12
1 Penentangan Laki-laki Minangkabau terhadap Budaya Minangkabau dalam Novel Hamka Abstrak Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrialineal yang menempatkan laki-laki pada posisi unik, yaitu tidak memiliki hak warisan atas pusaka turunan dan tidak mewariskan suku kepada anaknya. Dampak perlakuan adat tersebut tidak terlihat secara kasat mata, namun bila dicermati, ditemukan penentangan yang dilakukan oleh laki-laki Minangkabau melalui sastra tradisi seperti pantun, kaba, dan nyanyian. Penelitian ini mencoba melihat sejauh mana novel karya Hamka merefleksikan penentangan laki-laki Minangkabau terhadap budayanya. Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa karya sastra modern (novel) merupakan kelanjutan dari sastra tradisi. Teori yang mendasari kajian ini adalah teori sosiologi sastra dengan menggunakan pendekatan mimesis. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskripstif. Pengumpulan dan penganalisisan data dilakukan secara bersamaan dengan teknik baca-catat-analisis, menggunakan metode content analysis dan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa novel karya Hamka sarat dengan pencerminan sosial budaya Minangkabau. Laki-laki dalam budaya Minangkabau berada pada posisi yang tidak menguntungkan, memiliki kekuatan dan kekuasaan, tetapi tidak memiliki hak atas harta pusaka. Oleh sebab itu, laki-laki melakukan penentangan dalam bentuk menolak pulang ke Minangkabau dan meninggalkan Minangkabau. Penentangan yang dilakukan berdasarkan motif agama Islam yang tidak membedakan laki-laki dengan perempuan baik dalam pembagian warisan maupun dalam pernikahan. Kata Kunci: penentangan, laki-laki Minangkabau, budaya Minangkabau, novel Hamka Abstract Minangkabau submit matrialineal system that put the men in an unique position which they does not have right of legacy for heritage and they does not bequeath ethnic group to their children. The impact of tradition treatment could not be seen in plain view, however if it is careful, it found the resistance that done by Minangkabau’s men through literature tradition such as pantun, kaba and a song. This article tried to see how far novel created by Hamka reflected the resistance of Minangkabau’s men toward their culture. This point of view appeared from an assumption that modern literature (novel) is continuance from literature tradition. The basic of theory in this study is literature sociology theory with using mimesis approach. Kind of this research was descriptive qualitative. Collecting and analyzing of data did simultaneously with read-note-analysis technique, using content analysis method and heuristic and hermeneutic method. Result of the research and discussion showed that novel by Hamka many showing socio culture of Minangkabau. The men in Minangkabau tradition located in unlucky position, they had a power and legitimacy, but they did not have right of legacy for heritage. Therefore, the men did a resistance such as they won’t come back to Minangkabau and left Minangkabau. The resistance that conducted based on Islam motive which it is not comparing the men and the women in distribution of legacy although in wedding. Key words: resistance, Minangkabau’s men, culture of Minangkabau, Hamkas’ novel PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL HAMKA Jasril Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP YDB Lubuk Alung, Sumatera Barat Pos-el: [email protected]

PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

1Penentangan Laki-laki Minangkabau terhadap Budaya Minangkabau dalam Novel Hamka

AbstrakMinangkabau menganut sistem kekerabatan matrialineal yang menempatkan laki-laki pada posisiunik, yaitu tidak memiliki hak warisan atas pusaka turunan dan tidak mewariskan suku kepadaanaknya. Dampak perlakuan adat tersebut tidak terlihat secara kasat mata, namun bila dicermati,ditemukan penentangan yang dilakukan oleh laki-laki Minangkabau melalui sastra tradisi sepertipantun, kaba, dan nyanyian. Penelitian ini mencoba melihat sejauh mana novel karya Hamkamerefleksikan penentangan laki-laki Minangkabau terhadap budayanya. Pandangan ini berangkatdari asumsi bahwa karya sastra modern (novel) merupakan kelanjutan dari sastra tradisi. Teoriyang mendasari kajian ini adalah teori sosiologi sastra dengan menggunakan pendekatan mimesis.Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskripstif. Pengumpulan dan penganalisisan data dilakukansecara bersamaan dengan teknik baca-catat-analisis, menggunakan metode content analysis danmetode pembacaan heuristik dan hermeneutik. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwanovel karya Hamka sarat dengan pencerminan sosial budaya Minangkabau. Laki-laki dalam budayaMinangkabau berada pada posisi yang tidak menguntungkan, memiliki kekuatan dan kekuasaan,tetapi tidak memiliki hak atas harta pusaka. Oleh sebab itu, laki-laki melakukan penentangandalam bentuk menolak pulang ke Minangkabau dan meninggalkan Minangkabau. Penentanganyang dilakukan berdasarkan motif agama Islam yang tidak membedakan laki-laki denganperempuan baik dalam pembagian warisan maupun dalam pernikahan.

Kata Kunci: penentangan, laki-laki Minangkabau, budaya Minangkabau, novel Hamka

AbstractMinangkabau submit matrialineal system that put the men in an unique position which they does not haveright of legacy for heritage and they does not bequeath ethnic group to their children. The impact of traditiontreatment could not be seen in plain view, however if it is careful, it found the resistance that done byMinangkabau’s men through literature tradition such as pantun, kaba and a song. This article tried to see howfar novel created by Hamka reflected the resistance of Minangkabau’s men toward their culture. This point ofview appeared from an assumption that modern literature (novel) is continuance from literature tradition. Thebasic of theory in this study is literature sociology theory with using mimesis approach. Kind of this researchwas descriptive qualitative. Collecting and analyzing of data did simultaneously with read-note-analysistechnique, using content analysis method and heuristic and hermeneutic method. Result of the research anddiscussion showed that novel by Hamka many showing socio culture of Minangkabau. The men in Minangkabautradition located in unlucky position, they had a power and legitimacy, but they did not have right of legacyfor heritage. Therefore, the men did a resistance such as they won’t come back to Minangkabau and leftMinangkabau. The resistance that conducted based on Islam motive which it is not comparing the men and thewomen in distribution of legacy although in wedding.

