p < 0,05).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh (Yuliati Alie dan
Rodiyah, 2013) dimana dalam
penelitiannya dihasilakn pengeluaran
sputum sesudah dilatih batuk efektif
secara terprogram dari 24 responden 19
responden (79,2%) dapat
mengeluarkan sputum dan 5 responden
(20,8%) tidak dapat mengeluarkan
sputum. Pemeriksaan specimen
menunjukkan adanya peningkatan rata-
rata volume sputum yaitu pada
specimen 1 (sebelum batuk efektif
terprogram) sebesar 0,32 cc menjadi
0,88 cc pada specimen 1 (sesudah
dilatih batuk efektif terprogram),
sedangkan pada specimen 2 (sesudah
dilatih batuk efektif terprogram) rata-
rata volume sputum menjadi 1,6 cc.
Pemeriksaan specimen menunjukkan
adanya peningkatan volume sputum
yang dihasilkan dari pasien TB paru
yang telah diajarkan bagaimana batuk
efektif. Berdasakan hasil penelitian
perbandingan specimen 1 (sebelum
batuk efektif terprogram) dengan
specimen post 2 (setelah batuk efektif
terprogram) sebanyak 19 responden
(79,2%) mengalami peningkatan
volume sputum (cc) yang dihasilkan
setelah bantuk efektif. Sedangkan 5
responden (20,8) tidak mengalami
peningkatan sputum (cc) yang
dihasilkan setelah batuk efektif.
Dalam penelitian (Yosef Agung
Nugroho, 2011) dimana hasil penelitian
pengaruh batuk efektif terhadap
pengeluaran dahak pada pasien dengan
ketidakefektifan bersihan jalan nafas
sehingga uji pengaruh menggunakan
uji Wilcoxon untuk melihat kemaknaan
pengaruh batuk efektif dengan α = 0,05
didapatkan p=0,003 (p<0,05) berarti
bahwa berarti ada pengaruh sebelum
dan sesudah perlakuan batuk efektif.
Hasil penelitian menunjukkan ada
perubahan yang signifikan sebelum dan
sesudah diberikan tindakan batuk
efektif, dengan riwayat penyakit
responden yang berbeda – beda seperti
asma bronchial, bronkopneumonia,
bronchitis, efusi pleura.
Latihan batuk efektif merupakan
aktivitas perawat untuk membersihkan
sekresi pada jalan nafas. Tujuan batuk
efektif adalah meningkatkan mobilisasi
sekresi dan mencegah resiko tinggi
retensi sekret. Pemberian batuk efektif
dilaksanakan terutama pada klien
dengan masalah keperawatan ketidak
efektifan jalan nafas dan masalah
resiko tinggi infeksi saluran pernafasan
bagian bawah yang berhubungan
dengan akumulasi sekret pada jalan
nafas yang sering disebabkan oleh
kemampuan batuk yang menurun atau
adanya nyeri setelah pembedahan
thoraks atau pembedahan abdomen
bagian atas sehingga klien merasa
malas untuk melakukan batuk.
Batuk diperlukan untuk membuang
produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja
batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yakni
setelah berminggu-minggu atau
berbulan-bulan peradangan bermula.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering
kemudian setelah timbul peradangan
menjadi produktif (menghasilkan
sputum). Tetapi kadang-kadang tidak
mudah untuk mengeluarkan sputum.
Terutama pada pasien yang tidak batuk
atau batuk yang non produktif. Dalam
hal ini dianjurkan satu hari sebelum
pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
minum sebanyak 2 liter dan diajarkan
melakukan reflek batuk. untuk
mempermudah pengeluaran sputum
dapat dipengaruhi beberapa faktor
yaitu batuk efektif, postural drainase,
vibrating dan clapping.
Analisis peneliti bahwa batuk efektif
penting untuk menghilangkan
gangguan pernapasan dan menjaga
paru-paru agar tetap bersih. Batuk
efektif dapat di berikan pada pasien
dengan cara diberikan posisi yang
sesuai agar pengeluaran dahak dapat
lancar. Batuk efektif ini merupakan
bagian tindakan keperawatan untuk
pasien dengan gangguan penapasan
akut dan kronis dimana batuk efektif
yang baik dan benar akan dapat
mempercepat pengeluaran dahak pada
pasien dengan gangguan saluran
pernafasan.
