26
2. Anastesi Intravena e. Obat Anastesi Intravena 1) Barbiturat Barbiturat adalah obat yang bertindak sebagai depresan sistem saraf pusat, dan menghasilkan efek yang luas, dari sedasi ringan sampai anestesi total. Barbiturat juga efektif sebagai anxiolitik, hipnotik, dan antikolvusan. Barbiturat memiliki potensi kecanduan, baik secara fisik dan psikologis. Golongan barbiturat biasanya digunakan untuk menimbulkan sedasi. Pentobarbital dan sekobarbital digunakan secara oral atau IM dengan dosis 100-150 mg orang dewasa dan 1 mg/kgBB pada anak diatas 6 bulan (Schmitz, 2009). Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4- trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan kurang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Yang mudah didapat adalah fenobarbital dengan efek depresan yang lemah terhadap pernafasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah (Schmitz, 2009). a) Mekanisme Kerja

Obat Anestesi IV

Embed Size (px)

DESCRIPTION

h

Citation preview

2. Anastesi Intravena

e. Obat Anastesi Intravena

1) BarbituratBarbiturat adalah obat yang bertindak sebagai depresan sistem saraf pusat, dan menghasilkan efek yang luas, dari sedasi ringan sampai anestesi total. Barbiturat juga efektif sebagai anxiolitik, hipnotik, dan antikolvusan. Barbiturat memiliki potensi kecanduan, baik secara fisik dan psikologis. Golongan barbiturat biasanya digunakan untuk menimbulkan sedasi. Pentobarbital dan sekobarbital digunakan secara oral atau IM dengan dosis 100-150 mg orang dewasa dan 1 mg/kgBB pada anak diatas 6 bulan (Schmitz, 2009).Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan kurang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Yang mudah didapat adalah fenobarbital dengan efek depresan yang lemah terhadap pernafasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah (Schmitz, 2009).

a) Mekanisme KerjaBarbiturat menyerang tempat ikatan tertentu pada reseptor GABA A sehingga kanal klorida terbuka lebih lama yang membuat klorida lebih banyak masuk sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan pengurangan sensitivitas sel-selGABA. Dimana barbturat merupakan kelanjutan efek terapi. Disini, barbiturat adalah agonis dari GABA yang bekerja mirip dengan GABA sehingga ketika terjadi hiperpolarisasi maka tidak terjadi depolarisasi sehingga tidak terjadi potensial aksi dan terjadinya anastesi (Schmitz, 2009).

Ketika anastesi telah berlangsung, perlu diperhatikan dalam penggunaan barbiturat. Sebab, barbiturat merupakan obat yang distribusinya luas. Karena seperti yang kita ketahui bahwa tahap-tahap anatesi ada empat tingkatan dan yang paling fatal adalah pada tingkat keempat dimana dapat terjadi koma bahkan kematian pada pasien (Schmitz, 2009).b) FarmakodinamikBarbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat. Distribusibarbituratdalam tubuhditentukan oleh kelarutan lipid,mengikatprotein,dan derajationisasi (Katzung, 2013).

c) FarmakokinetikBarbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak (tiopental yang terbesar) (Katzung, 2013).

Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati sebelum diekskresi di ginjal (Katzung, 2013)

d) Efek samping obat (Katzung, 2013)i. penurunan takanan darah arteri

ii. penurunan curah balik

iii. penurunan curah jantung

iv. depresi miokard

v. meningkatnya kapasitas vena2) BenzodiazepinBenzodiazepin adalah obat hipnotik-sedatif terpenting. Semua struktur yang pada benzodiazepine menunjukkan 1,4-benzodiazepin. Kebanyakan mengandung gugusan karboksamid dalam dalam struktur cincin heterosiklik beranggota 7. Substituen pada posisi 7 ini sangat penting dalam aktivitas hipnotik-sedatif. Pada umumnya, semua senyawa benzodiazepine memiliki empat daya kerja seperti efek anxiolitas, hipnotik-sedatif, antikonvulsan, dan relaksan otot. Setiap efek berbeda-beda tergantung pada derivatnya dan berdasarkan pengaruh GABA pada SSP. Benzodiazepine menimbulkan efek hasrat tidur bila diberi dalam dosis tinggi pada malam hari. Dan memberikan efek sedasi jika diberikan dalam dosis rendah pada siang hari (Katzung, 2013).a) Penggolongan BenzodiazepineBerdasarkan lama kerjanya, benzodiazepine dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok (Schmitz, 2009):

i. Long acting

Obat-obat ini dirombak dengan jalan demetilasi dan hidroksilasi menjadi metabolit aktif (sehingga memperpanjang waktu kerja) yang kemudian dirombak kembali menjadi oksazepam yang dikonjugasi menjadi glukoronida tak aktif. Metabolit aktif desmetil biasanya bersifat anxiolitas. Sehingga biasanya, zat long acting lebih banyak digunakan sebagai obat tidur walaupun efek induknya yang paling menonjol adalah sedative-hipnotik.

