Upload
ineke-putri
View
41
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
neonatal kolestasis
Citation preview
1
Neonatal Kolestasis
Ineke PutriFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510, No. Telp (021) 5694-2061Email: [email protected]
Abstrak Indikasi tersering untuk evaluasi ekstensif pada bayi yang dicurigai mengidap
penyakit hepar adalaah hiperbilirubinemia terkonjugasi yang berkepanjangan, kolestasis. Apabila anamnesis dilakukan dengan cermat maka informasi yang didapatkan sangat berharga untuk menegakan suatu diagnosis. Ikterus adalah tanda paling awal banyak penyakit hepar, yang pada masa bayi sering merupakan sinyal bahwa penyakitnya dapat diatasi. Hepatomegali mungkin merupakan satu-satunya tanda penyakit hepar. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, studi pencitraan, dan temuan histologi. Disebut neonatal kolestasis, bila kolestasis terjadi selama 90 hari kehidupan ekstra-uterin. Diagnosis bandingnya yaitu breast milk jaundice, atresi biliar, dan infeksi citomegalovirus. Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Penyebab dan faktor risiko terbentuknya batu kandung empedu tidak secara jelas dibedakan. Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural. Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala. Komplikasi yang umum dijumpai adalah (batu saluran empedu), kolesistitis akut, pakreatitis akut, emfiema dan perforasi kandung empedu. Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah dan bedah. Perjalanan penyakit kolestasis ini tergantung pada ukuran batu empedu yang tersumbat. Jadi, anak ini didiagnosis menderita neonatal kolestasis dimana terdapat sumbatan yang menyebabkan bilirubin menumpuk dan termanifestasi pada seluruh tubuh yang menunjukkan warna kuning. Selain itu demam yang tidak dijumpai pada anak ini menyingkirkan diagnosis penyakit lain sepeti hepatitis. Kata kunci: kolestasis, ikterus, hiperbilirubinemia
AbstractThe most common indication for an extensive evaluation in infants who are suspected
of having liver disease adalaah Prolonged conjugated hyperbilirubinemia, cholestasis. If history is done carefully, the information obtained is invaluable to enforce a diagnosis. Jaundice is the earliest sign of many diseases of the liver, which in infancy is often a signal that the disease can be overcome. Hepatomegaly may be the only sign of liver disease. Investigations can be carried out laboratory tests, imaging studies, and histological findings. Called neonatal cholestasis, when cholestasis occurred during the 90 days of extra-uterine life. The differential diagnosis is breast milk jaundice, atresi billiards, and Citomegalovirus infection. Cholelithiasis including a rare disease in children. Causes and risk factors for the formation of gall bladder stones are not clearly differentiated. In the prolonged cholestasis functional and structural damage. Cholelithiasis clinical symptoms vary from no symptoms until the appearance of symptoms. Is a common complication (bile duct stones), acute cholecystitis, acute pakreatitis, emfiema and gall bladder perforation. Handling cholelithiasis divided into two non-surgical and surgical management. Cholestatic disease course this depends on the size of gallstones are clogged. So, this child is diagnosed with neonatal cholestasis where there is a blockage that causes bilirubin accumulate and manifest in the entire body showed yellow color. Besides fever found in children who did not rule out the diagnosis of the disease is another case of hepatitis.Key words: cholestasis, jaundice, hyperbilirubinemia
2
Pendahuluan
Indikasi tersering untuk evaluasi ekstensif pada bayi yang dicurigai mengidap
penyakit hepar adalaah hiperbilirubinemia terkonjugasi yang berkepanjangan. Dokumentasi
mengenai hiperbilirubinemia terkonjugasi hampir selalu menunjukkan penyakit hepar atau
saluran empedu. Kolestasis dapat merupakan manifestasi awal berbagai penyakit.
Heterogenitas kelompok penyakit ini menimbulkan tantangan dalam evaluasi dan
penanganan bayi yang terjangkit. Namun, walaupun daftar kemungkinan penyebab kolestasis
sangat panjang, tetapi frekuensi relatif dua penyakit, atresia biliaris ekstrahepatika dan
hepatitis neonatus idiopatik, jauh melebihi entitas yang lain; kedua penyakit ini merupakan
penyebab 60% sampai 70% dari semua kasus kolestasis neonatus.1
Evaluasi neonatus yang datang dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang
berkepanjangan (kolestasis) merupakan latihan pembuatan diagnosis banding yang menarik.