4. Sesak
Pada penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi didapatkan
bahwa sebelum diberikan latihan batuk
efektif terprogram terdapat 4 orang
(26,7%) responden yang masih sesak,
dan 11 orang (73,3%) responden yang
tidak sesak. Setelah diberikan latihan
batuk efektif terprogram terdapat 1
orang (6,7%) responden yang masih
mempunyai sesak dan 14 orang
(93,3%) responden yang tidak sesak.
Hasil uji statistik Chi-Square
menunjukkan bahwa tidak terdapat
pengaruh yang signifikan sesak napas
responden sebelum dan setelah
diberikan latihan batuk efektif
terprogram dengan nilai P Value =
0,267 > 0,05.
Penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian yang di lakukan oleh (Erva
Elli Kristiani, 2011) berdasarkan hasil
penelitian didapatkan hasil yaitu
pengeluaran dahak awal pada pasien
dengan ketidakefektifan bersihan jalan
nafas di instalasi rehabilitasi medik RS
Baptis Kediri. Frekuensi pengeluaran
dahak awal adalah sedikit 8 (53,33%).
Dahak adalah materi yang dikeluarkan
dari saluran napas bawah oleh batuk
(FKUI,2001). Orang dewasa normal
bisa memproduksi mukus (sekret
kelenjar) sejumlah 100 ml dalam
saluran napas setiap hari. Mukus ini
digiring ke faring dengan mekanisme
pembersihan silia dari epitel yang
melapisi saluran pernapasan. Keadaan
abnormal produksi mukus yang
berlebihan (karena gangguan fisik,
kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada
membran mukosa), menyebabkan
proses pembersihan tidak berjalan
secara adekuat normal seperti tadi,
sehingga mukus ini banyak tertimbun.
Bila hal ini terjadi, membran mukosa
akan terangsang, dan mukus akan
dikeluarkan dengan tekanan
intrathorakal dan intra abdominal yang
tinggi (Darmanto, 2006).
Dalam penelitian (Yosef Agung
Nugroho, 2011) menunjukkan
pengeluaran dahak sebelum perlakuan
batuk efektif pada pasien dengan
ketidakefektifan bersihan jalan nafas
lebih dari 50% sedikit sebanyak 8
responden (53,33%). Lebih dari 50%
responden mengeluarkan dahak sedang
kemungkinan dipengaruhi keadaan
pasien sehingga pasien sulit
mengeluarkan dahak, karena
disebutkan pada teori pasien
memproduksi dahak setiap hari
sebanyak 100 ml di saluran pernapasan
sehingga memicu dahak menumpuk di
saluran pernapasan dan responden
dengan keadaan yang kurang baik
seperti sesak, lemas, dan susah untuk
batuk bisa memungkinkan responden
kesulitan untuk mengeluarkan dahak.
Oleh karena itu kebanyakan responden
mengeluarkan dahak dalam jumlah
yang sedikit.
Analisis peneliti berdasarkan observasi
pada pasien dengan ketidakefektifan
bersihan jalan nafas pasien mengalami
sesak, terdengar suara nafas seperti
mengi, pusing, lemas. Hal ini
dibutuhkan solusi untuk mengatasinya
salah satunya dengan melakukan batuk
efektif.
5. Suara Napas
Pada penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi didapatkan
bahwa sebelum diberikan latihan batuk
efektif terprogram terdapat 2 orang
(13,3%) responden yang mempunyai
suara napas tidak normal, dan 13 orang
(86,7%) responden mempunyai suara
napas normal. Setelah diberikan latihan
batuk efektif terprogram terdapat 1
orang (6,7%) responden yang masih
mempunyai suara napas tidak normal
dan 11 orang (93,3%) responden
mempunyai suara napas normal. Hasil
uji statistik Chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat pengaruh yang
signifikan suara napas responden
sebelum dan setelah diberikan latihan
batuk efektif terprogram dengan nilai p
value = 0,867 > 0,05.
