Upload
timothy-skinner
View
38
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
otitis media serosa
Citation preview
TESIS
DURASI MENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2
MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN
SENSORINEURAL
SURIYA SUWANTO
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
DURASI MENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2
MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN
SENSORINEURAL
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
dalam Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
SURIYA SUWANTO
NIM 0914078203
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL, 3 JUNI 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. dr. W. Suardana SpTHT-KL (K) Prof. Dr.dr. Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp.Erg
NIP. 130369694 NIP. 19471211 1976 021 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur Program Pascasarjana
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Universitas Udayana
Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila,SpAnd, FAACS Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 194612131971071001 NIP: 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No: 1374 /UN14.4/HK/2014, tertanggal 16 Mei 2014
Ketua : Prof. dr. W. Suardana SpTHT-KL (K), SpTHT-KL (K)
Anggota :
1. Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp. Erg
2. Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila SpAnd., FAACS
3. Prof. Dr. IGM. Aman, Sp FK
4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D
UCAPAN TERIMA KASIH
Atas Karunia Tuhan yang Maha Esa akhirnya tersusunlah sebuah karya tulis
untuk memperoleh gelar pascasarjana kekhususan kedokteran klinik dan spesialis di
bidang THT-KL. Karya tulis ini selain merupakan suatu karya akhir juga
dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan bagi perkembangan pengetahuan dan
keilmuan di bidang penelitian pada umumnya dan THT-KL pada khususnya.
Karya tulis ini dapat diselesaikan berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan peran
serta berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang yang tidak terhingga dengan segala ketulusan hati kepada yang
terhormat:
1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD
sekaligus sebagai Kepala Divisi Endokrinologi dan Metabolisme FK
UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti dan
menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined
degree), PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala
Leher berikut ijin melaksanakan penelitian di Diabetes Centre RSUP Sanglah.
2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa,
Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik
(combined degree) dan PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-
Bedah Kepala Leher.
3. dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar,
atas segala fasilitas yang disediakan dan diberikan selama penulis mengikuti
pendidikan spesialis.
4. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka Sudewi,
SpS(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi
mahasiswa program pascasarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik
(Combined degree).
5. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.THT-KL(K), sebagai Kepala Bagian/ SMF Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher, Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala
kesabaran, dorongan dan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan
spesialis.
6. dr. I Dewa Gede Arta Eka, Sp.THT-KL sebagai Ketua Program Studi PPDS-1
Ilmu Kesehatan THT-KL sekaligus sebagai pembimbing akademik atas segala
kesempatan, bimbingan dan motivasinya.
7. dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.THT-KL (K) sebagai Sekretaris Program Studi
PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL atas segala kesempatan, bimbingan dan
motivasinya.
8. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined degree),
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS yang telah memberikan
kesempatan penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana
Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree).
9. Prof. dr. Wayan Suardana, Sp.THT-KL(K) selaku pembimbing I yang selalu
menekankan berpikir secara kritis serta bertindak sesuai prosedur medis berikut
segala dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai
akhir pendidikan.
10. Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp.Erg selaku pembimbing II atas
segala dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai
akhir penelitian.
11. dr. Tangking, MPH dan dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M. Epid yang
telah memberikan bimbingan statistik.
12. Kepala-kepala divisi dan para konsulen di Bagian/SMF THT-KL FK
UNUD/RSUP Sanglah yang telah banyak memberikan kesempatan dan
bimbingan selama mengikuti pendidikan.
13. Kepala Poliklinik Diabetes Centre dan THT-KL RSUP Sanglah berikut semua
paramedis atas semua bantuan dan dukungannya selama melaksanakan
penelitian.
14. Para Senior, rekan residen, mahasiswa kedokteran, atas bantuan dan
kerjasamanya selama mengikuti pendidikan dan selama penelitian ini
berlangsung.
15. dr. Samsi Jacobalis, SpB (Alm) selaku mantan Dekan Universitas Tarumanagara,
penasihat RSIB Harapan Kita dan dosen Magister Manajemen Rumah Sakit,
Universitas Gadjah Mada yang telah memberi dorongan, semangat untuk
melanjutkan pendidikan serta selalu memberikan nasehat dan kasih sayang.
16. Suami, Wahyudi Saputra, SH yang selalu berbagi suka duka serta ananda Kiara
Maharani Saputra dan Ken Dharma Saputra atas pengertian, pengorbanan dan
telah menemani serta menghibur penulis selama masa pendidikan.
17. Ayahanda, ibunda, kakak-kakak dan adik maupun ipar terkasih atas doa restu,
motivasi, pengertian dan kasih sayangnya.
18. Semua pihak yang telah membantu karya akhir ini yang tidak bisa disebutkan
satu persatu.
Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa melimpahkan karunia dan rahmatNya
atas kebaikan yang telah dilakukan.
Denpasar, 22 Juni 2014
Suriya Suwanto
ABSTRAK
Durasi Menderita Diabetes Melitus Tipe 2 Meningkatkan Risiko Gangguan
Pendengaran Sensorineural
Suriya Suwanto
Diabetes melitus menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural dengan
berbagai faktor risiko yang masih diteliti. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
apakah durasi, kendali glikemik dan hipertensi meningkatkan risiko gangguan
pendengaran sensorineural pada penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah Denpasar.
Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol berpasangan dan matching
jenis kelamin serta umur. Kelompok kasus sebanyak 45 subjek adalah penderita DM
tipe 2 dengan gangguan pendengaran sensorineural sedangkan kelompok kontrol
sebanyak 45 subjek adalah penderita DM tipe 2 tanpa gangguan pendengaran
sensorineural. Penelitian dilaksanakan di poliklinik Diabetes Centre dan poliklinik
THT-KL RSUP Sanglah sejak 1 Agustus 2013 sampai 30 Desember 2013.
Subjek 55, 56 % berjenis kelamin wanita dan 44, 44 % pria. Jumlah subjek
penelitian dengan gangguan pendengaran derajat ringan bilateral sebanyak 28 orang
(62, 22 %) dan 8 subjek dengan gangguan pendengaran unilateral (17, 78 %). Subjek
penelitian dengan durasi menderita DM tipe 2 kurang dari 10 tahun sebanyak 71
orang (78,89 %) dan durasi lebih besar sama dengan 10 tahun sebanyak 19 orang
(21,11 %). Jumlah subjek penelitian dengan kendali glikemik buruk atau HbA1C
lebih dari 7% sebanyak 71 orang (78, 89%) dan subjek penelitian dengan kendali
glikemik baik atau HbA1C kurang dari dan sama dengan 7 % sebanyak 19 orang (21,
11%). Jumlah subjek penelitian dengan hipertensi sebanyak 41 orang (45, 56 %) dan
tanpa hipertensi sebanyak 49 orang (54, 44 %). Analisis bivariat dengan
menggunakan uji Chi Square Mac Nemar mendapatkan hasil durasi (OR 7,5; p 0,016;
CI 1,74-67,59), HbA1C (OR 2,75; p 0,07; CI 0,82-11,84) dan hipertensi (OR 2,26; p
0,06; CI 0,89-6,57). Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik mendapatkan
hasil durasi (OR 7,84; p 0,011; CI 1,62 - 38,02), HbA1C (OR 2,79; p 0,132; CI 0,94-
8,99) dan hipertensi (OR 2,79; p 0,063; CI 0,54 - 4,86).
Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 lebih besar dan sama dengan 10 tahun
sebagai faktor yang signifikan dalam meningkatkan risiko gangguan pendengaran (p
< 0.05). Sedangkan kendali glikemik dan hipertensi tidak signifikan. Diabetes melitus
merupakan penyakit yang bersifat kronis dan risiko komplikasi gangguan
pendengaran meningkat sejalan dengan kronisnya penyakit.
Kata kunci: diabetes melitus tipe 2, gangguan pendengaran sensorineural, durasi,
kendali glikemik
ABSTRACT
Duration of Type 2 Diabetes Melitus Increased the Risk of Sensorineural
Hearing Loss
Suriya Suwanto
Diabetes Mellitus causes sensorineural hearing loss with lots of risk factor that
are still in research. The purpose of this study was to determine whether duration,
glycemic control and hypertension increased the risk of sensorineural hearing loss in
patients with type 2 Diabetes Mellitus of Sanglah General Hospital Denpasar.
This study used case control design, paired with matching of age and sex. Case
group consisted of 45 type 2 diabetes mellitus patients with sensorineural hearing loss
and control group consisted of 45 type 2 diabetes mellitus patients without hearing
loss. Research was conducted in Diabetes Centre and ENT-HNS clinics of Sanglah
General Hospital started from August, 1st, 2013 until December, 30
th, 2013.
Subjects 55, 56% were female and 44, 44% were male. Subjects with mild
degree of bilateral sensorineural hearing loss were 28 subjects (62, 22%) and 8
subjects with unilateral hearing loss (17, 78%). Subjects with duration of type 2
Diabetes Mellitus less than 10 years were 71 subjects (78, 89%) and duration of equal
and more than 10 years were 19 subjects (21, 11%). Subjects with bad glycemic
control or A1C more than 7 % were 71 subjects (78, 89%) and subjects with good
glycemic control or A1C equal and less than 7 % were 19 subjects (21, 11%).
Subjects with hypertension were 41 subjects (45, 56 %) and without hypertension 49
subjects (54, 44 %). Bivariate analysis using Mc Nemar Chi Square showed results of
duration (OR 7,5; p 0,016; CI1,74-67,59), A1C (OR 2,75; p 0,07; CI 0,82-11,84) and
hypertension (OR 2,26; p 0,06; CI 0,89-6,57). Multivariate analysis with regression
logistic showed results of duration (OR 7, 84; p 0,011; CI 1, 62 - 38,02), A1C (OR
2,79; p 0,132; CI 0,94-8,99) and hypertension (OR 2,79; p 0,063; CI 0,54 - 4,86).
Duration of equal and more than 10 years as the factor that significantly
increased the risk of hearing loss (p < 0.05), the glycemic control and hypertension
were not significant. Diabetes mellitus was a chronic disease and the risk of
complication increased as the disease became chronic.
