26
1 Neonatal Kolestasis Ineke Putri Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510, No. Telp (021) 5694-2061 Email: [email protected] Abstrak Indikasi tersering untuk evaluasi ekstensif pada bayi yang dicurigai mengidap penyakit hepar adalaah hiperbilirubinemia terkonjugasi yang berkepanjangan, kolestasis. Apabila anamnesis dilakukan dengan cermat maka informasi yang didapatkan sangat berharga untuk menegakan suatu diagnosis. Ikterus adalah tanda paling awal banyak penyakit hepar, yang pada masa bayi sering merupakan sinyal bahwa penyakitnya dapat diatasi. Hepatomegali mungkin merupakan satu-satunya tanda penyakit hepar. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, studi pencitraan, dan temuan histologi. Disebut neonatal kolestasis, bila kolestasis terjadi selama 90 hari kehidupan ekstra- uterin. Diagnosis bandingnya yaitu breast milk jaundice, atresi biliar, dan infeksi citomegalovirus. Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Penyebab dan faktor risiko terbentuknya batu kandung empedu tidak secara jelas dibedakan. Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural. Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala. Komplikasi yang umum dijumpai adalah (batu saluran empedu), kolesistitis akut, pakreatitis akut, emfiema dan perforasi kandung empedu. Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah dan bedah. Perjalanan penyakit kolestasis ini tergantung pada ukuran batu empedu yang tersumbat. Jadi, anak ini didiagnosis menderita neonatal kolestasis dimana terdapat sumbatan yang menyebabkan bilirubin menumpuk dan termanifestasi pada seluruh tubuh yang menunjukkan warna kuning. Selain itu demam yang tidak dijumpai pada anak ini menyingkirkan diagnosis penyakit lain sepeti hepatitis. Kata kunci: kolestasis, ikterus, hiperbilirubinemia Abstract

pbl blok 17

Embed Size (px)

DESCRIPTION

neonatal kolestasis

Citation preview

Page 1: pbl blok 17

1

Neonatal Kolestasis

Ineke PutriFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510, No. Telp (021) 5694-2061Email: [email protected]

Abstrak Indikasi tersering untuk evaluasi ekstensif pada bayi yang dicurigai mengidap

penyakit hepar adalaah hiperbilirubinemia terkonjugasi yang berkepanjangan, kolestasis. Apabila anamnesis dilakukan dengan cermat maka informasi yang didapatkan sangat berharga untuk menegakan suatu diagnosis. Ikterus adalah tanda paling awal banyak penyakit hepar, yang pada masa bayi sering merupakan sinyal bahwa penyakitnya dapat diatasi. Hepatomegali mungkin merupakan satu-satunya tanda penyakit hepar. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, studi pencitraan, dan temuan histologi. Disebut neonatal kolestasis, bila kolestasis terjadi selama 90 hari kehidupan ekstra-uterin. Diagnosis bandingnya yaitu breast milk jaundice, atresi biliar, dan infeksi citomegalovirus. Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Penyebab dan faktor risiko terbentuknya batu kandung empedu tidak secara jelas dibedakan. Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural. Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala. Komplikasi yang umum dijumpai adalah (batu saluran empedu), kolesistitis akut, pakreatitis akut, emfiema dan perforasi kandung empedu. Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah dan bedah. Perjalanan penyakit kolestasis ini tergantung pada ukuran batu empedu yang tersumbat. Jadi, anak ini didiagnosis menderita neonatal kolestasis dimana terdapat sumbatan yang menyebabkan bilirubin menumpuk dan termanifestasi pada seluruh tubuh yang menunjukkan warna kuning. Selain itu demam yang tidak dijumpai pada anak ini menyingkirkan diagnosis penyakit lain sepeti hepatitis. Kata kunci: kolestasis, ikterus, hiperbilirubinemia

AbstractThe most common indication for an extensive evaluation in infants who are suspected

of having liver disease adalaah Prolonged conjugated hyperbilirubinemia, cholestasis. If history is done carefully, the information obtained is invaluable to enforce a diagnosis. Jaundice is the earliest sign of many diseases of the liver, which in infancy is often a signal that the disease can be overcome. Hepatomegaly may be the only sign of liver disease. Investigations can be carried out laboratory tests, imaging studies, and histological findings. Called neonatal cholestasis, when cholestasis occurred during the 90 days of extra-uterine life. The differential diagnosis is breast milk jaundice, atresi billiards, and Citomegalovirus infection. Cholelithiasis including a rare disease in children. Causes and risk factors for the formation of gall bladder stones are not clearly differentiated. In the prolonged cholestasis functional and structural damage. Cholelithiasis clinical symptoms vary from no symptoms until the appearance of symptoms. Is a common complication (bile duct stones), acute cholecystitis, acute pakreatitis, emfiema and gall bladder perforation. Handling cholelithiasis divided into two non-surgical and surgical management. Cholestatic disease course this depends on the size of gallstones are clogged. So, this child is diagnosed with neonatal cholestasis where there is a blockage that causes bilirubin accumulate and manifest in the entire body showed yellow color. Besides fever found in children who did not rule out the diagnosis of the disease is another case of hepatitis.Key words: cholestasis, jaundice, hyperbilirubinemia

Page 2: pbl blok 17

2

Pendahuluan

Indikasi tersering untuk evaluasi ekstensif pada bayi yang dicurigai mengidap

penyakit hepar adalaah hiperbilirubinemia terkonjugasi yang berkepanjangan. Dokumentasi

mengenai hiperbilirubinemia terkonjugasi hampir selalu menunjukkan penyakit hepar atau

saluran empedu. Kolestasis dapat merupakan manifestasi awal berbagai penyakit.