Dalam penelitia ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Budi Susatia, 2016) dalam
penelitiannya, dimana peneliti
membagi responden menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok yang
diberikan latihan batuk efektif dan
kelompok yang tidak diberikan latihan
batuk efektif. Peneliti mendapatkan
hasil yang sangat signifikan, sangat
jelas bahwa setelah diberikan latihan
batuk efektif sebagian besar responden
8 orang pada kelompok intervensi,
kondisi bersihan jalan nafas kembali
bersih (Ronchi (-), Secret (-)), setelah
24 jam post operasi, dan 2 responden
(20%) yang belum mengalami
pemulihan pada kondisi bersihan jalan
nafas. (Roper, 1996).
Hal ini juga didukung oleh pernyataan
Smeltzer (2001), bahwa batuk
merupakan cara efektif dan efisien
untuk mengeluarkan lendir di saluran
pernapasan. Agar batuk jadi efektif
maka perlu diberikan latihan batuk.
Latihan batuk merupakan cara yang
paling efektif untuk membersihkan
laring, trakea, bronkhioli dari sekret
dan benda asing. Latihan batuk efektif
juga sangat diperlukan bagi klien
terutama klien yang mengalami operasi
dengan general anstesi. Selain karena
efek dari anastesi, pasien juga akan
mengalami pemasangan alat bantu
nafas selama dalam kondisi teranastesi.
Sehingga ketika sadar pasien akan
mengalami rasa tidak nyaman pada
tenggorokan, karena mengalami
gangguan pada bersihan jalan nafasnya.
Dengan terasa banyak lendir kental di
tenggorokan yang disertai dengan
adanya bunyi nafas tambahan (ronchi).
Timbulnya ronchi dikarenakan aliran
udara pada jalan nafas terhambat oleh
adanya penumpukan lendir yang
berlebih. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa proses pembelajaran latihan
batuk efektif pada fase post operasi
sangat berpengaruh terhadap kondisi
bersihan jalan nafas. Pemahaman
tentang teknik latihan batuk efektif
yang lebih awal akan menyebabkan
implementasi yang lebih efektif,
sehingga tujuan yang ingin dicapai
akan lebih mudah dan hasilnya lebih
maksimal.
Analisis peneliti bahwa timbulnya
suara napas tambahan dikarenakan
adanya secret dijalan nafas yang tidak
dikeluarkan atau dimobilisasai secara
efektif, sehingga menyebabkan adanya
bunyi nafas tambahan (ronchi). Dengan
melakukan batuk efektif dapat
memobilisasi secret yang berada di
jalan nafas, karena dengan cara ini
bagian basis paru dapat memperoleh
aliran udara dan mencegah stagnasi
sekret yang merupakan penyebab
utama timbulnya bunyi nafas tambahan
(ronchi).
6. Irama Napas
Pada penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi didapatkan
bahwa sebelum diberikan latihan batuk
efektif terprogram terdapat 4 orang
(26,7%) responden yang mempunyai
irama napas tidak teratur, dan 11 orang
(73,3%) responden mempunyai irama
napas teratur. Setelah diberikan latihan
batuk efektif terprogram terdapat 2
orang (13,3%) responden yang masih
mempunyai irama napas tidak teratur
dan 13 orang (84,7%) responden
mempunyai irama napas teratur. Hasil
uji statistik Chi-Square menunjukkan
bahwa tidak terdapat pengaruh yang
signifikan irama napas responden
sebelum dan setelah diberikan latihan
batuk efektif terprogram dengan nilai P
Value = 0,057 >0,05.
Penelitin ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh (Hendro
Djoko Tj, 2015) dimana bersihan jalan
nafas dapat juga dipengaruhi oleh
pemberian anestesi inhalasi dimana
tindakan ini dapat mengiritasi saluran
nafas, menimbulkan batuk maupun
spasme jalan nafas. Hasil uji Chi
Square diperoleh p=0,011 yaitu Ho
ditolak dan H1 diterima. Hal ini dapat
diartikan bahwa p < 0,05 dimana batuk
efektif mempunyai pengaruh bermakna
terhadap bersihan jalan nafas post
operasi dengan anestesi inhalasi.