Keywords: type 2 diabetes mellitus, sensorineural hearing loss, duration, glycemic
control
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ...................................................................................... i
PRASYARAT GELAR ............................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................... viii
ABSTRACT ................................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN .. xvii
BAB I PENDAHULUAN.1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 8
2.1 Gangguan Pendengaran..................................................................... 8
2.2 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran ................................................. 9
2.3 Diabetes Melitus ............................................................................... 15
2.3.1 Klasifikasi Diabetes Melitus 16
2.3.2 Gejala Diabetes Melitus 17
2.3.3 Diagnosis Diabetes Melitus .. 18
2.3.4 Komplikasi Kronis Diabetes Melitus 19
2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Mengakibatkan Gangguan
Pendengaran ..................................................................................... 20
2.4.1 Mekanisme Komplikasi ................... 22
2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran
Sensorineural Pada Diabetes Melitus 25
2.4.2.1 Durasi Menderita Diabetes Melitus tipe 2 Meningkatkan Risiko
Gangguan Pendengaran Sensorineural.............................................. 27
2.4.2.2 Kendali Glikemik Buruk pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2
Meningkatkan Risiko Gangguan Pendengaran Sensorineural .......... 27
2.4.2.3 Hipertensi pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Meningkatkan
Risiko Gangguan Pendengaran Sensorineural .................................. 29
2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengarn ................................................ 31
2.5.1 Audiometri Nada Murni ................................................................... 32
2.6 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran Sensorineural Akibat
Diabetes Melitus ............................................................................... 33
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN. 35
3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 35
3.2 Konsep Penelitian ............................................................................ 37
3.3 Hipotesis Penelitian ......................................................................... 37
BAB IV METODE PENELITIAN. 39
4.1 Rancangan Penelitian ....................................................................... 39
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 39
4.3 Penentuan Sumber Data ................................................................... 40
4.3.1 Populasi Penelitian 40
4.3.2 Sampel Penelitian ............................................................................. 40
4.3.3 Kriteria Sampel ................................................................................ 40
4.3.3.1 Kriteria Inklusi ................................................................................. 40
4.3.3.2 Kriteria Eksklusi .............................................................................. 41
4.3.4 Perhitungan Besar Sampel ............................................................... 41
4.4 Variabel Penelitian ........................................................................... 42
4.4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel ................................................ 42
4.5 Definisi Operasional Variabel .......................................................... 42
4.6 Bahan dan Alat Penelitian ................................................................. 44
4.7 Prosedur Kerja ................................................................................. 45
4.8 Alur Penelitian ................................................................................. 47
4.9 Analisis Data .................................................................................... 47
4.10 Etika Penelitian ................................................................................. 47
BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................... 49
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................... 49
5.2 Karakteristik Gangguan Pendengaran Subjek Penelitian Berdasar
Hasil Audiometri Nada Murni .......................................................... 50
5.3 Karakteristik Subjek Penelitian Ditinjau dari Faktor Risiko yang
Diteliti ............................................................................................... 52
5.4 Rerata Durasi dan Kendali Glikemik Antara Kelompok Kasus dan
Kelompok Kontrol ............................................................................ 53
5.5 Hasil Analisis Bivariat ...................................................................... 53
5.6 Hasil Analisis Multivariat ................................................................. 55
BAB VI PEMBAHASAN.56
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................... 55
6.2 Hubungan Antara Durasi Menderita DM tipe 2 dengan Gangguan
Pendengaran Sensorineural ............................................................... 58
6.3 Hubungan Antara Kendali Glikemik dengan Gangguan
Pendengaran Sensorineural ............................................................... 58
6.4 Hubungan antara Hipertensi dengan Gangguan Pendengaran
Sensorineural ..................................................................................... 61
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .62
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 64
LAMPIRAN ................................................................................................. 69
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran ......................................... 11
Gambaar 2.2 Potongan Melintang Koklea .................................................... 12
Gambar 2.3 Diagram Jalur Biokmiawi Penurunan Pendengaran Terhadap
Sensori End Organ seperti Koklea pada Diabetes Melitus
Tipe 2 ......................................................................................... .24
Gambar 3.1 Konsep Penelitian...................................................................... .37
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian...39
Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian..47
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian.................................................. 49
Tabel 5.2 Karakteristik Gangguan Pendengaran Subjek Penelitian
Berdasar Hasil Audiometri Nada Murni .................................... 51
Tabel 5.3 Karakteristik Subjek Penelitian ditinjau dari Faktor Risiko
yang Diteliti ............................................................................... 52
Tabel 5.4 Rerata Durasi dan Kendali Glikemik antara Kelompok Kasus
dan Kelompok Kontrol .............................................................. 53
Tabel 5.5 Hasil Analisis Bivariat ............................................................... 53
Tabel 5.5.1 Hasil Analisis Bivariat Durasi terhadap Gangguan Pendengaran
Sensorineural .............................................................................. 53
Tabel 5.5.2 Hasil Analisis Bivariat Kendali Glikemik terhadap Gangguan
Pendengaran Sensorineural ........................................................ 54
Tabel 5.5.3 Hasil Analisis Bivariat Hipertensi terhadap Gangguan
Pendengaran Sensorineural ........................................................ 54
Tabel 5.6 Hasil Analisis Multivariat .......................................................... 55
DAFTAR SINGKATAN
ABR : Auditory Brainstem Response
ADA : American Diabetes Association
AGEs : Advanced Glycosylation End products
dB : Decibel
DM : Diabetes Melitus
GDM : Gestational Diabetes Melitus
HbA1C : Hemoglobin glikolasi
HL : Hearing Level
IMT : Indeks Massa Tubuh
OAE : Oto Acoustic Emission
NIDDM : Non Insulin Dependent Diabetes Melitus
NIHL : Noise Induced Hearing Loss
NO : Nitric Oxide
PAS : Periodic Acid Schiff
PKC : Protein Kinase C
PNS : Peripheral Nervous System
ROS : Reactive Oxygen Species
SNHL : Sensory Neural Hearing Loss
TGF : Transforming Growth Factor-Beta
WHO : World Health Organization
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
VPF : Vascular Permeability Factor
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Penjelasan kepada Subyek Penelitian ......................... 69
Lampiran 2 Surat Pernyataan Persetujuan ................................................... 71
Lampiran 3 Lembar Penelitian ..................................................................... 72
Lampiran 4 Ethical Clearance ...................................................................... 75
Lampiran 5 Surat Ijin Divisi Endokrinologi dan Metabolik ........................ 76
Lampiran 6 Surat Ijin Diklit RSUP Sanglah ................................................ 77
Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian ............................................................ 78
Lampiran 8 Karakteristik Subjek Penelitian ................................................ 79
Lampiran 9 Ambang Pendengaran Subjek Penelitian.................................. 83
Lampiran 10 Analisis Data.87
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendengaran merupakan salah satu panca indera manusia yang paling penting.
Pendengaran yang terganggu akan menghambat proses interaksi dan komunikasi
dengan sesama. Gangguan pendengaran sering disebut tuli.
Secara umum, tuli dibagi menjadi tuli konduktif, tuli sensorineural serta tuli
campuran. Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara yang disebabkan
oleh kelainan di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli sensorineural, kelainan
terdapat di koklea atau nervus VIII yang mengakibatkan terhambatnya proses
transmisi impuls saraf ke pusat pendengaran di otak. Sedangkan tuli campuran
disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural (Bull, 1991).
Salah satu penyebab tuli sensorineural adalah diabetes melitus (Bull, 1991).
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang akan diderita seumur hidup
(Konsensus DM, 2011). Mayoritas penderita diabetes dewasa memiliki penyakit
dengan risiko kardiovaskular seperti hipertensi dan kolesterol karena diabetes adalah
penyakit sistemik (Bainbridge dkk., 2008).
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus terkait dengan kerusakan, disfungsi,
kegagalan berbagai organ jangka panjang terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah. Diabetes melitus juga mengakibatkan gangguan pendengaran (Bull,
1991; Powers, 2008). Risiko gangguan pendengaran sekitar 2 kali lipat lebih besar
pada pasien dengan diabetes dibanding pasien tanpa diabetes (ADA, 2012).
Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh diabetes melitus adalah tuli
sensorineural dengan ciri progresif bilateral pada frekuensi tinggi yaitu frekuensi
2000 Hz dan 4000 Hz, seperti gambaran presbikusis tipe sensori (Pemmaiah dan
Srinivas, 2011). Sedangkan hasil penelitian National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES) sejak tahun 1999-2004 melaporkan gangguan
pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus terjadi pada frekuensi 500 sampai
dengan 8000 Hz (Bainbridge dkk., 2008).
Pengaruh diabetes melitus pada pendengaran banyak diteliti tetapi terdapat
banyak penyulit dalam membuktikan hubungan ini karena adanya variabel
pengganggu seperti paparan bising, obat ototoksik, presbikusis, hipertensi dan
aterosklerosis. Faktor genetika juga mempengaruhi gangguan pendengaran
sensorineural pada populasi kecil dengan diabetes melitus (Kakarlapudi dkk., 2003).
Studi yang dilaksanakan pada 110 penderita diabetes melitus tipe 2 di Ramaiah
Medical College, India didapatkan 48 penderita atau 43, 6% dengan gangguan
pendengaran sensorineural bilateral pada frekuensi 2000 Hz dan 4000 Hz (Pemmaiah
dan Srinivas, 2011). Sedangkan studi terhadap 135 penderita diabetes melitus tipe 2
di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo, Makasar mendapatkan hasil 45 penderita atau
33, 33% dengan gangguan pendengaran ringan dan 90 penderita dengan pendengaran
normal (Limardjo dkk., 2011).
