112
TESIS DURASI MENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN SENSORINEURAL SURIYA SUWANTO PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

otitis media serosa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

otitis media serosa

Citation preview

  • TESIS

    DURASI MENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

    MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN

    SENSORINEURAL

    SURIYA SUWANTO

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2014

  • DURASI MENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

    MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN

    SENSORINEURAL

    Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

    dalam Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

    Program Pascasarjana Universitas Udayana

    SURIYA SUWANTO

    NIM 0914078203

    PROGRAM MAGISTER

    PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2014

  • Lembar Pengesahan Pembimbing

    TESIS INI TELAH DISETUJUI

    TANGGAL, 3 JUNI 2014

    Pembimbing I, Pembimbing II,

    Prof. dr. W. Suardana SpTHT-KL (K) Prof. Dr.dr. Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp.Erg

    NIP. 130369694 NIP. 19471211 1976 021 001

    Mengetahui,

    Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur Program Pascasarjana

    Program Pascasarjana Universitas Udayana

    Universitas Udayana

    Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila,SpAnd, FAACS Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)

    NIP. 194612131971071001 NIP: 195902151985102001

  • Tesis Ini Telah Diuji pada

    Tanggal

    Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

    Universitas Udayana, No: 1374 /UN14.4/HK/2014, tertanggal 16 Mei 2014

    Ketua : Prof. dr. W. Suardana SpTHT-KL (K), SpTHT-KL (K)

    Anggota :

    1. Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp. Erg

    2. Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila SpAnd., FAACS

    3. Prof. Dr. IGM. Aman, Sp FK

    4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D

  • UCAPAN TERIMA KASIH

    Atas Karunia Tuhan yang Maha Esa akhirnya tersusunlah sebuah karya tulis

    untuk memperoleh gelar pascasarjana kekhususan kedokteran klinik dan spesialis di

    bidang THT-KL. Karya tulis ini selain merupakan suatu karya akhir juga

    dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan bagi perkembangan pengetahuan dan

    keilmuan di bidang penelitian pada umumnya dan THT-KL pada khususnya.

    Karya tulis ini dapat diselesaikan berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan peran

    serta berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan

    terima kasih yang yang tidak terhingga dengan segala ketulusan hati kepada yang

    terhormat:

    1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD

    sekaligus sebagai Kepala Divisi Endokrinologi dan Metabolisme FK

    UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti dan

    menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined

    degree), PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala

    Leher berikut ijin melaksanakan penelitian di Diabetes Centre RSUP Sanglah.

    2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa,

    Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti

    dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik

    (combined degree) dan PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-

    Bedah Kepala Leher.

    3. dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar,

    atas segala fasilitas yang disediakan dan diberikan selama penulis mengikuti

    pendidikan spesialis.

    4. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka Sudewi,

    SpS(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi

    mahasiswa program pascasarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik

    (Combined degree).

    5. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.THT-KL(K), sebagai Kepala Bagian/ SMF Ilmu

    Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher, Fakultas

  • Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala

    kesabaran, dorongan dan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan

    spesialis.

    6. dr. I Dewa Gede Arta Eka, Sp.THT-KL sebagai Ketua Program Studi PPDS-1

    Ilmu Kesehatan THT-KL sekaligus sebagai pembimbing akademik atas segala

    kesempatan, bimbingan dan motivasinya.

    7. dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.THT-KL (K) sebagai Sekretaris Program Studi

    PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL atas segala kesempatan, bimbingan dan

    motivasinya.

    8. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined degree),

    Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS yang telah memberikan

    kesempatan penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana

    Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree).

    9. Prof. dr. Wayan Suardana, Sp.THT-KL(K) selaku pembimbing I yang selalu

    menekankan berpikir secara kritis serta bertindak sesuai prosedur medis berikut

    segala dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai

    akhir pendidikan.

    10. Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp.Erg selaku pembimbing II atas

    segala dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai

    akhir penelitian.

    11. dr. Tangking, MPH dan dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M. Epid yang

    telah memberikan bimbingan statistik.

    12. Kepala-kepala divisi dan para konsulen di Bagian/SMF THT-KL FK

    UNUD/RSUP Sanglah yang telah banyak memberikan kesempatan dan

    bimbingan selama mengikuti pendidikan.

    13. Kepala Poliklinik Diabetes Centre dan THT-KL RSUP Sanglah berikut semua

    paramedis atas semua bantuan dan dukungannya selama melaksanakan

    penelitian.

    14. Para Senior, rekan residen, mahasiswa kedokteran, atas bantuan dan

    kerjasamanya selama mengikuti pendidikan dan selama penelitian ini

    berlangsung.

  • 15. dr. Samsi Jacobalis, SpB (Alm) selaku mantan Dekan Universitas Tarumanagara,

    penasihat RSIB Harapan Kita dan dosen Magister Manajemen Rumah Sakit,

    Universitas Gadjah Mada yang telah memberi dorongan, semangat untuk

    melanjutkan pendidikan serta selalu memberikan nasehat dan kasih sayang.

    16. Suami, Wahyudi Saputra, SH yang selalu berbagi suka duka serta ananda Kiara

    Maharani Saputra dan Ken Dharma Saputra atas pengertian, pengorbanan dan

    telah menemani serta menghibur penulis selama masa pendidikan.

    17. Ayahanda, ibunda, kakak-kakak dan adik maupun ipar terkasih atas doa restu,

    motivasi, pengertian dan kasih sayangnya.

    18. Semua pihak yang telah membantu karya akhir ini yang tidak bisa disebutkan

    satu persatu.

    Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa melimpahkan karunia dan rahmatNya

    atas kebaikan yang telah dilakukan.

    Denpasar, 22 Juni 2014

    Suriya Suwanto

  • ABSTRAK

    Durasi Menderita Diabetes Melitus Tipe 2 Meningkatkan Risiko Gangguan

    Pendengaran Sensorineural

    Suriya Suwanto

    Diabetes melitus menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural dengan

    berbagai faktor risiko yang masih diteliti. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui

    apakah durasi, kendali glikemik dan hipertensi meningkatkan risiko gangguan

    pendengaran sensorineural pada penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah Denpasar.

    Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol berpasangan dan matching

    jenis kelamin serta umur. Kelompok kasus sebanyak 45 subjek adalah penderita DM

    tipe 2 dengan gangguan pendengaran sensorineural sedangkan kelompok kontrol

    sebanyak 45 subjek adalah penderita DM tipe 2 tanpa gangguan pendengaran

    sensorineural. Penelitian dilaksanakan di poliklinik Diabetes Centre dan poliklinik

    THT-KL RSUP Sanglah sejak 1 Agustus 2013 sampai 30 Desember 2013.

    Subjek 55, 56 % berjenis kelamin wanita dan 44, 44 % pria. Jumlah subjek

    penelitian dengan gangguan pendengaran derajat ringan bilateral sebanyak 28 orang

    (62, 22 %) dan 8 subjek dengan gangguan pendengaran unilateral (17, 78 %). Subjek

    penelitian dengan durasi menderita DM tipe 2 kurang dari 10 tahun sebanyak 71

    orang (78,89 %) dan durasi lebih besar sama dengan 10 tahun sebanyak 19 orang

    (21,11 %). Jumlah subjek penelitian dengan kendali glikemik buruk atau HbA1C

    lebih dari 7% sebanyak 71 orang (78, 89%) dan subjek penelitian dengan kendali

    glikemik baik atau HbA1C kurang dari dan sama dengan 7 % sebanyak 19 orang (21,

    11%). Jumlah subjek penelitian dengan hipertensi sebanyak 41 orang (45, 56 %) dan

    tanpa hipertensi sebanyak 49 orang (54, 44 %). Analisis bivariat dengan

    menggunakan uji Chi Square Mac Nemar mendapatkan hasil durasi (OR 7,5; p 0,016;

    CI 1,74-67,59), HbA1C (OR 2,75; p 0,07; CI 0,82-11,84) dan hipertensi (OR 2,26; p

    0,06; CI 0,89-6,57). Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik mendapatkan

    hasil durasi (OR 7,84; p 0,011; CI 1,62 - 38,02), HbA1C (OR 2,79; p 0,132; CI 0,94-

    8,99) dan hipertensi (OR 2,79; p 0,063; CI 0,54 - 4,86).

    Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 lebih besar dan sama dengan 10 tahun

    sebagai faktor yang signifikan dalam meningkatkan risiko gangguan pendengaran (p

    < 0.05). Sedangkan kendali glikemik dan hipertensi tidak signifikan. Diabetes melitus

    merupakan penyakit yang bersifat kronis dan risiko komplikasi gangguan

    pendengaran meningkat sejalan dengan kronisnya penyakit.

    Kata kunci: diabetes melitus tipe 2, gangguan pendengaran sensorineural, durasi,

    kendali glikemik

  • ABSTRACT

    Duration of Type 2 Diabetes Melitus Increased the Risk of Sensorineural

    Hearing Loss

    Suriya Suwanto

    Diabetes Mellitus causes sensorineural hearing loss with lots of risk factor that

    are still in research. The purpose of this study was to determine whether duration,

    glycemic control and hypertension increased the risk of sensorineural hearing loss in

    patients with type 2 Diabetes Mellitus of Sanglah General Hospital Denpasar.

    This study used case control design, paired with matching of age and sex. Case

    group consisted of 45 type 2 diabetes mellitus patients with sensorineural hearing loss

    and control group consisted of 45 type 2 diabetes mellitus patients without hearing

    loss. Research was conducted in Diabetes Centre and ENT-HNS clinics of Sanglah

    General Hospital started from August, 1st, 2013 until December, 30

    th, 2013.

    Subjects 55, 56% were female and 44, 44% were male. Subjects with mild

    degree of bilateral sensorineural hearing loss were 28 subjects (62, 22%) and 8

    subjects with unilateral hearing loss (17, 78%). Subjects with duration of type 2

    Diabetes Mellitus less than 10 years were 71 subjects (78, 89%) and duration of equal

    and more than 10 years were 19 subjects (21, 11%). Subjects with bad glycemic

    control or A1C more than 7 % were 71 subjects (78, 89%) and subjects with good

    glycemic control or A1C equal and less than 7 % were 19 subjects (21, 11%).

    Subjects with hypertension were 41 subjects (45, 56 %) and without hypertension 49

    subjects (54, 44 %). Bivariate analysis using Mc Nemar Chi Square showed results of

    duration (OR 7,5; p 0,016; CI1,74-67,59), A1C (OR 2,75; p 0,07; CI 0,82-11,84) and

    hypertension (OR 2,26; p 0,06; CI 0,89-6,57). Multivariate analysis with regression

    logistic showed results of duration (OR 7, 84; p 0,011; CI 1, 62 - 38,02), A1C (OR

    2,79; p 0,132; CI 0,94-8,99) and hypertension (OR 2,79; p 0,063; CI 0,54 - 4,86).