Pengaruh yang sangat bermakna ini
terjadi bila tercapai hasil yang
maksimal yaitu pernafasan klien
menjadi normal (16-20 x/menit), irama
nafas teratur, sekret dapat keluar
sedikit/dengan mudah mengeluarkan
sekret banyak, tidak ada pergerakan
cuping hidung, klien jarang.
Analisis peneliti bahwa latihan batuk
efektif merupakan aktivitas perawat
untuk membersihkan sekresi pada jalan
nafas. Tujuan batuk efektif adalah
meningkatkan mobilisasi sekresi dan
mencegah resiko tinggi irama nafas
tidak teratur. Pemberian batuk efektif
dilaksanakan terutama pada klien
dengan masalah keperawatan ketidak
efektifan jalan nafas dan masalah
resiko tinggi infeksi saluran
pernafasan.
7. Frekuensi Napas
Pada penelitian ini dari 15 responden
pada kelompok intervensi didapatkan
bahwa sebelum diberikan latihan batuk
efektif terprogram terdapat 4 orang
(33,3%) responden yang mempunyai
frekuensi napas tidak normal, dan 10
orang (66,7%) responden mempunyai
frekuensi napas normal,. Setelah
diberikan latihan batuk efektif
terprogram terdapat 5 orang (33,3%)
responden yang masih mempunyai
frekuensi napas tidak normal, dan 10
orang (66,7%) responden mempunyai
frekuensi napas normal. Hasil uji
statistik Chi-Square menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan frekuensi napas responden
sebelum dan setelah diberikan latihan
batuk efektif terprogram dengan nilai P
Value = 0,000 (p < 0,05).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh (Sasono
Mardiono, 2013) dimana hasil
penelitiannya didapatkan rata-rata
frekuensi pernafasan sebelum
melakukan batuk efektif yaitu 23,37
kali per menit dengan standar deviasi
6,45, nilai minimum 8 dan maksimum
31, rata-rata frekuensi pernafasan
sesudah melakukan batuk efektif yaitu
19,81 kali per menit dengan standar
deviasi 4,17, nilai minimum 10 dan
maksimum 25, ada perbedaaan yang
signifikan antara frekuensi pernafasan
sebelum dan sesudah tindakan latihan
batuk efektif (p value = 0,000).
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa
menghirup udara dari luar yang
mengandung O2 (oksigen) kedalam
tubuh serta mengembuskan udara yang
banyak mengandung CO2
(karbondioksida) sebagai sisa dari
oksidasi keluar tubuh. Penghisapan ini
disebut inspirasi dan menghembuskan
disebutkan ekspirasi.
Sistem pernapasan terdiri atas paru-
oaru dan system saluran yang
menghubungkan jaringan paru dengan
lingkungan paru yang berfungsi untuk
menyediakan oksigen untuk darah dan
mengbuang karbondiosida. Menurut
teori Parsudi, dkk (2002) dalam
(Suddarth & Brunner, 2002) latihan
nafas dalam adalah bernapas dengan
perlahan dan menggunakan diafragma,
sehingga memungkinkan abdomen
terangkat perlahan dan dada
mengembang penuh.
Sedangkan menurut Brunner &
Suddarth (2002) latihan nafas dalam
bukanlah bentuk dari latihan fisik, ini
merupakan teknik jiwa dan tubuh yang
bisa ditambahkan dalam berbagai
rutinitas guna mendapatkan efek relaks.
Praktik jangka panjang dari latihan
pernafasan dalam akan memperbaiki
kesehatan. Bernafas pelan adalah
bentuk paling sehat dari pernafasan
dalam. Menurut Mutaqin (2008) Batuk
efektif adalah aktivitas perawat untuk
membersihkan sekresi pada jalan nafas,
yang bertujuan untuk meningkatkan
mobilisasi sekresi dan mencegah risiko
tinggi retensi sekresi.
