Upload
dinhquynh
View
241
Download
12
Embed Size (px)
PEMBERIAN TERAPI BATUK EFEKTIF DALAM PENGELUARAN
SPUTUM PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn.S
DENGAN PPOK DI RUANG BUGENVIL RSUD
Dr.SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
WONOGIRI
DISUSUN OLEH :
FARIDA LUTHFI FAUZI
P11018
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
i
PEMBERIAN TERAPI BATUK EFEKTIF DALAM PENGELUARAN
SPUTUM PADAASUHAN KEPERAWATAN Tn.S
DENGAN PPOK DI RUANG BUGENVILRSUD
Dr.SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
WONOGIRI
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
FARIDA LUTHFI FAUZI
P11018
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : FARIDA LUTHFI FAUZI
NIM : P11018
Program Studi : DIII KEPERAWATAN
Judul Karya Tulis Ilmiah : PEMBERIAN TERAPI BATUK EFEKTIF
DALAM PENGELUARAN SPUTUM PADA
ASUHAN KEPERAWATAN Tn.S DENGAN
PPOK DI RUANG BUGENVIL RS Dr.SOEDIRAN
MANGUN SUMARSO WONOGIRI.
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai
dengan ketentuan akademik yang berlaku.
Surakarta, Mei 2014
Yang Membuat Pernyataan
FARIDA LUTHFI FAUZI
NIM. P11O18
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh :
Nama : FARIDA LUTHFI FAUZI
NIM : P11018
Program studi : DIII KEPERAWATAN
Judul : PEMBERIAN TERAPI BATUK EFEKTIF DALAM
PENGELUARAN SPUTUM PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Tn.S DENGAN PPOK DI RUANG
BUGENVIL RS Dr.SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
WONOGIRI.
Telah disetujui untuk diajukan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di : Surakarta
Hari/Tanggal : Kamis, 08 Mei 2014
Pembimbing : Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep ( )
NIK 200981037
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh :
Nama : FARIDA LUTHFI FAUZI
NIM : P11018
Program Studi : DIII KEPERAWATAN
Judul : PEMBERIAN TERAPI BATUK EFEKTIF DALAM
PENGELUARAN SPUTUM PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Tn.S DENGAN PPOK DI RUANG
BUGENVIL RS Dr.SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
WONOGIRI.
Telah diajukan dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Karya Ilmiah
Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di :
Hari/Tanggal :
DEWAN PEGUJI
Pembimbing : Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep ( )
NIK 200981037
Penguji I : Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep ( )
NIK 200680021
Penguji II : Happy Indri Hapsari, S.Kep.,Ns., M.Kep ( )
NIK
Mengetahui,
Ketua Program Studi DIII Kepeawatan
STIKES Kusuma Husada Surakarta
Atik Murhayati, S.Kep. Ns., M.Kep
NIK 200680021
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN TERAPI BATUK EFEKTIF DALAM
PENGELUARAN SPUTUM PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn.S
DENGAN PPOK DI RUANG BUGENVIL RS Dr.SOEDIRAN MANGUN
SUMARSO WONOGIRI.”
Dalam penyusunan karya tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat :
1. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program studi
DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba
ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
3. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam membimbing serta memfalitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
4. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku dosen penguji yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam membimbing serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
5. Happy Indri Hapsari, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku dosen penguji yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam membimbing serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
vi
6. Semua dosen Program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
7. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma
Husada dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu,yang
telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
9. Tn.S yang telah bersedia saya rawat dan kooperatif saat proses pengkajian,
hingga evaluasi hasil yang didapatkan.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan. Amin.
Surakarta, Mei 2014
PENULIS
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan .................................................................. 5
C. Manfaat Penulisan ................................................................ 6
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ............................ 7
B. Oksigenasi ............................................................................ 27
C. Batuk efektif ......................................................................... 32
BAB III LAPORAN KASUS
A. Identitas Klien ...................................................................... 34
B. Pengkajian ............................................................................ 34
C. Perumusan Masalah Kesehatan ............................................ 38
D. Perencanaan Keperawatan ................................................... 40
E. Implementasi Keperawatan .................................................. 41
F. Evaluasi Keperawatan .......................................................... 44
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pengkajian ............................................................................ 46
B. Diagnosa Keperawatan......................................................... 51
C. Intervensi .............................................................................. 57
D. Implementasi ........................................................................ 60
E. Evaluasi ................................................................................ 63
viii
F. Keterbatasan Penulis ............................................................ 65
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan .............................................................................. 67
B. Saran ..................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronis merupakan penyakit yang dapat
diobati dan dicegah yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon
inflamasi terhadap zat berbahaya, disertai efek ekstraparu yang
mempengaruhi derajat berat penyakit (GOLD, 2010 dalam Astuti, dkk,
2010). Penyakit paru obstruksi kronis merupakan salah satu dari kelompok
penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat
dunia saat ini, tidak hanya bagi negara maju namun juga bagi Indonesi
sebagai negara berkembang (Depkes, 2008 dalam Helmi, dkk, 2013).
Hal ini dikarenakan, PPOK tidak hanya menimbulkan masalah di
bidang pelayanan kesehatan, namun juga dapat memiliki dampak yang cukup
besar di bidang perekonomian. Beban biaya tahunan langsung dan tidak
langsung yang ditimbulkan oleh PPOK cukup besar yakni lebih dari biaya
rawat inap pasien selama mendapatkan perawatan di rumah sakit (NICE,
2004 dalam Helmi, dkk, 2013). Penyakit Paru Obstruksi Kronis sering
ditandai oleh sekresi yang sangat banyak dan sekresi tersebut harus di
keluarkan untuk mencegah komplikasi paru. PPOM atau COPD merupakan
satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun
dan presisten dari jalan nafas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok
2
ini adalah: bronkitis menahun, empisema paru, asma terutama yang menahun,
bronkiektasis (Murwani, 2011:22).
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi
penyebab utama kesakitan dan kematian didunia. Data badan kesehatan dunia
menunjukkan pada tahun 2008, PPOK menempati urutan ke 3 bersama asma
(4.2 juta kematian), setelah penyakit kardiovaskular (17 juta kematian) dan
kanker (7.6 juta kematian) (WHO, 2008 dalam Astuti, dkk, 2010). Di
Indonesia sendiri, belum ada data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Pada
survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM dan PL di lima
rumah sakit provinsi di Indonesia (Jawa Tenggah, Jawa Barat, Jawa Timur,
Lampung dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK
menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma
bronkhial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004
dalam Astuti, dkk, 2010).
Pada asuhan keperawatan pasien dengan diagnosa Penyakit Paru
Obstruksi Krinis akan muncul masalah yaitu ketidakefektifan bersihan jalan
nafas yang disebabkan oleh hipersekresi, pasien mengalami batuk produktif
kronik, sesak nafas, intoleransi aktifitas karena suplei oksigen terganggu,
mengi (Francis, 2008:69). Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut maka
dilakukan Intervensi keperawatan yang dilaksanakan pada pasien Penyakit
paru obstruksi kronis yaitu membersihkan sekresi bronkus dengan
pertolongan berbagai cara, pengobatan simtomatik (lihat tanda dan gejala
yang muncul), sesak nafas diberi posisi yang nyaman semi fowler, dehidrasi
3
diberi minum yang cukup, penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang
timbul, mengatur posisi dan pola bernafas untuk mengurangi jumlah udara
yang terperangkap, memberi penjelasan tentang teknik-teknik relaksasi dan
cara untuk menyimpan energi (Padila, 2012:100). Salah satu intervensi
keperawatan yang dilaksanakan pada pasien PPOK yaitu mengeluarkan
mukus atau lendir agar saluran pernafasan kembali efektif. Salah satunya
yaitu tindakan mandiri yang bisa di laksanakan klien untuk mengeluarkan
sputum yaitu teknik terapi batuk efektif (Pranowo, 2008).
Tehnik batuk efektif merupakan tindakan yang dilakukan untuk
membersihkan sekresi dari saluran nafas. Tujuan dari batuk efektif adalah
untuk meningkatkan ekspansi paru, mobilisasi sekresi dan mencegah efek
samping dari retensi sekresi seperti pneumonia, atelektasis dan demam.
Dengan batuk efektif pasien tidak harus mengeluarkan banyak tenaga untuk
mengeluarkan sekret (Subrata, 2006 dalam Pranawo, 2008). Caranya adalah
sebelum dilakukan batuk, klien dianjurkan untuk minum air hangat dengan
rasionalisasi untuk mengencerkan dahak. Setelah itu dianjurkan untuk
inspirasi dalam. Hal ini dilakukan selama dua kali. Kemudian setelah
inspirasi yang ketiga, anjurkan klien untuk membatukkan dengan kuat
(Depkes, 2007 dalam Pranowo, 2008).
Berdasarkan berbagai data dan informasi di atas maka penulis tertarik
untuk melakukan studi kasus tentang efektifitas pemberian terapi batuk
efektif pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis, karena pada kasus ini
pasien mengalami batuk produktif dan peningkatan frekuensi infeksi saluran
4
pernafasan bawah yang menghasilkan sputum purulen. Pada dasarnya jika
sputum tidak segera di keluarkan maka akan terjadi pengumpalan sekresi
pernafasan pada area jalan nafas dan paru-paru serta menutup sebagian jalan
udara yang kecil sehingga menyebabkan ventilasi menjadi tidak adekuat dan
gangguan pernafasan, maka tindakan yang harus segera dilakukan adalah
mobilisasi sputum (Pranowo, 2008). Dari pengamatan atau observasi yang
didapatkan penulis, perawat hanya memberi tempat sputum dan mengatakan
kepada pasien untuk menampung sputum, perawat tidak menjelaskan
bagaimana tekhnik terapi batuk efektif kepada klien sehingga klien tidak
mengetahui bagaimana cara mengeluarkan sputum dengan maksimal. Pada
kenyataan yang sering kita temukan pasien tidak melakukan batuk efektif
sehingga hanya air ludah yang lebih dominan di bandingkan sputum.
Sehingga penulis tertarik untuk mengaplikasikan terapi batuk efektif pada
pasien PPOK untuk membantu pengeluaran sputum yang lebih dominan dari
pada air liur.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melaporkan studi kasus pengaruh terapi batuk efektif dalam
pengeluaran sputum pada asuhan keperawatan Tn.S dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis di ruang bugenvil RSUD Dr. Soediran Mangun
Sumarso.
5
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn.S dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn.S
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Tn.S
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn.S dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn.S dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian terapi batuk efektif
dalam pengeluaran sputum pada asuhan keperawatan pada Tn.S
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
C. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah sakit
Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan
dalam melakukan terapi batuk efektif pada asuhan
keperawatankhususnya bagi pasien dengan diagnosa Penyakit Paru
Obstruksi Kronis.
2. Bagi Institusi akademik
Dapat memberikan kontribusi laporan hasil efektifitas batuk
efektif pada kasus Penyakit Paru Obstruksi Kronis bagi pengembangan
6
praktik keperawatan dan pemecahan masalah khususnya dalam bidang
atau profesi keperawatan.
3. Bagi Perawat
a. Mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif
kepada pasien penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
b. Melatih berfikir dalam melakukan asuhan keperawatan,
khususnya pada pasien dengan diagnosa Penyakit Paru Obstruksi
Kronis.
4. Bagi Penulis
Dapat melakukan tindakan pemberian terapi batuk efektif pada
asuhan keperawatan Penyakit Paru Obstruksi Kronis secara langsung
dan optimal pada praktek klinik keperawatan, dan sebagai tambahan
ilmu baru bagi penulis.
5. Bagi Pembaca
Memberikan kemudahan bagi pembaca untuk sarana dan
prasaran dalam pengembangan ilmu keperawatan, diharapkan setelah
pembaca membaca buku ini dapat mengetahui tentang terapi batuk
efektif dan Penyakit Paru Obstruksi Kronis sehingga menjadi acuan
atau ada sebuah penelitian untuk kasus ini.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penyakit Paru Obstruksi Kronis
1. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah keadaan penyakit
yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel. keterbatasan aliran udara ini biasanya progresif dan
berhubungan dengan respons peradangan yang abnormal dari paru
terhadap partikel atau udara yang berbahaya (Rubenstein, dkk, 2005: 64).
Istilah Penyakit Paru Obstruksi Kronis (Chronic Obstructive Pulmonary
Disease) penyakit ini tidak hanya mempengaruhi jalan napas, penyakit
ini juga mengenai parenkim paru dan sirkulasi pulmonal (Francis, 2008:
60). Faktor risiko utama berkembangnya penyakit PPOK terdiri dari
faktor paparan lingkungan (rokok, pekerjaan, polusi udara dan infeksi)
dan faktor resiko host (usia, jenis kelamin, adanya riwayat gangguan
fungsi paru dan predisposisi genetik yaitu defisiensi antitripsin (AAT)
(Ikawati, 2011: 66).
Penyakit Paru Obstruksi kronis dicirikan oleh obstruksi aliran
udara biasanya progresif, tidak sepenuhnya reversibel dan tidak berubah
secara bermakna setelah beberapa bulan. Merokok secara dominan
menyebabkan penyakit ini (NICE, 2004 dalam Helmi, 2013). Penyakit
Paru Obstruksi Kronis sering ditandai oleh sekresi yang sangat banyak
8
dan sekresi tersebut harus di keluarkan untuk mencegah komplikasi paru.