Kauss yang mendasari mungkin merupakan penyakit infeksi, metabolik, toksik, genetik,
anatomik, atau tidak diketahui yang menyebabkan hambatan aliran empedu atau gangguan
fungsional proses ekskresi hepar. Diagnosis pasti sebaiknya diketahui segera. Diferensiasi
yang cepat akan memungkinkan pasien dengan kuasa infeksi diterapi dengan tepat, mereka
yang mengidap penyakit metabolik dan genetik dikonsultasikan dan ditangani secara benar,
dan mereka dengan kelainan bedah dapat segera menjalani pembedahan.1
Rumusan Masalah
Seorang anak usia 2 bulan dibawa ke dokter dengan keluhan utama kuning pada
seluruh badannya,rewel, kurang aktif, menangis lemah dan malas menyusu sedangkan
pemeriksaan fisiknya normal.
Hipotesis
Anak tersebut didiagnosis menderita neonatal kolestasis yang menyebabkan gambaran
klinis ikterus pada seluruh tubuhnya.
Sasaran Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu mendiagnosa neonatal kolestasis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
2. Mahasisea mengetahui tata laksana neonatal kolestasis
3. Mahasiswa mengetahui & memahami etiologi, gejala klinis, patofisiologi, dan
komplikasi neonatal kolestasis
3
Skenario 2
Seorang anak usia 2 bulan dibawa ke dokter dengan keluhan utama kuning pada
seluruh badannya. Ibu mengatakan bahwa badan kuning terlihat sejak usia 2 minggu.
Semakin lama semakin kuning. Anak juga menjadi rewel, kurang aktif, menangis lemah dan
malas menyusu. Riwayat demam tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan (+) sclera
ikterik, (+) jaundice di seluruh tubuh dan mukosa, TTV dalam batas normal.
Anamnesis
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan melalui suatu percakapan antara
seorang dokter dan pasien secara langsung atau melalui perantara orang lain yang mengetahui
kondisi pasien dengan tujuan untuk mendapatkan data pasien berserta permasalahan
medisnya. Anamnesis dibagi menjadi dua yaitu autoanamnesis bila dokter bisa menanyakan
keluhan-keluhan yang dihadapi langsung dengan si penderita, dan alloanamnesis bila kondisi
si penderita tidak memungkinkan untuk ditanyai sehingga dokter menanyakan keluhan
kepada orang yang mengetahui kondisi pasien. Apabila anamnesis dilakukan dengan cermat
maka informasi yang didapatkan sangat berharga untuk menegakan suatu diagnosis.2
Anamnesis yang baik akan terdiri dari: (1) identitas, nama lengkap pasien, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab,
alamat, pendidikan pekerjaan, suku bangsa dan agama; (2) keluhan utama keluhan yang
dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokteratau mencari pertolongan; (3) riwayat
penyakit sekarang, riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terinci dan
jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang
berobat; (4) riwayat penyakit dahulu, mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya
hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang; (5) riwayat
penyakit dalam keluarga, untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau
penyakit infeksi. Riwayat keluarga suatu fenotipe klinis rekuren mungkin memberikan
petunjuk mengenai ada tidaknya dan jenis penyakit hepar. Banyak penyakit herediter, seperti
tirosinemia, defisiensi antitripsin ɑ1, dan hepatitis neonatus familial, muncul sejak awal masa
bayi dan mungkin menyebabkan kerusakan ireversibel atau fatal apabila tidak segera dikenali
dan diatasi; (6) riwayat pengobatan; apakah yang sudah dilakukan / diberikan ketika insiden
terjadi; (7) riwayat pribadi dan sosial meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan
kebiasaan. Awitan penyakit hepar yang berkaitan dengan perubahan makanan mungkin
mengisyaratkan adanya penyakit metabolik bawaan (hepatotoksisitas nutrisional), misalnya
galaktosemia atau friktosemia. 1,3
4
Antara penyakit yang sering ditanyakan ialah: (1) berat lahir bayi; (2) masa gestasi;
(3) usia bayi dalam jam; (4) riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu diabetes
melitus, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal); (5) ibu si bayi pernah
mengalami penyakit kuning sebelum mengandung atau semasa mengandung; (6) riwayat
persalinan dengan tindakan / komplikasi (lahir sulit / trauma lahir); (7) bertanyakan kapan
terjadinya perubahan warna kuning pada kulit bayi. ini karena waktu timbulnya ikterus
mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus; (8)riwayat ikterus/terapi
sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya; (9) riwayat inkompatibilitas darah seperti
menanyakan golongan darah ibu dan anak; (10) riwayat keluarga yang menderita anemia,
pembesaran hepar dan limpa untuk diagnosis banding terhadap penyakit hemolitik yang
diakibatkan thalesemia, sferositosis dan lain-lain; dan (11) riwayat pemberian ASI (Air Susu
Ibu) dan makanan.4
Pemeriksaan Fisik
Ikterus adalah tanda paling awal banyak penyakit hepar, yang pada masa bayi sering
merupakan sinyal bahwa penyakitnya dapat diatasi. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan
sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus
yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan
warna kulit dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula
dalam diagnosis dan penatalaknsaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai
kaitan erat dengan kemungkinan tersebut. Seperti yang dikutip Depkes RI pada tabel 1 ikterus
diklasifikasikan pada patologis dan fisiologis.1,5,6
Tabel 1 Klasifikasi Ikterus
Tanya dan Lihat Tanda / Gejala Klasifikasi
Mulai kapan ikterus?