Key words: resistance, Minangkabau’s men, culture of Minangkabau, Hamkas’ novel

PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAPBUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL HAMKA

JasrilProgram Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

STKIP YDB Lubuk Alung, Sumatera BaratPos-el: [email protected]

Page 2: PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

2 , Volume 3, Nomor 1, Juni 20177

PENDAHULUANSudah sejak lama budaya Minangkabau

menimbulkan keingintahuan banyak orang,khususnya peneliti dan pengamat yang berasaldari berbagai disiplin ilmu, termasuk sastra(Arifin, 2009:150). Kemenarikan itu disebabkankarena masyarakat Minangkabau termasukmasyarakat yang dualism. Di satu sisi, Minang-kabau sangat menjunjung tinggi agama Islamyang terungkap dalam falsafah, “Adat basandisyarak; Syarak basandi kitabullah”, ‘Adat bersen-dikan syarak atau agama; Syarak atau agamabersendikan kitab Allah (Alquran)’. Sementaradi sisi lain, masyarakat Minangkabau juga men-junjung adat yang dalam praktik pelaksana-anya banyak bertentangan dengan agamaIslam, misalnya dapat dilihat dari konsep per-kawinan dan pembagian harta warisan. Gam-baran dualisme praktik sosial ini menyebabkanorang menganggap Minangkabau adalah ma-syarakat yang berbudaya “ambigu” menurutistilah Sairin (2002), atau dengan menurutistilah Azwar (2001) disebutkan sebagai masya-rakat yang “secara politik ada persaingan antarkelompok”.

Dualisme budaya Minangkabau telah me-nguntungkan perempuan yang ditandai de-ngan semakin kuatnya posisi perempuan da-lam adat Minangkabau, sedangkan posisi laki-laki semakin lemah. Posisi laki-laki yang lemahitu memang tidak memunculkan protes secaraterbuka, namun jika diteliti secara cermat, pro-tes itu muncul dalam bentuk nuansa melan-kolis yang mewakili perasaan laki-laki sangatkental dalam sastra tradisi Minangkabau, se-perti pantun, kaba, dan nyanyian. Nuansamelankolis itu lebih merupakan dendam latendaripada protes yang disampaikan secara ter-buka. Dampak dari dendam laten itu berwujudmenjadi perilaku merantau yang dilakukanoleh laki-laki Minangkabau yang pada dasar-nya adalah pencarian harga diri. Asumsinya,jika tidak ada yang dimiliki di kampung halam-an sendiri, di luar tanah Minangkabau pastiada, sekurang-kurangnya pergi belajar dalam

arti yang luas untuk mendapatkan martabatsebagai lelaki. Bentuk kegelisahan itu, terung-kap dalam pantun “merantau” berikut ini.

Karatau madang di huluBerbuah berbunga belumMerantau bujang dahuluDi rumah berguna belum

Wujud parktis dari pelaksanaan pantun diatas adalah perilaku merantau laki-laki Mi-nangkabau sejak usia muda. Merantau sejakusia muda pada dasarnya adalah belajar men-jadi “orang”. Entah akan menjadi pemilik wa-rung padang, meskipun pada awalnya bekerjasebagai pencuci piring. Mungkin juga akan men-jadi pedagang yang sukses di pasar kota rantau,meski pada awalnya menjadi pengecer di kakilima. Barangkali juga akan memiliki usahatransportasi, meski pada awalnya bekerja se-bagai kondektur bus kota. Boleh jadi menjadidai kondang meski pada awalnya menumpangtidur di surau atau masjid karena tidak punyatempat tinggal di rantau. Kemungkinan jugaakan menjadi ilmuwan karena belajar di per-guruan tinggi.

Berangkat dari pandangan di atas, terlihatbahwa sastra tradisi (pantun, kaba, dan nya-nyian) merupakan alat bagi laki-laki Minang-kabau untuk menyampaikan protes mereka ter-hadap budaya Minangkabau. Hal ini barang-kali sesuai dengan fungsi sastra tradisi (kaba)bagi masyarakat Minangkabau yang tidak ha-nya sebagai hiburan semata, tetapi juga pem-bawa nilai-nilai kehidupan (Jasril, 2015:41).Oleh sebab itu, penentangan laki-laki dalambudaya Minangkabau yang menganut sistemmatrilineal menarik untuk diteliti melalui karyasastra, baik sastra tradisi maupun sastra mo-dern. Dengan demikian, dapat ditarik benangmerah penentangan yang dilakukan oleh laki-laki Minangkabau sejak masa lampau hinggamasa kini, dapat dilihat melalui penelitiankarya sastra naratif (novel) yang hidup di da-erah ini dengan asumsi bahwa novel Indonesiamodern berlatar dan ditulis oleh pengarang

Page 3: PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

3Penentangan Laki-laki Minangkabau terhadap Budaya Minangkabau dalam Novel Hamka

asal Minangkabau, merupakan kelanjutan darisastra tradisi, seperti pantun, kaba, dan nyanyi-an (Thahar, 2002:28).

Hamka dibesarkan dan dididik dalam ling-kungan pendidikan surau dan berkiprah dirantau seperti Medan dan Jakarta. Pendidikanyang dijalaninya sangat memengaruhi pikiran-pikirannya dalam memandang kehidupanbudayanya. Sebagai seorang etnis Minang-kabau yang hidup dirantau, tentu dia sudahberintegrasi dengan bermacam-macam bu-daya. Asimilasi budaya itu juga sangat me-mengaruhi pikirannya dalam memandangbudaya Minangkabau. Dalam hal ini, Hamkamemandang budaya lain kemudian memban-dingkan dengan budayanya sendiri (budayaMinang). Melalui proses perbandingan ini,Hamka melihat kelemahan dan kekuatan buda-yanya sendiri. Dengan demikian, munculahkeinginan Hamka untuk memperbaiki adatnyasendiri agar menjadi lebih baik.

Hamka, disamping sebagai ulama, dia jugapopuler sebagai sastrawan. Sebagai seorangsastawan, banyak novel yang lahir dari buahtintanya, seperti Novel Merantau ke Deli (1959);Dijemput Mamaknya (1962); TenggelamnyaKapal Van Der Wijck (1976); Di bawah LindunganKa’bah (1979). Novel-novel itu sampai sekarangmasih dicari dan diperbincangkan orang. Se-bagai pengarang yang berasal dari Minang-kabau, sudah tentu novel-novel yang ditulisnyamengangkat persoalan-persolan Minangkabau.Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakanDarma (2007:25), proses kreatif tidak bisa ter-hindar dari tradisi, betapapun orisinalnya se-orang sastrawan sewaktu menulis, mereka se-lalu berpijak pada tradisi mereka sebelumnya.Bila karya sastra merupakan cerminan masya-rakat tempat sastra itu lahir, penentangan laki-laki Minangkabau terhadap budaya Minang-kabau tentu saja terefleksi di dalamnya.