    Duration of equal and more than 10 years as the factor that significantly

    increased the risk of hearing loss (p < 0.05), the glycemic control and hypertension

    were not significant. Diabetes mellitus was a chronic disease and the risk of

    complication increased as the disease became chronic.

    Keywords: type 2 diabetes mellitus, sensorineural hearing loss, duration, glycemic

    control

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    SAMPUL DALAM ...................................................................................... i

    PRASYARAT GELAR ............................................................................... ii

    LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii

    PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................................... iv

    UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... v

    ABSTRAK ................................................................................................... viii

    ABSTRACT ................................................................................................. ix

    DAFTAR ISI ................................................................................................ x

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv

    DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv

    DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xvi

    DAFTAR LAMPIRAN .. xvii

    BAB I PENDAHULUAN.1

    1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

    1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 6

    1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 6

    1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 7

    BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 8

    2.1 Gangguan Pendengaran..................................................................... 8

    2.2 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran ................................................. 9

    2.3 Diabetes Melitus ............................................................................... 15

  • 2.3.1 Klasifikasi Diabetes Melitus 16

    2.3.2 Gejala Diabetes Melitus 17

    2.3.3 Diagnosis Diabetes Melitus .. 18

    2.3.4 Komplikasi Kronis Diabetes Melitus 19

    2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Mengakibatkan Gangguan

    Pendengaran ..................................................................................... 20

    2.4.1 Mekanisme Komplikasi ................... 22

    2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran

    Sensorineural Pada Diabetes Melitus 25

    2.4.2.1 Durasi Menderita Diabetes Melitus tipe 2 Meningkatkan Risiko

    Gangguan Pendengaran Sensorineural.............................................. 27

    2.4.2.2 Kendali Glikemik Buruk pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2

    Meningkatkan Risiko Gangguan Pendengaran Sensorineural .......... 27

    2.4.2.3 Hipertensi pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Meningkatkan

    Risiko Gangguan Pendengaran Sensorineural .................................. 29

    2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengarn ................................................ 31

    2.5.1 Audiometri Nada Murni ................................................................... 32

    2.6 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran Sensorineural Akibat

    Diabetes Melitus ............................................................................... 33

    BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

    PENELITIAN. 35

    3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 35

    3.2 Konsep Penelitian ............................................................................ 37

  • 3.3 Hipotesis Penelitian ......................................................................... 37

    BAB IV METODE PENELITIAN. 39

    4.1 Rancangan Penelitian ....................................................................... 39

    4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 39

    4.3 Penentuan Sumber Data ................................................................... 40

    4.3.1 Populasi Penelitian 40

    4.3.2 Sampel Penelitian ............................................................................. 40

    4.3.3 Kriteria Sampel ................................................................................ 40

    4.3.3.1 Kriteria Inklusi ................................................................................. 40

    4.3.3.2 Kriteria Eksklusi .............................................................................. 41

    4.3.4 Perhitungan Besar Sampel ............................................................... 41

    4.4 Variabel Penelitian ........................................................................... 42

    4.4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel ................................................ 42

    4.5 Definisi Operasional Variabel .......................................................... 42

    4.6 Bahan dan Alat Penelitian ................................................................. 44

    4.7 Prosedur Kerja ................................................................................. 45

    4.8 Alur Penelitian ................................................................................. 47

    4.9 Analisis Data .................................................................................... 47

    4.10 Etika Penelitian ................................................................................. 47

    BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................... 49

    5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................... 49

    5.2 Karakteristik Gangguan Pendengaran Subjek Penelitian Berdasar

    Hasil Audiometri Nada Murni .......................................................... 50

  • 5.3 Karakteristik Subjek Penelitian Ditinjau dari Faktor Risiko yang

    Diteliti ............................................................................................... 52

    5.4 Rerata Durasi dan Kendali Glikemik Antara Kelompok Kasus dan

    Kelompok Kontrol ............................................................................ 53

    5.5 Hasil Analisis Bivariat ...................................................................... 53

    5.6 Hasil Analisis Multivariat ................................................................. 55

    BAB VI PEMBAHASAN.56

    6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................... 55

    6.2 Hubungan Antara Durasi Menderita DM tipe 2 dengan Gangguan

    Pendengaran Sensorineural ............................................................... 58

    6.3 Hubungan Antara Kendali Glikemik dengan Gangguan

    Pendengaran Sensorineural ............................................................... 58

    6.4 Hubungan antara Hipertensi dengan Gangguan Pendengaran

    Sensorineural ..................................................................................... 61

    BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .62

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 64

    LAMPIRAN ................................................................................................. 69

  • DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 2.1 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran ......................................... 11

    Gambaar 2.2 Potongan Melintang Koklea .................................................... 12

    Gambar 2.3 Diagram Jalur Biokmiawi Penurunan Pendengaran Terhadap

    Sensori End Organ seperti Koklea pada Diabetes Melitus

    Tipe 2 ......................................................................................... .24

    Gambar 3.1 Konsep Penelitian...................................................................... .37

    Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian...39

    Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian..47

  • DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian.................................................. 49

    Tabel 5.2 Karakteristik Gangguan Pendengaran Subjek Penelitian

    Berdasar Hasil Audiometri Nada Murni .................................... 51

    Tabel 5.3 Karakteristik Subjek Penelitian ditinjau dari Faktor Risiko

    yang Diteliti ............................................................................... 52

    Tabel 5.4 Rerata Durasi dan Kendali Glikemik antara Kelompok Kasus

    dan Kelompok Kontrol .............................................................. 53

    Tabel 5.5 Hasil Analisis Bivariat ............................................................... 53

    Tabel 5.5.1 Hasil Analisis Bivariat Durasi terhadap Gangguan Pendengaran

    Sensorineural .............................................................................. 53

    Tabel 5.5.2 Hasil Analisis Bivariat Kendali Glikemik terhadap Gangguan

    Pendengaran Sensorineural ........................................................ 54

    Tabel 5.5.3 Hasil Analisis Bivariat Hipertensi terhadap Gangguan

    Pendengaran Sensorineural ........................................................ 54

    Tabel 5.6 Hasil Analisis Multivariat .......................................................... 55

  • DAFTAR SINGKATAN

    ABR : Auditory Brainstem Response

    ADA : American Diabetes Association

    AGEs : Advanced Glycosylation End products

    dB : Decibel

    DM : Diabetes Melitus

    GDM : Gestational Diabetes Melitus

    HbA1C : Hemoglobin glikolasi

    HL : Hearing Level

    IMT : Indeks Massa Tubuh

    OAE : Oto Acoustic Emission

    NIDDM : Non Insulin Dependent Diabetes Melitus

    NIHL : Noise Induced Hearing Loss

    NO : Nitric Oxide

    PAS : Periodic Acid Schiff

    PKC : Protein Kinase C

    PNS : Peripheral Nervous System

    ROS : Reactive Oxygen Species

    SNHL : Sensory Neural Hearing Loss

    TGF : Transforming Growth Factor-Beta

    WHO : World Health Organization

    VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor

    VPF : Vascular Permeability Factor

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Lembar Penjelasan kepada Subyek Penelitian ......................... 69

    Lampiran 2 Surat Pernyataan Persetujuan ................................................... 71

    Lampiran 3 Lembar Penelitian ..................................................................... 72

    Lampiran 4 Ethical Clearance ...................................................................... 75

    Lampiran 5 Surat Ijin Divisi Endokrinologi dan Metabolik ........................ 76

    Lampiran 6 Surat Ijin Diklit RSUP Sanglah ................................................ 77

    Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian ............................................................ 78

    Lampiran 8 Karakteristik Subjek Penelitian ................................................ 79

    Lampiran 9 Ambang Pendengaran Subjek Penelitian.................................. 83

    Lampiran 10 Analisis Data.87

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Pendengaran merupakan salah satu panca indera manusia yang paling penting.

    Pendengaran yang terganggu akan menghambat proses interaksi dan komunikasi

    dengan sesama. Gangguan pendengaran sering disebut tuli.

    Secara umum, tuli dibagi menjadi tuli konduktif, tuli sensorineural serta tuli

    campuran. Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara yang disebabkan

    oleh kelainan di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli sensorineural, kelainan

    terdapat di koklea atau nervus VIII yang mengakibatkan terhambatnya proses

    transmisi impuls saraf ke pusat pendengaran di otak. Sedangkan tuli campuran

    disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural (Bull, 1991).

    Salah satu penyebab tuli sensorineural adalah diabetes melitus (Bull, 1991).

    Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang akan diderita seumur hidup

    (Konsensus DM, 2011). Mayoritas penderita diabetes dewasa memiliki penyakit

    dengan risiko kardiovaskular seperti hipertensi dan kolesterol karena diabetes adalah

    penyakit sistemik (Bainbridge dkk., 2008).

    Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus terkait dengan kerusakan, disfungsi,

    kegagalan berbagai organ jangka panjang terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan

    pembuluh darah. Diabetes melitus juga mengakibatkan gangguan pendengaran (Bull,

    1991; Powers, 2008). Risiko gangguan pendengaran sekitar 2 kali lipat lebih besar

    pada pasien dengan diabetes dibanding pasien tanpa diabetes (ADA, 2012).

  • Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh diabetes melitus adalah tuli

    sensorineural dengan ciri progresif bilateral pada frekuensi tinggi yaitu frekuensi

    2000 Hz dan 4000 Hz, seperti gambaran presbikusis tipe sensori (Pemmaiah dan

    Srinivas, 2011). Sedangkan hasil penelitian National Health and Nutrition

    Examination Survey (NHANES) sejak tahun 1999-2004 melaporkan gangguan

    pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus terjadi pada frekuensi 500 sampai

    dengan 8000 Hz (Bainbridge dkk., 2008).

    Pengaruh diabetes melitus pada pendengaran banyak diteliti tetapi terdapat

    banyak penyulit dalam membuktikan hubungan ini karena adanya variabel

    pengganggu seperti paparan bising, obat ototoksik, presbikusis, hipertensi dan

    aterosklerosis. Faktor genetika juga mempengaruhi gangguan pendengaran

    sensorineural pada populasi kecil dengan diabetes melitus (Kakarlapudi dkk., 2003).