Berbagai penelitian juga dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural pada penderita
diabetes melitus dengan berbagai variasi hasil seperti durasi, kendali glikemik yang
dinilai melalui angka HbA1C, umur, jenis kelamin, hipertensi dan komplikasi
diabetes melitus. Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah durasi beserta kendali
glikemik. Karena hipertensi merupakan salah satu penyebab gangguan pendengaran
sensorineural dan penderita diabetes melitus tipe 2 umumnya disertai hipertensi,
maka dalam penelitian ini hipertensi bersama dengan diabetes melitus juga diukur
untuk mengetahui adanya faktor risiko yang lebih tinggi dibanding diabetes tanpa
hipertensi.
Diabetes melitus adalah penyakit yang bersifat kronis dan risiko komplikasi
meningkat sejalan dengan kronisnya penyakit (Powers, 2008). Durasi menderita
diabetes melitus diperkirakan berkaitan dengan risiko gangguan pendengaran melalui
dasar pemikiran bahwa diabetes dengan kondisi hiperglikemia kronis mengakibatkan
komplikasi pada banyak organ dan salah satunya adalah organ pendengaran.
Durasi dengan gangguan pendengaran banyak diteliti dengan berbagai variasi
hasil. Penelitian oleh Limardjo dkk. (2011) mendapatkan hasil adanya hubungan
antara durasi menderita diabetes melitus 10 tahun dengan gangguan pendengaran (p
= 0, 00). Penelitian Mozzafari dkk. (2010) melaporkan durasi menderita diabetes
melitus yang mengakibatkan gangguan pendengaran adalah 11.7 7, 6 tahun (p <
0.001). Sedangkan penelitian Panchu (2009) mendapatkan hasil yang berbeda dengan
kedua hasil penelitian di atas yaitu durasi menderita diabetes melitus lebih dari 10
tahun tidak mempengaruhi ambang pendengaran pada penderitanya.
Kendali glikemik yang optimal sangat penting. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
komplikasi diabetes dapat dicegah dengan kendali glikemik yang optimal (Konsensus
DM, 2011). Studi epidemiologi telah menunjukkan adanya kekuatan yang sama
antara HbA1C dengan glukosa plasma puasa dan 2 jam sesudah beban glukosa dalam
menimbulkan risiko neuropati tetapi HbA1C lebih mudah dilaksanakan karena tidak
membutuhkan puasa dan lebih stabil (ADA, 2012). Nilai HbA1C merupakan cermin
rata-rata kadar gula darah dalam beberapa bulan dan merupakan prediktor kuat
terhadap komplikasi diabetes melitus (Sacks dkk., 2002; Stratton dkk., 2000). Nilai
HbA1C 7 % telah terbukti menurunkan komplikasi mikrovaskuler dan pemeriksaan
nilai HbA1C rutin dapat menurunkan risiko jangka panjang makrovaskuler (ADA,
2012).
Adanya hubungan yang signifikan antara kendali glikemik dengan gangguan
pendengaran dilaporkan pada 4 hasil penelitian (Ezeddin dkk., 2003; Panchu, 2009;
Pemmaiah dan Srinivas, 2011; Israel dkk., 2012). Sedangkan hasil yang tidak
signifikan dilaporkan pada 2 penelitian lainnya (Mozzafari dkk., 2010; Limardjo
dkk., 2011).
Hipertensi merupakan salah satu penyebab gangguan pendengaran sensorineural.
Tekanan yang tinggi pada sistem vaskuler akibat hipertensi memungkinkan terjadinya
perdarahan pada telinga dalam dan mengakibatkan gangguan pendengaran yang
bersifat progresif atau mendadak. Peningkatan viskositas darah pada hipertensi juga
mengakibatkan penurunan aliran kapiler darah dan penurunan transpor oksigen yang
berakibat hipoksia jaringan sehingga terjadi gangguan pendengaran (Marchiori dkk.,
2006). Hasil penelitian Duck dkk. (1997) melaporkan bahwa hipertensi yang
menyertai diabetes melitus tipe 2 dapat memperburuk dan meningkatkan insiden
terjadinya gangguan pendengaran akibat rusaknya koklea sebagai end organ. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya jumlah sel rambut dalam koklea yang hilang pada
kelompok hewan percobaan hipertensi dengan diabetes dibanding kelompok
normotensi dengan diabetes dan kelompok normotensi tanpa diabetes.
Meskipun teori menyatakan hipertensi bersama dengan diabetes melitus
meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran sensorineural, masih terdapat
beberapa penelitian dengan hasil yang berbeda. Limardjo dkk. (2011) melaporkan
hasil hipertensi pada diabetes signifikan untuk gangguan pendengaran sedangkan
Bainbridge dkk. (2010) dan Israel dkk. (2012) melaporkan hasil tidak signifikan.
Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya
dengan audiometri nada murni. Audiometri nada murni adalah dasar dari evaluasi
pendengaran dan dapat digunakan untuk memeriksa seluruh sistem auditorius, mulai
dari telinga luar sampai korteks auditorius (Sweetow dan Bold, 2004). Berbagai
penelitian di atas menggunakan audiometri nada murni untuk mengukur ambang
pendengaran pada penderita diabetes melitus.
Penelitian gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus tipe 2
belum pernah dilaksanakan di RSUP Sanglah Denpasar. Saat ini, pelayanan pasien
diabetes pada RSUP Sanglah dipusatkan pada diabetes centre yang khusus melayani
pasien diabetes karena diabetes dengan komplikasinya membutuhkan pelayanan
komprehensif yang meliputi berbagai bidang. Penelitian ini menarik untuk
dilaksanakan karena literatur telah menyebutkan gangguan pendengaran sebagai
akibat dari diabetes melitus dengan berbagai faktor risiko yang masih diteliti.
Hubungan antara durasi, kendali glikemik dan risiko pada hipertensi dengan
gangguan pendengaran berdasarkan pengukuran audiometri nada murni menarik
untuk diketahui guna pencegahan dini gangguan pendengaran.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah durasi menderita diabetes melitus tipe 2 10 tahun meningkatkan risiko
gangguan pendengaran sensorineural?
2. Apakah kendali glikemik buruk dengan kadar HbA1C > 7 % pada penderita
diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural?
3. Apakah hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko
gangguan pendengaran sensorineural?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian
Untuk mengetahui faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya gangguan
pendengaran sensorineural pada penderita diabetes melitus tipe 2 di RSUP Sanglah,
Denpasar.
1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian.
1.Untuk mengetahui durasi menderita diabetes melitus tipe 2 10 tahun
meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural.
2.Untuk mengetahui kendali glikemik buruk dengan HbA1C > 7 % meningkatkan
risiko gangguan pendengaran sensorineural.
3.Untuk mengetahui hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan
risiko gangguan pendengaran sensorineural.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Dalam bidang ilmiah dapat meningkatkan pengetahuan tentang faktor yang
meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural pada penderita
diabetes melitus tipe 2.
2. Dalam bidang pelayanan, hasil penelitian dapat diaplikasikan dalam usaha
meningkatkan kewaspadaan penderita diabetes melitus tipe 2 terhadap gangguan
pendengaran sensorineural dengan screening pendengaran berkala dan intervensi
bila diperlukan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran, dilaporkan oleh lebih dari 17% populasi dewasa di
Amerika Serikat, adalah masalah kesehatan publik yang perlu dikhawatirkan karena
menyangkut lebih dari 36 juta penduduk (Bainbridge dkk., 2008). Gangguan
pendengaran mengakibatkan penurunan fungsi komunikasi dan penurunan kualitas
hidup bagi penderitanya.
Tuli dibagi menjadi tuli konduksi, tuli sensorineural dan tuli campuran. Tuli
konduksi disebabkan oleh gangguan pada telinga luar dan telinga tengah, umumnya
tidak melebihi 60 dB. Sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli
sensorineural, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli retrokoklea. Pada tuli
sensorineural kelainan terletak pada koklea, nervus VIII atau di pusat pendengaran.
Kasus tuli koklea lebih banyak daripada retrokoklea. Tuli campuran merupakan
kombinasi gangguan pendengaran konduksi dan sensorineural (Lee, 2003).
Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh diabetes melitus bisa merupakan
tuli konduksi atau sensorineural. Tuli konduksi yang terjadi adalah sekunder akibat
peningkatan insiden infeksi pada telinga luar dan tengah (Irwin, 1987). Sedangkan
tuli sensorineural pada diabetes melitus terjadi akibat proses patologis pada telinga
dalam dengan patofisiologi yang masih kontroversi.
Gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus pertama kali
dilaporkan oleh Jordao dalam bentuk laporan kasus pada tahun 1857 (Booth, 1987).
Setelah itu, terdapat banyak penelitian yang membuktikan adanya risiko gangguan
pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus (Ezeddin dkk., 2003; Sakuta dkk.,
2006; Bainbridge dkk., 2008; Rajendran dkk., 2011; Limardjo dkk., 2011).
Saat ini, gangguan pendengaran sebagai akibat diabetes melitus tipe 2 telah
dipublikasikan secara luas pada Standards of Medical Care in Diabetes yang
diterbitkan oleh American Diabetes Association, 2012. Agar dapat memahami
gangguan pendengaran, di bawah ini diuraikan anatomi dan fisiologi pendengaran.
2.2 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran
Telinga terdiri atas 3 bagian yaitu bagian luar, tengah dan dalam. Telinga luar
terdiri atas daun telinga dan liang telinga. Telinga luar dan tengah menghantarkan
suara ke koklea, yang memisahkan suara sesuai frekuensi sebelum suara ditransduksi
oleh sel rambut menjadi kode neural dalam serat saraf pendengaran. Pada telinga luar
terdapat konka yang paling penting secara akustik (Moller, 2006).
Sepertiga bagian lateral dari liang telinga adalah tulang rawan. Mengandung
kelenjar seruminosa dan kelenjar rambut. Bagian dua pertiga medial liang telinga
meliputi tulang. Liang telinga berbentuk tuba yang terbuka pada satu ujung dan
tertutup pada sisi lainnya, dikatakan sebagai resonator seperempat gelombang (Mills
dkk., 2006).