Heterogenitas kelompok penyakit ini menimbulkan tantangan dalam evaluasi dan

penanganan bayi yang terjangkit. Namun, walaupun daftar kemungkinan penyebab kolestasis

sangat panjang, tetapi frekuensi relatif dua penyakit, atresia biliaris ekstrahepatika dan

hepatitis neonatus idiopatik, jauh melebihi entitas yang lain; kedua penyakit ini merupakan

penyebab 60% sampai 70% dari semua kasus kolestasis neonatus.1

Evaluasi neonatus yang datang dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang

berkepanjangan (kolestasis) merupakan latihan pembuatan diagnosis banding yang menarik.

Kauss yang mendasari mungkin merupakan penyakit infeksi, metabolik, toksik, genetik,

anatomik, atau tidak diketahui yang menyebabkan hambatan aliran empedu atau gangguan

fungsional proses ekskresi hepar. Diagnosis pasti sebaiknya diketahui segera. Diferensiasi

yang cepat akan memungkinkan pasien dengan kuasa infeksi diterapi dengan tepat, mereka

yang mengidap penyakit metabolik dan genetik dikonsultasikan dan ditangani secara benar,

dan mereka dengan kelainan bedah dapat segera menjalani pembedahan.1

Rumusan Masalah

Seorang anak usia 2 bulan dibawa ke dokter dengan keluhan utama kuning pada

seluruh badannya,rewel, kurang aktif, menangis lemah dan malas menyusu sedangkan

pemeriksaan fisiknya normal.

Hipotesis

Anak tersebut didiagnosis menderita neonatal kolestasis yang menyebabkan gambaran

klinis ikterus pada seluruh tubuhnya.

Sasaran Pembelajaran

1. Mahasiswa mampu mendiagnosa neonatal kolestasis berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang

2. Mahasisea mengetahui tata laksana neonatal kolestasis

3. Mahasiswa mengetahui & memahami etiologi, gejala klinis, patofisiologi, dan

komplikasi neonatal kolestasis

Page 3: pbl blok 17

3

Skenario 2

Seorang anak usia 2 bulan dibawa ke dokter dengan keluhan utama kuning pada

seluruh badannya. Ibu mengatakan bahwa badan kuning terlihat sejak usia 2 minggu.

Semakin lama semakin kuning. Anak juga menjadi rewel, kurang aktif, menangis lemah dan

malas menyusu. Riwayat demam tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan (+) sclera

ikterik, (+) jaundice di seluruh tubuh dan mukosa, TTV dalam batas normal.

Anamnesis

Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan melalui suatu percakapan antara

seorang dokter dan pasien secara langsung atau melalui perantara orang lain yang mengetahui

kondisi pasien dengan tujuan untuk mendapatkan data pasien berserta permasalahan

medisnya. Anamnesis dibagi menjadi dua yaitu autoanamnesis bila dokter bisa menanyakan

keluhan-keluhan yang dihadapi langsung dengan si penderita, dan alloanamnesis bila kondisi

si penderita tidak memungkinkan untuk ditanyai sehingga dokter menanyakan keluhan

kepada orang yang mengetahui kondisi pasien. Apabila anamnesis dilakukan dengan cermat

maka informasi yang didapatkan sangat berharga untuk menegakan suatu diagnosis.2

Anamnesis yang baik akan terdiri dari: (1) identitas, nama lengkap pasien, umur atau

tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab,

alamat, pendidikan pekerjaan, suku bangsa dan agama; (2) keluhan utama keluhan yang

dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokteratau mencari pertolongan; (3) riwayat

penyakit sekarang, riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terinci dan

jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang

berobat; (4) riwayat penyakit dahulu, mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya

hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang; (5) riwayat

penyakit dalam keluarga, untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau

penyakit infeksi. Riwayat keluarga suatu fenotipe klinis rekuren mungkin memberikan

petunjuk mengenai ada tidaknya dan jenis penyakit hepar. Banyak penyakit herediter, seperti

tirosinemia, defisiensi antitripsin ɑ1, dan hepatitis neonatus familial, muncul sejak awal masa

bayi dan mungkin menyebabkan kerusakan ireversibel atau fatal apabila tidak segera dikenali

dan diatasi; (6) riwayat pengobatan; apakah yang sudah dilakukan / diberikan ketika insiden

terjadi; (7) riwayat pribadi dan sosial meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan

kebiasaan. Awitan penyakit hepar yang berkaitan dengan perubahan makanan mungkin

mengisyaratkan adanya penyakit metabolik bawaan (hepatotoksisitas nutrisional), misalnya

galaktosemia atau friktosemia. 1,3

Page 4: pbl blok 17

4

Antara penyakit yang sering ditanyakan ialah: (1) berat lahir bayi; (2) masa gestasi;