    Studi yang dilaksanakan pada 110 penderita diabetes melitus tipe 2 di Ramaiah

    Medical College, India didapatkan 48 penderita atau 43, 6% dengan gangguan

    pendengaran sensorineural bilateral pada frekuensi 2000 Hz dan 4000 Hz (Pemmaiah

    dan Srinivas, 2011). Sedangkan studi terhadap 135 penderita diabetes melitus tipe 2

    di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo, Makasar mendapatkan hasil 45 penderita atau

    33, 33% dengan gangguan pendengaran ringan dan 90 penderita dengan pendengaran

    normal (Limardjo dkk., 2011).

    Berbagai penelitian juga dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang

    mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural pada penderita

    diabetes melitus dengan berbagai variasi hasil seperti durasi, kendali glikemik yang

    dinilai melalui angka HbA1C, umur, jenis kelamin, hipertensi dan komplikasi

  • diabetes melitus. Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah durasi beserta kendali

    glikemik. Karena hipertensi merupakan salah satu penyebab gangguan pendengaran

    sensorineural dan penderita diabetes melitus tipe 2 umumnya disertai hipertensi,

    maka dalam penelitian ini hipertensi bersama dengan diabetes melitus juga diukur

    untuk mengetahui adanya faktor risiko yang lebih tinggi dibanding diabetes tanpa

    hipertensi.

    Diabetes melitus adalah penyakit yang bersifat kronis dan risiko komplikasi

    meningkat sejalan dengan kronisnya penyakit (Powers, 2008). Durasi menderita

    diabetes melitus diperkirakan berkaitan dengan risiko gangguan pendengaran melalui

    dasar pemikiran bahwa diabetes dengan kondisi hiperglikemia kronis mengakibatkan

    komplikasi pada banyak organ dan salah satunya adalah organ pendengaran.

    Durasi dengan gangguan pendengaran banyak diteliti dengan berbagai variasi

    hasil. Penelitian oleh Limardjo dkk. (2011) mendapatkan hasil adanya hubungan

    antara durasi menderita diabetes melitus 10 tahun dengan gangguan pendengaran (p

    = 0, 00). Penelitian Mozzafari dkk. (2010) melaporkan durasi menderita diabetes

    melitus yang mengakibatkan gangguan pendengaran adalah 11.7 7, 6 tahun (p <

    0.001). Sedangkan penelitian Panchu (2009) mendapatkan hasil yang berbeda dengan

    kedua hasil penelitian di atas yaitu durasi menderita diabetes melitus lebih dari 10

    tahun tidak mempengaruhi ambang pendengaran pada penderitanya.

    Kendali glikemik yang optimal sangat penting. Bukti-bukti menunjukkan bahwa

    komplikasi diabetes dapat dicegah dengan kendali glikemik yang optimal (Konsensus

    DM, 2011). Studi epidemiologi telah menunjukkan adanya kekuatan yang sama

    antara HbA1C dengan glukosa plasma puasa dan 2 jam sesudah beban glukosa dalam

  • menimbulkan risiko neuropati tetapi HbA1C lebih mudah dilaksanakan karena tidak

    membutuhkan puasa dan lebih stabil (ADA, 2012). Nilai HbA1C merupakan cermin

    rata-rata kadar gula darah dalam beberapa bulan dan merupakan prediktor kuat

    terhadap komplikasi diabetes melitus (Sacks dkk., 2002; Stratton dkk., 2000). Nilai

    HbA1C 7 % telah terbukti menurunkan komplikasi mikrovaskuler dan pemeriksaan

    nilai HbA1C rutin dapat menurunkan risiko jangka panjang makrovaskuler (ADA,

    2012).

    Adanya hubungan yang signifikan antara kendali glikemik dengan gangguan

    pendengaran dilaporkan pada 4 hasil penelitian (Ezeddin dkk., 2003; Panchu, 2009;

    Pemmaiah dan Srinivas, 2011; Israel dkk., 2012). Sedangkan hasil yang tidak

    signifikan dilaporkan pada 2 penelitian lainnya (Mozzafari dkk., 2010; Limardjo

    dkk., 2011).

    Hipertensi merupakan salah satu penyebab gangguan pendengaran sensorineural.

    Tekanan yang tinggi pada sistem vaskuler akibat hipertensi memungkinkan terjadinya

    perdarahan pada telinga dalam dan mengakibatkan gangguan pendengaran yang

    bersifat progresif atau mendadak. Peningkatan viskositas darah pada hipertensi juga

    mengakibatkan penurunan aliran kapiler darah dan penurunan transpor oksigen yang

    berakibat hipoksia jaringan sehingga terjadi gangguan pendengaran (Marchiori dkk.,

    2006). Hasil penelitian Duck dkk. (1997) melaporkan bahwa hipertensi yang

    menyertai diabetes melitus tipe 2 dapat memperburuk dan meningkatkan insiden

    terjadinya gangguan pendengaran akibat rusaknya koklea sebagai end organ. Hal ini

    dibuktikan dengan banyaknya jumlah sel rambut dalam koklea yang hilang pada

  • kelompok hewan percobaan hipertensi dengan diabetes dibanding kelompok

    normotensi dengan diabetes dan kelompok normotensi tanpa diabetes.

    Meskipun teori menyatakan hipertensi bersama dengan diabetes melitus

    meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran sensorineural, masih terdapat

    beberapa penelitian dengan hasil yang berbeda. Limardjo dkk. (2011) melaporkan

    hasil hipertensi pada diabetes signifikan untuk gangguan pendengaran sedangkan

    Bainbridge dkk. (2010) dan Israel dkk. (2012) melaporkan hasil tidak signifikan.

    Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya

    dengan audiometri nada murni. Audiometri nada murni adalah dasar dari evaluasi

    pendengaran dan dapat digunakan untuk memeriksa seluruh sistem auditorius, mulai

    dari telinga luar sampai korteks auditorius (Sweetow dan Bold, 2004). Berbagai

    penelitian di atas menggunakan audiometri nada murni untuk mengukur ambang

    pendengaran pada penderita diabetes melitus.

    Penelitian gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus tipe 2

    belum pernah dilaksanakan di RSUP Sanglah Denpasar. Saat ini, pelayanan pasien

    diabetes pada RSUP Sanglah dipusatkan pada diabetes centre yang khusus melayani

    pasien diabetes karena diabetes dengan komplikasinya membutuhkan pelayanan

    komprehensif yang meliputi berbagai bidang. Penelitian ini menarik untuk

    dilaksanakan karena literatur telah menyebutkan gangguan pendengaran sebagai

    akibat dari diabetes melitus dengan berbagai faktor risiko yang masih diteliti.

    Hubungan antara durasi, kendali glikemik dan risiko pada hipertensi dengan

    gangguan pendengaran berdasarkan pengukuran audiometri nada murni menarik

    untuk diketahui guna pencegahan dini gangguan pendengaran.

  • 1.2 Rumusan Masalah

    1. Apakah durasi menderita diabetes melitus tipe 2 10 tahun meningkatkan risiko

    gangguan pendengaran sensorineural?

    2. Apakah kendali glikemik buruk dengan kadar HbA1C > 7 % pada penderita

    diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural?

    3. Apakah hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko

    gangguan pendengaran sensorineural?

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan Umum Penelitian

    Untuk mengetahui faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya gangguan

    pendengaran sensorineural pada penderita diabetes melitus tipe 2 di RSUP Sanglah,

    Denpasar.

    1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian.

    1.Untuk mengetahui durasi menderita diabetes melitus tipe 2 10 tahun

    meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural.

    2.Untuk mengetahui kendali glikemik buruk dengan HbA1C > 7 % meningkatkan

    risiko gangguan pendengaran sensorineural.

    3.Untuk mengetahui hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan

    risiko gangguan pendengaran sensorineural.

  • 1.4 Manfaat Penelitian

    1. Dalam bidang ilmiah dapat meningkatkan pengetahuan tentang faktor yang

    meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural pada penderita

    diabetes melitus tipe 2.

    2. Dalam bidang pelayanan, hasil penelitian dapat diaplikasikan dalam usaha

    meningkatkan kewaspadaan penderita diabetes melitus tipe 2 terhadap gangguan

    pendengaran sensorineural dengan screening pendengaran berkala dan intervensi

    bila diperlukan.

  • BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Gangguan Pendengaran

    Gangguan pendengaran, dilaporkan oleh lebih dari 17% populasi dewasa di

    Amerika Serikat, adalah masalah kesehatan publik yang perlu dikhawatirkan karena

    menyangkut lebih dari 36 juta penduduk (Bainbridge dkk., 2008). Gangguan

    pendengaran mengakibatkan penurunan fungsi komunikasi dan penurunan kualitas

    hidup bagi penderitanya.

    Tuli dibagi menjadi tuli konduksi, tuli sensorineural dan tuli campuran. Tuli

    konduksi disebabkan oleh gangguan pada telinga luar dan telinga tengah, umumnya

    tidak melebihi 60 dB. Sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli

    sensorineural, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli retrokoklea. Pada tuli

    sensorineural kelainan terletak pada koklea, nervus VIII atau di pusat pendengaran.

    Kasus tuli koklea lebih banyak daripada retrokoklea. Tuli campuran merupakan

    kombinasi gangguan pendengaran konduksi dan sensorineural (Lee, 2003).

    Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh diabetes melitus bisa merupakan

    tuli konduksi atau sensorineural. Tuli konduksi yang terjadi adalah sekunder akibat

    peningkatan insiden infeksi pada telinga luar dan tengah (Irwin, 1987). Sedangkan

    tuli sensorineural pada diabetes melitus terjadi akibat proses patologis pada telinga

    dalam dengan patofisiologi yang masih kontroversi.

    Gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus pertama kali

    dilaporkan oleh Jordao dalam bentuk laporan kasus pada tahun 1857 (Booth, 1987).

  • Setelah itu, terdapat banyak penelitian yang membuktikan adanya risiko gangguan

    pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus (Ezeddin dkk., 2003; Sakuta dkk.,

    2006; Bainbridge dkk., 2008; Rajendran dkk., 2011; Limardjo dkk., 2011).

    Saat ini, gangguan pendengaran sebagai akibat diabetes melitus tipe 2 telah

    dipublikasikan secara luas pada Standards of Medical Care in Diabetes yang

    diterbitkan oleh American Diabetes Association, 2012. Agar dapat memahami

    gangguan pendengaran, di bawah ini diuraikan anatomi dan fisiologi pendengaran.

    2.2 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran

    Telinga terdiri atas 3 bagian yaitu bagian luar, tengah dan dalam. Telinga luar

    terdiri atas daun telinga dan liang telinga. Telinga luar dan tengah menghantarkan

    suara ke koklea, yang memisahkan suara sesuai frekuensi sebelum suara ditransduksi

    oleh sel rambut menjadi kode neural dalam serat saraf pendengaran. Pada telinga luar

    terdapat konka yang paling penting secara akustik (Moller, 2006).