Bertolak dari pemikiran itu, jelas bahwa didalam karya sastra tercermin ideologi sebagaifakta kultural. Hal ini sejalan dengan pendapatHoggart (1975) yang mengatakan bahwa karya

sastra selalu disinari oleh ideologi dan nilai-nilaibudaya yang diterapkan. Oleh karena itu, yangdilakukan pengarang di dalam karyanya ada-lah masalah-masalah yang berhubungan de-ngan kehidupan individu-individu dalam stru-ktur masyarakatnya. Kemudian, patut puladiingat bahwa pengarang adalah produk darizaman dan lingkungannya. Oleh karena itu,sudah barang tentu banyak-sedikit pola ber-pikirnya juga dipengaruhi oleh hal itu. Ide yangterdapat dalam pikiran pengarang itulah yangkemudian ditransformasikan melalui tokoh-tokoh cerita. Dengan demikian, sastra berartipengucapan pengalaman kultural sebagaiekspresi budaya.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan:(1) posisi laki-laki dalam budaya Minangkabau,(2) bentuk penentangan laki-laki Minangkabauterhadap budaya Minangkabau, (3) motif pe-nentangan laki-laki Minangkabau terhadapbudaya Minangkabau. Diharapkan denganterwujudnya tujuan di atas, temuan penelitianini akan bermanfaat, baik secara teoretis mau-pun praktis. Secara teoretis, temuan penelitianini dapat memberikan sumbangan positif dalammembangun konsep teoretis pengkajian sastraIndonesia. Sementara itu, secara praktis, temu-an kajian ini berguna bagi pihak yang berkom-peten untuk mengarahkan negara bangsa (na-tion state) ini menjadi masyarakat sipil (civil so-ciety) yang demokratis, humanis, beradab yangteraplikasi pada sikap (1) cinta semua orang;(2) toleransi antar sesama; (3) menjalin persa-habatan tanpa memandang status sosial; (4)membangun kesetaraan antarmanusia; (5)menyediakan alternatif untuk pembelajaransastra, khususnya novel, baik di sekolah-sekolah maupun diperguruan tinggi.

TEORI DAN METODEKarya sastra merupakan alat untuk me-

nyampaikan visi, misi, ideologi, dan opini pe-ngarang terhadap sesuatu yang dilihat, dirasa-kan, diamati, dan dipikirkannya pada masa-nya. Sebagai suatu media yang terbentuk dari

Page 4: PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

4 , Volume 3, Nomor 1, Juni 20177

hasil pekerjaan kreatif, objeknya adalah ma-nusia dengan segala persoalan kemanusiaan-nya. Menurut Damono (2002:1), karya sastraselalu menampilkan gambaran kehidupan,sedangkan kehidupan itu sendiri adalah suatukenyataan sosial. Oleh karena itu, yang dilaku-kan pengarang di dalam karyanya adalah me-ngangkat masalah-masalah yang berhubungandengan kehidupan individu-individu dalamstruktur masyarakatnya. Kemudian, patut puladiingat bahwa pengarang adalah produk darizaman dan lingkungannya (Hudson, 1955:4).Sudah jelas banyak-sedikitnya pola berpikirnyadipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakatnya.Ide yang terdapat dalam pikirannya itulah yangyang ditransformasikannya melalui tokoh-to-koh cerita. Dengan demikian, segala aspek ke-hidupan manusia dengan budayanya terdapatdalam sastra. Jadi, penentangan laki-laki Mi-nangkabau terhadap budaya Minangkabaumerupakan pencerminan kebudayaan masya-rakat Minangkabau, sebab sastra merupakanpengucapan pengalaman kultural sebagai peng-gambaran ekspresi budaya.

Ideologi masyarakat Minangkabau selaludidasarkan pada “Adat basandi syarak; Syarakbasandi kitabullah”, ‘Adat bersendikan syarakatau agama; Syarak atau agama bersendikankitab Allah (Alquran)’. Di dalam filosofi ini ter-kandung dua ideologi yang pada hakikatnyasaling bertentangan, tetapi di dalam kehidupanmasyarakat Minangkabau, kedua ideologi inisaling melengkapi antara satu dengan yanglainnya. Begitu ketatnya ajaran ideologi itu da-lam kehidupan bermasyarakat Minangkabau,hampir setiap aspek kehidupan masyarakatberpatokan pada ideologi tersebut. Misalnyaideologi adat, hampir semua aspek kehidupan,seperti sistem perkawinan, pembagian hartawarisan, pengakatan pemimpin adat, keduduk-an, dan fungsi penghulu, kedudukan dan fung-si Bundo Kanduang, konsep harga diri, konsepbudi dan lain sebagainya selalu didasari olehideologi adat. Sebaliknya, ideologi syarak (agamaIslam) juga begitu kental mewarnai kehidupan

masyarakat Minangkabau, seperti terlihat ham-pir tidak ada nagari di Minangkabau yang tidakpunya masjid.

Karya sastra sebagai karya kreatif imaji-natif menampilkan berbagai fenomena kehi-dupan. Fenomena ini merupakan peristiwa yangterjadi pada masyarakat atau refleksi dari kehi-dupan nyata. Pengarang mengambil materialceritanya dari peristiwa-peristiwa yang terjadidalam kehidupan melalui proses melihat, men-dengar, membaca, bahkan mengalaminya sen-diri. Peristiwa tersebut diolah, dibumbui, dandipoles dengan berbagai imajinasi sehinggaterbentuklah sebuah cerita. Pengolahan inilahyang mengahasilkan cerita sebagai dunia baruatau dunia simbol, dan untuk memahaminyadiperlukan intrerpretasi. Meskipun cerita (karyasastra) hanyalah dunia simbol, setidaknya daridunia simbol ini dapat dilihat ideologi yang di-kandungnya atau dari kata ke ideologi.

Untuk mengungkapkan penentangan laki-laki Minangkabau terhadap budaya Minang-kabau yang terefleksi dalam novel Hamka, di-gunakan gabungan teori interpretasi teks dansosiologi sastra. Di dalam penelitian ini, akandiinterpretasikan dan dimaknai secara spesifikmengenai penentangan laki-laki terhadap bu-daya Minangkabau dalam novel Hamka. Me-nurut Ricoeur (dalam Kleden 1997:42), teks(dalam hal ini novel karya Hamka) dapat di-gunakan sebagai paradigma untuk memahamidan menjelaskan tindakan dan pengalamanmanusia. Dengan menggunakan teks sebagaiparadigma, pada hakikatnya Ricoeur mengata-kan bahwa tujuan terpenting dari penafsiranteks bukanlah sekadar memahami makna teksitu sendiri, melainkan untuk memahami eksis-tensi manusia dan dunianya. Ricoeur dalamValdes (1997:6) berpendapat bahwa arti danmakna sebuah teks sastra diperoleh melaluiupaya pencarian dalam teks berdasarkan ben-tuk, sejarah, pengalaman pembaca dan self re-flection dari prilaku interpretasi itu untuk meng-eksplisitasikan jenis being-in-the world (dasain)yang terungkap dalam dan melalui teks.