Telinga tengah merupakan rongga berisi udara yang terbagi atas kavum timpani
dan air cell mastoid (Probst dkk., 2006). Telinga tengah terdiri dari membran timpani
dan 3 tulang kecil yaitu maleus, inkus dan stapes. Di dalam telinga tengah juga
terdapat dua otot kecil yaitu m. tensor timpani yang melekat pada manubrium maleus
dan m. stapedius yang melekat pada stapes. M. tensor timpani dipersarafi oleh n.
trigeminus sedangkan m. stapedius dipersarafi oleh n. fasialis. Korda timpani adalah
cabang n. fasialis yang berjalan menyeberangi rongga telinga tengah. Tuba
Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan faring (Moller, 2006).
Membran timpani berbentuk agak oval dan merupakan selaput tipis pada ujung
liang telinga. Gendang telinga berbentuk kerucut dan agak cekung bila dilihat dari
liang telinga. Bagian utama dari gendang telinga disebut pars tensa dan bagian
kecilnya disebut pars flasida yang lebih tipis dan terletak di atas manubrium maleus.
Gendang telinga ditutupi oleh selapis sel epidermis yang berlanjut dari kulit liang
telinga. Tuba Eustachius terdiri dari bagian tulang atau protimpanum yang berlokasi
dekat rongga telinga tengah dan bagian tulang rawan yang membentuk celah tertutup
saat berakhir di nasofaring (Moller, 2006).
Telinga dalam atau labirin terletak di dalam tulang temporal, terdiri dari koklea dan
vestibular, Koklea atau rumah siput berupa dua setengah lingkaran dan vestibular terdiri dari
3 buah kanalis semisirkularis. Koklea memiliki 3 saluran yang terisi cairan yaitu skala
vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media yang berlokasi di tengah koklea,
dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran
basilar. Pada membran basilar ini terdapat organ Corti yang mengandung sel rambut (Moller,
2006).
Gambar 2.1 Anatomi Telinga (dikutip dari Ganong, 2009)
Organ Corti adalah organ sensori yang terstruktur baik. Terdapat 1 baris sel rambut
dalam dan 3 baris sel rambut luar pada bagian atas membran basilar dengan berbagai sel
pendukung yang bervariasi. Sel rambut adalah sel reseptor sensori dari pendengaran dan
keseimbangan serta sel yang paling penting dalam telinga dalam. Sel rambut memiliki
mekanoreseptor khusus yang mengubah stimulus mekanik yang berkaitan dengan
pendengaran dan keseimbangan menjadi informasi neural yang diteruskan ke otak (Oghalai
dan Brownell, 2004).
Koklea pada manusia membentuk 2 sampai 2 putaran dimana panjang
keseluruhannya sekitar 3,1-3,3 cm dan tinggi sekitar 0,5 cm (Moller, 2006). Koklea adalah
bagian telinga yang paling penting dan bisa dimengerti apa yang terjadi dalam koklea bisa
mengakibatkan banyaknya kunci permasalahan pendengaran. Koklea terisi oleh cairan yang
hampir tidak bertekanan dan juga memiliki dinding tulang yang kaku. Terbagi dua
panjangnya oleh dua membran, yaitu membran Reissner dan membran basilar (Mills dkk.,
2006).
Gambar 2.2 Potongan Melintang Koklea (dikutip dari Mills dkk., 2006)
Energi akustik memasuki koklea melalui kerja seperti piston dari kaki stapes pada
tingkap lonjong dan diteruskan langsung pada perilimfe dari skala vestibuli. Perilimfe dari
skala vestibuli berhubungan dengan perilimfe dari skala timpani melalui sebuah bukaan kecil
dari apeks koklea yang dikenal sebagai helikotrema (Mills dkk., 2006).
Ketika tingkap lonjong bergerak dengan adanya suara, perbedaaan tekanan
diaplikasikan menyeberangi membran basilar, yang mengakibatkan pergerakan
membran basilar. Perbedaan tekanan dan pola pergerakan membran basilar
memerlukan waktu untuk berkembang dan bervariasi tergantung panjangnya
membran basilar. Pola yang muncul tidak tergantung pada ujung mana dari koklea
yang distimulasi (Mills dkk., 2006).
Telinga luar diperdarahi oleh cabang aurikulotemporal a. temporalis superfisial di
bagian anterior, dan di bagian posterior diperdarahi oleh cabang aurikuloposterior a. karotis
eksterna. Kavum timpani diperdarahi oleh berbagai cabang a. karotis eksterna (a.meningea
media, a. faringeal ascenden, a.maksilaris dan a. stilomastoid). Telinga dalam diperdarahi
oleh a. labirin yang berasal dari a. antero inferior cerebellar atau a. basilaris. Arteri labirin ini
berjalan bersama n. vestibulokoklearis melalui kanalis auditorius internus, yang kemudian
terbagi menjadi a. vestibularis dan a. koklearis (Probst dkk., 2006). Arteri labirin adalah end-
artery dengan sedikit atau tanpa suplai darah kolateral ke koklea. Penting untuk dicatat
bahwa a. labirin yang berjalan di kanalis auditorius internus bukan arteri tunggal namun
berupa beberapa arteriol kecil, hampir seperti pleksus arteri (Moller, 2006).
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang suara dan liang telinga meneruskan gelombang ini yang
akan menggetarkan gendang telinga. Daun telinga juga membantu lokalisasi suara
dan lebih efisien dalam menyampaikan suara frekuensi tinggi dibanding frekuensi
rendah. Gelombang suara yang mencapai gendang telinga akan berjalan sepanjang
rantai pendengaran yang terdiri dari tulang inkus, maleus dan stapes. Gendang telinga
dalam rantai pendengaran paling efisien mentransmisikan suara antara 500 Hz dan
3000 Hz yang merupakan frekuensi yang paling penting untuk mengerti percakapan
(Lee, 2003).
Dalam penerimaan bunyi, proses transmisi dibedakan menjadi dua bagian sesuai
organ penerima, yaitu transmisi aerodinamik dimana stimulus bunyi berpindah dari
liang telinga ke membran timpani dan dari membran timpani ke tulang pendengaran.
Transmisi yang kedua adalah transmisi hidrodinamik yaitu stimulus bunyi berpindah
dari foramen ovale ke telinga dalam melalui cairan perilimfe dan endolimfe (Mills
dkk., 2006).
Telinga tengah mentransformasikan energi akustik dari media udara ke media
cairan. Ini adalah sistem pencocokan impedans untuk memastikan energi tidak hilang.
Dengan bergetarnya membran timpani, rantai pendengaran akan bergerak 1 rotasi
aksis dari processus anterior maleus melewati processus inkus. Dan ketika energi
suara mencapai tingkap lonjong, koklea mentransformasikan sinyal dari energi
mekanik menjadi energi hidrolik dan akhirnya sel-sel rambut menjadi energi
bioelektrik. Sejalan dengan keluar dan masuknya footplate stapes dari tingkap
lonjong, sebuah gelombang yang berjalan diciptakan dalam koklea melalui teori
gelombang Bekessy (Lee, 2003).
Sepanjang perjalanan gelombang melalui koklea, gelombang ini mengakibatkan
pergerakan membran basilar dan membran tektorial. Perbedaan gerakan kedua
membran mengakibatkan terlipatnya sel rambut stereosilia. Lipatan ini
mendepolarisasi sel rambut yang akibatnya memulai impuls aferen saraf (Lee, 2003).
Gelombang suara berjalan dari dasar ke apeks sepanjang membran basilar
sampai gelombang mencapai maksimum. Perjalanan gelombang ini ditentukan oleh
interaksi frekuensi suara dan membran basilar. Sel rambut luar mudah bergerak,
bereaksi mekanik pada sinyal yang datang dengan memendek dan memanjang
tergantung karakteristik frekuensi. Sel rambut luar adalah bagian dari umpan balik
mekanisme aktif, menyesuaikan kekuatan fisik dari membran basilaris sehingga
frekuensi yang diberikan secara maksimal menstimulasi sel rambut dalam (Lee,
2003).
Neuron frekuensi tertentu mentransmisikan kode neural dari sel rambut ke sistem
auditorius. Sekali impuls saraf terinisiasi, sinyal ini akan berjalan sepanjang jaras
pendengaran dari sel ganglion spiral dalam koklea ke modiolus, dimana serat ini
membentuk cabang koklea dari N. VIII. Lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran atau area 39-40 di lobus temporalis (Lee, 2003).
2.3 Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik kronis dengan ciri
hiperglikemia. Terdapat beberapa tipe diabetes melitus yang disebabkan interaksi
kompleks antara faktor genetika dan lingkungan. Faktor yang mengakibatkan
hiperglikemia termasuk menurunnya sekresi insulin, penurunan penggunaan glukosa
dan peningkatan produksi glukosa (Powers, 2008).
World Health Organization atau WHO memperkirakan terdapat lebih dari 180
juta penderita diabetes melitus di seluruh dunia. Prevalensi diabetes melitus di
seluruh dunia meningkat dengan cepat dan diperkirakan akan mengalami peningkatan
dua kali lipat dalam 20 tahun mendatang. Meskipun prevalensi diabetes melitus tipe 1
dan tipe 2 menunjukkan kecenderungan meningkat di seluruh penjuru dunia,
prevalensi diabetes melitus tipe 2 meningkat lebih cepat dibanding diabetes melitus
tipe 1. Hal ini disebabkan meningkatnya kasus obesitas dan berkurangnya aktivitas
gerak manusia sejalan dengan berkembangnya negara menuju negara industrialisasi.
Gangguan metabolik akibat diabetes melitus mengakibatkan perubahan patofisiologi
sekunder dalam banyak sistem organ sehingga menjadi beban berat bagi penderita
dan sarana pelayanan kesehatan (Powers, 2008).
2.3.1 Klasifikasi diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association 2012, klasifikasi diabetes melitus
mencakup empat gejala klinis yaitu: 1) Diabetes melitus tipe 1 yaitu akibat destruksi
sel beta yang mengakibatkan defisiensi insulin yang absolut 2) Diabetes melitus tipe
2 yaitu akibat gangguan sekresi insulin yang progresif sehingga terjadi resistensi
insulin 3) Diabetes spesifik karena sebab yang lain misalnya karena kelainan genetik
fungsi sel beta, kelainan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas
seperti pada kistik fibrosis dan diabetes yang dicetuskan akibat obat atau bahan kimia
seperti pada terapi AIDS atau setelah transplantasi organ 4) Diabetes Melitus
Gestasional atau GDM yaitu diabetes melitus yang terdiagnosis dalam kehamilan.