    Sepertiga bagian lateral dari liang telinga adalah tulang rawan. Mengandung

    kelenjar seruminosa dan kelenjar rambut. Bagian dua pertiga medial liang telinga

    meliputi tulang. Liang telinga berbentuk tuba yang terbuka pada satu ujung dan

    tertutup pada sisi lainnya, dikatakan sebagai resonator seperempat gelombang (Mills

    dkk., 2006).

    Telinga tengah merupakan rongga berisi udara yang terbagi atas kavum timpani

    dan air cell mastoid (Probst dkk., 2006). Telinga tengah terdiri dari membran timpani

    dan 3 tulang kecil yaitu maleus, inkus dan stapes. Di dalam telinga tengah juga

    terdapat dua otot kecil yaitu m. tensor timpani yang melekat pada manubrium maleus

    dan m. stapedius yang melekat pada stapes. M. tensor timpani dipersarafi oleh n.

  • trigeminus sedangkan m. stapedius dipersarafi oleh n. fasialis. Korda timpani adalah

    cabang n. fasialis yang berjalan menyeberangi rongga telinga tengah. Tuba

    Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan faring (Moller, 2006).

    Membran timpani berbentuk agak oval dan merupakan selaput tipis pada ujung

    liang telinga. Gendang telinga berbentuk kerucut dan agak cekung bila dilihat dari

    liang telinga. Bagian utama dari gendang telinga disebut pars tensa dan bagian

    kecilnya disebut pars flasida yang lebih tipis dan terletak di atas manubrium maleus.

    Gendang telinga ditutupi oleh selapis sel epidermis yang berlanjut dari kulit liang

    telinga. Tuba Eustachius terdiri dari bagian tulang atau protimpanum yang berlokasi

    dekat rongga telinga tengah dan bagian tulang rawan yang membentuk celah tertutup

    saat berakhir di nasofaring (Moller, 2006).

    Telinga dalam atau labirin terletak di dalam tulang temporal, terdiri dari koklea dan

    vestibular, Koklea atau rumah siput berupa dua setengah lingkaran dan vestibular terdiri dari

    3 buah kanalis semisirkularis. Koklea memiliki 3 saluran yang terisi cairan yaitu skala

    vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media yang berlokasi di tengah koklea,

    dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran

    basilar. Pada membran basilar ini terdapat organ Corti yang mengandung sel rambut (Moller,

    2006).

  • Gambar 2.1 Anatomi Telinga (dikutip dari Ganong, 2009)

    Organ Corti adalah organ sensori yang terstruktur baik. Terdapat 1 baris sel rambut

    dalam dan 3 baris sel rambut luar pada bagian atas membran basilar dengan berbagai sel

    pendukung yang bervariasi. Sel rambut adalah sel reseptor sensori dari pendengaran dan

    keseimbangan serta sel yang paling penting dalam telinga dalam. Sel rambut memiliki

    mekanoreseptor khusus yang mengubah stimulus mekanik yang berkaitan dengan

    pendengaran dan keseimbangan menjadi informasi neural yang diteruskan ke otak (Oghalai

    dan Brownell, 2004).

    Koklea pada manusia membentuk 2 sampai 2 putaran dimana panjang

    keseluruhannya sekitar 3,1-3,3 cm dan tinggi sekitar 0,5 cm (Moller, 2006). Koklea adalah

    bagian telinga yang paling penting dan bisa dimengerti apa yang terjadi dalam koklea bisa

    mengakibatkan banyaknya kunci permasalahan pendengaran. Koklea terisi oleh cairan yang

    hampir tidak bertekanan dan juga memiliki dinding tulang yang kaku. Terbagi dua

    panjangnya oleh dua membran, yaitu membran Reissner dan membran basilar (Mills dkk.,

    2006).

  • Gambar 2.2 Potongan Melintang Koklea (dikutip dari Mills dkk., 2006)

    Energi akustik memasuki koklea melalui kerja seperti piston dari kaki stapes pada

    tingkap lonjong dan diteruskan langsung pada perilimfe dari skala vestibuli. Perilimfe dari

    skala vestibuli berhubungan dengan perilimfe dari skala timpani melalui sebuah bukaan kecil

    dari apeks koklea yang dikenal sebagai helikotrema (Mills dkk., 2006).

    Ketika tingkap lonjong bergerak dengan adanya suara, perbedaaan tekanan

    diaplikasikan menyeberangi membran basilar, yang mengakibatkan pergerakan

    membran basilar. Perbedaan tekanan dan pola pergerakan membran basilar

    memerlukan waktu untuk berkembang dan bervariasi tergantung panjangnya

    membran basilar. Pola yang muncul tidak tergantung pada ujung mana dari koklea

    yang distimulasi (Mills dkk., 2006).

    Telinga luar diperdarahi oleh cabang aurikulotemporal a. temporalis superfisial di

    bagian anterior, dan di bagian posterior diperdarahi oleh cabang aurikuloposterior a. karotis

    eksterna. Kavum timpani diperdarahi oleh berbagai cabang a. karotis eksterna (a.meningea

    media, a. faringeal ascenden, a.maksilaris dan a. stilomastoid). Telinga dalam diperdarahi

    oleh a. labirin yang berasal dari a. antero inferior cerebellar atau a. basilaris. Arteri labirin ini

  • berjalan bersama n. vestibulokoklearis melalui kanalis auditorius internus, yang kemudian

    terbagi menjadi a. vestibularis dan a. koklearis (Probst dkk., 2006). Arteri labirin adalah end-

    artery dengan sedikit atau tanpa suplai darah kolateral ke koklea. Penting untuk dicatat

    bahwa a. labirin yang berjalan di kanalis auditorius internus bukan arteri tunggal namun

    berupa beberapa arteriol kecil, hampir seperti pleksus arteri (Moller, 2006).

    Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga

    dalam bentuk gelombang suara dan liang telinga meneruskan gelombang ini yang

    akan menggetarkan gendang telinga. Daun telinga juga membantu lokalisasi suara

    dan lebih efisien dalam menyampaikan suara frekuensi tinggi dibanding frekuensi

    rendah. Gelombang suara yang mencapai gendang telinga akan berjalan sepanjang

    rantai pendengaran yang terdiri dari tulang inkus, maleus dan stapes. Gendang telinga

    dalam rantai pendengaran paling efisien mentransmisikan suara antara 500 Hz dan

    3000 Hz yang merupakan frekuensi yang paling penting untuk mengerti percakapan

    (Lee, 2003).

    Dalam penerimaan bunyi, proses transmisi dibedakan menjadi dua bagian sesuai

    organ penerima, yaitu transmisi aerodinamik dimana stimulus bunyi berpindah dari

    liang telinga ke membran timpani dan dari membran timpani ke tulang pendengaran.

    Transmisi yang kedua adalah transmisi hidrodinamik yaitu stimulus bunyi berpindah

    dari foramen ovale ke telinga dalam melalui cairan perilimfe dan endolimfe (Mills

    dkk., 2006).

    Telinga tengah mentransformasikan energi akustik dari media udara ke media

    cairan. Ini adalah sistem pencocokan impedans untuk memastikan energi tidak hilang.

    Dengan bergetarnya membran timpani, rantai pendengaran akan bergerak 1 rotasi

    aksis dari processus anterior maleus melewati processus inkus. Dan ketika energi

  • suara mencapai tingkap lonjong, koklea mentransformasikan sinyal dari energi

    mekanik menjadi energi hidrolik dan akhirnya sel-sel rambut menjadi energi

    bioelektrik. Sejalan dengan keluar dan masuknya footplate stapes dari tingkap

    lonjong, sebuah gelombang yang berjalan diciptakan dalam koklea melalui teori

    gelombang Bekessy (Lee, 2003).

    Sepanjang perjalanan gelombang melalui koklea, gelombang ini mengakibatkan

    pergerakan membran basilar dan membran tektorial. Perbedaan gerakan kedua

    membran mengakibatkan terlipatnya sel rambut stereosilia. Lipatan ini

    mendepolarisasi sel rambut yang akibatnya memulai impuls aferen saraf (Lee, 2003).

    Gelombang suara berjalan dari dasar ke apeks sepanjang membran basilar

    sampai gelombang mencapai maksimum. Perjalanan gelombang ini ditentukan oleh

    interaksi frekuensi suara dan membran basilar. Sel rambut luar mudah bergerak,

    bereaksi mekanik pada sinyal yang datang dengan memendek dan memanjang

    tergantung karakteristik frekuensi. Sel rambut luar adalah bagian dari umpan balik

    mekanisme aktif, menyesuaikan kekuatan fisik dari membran basilaris sehingga

    frekuensi yang diberikan secara maksimal menstimulasi sel rambut dalam (Lee,

    2003).

    Neuron frekuensi tertentu mentransmisikan kode neural dari sel rambut ke sistem

    auditorius. Sekali impuls saraf terinisiasi, sinyal ini akan berjalan sepanjang jaras

    pendengaran dari sel ganglion spiral dalam koklea ke modiolus, dimana serat ini

    membentuk cabang koklea dari N. VIII. Lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius

    sampai ke korteks pendengaran atau area 39-40 di lobus temporalis (Lee, 2003).

  • 2.3 Diabetes Melitus

    Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik kronis dengan ciri

    hiperglikemia. Terdapat beberapa tipe diabetes melitus yang disebabkan interaksi

    kompleks antara faktor genetika dan lingkungan. Faktor yang mengakibatkan

    hiperglikemia termasuk menurunnya sekresi insulin, penurunan penggunaan glukosa

    dan peningkatan produksi glukosa (Powers, 2008).

    World Health Organization atau WHO memperkirakan terdapat lebih dari 180

    juta penderita diabetes melitus di seluruh dunia. Prevalensi diabetes melitus di

    seluruh dunia meningkat dengan cepat dan diperkirakan akan mengalami peningkatan

    dua kali lipat dalam 20 tahun mendatang. Meskipun prevalensi diabetes melitus tipe 1

    dan tipe 2 menunjukkan kecenderungan meningkat di seluruh penjuru dunia,

    prevalensi diabetes melitus tipe 2 meningkat lebih cepat dibanding diabetes melitus

    tipe 1. Hal ini disebabkan meningkatnya kasus obesitas dan berkurangnya aktivitas

    gerak manusia sejalan dengan berkembangnya negara menuju negara industrialisasi.

    Gangguan metabolik akibat diabetes melitus mengakibatkan perubahan patofisiologi

    sekunder dalam banyak sistem organ sehingga menjadi beban berat bagi penderita

    dan sarana pelayanan kesehatan (Powers, 2008).