Daerah mana yang
Ikterus?
Bayinya kurang bulan?
Warna Tinja?
Ikterus segera setelah lahir
Ikterus pada 2 hari pertama
Ikterus pada usia ≥ 14 hari
Bayi kurang bulan
Tinja pucat
Ikterus patologis
Ikterus 3-13 hari
Tanda patologis (-)
Ikterus fisiologis
5
Hepatomegali mungkin merupakan satu-satunya tanda penyakit hepar. Namun,
palpasi tepi hepar dapat menyesatkan sebagai indikator ukuran hepar, karena kontur yang
tidak lazim, habitus tubuh, atau pergeseran hepar oleh organ atau massa di dekatnya. Karena
itu, selain memeriksa ada tidaknya nyeri tekan, konsistensi, bentuk, dan perluasan di bawah
batas iga, batas hepar juga harus ditentukan. Batas hepar didefinisikan sebagai jarak antara
batas bawah hepar dan batas atas pekak hepar yang diperoleh dari perkusi di garis
midklavikula kanan. Batas hepar normal diperoleh apabila batas atas terletak dalam 1 cm dari
sela iga kelima di garis midklavikula kanan. Pemeriksaan hepar juga mencakup auskultasi
permukaan hepar untuk mencari ada tidaknya bruits dan palpasi abdomen untuk mendeteksi
limpa atau massa lain.1
Selain itu, dapat ditemukan juga massa abdomen, asites, gagal tumbuh, dan tanda-
tanda lain terkait sindrom atau penyakit khusus: tanda-tanda dismorfik (trisomi, sindrom
algille); murmur jantung (sindrom algille,extrahepatic billiary tumor/EHBA); bayi sakit,
tanda-tanda bital tidak normal (sepsis, HLH, infeksi kongenital); mikopenis
(panhipopituitarisme); katarak (rubella, galaktosemia); situs inversus (EHBA); masalah pada
retina (infeksi TORCH, sindrom Algille); massa abdomen (kista duktus koledokus);
hemangioma kutan (hemangioma hepar); rambut putih (Hemophagocytic
lymphohistiocytosis/HLH).7
Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran Laboratorium
Kadar bilirubin serum meningkat pada hampir semua pasien dengan kolestasis.
Jumlah serum empedu tingkat konsentrasi garam meningkat pada penyakit hampir semua
kolestasis. Kualitatif serum dan urin asam empedu oleh spektroskopi massa digunakan untuk
mengidentifikasi kesalahan genetik ditentukan dalam sintesis asam empedu. Kadar kolesterol
total serum meningkat pada hampir semua penyakit kolestasis obstruktif, sedangkan high
density lipoprotein (HDL) tingkat adalah dalam kisaran referensi atau rendah. Kolesterol total
adalah dalam kisaran referensi dalam penyakit kolestasis hepatoselular tertentu, sedangkan
tingkat HDL adalah dalam kisaran referensi atau rendah. Serum kadar lipoprotein-X
meningkat pada hampir semua penyakit kolestasis obstruktif. Kadar serum alkali fosfatase,
serum tingkat 5'-nucleotidase, dan serum gamma-glutamil transferase (GGT) tingkat
meningkat pada hampir semua penyakit kolestasis obstruktif dan penyakit kolestasis paling
hepatoseluler.8
6
Studi pencitraan
Ultrasonografi hati dan saluran empedu digunakan untuk mengidentifikasi penyebab
anatomi kolestasis obstruktif (misalnya, kista choledochal, batu empedu). Perut CT scan
digunakan untuk mengidentifikasi penyebab anatomi kolestasis obstruktif (misalnya, kista
choledochal, batu empedu). Studi kedokteran nuklir bilier (yaitu, asam hepatoiminodiacetic
[HIDA] scanning) digunakan untuk mengidentifikasi penyebab anatomi kolestasis obstruktif
(misalnya, kista choledochal, batu empedu) dan untuk membedakan antara obstruktif dan
kolestasis hepatoselular (yaitu, atresia bilier dibandingkan hepatitis neonatal). Endoskopi
cholangiography retrograde digunakan untuk mengidentifikasi penyebab anatomi kolestasis
obstruktif (misalnya, kista choledochal, batu empedu). Percutaneous cholangiography
transhepatik digunakan untuk mengidentifikasi penyebab anatomi kolestasis obstruktif
(misalnya, kista choledochal, batu empedu). Biopsi hati adalah satu tes yang paling
bermanfaat untuk menentukan penyebab kolestasis tetapi membutuhkan tingkat keahlian