Sedangkan menurut (Kapuk, 2012)
batuk efektif merupakan latihan
mengeluarkan secret yang terakumulasi
dan mengganggu di saluran nafas
dengan cara dibatukkan batuk efektif:
merupakan suatu metode batuk dengan
benar, dimana klien dapat menghemat
energi sehingga tidak mudah lelah dan
dapat mengeluarkan dahak secara
maksimal.
Hasil penelitian ini jugak sejalan
dengan hasil penelitian Pranowo
(2012), membuktikan bahwa latihan
batuk efektif sangat efektif dalam
pengeluaran sputum dan membantu
membersihkan secret pada jalan nafas
serta mampu mengatasi sesak napas
pada pasien TB paru di ruang rawat
inap Rumah Sakit Mardi Rahayu
Kudus dan didukung juga oleh hasil
penelitian Septherisa (2012) yang
membuktikan bahwa adanya efektifitas
latihan batuk efektif dalam peningkatan
sekresi mucus dan membantu
mengatasi sesak napas pada klien
Asma Bronkial d I IRNA Penyakit
Dalam Teratai Rumah Sakit AK. Gani
(Septherisa, 2012).
Analisis peneliti bahwa latihan batuk
efektif terbukti dapat mempengaruhi
frekuensi pernafasan pasien. Tujuan
batuk efektif adalah untuk mencapai
ventilasi yang lebih terkontrol dan
efisien serta untuk mengurangi kerja
bernapas, meningkatkan inflasi
alveolar maksimal, meningkatkan
relaksasi otot, menghilangkan ansietas,
menyingkirkan pola aktifitas otot-otot
pernapasan yang tidak berguna, tidak
terkoordinasi, melambatkan frekuensi
pernafasan, mengurangi udara yang
terperangkap serta mengurangi kerja
bernapas.
PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa:
1. Terdapat pengaruh yang signifikan
leukosit responden sebelum dan
setelah diberikan latihan batuk
efektif terprogram.
2. Terdapat pengaruh yang signifikan
suhu responden sebelum dan
setelah diberikan latihan batuk
efektif terprogram.
3. Terdapat pengaruh yang signifikan
batuk responden sebelum dan
setelah diberikan latihan batuk
efektif terprogram.
4. Tidak terdapat pengaruh yang
signifikan sesak napas responden
sebelum dan setelah diberikan
latihan batuk efektif terprogram.
5. Tidak terdapat pengaruh yang
signifikan suara napas responden
sebelum dan setelah diberikan
latihan batuk efektif terprogram.
6. Tidak terdapat pengaruh yang
signifikan irama napas responden
sebelum dan setelah diberikan
latihan batuk efektif terprogram.
7. Terdapat pengaruh yang signifikan
frekuensi napas responden sebelum
dan setelah diberikan latihan batuk
efektif terprogram.
B. Saran
1. Saran Bagi Rumah Sakit Umum
Daerah Labuang Baji Makassar
Dengan adanya penelitian ini,
diharapkan tenaga perawat mampu
mengajarkan latihan batuk efektif
yang baik dan benar serta mampu
memantau pelaksanaan latihan
tersebut, tepatnya pada pasien post
operasi dengan general anastesi.
Sehingga akan tercapai manfaat
yang lebih maksimal. Pasien
diharapkan menerapkan latihan
batuk efektif setelah operasi jika
menggunakan general anastesi.
Karena latihan tersebut mampu
meningkatkan kondisi bersihan
jalan napas, sehingga kondisi jalan
napas tetap dalam kondisi yang
bersih. Latihan ini bisa terus
dilakukan sampai pasien benar-
benar merasakan bahwa kondisi
bersihan jalan napas sudah baik.
2. Bagi Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini sebagai bahan
pustaka dalam pengembagan ilmu
keperawatan selanjutnya dan
sebagai acuan penelitian
selanjutnya yang terkait dengan
pengaruh latihan batuk efektif
terprogram terhadap risiko infeksi
pernapasan pada pasien post
operasi laparatomi dengan general
anestesi.