ii. Short acting

Obat-obat ini dimetabolisme tanpa menghasilkan zat aktif. Sehingga waktu kerjanya tidak diperpanjang. Obat-obat ini jarang menghasilkan efek sisa karena tidak terakumulasi pada penggunaan berulang.

iii. Ultra short acting

Lama kerjanya sangat kurang dari short acting. Hanya kurang dari 5,5 jam. Efek abstinensia lebih besar terjadi pada obat-obatan jenis ini. Selain sisa metabolit aktif menentukan untuk perpanjangan waktu kerja, afinitas terhadap reseptor juga sangant menentukan lamanya efek yang terjadi saat penggunaan. Semakin kuat zat berikatan pada reseptornya, semakin lama juga waktu kerjanya.

b) Mekanisme KerjaBenzodiazepin terikat pada saluran molekul klorida yang berfungsi sebagai reseptor GABA. Saluran ini mengandung reseptor GABA dimana banyak obat yang mempengaruhi SSP terikat pada saluran ini. Benzodiazepin terikat secara alosterikal pada saluran ini yang menyebabkan peningkatan afinitas GABA pada reseptornya. Dengan meningkatnya afinitas GABA pada reseptornya ini, maka efek eksitasi dari asetil kolin dihambat (Schmitz, 2009).

c) Farmakodinamik Sedasi dapat didefinisikan sebagai menurunnya tingkat respon stimulus yang tetap dengan penurunan dalam aktivitas dan ide spontan. Perubahan ini terjadi pada dosis yang rendah. Zat-zat benzodiazepin dapat menimbulkan efek hipnotik jika diberikan dalam dosis besar. Efeknya pada pola tidur normal adalah dengan menurunkan masa laten mulainya tidur, peningkatan lamanya tidur NREM tahap 2, penurunan lamanya tidur REM, dan penurunan lamanya tidur gelombang lambat (Katzung, 2013).Efek dalam dosis tinggi dapat mnekan susunan saraf pusat ke titik yang dikenal sebagai stadium III anestesi umum. Efek ini tergantung pada sifat fisikokimia yang menentukan kecepatan mulai dan lama efek zat tersebut. Dalam penggunaannya dalam bedah, selain efek anestesi, juga dimanfaatkan efek amnesia retrogradnya. Sehingga pasien bedah operatif tidak mengingat kejadian menyeramkan selama proses bedah (Katzung, 2013).Beberapa zat hipnotik-sedatif dapat menimbulkan depresi pernafasan pada pasien dengan penyakit paru obstruktif. Dan pada penyakit yang melemahkan sistem kardiovaskular bisa menyebabkan depresi kardiovaskular. Ini kemungkinan disebabkan oleh kerja pada pusat vasomotor pada medula oblongata. Pada dosis tinggi, kontraktilitas miokardium dan tonus vaskular mungkin akan tertekan yang akan menyebabkan kolaps sirkulasi. Efek terhadap respirasi dan kardiovaskular akan lebih jelas jika diberikan secara intravena (Schmitz, 2009).

d) FarmakokinetikBenzodiazepin merupakan basa lemah yang sangat efektif diarbsorbsi pada pH tinggi yang ditemukan dalam duodenum. Rearbsorbsi di usus berlangsung dengan baik karena sifat lipofil dari benzodiazepin dengan kadar maksimal dicapai pada sampai 2 jam. Pengecualian adalah pada penggunaan klordiazepoksida, oksazepam dan lorazepam. Karena sifatnya yang kurang lipofilik, maka kadar maksimumnya baru tercapai pada 1-4 jam. Distribusi terutama di otak, hati dan jantung. Beberapa diantara zat benzodiazepin mengalami siklus enterohepatik (Katzung, 2013).Jika diberikan suposituria, rearbsorbsinya agak lambat. Tetapi bila diberikan dalam bentuk larutan rektal khusus, rearbsorbsinya sangat cepat. Oleh karena itu bentuk ini sangat sering diberikan pada keadaan darurat seperti pada kejang demam (Katzung, 2013).