Page 5: PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

5Penentangan Laki-laki Minangkabau terhadap Budaya Minangkabau dalam Novel Hamka

Pendekatan sosiologi sastra menganggapbahwa karya sastra milik masyarakat. Karyasastra berasal dari masyarakat dan kembalikepada masyarakat. Menurut Ratna (2004:60),dasar hubungan filosofis pendekatan sosiologisadalah adanya hubungan yang hakiki antarakarya sastra dengan masyarakat. Hubungantersebut terbentuk dari (a) karya sastra dihasil-kan oleh pengarang, (b) pengarang adalah bagi-an dari anggota masyarakat, (c) pengarang me-manfaatkan kekayaan yang ada dalam masya-rakat sebagai material karya sastra, dan (d) ha-sil karya sastra dimanfaatkan kembali oleh ma-syarakat. Hal ini barangkali yang menyebabkanRatna (2004:237) mengatakan bahwa karyasastra lebih jelas mewakili zamannya. Pen-dekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwasastra merupakan cerminan kehidupan masya-rakat. Melalui karya sastra, seorang pengarangmengungkapkan masalah kehidupan yangpengarang sendiri ikut di dalamnya. Karyasastra menerima pengaruh dari masyarakatdan sekaligus mampu memberi pengaruh ter-hadap masyarakat, bahkan seringkali masya-rakat sangat menentukan nilai karya sastrayang hidup di suatu zaman. Di sisi lain, sastra-wan itu sendiri yang merupakan anggota ma-syarakat tidak dapat mengelak dari adanya pe-ngaruh yang diterima dari lingkungan yangmembesarkannya dan sekaligus membentuknya.

Kajian ini menggunakan pendekatan kuali-tatif deskriptif. Pengumpulan dan pengana-lisisan data dilakukan secara bersamaandengan teknik baca-catat-analisis, mengguna-kan metode content analysis serta metode pem-bacaan heuristik dan hermeneutik untuk meng-gali isi, pesan-pesan yang terkandung padaobjek penelitian, dan memberi makna padapesan yang terkandung di dalamnya untukmenggambarkan gejala sosial yang terjadi.Datanya berupa kata-kata, kalimat, dan waca-na yang mengandung penentangan laki-lakiMinangkabau terhadap budaya Minangkabau.Sumber data adalah novel karya Hamka yangdiwakili oleh Novel Tenggelamnya Kapal Van der

Wijck (2001) dan Di Bawah Lindungan Ka’bah(2010). Pengumpulan data dan analisis datadilakukan secara bersamaan dengan kegiatanmembaca novel secara berulang-ulang, meng-iventarisasi, mengidentifikasi, mengklasifikasi,menginterpretasi, membahas, dan menyimpul-kan.

HASIL DAN PEMBAHASANNovel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

karya Hamka yang dijadikan objek penelitianini merupakan cetakan ke-25 tahun 2001. Novelini bertemakan konflik diskriminasi manusiakarena latar belakang sosial budaya yang mun-cul ke permukaaan karena pertikaian antarasatu tokoh dengan tokoh yang lain. Datuk me-rasa lebih beradat dan lebih tinggi dariZainuddin yang merupakan orang Mengkasaranak dari Pandeka Sutan, orang Batipuh.Pandeka Sutan merupakan orang yang terusirdari kampung halaman karena membunuhmamaknya Datuk Mantari Labih yang mem-perlakukannya dengan sewenang-wenang.Selanjutnya, Novel Di Bawah Lindungan Ka’bahkarya Hamka yang dijadikan objek penelitianini merupakan cetakan ke-31 tahun 2010. Novelini bertemakan tentang cinta yang tak sampaikarena perbedaan status sosial yang meng-halangi Zaenab dan Hamid hidup bersama.Hamid adalah seorang pemuda miskin yangtinggal bersama ibunya karena ayahnya telahmeninggal semasa Hamid kecil. Sementara,Zaenab anak seorang saudagar kaya. Orangtuanya memilihkan keponakan ayahnya se-bagai pasangan hidup untuk Zaenab agar hartakekayaannya tetap terjaga, dan hubungankeluarga tetap terjalin erat.

Posisi Laki-laki Di Minangkabau dalam NovelHamka

Minangkabau menganut sistem kekerabat-an matrilineal, yaitu alur keturunan berdasar-kan garis keturunan ibu. Konsekuensi dari sis-tem matrilineal menempatkan perempuan padaposisi yang tinggi dibandingkan dengan laki-

Page 6: PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

6 , Volume 3, Nomor 1, Juni 20177

laki. Keistimewaan yang dimiliki oleh perem-puan Minangkabau adalah posisinya sebagaiBundo Kanduang. Bundo Kanduang memainkanperanan dalam menentukan keberhasilan pe-laksanaan keputusan-keputusan yang dibuatoleh kaum laki-laki dalam posisi mereka se-bagai mamak (paman atau saudara dari pihakibu), dan penghulu (kepala suku) (Arifin, 2012:31). Posisi istimewa yang dimiliki perempuanjuga menjadikannya sebagai pilar utama ru-mah atau dengan istilah Limpapeh Rumah nanGadang. Sebuah julukan yang menunjukan ke-kuasaan perempuan terhadap rumah adat diMinangakabau. Puncak dari keistimewaanyang dimiliki perempuan adalah menempat-kannya sebagai pewaris harta pusaka dan pe-nerus keturunan. Garis keturunan dirujuk ke-pada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu).

Sementara, laki-laki (ayah dalam adatMinangkabau disebut dengan nama Sumando(ipar)) diperlakukan sebagai tamu dalam ke-luarga istrinya. Menurut adat Minangkabau,seorang sumando adalah orang luar (orangasing) dalam kaum istrinya yang ditunjukkandengan pepatah “bak abu di ateh tunggua”,‘seperti abu di atas tunggul’. Pepatah ini meng-isyaratkan bahwa laki-laki Minangkabau dirumah istrinya diposisikan sebagai orang asingkarena “dititipkan” di rumah perempuan (istri-nya) sehingga setiap saat bisa saja “diusir se-perti abu yang rentan terbang ditiup angin ken-cang” (Arifin, 2012:34). Oleh sebab itu, laki-laki (sumando) dipandang tamu dan diperla-kukan sebagai tamu dalam keluarga istrinya,tujuan utamanya adalah untuk memberikanketurunan. Sementara, dalam garis keturunanibunya, laki-laki berfungsi sebagai anggotakeluarga. Dia menjadi wali dari garis-keturun-annya dan berkewajiban melindungi hartabenda garis keturunan ibunya, meskipun harusmenahan dirinya dari menikmati hasil tanahkaumnya karena dia tidak mendapatkan bagi-an apa-apa. Tidak pula dia diberi tempat di ru-mah orangtuanya karena semua bilik (kamar)hanya diperuntukkan bagi saudara perem-

puannya untuk menerima suami-suami me-reka. pencerminan kondisi laki-laki di Minang-kabau dapat dilihat dalam kutipan berikut.