PPOM atau COPD merupakan satu kelompok penyakit paru yang
mengakibatkan obstruksi yang menahun dan presisten dari jalan nafas di
dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah: bronkitis
menahun, empisema paru, asma terutama yang menahun, bronkiektasis
(Murwani, 2011: 22).
2. Klasifikasi
a. Bronkitis kronis
Adanya gangguan klinis yang ditandi dengan hiperproduksi
mukus dari percabangan bronkus dengan pencerminan batuk yang
menahun. Simtom tersebut terus terdapat setiap hari selama 2 tahun
berturut-turut. Hal ini terdapat pada TBC paru, tumor paru dan abses
paru.
b. Empisema
Adanya kelainan paru dengan pelebaran abnormal dari ruang
udara distal dari bronkiolis terminal yang disertai dengan penebalan
dan kerusakan di dinding alveoli.
c. Bronkitis empisema
Adalah campuran bronkitis menahun dan empisema.
d. Asma kronis dan bronkitis asmatis
1) Asma menahun pada asma bronkial menahun yang
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
9
2) Bronkitis asmatis adalah bronkitis yang menahun kemudian
menunjukkan tanda-tanda hiperaktifitas bronkus, yang di tandai
dengan sesak nafas dan wheezing.
e. Penyakit TBC yang berkembang menjadi PPOM
(Murwani, 2011: 23)
3. Etiologi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis disebabkan oleh faktor
lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar bisa dicegah. Merokok
diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus PPOM. Faktor
resiko lain termasuk keadaan sosial-ekonomi dan status pekerjaan yang
rendah, kondisi lingkungan yang buruk karena dekat dengan lokasi
pertambangan, perokok pasif atau terkena polusi udara dan konsumsi
alkohol yang berlebih, laki-laki dengan usia antara 30 sampai 40 tahun
paling banyak menderita PPOM (Padila, 2012: 98).
a. Usia
PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara
klinis sebelum usia 40 tahun. Kasus-kasus yang termasuk
perkeculian yang jarang dari pernyataan umum ini seringkali
berhubungan dengan sifat yang terkait dengan defisiensiv bawaan
dari antitripsin alfa-1. Ketidakmampuan ini dapat mengakibatkan
seseorang mengalami emfisiema dan PPOK pada usia sekitar 20
tahun, yang berisiko menjadi semakin berat jika mereka merokok
(Francis, 2008: 68).
10
b. Merokok
Ini merupakan penyebab PPOK yang paling umum, dan
mencakup 80% dari semua kasus PPOK yang ditemukan. Diduga
bahwa sekitar 20% orang yang merokok akan mengalami PPOK,
dengan resiko perseorangan meningkat sebanding dengan
peningkatan jumlah rokok sigaret yang dihisapnya. Mengenai
merokok, jumlah yang diisap oleh seseorang diukur dengan istilah
pack years, Satu pack years = menghisap 20 batang rokok per hari
selama satu tahun. Dengan demikian, seseorang yang merokok 40
batang rokok per hari selama satu tahun atau mereka yang merokok
20 batang rokok selama dua tahun akan memiliki akumulasi yang
ekuivalen dengan 2 pack years (Francis, 2008: 68).
c. Latar belakang genetik dan keluarga
Telah ditemukan keterkaitan keluarga yang lemah, tidak
seperti pada asma di riwayat asma sebelumnya di dalam keluarga
sangat dipertimbangankan sebagai faktor resiko yang penting
(Francis, 2008: 68).
4. Manifestasi klinis
a. Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah terkena iritasi oleh
iritan-iritan inhalan, udara dingin atau infeksi.
b. Sesak nafas dan dispnea.
c. Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastsitas paru
menyebabkan dada mengembang.
11
d. Hipoksia dan hiperkapnea.
e. Takipnea.
f. Dispnea yang menetap.
( Padila, 2012: 98)
5. Patofisiologi
Seiring perkembangan PPOK, perubahan patofisiologis berikut
biasanya terjadi secara berurutan: hipersekesi mukus, disfungsi sillia,
keterbatasan aliran udara, hiperinflanasi pulmonal, abnormalitas
pertukuran gas, hipertensi pulmonal. Jalan nafas perifer menjadi tempat
utama obstruksi pada pasien PPOK. Perubahan struktural dinding jalan
nafas adalah penyebab terpenting peningkatan tahanan jalan nafas
perifer. Perubahan inflamasi seperti edema jalan nafas dan hipersekresi
mukus juga menyebabkan penyempitan jalan nafas perifer. Hipersekresi
mukus disebabkan oleh stimulasi pembesaran kelenjar yang menyekresi
mukus dan peningkatan jumlah sel goblet oleh mediatior inflamasi
seperti leukosillia mengalami metaplasia skuoamosa, yang menyebabkan
gangguan pembersihan mukosillia, yang biasanya merupakan
abnormalitas fisiologis yang pertama kali tejadi pada PPOK.
Abnormalitas ini dapat terjadi selama beberapa tahun sebelum
abnomalitas lain terjadi.
Keterbatasan aliran udara ekspirsi adalah temuan penting pada
PPOK. Ketika proses penyakit berkembang, volume ekspirasi kuat dalam
satu detik (forced expiratory volume in 1 second, FEV 1) dan kapasitas
12
vital kuat (forced vital capacity, FPC) menurun, hal ini berhubungan
dengan peningkatan ketebalan dinding jalan nafas, penurunan kelekatan
alveolar dan penurunan recoil elastis paru. Sering kali tanda pertama
terjadi keterbatasan aliran udara adalah penurunan rasio FEV1 pasca
bronkodilator kurang dari 80% dari nilai prediksi yang dikombinasikan
(Morton,dkk, 2012: 737).
6. Komplikasi
a. Kegagalan respirasi akibat sesak nafas atau dispnea.
b. Kardiovaskuler yaitu kor pulmonal aritmia jantung.
c. Ulkus peptikum.
d. PPOM umumnya berjalan secara progresif dalam jangka waktu
yang lama, penderita jadi cacat dan tidak dapat melakukan
kegiatan sehari-hari.
e. Kematian biasanya terjadi karena kegagalan respirasi dan
kematian mendadak karena aritmia jantung
(Muwarni, 2011:25)
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan farmakologi
1) Bronkodilator
Perburukan sesak nafas biasanya dapat ditangani dengan
penambahan bronkodilator kerja-singkat biasa maupun
dengan meningkatkan frekuensi penggunaannya. Penggunaan
nebulezier untuk memberikan pengobatan inhalasi secara
13
rutin digunakan di rumah sakit, walaupun demikian jika
pasien mampun mempertahankan tehnik inhalasi yang baik
dengan menggunakan spacer bervolume besar, maka metode
ini telah terbukti sama efektifnya dengan terapi nebulisasi
(Francis, 2008: 82).
2) Antibiotik
Terapi antibiotik sering diresepkan pada eksaserbasi PPOK,
dengan pemilihan antibiotik bergantung kepada kebijakan
lokal, terapi secara umum berkisar pada penggunaan yang
disukai antara amoksisilin, klaritromisin, atau trimetopri.
Biasanya lama terapi tujuh hari sudah mencukupi (Francis,
2008: 82).
3) Indikasi oksigen
Pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut atau
menahun yang tidak dapat diatasi dengan obat. Serangan
jangka pendek dengan ekserbasi akut, dan serangan akut pada
asma.
(Murwani, 2011: 26)
b. Penatalaksanaan non farmakologi
1) Aktivitas olah raga
Program aktivitas olahraga untuk PPOK dapat terdiri atas
sepeda ergometri, latihan treadmill, atau berjalan dengan
14
diatur waktunya, dan frekuensinya dapat bekisar dari setiap
hari sampai setiap minggu (Morton,dkk , 2012: 741).
2) Konseling nutrisi
Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan terjadi pada
lebih dari 50% pasien PPOK yang masuk rumah sakit.
Insiden malnutrisi bervariasi sesuai dengan derajat
abnormalitas pertukaran gas (Morton,dkk , 2012: 741).
3) Penyuluhan
Berhenti merokok adalah metode tunggal yang paling
efektif dalam mengurangi resiko terjadinya PPOK dan
memperlambat kemajuan tingkat penyakit. Sesi konseling
singkat untuk mendorong perokok berhenti merokok
menyebabkan angka berhenti menjadi 5% sampai 10%
(Morton,dkk , 2012: 741).
8. Pemeriksaan diagnostik
1) Uji fungsi paru
Bisa menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara pada kasus
PPOK merupakan hal yang paling penting secara diagnostik. Hal
ini biasanya dilakukan menggunakan laju aliran ekspirasi puncak
( peak expiratory flow, PEF). Pada beberapa kasus dimana PPOK
dicurigai, perlu dipertimbangkan untuk mengunakan peak
expiratory flow pediatrik. Ini bermanfaat untuk mencatat volume
keluaran yang lebih kecil dengan menyediakan skala yang tepat
15
untuk akurasi yang lebih baik. Hal ini sangat berguna jika
sebelumnya peak expiratory flow dewasa menunjukkan angka
yang rendah dan berubah-rubah atau jika pasien mengalami
kesulitan merapatkan mulut disekitar mouthpiece pada peak
expiratory flow dewasa. Penting untuk dicatat bahwa, sementara
nilai laju aliran ekspirasi puncak yang normal saja tidak dapat
menyingkirkan diagnosis PPOK, nilai FEV1 normal yang diukur
dengan spirometer akan menyikirkan diagnosis PPOK (Francis,
2008: 70-71).
2) Spirometri
Spirometri merupakan alat kuantitatif yang kuat saat uji
reversibilitas digunakan untuk mematikan diagnosis yang tepat.
Perbedaan dapat dibuat dengan membandingkan hasil spirometri
yang didapat saat episode debilitas respirasi dengan hasil yang
didapat setelah beberapa saat pemulihan. Pada kasus asma uji
reversibilitas akan menunjukkan bahwa terjadi perbaikan setelah
pemulihan, data numerik yang diperoleh dapat berada diantara
batas normal atas dan bawah. Hal ini tidak khas pada PPOK
dimana data akan menunjukkan terjadinya sedikit perbaikan
(Francis, 2008: 71).
3) Pemeriksaan laboratorium
a) Leukosit
b) Eritrosit
16
c) Hemoglobin
d) BBS atau LED
e) Analisa darah arteri (PO2 dan saturasi oksigen)
f) Semuanya sama dengan penyakit primernya
(Murwani,2012: 25)
4) Photo thoraks
a) Bayangan lobus
b) Corakan paru bertambah (bronkitis akut)
c) Defesiensi arterial corakan paru bertambah (emfisiema)
(Murwani,2012: 25)
9. Asuhan keperawatan pada pasien PPOK
1) Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data relevan
yang kontinue tentang respon manusia, kekuatan dan masalah
klien (Dermawan, 2012: 36). Pengkajian yang di lakukan pada
pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis:
a) Berapa lama pasien mengalami kesulitan pernafasaan
b) Kapan gejala muncul
c) Batasan terhadap toleransi aktifitas
d) Makanan dan pola tidur
e) Pengetahuan pasien tentang penyakit yang dialaminya
17
Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan:
a) Frekuensi nadi dan pernafasan
b) Sianosis
c) Pembesaran vena leher
d) Edema perifer
e) Warna, jumlah, dan konsistensi sputum
f) Tingkat kegelisahan
(Smeltzer dan bare, 2002: 595)
2) Diagnosa keperawatan
Diagnosa yaitu proses keperawatan yang mencakup 2 fase
analis atau sintesis data dasar menjadi pola yang bemakna dan
menuliskan pernyataan diagnosa keperawatan
(Dermawan, 2012: 58).
Setelah melakukan analisis atau sintesis dan muncul
diagnosa keperawatan, maka perawat harus melakukan prioritas
diagnosa keperawatan menurut kebutuhan dasar manusia.
Manusia mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi
secara memuaskan melalui proses homeostasis, baik fisiologis
maupun psikologis. Adapun kebutuhan merupakan suatu hal yang
sangat penting, bermaanfaat, atau diperlukan untuk menjaga
homeostasis dan kehidupan itu sendiri. Banyak ahli filsafat,
psikologis dan fisiologis menguraikan kebutuhan manusia dan
membahasnya dari berbagi segi. Abraham maslow seorang
18
psikolog dari Amerika mengembangkan teori tentang kebutuhan
dasar manusia maslow. Hierarki tersebut meliputi lima kategori
kebutuhan dasar, yakni:
a) Kebutuhan fisiologis, kebutuhan fisiologis memiliki prioritas
tetinggi dalam hierarki maslow, kebutuhan fisiologis
merupakan hal yang mutlak dipenuhi manusia untuk bertahan
hidup. Manusia memiliki delapan macam kebutuhan,yaitu:
kebutuhan oksigen dan petukaran gas, kebutuhan caian dan
elektrolit, kebutuhan makanan, kebutuhan eliminasi urine dan
alvi, kebutuhan istirahat dan tidur, kebutuhan aktivitas,
kebutuhan kesehatan temperatur tubuh, kebutuhan seksual.
b) Kebutuhan keselamatan dan rasa aman
c) Kebutuhan rasa cinta
d) Kebutuhan harga diri
e) Kebutuhan aktualisasi diri
(Mubarak dan Cahyatin, 2008: 1-2)
Berdasarkan pada semua data pengkajian, diagnosa
keperawatan utama yang dapat muncul pada pasien PPOK dapat
mencakup yang berikut ini:
a) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidaksamaan ventilasi-perfusi.