yang tinggi dalam penafsiran.8
Temuan histologis
Banyak temuan histologis yang penyakit tertentu; Oleh karena itu, merujuk pada
artikel tentang keadaan penyakit (lihat Penyebab). Fitur histopatologis khas kolestasis
hepatoselular termasuk adanya empedu dalam hepatosit dan ruang canalicular, berkaitan
dengan cedera kolat umum. Khas kolestasis obstruktif adalah empedu penyumbatan saluran
empedu interlobular, ekspansi portal, dan saluran empedu proliferasi dalam hubungan dengan
cedera kolat centrilobular. Membedakan antara hepatitis neonatal idiopatik dan atresia bilier
merupakan tantangan diagnostik. Dengan evaluasi ahli, tidak ada kontribusi sebanyak itu
diferensial diagnosis sebagai temuan biopsi hati perkutan.8
Diagnosis Kerja
Kolestasis merupakan kondisi terganggunya sekresi dan ekskresi dari hati ke
duodenum. Dengan demikian, substansi yang seharusnya dikeluarkan bersama empedu akan
tertahan di hepar. Parameter kolestasis ialah kadar bilirubin direk serum >1 mg/dL apabila
bilirubin total <5 mg/dL, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total apabila kadar bilirubin
total >5 mg/dL. Disebut neonatal kolestasis, bila kolestasis terjadi selama 90 hari kehidupan
ekstra-uterin.7
7
Diagnosis Banding
Breast Milk Jaundice
Arias pertama kali dijelaskan ASI jaundice (BMJ) pada tahun 1963. ASI jaundice
adalah jenis penyakit kuning neonatal terkait dengan menyusui. Hal ini ditandai dengan
hiperbilirubinemia tidak langsung dalam bayi baru lahir disusui yang berkembang setelah 4-7
hari pertama kehidupan, tetap lebih lama dari ikterus fisiologis, dan tidak memiliki penyebab
yang dapat diidentifikasi lainnya. Ini harus dibedakan dari menyusui penyakit kuning, yang
memanifestasikan dalam 3 hari pertama kehidupan dan disebabkan oleh produksi atau asupan
ASI tidak cukup.9
Atresia Biliar
Atresia bilier ditandai dengan pemusnahan atau diskontinuitas dari sistem empedu
ekstrahepatik, sehingga obstruksi aliran empedu. Gangguan ini merupakan penyebab
pembedahan diobati paling umum dari kolestasis ditemui selama periode baru lahir. Jika
tidak pembedahan diperbaiki, sirosis bilier sekunder selalu menghasilkan. Pasien dengan
atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 kelompok yang berbeda: mereka yang atresia bilier
terisolasi (bentuk postnatal), yang menyumbang 65-90% kasus, dan pasien dengan terkait
situs inversus atau polysplenia / asplenia dengan atau tanpa kelainan bawaan lainnya (janin /
bentuk embrio), yang terdiri dari 10-35% kasus.10
Infeksi Citomegalovirus
Infeksi CMV adalah di mana-mana dan umumnya asimtomatik pada anak-anak yang
sehat dan dewasa. Namun, beberapa kelompok berisiko tinggi, termasuk organ
immunocompromised penerima transplantasi dan orang yang terinfeksi dengan human
immunodeficiency virus (HIV), berada pada risiko mengembangkan mengancam jiwa dan
penyakit CMV melihat-mengancam. CMV juga merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas sesekali pada bayi baru lahir. Dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi jelas
bahwa CMV adalah penyebab paling penting dari infeksi kongenital di negara maju, dan
bahwa hal itu sering menyebabkan keterbelakangan mental dan cacat perkembangan. Selain
itu, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa CMV dapat menyebabkan konsekuensi
kesehatan jangka panjang pada orang dewasa yang sehat, termasuk immunosenescence dan
peningkatan risiko keganasan dan penyakit pembuluh darah. 11
Pada tahun 1904, Ribbert pertama kali diidentifikasi bukti histopatologi CMV,
mungkin dalam jaringan dari bayi yang terinfeksi kongenital. Ribbert beranggapan bahwa sel
inklusi-bantalan besar ia mengamati di otopsi berasal dari protozoa (salah bernama
Entamoebamortinatalium). Pada tahun 1920, Goodpasture benar mendalilkan etiologi virus
8