…Menurut adat Minangkabau, amatlah ma-langnya seorang laki-laki jika tidak mem-punyai saudara perempuan, yang akanmenjagai harta benda, sawah yang ber-jenjang, bandar buatan, lumbung berpe-reng, rumah nan gadang (Hamka 2009,hlm.5).

Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwalaki-laki tidak mempunyai kuasa untuk me-makai harta pusaka. Bila terpaksa harus meng-olah tanah dari garis keturunan ibunya. Se-orang anak laki-laki haruslah sebagai seorangpenyedua (pekerja bagi hasil), dia menerimahanya sebagian dari hasil, sedangkan bagianyang lain diperuntukkan kepada anggota garis-keturunan wanita yang sebenarnya menjadipemilik tanah tersebut. Dalam keluarga, posisilaki-laki hanya berfungsi sebagai peripheral,sebagai pelindung keluarga, termasuk dalamhal warta warisan keluarga. Oleh karena itu,seorang laki-laki bila sudah menikah diMinangkabau dianggap sebagai “mamak” danberfungsi sebagai protektoral dan seremonialuntuk berhadapan dengan dunia luar. Mak-sudnya adalah apa yang disampaikan kepadadunia luar adalah suara keluarga yang sebe-lumnya telah dimufakati dan diputuskan BundoKanduang. Dengan sistem matrilineal itu, bu-daya Minangkabau memberikan kesempatankepada perempuan untuk memiliki kekuatandan kekuasaan secara komunal.

Bentuk Penentangan Laki-laki MinangkabauTerhadap Budaya Minangkabau dalam NovelHamka

Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van DerWijck diceritakan bahwa setelah bebas darihukuman yang dijalaninya selama lima belastahun, Pandeka Sutan memilih menetap diMengkasar daripada pulang ke Minangkabau.Perkenalan Pandeka Sutan dengan Mengkasarberawal ketika dia menjalani proses hukuman

Page 7: PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

7Penentangan Laki-laki Minangkabau terhadap Budaya Minangkabau dalam Novel Hamka

pernah di bawah ke Mengkasar sebagai orangrantai. Meskipun batinnya sangat ingin pulangke tanah tumpah darahnya, namun ditahanya,dilulurnya air matanya. Biarlah negeri Padang“dihitamkan” untuk selama-lamanya. PandekaSutan menyadari bahwa pulang pun dia tidakakan berarti di kampungnya karena tidak me-miliki saudara perempuan.

Saudara yang kandung tak ada, terutamasaudara perempuan. Ibu tempat perlindunganorang laki-laki di negeri yang berbangsa kepadaibu itu telah lama pula meninggal. Meskipundia akan diterima orang dengan manis, yangterkandung di dalam hati mereka tentu labihpahit. Sebab dia tak beruang, kepulangannyamenimbulkan cemburu hati keluarga-keluargadalam persukuan,

Kalau tidak ranggas di Tanjung,Cumanak ampaian kain.Kalau tidak emas dikandung,Dunsanak jadi rang lain.(Hamka 2009, hlm. 8—9)

Sikap Pandeka Sutan yang lebih memilihmenetap di Mengkasar daripada Minangkabaumerupakan bentuk penetangan terhadapbudaya Minangkabau yang “meminggirkan”laki-laki bila tidak memiliki saudara perem-puan. Laki-laki yang tidak memiliki saudaraperempuan dalam adat Minangkabau rentanterhadap perbuatan sewenang-wenang. Hal itudisebabkan kedudukan anak laki-laki di Minang-kabau tidak terlalu dipedulikan dalam kerang-ka rumah gadang bila tidak mempunyai saudaraperempuan. Menurut ketentuan adat, seoranganak laki-laki mempunyai kedudukan yangtidak jelas terutama bagi mereka yang belumkawin (Amir, 1997:86). Jika kita telusuri lebihjauh lagi dalam Tenggelamnya Kapal Van DerWijck, anak laki-laki bukan saja tidak dipeduli-kan, tetapi juga dijauhkan dari rumah gadang.Oleh sebab itu, pilihan Pandeka Sutan untuktidak tidak pulang ke kampung setelah habismasa hukumannya merupakan pilihan yangbijak.

Penentangan Pandeka Sutan terhadapbudaya Minangkabau sudah dimulai sejak iaberkeinginan menikah. Penentangan ini padaawalnya muncul karena disebabkan olehkesewenang-wenangan mamaknya, DatukMantari Labih. Pandeka Sutan melihat bahwaDatuk Mantari Labih pernah menggadaikanharta pusaka kaumnya untuk mengawinkananaknya. Bahkan, Pandeka Sutan juga melihatbeberapa tumpak sawah digarap oleh istrimamaknya itu. Oleh sebab itu, ketika berke-inginan menikah Pandeka Sutan juga berniatuntuk menggadaikan sepetak sawah untukkeperluan penyelenggaraan pernikahannya.Keinginan itu, disampaikan kepada mamak-nya, Datuk Mantari Labih. Namun, ditolak olehDatuk Mantari Labih. Bahkan, Datuk MantariLabih memarahi Pandeka Sutan di rumah ga-dang, di depan banyak orang, seperti yangterlihat pada kutipan berikut.

“Daripada engkau menghabiskan hartaitu, lebih baik engkau hilang dari negeri,saya lebih suka.”“Kalau akan berbini mesti lebih dahulumenghabiskan harta tua, tentu habissegenap sawah di Minangkabau ini. inilahanak muda yang tidak tahu malu, selauhendak menggadaikan, benak pengagun.”(Hamka, 2009:6).

Mendengar perkataan mamaknya, Pan-deka Sutan merasa dipermalukan di depan orangbanyak, dan sikap perlawananya pun muncul.Kemudian Pandeka Sutan mengatakan mamak-nya itu zalim, sebab dia menggadaikan hartapusaka bukan untuk kaumnya melainkanuntuk anak dan istrinya seperti yang terlihatdalam kutipan berikut.

“Mamak sendiri juga pernah menggadai-kan, bukan untuk mengawinkan keme-nakan, tetapi untuk mengawinkan anakmamak sendiri. Berapa tumpak sawahyang dikerjakan oleh istri mamak, kamitidak mendapat sebagian.” (Hamka,2009:6).