(3) usia bayi dalam jam; (4) riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu diabetes

melitus, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal); (5) ibu si bayi pernah

mengalami penyakit kuning sebelum mengandung atau semasa mengandung; (6) riwayat

persalinan dengan tindakan / komplikasi (lahir sulit / trauma lahir); (7) bertanyakan kapan

terjadinya perubahan warna kuning pada kulit bayi. ini karena waktu timbulnya ikterus

mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus; (8)riwayat ikterus/terapi

sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya; (9) riwayat inkompatibilitas darah seperti

menanyakan golongan darah ibu dan anak; (10) riwayat keluarga yang menderita anemia,

pembesaran hepar dan limpa untuk diagnosis banding terhadap penyakit hemolitik yang

diakibatkan thalesemia, sferositosis dan lain-lain; dan (11) riwayat pemberian ASI (Air Susu

Ibu) dan makanan.4

Pemeriksaan Fisik

Ikterus adalah tanda paling awal banyak penyakit hepar, yang pada masa bayi sering

merupakan sinyal bahwa penyakitnya dapat diatasi. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan

sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus

yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang

mendapatkan terapi sinar. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan

warna kulit dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula

dalam diagnosis dan penatalaknsaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai

kaitan erat dengan kemungkinan tersebut. Seperti yang dikutip Depkes RI pada tabel 1 ikterus

diklasifikasikan pada patologis dan fisiologis.1,5,6

Tabel 1 Klasifikasi Ikterus

Tanya dan Lihat Tanda / Gejala Klasifikasi

Mulai kapan ikterus?

Daerah mana yang

Ikterus?

Bayinya kurang bulan?

Warna Tinja?

Ikterus segera setelah lahir

Ikterus pada 2 hari pertama

Ikterus pada usia ≥ 14 hari

Bayi kurang bulan

Tinja pucat

Ikterus patologis

Ikterus 3-13 hari

Tanda patologis (-)

Ikterus fisiologis

Page 5: pbl blok 17

5

Hepatomegali mungkin merupakan satu-satunya tanda penyakit hepar. Namun,

palpasi tepi hepar dapat menyesatkan sebagai indikator ukuran hepar, karena kontur yang

tidak lazim, habitus tubuh, atau pergeseran hepar oleh organ atau massa di dekatnya. Karena

itu, selain memeriksa ada tidaknya nyeri tekan, konsistensi, bentuk, dan perluasan di bawah

batas iga, batas hepar juga harus ditentukan. Batas hepar didefinisikan sebagai jarak antara

batas bawah hepar dan batas atas pekak hepar yang diperoleh dari perkusi di garis

midklavikula kanan. Batas hepar normal diperoleh apabila batas atas terletak dalam 1 cm dari

sela iga kelima di garis midklavikula kanan. Pemeriksaan hepar juga mencakup auskultasi

permukaan hepar untuk mencari ada tidaknya bruits dan palpasi abdomen untuk mendeteksi

limpa atau massa lain.1

Selain itu, dapat ditemukan juga massa abdomen, asites, gagal tumbuh, dan tanda-

tanda lain terkait sindrom atau penyakit khusus: tanda-tanda dismorfik (trisomi, sindrom

algille); murmur jantung (sindrom algille,extrahepatic billiary tumor/EHBA); bayi sakit,

tanda-tanda bital tidak normal (sepsis, HLH, infeksi kongenital); mikopenis

(panhipopituitarisme); katarak (rubella, galaktosemia); situs inversus (EHBA); masalah pada

retina (infeksi TORCH, sindrom Algille); massa abdomen (kista duktus koledokus);

hemangioma kutan (hemangioma hepar); rambut putih (Hemophagocytic

lymphohistiocytosis/HLH).7

Pemeriksaan Penunjang

Pengukuran Laboratorium

Kadar bilirubin serum meningkat pada hampir semua pasien dengan kolestasis.

Jumlah serum empedu tingkat konsentrasi garam meningkat pada penyakit hampir semua

kolestasis. Kualitatif serum dan urin asam empedu oleh spektroskopi massa digunakan untuk

mengidentifikasi kesalahan genetik ditentukan dalam sintesis asam empedu. Kadar kolesterol

total serum meningkat pada hampir semua penyakit kolestasis obstruktif, sedangkan high

density lipoprotein (HDL) tingkat adalah dalam kisaran referensi atau rendah. Kolesterol total

adalah dalam kisaran referensi dalam penyakit kolestasis hepatoselular tertentu, sedangkan

tingkat HDL adalah dalam kisaran referensi atau rendah. Serum kadar lipoprotein-X

meningkat pada hampir semua penyakit kolestasis obstruktif. Kadar serum alkali fosfatase,

serum tingkat 5'-nucleotidase, dan serum gamma-glutamil transferase (GGT) tingkat

meningkat pada hampir semua penyakit kolestasis obstruktif dan penyakit kolestasis paling

hepatoseluler.8

Page 6: pbl blok 17

6

Studi pencitraan

Ultrasonografi hati dan saluran empedu digunakan untuk mengidentifikasi penyebab

anatomi kolestasis obstruktif (misalnya, kista choledochal, batu empedu). Perut CT scan

digunakan untuk mengidentifikasi penyebab anatomi kolestasis obstruktif (misalnya, kista

choledochal, batu empedu). Studi kedokteran nuklir bilier (yaitu, asam hepatoiminodiacetic