Karena zat-zat ini bersifat lipofilik, maka sawar plasenta mampu ditembus dan zat-zat ini dapat mencapai janin. Namun karena aliran darah ke palsenta relatif lambat, maka kecepatan dicapainya darah janin relatif lebih lambat dibandingkan ke sistem saraf pusat. Akan tetapi, jika zat ini diberikan saat sebelum lahir, maka akan menimbulkan penekanan fungsi vital neonates (Katzung, 2013).Metabolisme di hati sangat bertanggung jawab terhadap pembersihan dan eliminasi dari semua benzodiazepin. Kebanyakan benzodiazepin mengalami fase oksidasi, demetilasi, dan hidroksilasi menjadi bentuk aktif. Kemudian dikonjugasi mendai glukoronida oleh enzim glukoronil transferase (Katzung, 2013).Kebanyakan hasil metabolit benzodiazepin golongan long acting adalah dalam bentuk aktif yang mempunyai waktu paruh yang lebih lama dari induknya. Sehingga lebih dapat menyebabkan efek hang over dari pada golongan short acting pada penggunaan dosis ganda (Schmitz, 2009).

e) Efek Samping (Katzung, 2013).

i. amnesia anterograd

ii. kelelahan

iii. mengantuk

Tabel 1. Contoh Obat (Katzung, 2013)

GolonganObatSediaan

1. Barbiturat

a. Amobarbital

b. aprobarbital

c. mefobarbital

d. fenobarbital

e. talbutal

f. pentobarbital Oral: tablet (base) 30,50,100 mg

Oral; eliksir 40 mg/5 Ml

Oral: tablet 32, 50, 100 mg

Oral: tablet 8, 16, 32, 65, 100 mg

Oral: tablet 120 mg

Oral: kapsul 50, 100 mg

2. Benzodiazepina. Alprazolam

b. Diazepam

c. Klonazepam

d. Estazolam Oral : tablet 0,25 :0,5;1;2 mg

Oral; tablet 2, 5, 10 mg; larutan 5 mg/5ml

Oral; tablet 0,5 ;1,2 mg

Oral; tablet 1,2 mg

3) PropofolPropofol (2,6-diisopropylophenol) menjadi obat pilihan induksi anestesia, khususnya ketika bangun yang cepat dan sempurna diperlukan. Kecepatan onset sama dengan barbiturat intravena, masa pemulihan lebih cepat dan pasien dapat pulang berobat jalan lebih cepat setelah pemberian propofol. Kelebihan lainnya pasien merasa lebih nyaman pada periode paska bedah dibanding anestesi intravena lainnya. Mual dan muntah paska bedah lebih jarang karena propofol mempunyai efek anti muntah (Morgan, 2011).a) Mekanisme Kerja

Propofol adalah modulator selektif dari reseptor gamma amino butiric acid (GABAA) dan tidak terlihat memodulasi saluran ion ligand lainnya pada konsentrasi yang relevan secara klinis. Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi reseptor GABAA. GABA adalah neurotransmiter penghambat utama dalam susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi propofol dengan komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu meningkatkan laju disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampu meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh GABA dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel (Stoelting, 2010)b) Farmakokinetik

Pemberian propofol 1.5 2.5 mg/kg IV (setara dengan tiopental 4-5 mg/kg IV atau metoheksital 1.5 mg/kg IV) sebagai injeksi IV (2mg/kgBB IV) dan kecepatan pemberian ketamin mempengaruhi kejadian ini. Kelemahan psikis dan orang-orang pemimpi juga lebih mudah mengalaminya. Banyak obat telah digunakan untuk mengurangi reaksi ini, seperti golongan benzodiazepine (midazolam, lorazepam dan diazepam) (Morgan,2011)ii. Sistem Pernafasan