    2.3.1 Klasifikasi diabetes melitus

    Menurut American Diabetes Association 2012, klasifikasi diabetes melitus

    mencakup empat gejala klinis yaitu: 1) Diabetes melitus tipe 1 yaitu akibat destruksi

    sel beta yang mengakibatkan defisiensi insulin yang absolut 2) Diabetes melitus tipe

    2 yaitu akibat gangguan sekresi insulin yang progresif sehingga terjadi resistensi

  • insulin 3) Diabetes spesifik karena sebab yang lain misalnya karena kelainan genetik

    fungsi sel beta, kelainan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas

    seperti pada kistik fibrosis dan diabetes yang dicetuskan akibat obat atau bahan kimia

    seperti pada terapi AIDS atau setelah transplantasi organ 4) Diabetes Melitus

    Gestasional atau GDM yaitu diabetes melitus yang terdiagnosis dalam kehamilan.

    Diabetes melitus tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Melitus

    disingkat NIDDM, sebelumnya disebut diabetes dengan onset dewasa. Tipe ini adalah

    tipe yang paling sering terjadi. Pada tipe ini disposisi genetik juga berperan penting,

    namun terdapat defisiensi insulin relatif dan penderita tidak mutlak bergantung pada

    asupan insulin dari luar. Pelepasan insulin dapat normal atau meningkat, tetapi organ

    target memiliki sensitivitas yang berkurang terhadap insulin (Waspadji, 2006).

    Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 memiliki berat badan berlebih

    atau obesitas. Obesitas terjadi karena adanya disposisi genetik, asupan makanan yang

    terlalu banyak dan aktivitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan antara

    asupan dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi asam lemak dalam darah.

    Hal ini menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak, akibatnya terjadi

    resistensi insulin yang meningkatkan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun

    pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat (Waspadji, 2006).

    2.3.2 Gejala diabetes melitus

    Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus terkait dengan kerusakan, disfungsi,

    kegagalan berbagai organ jangka panjang terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan

    pembuluh darah. Gejala hiperglikemia berupa poliuria, polidipsi, berat badan

  • menurun, kadang-kadang polifagia dan penglihatan kabur. Gangguan pertumbuhan

    dan infeksi sering terjadi akibat komplikasi kronis hiperglikemia. Diabetes melitus

    tipe 2 sering kali tidak terdiagnosis sampai terjadi komplikasi, dan sekitar sepertiga

    penderita dengan diabetes melitus tidak terdiagnosis (Powers, 2008).

    Diabetik neuropati muncul pada kurang lebih 50% individu dengan diabetes

    melitus tipe 1 dan tipe 2. Manifestasinya bisa berupa polineuropati, mononeuropati

    dan atau neuropati otonom. Seperti komplikasi lainnya, neuropati berkorelasi dengan

    durasi diabetes melitus dan terkendalinya kadar gula darah. Faktor risiko lain yang

    meningkatkan risiko neuropati adalah peningkatan Indeks Massa Tubuh atau IMT

    dan merokok. Adanya penyakit kardiovaskuler, peningkatan trigliserida dan

    hipertensi juga berkaitan dengan neuropati diabetik perifer. Bentuk neuropati yang

    paling umum adalah polineuropati distal yang bersifat simetris. Keluhan yang paling

    sering adalah penurunan sensibilitas distal, tetapi lebih dari 50% penderita tidak

    memiliki gejala tersebut. Keluhan lain yang mungkin adalah hiperestesi, parestesi dan

    disestesi. Keluhan berupa rasa tebal, kesemutan, rasa tajam atau seperti terbakar yang

    dimulai dari telapak kaki dan menyebar ke proksimal (Power, 2008).

    2.3.3 Diagnosis diabetes melitus

    Kriteria diagnosis diabetes melitus menurut ADA (2012) adalah sebagai berikut:

    1) HbA1C 6, 5 % atau 2) Gula Darah Puasa 126 mg/dl atau 3) 2 jam PP 200

    mg/dl atau 4) Gula Darah Sewaktu 200 mg/dl pada pasien dengan gejala klasik

    hiperglikemia. Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai

    glikohemoglobin, atau hemoglobin glikolasi, disingkat HbA1C merupakan cara yang

  • digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8 sampai 12 minggu sebelumnya. Tes

    ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.

    Pemeriksaan HbA1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam

    setahun (Konsensus DM, 2011).

    2.3.4 Komplikasi kronis diabetes melitus

    Pada pasien diabetes melitus, semua sel pada tubuh terpapar akibat tingginya

    kadar glukosa plasma tetapi telah diobservasi bahwa gejala komplikasi hanya muncul

    pada beberapa organ. Hal ini bisa disebabkan beberapa komplikasi tidak dikenal atau

    hanya sel tertentu yang dipengaruhi oleh hiperglikemia. Organ Corti sebagai organ

    pendengaran memiliki komponen yang kompleks dan struktur yang menjadi target

    organ yang berpotensial rusak akibat hiperglikemia (Pemmaiah dan Srinivas, 2011).

    Komplikasi kronis diabetes melitus bisa terbagi menjadi komplikasi vaskuler dan

    non vaskuler. Komplikasi vaskuler terbagi menjadi komplikasi mikrovaskuler seperti

    retinopati, neuropati, nefropati dan makrovaskuler seperti penyakit arteri koroner,

    penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskuler. Komplikasi nonvaskuler mencakup

    gastroparesis, infeksi dan perubahan kulit (Powers, 2008).

    Komplikasi mikrovaskuler baik pada tipe 1 ataupun tipe 2 dari diabetes melitus

    disebabkan oleh hiperglikemia kronis. Sebuah studi Randomized Clinical Trial telah

    menunjukkan bahwa penurunan hiperglikemia kronis menurunkan atau menunda

    terjadinya retinopati, neuropati dan nefropati. Beberapa pasien diabetes melitus tidak

    menderita nefropati atau retinopati meskipun dengan kadar gula darah yang sama

    dengan pasien komplikasi mikrovaskuler lain, sehingga dicurigai adanya faktor

  • genetika sebagai penyebab komplikasi tertentu. Diabetes melitus kronis bisa

    mengakibatkan gangguan pendengaran (Powers, 2008).

    Di antara gangguan metabolisme glukosa lainnya, diabetes melitus disebut

    sebagai penyakit yang paling sering dikaitkan dengan gangguan pendengaran.

    (Rajendran dkk., 2011). Bahkan diabetes melitus disebutkan sebagai penyebab mayor

    gangguan pendengaran sensorineural (Slenkovich, 1996).

    Selain metabolisme

    karbohidrat, diabetes melitus juga mempengaruhi metabolisme lipid dan protein.

    Meskipun penyebab diabetes melitus bervariasi, manifestasi yang paling umum

    adalah hiperglikemia (Rajendran dkk., 2011).

    Diabetes melitus adalah penyakit multisistem yang kompleks dan memerlukan

    monitoring rutin untuk komplikasi yang sudah dikenal seperti komplikasi ke ginjal,

    penglihatan dan sistem saraf tepi. Banyak penelitian yang telah menunjukkan adanya

    peningkatan risiko gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus, tetapi

    variabel pengganggu seperti paparan bising, obat ototoksik, presbikusis dan gejala

    lain yang juga mempengaruhi metabolisme glukosa dan fungsi koklea membuat sulit

    untuk menegakkan hubungan ini (Hirose, 2008).

    Untuk mencegah terjadinya komplikasi kronis, diperlukan pengendalian diabetes

    melitus yang baik dan merupakan sasaran pengobatan. Diabetes terkendali baik,

    apabila glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan HbA1C

    juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian juga status gizi dan tekanan darah

    (Konsensus DM, 2011).

  • 2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Mengakibatkan Gangguan Pendengaran

    Sensorineural

    Sebelum tahun 1960, terdapat 3 teori utama yang disebutkan sebagai

    patofisiologi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes yaitu

    teori neuropati, angiopati dan gabungan teori neuropati angiopati (Taylor dan Irwin,

    1978). Sampai saat ini ketiga teori tersebut di atas masih banyak diperdebatkan.

    Angiopati pada telinga dalam mengakibatkan gangguan pendengaran baik secara

    langsung dengan melibatkan suplai darah ke koklea akibat menurunnya transport

    nutrisi sebagai akibat penebalan dinding kapiler maupun secara tidak langsung,

    dengan cara menurunkan aliran darah melalui pembuluh darah yang menyempit atau

    mengakibatkan degenerasi sekunder pada N. VIII (Taylor dan Irwin, 1978).

    Neuropati sebagai penyebab utama gangguan pendengaran pada diabetes melitus

    disebutkan oleh Friedman pada tahun 1975. Studi ini menyatakan bahwa PAS positif

    dengan penebalan yang luas dan demielinisasi N.VIII berdasarkan studi histopatologi

    yang dilaksanakan oleh Makishima dan Tanaka adalah patogenesis yang sangat

    penting sebagai penyebab gangguan pendengaran. Sedangkan Maskihima dan Tanaka

    menyatakan bahwa gangguan pendengaran pada diabetes disebabkan oleh degenerasi

    saraf dan lesi vaskuler merupakan salah satu faktor terpenting yang menyebabkan

    degenerasi saraf (Taylor dan Irwin, 1978).

    Satu kemungkinan adalah perubahan mikrovaskuler yang sering mengakibatkan

    nefropati dan retinopati, juga mempengaruhi vaskularisasi koklea. Perubahan

    patologik yang menyertai diabetes melitus bisa melukai pembuluh darah atau sistem

  • saraf dari telinga dalam yang mengakibatkan gangguan pendengaran sensorineural

    (Bainbridge dkk., 2008).

    Studi Lisowska dkk. (2001) menyatakan bahwa gangguan pendengaran akibat

    diabetes melitus bisa terjadi akibat mikroangiopati pada telinga dalam, degenerasi

    neuronal atau ensefalopati diabetik tetapi bisa juga akibat gangguan metabolisme

    glukosa dan mekanisme hiperaktivitas pada radikal oksigen bebas. Perubahan

    patologis dan gangguan metabolisme bisa berakibat gangguan pada koklea,

    retrokoklea atau kombinasi koklea-retrokoklea.

    Studi histopatologi menunjukkan adanya kerusakan pada saraf dan pembuluh

    darah telinga dalam pada individu dengan diabetes melitus. Pembuluh darah

    membran basilaris dan striae vaskularis terbukti lebih tebal pada penderita diabetes

    melitus. Selain penebalan pembuluh darah, striae vaskularis yang atrofi dan hilangnya

    sel rambut luar mengakibatkan adanya gangguan pendengaran. Perubahan vaskular

    ini telah diteorikan sebagai penyebab penting degenerasi saraf pada sistem auditori.