Diabetes melitus tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Melitus
disingkat NIDDM, sebelumnya disebut diabetes dengan onset dewasa. Tipe ini adalah
tipe yang paling sering terjadi. Pada tipe ini disposisi genetik juga berperan penting,
namun terdapat defisiensi insulin relatif dan penderita tidak mutlak bergantung pada
asupan insulin dari luar. Pelepasan insulin dapat normal atau meningkat, tetapi organ
target memiliki sensitivitas yang berkurang terhadap insulin (Waspadji, 2006).
Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 memiliki berat badan berlebih
atau obesitas. Obesitas terjadi karena adanya disposisi genetik, asupan makanan yang
terlalu banyak dan aktivitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan antara
asupan dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi asam lemak dalam darah.
Hal ini menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak, akibatnya terjadi
resistensi insulin yang meningkatkan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun
pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat (Waspadji, 2006).
2.3.2 Gejala diabetes melitus
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus terkait dengan kerusakan, disfungsi,
kegagalan berbagai organ jangka panjang terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah. Gejala hiperglikemia berupa poliuria, polidipsi, berat badan
menurun, kadang-kadang polifagia dan penglihatan kabur. Gangguan pertumbuhan
dan infeksi sering terjadi akibat komplikasi kronis hiperglikemia. Diabetes melitus
tipe 2 sering kali tidak terdiagnosis sampai terjadi komplikasi, dan sekitar sepertiga
penderita dengan diabetes melitus tidak terdiagnosis (Powers, 2008).
Diabetik neuropati muncul pada kurang lebih 50% individu dengan diabetes
melitus tipe 1 dan tipe 2. Manifestasinya bisa berupa polineuropati, mononeuropati
dan atau neuropati otonom. Seperti komplikasi lainnya, neuropati berkorelasi dengan
durasi diabetes melitus dan terkendalinya kadar gula darah. Faktor risiko lain yang
meningkatkan risiko neuropati adalah peningkatan Indeks Massa Tubuh atau IMT
dan merokok. Adanya penyakit kardiovaskuler, peningkatan trigliserida dan
hipertensi juga berkaitan dengan neuropati diabetik perifer. Bentuk neuropati yang
paling umum adalah polineuropati distal yang bersifat simetris. Keluhan yang paling
sering adalah penurunan sensibilitas distal, tetapi lebih dari 50% penderita tidak
memiliki gejala tersebut. Keluhan lain yang mungkin adalah hiperestesi, parestesi dan
disestesi. Keluhan berupa rasa tebal, kesemutan, rasa tajam atau seperti terbakar yang
dimulai dari telapak kaki dan menyebar ke proksimal (Power, 2008).
2.3.3 Diagnosis diabetes melitus
Kriteria diagnosis diabetes melitus menurut ADA (2012) adalah sebagai berikut:
1) HbA1C 6, 5 % atau 2) Gula Darah Puasa 126 mg/dl atau 3) 2 jam PP 200
mg/dl atau 4) Gula Darah Sewaktu 200 mg/dl pada pasien dengan gejala klasik
hiperglikemia. Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikolasi, disingkat HbA1C merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8 sampai 12 minggu sebelumnya. Tes
ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.
Pemeriksaan HbA1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam
setahun (Konsensus DM, 2011).
2.3.4 Komplikasi kronis diabetes melitus
Pada pasien diabetes melitus, semua sel pada tubuh terpapar akibat tingginya
kadar glukosa plasma tetapi telah diobservasi bahwa gejala komplikasi hanya muncul
pada beberapa organ. Hal ini bisa disebabkan beberapa komplikasi tidak dikenal atau
hanya sel tertentu yang dipengaruhi oleh hiperglikemia. Organ Corti sebagai organ
pendengaran memiliki komponen yang kompleks dan struktur yang menjadi target
organ yang berpotensial rusak akibat hiperglikemia (Pemmaiah dan Srinivas, 2011).
Komplikasi kronis diabetes melitus bisa terbagi menjadi komplikasi vaskuler dan
non vaskuler. Komplikasi vaskuler terbagi menjadi komplikasi mikrovaskuler seperti
retinopati, neuropati, nefropati dan makrovaskuler seperti penyakit arteri koroner,
penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskuler. Komplikasi nonvaskuler mencakup
gastroparesis, infeksi dan perubahan kulit (Powers, 2008).
Komplikasi mikrovaskuler baik pada tipe 1 ataupun tipe 2 dari diabetes melitus
disebabkan oleh hiperglikemia kronis. Sebuah studi Randomized Clinical Trial telah
menunjukkan bahwa penurunan hiperglikemia kronis menurunkan atau menunda
terjadinya retinopati, neuropati dan nefropati. Beberapa pasien diabetes melitus tidak
menderita nefropati atau retinopati meskipun dengan kadar gula darah yang sama
dengan pasien komplikasi mikrovaskuler lain, sehingga dicurigai adanya faktor
genetika sebagai penyebab komplikasi tertentu. Diabetes melitus kronis bisa
mengakibatkan gangguan pendengaran (Powers, 2008).
Di antara gangguan metabolisme glukosa lainnya, diabetes melitus disebut
sebagai penyakit yang paling sering dikaitkan dengan gangguan pendengaran.
(Rajendran dkk., 2011). Bahkan diabetes melitus disebutkan sebagai penyebab mayor
gangguan pendengaran sensorineural (Slenkovich, 1996).
Selain metabolisme
karbohidrat, diabetes melitus juga mempengaruhi metabolisme lipid dan protein.
Meskipun penyebab diabetes melitus bervariasi, manifestasi yang paling umum
adalah hiperglikemia (Rajendran dkk., 2011).
Diabetes melitus adalah penyakit multisistem yang kompleks dan memerlukan
monitoring rutin untuk komplikasi yang sudah dikenal seperti komplikasi ke ginjal,
penglihatan dan sistem saraf tepi. Banyak penelitian yang telah menunjukkan adanya
peningkatan risiko gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus, tetapi
variabel pengganggu seperti paparan bising, obat ototoksik, presbikusis dan gejala
lain yang juga mempengaruhi metabolisme glukosa dan fungsi koklea membuat sulit
untuk menegakkan hubungan ini (Hirose, 2008).
Untuk mencegah terjadinya komplikasi kronis, diperlukan pengendalian diabetes
melitus yang baik dan merupakan sasaran pengobatan. Diabetes terkendali baik,
apabila glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan HbA1C
juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian juga status gizi dan tekanan darah
(Konsensus DM, 2011).
2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Mengakibatkan Gangguan Pendengaran
Sensorineural
Sebelum tahun 1960, terdapat 3 teori utama yang disebutkan sebagai
patofisiologi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes yaitu
teori neuropati, angiopati dan gabungan teori neuropati angiopati (Taylor dan Irwin,
1978). Sampai saat ini ketiga teori tersebut di atas masih banyak diperdebatkan.
Angiopati pada telinga dalam mengakibatkan gangguan pendengaran baik secara
langsung dengan melibatkan suplai darah ke koklea akibat menurunnya transport
nutrisi sebagai akibat penebalan dinding kapiler maupun secara tidak langsung,
dengan cara menurunkan aliran darah melalui pembuluh darah yang menyempit atau
mengakibatkan degenerasi sekunder pada N. VIII (Taylor dan Irwin, 1978).
Neuropati sebagai penyebab utama gangguan pendengaran pada diabetes melitus
disebutkan oleh Friedman pada tahun 1975. Studi ini menyatakan bahwa PAS positif
dengan penebalan yang luas dan demielinisasi N.VIII berdasarkan studi histopatologi
yang dilaksanakan oleh Makishima dan Tanaka adalah patogenesis yang sangat
penting sebagai penyebab gangguan pendengaran. Sedangkan Maskihima dan Tanaka
menyatakan bahwa gangguan pendengaran pada diabetes disebabkan oleh degenerasi
saraf dan lesi vaskuler merupakan salah satu faktor terpenting yang menyebabkan
degenerasi saraf (Taylor dan Irwin, 1978).
Satu kemungkinan adalah perubahan mikrovaskuler yang sering mengakibatkan
nefropati dan retinopati, juga mempengaruhi vaskularisasi koklea. Perubahan
patologik yang menyertai diabetes melitus bisa melukai pembuluh darah atau sistem
saraf dari telinga dalam yang mengakibatkan gangguan pendengaran sensorineural
(Bainbridge dkk., 2008).
Studi Lisowska dkk. (2001) menyatakan bahwa gangguan pendengaran akibat
diabetes melitus bisa terjadi akibat mikroangiopati pada telinga dalam, degenerasi
neuronal atau ensefalopati diabetik tetapi bisa juga akibat gangguan metabolisme
glukosa dan mekanisme hiperaktivitas pada radikal oksigen bebas. Perubahan
patologis dan gangguan metabolisme bisa berakibat gangguan pada koklea,
retrokoklea atau kombinasi koklea-retrokoklea.
Studi histopatologi menunjukkan adanya kerusakan pada saraf dan pembuluh
darah telinga dalam pada individu dengan diabetes melitus. Pembuluh darah
membran basilaris dan striae vaskularis terbukti lebih tebal pada penderita diabetes
melitus. Selain penebalan pembuluh darah, striae vaskularis yang atrofi dan hilangnya
sel rambut luar mengakibatkan adanya gangguan pendengaran. Perubahan vaskular
ini telah diteorikan sebagai penyebab penting degenerasi saraf pada sistem auditori.