19
b) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk
tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal.
c) Resiko tinggi infeksi pernafasan behubungan dengan
akumulasi sekret jalan nafas dan menurunnya kemampuan
batuk efektif
d) Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan
sekunder akibat peningkatan upaya pernafasan dan
insufinsiensif ventilasi dan oksigen.
e) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan hipoksemia dan
pola pernafasan tidak efektif.
f) Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang
sosialisasi, anestesi, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan
ketidak mampuan untuk bekerja
g) Defisit pengetahuan berhubungan dengan prosedur perawatan
diri yang akan dilakukan dirumah
(Smeltzer dan Bare, 2012)
3) Intervensi keperawatan
Intervensi adalah memprioritaskan diagnosa keperawatan,
menentukan hasil akhir perawataan klien, mengidentifikasi
tindakan keperawatan dan klien yang sesuai dan rasional
ilmiahnya, dan menetapkan rencana asuhan keperawatan,
20
diagnosa diprioritaskan sesuai dengan keseriusan atau
mengancam jiwa(Dermawan, 2012: 84).
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidaksamaan ventilasi-perfusi.
Intervensi keperawatan:
a) Kaji keefektifan jalan nafas.
Rasional: Bronkhospasme dideteksi ketika terdengar
mengi saat diauskultasi dengan stetoskop. Peningkatan
pembentukan mukus sejalan dengan penurunan aksi
mukosiliaris menunjang penurunan lebih lanjut diameter
b) Kolaborasi untuk pemberian bronkhodilator
Rasional: terapi aerosol membantu mengencerkan sekresi
sehingga dapat dibuang. Bronkhodilator yang dihirup
sering ditambahkan ke dalam nebulizer untuk
memberikan aksi bronkhodilator langsung pada jalan
nafas, dengan demikian memperbaiki pertukaran gas.
c) Lakukan fisioterapi dada
Raional: Setelah inhalasi bronkodilator nebuliser, klien
disarankan untuk meminum air putih untuk lebih
mengencerkan sekresi, kemudian membatukkan dengan
ekspulsif atau postural drainase akan membantu dalam
pengeluaran sekresi. Klien dibantu untuk melakukan hal
ini dengan cara yang tidak membuatnnya keletihan.
21
d) Kolaborasi untuk pemantauan analisis gas arteri
Rasional: sebagai bahan evaluasi setelah melakukan
intervensi.
e) Kolaborasi pemberian oksigen via nasal
Rasional: oksigen diberikan ketika terjadi hipoksemia.
Perawat harus memantau menggunakan alat pemberian
oksigen. Klien diinstruksikan tentang penggunaan
oksigen yang tepat dan tentang bahaya peningkatan laju
aliran oksigen tanpa ada arahan yang eksplisit dari
perawat.
(Muttaqin, 2008:162)
2) Ketidakefektifan Bersihan jalan napas berhubungan dengan
bronkokonstriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak
efektif.
Intervensi keperawatan:
a) kaji warna, kekentalan, dan jumlah sputum
Rasional: karakteristik sputum dapat menunjukkan berat
ringannya obstruksi.
b) Atur posisi semi fowler
Rasional: meningkatkan ekspansi dada.
22
c) Ajarkan cara batuk efektif
Rasional: batuk yang terkontrol dan efektif dapat
memudahkan pengeluaran sekret yang melekat di jalan
nafas.
d) Bantu klien latihan nafas dalam
Rasional: ventilasi maksimal membuka lumen jalan
nafas dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan
nafas besar untuk dikeluarkan.
e) Petahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml per hari
kecuali tidak diindikasikan.
Rasional: hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan
sekret dan mengefektifkan pembersihan jalan nafas.
f) Kolaborasi pemberian mukolitik dan ekspektoran
Rasional: menurunkan kekentalan dan perlengketan
sekret paru unuk memudahkan pembersihan.
g) Kolaborasi pemberian kortikosteroid
Rasional: menurunkan reaksi inflamasi akibat edema
mukosa dan dinding bronkus
(Muttaqin, 2008: 161-162)
3) Resiko tinggi infeksi pernafasan berhubungan dengan
akumulasi sekret jalan nafas dan menurunnya kemampuan
batuk efektif.
23
Intevensi keperawatan:
a) Kaji kemampuan batuk klien.
Rasional: batuk yang diberikan dengan infeksi bronkhial
melalui siklus yang ganas dengan trauma dan kerusakan
pada paru lebih lanjut, kemajuan gejala, peningkatan
bronkhospasme, dan peningkatan lebih lanjut terhadap
kerentaan infeksi bronkhial. Infeki menggangu fungsi
paru dan merupakan penyebab umum gagal nafas pada
klien dengan PPOK.
b) Monitor adanya perubahan yang mengarah pada tanda-
tanda infeksi penafasan
Rasional: klien di instruksikan untuk melaporkan dengan
segera jika sputum mengalami warna, karena
pengeluaran sputum purulen atau peubahan karakter,
warna, atau jumlah adalah tanda dari infeksi.
c) Ajarkan latihan bernafas dan training penafasan
Rasional: latihan bernafas, sebagian besar individu
dengan PPOK bernafas dalam dari dada bagian atas
dengan cara yang cepat dan tidak efisien. Jenis bernafas
dengan dada atas ini dapat diubah menjadi bernafas
diafragmatik dengan latihan. Traning pernafasan
diafragmatik mengurangi frekuensi pernafasan,
24
meningkatkan ventilasi alveolar, dan kadang membantu
mengeluarkan udara sebanyak mungkin selama ekspiasi.
(Muttaqin, 2008: 162-163)
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan
sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan
insufiensif ventilasi dan oksigenasi.
Intervensi keperawatan:
a) Ajarkan pasien untuk mengkoordinasikan pernapasan
diagframatik dengan efektivitas (misalnya berjalan dan
membungkuk).
Rasional: akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif
dan untuk menghindari keletihan yang berlebihan atau
dispnea selama aktivitas.
b) Berikan pasien dorongan untuk memulai mandi sendiri,
berpakaian sendiri, berjalan dan minum. Bahas tentang
tindakan penghematan energi.
Rasional: sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan
mampu melakukan lebih banyak namun perlu didorong
untuk menghindari peningkatan ketergantungan.
c) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan
Rasional: memberikan dorongan pada pasien untuk
terlibat dalam perawatan dirinya, membantu membangun
harga diri dan menyampaikan untuk mengatasi dirumah.
25
(Smletzer dan Bare, 2002: 608)
5) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan akibat keletihan,
hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif.
Intervensi keperawatan:
a) kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
Rasional: menjadi dasar dalam melakukan intervensi
selanjutnya.
b) Atur cara aktifitas klien sesuai kemampuan
Rasional: klien dengan PPOM mengalami penurunan
toleransi terhadap olahraga pada periode yang pasti
dalam satu hari, hal ini terutama tampak nyata pada saat
bangun di pagi hari, karena sekresi bronkhial dan edema
menumpuk dalam paru selama malam hari ketika
individu berbaring.
c) Ajarkan latihan otot-otot pernafasan
Rasional: setelah klien mempelajari pernafasan
diafragmatik, suatu program pelatihan otot-otot
penafasan dapat diberikan untuk membantu menguatkan
otot-otot yang digunakan dalam benafas.
(Muttaqin, 2008: 163)
6) Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang
sosialisai, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan
ketidak mampuan untuk bekerja.
26
Intevensi keperawatan:
a) Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan
semangat yang ditujukan pada pasien.
Rasional: suatu perasaan harapan akan memberikan
pasien sesuatu yang dapat dikerjakan, ketimbang sikap
merasa kalah dan tidak berdaya.
b) Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala.
Rasional: aktivitas mengurangi ketegangan dan
mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan pasien lebih
terkondisi.
c) Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk
relaksasi bagi pasien.
Rasional: relaksasi mengurangi stres dan ansietas dan
membantu pasien untuk mengatasi ketidakmampuannya.
(Smeltzer dan Bare, 2002: 608)
7) Defisit pengetahuan berhubungan dengan prosedur perawatan
diri yang akan dilakukan dirumah.
Intervensi keperawatan:
a) Jelaskan kepada klien tetang penyakit, tanda dan gejala
serta pencegahan dari penyakit yang dialaminya
Rasional: dengan pengetahuan klien tentang penyakit,
tanda dan gejala serta pencegahannya tindakan yang akan
dilaksanakan lebih bisa tercapai dengan maksimal.
27
b) Anjurkan klien untuk berhenti merokok dan mengurangi
aktivitas yang berlebih
Rasional: merokok akan memperberat keadaan klien yang
mengalami PPOK, dan memungkinkan muncul komplikasi
pada saluran pernafasan.
(Muttaqin, 2008: 163)
B. Oksigenasi
1. Definisi
Oksigen adalah gas untuk mempertahankan hidup yang
diedarkan ke sel-sel dalam tubuh melalui sistem pernafasan dan sistem
kardiovaskuler (peredan darah) (Vaughans, 2013: 230). Oksigen
merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling vital. Oksigen
dibutuhkan oleh tubuh untuk menjaga kelangsungan metabolisme sel
sehingga dapat mempertahankaan hidup dan aktivitas berbagai sel,
jaringan atau organ. Oksigenasi merupkan proses penambahan
oksigen (O2) kedalam sistem (kimia atau fisika). Penambahan oksigen
kedalam tubuh dapat dilakukan dengan cara alami dengan cara
bernafas. Sistem tubuh yang berperan dalam oksigenasi adalah sistem
pernafasan atau sistem respirasi (Sapura, 2013: 46).
28
2. Etiologi
a) Faktor fisiologis
Beberapa sistem bekerja sama untuk memungkinkan
oksigenasi normal. Kita telah mendiskripsikan peran yang
dilakukan paru-paru dan jantung dalam oksigenasi, namun penting
juga untuk mengenali bahwa proses lain juga secara langsung
mempengaruhi fungsi paru-paru dan jantung yang tepat.
b) Usia dan tahap perkembangan
Sistem pernafasan dan sistem kekebalan tubuh yang tidak
sempurna diikuti ukuran jantung lebih kecil menjadikan anak-anak
kecil beresiko lebih besar terhadap gangguan oksigenasi. Orang
dewasa lanjut juga beresiko lebih besar terhadap gangguan
oksigenasi karena kapasitas fungsional paru-paru dan jantung
berkurang seiring pertambahan usia seseorang.
c) Faktor lingkungan
Beberapa variable di lingkungan mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan oksigennya.
Polutan dan alergen di udara (missal serbuk sari, kabut asap, zat
kimia beracun) dan juga asap rokok sekunder dapat merusak paru-
paru dan mengarah pada dampak jangka panjang seperti kanker
paru-paru dan penyakit pulmonari (COLD). Dataran tinggi juga
dapat menganggu oksigenasi karena tejadi penurunan jumlah
oksigen di udara.
29
d) Makanan
Dampak makanan yang buruk didokumentasikan dengan
baik. Kandungan makanan dan juga jumlah makanan yang dicerna
dapat menyebabkan masalah yang secara langsung mempengauhi
oksigenasi.
e) Gaya hidup
Bagaimana seseorang memilih gaya hidupnya juga dapat
berkontribusi pada gangguan oksigenasi. Beberapa contoh pilihan
gaya hidup dan dampak terkaitnya di antaranya yaitu merokok,
kecanduaan alkohol, kecanduan kokain.
f) Gangguan kesehatan
Gangguan kesehatan secara langsung terkait dengan
fungsi pernafasan dan kadiovaskuler dan juga yang terkait dengan
fungsi tubuh lain yang berpotensi mempengaruhi oksigenasi.
Banyak penyimpangan tejadi akibat pilihan hidup tidak sehat
(misalnya makanan, rokok, gaya hidup tetap). Contoh
penyimpangan sistem pernafasan antara lain: pneumonia, COPD
dan COLD, hipoventilasi, hiperventilasi.
(Vaughans, 2013: 235-238)
30
3. Manifestasi klinis
Tanda-tanda pasti yang menunjukkan bahwa seseorang
pasien mempunyai masalah dengan oksigenasi, di antarannya:
a) Cemas,binggung, disorientasi
b) Perubahan tanda-tanda vital (suhu, denyut nadi, tekanan darah)
c) Nafas pendek
d) Sianosis
e) Retraksi dinding dada
f) Suara nafas abnormal
g) Batuk
h) Cairan dalam paru-paru dan meningkatnya produksi sputum
i) Sakit dada (disebabkan pernafasan atau jantung)
j) Desir jantung abnormal
k) Jari-jari dan tumit kesemutan (dengan kekurangan oksigen kronis)
l) Isi ulang kapiler < 3 detik
m) Edema atau bengkak
n) Perubahan warna kulit gelap dan ulser (kekurangan oksigen pada
jaringan periferal)
o) Kram otot
( Vaughans, 2013: 240)
4. Diagnosa keperawatan pada gangguan oksigenasi
Diagnosa keperawatan utama untuk klien dengan masalah
oksigenasi adalah (Mubarak dan chayatin, 2008: 169) :
31
a) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah ketidak mampuan
untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran penafasan
untuk mempertahankan kebersihan jalan nafas.