3. Bagi penelitian
Untuk pengembangan penelitian
keperawatan maka disarankan bagi
calon peneliti selanjutnya dapat
dilakukan dengan penelitian ulang
yaitu penelitian yang sama, namun
untuk mengetahui infeksi
pernapasan dapat melalui kultur
sputum.
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M., (2017). Nursing Theory And
Their Work. USA.Vol.1 edisi ke-8:
Mosby Elsevier.
Allman,Richard M. et al., (2009). Pressure
Ulcers, Hospital Complications, and
Disease Severity : Impact on
Hospital Costs and Length of Stay.
Advances In Wound Care. 12(1),84-
93.
Anaya, D.A., Dellinger, P.E., (2008).
Surgical complications. Dalam:
Townsend, C.M.,Beauchamp, R.D.,
Evers, B.M., Mattox, K.L.
2008.Sabiston Textbook of Surgery
The Biological Basis of Modern
Surgical Practice. 18 th ed.
Philadelphia: Saunders, pp. 328-334
Andanawari, Sartika., (2013). Hubungan
antara tipe kepribadian dengan
posttraumatic growthpada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA). Skripsi.
Universitas Pendidikan
Indonesia.Bandung.
Arif, Muttaqin., (2009). Asuhan
Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Kardiovaskular
dan hematologi. Salemba Medika,
Jakarta.
Baradero, dkk., (2008). Klien Gangguan
Kardiovaskuler. Jakarta: EGC
Basri, Burhanuddin,, (2016). Teori Ilmu
Keperawatan Para Ahli “ Teori dan
Aplikasi “(Nursing Theorists and
Their Work). Jakarta: Pustaka Muda.
Black,J dan Hawks, J., (2014).
Keperawatan Medikal Bedah:
Manajemen Klinis untuk Hasil yang
Diharapkan. Dialihbahasakan oleh
Nampira R. Jakarta: Salemba Emban
Patria.
Brown, Richard E., (2009). Electric Power
Distribution Reliability, edisi 2, CRC
Press Taylor & Francis Group,
United States of America.
Chandra B., (2012). Pengantar Kesehatan
Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Dahlan, S., (2016). Statistik Untuk
Kedokteran Dan Kesehatan.
Depkes RI., (2008). Millenium
Development Goals. 2015. Jakarta.
Depkes RI., (2011). Profil Kesehatan
Indonesia tahun. 2010. Jakarta.
Dharma, Kelana. K., (2011), Metodologi
Penelitian Keperawatan : Panduan
Melaksanakan dan Menerapkan
Hasil Penelitian, Jakarta, Trans
InfoMedia
Dorland, W.A Newman. (2011). Kamus
Saku Kedokteran Dorland Ed.28
(Alih Bahasa : AlbertusAgung
Mahode). Jakarta : EGC
Hadyan.S dan Ida Bagus.S., (2014).
Penatalaksanaan Anestesia Pada
Laparotomi Kistoma Ovari
Permagna. Jurnal Ilmiah Kedokteran.
Medicina Volume 45 Nomor 2. Mei
2014.
Hilton, Lisette dan Sam Uretsky., (2011).
Seputar Obat Bius: Bag. 2. Diunduh
dari
www.ikatanapotekerindonesia.net/.../
1464-seputar-obat-bius-bagian-
2.html pada tanggal 28 Mei 2011.
Cheap Offers:
http://bit.ly/gadgets_cheap.
Hutapea, Ronald., (2013). Why
Rokok?Tembakau dan Peradaban
Manusia. Jakarta:Bee Media
Indonesia.
Jeffrey, C. dan J. C. Pommerville., (2010).
Microbial Growth and Nutrition
(Chapter 5). Jo nes & Bartlett
Learning Publisher, Sudbury MA.
Jensen, B. M, et al., (2011). Postoperative
changes in fatigue, physical function
and body composition: an analysis of
the amalgated data from five
randomized trials on patien
undergoing colorectal surgery.
Kiik, S. M., (2012). Early Mobilization
Influence to Peristaltic’s Recovery
Time Intestine on Pasca’s Patient
Hands out Abdomen at Icu BPRSUD
Labuang Baji Makassar. Jurnal
Kesehatan Volume 1 No.1 13-20.