Page 8: PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

8 , Volume 3, Nomor 1, Juni 20177

Dalam adat Minangkabau, mamak adalahsaudara laki-laki Ibu, sedangkan kemenakanadalah anak saudara perempuan. Dalam pe-nataan kehidupan sepesukuan, mamak adalahpemimpin terhadap kemenakan yang satusuku dengannya. Penunggalan kepemimpinandalam satu pesukuan dipilih salah seorangmamak yang diangkat menjadi penghuludengan gelar “datuk”. Hubungan antara ma-mak dengan kemenakan diatur seperti pepatahberikut ini.

Kemenakan beraja ke mamakMamak beraja kepada penghuluPenghulu beraja kepada musyawarahMusyawarah beraja kepada alur danpatut.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat da-lam pepatah di atas, jelas bahwa kemenakandipimpin oleh mamak. Buruk baiknya seorangkemenakan ditentukan oleh kepemimpinanmamaknya, dalam bentuk yang lebih luas olehkepemimpinan penghulunya (Asri, 2011:250).Dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sikapkepemimpinan yang buruk dari Datuk MantariLabih memicu penentangan yang dilakukanoleh Pandeka Sutan. Dia melihat Datuk Man-tari Labih tidak memberikan contoh yang baikkepadanya dalam hal pengelolaan hartapusaka. Datuk Mantari Labih menggadaikanharta pusaka untuk kepentingan anak danistrinya, sementara dia sendiri yang merupakanpewaris harta itu dilarang menggadaikannya.Sikap Pandeka Sutan ini merupakan sikap yangdiperbolehkan, sebab oleh adat ada kemung-kinan mamak tidak harus ditaati kemenakan-nya bila memimpin secara tidak bijaksana danhanya mementingkan diri sendiri. Mamak yangdimaksud adalah mamak yang dinukilkandalam pepatah berikut ini.

Raja adil, raja disembahRaja lalim, raja disanggah

Laki-laki sebagai mamak di Minangkabaudiharuskan menjadi sosok yang dwifungsi,

yaitu di satu sisi ia adalah mamak oleh keme-nakannya, sedangkan di sisi lain, dia adalahayah oleh anak-anaknya (Asri, 2011:250). Olehsebab itu, seorang laki-laki Minangkabau harusmemerhatikan dan membimbing anak dankemenakannya tanpa harus memihak kepadaanak atau kemenakan saja. Anak dan keme-nakan bagi seorang laki-laki Minangkabau di-tempatkan dalam posisi: anak dipangku ke-menakan dibimbing. Tidak dilarang seorang laki-laki mengutamakan anaknya, asalkan tidakmengabaikan kemenakannya. Namun tugas inibelum mampu diemban dengan baik olehDatuk Mantari Labih sehingga memunculkanperlawanan bagi kemenakannya, PandekaSutan.

Budaya Minangkabau tidak hanya diten-tang oleh Pandeka Sutan (Tenggelamnya KapalVan Der Wijck), tetapi juga ditentang olehHamid (Di Bawah Lindungan Ka’bah). Cara yangditempuh oleh Hamid, yaitu meninggalkanMinangkabau. Hamid meninggalkan Minang-kabau karena patah hati karena tidak bisa me-nikah dengan gadis pujaannya, Zainab. Gadispujaan Hamid itu hendak dikawinkan dengankemenakan bapaknya. Maksud pernikahan ituagar harta warisan bapak Zainab bisa dijagaoleh kemenakannya sendiri, seperti yang ter-lihat dalam kutipan berikut.

“Segala kaum kerabat di darat telah ber-mufakat dengan mamak hendak memper-talikan Zainab dengan seorang kemenakanalmarhum bapakmu, yang ada di daratitu. Dia sekarang sedang bersekolah diJawa. Maksud mereka hendak perkawinanitu supaya harta benda almarhum bapak-nya dapat dijagai oleh kaum keluargasendiri, oleh kemenakannya, sebab tidakada saudara Zainab yang lain, dia anaktunggal…. (Hamka, 2010:35).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dipa-hami bahwa Hamid melakukan penentangankarena tidak setuju dengan sistem pernikahanmenurut adat Minangkabau. Menurut adatMinangkabau, perkawinan yang paling ideal

Page 9: PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

9Penentangan Laki-laki Minangkabau terhadap Budaya Minangkabau dalam Novel Hamka

ialah perkawinan antara keluarga dekat, se-perti perkawinan antara anak dengan keme-nakan. Perkawinan demikian sering disebut de-ngan pulang ka mamak atau pulang ka bako. Pu-lang ka mamak berarti mengawini anak mamak,sedangkan pulang ka bako ialah mengawinikemenakan ayah. Dengan kata lain, perkawin-an menurut adat Minangkabau ialah perka-winan “awak sama awak” (kita sama kita).

Pola perkawinan ideal menurut adat inidilatarbelakangi oleh sistem komunal dankolektivisme yang dianut oleh orang Minang-kabau. Orang Minangkabau menganggapbahwa sistem yang mereka anut akan tetapterjaga dengan utuh kalau tidak dicampurioleh orang luar (Navis, 1986:194). Bagi Hamid,pernikahan cara adat Minangkabau inilahyang tidak disukainya, sebab cara ini telah me-ngubur harapannya untuk menikah denganZainab. Padahal secara sosial, antara dia danZainab memiliki hubungan yang dekat. Bah-kan, mereka saling mencintai. Namun, karenaadat, Zainab harus menikah dengan laki-lakikeponakan bapaknya yang belum tentu ia kenalsecara dekat, sebab keponakan bapaknya itusedang menempuh pendidikan di Jawa.

Menurut Navis (1999), banyak laki-lakiMinangkabau bermigrasi ke bagian lain Indo-nesia ini karena kondisi-kondisi yang tidak me-muaskan di kampung mereka, sebagai konse-kuensi kekakuan sistem adat berkeluarga yangtidak mendukung penyelesaian bagi individu-individu yang telah mengendur ikatannyadengan tradisi. Merantau bagi orang Minang-kabau merupakan konsekuensi dari sistem adatMinangkabau yang kaku. Seorang anak laki-laki yang sudah dewasa tidak diperbolehkanlagi tidur di rumah ibunya. Ia harus tidur disurau sampai ia menikah. Setelah menikah, iatinggal di rumah istrinya. Jika istrinya inibanyak mempunyai saudara-saudara perem-puan yang suami-suaminya bertempat tinggalpula di situ, tentulah tak heran bila seringterjadi persaingan-persaingan antara orang-orang yang berpembayan itu. Hal ini ditambah

pula dengan “pukulan” bagi si pemuda yangbelum menikah tidak boleh tidur di rumahibunya mendorong orang untuk pergi meran-tau ke daerah lain untuk mencari nafkah. Se-telah ia bisa tegak, barulah pulang ke kampungdan sekalian mencari istri (induk nasi) bagimereka yang belum menikah.