Batasan karakteristik:
1) Dispnea, penurunan suara nafas
2) Orthopneu
3) Sianosis
4) Kelainan suara nafas (rales, wheezing)
5) Kesulitan berbicara
6) Batuk tidak efektif atau tidak ada
7) Mata melebar
8) Produksi sputum
9) Gelisah
10) Perubahan frekuensi dan Irama nafas
Faktor yang berhubungan:
1) Lingkungan: merokok, menghirup asap rokok, perokok pasif-
POK, infeksi.
2) Fisiologis: disfungsi neuromuskular, hiperplasia dinding
bronkus, alergi jalan nafas, asma.
3) Obstruksi jalan nafas: spasme jalan nafas, sekresi tertahan,
banyaknya mukus, adanya jalan nafas buatan, adanya eksudat
dialveolus, benda asing di jalan nafas.
32
(Nurarif dan Kusuma , 2013: 297-298)
b) Gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas yaitu kelebihan atau defisit pada
oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida pada membran
alveolar kapiler (Nurarif dan Kusuma, 2013: 261).
c) Ketidakefektifan pola nafas
Ketidakefektifan pola nafas adalah inspirasi dan atau ekspirasi
yang tidak memberi ventilasi (Nurarif dan Kusuma, 2013: 303).
d) Intoleransi aktivitas
Intoleansi aktivitas adalah ketidakcukupan energi secara fisiologis
maupun psikologis untuk meneruskan atau menyelesaikan aktifitas
yang diminta atau aktifitas sehari-hari (Nurarif dan Kusuma, 2012,
295).
C. Batuk efektif
Batuk adalah proteksi utama pasien terhadap akumulasi sekresi dalam
bronki dan bronkiolus. Batuk diakibatkan oleh iritasi membran mukosa
dimana saja dalam saluran pernafasan. Batuk hebat, berulang, atau tidak
terkontrol yang tidak produktif akan sangat melelahkan dan berpotensi
membahayakan. Pembentukan sputum adalah reaksi paru-paru terhadap
setiap iritan yang kambuh secara konstan, tindakan yang bisa dilakukan untuk
mobilisasi sputum secara mandiri yaitu dengan terapi batuk efektif (Smeltzer
& Bare, 2002: 530). Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar
33
dan pasien dapat mengeluarkan dahak dengan maksimal. Namun latihan ini
hanya bisa dilakukan pada orang yang sudah bisa diajak kerja sama
(kooperatif) (potter & pery, 2005: 165). Pemberian latihan batuk efektif
terutama pada infeksi saluran pernafasaan bawah yang berhubungan dengan
akumulasi sekret pada jalan nafas yang sering diakibatkan oleh kemampuan
batuk yang menurun atau adanya nyeri sehingga pasien malas untuk
melakukan batuk (Muttaqin, 2008: 169).
1. Tujuan
Batuk efektif dilakukan untuk memobilisasi sekret dan
mencegah efek samping dari penumpukan sekret, memobilisasi sekret
dan mengeluarkannya, mencegah komplikasi pernafasan atelektasis dan
pneumonia, batuk tidak efektif dapat mengakibatkan efek yang
merugikan pasien dengan penyakit paru-paru kronis berat, seperti kolaps
saluran pernafasan, ruptur dingin alveoli dan pneumotoraks (Muttaqin,
2008:169).
2. Prosedur
a. Setelah menggunakan pengobatan bronkodilator (jika direspkan),
tarik napas dalam lewat hidung dan tahan napas untuk beberapa
detik.
b. Batuk 2 kali, batuk pertama untuk melepaskan mukus dan batuk
kedua untuk mengeluarkan sekret. Jika klien merasa nyeri dada pada
saat batuk, tekan dada dengan bantal. Tampung sekret pada sputum
pot yang berisi lisol.
34
c. Untuk batuk menghembus, sedikit maju kedepan dan ekspirasi kuat
dengan suara “hembusan”.Teknik ini menjaga jalan napas terbuka
ketika sekresi bergerak ke atas dan keluar paru.
d. Inspirasi dengan napas pendek cepat secara bergantian (menghirup)
untuk mencegah mukus bergerak kembali ke jalan napas yang
sempit.
e. Istirahat
f. Hindari batuk yang terlalu lama karena dapat menyebabkan
kelelahan dan hipoksia.
(Kusyati, 2006: 263 )
3. Macam – macam sputum
a. Sputum kekuning-kuningan menunjukkan adanya proses infeksi
b. Sputum hijau menujukkan adannya proses penimbunan nanah.
Sputum hijau ini sering ditemukan pada penderita bronkirktasis
karena penimbunan sputum dalam bronkus yang melebar dan
terinfeksi.
c. Sputum merah muda dan berbusa menunjukkan adanya tanda
edema paru akut.
d. Sputum berlendir, lekat, abu-abu atau putih menunjukkan adanya
tanda bronchitis kronik
e. Sputum berbau busuk menunjukkan adannya tanda abses paru atau
bronkhiektasis.
(Kusyati, 2006: 275)
35
BAB III
LAPORAN KASUS
Dalam bab ini menjelaskan tentang ringkasan asuhan keperawatan yang di
lakukan pada Tn.S dengan diagnosa medis Penyakit Paru Obstruksi Kronis,
dilaksanakan pada tanggal 10-11 April 2014. Asuhan keperawatan di mulai dari
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, evaluasi.
A. Identitas Klien
Dari pengkajian pada tanggal 10 April 2014 jam 11.30 WIB, pada
kasus ini di peroleh dengan cara alloanamnesa dan autoanamnesa,
mengadakan pemantauan atau observasi langsung, pemeriksaan fisik,
menelaah catatan medis dan cacatan perawat. Dari data pengkajian tersebut
didapat hasil identitas klien bahwa klien bernama Tn.S umur 54 tahun,
beragama Islam, dengan alamat Joho, Jati mulyo, Jati puro. Tn.S dirawat
mulai tanggal 10 April 2014 dan di diagnosa dokter bahwa Tn.S menderita
Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Yang bertanggung jawab kepada klien
adalah Ny.S berumur 51 tahun, pekerjaan wiraswasta, pendidikan terakhir
SD, beragama Islam, dengan alamat Joho, Jati mulyo, Jati puro.
B. Pengkajian
Ketika dilakukan pengkajian, klien mengatakan lemas dan batuk.
Riwayat penyakit sekarang yang di ungkapkan klien adalah kurang lebih 2
minggu yang lalu klien batuk, batuk timbul saat klien melakukan aktifitas
berlebihan, klien pada tanggal 07 April 2014 klien periksa di PKU
Muhammadiyah selogiri dan dilakukan rongten, kemudian pada tanggal 10
36
April 2014 klien kontrol di PKU Muhammadiyah kemudian di rujuk ke
RSUD Dr.Soediran Mangun Sumarso Wonogiri, klien mengatakan merokok,
tetapi selama sakit klien berhenti merokok.
Pada riwayat peyakit dahulu klien mengatakan kurang lebih 7 tahun
yang lalu pernah dirawat di puskesmas Jati pura karena batuk, klien
mengatakan tidak mempunyai alergi, klien mengatakan tidak ingat dengan
imunisasinya, klien mempunyai riwayat merokok.
Riwayat kesehatan keluarga klien merupakan anak ketiga dari tiga
bersaudara, klien mempunyai dua anak, anak pertama laki-laki dan anak
kedua perempuan, klien tinggal serumah dengan istrinya. Pada pengkajian
riwayat kesehatan lingkungan klien mengatakan lingkungan di sekitar
rumahnya bersih, terdapat saluran pembuangan air, tempat sampah, ventilasi,
rumahnya jauh dari jalan raya dan pabrik.
Pada pola kesehatan fungsional Gordon didapatkan data pada pola
persepsi dan pemeliharaan kesehatan klien mengatakan bila sakit alternatif
pertama yaitu beli obat diwarung dan kerokan, jika sakitnya tidak kunjung
sembuh pasien periksa ke dokter praktek ataupun di rumah sakit, selama sakit
pasien berhenti merokok, pasien berharap cepet sembuh sehingga dia bisa
beraktivitas lagi seperti sebelumnya.
Pola nutrisi dan metabolik sebelum sakit frekuensi 3x sehari, jenis
nasi, sayur, lauk, 1 porsi habis, tidak ada keluhan, selama sakit frekuensi 3x
sehari, jenis nasi, sayur, lauk, 1 porsi habis, tidak ada keluhan.
37
Pola eliminasi sebelum klien mengatakan sebelum masuk rumah sakit
BAB 1x per hari dan teratur tiap pagi hari, konsistensi lunak berbentuk, BAK
lancar tidak ada keluhan 6-7 kali per hari , dengan karakteristik urine warna
kuning, selama sakit klien mengatakan sampai saat di kaji belum BAB, BAK
lancar tidak ada keluhan 6-7 kali per hari, dengan karakteristik urine kuning
jernih.
Pola aktifitas dan latihan sebelum sakit klien mengatakan aktivitas
perawatan diri dilakukan secara mandiri, selama sakit klien mengatakan
aktivitas perawatan diri di bantu oleh keluarganya. Pada pengkajian pola
istirahat tidur klien mengatakan sebelum sakit tidur pukul 21.00 – 05.00 WIB
dengan kualitas tidur nyenyak, klien tidak pernah mengunakan obat sedative,
selama sakit dan di rawat di rumah sakit klien mengatakan tidur mulai pukul
22.00 – 05.00 WIB kadang terbangun jika batuk.
Pola kognitif-perseptual klien mengatakan saat ini batuk dan
badannya lemas, pengindraan normal, pasien dapat mencium bau,
penglihataan dan pendengaran tidak ada gangguan, anggota tubuh pasien
masih lengkap.
Pola persepsi konsep diri klien mengatakan selalu bersyukur pada
Allah SWT masih di beri anggota tubuh yang lengkap meskipun saat ini
badanya terasa lemas, klien berharap segera sembuh dan keadaannya
membaik setelah mendapat perawatan, klien mengatakan harga dirinya tak
bermasalah meskipun sedang sakit, pasien sebagai seorang kepala keluarga
38
terganggu karena tidak bisa bekerja seperti biasanya, pasien adalah seorang
laki-laki usia 54 tahun sekaligus sebagai seorang kepala keluarga.
Pola hubungan dan peran klien mengatakan ia sebagai seorang kepala
keluarga, hubungan dengan keluarga baik, begitu juga klien dengan tenaga
medis, saat dilakukan tindakan keperawatan kooperatif. Pola seksualitas
reproduksi klien mengatakan mempunyai 2 anak dan 3 cucu, klien tinggal
serumah dengan istrinya. Pada pengkajian mekanisme koping klien
mengatakan saat ini tinggal bersama istrinya, jika klien mempunyai masalah
di bicarakan dengan istrinya. Pola nilai dan keyakinan klien beragama Islam
dan taat bersembahyang.
Dalam pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan data bahwa keadaan
umum klien baik, tingkat kesadara composmentis, didapatkan pula data
pengukuran respirasi 28 kali per menit, nadi 110 kali per menit, tekanan darah
100/70 mmHg, suhu 36,7 derajat celcius. Bentuk kepala meshocepal, kulit
kepala bersih, rambut hitam sedikit uban, pemeriksan mata palbebra tidak
odema, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterus, pupil isokor, diameter
kanan kiri sama, reflek terhadap cahaya positif, tidak mengungakan alat bantu
penglihatan, kebersihan hidung terjaga, mukosa bibir kering, gigi berlubang,
kebersihan telinga terjaga tidak ada serumen berlebihan, leher tidak ada
pembesaran kelenjar thyroid. Pada pemeriksaan dada (paru-paru): inspeksi
bentuk dada barel chest (dada tong), simetris kanan dan kiri, palpasi vokal
fremitus kanan kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi vesikuler melemah
dan terdapat suara ronkhi, pemeriksaan jantung: inspeksi bentuk dada simetris
39
tidak ada luka dan jejas, palpasi ictus cordis teraba di SIC V, perkusi
terdengar bunyi pekak, auskultasi BJ I – BJ II murni atau normal tidak
terdengar bunyi tambahan, pemeriksaan abdomen: inspeksi tidak ada luka dan
jejas, auskultasi bising usus terdengar 8 kali per menit, perkusi tympani,
palpasi tidak ada nyeri tekan. Genetalia kebersihan terjaga dan tidak terpasa
DC, kebersihan rektum terjaga, periksaan ekstremitas atas kekuatan otot
kanan kiri kekuatan penuh, ROM kanan kiri baik, capilary refile kurang dari
dua detik, tidak ada perubahan bentuk tulang, perabaan akral hangat,
pemeriksaan pada ekstremitas bawah kekuatan otot kanan kiri penuh, ROM
kanan kiri baik, capilary refile kurang dari dua detik, tidak ada perubahan
bentuk tulang, perubahan akral hangat.