Studi ini menyimpulkan mikroangiopati pada koklea, degenerasi striae vaskularis dan
hilangnya sel rambut luar pada koklea sebagai penyebab gangguan pendengaran pada
penderita diabetes melitus tipe 2 (Fukushima dkk., 2006). Dengan adanya perubahan
histopatologi ini, maka gangguan pendengaran yang ditemukan pada audiometri bisa
berupa tipe sensori, tipe neural atau gabungan sensori dan neural (Irwin, 1987).
2.4.1 Mekanisme komplikasi
Koklea terutama striae vaskularisnya, adalah organ yang sangat tergantung pada
mikrovaskuler. Permeabilitas endotel yang meningkat bisa mengakibatkan perubahan
pada keseimbangan elektrolit pendengaran dalam endolimfe yang berakibat tranduksi
sel-sel rambut dan transmisi signal (Frisina dkk., 2006). Sedangkan organ Corti
sebagai organ pendengaran memiliki komponen yang kompleks dan menjadi target
organ yang berpotensial rusak akibat hiperglikemia (Pemmaiah dan Srinivas, 2011).
Meskipun hiperglikemia kronis adalah faktor penyebab penting terjadinya
komplikasi diabetes melitus, mekanisme pasti yang mengakibatkan disfungsi
bermacam sel dan organ belum jelas diketahui. Empat teori telah dipakai untuk
menjelaskan hal ini yaitu: 1) Peningkatan glukosa intrasel mengakibatkan
pembentukan advanced glycosylation end products atau AGEs melalui non enzim
glikolasi dari protein intra dan ekstraselular, 2) hiperglikemi meningkatkan
metabolisme glukosa melalui jalur sorbitol, 3) hiperglikemia meningkatkan
pembentukan diasilgliserol yang mengakibatkan aktvasi protein kinase C atau PKC,
4) Hiperglikemi meningkatkan aliran darah melalui jalur heksosamin, yang
menyebabkan terbentuknya fruktosa 6 fosfat, sebuah bahan yang menghasilkan
produk glikosilasi O- linked dan proteoglikan (Powers, 2008).
Sedangkan menurut Frisina dkk. (2006), hiperglikemi mengakibatkan perubahan
biokimia dalam sistem metabolik penderita. Tiga konsekuensi utama berupa
pemecahan non enzimatik, aktivasi jalur polyol dan generasi Reactive Oxygen
Species atau ROS. Meskipun semua individu dengan proses penuaan mengalami
proses fisiologik abnormal yang sama seperti oksidasi yang meningkat, glikasi dan
meningkatnya produk akhir selama metabolisme oksidatif, proses ini terjadi lebih
cepat pada penderita diabetes melitus. Dengan kata lain terjadi penuaan dini akibat
diabetes melitus. Diagram di bawah ini menunjukkan jalur biokimiawi penurunan
pendengaran terhadap sensori end organ seperti koklea pada diabetes melitus tipe 2.
Hiperglikemia
Stress oksidatif AGEs Diasilgliserol
Aktivasi Protein Kinase C (PKC)
Komplikasi Vaskuler Perubahan Selular Gangguan metabolik
pembentukan NO perubahan kolagen IV produksi amadori
Permeabilitas endotel akumulasi matriks sel produksi Schiff
Penebalan endotel degradasi matiks sel radikal bebas
Aktivitas TGF formasi mikrotubulus Na/K+/ATPase
Ekspresi VEGF protein cross-linking intrasel Polyol pathway
Ekspresi VPF protein cross-linking intersel Reaksi Maillard
Aterosklerosis strand DNA tunggal pecah
Perfusi endoneurial PNS myelin protein glycated
Gangguan pendengaran
Gambar 2.3 Diagram jalur biokimiawi penurunan pendengaran terhadap
sensori end organ seperti koklea pada diabetes melitus tipe 2 (dikutip dari
Frisina dkk., 2006)
2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan pendengaran sensorineural pada
diabetes melitus
Berbagai penelitian juga dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural pada penderita
diabetes melitus seperti durasi, kendali glikemik yang dinilai melalui angka HbA1C,
umur, jenis kelamin, hipertensi dan komplikasi diabetes melitus. Semua penelitian ini
masih dengan hasil yang berbeda-beda.
Faktor yang diduga berpengaruh terhadap gangguan pendengaran banyak diteliti.
Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah durasi beserta kendali glikemik dengan
berbagai variasi hasil. Karena hipertensi merupakan salah satu penyebab gangguan
pendengaran sensorineural dan penderita diabetes melitus tipe 2 umumnya disertai
hipertensi, maka dalam penelitian ini hipertensi bersama dengan diabetes melitus juga
diukur untuk mengetahui adanya faktor risiko yang lebih tinggi dibanding diabetes
tanpa hipertensi.
Dalam penelitian Limardjo dkk. (2011) dibuktikan bahwa umur memberikan
peranan terhadap kejadian gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus
tipe 2. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi umur akan meningkatkan risiko
terjadinya gangguan pendengaran sensorineural. Sedangkan penelitian Mozzafari
dkk. (2010) melaporkan tidak adanya hubungan antara umur mulainya diabetes dan
gula darah puasa dengan gangguan pendengaran. Dalam penelitian ini, umur
dikendalikan sehingga sampel hanya diambil yang berumur maksimal 60 tahun untuk
menghindari bias dengan presbikusis dan dilakukan matching umur antara kelompok
kasus dan kelompok kontrol.
Mengenai predileksi jenis kelamin gangguan pendengaran akibat diabetes
melitus, Taylor dan Irwin (1978) memperhatikan bahwa risiko gangguan
pendengaran pada perempuan dengan diabetes melitus tipe I secara signikan lebih
tinggi. Sedangkan studi oleh Bener dkk. (2008) menyatakan pada pasien diabetes
melitus tipe II yang berusia lebih dari 50 tahun, risiko gangguan pendengaran pada
pria lebih tinggi dibanding wanita. Dan studi Rajendran dkk. (2011) melaporkan tidak
adanya peningkatan risiko pada diabetes melitus tipe II berdasar predileksi kelamin.
Dalam penelitian ini jenis kelamin dikendalikan dengan matching antara kelompok
kasus dan kelompok kontrol.
Faktor genetika juga mempengaruhi gangguan pendengaran sensorineural pada
populasi kecil dengan diabetes melitus (Kakarlapudi dkk., 2003). Penderita dengan
Maternally Inherited Diabetes and Deafness (MIDD) dan penderita dengan miopati,
ensefalopati, asidosis laktat dan stroke - like episode (MELAS) menunjukkan
diabetes dan gangguan pendengaran akibat mutasi mitokondria DNA A3243G
(Takeshima dan Nakashima, 2005). Penyakit MIDD umumnya terdeteksi pada usia
dewasa muda dengan range usia yang besar untuk saat mulainya penyakit. Dalam
penelitian ini, faktor genetika sebagai faktor yang mempengaruhi gangguan
pendengaran sensorineural tidak diukur. Riwayat gangguan pendengaran dalam
keluarga hanya berdasar anamnesis yang didapat dari penderita.
2.4.2.1 Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan
pendengaran sensorineural
Diabetes melitus adalah penyakit yang bersifat kronis, hanya bisa dikendalikan.
Efek hiperglikemia kronis menimbulkan terjadinya komplikasi. Risiko komplikasi
pada diabetes melitus meningkat sejalan dengan kronisnya penyakit (Powers, 2008).
Durasi menderita diabetes melitus diperkirakan berkaitan dengan risiko gangguan
pendengaran melalui dasar pemikiran bahwa diabetes dengan kondisi hiperglikemia
kronis mengakibatkan komplikasi pada banyak organ dan salah satunya adalah organ
pendengaran.
Durasi dengan gangguan pendengaran banyak diteliti dengan berbagai variasi
hasil. Penelitian oleh Limardjo dkk. (2011) mendapatkan hasil adanya hubungan
antara durasi menderita diabetes melitus 10 tahun dengan gangguan pendengaran (p
= 0, 00). Penelitian Mozzafari dkk. (2010) melaporkan durasi menderita diabetes
melitus yang mengakibatkan gangguan pendengaran adalah 11.7 7, 6 tahun (p <
0.001). Sedangkan penelitian Panchu (2009) mendapatkan hasil yang berlawanan
dengan hasil Limardjo dkk. (2011) serta Mozzafari dkk. (2010) yaitu durasi
menderita diabetes melitus lebih dari 10 tahun tidak mempengaruhi ambang
pendengaran pada penderitanya.
2.4.2.2 Kendali glikemik buruk pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan
risiko gangguan pendengaran sensorineural
Kendali glikemik yang optimal sangat penting. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
komplikasi diabetes dapat dicegah dengan kendali glikemik yang optimal (Konsensus
DM, 2011). Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) melaporkan bahwa
perbaikan kendali glikemik yang dinilai melalui nilai HbA1C menurunkan angka
kejadian retinopati sebanyak 47 %, mikroalbuminuria 39 %, nefropati 54 %, dan
neuropati 60%. Kendali glikemik yang baik juga menurunkan angka komplikasi dini.
Perbaikan kendali glikemik dilaporkan melalui rata-rata nilai HbA1C longitudinal.
Tujuan terapi adalah sebisa mungkin mencapai nilai HbA1C yang disarankan tanpa
meningkatkan risiko hipoglikemia pada penderitanya.
Sedangkan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) melaporkan
setiap poin penurunan persentase HbA1C berkaitan dengan 35 % penurunan risiko
komplikasi mikrovaskuler. Perbaikan kendali glikemik juga mengakibatkan
perbaikan profil lipoprotein seperti trigliserida dan peningkatan HDL. Durasi dan
kendali glikemik disebut sebagai prediktor terbaik terjadinya retinopati (Powers,
2008).
Hemoglobin terglikolasi, sering disebut glikohemoglobin, HbA1C atau A1C
adalah sebuah terminologi yang dipakai untuk menjelaskan serangkaian komponen
minor hemoglobin yang stabil dan terbentuk lambat, secara nonenzimatik dari
hemoglobin dan glukosa (Goldstein dkk., 2004). Konsentrasi HbA1C yang terbentuk
melalui perlekatan non enzimatik glukosa pada hemoglobin secara umum menandai
nilai rata-rata glukosa dalam waktu 8-12 minggu, periode sesuai dengan siklus hidup
eritrosit (Nathan dkk., 2007).