Dapat diakses di
http://stikesmaranathakupang.ac.id/m
edia/file/Jurnal.pdf dibuka pada
tanggal 12 Oktober 2014.
Kozier, B., Berman, A.and Shirlee J.
Snyde, alih bahasa Pamilih Eko
Karyuni, dkk. 2010. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan Konsep
Proses dan Praktik edisi VII Volume
1. Jakarta : EGC
Medicastore., (2011). Apotik Online dan
Media Info Obat-Penyakit-Online.
Diakses 26 September 2011, dari
http://medicastore.com/penyakit/42/
Obesitas.html.
Miharja, L., (2009). Faktor Yang
Berhubungan dengan Pengendalian
Gula Darah
pada Penderita Diabetes Mellitus di
Perkotaan Indonesia. Majalah
Jurnal Kedokteran Indonesia,
Volume 59, Nomor 9, Jakarta.
Munaf, S., (2008). Kumpulan Kuliah
Farmakologi. Palembang: EGC
Nainggolan, Olwin., (2009). Prevalensi
dan Determinan Penyakit Rematik di
Indonesia: Puslitbang Biomedis dan
Farmasi Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI [online],
Vol 59 [59], 7 halaman. Tersedia: [4
Mei 2013].
Notoatmodjo, Soekidjo., (2010). Metode
Penelitian Kesehatan Edisi.
Revisi.Jakarta : Rineka Cipta.
Nur Basuki., (2009). Fisiologi Pernapasan,
catatan kuliah FT D, Akademi
Fisioterapi Surakarta.
Nurhayati dkk., (2012). Konsep kebidanan.
Jakarta:Salemba Medika
Nursalam., (2011). Metode penelitian.
Jakarta : Rineka Cipta
Rondhianto,dkk., (2016). Batuk Efektif
Dan Napas Dalam Untuk
Menurunkan Kolonisasi
Staphylococcus Aureus Dalam
Sekret Pasien Pasca Operasi Dengan
Anastesi Umum di RSD Dr.
SOEBANDI JEMBER. NurseLine
Journal Vol. 1 No. 1 Mei 2016: 151-
158
Santoso, S., (2010). Statistik Multivariat
Konsep dan Aplikasi dengan SPSS.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Sjamsuhidajat & Jong.D., (2010). Buku
Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.
Suryani., (2016). Penerapan Teori Selfcare
Orem Dan Comfort Kolcaba Pada
Ibu Post Partum Seksio Sesarea
Dengan Tubektom. P- ISSN: 2086-
3071, E-ISSN: 2443-0900. Volume
7, Nomor 2, Juli 2016.
ttp://ejournal.umm.ac.id/index.php/k
eperawatan/issue/view
Susatia, Budi., (2016). Efektivitas
Pemberian Hot-Pack terhadap
Hipotermi Pasien Post Operasi
http://www.kompasiana.com/wigati/e
fektivitas-pemberian-hot-pack-
terhadap-hipotermi-pasien-post-
operasi-seksio-
caesaria_58d0cb063dafbd8a19538b5
1
Supriadi, Kasum., (2016). Pneumonia
pasca-operasi. Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUI/ RSUP
Persahabatan.
https://infolaboratoriumkesehatan.wo
rdpress.com/tag/nilai-normal-
leukosit-sel-darah-putih/
Potter, P.A, Perry, A.G (2005).. Buku
Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi
4.Volume 2. Alih Bahasa: Renata
Komalasari,dkk. Jakarta:EGC.
WHO. (2007). Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) Yang
Cenderung Menjadi Epidemi dan
Pandemi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. Pedoman Interim
WHO.Alih Bahasa: Trust Indonesia.
Jakarta.
Zulman, D. M., Rosland, A. M., Choi, H.,
Langa, K. M., & Heisler, M., (2011).
The influence of diabetes
psychosocial attributes and self
management
practices on change in diabetes
status. Patient Educational and
Counseling, 30, 1-7, doi:
10.1016/j.pec.2011.07013