[HIDA] scanning) digunakan untuk mengidentifikasi penyebab anatomi kolestasis obstruktif

(misalnya, kista choledochal, batu empedu) dan untuk membedakan antara obstruktif dan

kolestasis hepatoselular (yaitu, atresia bilier dibandingkan hepatitis neonatal). Endoskopi

cholangiography retrograde digunakan untuk mengidentifikasi penyebab anatomi kolestasis

obstruktif (misalnya, kista choledochal, batu empedu). Percutaneous cholangiography

transhepatik digunakan untuk mengidentifikasi penyebab anatomi kolestasis obstruktif

(misalnya, kista choledochal, batu empedu). Biopsi hati adalah satu tes yang paling

bermanfaat untuk menentukan penyebab kolestasis tetapi membutuhkan tingkat keahlian

yang tinggi dalam penafsiran.8

Temuan histologis

Banyak temuan histologis yang penyakit tertentu; Oleh karena itu, merujuk pada

artikel tentang keadaan penyakit (lihat Penyebab). Fitur histopatologis khas kolestasis

hepatoselular termasuk adanya empedu dalam hepatosit dan ruang canalicular, berkaitan

dengan cedera kolat umum. Khas kolestasis obstruktif adalah empedu penyumbatan saluran

empedu interlobular, ekspansi portal, dan saluran empedu proliferasi dalam hubungan dengan

cedera kolat centrilobular. Membedakan antara hepatitis neonatal idiopatik dan atresia bilier

merupakan tantangan diagnostik. Dengan evaluasi ahli, tidak ada kontribusi sebanyak itu

diferensial diagnosis sebagai temuan biopsi hati perkutan.8

Diagnosis Kerja

Kolestasis merupakan kondisi terganggunya sekresi dan ekskresi dari hati ke

duodenum. Dengan demikian, substansi yang seharusnya dikeluarkan bersama empedu akan

tertahan di hepar. Parameter kolestasis ialah kadar bilirubin direk serum >1 mg/dL apabila

bilirubin total <5 mg/dL, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total apabila kadar bilirubin

total >5 mg/dL. Disebut neonatal kolestasis, bila kolestasis terjadi selama 90 hari kehidupan

ekstra-uterin.7

Page 7: pbl blok 17

7

Diagnosis Banding

Breast Milk Jaundice

Arias pertama kali dijelaskan ASI jaundice (BMJ) pada tahun 1963. ASI jaundice

adalah jenis penyakit kuning neonatal terkait dengan menyusui. Hal ini ditandai dengan

hiperbilirubinemia tidak langsung dalam bayi baru lahir disusui yang berkembang setelah 4-7

hari pertama kehidupan, tetap lebih lama dari ikterus fisiologis, dan tidak memiliki penyebab

yang dapat diidentifikasi lainnya. Ini harus dibedakan dari menyusui penyakit kuning, yang

memanifestasikan dalam 3 hari pertama kehidupan dan disebabkan oleh produksi atau asupan

ASI tidak cukup.9

Atresia Biliar

Atresia bilier ditandai dengan pemusnahan atau diskontinuitas dari sistem empedu

ekstrahepatik, sehingga obstruksi aliran empedu. Gangguan ini merupakan penyebab

pembedahan diobati paling umum dari kolestasis ditemui selama periode baru lahir. Jika

tidak pembedahan diperbaiki, sirosis bilier sekunder selalu menghasilkan. Pasien dengan

atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 kelompok yang berbeda: mereka yang atresia bilier

terisolasi (bentuk postnatal), yang menyumbang 65-90% kasus, dan pasien dengan terkait

situs inversus atau polysplenia / asplenia dengan atau tanpa kelainan bawaan lainnya (janin /

bentuk embrio), yang terdiri dari 10-35% kasus.10

Infeksi Citomegalovirus

Infeksi CMV adalah di mana-mana dan umumnya asimtomatik pada anak-anak yang

sehat dan dewasa. Namun, beberapa kelompok berisiko tinggi, termasuk organ

immunocompromised penerima transplantasi dan orang yang terinfeksi dengan human

immunodeficiency virus (HIV), berada pada risiko mengembangkan mengancam jiwa dan

penyakit CMV melihat-mengancam. CMV juga merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas sesekali pada bayi baru lahir. Dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi jelas

bahwa CMV adalah penyebab paling penting dari infeksi kongenital di negara maju, dan

bahwa hal itu sering menyebabkan keterbelakangan mental dan cacat perkembangan. Selain

itu, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa CMV dapat menyebabkan konsekuensi

kesehatan jangka panjang pada orang dewasa yang sehat, termasuk immunosenescence dan

peningkatan risiko keganasan dan penyakit pembuluh darah. 11

Pada tahun 1904, Ribbert pertama kali diidentifikasi bukti histopatologi CMV,

mungkin dalam jaringan dari bayi yang terinfeksi kongenital. Ribbert beranggapan bahwa sel

inklusi-bantalan besar ia mengamati di otopsi berasal dari protozoa (salah bernama