Nilai HbA1C merupakan cermin rata-rata kadar gula darah dalam beberapa bulan
dan merupakan prediktor kuat terhadap komplikasi diabetes melitus (Sacks dkk.,
2002; Stratton dkk., 2000). Nilai HbA1C 7 % telah terbukti menurunkan
komplikasi mikrovaskuler dan pemeriksaan nilai HbA1C rutin setelah diagnosis
ditegakkan dapat menurunkan risiko jangka panjang makrovaskuler (ADA, 2012).
Nilai HbA1C juga memiliki beberapa keterbatasan karena adanya kondisi
tertentu yang mempengaruhi siklus pergantian eritrosit seperti hemolisis dan riwayat
perdarahan disertai varian hemoglobin. Dalam penelitian ini, sehubungan dengan
tidak tersedianya data HbA1C yang serial, maka nilai HbA1C penderita dalam kurun
waktu 3 bulan terakhir sebelum waktu pemeriksaan diambil mewakili nilai HbA1C.
Adanya hubungan yang signifikan antara kendali glikemik dengan gangguan
pendengaran dilaporkan pada 4 hasil penelitian (Ezeddin dkk., 2003; Panchu, 2009;
Pemmaiah dan Srinivas, 2011; Israel dkk., 2012). Sedangkan hasil yang tidak
signifikan dilaporkan pada 2 penelitian lainnya (Mozzafari dkk., 2010; Limardjo
dkk., 2011).
2.4.2.3 Hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko
gangguan pendengaran sensorineural
Semua sel dalam tubuh manusia membutuhkan suplai oksigen yang cukup dan
nutrisi dalam menjalankan fungsinya. Semua suplai ini tergantung pada integritas
organ, struktur jantung dan pembuluh darah. Hipertensi sebagai kelainan pembuluh
darah yang paling umum bisa berakibat perubahan struktur pada jantung dan
pembuluh darah. Tekanan yang tinggi pada sistem vaskularisasi bisa mengakibatkan
perdarahan pada telinga dalam yang mengakibatkan gangguan pendengaran yang
bersifat progresif atau mendadak. Kelainan pada sistem sirkulasi bisa berakibat
langsung pada pendengaran melalui berbagai cara. Salah satunya adalah melalui
peningkatan viskositas darah yang akan menurunkan aliran kapiler darah dan
berakibat penurunan transpor oksigen, kemudian mengakibatkan hipoksia jaringan
dan gangguan pendengaran. Selain itu hipertensi juga mengakibatkan perubahan ion
dalam potensial sel yang juga mengakibatkan gangguan pendengaran (Marchiori
dkk., 2006).
Pada studi eksperimental dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan
didapatkan hasil adanya perubahan potensial aksi, elektrokimia dan konsentrasi
kalium pada koklea tikus percobaan dengan hipertensi dibanding kelompok
normotensi. Sejalan dengan umur, kelompok tikus percobaan dengan hipertensi
menunjukkan peningkatan ambang potensial aksi, potensial elektrokimia dan
peningkatan konsentrasi kalium bukan hanya pada sel endolimfatik tetapi juga pada
sel perilimfatik. Data ini menunjukkan perubahan ion pada sel potensial aksi ikut
terlibat dalam penurunan pendengaran kelompok tikus percobaan dengan hipertensi
(Marchiori dkk., 2006).
Hipertensi bersama dengan diabetes melitus meningkatkan risiko terjadinya
gangguan pendengaran sensorineural juga diukur pada beberapa penelitian. Limardjo
dkk. (2011) melaporkan hasil hipertensi signifikan untuk gangguan pendengaran
dengan p = 0.001 sedangkan hasil penelitian Israel dkk. (2012) melaporkan hipertensi
tidak signifikan. Hubungan antara diabetes melitus dengan hipertensi juga dilaporkan
signifikan sesuai dengan adanya penelitian oleh Duck dkk. (1997) yang menemukan
bahwa hipertensi berinteraksi dengan diabetes melitus dalam patogenesis gangguan
pendengaran sensorineural.
2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran
Pemeriksaan telinga dan pendengaran selalu wajib dimulai dengan anamnesis
yang mencakup riwayat gangguan pendengaran herediter, vertigo, tinitus, riwayat
penyakit telinga sebelumnya, paparan bising dan obat ototosik. Anamnesis
dilanjutkan dengan inspeksi yang menyeluruh dari daun telinga dan sekitarnya.
Dengan otoskopi kemudian dinilai kondisi liang telinga dan membran timpani (Probst
dkk., 2006) Pemeriksaan hidung, nasofaring dan jalan nafas atas perlu dilaksanakan
secara teliti.
Evaluasi pendengaran dapat ditentukan dengan berbagai cara mulai dari
pengukuran sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat
pengukuran sederhana atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan alat khusus atau
kuantitatif misalnya dengan audiometri, Oto Acoustic Emission atau OAE, Auditory
Brainstem Response atau ABR dan Auditory Steady State Response atau ASSR. Pada
berbagai penelitian untuk mendeteksi adanya gangguan pendengaran pada pasien
diabetes melitus umumnya memakai pemeriksaan audiometri nada murni (Ezeddin
dkk. 2003; Bainbridge dkk., 2008; Panchu, 2009; Rajendran dkk., 2011). Dalam
penelitian ini, gangguan pendengaran dievaluasi dengan menggunakan audiometri
nada murni.
2.5.1 Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni adalah pengukuran sensitivitas pendengaran dengan
frekuensi yang dimulai dari 250 Hz sampai 8000 Hz. Pemeriksaan ini adalah dasar
dari evaluasi pendengaran dan dilaksanakan dalam ruang kedap suara. Pemeriksaan
audiometri digunakan untuk memeriksa seluruh sistem auditorius mulai dari telinga
luar sampai korteks auditorius (Sweetow dan Bold, 2004).
Pada audiometri nada murni, ambang didapatkan baik melalui konduksi udara
maupun konduksi tulang. Pada pengukuran konduksi udara, perbedaan stimulus nada
murni yang berbeda-beda ditransmisikan melalui earphone. Sinyal melewati liang
telinga masuk ke dalam kavum timpani melalui tulang pendengaran ke koklea dan
kemudian menuju sistem auditorius pusat. Ambang konduksi udara menggambarkan
mekanisme integritas auditorius perifer. Sedangkan pada pengukuran konduksi
tulang, sinyal ditransmisikan melalui getaran tulang yang biasanya diletakkan pada
prominentia mastoid. Nada murni secara langsung menstimulus koklea setelah
melewati liang telinga dan telinga tengah. Hasil audiometri berupa audiogram dalam
bentuk grafik yang menggambarkan ambang pendengaran dalam frekuensi (Bess dan
Humes, 2008).
Satuan stimulus diberikan dalam satuan desibel. Secara klinis, batas normal
untuk audiogram adalah 0-20 dB Hearing Level atau HL, dan 0-15 dB HL untuk
anak-anak (Hall dan Lewis, 2002). Sedangkan derajat gangguan pendengaran sesuai
World Health Organization atau WHO (1991) adalah ambang 25 dB dikategorikan
normal, ambang 26 - 40 dB dikategorikan gangguan pendengaran derajat ringan,
ambang 41 - 60 dB mencerminkan gangguan pendengaran sedang, ambang 61-80
dB dikategorikan gangguan pendengaran berat, 81 dB dikategorikan gangguan
pendengaran sangat berat. Frekuensi yang penting untuk mengerti percakapan adalah
diantara 500- 8000 Hz. Tipe gangguan pendengaran dijabarkan oleh perbandingan
antara konduksi udara dan tulang. Pada tuli konduksi, didapatkan hantaran tulang
yang normal dan gangguan terdapat pada hantaran udara sedangkan pada tuli
sensorineural tidak terdapat gap antara hantaran udara dan tulang (Hall dan Lewis,
2002).
2.6 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran Sensorineural Akibat Diabetes
Melitus Tipe 2
Gangguan pendengaran dikatakan sebagai komplikasi yang kurang dikenal pada
penderita diabetes melitus, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penderita
diabetes melitus, maka diperkirakan kasus gangguan pendengaran juga akan semakin
banyak. Sedangkan deteksi dini gangguan pendengaran sangat penting dilaksanakan
karena gangguan pendengaran meningkatkan beban ekonomi secara signifikan dan
mengakibatkan penurunan kualitas hidup penderita.
Dalam literatur, diabetes melitus telah dinyatakan sebagai salah satu penyebab
tuli sensorineural, dan telah banyak penelitian yang menyatakan adanya peningkatan
risiko meskipun dengan patofisiologi yang masih banyak diperdebatkan. Faktor-
faktor risiko yang mempengaruhi banyak diteliti untuk usaha intervensi dini.
Gangguan pendengaran sensorineural adalah kondisi yang ireversibel secara umum.
Karena mayoritas kasus gangguan pendengaran sensorineural memiliki prognosis
yang buruk, tujuan utama pada penatalaksanaan gangguan pendengaran akibat
diabetes melitus adalah pencegahan gangguan pendengaran yang lebih berat dan
perbaikan fungsi pendengaran dengan rehabilitasi.
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir mengacu kepada kerangka teori bahwa diabetes melitus
dengan adanya hiperglikemia kronis menimbulkan gangguan pendengaran
sensorineural berdasarkan teori neuropati dan angiopati. Faktor-faktor risiko yang
berpengaruh terhadap terjadinya gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes
melitus berdasarkan beberapa penelitian adalah umur, jenis kelamin, durasi, kendali
glikemik dan hipertensi. Faktor genetika juga sebagai salah satu risiko gangguan
pendengaran pada populasi kecil diabetes melitus tetapi tidak diteliti dalam penelitian
ini akibat terbatasnya sarana pembuktian.
Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah durasi beserta kendali glikemik
dengan berbagai variasi hasil penelitian. Umur berperan terhadap gangguan
pendengaran sensorineural dimana usia yang semakin tinggi akan meningkatkan
risiko. Dalam penelitian ini, umur dikendalikan sehingga sampel yang diambil
maksimal berumur 60 tahun saat diperiksa untuk menghindari bias presbikusis. Jenis
kelamin juga menunjukkan risiko yang berbeda dalam beberapa penelitian sehingga
dalam penelitian ini jenis kelamin dikendalikan dengan melakukan matching antara
kelompok kasus dengan kelompok kontrol.
Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 diperkirakan sebagai faktor risiko
gangguan pendengaran sensorineural dengan dasar pemikiran bahwa diabetes melitus
merupakan penyakit yang bersifat kronis. Risiko komplikasi gangguan pendengaran
akan semakin tinggi sejalan dengan kronisnya penyakit.
Komplikasi kronis gangguan pendengaran akibat diabetes melitus dapat dicegah
dengan kendali glikemik yang baik yaitu melalui indikator HbA1C dimana HbA1C
merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu
sebelumnya dan dianjurkan diperiksa setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.
Nilai HbA1C 7 % telah terbukti menurunkan komplikasi mikrovaskuler. Dalam
penelitian ini, HbA1C pasien yang 7 % dianggap kendali glikemik baik dan risiko
gangguan pendengaran sensorineural lebih tinggi pada pasien dengan kendali
glikemik buruk atau HbA1C > 7 %.
Penderita diabetes melitus umumnya disertai hipertensi dan hipertensi
berinteraksi dengan diabetes melitus terbukti meningkatkan risiko gangguan
pendengaran sensorineural dalam penelitian yang lain, maka dalam penelitian ini
hipertensi bersama dengan diabetes melitus juga diukur untuk mengetahui adanya
faktor risiko yang lebih tinggi dibanding diabetes tanpa hipertensi.
3.2 Konsep Penelitian
Konsep penelitian dapat digambarkan dengan diagram sebagai berikut:
Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
1. Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 yaitu 10 tahun meningkatkan risiko
gangguan pendengaran sensorineural.
2. Kendali glikemik buruk pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan HbA1C > 7
% meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural.
Diabetes Melitus
Faktor:
Durasi DM
Kendali glikemik (HbA1C)
Hipertensi
Keturunan
Umur
Jenis kelamin
Angiopati Neuropati
Gangguan Pendengaran Sensorineural
3. Hipertensi bersama dengan diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan
pendengaran sensorineural.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan
rancangan kasus kontrol dimana kelompok kasus adalah penderita diabetes melitus
tipe 2 dengan gangguan pendengaran sensorineural sedangkan kelompok kontrol
adalah penderita diabetes melitus tipe 2 tanpa gangguan pendengaran sensorineural.
Rancangan penelitian dapat digambarkan dalam bagan berikut ini:
Matching
Jenis Kelamin
Umur
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian
4 .2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di poliklinik THT-KL dan poliklinik Diabetic Centre
RSUP Sanglah Denpasar sejak 15 Agustus 2013 sampai 30 Desember 2013.
Penelitian dilakukan sesuai waktu pelayanan poliklinik rawat jalan RSUP Sanglah.
HbA1C
7 %
>7 %
Hipertensi
Tanpa hipertensi
Durasi
10 thn
< 10 thn
Kelompok Kasus
DM dengan SNHL
Kelompok Kontrol
DM tanpa SNHL
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi target penelitian adalah semua penderita diabetes melitus tipe 2.
Populasi terjangkau adalah penderita diabetes melitus tipe 2 yang berobat ke
Poliklinik Diabetic Centre RSUP Sanglah Denpasar selama waktu penelitian.
4.3.2 Sampel Penelitian
Pengambilan sampel pada kelompok kasus dan kontrol dilakukan secara
konsekutif sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian
dimasukkan dalam sampel penelitian sampai kurun waktu tertentu hingga terpenuhi
jumlah sampel yang diperlukan.
4.3.3 Kriteria Sampel
Kriteria kasus pada penelitian ini adalah penderita diabetes melitus tipe 2 dengan
gangguan pendengaran sensorineural. Sedangkan kriteria kontrol pada penelitian ini
adalah penderita diabetes melitus tipe 2 tanpa gangguan pendengaran sensorineural.
Kriteria kelompok kasus dan kelompok kontrol pada penelitian ini terdiri dari kriteria
inklusi dan kriteria eksklusi.
4.3.3.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: 1) Umur di bawah dan sama dengan
60 tahun, 2) Jenis kelamin laki-laki dan perempuan, 3) Penderita dengan riwayat
diabetes melitus tipe 2 berdasarkan diagnosis dokter di Diabetes Centre, RSUP
Sanglah, 4) Bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi dan menandatangani
formulir lembar persetujuan, 5) Secara klinis kondisi umum pasien baik dan
memungkinkan dilakukan penelitian.
4.3.3.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: 1) Pernah mengalami cedera kepala,
2). Sedang menderita radang akut pada telinga, hidung dan tenggorokan, 3) Pernah
menderita infeksi telinga tengah menahun atau penyakit telinga lain yang
menyebabkan gangguan pendengaran secara menetap, 4) Riwayat menggunakan
obat-obatan yang bersifat ototoksik dalam waktu lebih dari 3 bulan secara terus-
menerus, 5) Riwayat gangguan pendengaran usia muda pada orangtua yang bersifat
menurun, 6) Ada kelainan anatomi atau tumor pada daerah telinga, hidung dan
tenggorokan, 7) Riwayat paparan bising, 8) Pernah terpapar trauma ledakan bom,
dentuman atau letusan senjata api, 8) Riwayat anemia hemolitik dan paska
perdarahan akut.
4.3.4 Perhitungan Besar Sampel
Besar sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini dihitung
berdasarkan rumus studi kasus kontrol berpasangan (Madiyono dkk., 2010) yaitu :
n = [ Z 2 + Z PQ ] 2 dimana P = R (P- ) (1+R)
Dalam penelitian ini ditentukan OR = 3, = 0, 05 dan = 0,10 maka:
n= [ 1, 96 2 + 1,282 3/4 + 1/4 ] 2 3/4
n = 38 pasang sampel
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel
Variabel bebas : diabetes melitus tipe 2
Variabel tergantung : gangguan pendengaran sensorineural
Variabel perantara: durasi diabetes melitus tipe 2, kendali glikemik, hipertensi.
4.5 Definisi Operasional Variabel
a. Diabetes Melitus tipe 2: kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin yang progresif
sehingga terjadi resistensi insulin. Penelitian ini dibatasi pada subjek dengan
diagnosis diabetes melitus tipe 2 dari dokter di Diabetes Centre RSUP Sanglah.
b. Gangguan pendengaran sensorineural: tuli sensorineural dengan kelainan di
koklea atau nervus VIII yang mengakibatkan terhambatnya proses transmisi
impuls saraf ke pusat pendengaran di otak. Pada audiogram didapatkan ambang
pendengaran rata-rata pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz lebih dari 25
dB sesuai WHO (1991), konduksi udara dan tulang berimpit.
c. Pendengaran normal adalah pendengaran dimana pemeriksaan dengan
menggunakan audiometri nada murni didapatkan ambang pendengaran rata-rata
pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz adalah kurang dari dan sama
dengan 25 dB HL sesuai WHO (1991).
d. Umur adalah lama hidup yang dihitung berdasarkan tanggal lahir yang tercantum
pada rekam medis penderita dalam satuan tahun berdasarkan Kartu Tanda
Penduduk atau Surat Ijin Mengemudi. Dalam penelitian ini dibatasi pada
penderita diabetes melitus tipe 2 yang berusia kurang dari dan sama dengan 60
tahun untuk menghindari adanya bias presbikusis yaitu penurunan pendengaran
akibat usia. Dalam penelitian ini dilakukan matching umur antara kelompok
kontrol dengan kelompok kasus dengan range sebesar 5 tahun sehingga
didapatkan sampel kasus dan kontrol dengan kelompok umur 36-40 tahun, 41-45
tahun, 46-50 tahun, 51-55 tahun dan 56-60 tahun.
e. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pada sampel sesuai dengan yang tertera pada
Kartu Tanda Pengenal atau sesuai dengan data diri pada berkas rekam medis
pasien di RSUP Sanglah. Dalam penelitian ini, sampel terdiri dari jenis kelamin
pria atau wanita, dilakukan matching pada jenis kelamin sampel antara
kelompok kasus dengan kelompok kontrol.
f. Keturunan adalah riwayat gangguan pendengaran usia muda pada orangtua
sampel. Dalam penelitian ini terbatas pada hasil anamnesis adanya riwayat
gangguan pendengaran usia muda yang bersifat menurun pada orang tua sampel.
g. Durasi menderita diabetes melitus adalah satuan waktu dalam tahun yang
dimulai sejak penderita terdiagnosis diabetes melitus berdasarkan hasil
anamnesis. Dalam penelitian ini dibuat dalam data kategorik yaitu < 10 tahun
dan 10 tahun.
h. Kendali glikemik adalah adanya kadar gula darah rata-rata dalam 8-12 minggu
terakhir dan dibuktikan dengan adanya nilai HbA1C yang berada dalam batasan
normal. Nilai rujukan HbA1C yang dipakai dalam penelitian ini adalah 7 %,
menyesuaikan dengan target pengendalian diabetes melitus dalam Konsensus
Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia (2011).
HbA1C merupakan pemeriksaan rutin yang dilaksanakan pada setiap pasien
diabetes melitus setiap 3 bulan di Diabetic Centre RSUP Sanglah. Nilai HbA1C
terakhir yang terdata dalam rekam medis dan dilakukan dalam kurun waktu 3
bulan sebelum pemeriksaan pendengaran dicatat sebagai HbA1C penderita dan
dibuat dalam data kategorik yaitu kendali glikemik baik yaitu 7 % dan kendali
glikemik buruk yaitu > 7 % sesuai Konsensus Pengendalian dan Pencegahan
Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia (2011).
i. Hipertensi adalah orang dengan tekanan darah 130/80 mmHg sesuai dengan
Konsensus DM 2011 atau terdiagnosis hipertensi dari dokter di Diabetic Cen