Motif Penentangan Laki-laki MinangkabauTerhadap Budaya Minangkabau dalam NovelHamka

Pilihan Pandeka Sutan menetap di Meng-kasar setelah selesai menjalani hukuman akibatmembunuh mamaknya, Datuk Mantari Labihmerupakan bentuk penentangannya terhadapbudaya Minangkabau. Sebagai laki-laki Mi-nangkabau, seharusnya Pandeka Sutan pulangke kampungnya setelah selesai menjalankanhukumannya, sebab dalam pepatah Minang-kabau sudah dikatakan: setinggi-tinggi terbangbangau, pulangnya ke kubangan jua. Sejauhapapun Pandeka Sutan meninggalkan Minang-kabau, harus kembali ke kampung halaman.

Ungkapan dalam pepatah Minang itu tidakdihiraukan oleh Pandeka Sutan. Ia menganggapbahwa adat Minangkabau sudah memper-lakukannya secara tidak adil. Setelah orangtuanya meninggal, harta pusaka peninggalanorang tuanya dijaga oleh Pandeka Sutan danMamaknya, Datuk Mantari Labih. Harta pusakaitu sudah seharusnya menjadi miliknya, sebab diatidak mempunyai saudara perempuan. Namun,menurut adat Minangkabau harta pusaka harusjatuh kepada saudara perempuan, bila tidak adaperempuan kandung, maka harta itu jatuh kesaudara perempuan sepupu. Aturan adat inilahyang menghilangkan hak Pandeka Sutan untukmemiliki harta pusaka orang tuanya. Berbedahalnya dengan Datuk Mantari Labih, dia bisamenggadai harta pusaka kaumnya karena diaseorang penghulu. Meskipun menurut adat,siapapun tidak boleh menggadaikan hartapusaka, namun karena dia memiliki kekuasaan,kekuasaan itulah yang membuatnya bisa meng-gadaikan harta pusaka kaumnya.

Page 10: PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

10 , Volume 3, Nomor 1, Juni 20177

Seorang anak muda bergelar Pandeka Su-tan, kemenakan Datuk Mantari Labih,adalah Pandekar Sutan kepala waris yangtunggal dari harta peninggalan ibunya,karena dia tak bersaudara perempuan.Menurut adat Minangkabau, amatlah ma-lang seorang laki-laki jika tidak mempu-nyai saudara perempuan, yang akan men-jagai harta benda, sawah yang berjenjang,Bandar buatan, lumbung berpereng,rumah nan gadang (Hamka, 2009:5—6).

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwabegitu pentingnya saudara perempuan dalamadat Minangkabau untuk menjaga hartapusaka. Begitu juga keberadaan seorang ma-mak di Minangkabau berfungsi menjaga hartapusaka. Seperti yang dikemukakan oleh Amir(2007:84) bahwa mamak berkuasa kepadakemenakannya dan harta pusakanya, tetapibukan untuk menghilangkan, melenyapkan,menjual, atau menggadaikannya dengan tidaksepakat dengan kemenakannya. Mamak ber-kuasa hanya atas pemeliharaan harta itu,supaya bertukuk (berkembang) dan bertambah.Di dalam petitih disebut jika hilang dicari, ter-benam diselam, buruk diperbaiki, kecil diperbesar.Kemudian, mamak wajib menjaga dan me-melihara malu, sopan, dan menunjuk, sertamengajari kemenakan. Namun, kekuasaan itudisalahgunakan oleh Datuk Mantari Labih,yaitu dengan menggadaikan harta pusakakaumnya, sementara kemenakannya (PandekaSutan) dilarangnya menggadaikan harta pu-saka.

…Berapa kali ia mencoba meminta supayasupaya dia diizinkan menggadai, bukansaja mamaknya yang menghalangi,bahkan pihak kemenakan-kemenakanyang jauh, terutama pihak yang perem-puan sangat menghalangi, sebab harta itusudah mesti jatuh ke tangan mereka, me-nurut hukum adat: “Nan sehasta, nansejengkal, dan setampok sebuah jari”(Hamka, 2009:6).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipa-hami bahwa penentangan Pandeka Sutan ter-

hadap budaya Minangkabau didasari olehmotif agama Islam. Menurut agama Islamantara anak perempuan dengan anak laki-lakimemiliki hak yang sama untuk mendapatkanharta warisan. Islam tidak membedakan pe-rempuan dengan laki-laki berdasarkan jeniskelamin dalam hal warisan. Oleh sebab itu,Pandeka Sutan merasa bahwa budaya Minang-kabau sudah memperlakukannya secara tidakadil karena tidak mendapatkan hak atas hartawarisan karena budaya Minangkabau meng-hendaki harta pusaka jatuh kepada saudaraperempuan. Persoalan yang muncul bagiPandeka Sutan adalah dia tidak mempunyaisaudara perempuan sehingga harta pusakakeluarganya akan menjadi milik saudara pe-rempuan sepupu. Aturan adat yang sangatbertentangan dengan Islam ini menyebabkanPandeka Sutan memilih jalan tidak pulang keMinangkabau.

Bila Pandeka Sutan (Tenggelamnya KapalVan Der Wijck) memilih untuk tidak pulang keMinangkabau, Hamid (Di bawah LindunganKa’bah) memilih meninggalkan Minangkabau.Menurut Hamid, adat Minangkabau yangmengidealkan pernikahan antara anak dengankemenakan telah memupuskan harapannyauntuk memiliki Zainab, sebab keluarga ibu danbapak Zainab lebih mengharapkan Zainabmenikah dengan keponakan bapaknya supayabisa menjaga harta pusaka peninggalan bapak-nya.

…Cuma saja saya mesti berikhtiar supayaluka-luka yang hebat itu jangan mendalamkembali, saya mesti berusaha, supaya iaberangsur sembuh. Untuk itu saya meng-ambil keputusan, saya mesti meninggal-kan kota Padang, terpaksa tak melihatwajah Zainab lagi, saya berjalan jauh(Hamka, 2010:40).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipa-hami bahwa penentangan yang dilakukanoleh Hamid terhadap budaya Minangkabau di-dasari motif agama Islam. Menurut agamaIslam, pernikahan yang terjadi antar seorang

Page 11: PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

11Penentangan Laki-laki Minangkabau terhadap Budaya Minangkabau dalam Novel Hamka

laki-laki dengan perempuan bukan berdasar-kan hubungan keluarga, melainkan berdasar-kan atas saling mencintai dan tidak melanggarsyariat agama Islam. Oleh sebab itu, apa yangterjadi pada diri Zainab sangat tidak disenangioleh Hamid sehingga ia memutuskan untukmeninggalkan Minangkabau dan memper-dalam ilmu agamanya ke tanah Mekah.