inklusi ini. Goodpasture menggunakan cytomegalia istilah untuk merujuk pada membesar,
sifat bengkak dari sel yang terinfeksi. Manusia CMV pertama kali diisolasi pada kultur
jaringan pada tahun 1956, dan kecenderungan organisme ini menginfeksi kelenjar ludah
menyebabkan penunjukan awal sebagai virus kelenjar ludah.11
Pada tahun 1960, Weller ditunjuk cytomegalovirus virus; selama tahun 1970 dan
1980-an, pengetahuan tentang peran CMV sebagai patogen penting dengan manifestasi klinis
yang beragam terus meningkat. Meskipun kemajuan besar baru-baru ini telah dibuat dalam
mendefinisikan dan karakteristik biologi molekuler, imunologi, dan target terapi antivirus
untuk CMV, pekerjaan yang cukup tetap merumuskan strategi untuk pencegahan infeksi
CMV dan dalam memahami peran gen virus spesifik dalam patogenesis. Selain itu,
pengembangan vaksin terhadap virus ini merupakan prioritas kesehatan masyarakat yang
utama (Ulasan di Pencegahan / Pencegahan).11
Epidemiologi
Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Di Amerika Serikat, prevalensi
kolelitiasis pada anak dilaporkan hanya 0,15-0,22%, sedangkan pada orang dewasa berkisar
4-11%.4 Ganesh dalam pengamatannya dari Januari 1999 sampai Desember 2003 di Kanchi
Kamakoti Child Trust Hospital, mendapatkan dari 13675 anak yang mendapat pemeriksaan
ultrasonografi (USG), 43 (0,31%) terdeteksi memiliki batu kandung empedu. Rasio laki-laki
dan perempuan adalah 2,3:1. Median umur untuk anak laki-laki adalah 5 tahun (3 bulan-14
tahun) dan median umur untuk anak perempuan adalah 9 tahun (7 bulan-15 tahun). Semua
ukuran batu kurang dari 5 mm dan 56% merupakan batu yang soliter. Empat puluh satu anak
(95,3%) dengan gejala asimtomatik dan hanya 2 anak dengan gejala.12
Etiologi
Penyebab dan faktor risiko terbentuknya batu kandung empedu tidak secara jelas
dibedakan. Ada yang menyebutkan faktor tertentu sebagai penyebab, namun sumber lain
menyebutnya sebagai faktor risiko. Kumar mendapatkan penyebab batu kandung empedu
adalah idiopatik, penyakit hemolitik dan penyakit spesifik non hemolitik. Schweizer yang
mendapat nutrisi\ parenteral total yang lama, setelah menjalani operasi by pass
kardiopulmonal, reseksi usus, kegemukan dan anak perempuan yang mengkonsumsi
kontrasepsi hormonal mempunyai risiko untuk menderita kolelitiasis. Suchy menyebutkan
beberapa kondisi yang berhubungan dengan kolelitiasis adalah penyakit hemolitik kronik
(anemia sel sickle, sferositosis), kegemukan, penyakit atau reseksi ileum, fibrosis kistik,
9
penyakit hati kronis, penyakit Crohn, nutrisi parenteral yang lama, prematuritas dengan
komplikasi bedah atau non bedah, pengobatan kanker pada anak.2 Schirmer menyebutkan
faktor-faktor risiko terbentuknya batu kandung empedu adalah kegemukan, diabetes melitus,
hormon estrogen dan kehamilan, penyakit hemolitik dan sirosis.12
Berdasarkan jenis batu yang terbentuk, faktor risiko yang mempengaruhi
terbentuknya batu berbeda-beda sesuai jenis batunya. Kondisi-kondisi yang merupakan faktor
predisposisi terbentuknya batu pigmen hitam adalah penyakit hemolitik yang kronik,
pemberian nutrisi parenteral total, kolestasis kronik dan sirosis, pemberian obat (ceftriaxone).
Ceftriaxone didapatkan dalam konsentrasi tinggi di kandung empedu dalam keadaan yang
utuh. Sedangkan faktor predisposisi terbentuknya batu pigmen coklat adalah adanya infestasi
parasit seperti Ascharis lumbricoides. Batu pigmen coklat ini sangat jarang dijumpai pada
bayi dan anak. Untuk batu kolesterol, faktor risikonya adalah kegemukan, reseksi ileum,
penyakit Crohn’s ileal dan fibrosis kistik.12
Kegemukan merupakan faktor yang signifikan untuk terjadinya batu kandung
empedu. Pada keadaan ini hepar memproduksi kolesterol yang berlebih, kemudian dialirkan
ke kandung empedu sehingga konsentrasinya dalam kandung empedu menjadi sangat jenuh.