Entamoebamortinatalium). Pada tahun 1920, Goodpasture benar mendalilkan etiologi virus

Page 8: pbl blok 17

8

inklusi ini. Goodpasture menggunakan cytomegalia istilah untuk merujuk pada membesar,

sifat bengkak dari sel yang terinfeksi. Manusia CMV pertama kali diisolasi pada kultur

jaringan pada tahun 1956, dan kecenderungan organisme ini menginfeksi kelenjar ludah

menyebabkan penunjukan awal sebagai virus kelenjar ludah.11

Pada tahun 1960, Weller ditunjuk cytomegalovirus virus; selama tahun 1970 dan

1980-an, pengetahuan tentang peran CMV sebagai patogen penting dengan manifestasi klinis

yang beragam terus meningkat. Meskipun kemajuan besar baru-baru ini telah dibuat dalam

mendefinisikan dan karakteristik biologi molekuler, imunologi, dan target terapi antivirus

untuk CMV, pekerjaan yang cukup tetap merumuskan strategi untuk pencegahan infeksi

CMV dan dalam memahami peran gen virus spesifik dalam patogenesis. Selain itu,

pengembangan vaksin terhadap virus ini merupakan prioritas kesehatan masyarakat yang

utama (Ulasan di Pencegahan / Pencegahan).11

Epidemiologi

Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Di Amerika Serikat, prevalensi

kolelitiasis pada anak dilaporkan hanya 0,15-0,22%, sedangkan pada orang dewasa berkisar

4-11%.4 Ganesh dalam pengamatannya dari Januari 1999 sampai Desember 2003 di Kanchi

Kamakoti Child Trust Hospital, mendapatkan dari 13675 anak yang mendapat pemeriksaan

ultrasonografi (USG), 43 (0,31%) terdeteksi memiliki batu kandung empedu. Rasio laki-laki

dan perempuan adalah 2,3:1. Median umur untuk anak laki-laki adalah 5 tahun (3 bulan-14

tahun) dan median umur untuk anak perempuan adalah 9 tahun (7 bulan-15 tahun). Semua

ukuran batu kurang dari 5 mm dan 56% merupakan batu yang soliter. Empat puluh satu anak

(95,3%) dengan gejala asimtomatik dan hanya 2 anak dengan gejala.12

Etiologi

Penyebab dan faktor risiko terbentuknya batu kandung empedu tidak secara jelas

dibedakan. Ada yang menyebutkan faktor tertentu sebagai penyebab, namun sumber lain

menyebutnya sebagai faktor risiko. Kumar mendapatkan penyebab batu kandung empedu

adalah idiopatik, penyakit hemolitik dan penyakit spesifik non hemolitik. Schweizer yang

mendapat nutrisi\ parenteral total yang lama, setelah menjalani operasi by pass

kardiopulmonal, reseksi usus, kegemukan dan anak perempuan yang mengkonsumsi

kontrasepsi hormonal mempunyai risiko untuk menderita kolelitiasis. Suchy menyebutkan

beberapa kondisi yang berhubungan dengan kolelitiasis adalah penyakit hemolitik kronik

(anemia sel sickle, sferositosis), kegemukan, penyakit atau reseksi ileum, fibrosis kistik,

Page 9: pbl blok 17

9

penyakit hati kronis, penyakit Crohn, nutrisi parenteral yang lama, prematuritas dengan

komplikasi bedah atau non bedah, pengobatan kanker pada anak.2 Schirmer menyebutkan

faktor-faktor risiko terbentuknya batu kandung empedu adalah kegemukan, diabetes melitus,

hormon estrogen dan kehamilan, penyakit hemolitik dan sirosis.12

Berdasarkan jenis batu yang terbentuk, faktor risiko yang mempengaruhi

terbentuknya batu berbeda-beda sesuai jenis batunya. Kondisi-kondisi yang merupakan faktor

predisposisi terbentuknya batu pigmen hitam adalah penyakit hemolitik yang kronik,

pemberian nutrisi parenteral total, kolestasis kronik dan sirosis, pemberian obat (ceftriaxone).