Pada tanggal 10 April 2014 di lakukan pemeriksaan laboratorium di
dapatkan data hasil, WBC 8,7 k/ul, RBC 4,61 m/ul, HGB 14,4 g/dl, HCT
45,1%, MCV 97,9, MCHC 31,9, RDW 14,3, PLT 452 k/ul, MPV 6,8 fl. Gula
darah sewaktu 83 mg/dl, SGOT 30 u/l, SGPT 23 u/l, ureum 30 mg/dl,
kreatinin 0,5 mg/dl. Terapi yang diberikan oleh dokter adalah inful RL 20
tpm, ranitidin 25mg/12 jam, ceftriaxon 1g/12 jam, antalgin 500mg/8 jam,
ambroxol 3x30 mg, salbutamol 3x2mg.
C. Perumusan Masalah Keperawatan
Dari data tersebut jam 11.35 penulis merumuskan diagnosa
keperawatan ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
peningkatan mukus, ditandai dengan data subyektif klien mengatakan batuk
terutama saat melakukan aktifitas, klien mengatakan gemetar, keringat dingin
40
dan lemes, data obyektif adalah Tn.S terlihat sering batuk, pada pemeriksaan
fisik paru hasilinspeksi bentuk dada barel chest (dada tong), simetris kanan
dan kiri, palpasi vokal fremitus kanan kiri sama, perkusi hipersonor,
auskultasi ronkhi, klien terlihat lemas, mukosa bibir kering, tekanan darah:
100/70 mmHg, nadi: 110 kali per menit, respirasi: 28 kali per menit. Jam
11.40 penulis merumuskan diagnosa keperawatan intoleransi aktifitas
berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen, ditandai dengan data subyektif klien mengatakan badannya terasa
lemas, gemetaran, selalu batuk jika duduk, berjalan, atau pun kurang istirahat,
data obyektif adalah Tn.S klien tampak terbaring di tempat tidur, ADL
dibantu keluarga, klien tampak lemah, dan lemas, tekanan darah: 100/70
mmHg, nadi 110 kali per menit, respirasi 28 kali per menit. Jam 11.45 penulis
merumuskan diagnosa keperawatan defisiensi pengetahuan berhubungan
dengan kurang pajanan terhadap informasi penyakit, ditandai dengan data
subyektif klien mengatakan tidak mengerti penyakitnya dan cara
penanganannya, data obyektif adalah klien selalu bertanya tentang penyakit
yang dialaminya, klien tampak cemas, klien selalu menanyakan tindakan
yang akan di lakukan.
Dari analisa data yang di dapatkan penulis memprioritaskan diagnosa
keperawatan yaitu yang pertama ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan peningkatan produksi mukus, yang kedua intoleransi
aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
41
oksigen, ketiga defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan
terhadap informasi penyakit.
D. Perencanaan Keperawatan
Setelah penulis melakukan analisa data maka intervensi atau rencana
keperawatan yang di lakukan adalah sebagai berikut :
Pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan peningkatan produksi mukus. Tujuan yang di buat
penulis adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 kali 24 jam
di harapkan klien dapat meningkatkan bersihan jalan napas dengan kriteria
hasil menurut Nic dan Noc : klien tidak sesak napas, tidak ada sianosis, tidak
ada secret, tanda-tanda vital dalam batas normal. Intervensi atau rencana
tindakan keperawatan yang akan di lakukan adalah kaji kemampuan klien
untuk memobilisasi sekresi, jika tidak mampu: jelaskan tentang kegunaan
batuk efektif, posisikan semi fowler, ajarkan teknik batuk efektif, dampingi
klien melaksanakan batuk efektif untuk memantau tingkat kepatenan jalan
nafas dan meningkatkan kemampuan klien membebaskan jalan nafas, berikan
obat sesuai resep mukolitik dan ekspektoran untuk mengencerkan sekret agar
mudah di keluarkan, anjurkan minum kurang lebih 2 liter per hari bila tidak
ada kontra indikasi untuk mengencerkan sekret.
Perencanaan diagnosa yang kedua adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 kali 24 jam klien dapat melakukan aktifitas mandiri
dengan kriteria hasil sesuai Nic dan Noc : tanda-tanda vital dalam batas
normal, klien mampu melakukan aktifitas secara mandiri. Intervensi atau
42
rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan adalah kaji tingkat
ketergantungan klien untuk mengetahui tingkat kemampuan klien melakukan
aktifitas, bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
untuk meminimalkan tingkat ketergantungan klien, bantu untuk memilih
aktifitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik untuk melatih klien
melakukan aktifitas.
Perencanaan diagnosa yang ketiga adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 kali 24 jam klien dan keluarga mengetahui penyakitnya
dengan kriteria hasil sesuai Nic dan Noc : klien dan keluarga paham tentang
penyakit dan program pengobatan, klien dan keluarga mampu melaksanakan
prosedur yang di jelaskan secara benar. Intervensi atau rencana keperawatan
yang akan dilakukan adalah jelaskan kepada klien dan keluarga tentang
penyakit yang dialami,tanda dan gejala yang bisa muncul agar klien
mengetahui tentang penyakit yang dialaminya, diskusikan perubahan gaya
hidup yang mungkin di perlukan untuk mencegah komplikasi, jelaskan
kepada klien tentang cara penanganan pengeluaran sputum dengan terapi
batuk efektif agar klien mampu melaksanakan terapi batuk efektif dengan
benar.
E. Implementasi
Setelah penulis melakukan analisa data serta merencanakan tindakan
keperawatan maka implementasi yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai
berikut :
43
Tindakan keperawatan pada diagnosa pertama yang dilakukan pada
hari kamis 10 April 2014 jam 11.30 yaitu mengukur tanda-tanda vital di
dapatkan respon subyektif klien mengatakan bersedia di periksa dan respon
obyektif klien tampak kooperatif,TD: 100/70 mmHg, nadi 110 kali per menit,
suhu 36,7 derajat celcius, respirasi 28 kali per menit. 11.35 memposisikan
klien semi fowler di dapatkan respon subyektif klien mengatakan mau
meleksanakan perintah perwat dan respon obyektif klien tampak kooperatif,
posisi klien setengah duduk. Jam 11.45 melaksanakan kolaborasi pemberian
obat di dapatkan respon subyektif klien mengatakan bersedia disuntik dan
minum obat dan data obyektif klien tampak kooperatif, obat oral sudah di
minum ambroxol 30mg, salbutamol 2mg. Jam 11.50 menganjurkan klien
untuk banyak minum air putih 6-8 gelas per hari di dapatkan respon subyektif
klien mengatakan melaksanakannya dan respon obyektif klien tampak minum
1 gelas habis.Jam 13.00 menjelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk
efektif di peroleh respon subyektif klien mengatakan tidak mengetahui
tentang batuk efektif dan respon obyektif klien tampak memperhatikan.
Tindakan keperawatan hari kedua yang dilakukan pada hari jum’at tanggal 11
April 2014 jam 05.40 yaitu mengukur tanda-tanda vital di dapatkan respon
subyektif klien mengatakan bersedia di periksa dan respon obyektif klien
tampak kooperatif, TD: 110/70 mmHg, nadi 80 kali per menit, respirasi 20
kali per menit. Jam 05.45 mengajarkan klien batuk efektif di dapatkan respon
subyektif klien mengatkan mau mengikuti yang di ajarkan, dan data respon
obyektif klien tampak antusias melakukan teknik terapi batuk efektif. Jam
44
06.00 mendampingi klien dalam melakukan pengeluaran sputum di dapatkan
respon subyektif klien mengatakan mau melaksanakan dan respon obyektif
sputum kurang lebih 0,20 cc. Jam 08.00 melaksanakan kolaborasi pemberian
obat di dapatkan respon subyektif klien mengatakan bersedia disuntik dan
minum obat dan respon obyektif klien tampak kooperatif obat masuk melalui
IV dan oral ambroxol 30mg dan salbutamol 2mg. Jam 09.00 mendampingi
pasien dalam melakukan pengeluaran sputum menggunakan teknik batuk
efektif di dapatkan respon subyektif klien mengatakan mau melaksanakannya
dan respon obyektif klien tampak melakukan teknik terapi batuk efektif
dengan benar, sputum keluar kurang lebih 30cc.
Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua yang dilakukan pada hari
kamis 10 April 2014jam 11.55 mengkaji tingkat ketergantungan klien di
dapatkan data subyektif klien mengatakan badannya lemas di peroleh respon
obyektif klien tampak terbaring lemah,aktifitas dibantu keluarga. Jam 12.00
membantu klien untuk mengidentifikasi yang mampu di lakukan di dapatkan
respon subyektif klien mengatakan jika duduk akan batuk, data obyektif
pasien hanya bisa bertahan duduk selama 5 menit, karena sering batuk. Jam
12.05 mengajarkan latihan otot-otot penafasan didapatkan respon subyektif
pasien mengatakan mau mengikuti yang diajarkan dan respon obyektif pasien
tampak melakukan penafasan diafragmatik. Jam 13.50 mengkaji tingkat
ketergantunggan klien didapatkan respon subyektif klien mengatkan
badannya sudah tidak lemas lagi, sudah bisa melakukan aktivitas secara
45
mandiri dan respon obyektif pasien tampak melakukan aktifitas secara
mandiri.
Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga yang dilakukan pada hari
kamis 10 April 2014jam 12.50 menjelaskan kepada klien dan keluarga
tentang penyakit, tanda dan gejala dan penyebab di dapatkan respon subyektif
klien mengatakan tidak mengetahui tentang penyakit yang di alaminya,
respon obyektif klien tampak mendengarkan penjelasan. Tindakan
keperawatan hari kedua yang dilakukan pada hari jum’at tanggal 11 April
2014 jam 13.45 menjelaskan kepada klien untuk tidak merokok dan
melakukan aktiftas yang berlebihan di dapatkan respon subyekif klien
mengatakan selama sakit tidak merokok, setelah pulang dari rumah sakit akan
lebih memperhatikan kesehatannya dan respon obyektif klien tampak
memperhatikan.
F. Evaluasi
Setelah penulis melakukan analisa data, merencanakan tindakan
keperawatan, dan melakukan tindakan keperawatan maka evaluasi yang di
dapatkan dari implementasi keperawatan adalah sebagai berikut:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diagnosa yang pertama , hasil
evaluasi yang dilakukan pada hari kamis, 10 April 2014 jam 13.50 dengan
mengunakan metode SOAP yang dihasilkan adalah Tn.S mengatakan batuk
berdahak, batuk bertambah ketika klien banyak melakukan aktifitas, dari hasil
observasi Tn.S tampak sering batuk, tekanan darah: 100/70 mmHg, nadi 110
kali per menit, respirasi 28 kali per menit, suhu 36,7 derajat celsius, dari
46
semua tindakan yang telah dilakukan didapatkan hasil masalah keperawatan
ketidak efektifan kebersihan jalan nafas belum teratasi sehingga intervensi
dilanjutkan untuk observasi tanda-tanda vital dan ajarkan teknik batuk efektif.
Dari hasil evaluasi yang dilakukan pada hari jum’at, 11 April 2014 jam 13.50
dengan mengunakan metode SOAP yang dihasilkan adalah Tn.S mengatakan
masih batuk,batuk lebih sering terjadi ketika malam hari, dari hasil observasi
di dapatkan hasil klien tampak batuk, tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi 80
kali permenit, respirasi 20 kali permenit, dari semua tindakan keperawatan
yang telah dilakukan didapatkan hasil masalah keperawatan ketidak bersihan
jalan nafas belum teratasi sehingga intervensi keperawatan dilanjutkan untuk
anjurkan klien banyak minum untuk mengencerkan sputum, observasi tanda-
tanda vital, anjurkan klien untuk selalu menggunakan teknik terapi batuk
efektif, kolaborasi pemberian obat.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah keperawatan kedua,
hasil evaluasi yang dilakukan pada hari kamis, 10 April 2014 jam 13.50
dengan mengunakan metode SOAP yang dihasilkan adalah Tn.S mengatakan
badannya lemas jika akan melakukan aktifitas minta bantuan keluarga dari
hasil observasi Tn.S tampak lemas, klien hanya terbaring di tempat tidur,
keluarga tampak membantu klien dalam melakukan aktifitas, dari semua
tindakan yang telah dilakukan di dapatkan hasil masalah keperawatan
intoleransi aktifitas belum teratasi sehingga intervensi dilanjutkan kaji tingkat
ketergantungan pasien. Dari hasil evaluasi yang dilakukan pada hari jum’at,
11 April 2014 jam 13.55 dengan mengatakan badannya sudah tidak lemas
47
lagi, sudah bisa melakukan aktivitas secara mandiri dari hasil observasi Tn.S
tampak melakukan aktivitas secara mandiri, dari semua tindakan yang telah
dilakukan didapatkan hasil masalah keperawaatan intoleransi aktifitas
teratasi, intervensi keperawatan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah keperawatan kedua,
hasil evaluasi yang dilakukan pada hari kamis, 10 April 2014 jam 13.55
dengan mengunakan metode SOAP yang dihasilkan adalah Tn.S mengatakan
tidak mengetahui tentang penyakitnya, dari hasil observasi didapatkan hasil
klien selalu bertanya tentang penyakitnya, penyebab dari penyakit yang
dialaminya saat ini, dari semua tindakan yang telah dilakukan didapatkan
hasil masalah keperawatan defisiensi pengetahuan teratasi, intervensi
keperawatan di hentikan.