Keadaan ini merupakan faktor predisposisi terbentuknya batu. Kejadian batu kandung
empedu meningkat pada wanita gemuk dan pubertas.9,10 Hubungan antara pemberian nutrisi
parenteral total dengan batu kandung empedu, dibuktikan oleh Roslyn yang menyelidiki
secara prospektif 21 anak yang mendapat nutrisi parenteral total yang lama, ternyata insiden
terjadinya batu kandung empedu adalah 43%. Tipe batu yang terbentuk adalah batu
nonkolesterol.12
Faktor genetik diduga berperan dalam terjadinya batu kandung empedu. Risiko
menderita batu kandung empedu meningkat apabila kita memiliki keluarga dengan batu
kandung empedu. Beberapa gen mungkin terlibat.12
Faktor etnis mungkin berperan dalam terjadinya batu kandung empedu. Sebagai
contoh insiden kolelitiasis tinggi pada penduduk Indian Pima di Amerika dan penduduk asli
di Chili dan Peru. Perempuan Indian Pima mempunyai risiko 80% untuk menderita batu
kandung empedu.12
Faktor lain yang diduga berhubungan dengan kejadian kolelitiasis dan kolesistitis
adalah adanya infeksi Helicobacter pylori dalam jaringan kandung empedu maupun cairan
empedu. Silva menemukan adanya Helicobacter DNA pada jaringan kandung empedu
maupun cairan empedu penderita kolelitiasis. Namun hanya Helicobacter DNA pada jaringan
kandung empedu yang mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan kejadian
10
kolelitiasis. Tidak ditemukan adanya organisme Helicobacter pylori dalam kandung empedu
maupun cairan empedu. Terjadi batu kandung empedu pada pemberian ceftriaxone bersifat
reversibel, tidak menunjukkan gejala dan biasanya hilang spontan begitu pengobatan
dihentikan.12
Patofisiologi
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan
kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu,
kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin
terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang
bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah
sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan
basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler)
berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan
pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi
intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu. Salah satu contoh adalah
penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi (bilirubin indirek). Bilirubin
tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran
basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi
bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam empedu oleh transporter mrp2.
mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu.
Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam empedu oleh transporter lain,
yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi
dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi.
Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia
menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu
dan hiperbilirubinemi terkonyugasi.13-7
Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural: (1)
proses transpor hati, proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi
polaritas dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu,
dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu; (2)
transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik, pada kolestasis berkepanjangan efek
detergen dari asam empedu akan menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi,
glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan terganggu; (3) sintesis protein seperti alkali
11
fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi serum protein albumin-globulin akan
menurun; (4) metabolisme asam empedu dan kolesterol, kadar asam empedu intraseluler
meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam
empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan
penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid
sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi
tetapi produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun; (5)
gangguan pada metabolisme logam, terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi
bilier yang menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit
oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik; (7) metabolisme cysteinyl
leukotrienes, cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif
dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga
kadarnya akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis.
Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal; (8)
mekanisme kerusakan hati sekunder, asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang
menyebabkan kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini
akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran
akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na+, K+-ATPase,
Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga
lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu. Sistim transport
kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan dalam
kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran utama dalam
kerusakan hati pada kolestasis adalah asam empedu.Proses imunologis, pada kolestasis
didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal pada permukaan hepatosit,
sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu sehingga menyebabkan respon imun
terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier.15,18-27
Gejala Klinis
Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala. Lebih
dari 80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala asimptomatik. Gejala klinik yang
timbul pada orang dewasa biasanya dijumpai gejala dispepsia non spesifik, intoleransi
makanan yang mengandung lemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas, tidak nyaman pada
perut kanan atas. Gejala ini tidak spesifik karena bisa terjadi pada orang dewasa dengan atau
tanpa kolelitiasis.12
12
Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri bilier dan