PENUTUP

SimpulanBerdasarkan uraian di atas, dapat dipahami

bahwa novel karya Hamka sarat dengan pen-cerminan sosial budaya Minangkabau. Melaluikaryanya, Hamka memprotes budayanya yangtelah memperlakukan laki-laki secara tidak adildengan cara menggambarkan posisi laki-lakiMinangkabau yang dilematis, yaitu pada satusisi laki-laki di Minangkabau bertugas menjagaharta pusaka, sementara pada sisi lain tidakmendapat bagian dari harta warisan itu. Kon-disi ini memunculkan penentangan yang di-lakukan laki-laki Minangkabau terimplimen-tasi dalam sikap tokoh laki-laki dalam ceritamemilih hidup diluar Minangkabau daripadakembali ke Minangkabau, dan memilih me-ninggalkan Minangkabau daripada menetap diMinangkabau. Meskipun sikap ini terkesansebagai sikap mengalah dan tidak berani me-lawan kenyataan, dengan cara itu tokoh ceritabisa membahagiakan dirinya, sekaligus jugauntuk menunjukkan bahwa bukan hanya diMinangkabau saja mereka bisa hidup, tetapidi luar Minangkabau pun mereka bisa men-dapatkan kehidupan lain. Motif yang men-dasari penentangan laki-laki Minangkabauadalah motif agama Islam. Menurut agamaIslam harta pusaka diwariskan kepada anak,bukan kepada kemenakan. Laki-laki dan pe-rempuan memiliki hak yang sama dalampembagian warisan. Begitu juga dalam me-nentukan pasangan hidup, dalam Islam tidakberdasarkan hubungan kekeluargaan, tetapi

berdasarkan kepada saling mencintai dan tidakmelanggar syariat agama Islam.

SaranBerdasarkan simpulan penelitian, disaran-

kan beberapa hal berikut. Pertama, diperlukanpenelitian dengan menggunakan pendekatandan teori sastra yang lain untuk mengungkappermasalahan lain yang terdapat dalam novelkarya Hamka. Kedua, pengajaran sastra Indo-nesia, khususnya tentang karya sastra novelyang mengulas persoalan adat dan budayamasyarakat Indonesia perlu ditingkatkan dandisesuaikan dengan situasi sosial masyarakatbaik di sekolah maupun di perguruan tinggi.Oleh karena itu, bahan-bahan bacaan novel,cerpen, dan puisi yang bertema tentang adatdan budaya masyarakat Indonesia sudah saat-nya diberikan kepada peserta didik sebagai ba-han ajar dalam pembelajaran sastra guna me-ningkatkan pendidikan budi pekerti pesertadidik. Ketiga, dalam rangka meningkatkan pe-mahaman dan pengapresiasian karya sastraberupa novel diperlukan ketelatenan dan kesa-baran dalam mengukuhkan dan manfsirkannilai-nilai yang terkandung dalamnya, sepertiadat dan budaya masyarakat Indonesia sebagaisuatu keberagaman dalam rangka pendidikanmultikultural.

DAFTAR PUSTAKAAmir M.S. 2007. Adat Minangkabau: Pola dan

Tujuan Hidup Orang Minang . Jakarta:Mutiara Sumber Widya.

Arifin, Zainal. 2009. “Dualitas Praktik Perka-winan Minangkabau” dalam Humaniora:Journal of Culture, Literature, LinguisticsVolume 21. Nomor 2, Juni 2009. Yogya-karta: FIB UGM.

Arifin, Zainal. 2012. “Buru Babi: Politik Iden-titas Laki-laki Minangkabau” dalamHumaniora: Journal of Culture, Literature,Linguistics Volume 24. Nomor 1, Februari2012. Yogyakarta: FIB UGM.

Page 12: PENENTANGAN LAKI-LAKI MINANGKABAU TERHADAP BUDAYA

12 , Volume 3, Nomor 1, Juni 20177

Asri, Yasnur. 2011. “Analisis Sosiologis Cerpen“Si Padang” Karya Harris Effendi Thahar”dalam Humaniora: Journal of Culture,Literature, Linguistics Volume 23. Nomor 3,Februari 2011. Yogyakarta: FIB UGM.

Azwar, Welhendri. 2001. Matrilokal dan StatusPerempuan dalam Tradisi Bajapuik. Yogya-karta: Galang Press.

Damono, Sapadi Djoko. 2002. Sosiologi sastra.Jakarta: Gramedia

Darma, Budi. 2007. Bahasa, Sastra, dan BudiDarma. Surabaya: JP Books.

Hamka. 2009. Tenggelamnya Kapal Van DerWijk. Jakarta: Bulan Bintang.

Hamka. 2010. Di Bawah Lindungan Ka’bah.Jakarta: Bulan Bintang.

Hoggart, Richard. 1975. “ContemporaryCultural Studies: An Approach to the Studyof Literature and society” in MalcolmBradbury and David Palmer (ed.)Contemporary Criticsm. London: EdwardArnold.

Hudson, W.H. 1995. An Outline EnglishLiterature. London: G. Boll and Sons Ltd.

Jasril. 2015. “Nilai-nilai Pendidikan dalam KabaMinangkabau” dalam Jurpipas Volume IV.Nomor 2, Desember 2015. Lubuk Alung:STKIP YDB Lubuk Alung.

Junus, Umar. 1986. Sosiologi sastra: PersoalanTeori dan Metode. Kuala Lumpur: DewanBahasa dan Pustaka.

Kleden, Leo. 1997. “Teks, Cerita, dan Trans-formasi Kreatif” dalam jurnal Kebudaya-an Kalam Edisi X.

Navis, A.A. 1986. Alam Terkembang jadi Guru:Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta:Grafiti Pers.

Navis, A.A. 1999. Yang Berjalan Sepanjang Jalan.Jakarta: Gramedia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Paradigm SosiologiSastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial MasyarakatIndonesia. Perspektif Antropologi. Yogya-karta: Pustaka Pelajar.

Thahar, Harris Effendi. 2002. “Pandangan TokohLaki-laki Terhadap Perempuan dalam Kabadan Novel Indonesia Modern Berlatar Mi-nangkabau: Suatu Analisis Perbandingan”dalam Humanus: Jurnal Imu-ilmu Huma-niora Volume IV. Nomor 2, 2003. Padang:LPM Universitas Negeri Padang.

Valdes, Mario J. 1997. PhenomenologyHermeneutic and The Study of Literature.London: University of Toronto Press.