Ceftriaxone didapatkan dalam konsentrasi tinggi di kandung empedu dalam keadaan yang

utuh. Sedangkan faktor predisposisi terbentuknya batu pigmen coklat adalah adanya infestasi

parasit seperti Ascharis lumbricoides. Batu pigmen coklat ini sangat jarang dijumpai pada

bayi dan anak. Untuk batu kolesterol, faktor risikonya adalah kegemukan, reseksi ileum,

penyakit Crohn’s ileal dan fibrosis kistik.12

Kegemukan merupakan faktor yang signifikan untuk terjadinya batu kandung

empedu. Pada keadaan ini hepar memproduksi kolesterol yang berlebih, kemudian dialirkan

ke kandung empedu sehingga konsentrasinya dalam kandung empedu menjadi sangat jenuh.

Keadaan ini merupakan faktor predisposisi terbentuknya batu. Kejadian batu kandung

empedu meningkat pada wanita gemuk dan pubertas.9,10 Hubungan antara pemberian nutrisi

parenteral total dengan batu kandung empedu, dibuktikan oleh Roslyn yang menyelidiki

secara prospektif 21 anak yang mendapat nutrisi parenteral total yang lama, ternyata insiden

terjadinya batu kandung empedu adalah 43%. Tipe batu yang terbentuk adalah batu

nonkolesterol.12

Faktor genetik diduga berperan dalam terjadinya batu kandung empedu. Risiko

menderita batu kandung empedu meningkat apabila kita memiliki keluarga dengan batu

kandung empedu. Beberapa gen mungkin terlibat.12

Faktor etnis mungkin berperan dalam terjadinya batu kandung empedu. Sebagai

contoh insiden kolelitiasis tinggi pada penduduk Indian Pima di Amerika dan penduduk asli

di Chili dan Peru. Perempuan Indian Pima mempunyai risiko 80% untuk menderita batu

kandung empedu.12

Faktor lain yang diduga berhubungan dengan kejadian kolelitiasis dan kolesistitis

adalah adanya infeksi Helicobacter pylori dalam jaringan kandung empedu maupun cairan

empedu. Silva menemukan adanya Helicobacter DNA pada jaringan kandung empedu

maupun cairan empedu penderita kolelitiasis. Namun hanya Helicobacter DNA pada jaringan

kandung empedu yang mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan kejadian

Page 10: pbl blok 17

10

kolelitiasis. Tidak ditemukan adanya organisme Helicobacter pylori dalam kandung empedu

maupun cairan empedu. Terjadi batu kandung empedu pada pemberian ceftriaxone bersifat

reversibel, tidak menunjukkan gejala dan biasanya hilang spontan begitu pengobatan

dihentikan.12

Patofisiologi

Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan

kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu,

kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin

terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang

bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah

sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan

basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler)

berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan

pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi

intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu. Salah satu contoh adalah

penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi (bilirubin indirek). Bilirubin

tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran

basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi

bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam empedu oleh transporter mrp2.

mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu.

Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam empedu oleh transporter lain,

yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi

dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi.

Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia

menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu

dan hiperbilirubinemi terkonyugasi.13-7

Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural: (1)

proses transpor hati, proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi

polaritas dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu,

dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu; (2)

transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik, pada kolestasis berkepanjangan efek

detergen dari asam empedu akan menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi,

glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan terganggu; (3) sintesis protein seperti alkali

Page 11: pbl blok 17

11

fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi serum protein albumin-globulin akan

menurun; (4) metabolisme asam empedu dan kolesterol, kadar asam empedu intraseluler

meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam

empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan

penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid

sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi

tetapi produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun; (5)

gangguan pada metabolisme logam, terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi

bilier yang menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit

oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik; (7) metabolisme cysteinyl

leukotrienes, cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif

dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga

kadarnya akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis.

Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal; (8)

mekanisme kerusakan hati sekunder, asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang

menyebabkan kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini

akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran

akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na+, K+-ATPase,

Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga

lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu. Sistim transport

kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan dalam

kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran utama dalam

kerusakan hati pada kolestasis adalah asam empedu.Proses imunologis, pada kolestasis

didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal pada permukaan hepatosit,

sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu sehingga menyebabkan respon imun

terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier.15,18-27

Gejala Klinis

Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala. Lebih

dari 80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala asimptomatik. Gejala klinik yang

timbul pada orang dewasa biasanya dijumpai gejala dispepsia non spesifik, intoleransi

makanan yang mengandung lemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas, tidak nyaman pada

perut kanan atas. Gejala ini tidak spesifik karena bisa terjadi pada orang dewasa dengan atau

tanpa kolelitiasis.12

Page 12: pbl blok 17

12

Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri bilier dan

obstructive jaundice. Nyeri bilier yang khas pada penderita ini adalah kolik bilier yang

ditandai oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu lebih dari 15 menit sampai 5 jam. Lokasi

nyeri di epigastrium, perut kanan atas menyebar sampai ke punggung. Nyeri sering terjadi

pada malam hari, kekambuhannya dalam waktu yang tidak beraturan. Nyeri perut kanan atas

yang berulang merupakan gambaran penting adanya kolelitiasis. Umumnya nyeri terlokalisir

di perut kanan atas, namun nyeri mungkin juga terlokalisir di epigastrium. Nyeri pada