obstructive jaundice. Nyeri bilier yang khas pada penderita ini adalah kolik bilier yang
ditandai oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu lebih dari 15 menit sampai 5 jam. Lokasi
nyeri di epigastrium, perut kanan atas menyebar sampai ke punggung. Nyeri sering terjadi
pada malam hari, kekambuhannya dalam waktu yang tidak beraturan. Nyeri perut kanan atas
yang berulang merupakan gambaran penting adanya kolelitiasis. Umumnya nyeri terlokalisir
di perut kanan atas, namun nyeri mungkin juga terlokalisir di epigastrium. Nyeri pada
kolelitiasis ini biasanya menyebar ke bahu atas. Mekanisme nyeri diduga berhubungan
dengan adanya obstruksi dari duktus. Tekanan pada kandung empedu bertambah sebagai
usaha untuk melawan obstruksi, sehingga pada saat serangan, perut kanan atas atau
epigastrium biasanya dalam keadaan tegang.12
Studi yang dilakukan oleh Kumar didapatkan gejala nyeri perut kanan atas yang
berulang dengan atau tanpa mual dan muntah mencapai 75% dari gejala klinik yang timbul,
sisanya meliputi nyeri perut kanan atas yang akut, jaundice, failure to thrive, keluhan perut
yang tidak nyaman. Hanya 10% dijumpai dengan gejala asimptomatik.12
Mual dan muntah juga umum terjadi. Demam umum terjadi pada anak dengan umur
kurang dari 15 tahun. Nyeri episodik terjadi secara tidak teratur dan beratnya serangan sangat
bervariasi.12
Pada pemeriksaan fisik mungkin tidak dijumpai kelainan. Pada sepertiga pasien
terjadi inflamasi mendahului nekrosis, kemudian diikuti perforasi atau empiema pada
kandung empedu. Lewatnya batu pada kandung empedu menyebabkan obstruksi kandung
empedu, kolangitis duktus dan pankreatitis.12
Manifestasi pertama gejala kolelitiasis sering berupa kolesistitis akut dengan gejala
demam, nyeri perut kanan atas yang dapat menyebar sampai ke skapula dan sering disertai
teraba masa pada lokasi nyeri tersebut. Pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri tekan pada
perut kanan atas yang dapat menyebar sampai daerah epigastrium. Tanda khas (Murphy’s
sign) berupa napas yang terhenti sejenak akibat rasa nyeri yang timbul ketika dilakukan
palpasi dalam di daerah subkosta kanan.12
Komplikasi
Komplikasi yang umum dijumpai adalah (batu saluran empedu), kolesistitis akut,
pakreatitis akut, emfiema dan perforasi kandung empedu.12
13
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Non Bedah
Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran batu dengan
obat-obatan seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid, extracorporeal shock-wave
lithotripsy dengan pemberian kontinyu obat-obatan, penanaman obat secara langsung di
kandung empedu.12
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-
obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic
karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti
terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemi sedang. Pemberian
obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama
batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun
setelah terapi. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan
risiko tinggi untuk menjalani operasi.12
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu kolesterol
dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter
perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai
adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam
kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang
radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan
adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu.12
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL) menggunakan gelombang suara
dengan amplitudo tinggi untuk menghancurkan batu pada kandung empedu.3,9 Pasien
dengan batu yang soliter merupakan indikasi terbaik untuk dilakukan metode ini. Namun
pada anak-anak penggunaan metode ini tidak direkomendasikan, mungkin karena angka
kekambuhan yang tinggi.12
Penatalaksanaan Bedah
Cholecystectomy sampai saat ini masih merupakan baku emas dalam penanganan
kolelitiasis dengan gejala. Yang menjadi pertanyaan kapan sebaiknya operasi dilakukan.
Penelitian tentang ini didapatkan bahwa pasien dengan gejala nyeri perut yang berulang
merupakan indikasi segera dilakukan operasi karena dapat menyebabkan komplikasi yang
serius.12
14
Prosedur cholecystectomy terdiri dari beberapa jenis tindakan yaitu laparoscopic
cholecystectomy, open cholecystectomy, open cholecystectomy dengan eksplorasi saluran
empedu, open cholecystectomy dengan eksplorasi saluran empedu dan
choledochoenterostomy dan choledochoenterostomy yang diikuti open cholecystectomy.12
Laparoscopic cholecystectomy mempunyai keuntungan lebih dibandingkan dengan
cholecystectomy konvensional. Pada anak-anak, indikasi laparoscopic cholecystectomy sama
dengan cholecystectomy konvensional terutama pada anak kolelitiasis dengan gejala atau
pada anak yang juga menderita hemoglobinopati atau pada anak dengan kolelitiasis tanpa
gejala berumur kurang dari 3 tahun, yang telah mendapatkan makanan oral minimal selama
12 bulan. Teknik ini bermanfaat pada pasien dengan familial hyperlipidemia, hereditary
spherocytosis, glucose-6-phosphatase deficiency, thalassemia, glicogen strage disease dan
sickle cell anemia. Prosedur ini tidak dianjurkan pada anak dengan kolelitiasis yang disertai
kolesistitis akut, pankreatitis atau kemungkinan menderita perlengketan usus.12
Pada anak yang menderita anemia sel sickle dengan kolelitiasis, laparoscopic
cholecystectomy elektif merupakan pilihan utama. Tindakan elektif lebih dipilih
dibandingkan dengan tindakan cholecystectomy emergensi karena untuk menghindari risiko
komplikasi seperti komplikasi intraoperatif (vaso-oklusi), komplikasi sesudah operasi
(pneumonia) dan komplikasi lain seperti kolangitis, koledokulitiasis atau kolesistitis akut.12
Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG diperlukan
untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa menghilang secara spontan.
Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena merupakan risiko terbentuknya
karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2 cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan
untuk mengambil batu tersebut. Pada anak yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan
batu pigmen akan semakin memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan
untuk melakukan kolesistektomi.12
Kesimpulan
Jadi, anak ini didiagnosis menderita neonatal kolestasis dimana terdapat sumbatan
yang menyebabkan bilirubin menumpuk dan termanifestasi pada seluruh tubuh yang
menunjukkan warna kuning. Selain itu demam yang tidak dijumpai pada anak ini
menyingkirkan diagnosis penyakit lain sepeti hepatitis.
15
Daftar Pustaka
1. Alpers A. Buku ajar pediatri Rudolbh. Edisi ke-20. Jakarta: EGC; 2006.h.1246,1253
2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2005.h.7
3. Bickley S. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-5. Jakarta:
EGC; 2006.h.17
4. Lissauer T, Fanaroff AA. At a galance. Edisi ke-1. Jakarta: Erlangga; 2008.h.96-9
5. Madam A, Wong RJ, dan Stevenson DK. Clinical features and management of
unconjugated hyperbilirubinemia in term and near term infants. Diunduh dari
www.Store.utdol.com ,19 juni 2014
6. Peter C, Suryono A, dan Indarso F. Jaundice: managing newborn problems a guide for
docter, nurses and midviews.WHO 2003.77, 89
7. Tanto C. Kapita slekta kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.h.65
8. Nazer H. Cholestasis. Edisi 16 November 2014. Diunduh dari
www.emedicine.medscape.com, 20 Juni 2014
9. Desphande PG. Breast milk jaundice. Edisi 27 Maret 2014. Diunduh dari
www.emedicine.medscape.com, 20 Juni 2014
10. Schwarz SM. Pediatric biliary atresia. Edisi 17 November 2014. Diunduh dari
www.emedicine.medscape.com, 20 Juni 2014
11. Schleiss MR. Pediatric cytomegalovirus infection. Edisi 27 Januari 2014. Diunduh dari
www.emedicine.medscape.com, 20 Juni 2014
12. Aryasa KN, Gustawan IW, Putra IGNS, dan Karyana IPG. Kolestasis pada anak. Maj
Kedokt Indon 2007;57(10):354-6,359,361-2
13. Roberts EA. The jaundiced baby. Disease of the liver and biliary system. Edisi ke-2.
London: Blackwell Publishing; 2004.h.35-73
14. A-Kader HH, Balisteri WF. Neonatal cholestasis. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders;
2004.h.1314-19.
15. Karpen SJ. Update on the etiologies and management of neonatal cholestasis. Clin
Perinatol 2002;29:159-80
16. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis:suchy FJ Liver disease in children. St
Louise: Mosby-Yearbook;1994.h.399-55
17. Arrese M, Ananthananarayanan M, Suchy FJ. Hepatobiliay transport: mechanism of
development and cholestasis. Pediatr Res 1998;44:141
18. Schachter D. Fluidity and function of hepatocyte plasma membranes. Hepatology
1984;4:146-151
16
19. Kawata S, Imai Y, Inada M et al. Selective reduction of hepatic cytochrome P-450
content in patient with intrahepatic cholestasis. A mechanism for impairment of
microsomal drug oxidation. Gastroenterology 1987;92:299-303
20. Hatoff DE, Hardison WGM. Induced synthesis of alkaline phosphatase by bile acids in
rat liver cell culture. Gastroenterology 1979;77:1062-67
21. Bulle F, Mavier P, Zafrani ES, et al. Mechanism of γ-glutamyltranspeptidase release in
serum during intrahepatic cholestasis in rat: A histochemical, biochemical and molecular
approach. Hepatology 1990;11:545-550
22. Bove KE. Liver disease caused by disorders of bile acid synthesis. Clin Liver Dis
2000;4:831-48
23. Koopen NR, Muller M, Vonk RJ, et al. Molecular of cholestasis: Causes and
consequences of impaired bile formation. Biochim Biophys Acta 1998;1408:1-17
24. Janssens AR, Bosman FT, Ruiter DJ, van den Hamer CJA. Immunohistochemical
demonstration of the cystoplasmic copper-associated protein in the liver in primary
biliary cirrhosis: Its identification as metallothionein. Liver 1984;4:139-147
25. Keppler D, Hagmann W, Rapp S, et al. The relation of leukotrienes to liver injury.
Hepatology 1985;5:883-891
26. Spector AA, Yorek MA. Membrane lipid composition and cellular function. J Lipid Res
1985;26:1015-35
27. Innes GK, Nagafuchi Y, Fuller BJ, et al. Increased expression of major histocompability
antigens in the liver as a result of cholestasis. Transplantation 1988;45:749-752