48
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pembahasan
Pada bab ini penulis akan membahas asuhan keperawatan tentang
Tn.S dengan PPOK di ruang bugenvil RSUD Dr.Soediran Mangun Sumarso.
Pembahasan pada babini terutama membahas adanya kesesuaian maupun
kesenjangan antara teori dengan kasus. Terkait dengan hal tersebut pada bab
ini penulis akan melakukan pembahasan tentang asuhan keperawatan
pemberian terapi batuk efektif dalam pengeluaran sputumpada Tn.S dengan
PPOK di ruang bugenvil rumah sakit Dr.Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri. Prinsip dari pembahasan ini memfokuskan pada kegawat daruratan
dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia di dalam asuhan keperawatan.
Penulis akan membahas semua diagnosa yang khususnya diagnosa
keperawatan utama, alasannya karena yang paling aktual dan harus terlebih
dahulu ditangani.
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data relevan yang
kontinue tentang respon manusia, kekuatan dan masalah klien
(Dermawan, 2012: 36). Dalam pengkajian terhadap Tn.S penulis
menggunakan metode wawancara, observasi serta catatan rekam medis.
Adapun hasil pengkajian data fokus yang terdapat pada teori dan
ditemukan pada kasus adalah sebagai berikut:
49
a. Riwayat kesehatan
Tanda dan gejala yang muncul pada pasien PPOK yaitu
Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah terkena iritasi oleh
iritan-iritan inhalan, udara dingin atau infeksi, sesak nafas dan
dispnea, terperangkapnya udara akibat hilangnya elastsitas paru
menyebabkan dada mengembang, hipoksia dan hiperkapnea,
takipnea, dispnea yang menetap (Padila, 2012: 98).
Pengkajian kasus Tn.S yang dilakuan pada tanggal 10 April
2014 penulis menemukan tanda dan gejala Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK) yaitu batuk disertai sputum, pasien tampak lemah,
inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong), simetris kanan dan
kiri, palpasi vokal fremitus kanan kiri sama, perkusi hipersonor,
auskultasi vesikuler melemah dan terdapat suara ronkhi, mukosa
bibir kering, penafasan 28 kali per menit. Dari tanda dan gejala yang
telah disebutkan diatas, antara teori dan observasi serta pengkajian
pada Tn.S penulis menemukan perbedan antara teori dengan kasus
yaitu pada Tn.S penulis tidak menemukan tanda dan gejala sesak
nafas, hal ini bisa terjadi pada pasien PPOK dengan stadium 0
(derajat beresiko PPOK) Spirometri normal, kelainan kronik (batuk,
sputum produktif). Sedangkan pada stadium lanjut dapat ditemukan
tanda dan gejala Stadium I (PPOK Ringan)VEP1/KVP < 70%,
VEP1>80% , dengan atau tanpa keluhan kronik (batuk, sputum
produktif), dipsnea minimal, pemeriksaan fisik normal.Stadium II
50
(PPOK Sedang),VEP1/KVP < 70%, 30% < VEP1< 80% prediksi, (II
A : 50% < VEP1 < 80% prediksi), (II B : 30% < VEP1 < 50%
prediksi), dengan atau tanpa keluhan kronik (batuk, sputum
produktif), sesak nafas saat aktivitas yang tidak terlalu berat, mengi,
huperinflasi, dan penurunan udara yang masuk.Stadium III (PPOK
Berat)VEP1/KVP<70%, VEP1< 30% prediksi atau VEP1< 50% sesak
nafas saat aktivitas ringan, gagal nafas serta kor pulmonal (Rani,
dkk, 2006 : 106).
Pola aktifitas dan latihan sebelum sakit klien mengatakan
aktivitas perawatan diri dilakukan secara mandiri, selama sakit klien
mengatakan aktivitas perawatan diri di bantu oleh keluarganya. Pada
pasien PPOK salah satu masalah yang muncul yaitu intoleransi
aktifitas yang ditandi dengan kelemahan fisik dan ADL dibantu
keluarga ataupun alat, hal ini di karenakan pada pasien PPOK terjadi
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen
(Herdman, 2011: 280).
Pada pola kesehatan fungsional Gordon didapatkan data pada
pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan klien mengatakan bila
sakit alternatif pertama yaitu beli obat diwarung dan kerokan, jika
sakitnya tidak kunjung sembuh pasien periksa ke dokter praktek
ataupun di rumah sakit, selama sakit pasien berhenti merokok, pasien
berharap cepet sembuh sehingga dia bisa beraktivitas lagi seperti
sebelumnya. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien PPOK
51
salah satunya yaitu defisiensi pengetahuan, faktor yang berhubungan
dengan masalah keperawatan defisiensi pengetahuan adalah
keterbatasan koognitif, kurang pajanan mengenai informasi, salah
intepretasi informasi, tidak familier dengan sumber informasi
(Nurarif dan kusuma, 2013: 234).
Riwayat penyakit dahulu klien mengatakan kurang lebih 7
tahun yang lalu pernah dirawat di puskesmas jati pura karena batuk,
klien mengatakan tidak mempunyai alergi, klien mengatakan tidak
ingat dengan imunisasinya, klien mempunyai kebiasaan merokok.
Dalam teori dijelaskan bahwa penyebab dari PPOK adalah karena
usia, merokok, latar belakang genetik dan keluarga. Ini merupakan
penyebab PPOK yang paling umum, dan mencakup 80% dari semua
kasus PPOK yang ditemukan. Diduga bahwa sekitar 20% orang yang
merokok akan mengalami PPOK. Merokok menekan aktivitas sel-sel
pemangsa dan mempengaruhi mekanisme pembersihan siliaris dari
trakus respiratorius, yaitu fungsi untuk menjaga saluran pernafasan
bebas dari iritan, bakteri dan benda asing lainnya yang terhirup
(Francis, 2008: 68). Pada kasus Tn.S ditemukan adanya persamaan
dengan teori yaitu penyebab dari PPOK salah satunya adalah
merokok.
b. Hasil pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik paru pasien PPOK didalam teori
didapatkan hasil inspeksi pada klien dengan PPOM, terlihat adanya
52
peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan, serta penggunaan otot
bantu nafas (sternocleidomastoid). Pada saat inspeksi, biasanya
dapat terlihat klien mempunyai bentuk dada barrel chest akibat
udara yang terperangkap, penipisan massa otot, bernafas dengan
bibir yang dirapatkan, dan pernafasan abnormal yang tidak efektif.
Pada palpasi, ekpansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun. Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma mendatar atau menurun. Pada auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi ronkhi dan wheezing sesuai tingkat
keparahan obstuksi pada bronkhiolus (Muttaqin, 2008:158).
Hasil dari pemeriksan fisik paru yang telah dilakukan penulis
pada Tn.S didapatkaninspeksi bentuk dada barel chest (dada tong),
simetris kanan dan kiri, palpasi vokal fremitus kanan kiri sama,
perkusi hipersonor, auskultasi vesikuler melemah dan terdapat suara
ronkhi. Bedasarkan hasil pemeriksan fisik paru dengan teori tidak
ada kesenjangan, pada pasien PPOK ronkhi dan wheezing
ditimbulkan karena terdapat obstruksi pada bronkhiolus
(Muttaqin, 2008: 158).
Untuk lebih mendukung tanda dan gejala yang muncul pada
pasien PPOK perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu
pengukuran fungsi paru, analisa gas darah, pemeriksaan
laboratoriaum (hemoglobin, hematokrit, jumlah darah merah,
53
eosinofil, pulse oksimetri), pemeriksaan sputum
(Muttaqin, 2008: 158-159).
Pada Tn.S pemeriksaan yang dilakukan sesuai dengan teori
yaitu Hg B 14,4 g/dl (normal: 12,0 – 18,0), HCT 45,1% ( 40-52%),
dari hasil tersebut dalam batas normal, sputum berwana putih. Dari
hasil pemeriksaan penunjang tidak sesuai dengan teori karena.
Penyakit Paru Obstuksi Kronis pada pasien Tn.S masuk dalam
stadium 0 (derajat beresiko PPOK) yang ditandai dengan batuk,
sputum produktif) (Rani, dkk, 2006 : 106) maka tidak dilakukan
pemeriksaan penunjang lainnya.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa yaitu proses keperawatan yang mencakup 2 fase analis
atau sintesis data dasar menjadi pola yang bemakna dan menuliskan
penyataan diagnosa keperawatan (Dermawan, 2012 :58).
Berdasarkan pada semua data pengkajian, diagnosa keperawatan
yang dapat muncul pada pasien PPOK dapat mencakup:
a. Gangguan petukaran gas berhubungan dengan retensi CO2, proses
penyakit
Gangguan pertukaran gas adalah kelebihan atau defisit pada
oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida pada membrane
alveolar-kapiler. Batasan karakteristik yang pada masalah
keperawatan ini yaitu gas darah arteri abnormal, Ph arteri abnormal,
pernafasan abnormal (kecepatan, irama, kedalaman), warna kulit
54
abnormal (pucat, kehitaman), konfusi, sianosis, penurunan
karbondioksida, diaforesis, dispnea, sakit kepala saat bangun,
hiperkapnia, hipoksemia, hipoksia, iritabilitas, nafas cuping hidung,
gelisah, somnolen, takikardi, gangguan penglihatan (Herdman, 2011:
128). Dari pengkajian dan observasi penulis tidak menemukan
batasan karakteristik yang sesuai pada diagnosa tersebut sehingga
penulis tidak mengangkat diagnosa ini.
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan nafas dan menurunnya
kemampun batuk efektif.
Ketidakefektifan besihan jalan nafas adalah ketidakmampuan
untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran nafas untuk
memperhatikan bersihan jalan nafas. Batasan karakteistik dari
masalah tersebut yaitu suara nafas tambahan, perubahan frekuensi
nafas, perubahan irama nafas, sianosis, kesulitan berbicara atau
mengeluarkan kata-kata, penurunan bunyi nafas, dispnea, sputum
dalam jumlah yang berlebih, batuk yang tidak efektif, orthopnea,
gelisah, mata terbuka lebar (Herdman, 2011: 356). Sedangkan
batasan karakteristik yang muncul pada Tn.S yaitu kelainan suara
nafas (ronkhi), batuk tidak efektif, produksi sputum, gelisah. Pada
pengkajiaan dan obsevasi Tn.S penulis tidak menemukan tanda dan
gejala sesak nafas, hal ini juga disampaikan pada klasifikasi PPOK
menurut National Heart Lung and Blood Institute dan WHO pada
55
Stadium 0 (Derajat Berisiko PPOK) Spirometri normal, kelainan
kronik (batuk, sputum produktif) (Rani, dkk, 2006 :106).
Pada masalah keperawatan ketidakefektifan besihan jalan
nafas penulis menentukan etiologi peningkatan produksi mukus,
karena adanya gangguan klinis yang ditandai dengan hiperproduksi
mukus dari percabangan bronkus dengan pencerminan batuk yang
menahun atau pun batuk yang tidak produktif (Murwani, 2011: 23).
c. Resiko tinggi infeksi pernafasan behubungan dengan akumulasi
sekret jalan nafas dan menurunnya kemampuan batuk efektif
Definisi dari Resiko tinggi infeksi yaitu mengalami
peningkatan risiko terserang organisme patogenik. Dalam masalah
keperawatan ini faktor-fakto yang beresiko adalah penyakit kronis,
imunitas didapat tidak adekuat, pertahanan tubuh primer yang tidak
adekuat, pertahanan tubuh sekunder yang tidak adekuat, peningkatan
pajanan lingkungan terhadap patogen, imunosupresi, prosedur
infasif, trauma, kerusakan jaringan. Resiko tinggi infeksi pernafasan
behubungan dengan akumulasi sekret jalan nafas dan menurunnya
kemampuan batuk efektif tidak terjadi pada Tn.S karena pada
pengkajian dan observasi pada Tn.S tidak ditemukan tanda-tanda
infeksi yaitu sputum purulen atau perubahan karakter, warna atau
jumlah (Muttaqin, 2008: 162-163).
56
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder
akibat peningkatan upaya pernafasan dan insufinsiensif ventilasi
dan oksigen.
Pengertian dari defisit perawatan diri adalah hambatan
kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
sendiri, defisit perawatan diri terdiri dari: defisit perawatan diri
berpakaian, defisit perawatan diri eliminasi, defisit perawatan diri
makan, defisit perawatan diri mandi (Nurarif dan Kusuma, 2013).
e. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik umum
dan keletihan
Pengertian dari intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan
energi psikologi atau fisiologis untuk melanjutkan atau
menyelesaikan aktifitas kehidupan sehari-hari yang harus atau
yang ingin dilakukan. Batasan karakteristik pada masalah
keperawatan ini adalah respon frekuensi jantung abnormal
terhadap aktivitas, perubahan EKG yang mencerminkan aritmia,
perubahan EKG yang mencerminkan iskemia, ketidaknyamanan
setelah beraktifitas, dispnea setelah beraktivitas, menyatakan
merasa letih, menyatakan merasa lemah (Herdman, 2011: 157).