Ketamin menjaga patensi dari jalan nafas dan fungsi pernafasan, meningkatkan ventilasi serta mempunyai efek minimal terhadap pusat pernafasan dimana ketamin sedikit memberikan respon terhadap CO2. Ada penurunan sementara dari volume semenit setelah bolus 2 mg/kgBB intravena. Apnoe dapat terjadi setelah pemberian dengan cepat dan dosis yang tinggi, namun hal ini jarang terjadi. Bagaimanapun pemberian yang bersamaan dengan sedatif ataupun opioid dapat menyebabkan depresi pernafasan (Morgan, 2011).Efek ketamin terhadap bronkus adalah relaksasi otot polos bronkus. Ketika diberikan pada pasien dengan masalah pada jalan nafas dan bronkospasme, komplians paru dapat ditingkatkan. Ketamin seefektif halotan dalam mencegah bronkospasme. Mekanismenya adalah mungkin akibat rangsang simpatis ataupun ketamin dapat secara langsung mengantagonis efek spasme dari karbakol dan histamin. Karena efek bronkodilatasi ini, ketamin dapat digunakan untuk terapi status asmatikus yang tidak respon terhadap pengobatan konvensional (Reves, 2011)Masalah pada sistem pernafasan dapat timbul akibat efek hipersalivasi dan hipersekresi kelenjar mukus di trakea-bronkeal yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas akibat laringospasme. Atropin dapat diberikan untuk mengatasi hal ini. Aspirasi dapat terjadi walaupun refleks batuk, refleks menelan, refleks gag relatif intak setelah pemberian ketamine (Reves, 2011)iii. Sistem kardiovaskularKetamin menstimulasi sistem kardiovaskuler menyebabkan peningkatan tekanan darah, curah jantung, laju jantung, resistensi pembuluh darah sistemik, tekanan arteri pulmonalis, dan resistensi pembuluh darah pulmonal. Hal ini diakibatkan oleh karena peningkatan kerja dan kebutuhan oksigen otot jantung. Mekanisme ini sendiri masih dipertanyakan (Reves, 2011)Ada pendapat menyatakan bahwa efek-efek ini sebagai akibat peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis, sehingga pelepasan norepinefrin semakin besar yang diakibatkan oleh penekanan pada refleks baroreseptor. Pengaruh ketamin pada reseptor NMDA di nukleus traktus solitaries menyebabkan penekanan refleks baroreseptor ini. Ketamin memiliki sifat inotropik negatip terhadap otot jantung. Tetapi respon simpatis yang sentral selalu menutupi efek depresi otot jantung ini. Ketamin juga bekerja pada sistem saraf perifer dengan menginhibisi uptake intraneuronal dari katekolamin dan menginhibisi uptake norepinefrin ekstraneuronal pada terminal saraf simpatis (Morgan, 2011)Peningkatan tekanan darah sistolik pada orang dewasa yang mendapat dosis klinis ketamin adalah 20-40 mmHg dengan peningkatan sedikit tekanan darah diastol. Biasanya tekanan darah sistemik meningkat secara progresif dalam 3-5 menit pertama setelah injeksi intra vena ketamin dan kemudian akan menurun ke level sebelum injeksi 10-20 menit kemudian (Morgan, 2011).Ketamin merupakan obat pilihan yang paling rasional untuk induksi anestesi cepat pada pasien gawat darurat terutama pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil (Subramaniam, 2012).iv. EFEK SAMPINGKetamin mempunyai efek samping berupa mual, muntah, efek psikomimetik seperti halusinasi, diplopia, mimpi buruk, ansietas, euphoria (Subramaniam, 2012).DAFTAR PUSTAKA

Dhungana Y, Bhattarai BK, Bhadani UK, Biswas BK, Tripathi M. 2010. Prevention of hypotension during propofol induction : A comparison of preloading with 3,5% polymers of degraded gelatin (Haemaccel) and intravenous ephedrine. Nepal Med Coll J.

Katzung, Bertram G. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik.Edisi VI. Jakarta: EGC.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2011. Nonvolatile anesthetic agents. Clinical Anesthesiology, 4th ed. New York: McGraw Hill Companies.

Reves JG, Glass PS, Lubarsky DA. 2011. Nonbarbiturate intravenous anesthetics. In: Miller RD, 5th ed. Anesthesia. Philadelphia: Churchill Livingstone.

Schmitz, Gery. 2009. Farmakologi dan Toksikologi. Edisi III. Jakarta: EGC.

Stoelting RK, Hillier SC. 2010. Nonbarbiturat intravenous anesthetic drugs. In: Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology & physiology in anesthetic practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams.

Subramaniam K, Subramaniam B, Steinbrook RA. 2012. Ketamine as adjuvant analgesic to opioids. Anesth Analg.