    Studi ini menyimpulkan mikroangiopati pada koklea, degenerasi striae vaskularis dan

    hilangnya sel rambut luar pada koklea sebagai penyebab gangguan pendengaran pada

    penderita diabetes melitus tipe 2 (Fukushima dkk., 2006). Dengan adanya perubahan

    histopatologi ini, maka gangguan pendengaran yang ditemukan pada audiometri bisa

    berupa tipe sensori, tipe neural atau gabungan sensori dan neural (Irwin, 1987).

    2.4.1 Mekanisme komplikasi

    Koklea terutama striae vaskularisnya, adalah organ yang sangat tergantung pada

    mikrovaskuler. Permeabilitas endotel yang meningkat bisa mengakibatkan perubahan

  • pada keseimbangan elektrolit pendengaran dalam endolimfe yang berakibat tranduksi

    sel-sel rambut dan transmisi signal (Frisina dkk., 2006). Sedangkan organ Corti

    sebagai organ pendengaran memiliki komponen yang kompleks dan menjadi target

    organ yang berpotensial rusak akibat hiperglikemia (Pemmaiah dan Srinivas, 2011).

    Meskipun hiperglikemia kronis adalah faktor penyebab penting terjadinya

    komplikasi diabetes melitus, mekanisme pasti yang mengakibatkan disfungsi

    bermacam sel dan organ belum jelas diketahui. Empat teori telah dipakai untuk

    menjelaskan hal ini yaitu: 1) Peningkatan glukosa intrasel mengakibatkan

    pembentukan advanced glycosylation end products atau AGEs melalui non enzim

    glikolasi dari protein intra dan ekstraselular, 2) hiperglikemi meningkatkan

    metabolisme glukosa melalui jalur sorbitol, 3) hiperglikemia meningkatkan

    pembentukan diasilgliserol yang mengakibatkan aktvasi protein kinase C atau PKC,

    4) Hiperglikemi meningkatkan aliran darah melalui jalur heksosamin, yang

    menyebabkan terbentuknya fruktosa 6 fosfat, sebuah bahan yang menghasilkan

    produk glikosilasi O- linked dan proteoglikan (Powers, 2008).

    Sedangkan menurut Frisina dkk. (2006), hiperglikemi mengakibatkan perubahan

    biokimia dalam sistem metabolik penderita. Tiga konsekuensi utama berupa

    pemecahan non enzimatik, aktivasi jalur polyol dan generasi Reactive Oxygen

    Species atau ROS. Meskipun semua individu dengan proses penuaan mengalami

    proses fisiologik abnormal yang sama seperti oksidasi yang meningkat, glikasi dan

    meningkatnya produk akhir selama metabolisme oksidatif, proses ini terjadi lebih

    cepat pada penderita diabetes melitus. Dengan kata lain terjadi penuaan dini akibat

  • diabetes melitus. Diagram di bawah ini menunjukkan jalur biokimiawi penurunan

    pendengaran terhadap sensori end organ seperti koklea pada diabetes melitus tipe 2.

    Hiperglikemia

    Stress oksidatif AGEs Diasilgliserol

    Aktivasi Protein Kinase C (PKC)

    Komplikasi Vaskuler Perubahan Selular Gangguan metabolik

    pembentukan NO perubahan kolagen IV produksi amadori

    Permeabilitas endotel akumulasi matriks sel produksi Schiff

    Penebalan endotel degradasi matiks sel radikal bebas

    Aktivitas TGF formasi mikrotubulus Na/K+/ATPase

    Ekspresi VEGF protein cross-linking intrasel Polyol pathway

    Ekspresi VPF protein cross-linking intersel Reaksi Maillard

    Aterosklerosis strand DNA tunggal pecah

    Perfusi endoneurial PNS myelin protein glycated

    Gangguan pendengaran

    Gambar 2.3 Diagram jalur biokimiawi penurunan pendengaran terhadap

    sensori end organ seperti koklea pada diabetes melitus tipe 2 (dikutip dari

    Frisina dkk., 2006)

  • 2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan pendengaran sensorineural pada

    diabetes melitus

    Berbagai penelitian juga dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang

    mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural pada penderita

    diabetes melitus seperti durasi, kendali glikemik yang dinilai melalui angka HbA1C,

    umur, jenis kelamin, hipertensi dan komplikasi diabetes melitus. Semua penelitian ini

    masih dengan hasil yang berbeda-beda.

    Faktor yang diduga berpengaruh terhadap gangguan pendengaran banyak diteliti.

    Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah durasi beserta kendali glikemik dengan

    berbagai variasi hasil. Karena hipertensi merupakan salah satu penyebab gangguan

    pendengaran sensorineural dan penderita diabetes melitus tipe 2 umumnya disertai

    hipertensi, maka dalam penelitian ini hipertensi bersama dengan diabetes melitus juga

    diukur untuk mengetahui adanya faktor risiko yang lebih tinggi dibanding diabetes

    tanpa hipertensi.

    Dalam penelitian Limardjo dkk. (2011) dibuktikan bahwa umur memberikan

    peranan terhadap kejadian gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus

    tipe 2. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi umur akan meningkatkan risiko

    terjadinya gangguan pendengaran sensorineural. Sedangkan penelitian Mozzafari

    dkk. (2010) melaporkan tidak adanya hubungan antara umur mulainya diabetes dan

    gula darah puasa dengan gangguan pendengaran. Dalam penelitian ini, umur

    dikendalikan sehingga sampel hanya diambil yang berumur maksimal 60 tahun untuk

    menghindari bias dengan presbikusis dan dilakukan matching umur antara kelompok

    kasus dan kelompok kontrol.

  • Mengenai predileksi jenis kelamin gangguan pendengaran akibat diabetes

    melitus, Taylor dan Irwin (1978) memperhatikan bahwa risiko gangguan

    pendengaran pada perempuan dengan diabetes melitus tipe I secara signikan lebih

    tinggi. Sedangkan studi oleh Bener dkk. (2008) menyatakan pada pasien diabetes

    melitus tipe II yang berusia lebih dari 50 tahun, risiko gangguan pendengaran pada

    pria lebih tinggi dibanding wanita. Dan studi Rajendran dkk. (2011) melaporkan tidak

    adanya peningkatan risiko pada diabetes melitus tipe II berdasar predileksi kelamin.

    Dalam penelitian ini jenis kelamin dikendalikan dengan matching antara kelompok

    kasus dan kelompok kontrol.

    Faktor genetika juga mempengaruhi gangguan pendengaran sensorineural pada

    populasi kecil dengan diabetes melitus (Kakarlapudi dkk., 2003). Penderita dengan

    Maternally Inherited Diabetes and Deafness (MIDD) dan penderita dengan miopati,

    ensefalopati, asidosis laktat dan stroke - like episode (MELAS) menunjukkan

    diabetes dan gangguan pendengaran akibat mutasi mitokondria DNA A3243G

    (Takeshima dan Nakashima, 2005). Penyakit MIDD umumnya terdeteksi pada usia

    dewasa muda dengan range usia yang besar untuk saat mulainya penyakit. Dalam

    penelitian ini, faktor genetika sebagai faktor yang mempengaruhi gangguan

    pendengaran sensorineural tidak diukur. Riwayat gangguan pendengaran dalam

    keluarga hanya berdasar anamnesis yang didapat dari penderita.

  • 2.4.2.1 Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan

    pendengaran sensorineural

    Diabetes melitus adalah penyakit yang bersifat kronis, hanya bisa dikendalikan.

    Efek hiperglikemia kronis menimbulkan terjadinya komplikasi. Risiko komplikasi

    pada diabetes melitus meningkat sejalan dengan kronisnya penyakit (Powers, 2008).

    Durasi menderita diabetes melitus diperkirakan berkaitan dengan risiko gangguan

    pendengaran melalui dasar pemikiran bahwa diabetes dengan kondisi hiperglikemia

    kronis mengakibatkan komplikasi pada banyak organ dan salah satunya adalah organ

    pendengaran.

    Durasi dengan gangguan pendengaran banyak diteliti dengan berbagai variasi

    hasil. Penelitian oleh Limardjo dkk. (2011) mendapatkan hasil adanya hubungan

    antara durasi menderita diabetes melitus 10 tahun dengan gangguan pendengaran (p

    = 0, 00). Penelitian Mozzafari dkk. (2010) melaporkan durasi menderita diabetes

    melitus yang mengakibatkan gangguan pendengaran adalah 11.7 7, 6 tahun (p <

    0.001). Sedangkan penelitian Panchu (2009) mendapatkan hasil yang berlawanan

    dengan hasil Limardjo dkk. (2011) serta Mozzafari dkk. (2010) yaitu durasi

    menderita diabetes melitus lebih dari 10 tahun tidak mempengaruhi ambang

    pendengaran pada penderitanya.

    2.4.2.2 Kendali glikemik buruk pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan

    risiko gangguan pendengaran sensorineural

    Kendali glikemik yang optimal sangat penting. Bukti-bukti menunjukkan bahwa

    komplikasi diabetes dapat dicegah dengan kendali glikemik yang optimal (Konsensus

  • DM, 2011). Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) melaporkan bahwa

    perbaikan kendali glikemik yang dinilai melalui nilai HbA1C menurunkan angka

    kejadian retinopati sebanyak 47 %, mikroalbuminuria 39 %, nefropati 54 %, dan

    neuropati 60%. Kendali glikemik yang baik juga menurunkan angka komplikasi dini.

    Perbaikan kendali glikemik dilaporkan melalui rata-rata nilai HbA1C longitudinal.

    Tujuan terapi adalah sebisa mungkin mencapai nilai HbA1C yang disarankan tanpa

    meningkatkan risiko hipoglikemia pada penderitanya.

    Sedangkan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) melaporkan

    setiap poin penurunan persentase HbA1C berkaitan dengan 35 % penurunan risiko

    komplikasi mikrovaskuler. Perbaikan kendali glikemik juga mengakibatkan

    perbaikan profil lipoprotein seperti trigliserida dan peningkatan HDL. Durasi dan

    kendali glikemik disebut sebagai prediktor terbaik terjadinya retinopati (Powers,

    2008).

    Hemoglobin terglikolasi, sering disebut glikohemoglobin, HbA1C atau A1C

    adalah sebuah terminologi yang dipakai untuk menjelaskan serangkaian komponen

    minor hemoglobin yang stabil dan terbentuk lambat, secara nonenzimatik dari

    hemoglobin dan glukosa (Goldstein dkk., 2004). Konsentrasi HbA1C yang terbentuk

    melalui perlekatan non enzimatik glukosa pada hemoglobin secara umum menandai

    nilai rata-rata glukosa dalam waktu 8-12 minggu, periode sesuai dengan siklus hidup

    eritrosit (Nathan dkk., 2007).