Batasan karakteristik yang muncul pada Tn.S yaitu klien
mengatakan badannya terasa lemas, gemetaran, selalu batuk jika
duduk, berjalan, atau pun kurang istirahat, data obyektif adalah
Tn.S klien tampak terbaring di tempat tidur, ADL dibantu
57
keluarga, klien tampak lemah, dan lemas, tekanan darah: 100/70
mmHg, nadi 110 kali per menit, respirasi 28 kali per menit.
Berdasarkan pengkajian penulis pada kasus Tn.S ditemukan
adanya kesesuainan antara teori dengan tanda dan gejala pada
Tn.S, jadi antara diagnosis penulis dan teori sudah sesuai.
Penulis mengambil etiologi ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen karena tejadi obstuksi pada
pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan
dinding alveoli, sehingga tejadi gangguan pergerakan udara dari
dan keluar paru yang mengakibatkan usaha dan frekuensi
pernafasan, penggunan otot bantu penafasan maka akan terjadi
keletihan fisik dan gangguan pemenuhan ADL
(Muttaqin, 2008:157).
f. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurangnya
sosialisasi, kecemasan, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan
ketidakmampuan untuk bekerja.
Koping individu tidak efektif adalah ketidakmampuan untuk
membentuk penilian valid tentang stresor, ketidakadekuat pilihan
respons yang dilakukan dan atau ketidakmampuan untuk
menggunakan sumber daya yang tersedia. Batasan karakteristik dari
masalah keperawatan ini adalah penyalahgunaan agen kimia,
perubahan dalam pola komunikasi yang biasa, penurunaan
penggunaan dukungan sosial, perilaku destruktif terhadap orang lain,
58
pemecahan masalah yang tidak adekuat, mengungkapkan ketidak
mampuan meminta bantuan (Herdman, 2011: 297). Koping individu
tidak efektif berhubungan dengan kurangnya sosialisasi, kecemasan,
depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk
bekerja. Tidak terjadi pada Tn.S karena dalam pengkajian
didapatkan hasil Pola hubungan dan peran klien mengatakan sebagai
seorang kepala keluarga, hubungan dengan keluarga baik, begitu
juga klien dengan tenaga medis, saat dilakukan tindakan
keperawatan kooperatif.
g. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan prosedur perawatan diri
yang akan dilakukan dirumah.
Defisiensi pengetahuan adalah ketiadaan atau defisensi
informasi kognitif yang berkaitan dengan topik tertentu. Batasan
karakteristik dalam masalah keperawatan ini yaitu perilaku
hiperbola, ketidakakuratan mengikuti perintah, ketidakakuratan
perfoma uji, perilaku tidak tepat (histeria, bermusuhan, agitasi,
apatis), pengungkapan masalah (Herdman, 2011: 203). Defisiensi
pengetahuan muncul pada Tn.S berdasarkan pengkajian klien
mengatakan tidak mengerti penyakitnya dan cara penanganannya,
data obyektif adalah klien selalu bertanya tentang penyakit yang
dialaminya, klien tampak cemas, klien selalu menanyakan tindakan
yang akan di lakukan. Dari hasil pengkajian yang didapatkan pada
59
Tn.S sudah sesuai dengan batasan karakteristik dari defisiensi
pengetahuan.
Penulis mengambil etiologi kurang pajanan terhadap
infomasi penyakit karena pasien dengan PPOM, dapat memperbaiki
kualitas hidupnya dengan mengetahui tentang proses penyakit yang
dialaminya. Salah satu faktor penyuluhan utama adalah penjelasan
tentang pentingnya penetapan dan penerimaan tujuan jangka pendek
dan jangka panjang (Smeltzer & Bare, 2002: 598).
Untuk memprioritaskan diagnosa keperawatan pada Tn.S
penulis menggunakan prioritas kebutuhan dasar maslow. Pada teori
ini disebutkan bahwa kebutuhan dasar yang mutlak dipenuhi
manusia untuk bertahan hidup yang utama adalah kebutuhan
oksigenasi, sehingga pada Tn.S diagnosa yang utama adalah
ketidakefektifan bersihan jalan nafas.
3. Intervensi
Intervensi adalah memprioritaskan diagnosa keperawatan,
menentukan hasil akhir perawataan klien, mengidentifiksi tindakan
keperawatan yang sesuai dan rasional ilmiahnya, dan menetapkan
rencana asuhan keperawatan, diagnosa diprioritaskan sesuai dengan
keseriusan atau mengancam jiwa(Dermawan, 2012: 84).
Penulis mencantumkan diagnosa keperawatan ketidakefektifan
besihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi mukus,
dengan tujuan dalam waktu 3 kali 24 jam setelah diberikan intervensi
60
jalan nafas kembali efektif ditandai dengan berkurangnya kuantitas dan
viskositas sputum untuk memperbaiki ventilasi paru dan pertukaran gas.
kriteria hasil dapat menyatakan dan mendemonstrasikan batuk efektif,
tidak ada suarra nafas tambahan, wheezing (-), dan pernfasan klien
normal, tanpa ada penggunaan otot bantu nafas (Muttaqin, 2008: 161).
Menurut teori intervensi yang di berikan pada pasien PPOK
dengan diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan peningkatan produksi mukus adalah kaji warna,
kekentalan, dan jumlah sputum untuk mengetahui karakteristik sputum
dapat menunjukkan berat ringannya obstruksi. Atur posisi semi fowler
hal ini betujuan untuk meningkatkan ekspansi dada. Ajarkan cara batuk
efektif tujuannya yaitu batuk yang terkontrol dan efektif dapat
memudahkan pengeluaran sekret yang melekat di jalan nafas. Bantu klien
latihan nafas dalam dengan tujuan ventilasi maksimal membuka lumen
jalan nafas dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan nafas besar
untuk dikeluakan. Petahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml per hari
kecuali tidak diindikasikan tujuannya yaitu hidrasi yang adekuat
membantu mengencerkan sekret dan mengefektifkan pembersihan jalan
nafas. Kolaborasi pemberian mukolitik dan ekspektoran hal ini bertujuan
untuk menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret paru unuk
memudahkan pembersihan. Kolaborasi pemberian kortikosteroid berguna
menurunkan reaksi inflamasi akibat edema mukosa dan dinding bronkus
(Muttaqin, 2008: 161-162).
61
Diagnosa yang kedua yaitu intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dengan
tujuan klien dapat melaksanakan aktifitas secara mandiri, dengan kriteria
hasil mampu berpindah dengan atau tanpa bantuan, mampu melakukan
ktifitas sehari-hari secara mandiri (Herdman, 2013: 280).
Pada diagnosa kedua penulis mencantumkan dignosa intoleransi
aktivitas berhubungaan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan klien dapat melakukan aktifitas mandiri dengan kriteria
hasil: tanda-tanda vital dalam batas normal, klien mampu melakukan
aktifitas secara mandiri.
Intervensi atau rencana tindakan keperawatan yang akan
dilakukan adalah kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas untuk
menjadi dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya. Atur cara
aktifitas klien sesuai kemampuan hal ini bertujuan untuk klien dengan
PPOM mengalami penurunan toleransi terhadap olahraga pada periode
yang pasti dalam satu hari, hal ini terutama tampak nyata pada saat
bangun di pagi hari, karena sekresi bronkhial dan edema menumpuk
dalam paru selama malam hari ketika individu berbaring. Ajarkan latihan
otot-otot pernafasan tujuannya yaitu setelah klien mempelajari
pernafasan diafragmatik, suatu program pelatihan otot-otot penafasan
dapat diberikan untuk membantu menguatkan otot-otot yang digunakan
dalam benafas (Muttaqin, 2008: 163).
62
Pada diagnosa ketiga penulis mencantumkan diagnosa defisiensi
pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan terhadap informasi
penyakit dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dan
keluarga mengetahui tentang penyakit yang diamalinya, tanda dan gejala
yang menyertai. Dengan kiteria hasil klien dan keluarga mengerti dan
mampu mengulang apa yang telah diajarkan (Muttaqin, 2008: 164).
Intervensi atau tindakan keperawatan yang akan dilakukan adalah
Jelaskan kepada klien tetang penyakit, tanda dan gejala serta pencegahan
dari penyakit yang dialaminya karena dengan pengetahuan klien tentang
penyakit, tanda dan gejala serta pencegahannya tindakan yang akan
dilaksanakan lebih bias tercapai dengan maksimal.Anjurkan klien untuk
berhenti merokok dan mengurangi aktivitas yang berlebih hal ini
bertujuan untuk merokok akan memperberat keadaan klien yang
mengalami PPOK, dan memungkinkan muncul komplikasi pada saluran
pernafasan(Muttaqin, 2008: 164).
4. Implementasi
Implementasi adalah melaksanakan order keperawatan yang
disusun dalam rencana oleh klien, perawat atau orang lain, implementasi
dapat mencakup dengan tenaga perawat kesehatanlain daalam
menjalankan tanggung jawab (Dermawan, 2012: 118).
Diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan peningkatan produksi mukus pada tanggal 10-11
April 2014 dilakukan implementasi yaitu mengukur tanda-tanda vital,
63
menganjurkan klien untuk minum 6-8 gelas perhari, memposisikan
semifowler, melaksanakan kolaborasi pemberian obat kortikosteroid dan
ekspektoran, menjelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif
agar dapat memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi tanpa
menyebabkan sesak napas dan keletihan, mengkaji warna dan jumlah
sputum. Batuk yang terkontrol dan efektif dapat memudahkan
pengeluaran dari sekret yang melekat di jalan nafas (Muttaqin, 2008:
161). Tn.S bersedia melakukan terapi batuk efektif diapatkan hasil
sebelumnya pasien batuk tanpa mengaplikasikan terapi batuk efektif
sputum keluar kurang lebih 0,20cc, setelah klien mengaplikasikan tehnik
terapi batuk efektif sputum keluar kurang lebih 0,30cc. Dari hasil
penelitian Pranowo didapatkan hasil perbandingan specimen 1 (sebelum
batuk efektif) dengan specimen 3 (setelah batuk efektif) sebanyak 24
responden (80%) mengalami peningkatan volume sputum (cc) yang
dihasilkan setelah batuk efektif, sedangkan 6 responden (20%) tidak
mengalami peningkatan volume sputum (cc) yang dihasilkan setelah
batuk efektif (Pranowo, 2008). Implementasi yang dilaksanakan sudah
sesuai dengan teori terdapat peningkatan volume sputum setelah
melaksanakan terapi batuk efektif dibuktikan dengan hasil yang
didapatkan penulis sama dengan penelitan sebelumnya dan ditandai
dengan tindakan yang sudah dilaksanakan ada dalam teori
( Muttaqin, 2008: 161).
64
Dalam mengatasi masalah mengenai intoleransi aktifitas pada
tanggal 10 dan 11 April 2014 dilakukan implementasi mengkaji tingkat
ketergantungan klien, membantu klien untuk mengidentifikasi yang
mampu di lakukan, mengajarkan latihan otot-otot penafasan.
Implementasi yang dilaksanakan pada Tn.S yaitu mengkaji tingkat
ketegantungan klien, membantu klien mengidentifikasi ktifitas yang
mampu dilakukannya, mengajarkan latihan otot-otot pernafasan, antara
implementasi yang dilaksanakan penulis dengan teori sudah sesuai
dengan yang ditandai dengan tindakan yang dilaksanakan penulis sesuai
dengan teori (Muttaqin, 2008: 163) .
Pada diagnosa keperawatan ketiga defisiensi pengetahuan
berhubungan dengan kurang pajanan terhadap informasi penyakit
implementasi dilakukan penulis pada tanggal 10 dan 11 April 2014
menjelaskan kepada klien dan keluarga tentang penyakit, tanda dan
gejala dan penyebab, menjelaskan kepada klien untuk tidak merokok dan
melakukan aktifitas yang berlebihan karena iritan bronkhial
menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan pembentukan lendir,
yang kemudian menganggu klien bernafas. Implementasi yang
dilaksanakan sudah sesuai dengan teori, ditandai dengan tindakan yang
dilakukan penulis sesuai dengan teori yang ada (Muttaqin, 2008: 164).
65
5. Evaluasi
Evaluasi adalah membandingkan status kesehatan klien saat ini
dengan hasil klien diharapkan dan menentukan kemajuan klien atau
kekurangannya kearah pencapaian (Dermawan, 2012: 128). Evaluasi
dilakukan setiap hari selama dua hari pengelolaan terhadap klien pada
tanggal 10-11 April 2014.