kolelitiasis ini biasanya menyebar ke bahu atas. Mekanisme nyeri diduga berhubungan

dengan adanya obstruksi dari duktus. Tekanan pada kandung empedu bertambah sebagai

usaha untuk melawan obstruksi, sehingga pada saat serangan, perut kanan atas atau

epigastrium biasanya dalam keadaan tegang.12

Studi yang dilakukan oleh Kumar didapatkan gejala nyeri perut kanan atas yang

berulang dengan atau tanpa mual dan muntah mencapai 75% dari gejala klinik yang timbul,

sisanya meliputi nyeri perut kanan atas yang akut, jaundice, failure to thrive, keluhan perut

yang tidak nyaman. Hanya 10% dijumpai dengan gejala asimptomatik.12

Mual dan muntah juga umum terjadi. Demam umum terjadi pada anak dengan umur

kurang dari 15 tahun. Nyeri episodik terjadi secara tidak teratur dan beratnya serangan sangat

bervariasi.12

Pada pemeriksaan fisik mungkin tidak dijumpai kelainan. Pada sepertiga pasien

terjadi inflamasi mendahului nekrosis, kemudian diikuti perforasi atau empiema pada

kandung empedu. Lewatnya batu pada kandung empedu menyebabkan obstruksi kandung

empedu, kolangitis duktus dan pankreatitis.12

Manifestasi pertama gejala kolelitiasis sering berupa kolesistitis akut dengan gejala

demam, nyeri perut kanan atas yang dapat menyebar sampai ke skapula dan sering disertai

teraba masa pada lokasi nyeri tersebut. Pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri tekan pada

perut kanan atas yang dapat menyebar sampai daerah epigastrium. Tanda khas (Murphy’s

sign) berupa napas yang terhenti sejenak akibat rasa nyeri yang timbul ketika dilakukan

palpasi dalam di daerah subkosta kanan.12

Komplikasi

Komplikasi yang umum dijumpai adalah (batu saluran empedu), kolesistitis akut,

pakreatitis akut, emfiema dan perforasi kandung empedu.12

Page 13: pbl blok 17

13

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Non Bedah

Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran batu dengan

obat-obatan seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid, extracorporeal shock-wave

lithotripsy dengan pemberian kontinyu obat-obatan, penanaman obat secara langsung di

kandung empedu.12

Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-

obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic

karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti

terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemi sedang. Pemberian

obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama

batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun

setelah terapi. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan

risiko tinggi untuk menjalani operasi.12

Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu kolesterol

dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter

perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai

adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam

kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.

Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang

radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan

adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu.12

Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL) menggunakan gelombang suara

dengan amplitudo tinggi untuk menghancurkan batu pada kandung empedu.3,9 Pasien

dengan batu yang soliter merupakan indikasi terbaik untuk dilakukan metode ini. Namun

pada anak-anak penggunaan metode ini tidak direkomendasikan, mungkin karena angka

kekambuhan yang tinggi.12

Penatalaksanaan Bedah

Cholecystectomy sampai saat ini masih merupakan baku emas dalam penanganan

kolelitiasis dengan gejala. Yang menjadi pertanyaan kapan sebaiknya operasi dilakukan.

Penelitian tentang ini didapatkan bahwa pasien dengan gejala nyeri perut yang berulang

merupakan indikasi segera dilakukan operasi karena dapat menyebabkan komplikasi yang

serius.12

Page 14: pbl blok 17

14

Prosedur cholecystectomy terdiri dari beberapa jenis tindakan yaitu laparoscopic

cholecystectomy, open cholecystectomy, open cholecystectomy dengan eksplorasi saluran

empedu, open cholecystectomy dengan eksplorasi saluran empedu dan

choledochoenterostomy dan choledochoenterostomy yang diikuti open cholecystectomy.12

Laparoscopic cholecystectomy mempunyai keuntungan lebih dibandingkan dengan

cholecystectomy konvensional. Pada anak-anak, indikasi laparoscopic cholecystectomy sama

dengan cholecystectomy konvensional terutama pada anak kolelitiasis dengan gejala atau

pada anak yang juga menderita hemoglobinopati atau pada anak dengan kolelitiasis tanpa

gejala berumur kurang dari 3 tahun, yang telah mendapatkan makanan oral minimal selama

12 bulan. Teknik ini bermanfaat pada pasien dengan familial hyperlipidemia, hereditary

spherocytosis, glucose-6-phosphatase deficiency, thalassemia, glicogen strage disease dan

sickle cell anemia. Prosedur ini tidak dianjurkan pada anak dengan kolelitiasis yang disertai

kolesistitis akut, pankreatitis atau kemungkinan menderita perlengketan usus.12

Pada anak yang menderita anemia sel sickle dengan kolelitiasis, laparoscopic

cholecystectomy elektif merupakan pilihan utama. Tindakan elektif lebih dipilih

dibandingkan dengan tindakan cholecystectomy emergensi karena untuk menghindari risiko

komplikasi seperti komplikasi intraoperatif (vaso-oklusi), komplikasi sesudah operasi

(pneumonia) dan komplikasi lain seperti kolangitis, koledokulitiasis atau kolesistitis akut.12

Prognosis

Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG diperlukan

untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa menghilang secara spontan.

Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena merupakan risiko terbentuknya

karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2 cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan

untuk mengambil batu tersebut. Pada anak yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan

batu pigmen akan semakin memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan

untuk melakukan kolesistektomi.12

Kesimpulan

Jadi, anak ini didiagnosis menderita neonatal kolestasis dimana terdapat sumbatan

yang menyebabkan bilirubin menumpuk dan termanifestasi pada seluruh tubuh yang

menunjukkan warna kuning. Selain itu demam yang tidak dijumpai pada anak ini

menyingkirkan diagnosis penyakit lain sepeti hepatitis.

Page 15: pbl blok 17

15

Daftar Pustaka

1. Alpers A. Buku ajar pediatri Rudolbh. Edisi ke-20. Jakarta: EGC; 2006.h.1246,1253

2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2005.h.7

3. Bickley S. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-5. Jakarta:

EGC; 2006.h.17

4. Lissauer T, Fanaroff AA. At a galance. Edisi ke-1. Jakarta: Erlangga; 2008.h.96-9

5. Madam A, Wong RJ, dan Stevenson DK. Clinical features and management of

unconjugated hyperbilirubinemia in term and near term infants. Diunduh dari

www.Store.utdol.com ,19 juni 2014

6. Peter C, Suryono A, dan Indarso F. Jaundice: managing newborn problems a guide for

docter, nurses and midviews.WHO 2003.77, 89

7. Tanto C. Kapita slekta kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.h.65

8. Nazer H. Cholestasis. Edisi 16 November 2014. Diunduh dari

www.emedicine.medscape.com, 20 Juni 2014

9. Desphande PG. Breast milk jaundice. Edisi 27 Maret 2014. Diunduh dari

www.emedicine.medscape.com, 20 Juni 2014

10. Schwarz SM. Pediatric biliary atresia. Edisi 17 November 2014. Diunduh dari

www.emedicine.medscape.com, 20 Juni 2014

11. Schleiss MR. Pediatric cytomegalovirus infection. Edisi 27 Januari 2014. Diunduh dari

www.emedicine.medscape.com, 20 Juni 2014

12. Aryasa KN, Gustawan IW, Putra IGNS, dan Karyana IPG. Kolestasis pada anak. Maj

Kedokt Indon 2007;57(10):354-6,359,361-2

13. Roberts EA. The jaundiced baby. Disease of the liver and biliary system. Edisi ke-2.

London: Blackwell Publishing; 2004.h.35-73

14. A-Kader HH, Balisteri WF. Neonatal cholestasis. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders;

2004.h.1314-19.

15. Karpen SJ. Update on the etiologies and management of neonatal cholestasis. Clin

Perinatol 2002;29:159-80

16. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis:suchy FJ Liver disease in children. St

Louise: Mosby-Yearbook;1994.h.399-55

17. Arrese M, Ananthananarayanan M, Suchy FJ. Hepatobiliay transport: mechanism of

development and cholestasis. Pediatr Res 1998;44:141

18. Schachter D. Fluidity and function of hepatocyte plasma membranes. Hepatology

1984;4:146-151

Page 16: pbl blok 17

16

19. Kawata S, Imai Y, Inada M et al. Selective reduction of hepatic cytochrome P-450

content in patient with intrahepatic cholestasis. A mechanism for impairment of

microsomal drug oxidation. Gastroenterology 1987;92:299-303

20. Hatoff DE, Hardison WGM. Induced synthesis of alkaline phosphatase by bile acids in

rat liver cell culture. Gastroenterology 1979;77:1062-67

21. Bulle F, Mavier P, Zafrani ES, et al. Mechanism of γ-glutamyltranspeptidase release in

serum during intrahepatic cholestasis in rat: A histochemical, biochemical and molecular

approach. Hepatology 1990;11:545-550

22. Bove KE. Liver disease caused by disorders of bile acid synthesis. Clin Liver Dis

2000;4:831-48

23. Koopen NR, Muller M, Vonk RJ, et al. Molecular of cholestasis: Causes and

consequences of impaired bile formation. Biochim Biophys Acta 1998;1408:1-17

24. Janssens AR, Bosman FT, Ruiter DJ, van den Hamer CJA. Immunohistochemical

demonstration of the cystoplasmic copper-associated protein in the liver in primary

biliary cirrhosis: Its identification as metallothionein. Liver 1984;4:139-147

25. Keppler D, Hagmann W, Rapp S, et al. The relation of leukotrienes to liver injury.

Hepatology 1985;5:883-891

26. Spector AA, Yorek MA. Membrane lipid composition and cellular function. J Lipid Res

1985;26:1015-35

27. Innes GK, Nagafuchi Y, Fuller BJ, et al. Increased expression of major histocompability

antigens in the liver as a result of cholestasis. Transplantation 1988;45:749-752