    Nilai HbA1C merupakan cermin rata-rata kadar gula darah dalam beberapa bulan

    dan merupakan prediktor kuat terhadap komplikasi diabetes melitus (Sacks dkk.,

    2002; Stratton dkk., 2000). Nilai HbA1C 7 % telah terbukti menurunkan

  • komplikasi mikrovaskuler dan pemeriksaan nilai HbA1C rutin setelah diagnosis

    ditegakkan dapat menurunkan risiko jangka panjang makrovaskuler (ADA, 2012).

    Nilai HbA1C juga memiliki beberapa keterbatasan karena adanya kondisi

    tertentu yang mempengaruhi siklus pergantian eritrosit seperti hemolisis dan riwayat

    perdarahan disertai varian hemoglobin. Dalam penelitian ini, sehubungan dengan

    tidak tersedianya data HbA1C yang serial, maka nilai HbA1C penderita dalam kurun

    waktu 3 bulan terakhir sebelum waktu pemeriksaan diambil mewakili nilai HbA1C.

    Adanya hubungan yang signifikan antara kendali glikemik dengan gangguan

    pendengaran dilaporkan pada 4 hasil penelitian (Ezeddin dkk., 2003; Panchu, 2009;

    Pemmaiah dan Srinivas, 2011; Israel dkk., 2012). Sedangkan hasil yang tidak

    signifikan dilaporkan pada 2 penelitian lainnya (Mozzafari dkk., 2010; Limardjo

    dkk., 2011).

    2.4.2.3 Hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko

    gangguan pendengaran sensorineural

    Semua sel dalam tubuh manusia membutuhkan suplai oksigen yang cukup dan

    nutrisi dalam menjalankan fungsinya. Semua suplai ini tergantung pada integritas

    organ, struktur jantung dan pembuluh darah. Hipertensi sebagai kelainan pembuluh

    darah yang paling umum bisa berakibat perubahan struktur pada jantung dan

    pembuluh darah. Tekanan yang tinggi pada sistem vaskularisasi bisa mengakibatkan

    perdarahan pada telinga dalam yang mengakibatkan gangguan pendengaran yang

    bersifat progresif atau mendadak. Kelainan pada sistem sirkulasi bisa berakibat

    langsung pada pendengaran melalui berbagai cara. Salah satunya adalah melalui

  • peningkatan viskositas darah yang akan menurunkan aliran kapiler darah dan

    berakibat penurunan transpor oksigen, kemudian mengakibatkan hipoksia jaringan

    dan gangguan pendengaran. Selain itu hipertensi juga mengakibatkan perubahan ion

    dalam potensial sel yang juga mengakibatkan gangguan pendengaran (Marchiori

    dkk., 2006).

    Pada studi eksperimental dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan

    didapatkan hasil adanya perubahan potensial aksi, elektrokimia dan konsentrasi

    kalium pada koklea tikus percobaan dengan hipertensi dibanding kelompok

    normotensi. Sejalan dengan umur, kelompok tikus percobaan dengan hipertensi

    menunjukkan peningkatan ambang potensial aksi, potensial elektrokimia dan

    peningkatan konsentrasi kalium bukan hanya pada sel endolimfatik tetapi juga pada

    sel perilimfatik. Data ini menunjukkan perubahan ion pada sel potensial aksi ikut

    terlibat dalam penurunan pendengaran kelompok tikus percobaan dengan hipertensi

    (Marchiori dkk., 2006).

    Hipertensi bersama dengan diabetes melitus meningkatkan risiko terjadinya

    gangguan pendengaran sensorineural juga diukur pada beberapa penelitian. Limardjo

    dkk. (2011) melaporkan hasil hipertensi signifikan untuk gangguan pendengaran

    dengan p = 0.001 sedangkan hasil penelitian Israel dkk. (2012) melaporkan hipertensi

    tidak signifikan. Hubungan antara diabetes melitus dengan hipertensi juga dilaporkan

    signifikan sesuai dengan adanya penelitian oleh Duck dkk. (1997) yang menemukan

    bahwa hipertensi berinteraksi dengan diabetes melitus dalam patogenesis gangguan

    pendengaran sensorineural.

  • 2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran

    Pemeriksaan telinga dan pendengaran selalu wajib dimulai dengan anamnesis

    yang mencakup riwayat gangguan pendengaran herediter, vertigo, tinitus, riwayat

    penyakit telinga sebelumnya, paparan bising dan obat ototosik. Anamnesis

    dilanjutkan dengan inspeksi yang menyeluruh dari daun telinga dan sekitarnya.

    Dengan otoskopi kemudian dinilai kondisi liang telinga dan membran timpani (Probst

    dkk., 2006) Pemeriksaan hidung, nasofaring dan jalan nafas atas perlu dilaksanakan

    secara teliti.

    Evaluasi pendengaran dapat ditentukan dengan berbagai cara mulai dari

    pengukuran sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat

    pengukuran sederhana atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan alat khusus atau

    kuantitatif misalnya dengan audiometri, Oto Acoustic Emission atau OAE, Auditory

    Brainstem Response atau ABR dan Auditory Steady State Response atau ASSR. Pada

    berbagai penelitian untuk mendeteksi adanya gangguan pendengaran pada pasien

    diabetes melitus umumnya memakai pemeriksaan audiometri nada murni (Ezeddin

    dkk. 2003; Bainbridge dkk., 2008; Panchu, 2009; Rajendran dkk., 2011). Dalam

    penelitian ini, gangguan pendengaran dievaluasi dengan menggunakan audiometri

    nada murni.

    2.5.1 Audiometri Nada Murni

    Audiometri nada murni adalah pengukuran sensitivitas pendengaran dengan

    frekuensi yang dimulai dari 250 Hz sampai 8000 Hz. Pemeriksaan ini adalah dasar

    dari evaluasi pendengaran dan dilaksanakan dalam ruang kedap suara. Pemeriksaan

  • audiometri digunakan untuk memeriksa seluruh sistem auditorius mulai dari telinga

    luar sampai korteks auditorius (Sweetow dan Bold, 2004).

    Pada audiometri nada murni, ambang didapatkan baik melalui konduksi udara

    maupun konduksi tulang. Pada pengukuran konduksi udara, perbedaan stimulus nada

    murni yang berbeda-beda ditransmisikan melalui earphone. Sinyal melewati liang

    telinga masuk ke dalam kavum timpani melalui tulang pendengaran ke koklea dan

    kemudian menuju sistem auditorius pusat. Ambang konduksi udara menggambarkan

    mekanisme integritas auditorius perifer. Sedangkan pada pengukuran konduksi

    tulang, sinyal ditransmisikan melalui getaran tulang yang biasanya diletakkan pada

    prominentia mastoid. Nada murni secara langsung menstimulus koklea setelah

    melewati liang telinga dan telinga tengah. Hasil audiometri berupa audiogram dalam

    bentuk grafik yang menggambarkan ambang pendengaran dalam frekuensi (Bess dan

    Humes, 2008).

    Satuan stimulus diberikan dalam satuan desibel. Secara klinis, batas normal

    untuk audiogram adalah 0-20 dB Hearing Level atau HL, dan 0-15 dB HL untuk

    anak-anak (Hall dan Lewis, 2002). Sedangkan derajat gangguan pendengaran sesuai

    World Health Organization atau WHO (1991) adalah ambang 25 dB dikategorikan

    normal, ambang 26 - 40 dB dikategorikan gangguan pendengaran derajat ringan,

    ambang 41 - 60 dB mencerminkan gangguan pendengaran sedang, ambang 61-80

    dB dikategorikan gangguan pendengaran berat, 81 dB dikategorikan gangguan

    pendengaran sangat berat. Frekuensi yang penting untuk mengerti percakapan adalah

    diantara 500- 8000 Hz. Tipe gangguan pendengaran dijabarkan oleh perbandingan

    antara konduksi udara dan tulang. Pada tuli konduksi, didapatkan hantaran tulang

  • yang normal dan gangguan terdapat pada hantaran udara sedangkan pada tuli

    sensorineural tidak terdapat gap antara hantaran udara dan tulang (Hall dan Lewis,

    2002).

    2.6 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran Sensorineural Akibat Diabetes

    Melitus Tipe 2

    Gangguan pendengaran dikatakan sebagai komplikasi yang kurang dikenal pada

    penderita diabetes melitus, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penderita

    diabetes melitus, maka diperkirakan kasus gangguan pendengaran juga akan semakin

    banyak. Sedangkan deteksi dini gangguan pendengaran sangat penting dilaksanakan

    karena gangguan pendengaran meningkatkan beban ekonomi secara signifikan dan

    mengakibatkan penurunan kualitas hidup penderita.

    Dalam literatur, diabetes melitus telah dinyatakan sebagai salah satu penyebab

    tuli sensorineural, dan telah banyak penelitian yang menyatakan adanya peningkatan

    risiko meskipun dengan patofisiologi yang masih banyak diperdebatkan. Faktor-

    faktor risiko yang mempengaruhi banyak diteliti untuk usaha intervensi dini.

    Gangguan pendengaran sensorineural adalah kondisi yang ireversibel secara umum.

    Karena mayoritas kasus gangguan pendengaran sensorineural memiliki prognosis

    yang buruk, tujuan utama pada penatalaksanaan gangguan pendengaran akibat

    diabetes melitus adalah pencegahan gangguan pendengaran yang lebih berat dan

    perbaikan fungsi pendengaran dengan rehabilitasi.

  • BAB III

    KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

    3.1 Kerangka Berpikir

    Kerangka berpikir mengacu kepada kerangka teori bahwa diabetes melitus

    dengan adanya hiperglikemia kronis menimbulkan gangguan pendengaran

    sensorineural berdasarkan teori neuropati dan angiopati. Faktor-faktor risiko yang

    berpengaruh terhadap terjadinya gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes

    melitus berdasarkan beberapa penelitian adalah umur, jenis kelamin, durasi, kendali

    glikemik dan hipertensi. Faktor genetika juga sebagai salah satu risiko gangguan

    pendengaran pada populasi kecil diabetes melitus tetapi tidak diteliti dalam penelitian

    ini akibat terbatasnya sarana pembuktian.

    Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah durasi beserta kendali glikemik

    dengan berbagai variasi hasil penelitian. Umur berperan terhadap gangguan

    pendengaran sensorineural dimana usia yang semakin tinggi akan meningkatkan

    risiko. Dalam penelitian ini, umur dikendalikan sehingga sampel yang diambil

    maksimal berumur 60 tahun saat diperiksa untuk menghindari bias presbikusis. Jenis

    kelamin juga menunjukkan risiko yang berbeda dalam beberapa penelitian sehingga

    dalam penelitian ini jenis kelamin dikendalikan dengan melakukan matching antara

    kelompok kasus dengan kelompok kontrol.

    Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 diperkirakan sebagai faktor risiko

    gangguan pendengaran sensorineural dengan dasar pemikiran bahwa diabetes melitus

  • merupakan penyakit yang bersifat kronis. Risiko komplikasi gangguan pendengaran

    akan semakin tinggi sejalan dengan kronisnya penyakit.

    Komplikasi kronis gangguan pendengaran akibat diabetes melitus dapat dicegah

    dengan kendali glikemik yang baik yaitu melalui indikator HbA1C dimana HbA1C

    merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu

    sebelumnya dan dianjurkan diperiksa setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.

    Nilai HbA1C 7 % telah terbukti menurunkan komplikasi mikrovaskuler. Dalam

    penelitian ini, HbA1C pasien yang 7 % dianggap kendali glikemik baik dan risiko

    gangguan pendengaran sensorineural lebih tinggi pada pasien dengan kendali

    glikemik buruk atau HbA1C > 7 %.

    Penderita diabetes melitus umumnya disertai hipertensi dan hipertensi

    berinteraksi dengan diabetes melitus terbukti meningkatkan risiko gangguan

    pendengaran sensorineural dalam penelitian yang lain, maka dalam penelitian ini

    hipertensi bersama dengan diabetes melitus juga diukur untuk mengetahui adanya

    faktor risiko yang lebih tinggi dibanding diabetes tanpa hipertensi.

  • 3.2 Konsep Penelitian

    Konsep penelitian dapat digambarkan dengan diagram sebagai berikut:

    Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian

    3.3 Hipotesis Penelitian

    1. Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 yaitu 10 tahun meningkatkan risiko

    gangguan pendengaran sensorineural.

    2. Kendali glikemik buruk pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan HbA1C > 7

    % meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural.

    Diabetes Melitus

    Faktor:

    Durasi DM

    Kendali glikemik (HbA1C)

    Hipertensi

    Keturunan

    Umur

    Jenis kelamin

    Angiopati Neuropati

    Gangguan Pendengaran Sensorineural

  • 3. Hipertensi bersama dengan diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan

    pendengaran sensorineural.

  • BAB IV

    METODE PENELITIAN

    4.1 Rancangan Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan

    rancangan kasus kontrol dimana kelompok kasus adalah penderita diabetes melitus

    tipe 2 dengan gangguan pendengaran sensorineural sedangkan kelompok kontrol

    adalah penderita diabetes melitus tipe 2 tanpa gangguan pendengaran sensorineural.

    Rancangan penelitian dapat digambarkan dalam bagan berikut ini:

    Matching

    Jenis Kelamin

    Umur

    Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian

    4 .2 Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian dilaksanakan di poliklinik THT-KL dan poliklinik Diabetic Centre

    RSUP Sanglah Denpasar sejak 15 Agustus 2013 sampai 30 Desember 2013.

    Penelitian dilakukan sesuai waktu pelayanan poliklinik rawat jalan RSUP Sanglah.

    HbA1C

    7 %

    >7 %

    Hipertensi

    Tanpa hipertensi

    Durasi

    10 thn

    < 10 thn

    Kelompok Kasus

    DM dengan SNHL

    Kelompok Kontrol

    DM tanpa SNHL

  • 4.3 Penentuan Sumber Data

    4.3.1 Populasi Penelitian

    Populasi target penelitian adalah semua penderita diabetes melitus tipe 2.

    Populasi terjangkau adalah penderita diabetes melitus tipe 2 yang berobat ke

    Poliklinik Diabetic Centre RSUP Sanglah Denpasar selama waktu penelitian.

    4.3.2 Sampel Penelitian

    Pengambilan sampel pada kelompok kasus dan kontrol dilakukan secara

    konsekutif sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian

    dimasukkan dalam sampel penelitian sampai kurun waktu tertentu hingga terpenuhi

    jumlah sampel yang diperlukan.

    4.3.3 Kriteria Sampel

    Kriteria kasus pada penelitian ini adalah penderita diabetes melitus tipe 2 dengan

    gangguan pendengaran sensorineural. Sedangkan kriteria kontrol pada penelitian ini

    adalah penderita diabetes melitus tipe 2 tanpa gangguan pendengaran sensorineural.

    Kriteria kelompok kasus dan kelompok kontrol pada penelitian ini terdiri dari kriteria

    inklusi dan kriteria eksklusi.

    4.3.3.1 Kriteria Inklusi

    Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: 1) Umur di bawah dan sama dengan

    60 tahun, 2) Jenis kelamin laki-laki dan perempuan, 3) Penderita dengan riwayat

    diabetes melitus tipe 2 berdasarkan diagnosis dokter di Diabetes Centre, RSUP

  • Sanglah, 4) Bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi dan menandatangani

    formulir lembar persetujuan, 5) Secara klinis kondisi umum pasien baik dan

    memungkinkan dilakukan penelitian.

    4.3.3.2 Kriteria eksklusi

    Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: 1) Pernah mengalami cedera kepala,

    2). Sedang menderita radang akut pada telinga, hidung dan tenggorokan, 3) Pernah

    menderita infeksi telinga tengah menahun atau penyakit telinga lain yang

    menyebabkan gangguan pendengaran secara menetap, 4) Riwayat menggunakan

    obat-obatan yang bersifat ototoksik dalam waktu lebih dari 3 bulan secara terus-

    menerus, 5) Riwayat gangguan pendengaran usia muda pada orangtua yang bersifat

    menurun, 6) Ada kelainan anatomi atau tumor pada daerah telinga, hidung dan

    tenggorokan, 7) Riwayat paparan bising, 8) Pernah terpapar trauma ledakan bom,

    dentuman atau letusan senjata api, 8) Riwayat anemia hemolitik dan paska

    perdarahan akut.

    4.3.4 Perhitungan Besar Sampel

    Besar sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini dihitung

    berdasarkan rumus studi kasus kontrol berpasangan (Madiyono dkk., 2010) yaitu :

    n = [ Z 2 + Z PQ ] 2 dimana P = R (P- ) (1+R)

    Dalam penelitian ini ditentukan OR = 3, = 0, 05 dan = 0,10 maka:

    n= [ 1, 96 2 + 1,282 3/4 + 1/4 ] 2 3/4

    n = 38 pasang sampel

    4.4 Variabel Penelitian

  • 4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel

    Variabel bebas : diabetes melitus tipe 2

    Variabel tergantung : gangguan pendengaran sensorineural

    Variabel perantara: durasi diabetes melitus tipe 2, kendali glikemik, hipertensi.

    4.5 Definisi Operasional Variabel

    a. Diabetes Melitus tipe 2: kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan

    hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin yang progresif

    sehingga terjadi resistensi insulin. Penelitian ini dibatasi pada subjek dengan

    diagnosis diabetes melitus tipe 2 dari dokter di Diabetes Centre RSUP Sanglah.

    b. Gangguan pendengaran sensorineural: tuli sensorineural dengan kelainan di

    koklea atau nervus VIII yang mengakibatkan terhambatnya proses transmisi

    impuls saraf ke pusat pendengaran di otak. Pada audiogram didapatkan ambang

    pendengaran rata-rata pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz lebih dari 25

    dB sesuai WHO (1991), konduksi udara dan tulang berimpit.

    c. Pendengaran normal adalah pendengaran dimana pemeriksaan dengan

    menggunakan audiometri nada murni didapatkan ambang pendengaran rata-rata

    pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz adalah kurang dari dan sama

    dengan 25 dB HL sesuai WHO (1991).

    d. Umur adalah lama hidup yang dihitung berdasarkan tanggal lahir yang tercantum

    pada rekam medis penderita dalam satuan tahun berdasarkan Kartu Tanda

    Penduduk atau Surat Ijin Mengemudi. Dalam penelitian ini dibatasi pada

    penderita diabetes melitus tipe 2 yang berusia kurang dari dan sama dengan 60

    tahun untuk menghindari adanya bias presbikusis yaitu penurunan pendengaran

  • akibat usia. Dalam penelitian ini dilakukan matching umur antara kelompok

    kontrol dengan kelompok kasus dengan range sebesar 5 tahun sehingga

    didapatkan sampel kasus dan kontrol dengan kelompok umur 36-40 tahun, 41-45

    tahun, 46-50 tahun, 51-55 tahun dan 56-60 tahun.

    e. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pada sampel sesuai dengan yang tertera pada

    Kartu Tanda Pengenal atau sesuai dengan data diri pada berkas rekam medis

    pasien di RSUP Sanglah. Dalam penelitian ini, sampel terdiri dari jenis kelamin

    pria atau wanita, dilakukan matching pada jenis kelamin sampel antara

    kelompok kasus dengan kelompok kontrol.

    f. Keturunan adalah riwayat gangguan pendengaran usia muda pada orangtua

    sampel. Dalam penelitian ini terbatas pada hasil anamnesis adanya riwayat

    gangguan pendengaran usia muda yang bersifat menurun pada orang tua sampel.

    g. Durasi menderita diabetes melitus adalah satuan waktu dalam tahun yang

    dimulai sejak penderita terdiagnosis diabetes melitus berdasarkan hasil

    anamnesis. Dalam penelitian ini dibuat dalam data kategorik yaitu < 10 tahun

    dan 10 tahun.

    h. Kendali glikemik adalah adanya kadar gula darah rata-rata dalam 8-12 minggu

    terakhir dan dibuktikan dengan adanya nilai HbA1C yang berada dalam batasan

    normal. Nilai rujukan HbA1C yang dipakai dalam penelitian ini adalah 7 %,

    menyesuaikan dengan target pengendalian diabetes melitus dalam Konsensus

    Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia (2011).

    HbA1C merupakan pemeriksaan rutin yang dilaksanakan pada setiap pasien

    diabetes melitus setiap 3 bulan di Diabetic Centre RSUP Sanglah. Nilai HbA1C

  • terakhir yang terdata dalam rekam medis dan dilakukan dalam kurun waktu 3

    bulan sebelum pemeriksaan pendengaran dicatat sebagai HbA1C penderita dan

    dibuat dalam data kategorik yaitu kendali glikemik baik yaitu 7 % dan kendali

    glikemik buruk yaitu > 7 % sesuai Konsensus Pengendalian dan Pencegahan

    Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia (2011).

    i. Hipertensi adalah orang dengan tekanan darah 130/80 mmHg sesuai dengan

    Konsensus DM 2011 atau terdiagnosis hipertensi dari dokter di Diabetic Cen