Dari hasil evaluasi yang dilakukan pada hari jum’at, 11 April
2014 jam 13.50 dengan mengunakan metode SOAP yang dihasilkan
adalah Tn.S mengatakan masih batuk, batuk lebih sering terjadi ketika
malam hari, dari hasil observasi di dapatkan hasil klien tampak batuk,
tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi 80 kali per menit, respirasi 20 kali
permenit, dari semua tindakan keperawatan yang telah dilakukan
didapatkan hasil masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan
nafas belum teratasi sehingga intervensi keperawatan dilanjutkan untuk
anjurkan klien banyak minum untuk mengencerkan sputum, observasi
tanda-tanda vital, anjurkan klien untuk selalu menggunakan teknik terapi
batuk efektif, kolaborasi pemberian obat. Dari hasil evaluasi tersebut
Tn.S masih batuk yang di sertai dengan pengeluaran sputum. Dalam teori
terdapat kriteria hasil yaitu tidak sesak napas, tidak ada sianosis, tidak
ada sekret, tanda-tanda vital dalam batas normal (Muttaqin, 2008: 161).
Sehingga diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas behubungan
dengan peningakatan produksi mukus belum teratasi karena pada Tn.S
66
masih terdapat tanda dan gejala batuk disertai dengan pengeluaran
sputum.
Pada diagnosa keperawatan kedua intoleransi aktifitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen dari semua tindakan yang telah dilakukan pada tanggal 10 dan 11
April 2014 didapatkan hasil evaluasi yang dilakukan pada hari jum’at, 11
April 2014 jam 13.55 dengan mengatakan badannya sudah tidak lemas
lagi, sudah bisa melakukan aktivitas secara mandiri dari hasil observasi
Tn.S tampak melakukan aktivitas secara mandiri. Dalam teori masalah
intoleransi aktifitas dapat teratasi dengan kriteri hasil tanda-tanda vital
dalam batas normal, klien mampu melakukan aktifitas secara mandiri
(Smeltzer&Bare, 2002: 608). Maka dapat disimpulkan sesuai dari data
teori dan hasil evaluasi Tn.S masalah keperawatan intoleransi aktifitas
teratasi dan intevensi keperawatan di hentikan.
Pada diagnosa ketiga defisiensi pengetahuan berhubungan dengan
kurang pajanan terhadap informasi penyakit dari semua tindakan yang
telah dilakukan pada tanggal 10 April 2014 didapatkan hasil evaluasi
yang dilakukan pada hari kamis, 10 April 2014 jam jam 13.55 dengan
mengunakan metode SOAP yang dihasilkan adalah Tn.S mengatakan
tidak mengetahui tentang penyakitnya, dari hasil observasi didapatkan
hasil klien selalu bertanya tentang penyakitnya, penyebab dari penyakit
yang dialaminya saat ini, setelah dilakukan pendidikan tentang penyakit
yang dialaminya klien mengatakan sudah mengerti tentang penyakitnya
67
dan cara penanganannya. Dari semua tindakan yang telah dilakukan
didapatkan hasil masalah keperawatan defisiensi pengetahuan teratasi,
intervensi keperawatan di hentikan. Kriteria hasil yang diharapkan dari
masalah keperawatan defisiensi pengetahuan yaitu klien dan keluarga
mengerti dan mampu mengulang apa yang telah diajarkan (Muttaqin,
2008: 164). Dari hasil evaluasi dan teori sesuai maka masalah
keperawatan defisiensi keperawatan teratasi dan intervensi dihentikan.
6. Keterbatasan penulisan
Dalam melaksanaakan aplikasi ini terdapat kesenjangan pada
proses pengkajian yaitu, pada Tn.S tidak ditemukan tanda sesak nafas,
padahal tanda dan gejala pada pasien PPOK salah satunya adalah sesak
nafas dan penulis telah menemukan teori yang mendukung kesenjangan
tersebut. Pada pemeriksaan penunjang tidak dilakukan pemeriksaan yang
spesifik pada diagnosa yang telah ditetapkan, sehingga dalam observasi
dan pengkajian kurang maksimal.
Pada diagnosa kedua penulis menegakkan diagnosa intoleransi
aktifitas, pada pengkajian Tn.S terdapat kekurangan pada pengkajian
yang dilakukan penulis, yaitu tidak mengkaji perubahan tanda-tanda vital
saat pasien melakukan aktifitas dan melakukakan pemeiksaan EKG.
Untuk diagnosa yang sesuai atau mendukung dari hasil pengkajian yaitu
fatigue (kelemahan) batasan karakteristiknya yaitu peningkatan dalam
keluhan fisik, peningkatan keperluan untuk istiahat, penerimaan
kebutuhan energi tambahan untuk mengerjakan tugas rutin, maka
68
diagnosa yang sesuai dengan hasil pengkajian yang didapatkan penulis
yaitu masalah keperawatan fatigue.
Untuk masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
belum teratasi, menurut teori untuk intervensi keperawatan yang tentukan
dalam tujuan dari penyelesainan masalah yaitu selama 3 kali 24 jam,
sedangkan penulis hanya melaksanakan selama 2 kali 24 jam hal ini
sangat mempengaruhi terhadap evaluasi hasil yang diinginkan.
Dalam menentukan evaluasi hasil dalam masalah keperawatan
ketidakefektifan bersihan jalan nafas belum teratasi karena kriteria hasil
yang didapatkan belum sesuai dengan ketentuan kriteria hasil yang telah
ditentukan pada teori.
69
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Setelah penulis melakukan pemberian terapi batuk efektif terhadap
pengeluaran sputum selama menjalani perawatan pada asuhan keperawatan
Tn.S dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis diruang Bugenvil RSUD
Dr.Soediran Mangun Sumarso Wonogiri, maka penulis dapat menarik
kesimpulan:
1. Pengkajian dari Tn.S didapatkan hasil bahwa terdapat tanda dan gejala
batuk disertai sputum, batuk terutama saat melakukan aktifitas, klien
mengatakan gemetar, keringat dingin dan lemes. Pemeriksaan paru pada
Tn.S didapatkan hasil inspeksi simetris kanan dan kiri, palpasi vokal
fremitus kanan kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi vesikuler
melemah dan terdapat suara ronkhi. Pada diagnosa pertama
ketidakefektifan bersihan jalan nafas, intervensi utama yang dilakukan
adalah mengajarkan teknik terapi batuk efektif.
2. Diagnosa pada Tn.S yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas
behubungan dengan peningkatan mukus, diagnosa kedua yaitu intoleransi
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen,diagnosa keperawatan yang ketiga adalah defisiensi
pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan terhadap informasi
penyakit.
70
3. Intervensi utama pada masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafa
adalah pemberian terapi batuk efektif dalam pengeluaran sputum. Pada
diagnosa intoleransi aktifitas intervensi yang utama adalah mengatur cara
beraktivitas klien sesuai dengan kemampuan. Pada diagnosa defisiensi
pengetahuan intervensi utama yang dilaksanakan adalah menjelaskan
kepada klien dan keluarga tentang penyakit, tanda dan gejala dan
penyebab dan menjelaskan kepada klien untuk tidak merokok dan
melakukan aktiftas yang berlebihan.
4. Implementasi yang dilakukan perawat sesuai dengan intervensi yang
sudah dibuat perawat. Batuk efektif merupakan tindakan utama untuk
mengurangi atau memobilisasi sputum pada saluran pernafasan.
5. Evaluasi dari tindakan yang sudah dilakukan penulis pada tanggal 11
April 2014 didasarkan pada kriteria hasil yang diharapkan yaitu ketidak
efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan mukus
belum teratasi. Diagnosa kedua intoleransi aktivitas behubungan dengan
ketidak seimbangan antara suplei dan kebutuhan oksigen sudah teratasi.
Diagnosa ketiga masalah keperawatan defisiensi pengetahuan teratasi,
intervensi keperawatan di hentikan.
6. Penulis telah mengaplikasikan tindakan batuk efektif dalam pengeluaran
sputum sudah efektif dengan hasil sebelumnya pasien batuk tanpa
mengaplikasikan terapi batuk efektif sputum keluar kurang lebih 0,20cc,
setelah klien mengaplikasikan tehnik terapi batuk efektif sputum keluar
71
kurang lebih 0,30cc, jadi tindakan keperawatan mandiri terapi batuk
efektif sangat efektif dilakukan untuk mobilisasi sputum.
B. Saran
1. Bagi Rumah sakit
Diharapkan bisa lebih meningkatkan pelayanan kesehatan dan
mempertahankan kerjasama baik antar tim kesehatan maupun dengan
klien sehingga asuhan keperawatan pemberian terapi batuk efektif pada
klien dengan PPOK yang diberikaan dapat mendukung kesembuhan
klien.
2. Bagi institusi akademik
Diharapkan agar dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan
yang lebih berkualitas dan profesional, sehingga dapat tercipta perawat-
perawat yang profesional, terampil, cekatan dan handal yang mampu
memberikan asuhan keperawatan pemberian terapi batuk efektif secara
komprehensif pada pasien PPOK.
3. Bagi perawat
Diharapkan dalam memberikan tindakan keperawatan dan untuk
mencapai hasil evaluasi yang maksimal tentu perlu adanya kerjasama
dengan tim kesehatan lain seperti dokter, fisioterapi, ahli gizi dan yang
lainnya, sehingga penulis mengharapkan agar mencapai hasil yang
maksimal tentu perlu adanya kerja keras dalam melaksanakan tindakan
keperawatan pemberian terapi batuk efektif pada pasien dengan PPOK
baik secara mandiri maupun kolaborasi dengan tim kesehatan lain.
72
4. Bagi penulis
Diharapkan bisa memberikan tindakan teapi batuk efektif dan
memberikan pengelolaan selanjutnya pada pasien dengan bersihan jalan
nafas pada Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
5. Bagi pembaca
Diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi pembaca untuk
sarana dan prasaran dalam pengembangan ilmu keperawatan, diharapkan
setelah pembaca membaca buku ini dapat mengetahui tentang tehnik
terapi batuk efektif dan Penyakit Paru Obstruksi Kronis dan menjadi
acuan atau ada sebuah penelitian untuk kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, dkk. (2010). Profil Patogen Penyebab Pasien Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (Ppok) Eksaserbasi Akut (Studi Di Rumah Sakit Saiful Anwar
Malang Periode Januari - Desember 2010). Fakultas Kedokteran
Brawijaya. Diakses pada tanggal 15 April 2014
Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka
Kerja. Gosyen Publishing : Yogyakarta
Francis, C. (2008). Perawatan respiasi. Jakarta: Erlangga
Graber, Mark A. (2006). Buku saku dokter keluarga, edisi 3. Jakarta: EGC
Herdman, T. (2011). Nursing dignoses: definitions and classification 2009-2011.
Jakata: EGC
Helmi, N. (2013). Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya PPOK.
Univesitas riau
Ikawati, Z. (2007). Farmakoterapi Penyakit Sistem Penafasan. Yogyakarta:
Pustaka adipura
Kusyati, E. (2006). Keterampilan dan prosedur laboratorium keperawatan dasar.
Jakarta: EGC
McPhee, G. (2011). Patofisiologi Penyakit Pengantar Menuju Kedokteran Klinis.
Jakarta: EGC
Muttaqin, A. (2006). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Pernafasan.
Jakarta: Salemba Medika
Mubarak, Chayatin. (2008). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori dan
Aplikasi Dalam Praktik. Jakarta: EGC
Muwarni, A (2011). Perawatan pasien penyakit dalam. Yogyakarta: Gosyen
publishing
Morton, dkk. (2012). Keperawatan Kritis Volume 1. Jakarta: EGC
Nurarif dan Kusuma. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC, Jilid 1. Media Action:
Yogyakarta
Padila. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha medika
Prabaningtyas, O. (2010). Hubungan Antara Derajat Merokok Dengan Kejadian
PPOK. Diakses tanggal 22 April 2014
Pranowo, C.(2008). Efektifitas batuk efektif dalam pengeluaran sputum untuk
penemuan bta pada pasien tb paru di ruang rawat inap rumah sakit
mardi rahayu kudus. Diakses pada tanggal 02 April 2014
Potter, A.P, & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.
Rubenstein, dkk. (2008). Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga
Rani, A, dkk.(2006). Panduan Pelayanan Medik: Perhimpunan Dokter Spesialis
Dalam Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Saputra, L. (2013). Catatan Ringkas Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta:
Binarupa aksara publisher
Suradi. (2009). Pengaruh rokok pada penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
tinjauan patogenesis, klinis, dan sosial.
http://fk.uns.ac.id/static/file/suradi
RELATIONSHIP_BETWEEN_UNDERLYING_DISEASE_OF_RESP
IRATORY_FAILURE_WITH_THE_TREATMENTS_OUTCOME.pdf
. Diakses pada tanggal 20 April 2014
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Vaughans, B. (2013). Keperawatan Dasar. Yogyakarta: Rapha publishing
Vidianny, A . 2012. Pengaruh batuk efektif dan nafas dalam terhadap kolonisasi
staphylococcus aureus dalam secret pasien post operasi dengan
general anesthesia di RSD Dr. Soebandi Jember. Diakses pada tanggal
20 April 2014
Yana, A. (2008).Hubungan Tehnik Batuk Efektif dengan Pengeluaran sputum
Pada Pasien Tuberkulosis Paru Akut di Wilayah Kerja Puskesmas
Jungkat KecamatanSiantan Kabupaten Pontianak. Di akses pada
tanggal 20 April 2014