Upload
phamcong
View
278
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS
VITAL PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU SPLIT PT.
INDONESIA PUTRA PRATAMA CILEGON
TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM)
DISUSUN OLEH:
NABILA DEWI ICHSANI
1111101000067
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1437 H/ 2015
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Desember 2015
Nabila Dewi Ichsani, NIM: 1111101000067
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja
Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
xvii + 89 halaman, 19 tabel, 14 gambar, 1 bagan, 5 lampiran
ABSTRAK
Penurunan kapasitas vital paru (KVP) dapat berupa restriksi, obstruksi
atau keduanya (gabungan restriksi dan obstruksi). Sejumlah faktor baik faktor
non-pekerjaan dan lingkungan kerja dapat memengaruhi turunnya KVP. Debu
merupakan salah satu faktor di lingkungan kerja yang dapat mengakibatkan
penurunan KVP pada pekerja seperti pada pekerja pengolahan batu split PT.
Indonesia Putra Pratama.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. Penelitian dilakukan pada Juni-
Oktober 2015. Faktor-faktor yang diteliti adalah kadar debu PM1,0 dan PM2,5,
suhu udara, kelembaban udara, masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker.
Sampel penelitian ini sebanyak 24 pekerja. Metode penelitian yang digunakan
adalah cross sectional. Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian
berupa spirometer, EPAM 5000, thermohygrometer digital, kuesioner dan lembar
observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami penurunan
KVP sebanyak 20,8%. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui variabel yang
berhubungan dengan KVP adalah variabel penggunaan masker (Pvalue = 0,01).
Untuk menurunkan risiko penurunan KVP pada pekerja pengolahan batu
split, disarankan agar pekerja segera meninggalkan lingkungan kerja apabila
pekerjaan telah selesai, menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja, dan
melakukan olahraga secara rutin.
Daftar bacaan : 85 (1978 – 2015)
Kata kunci : pekerja pengolahan batu split, kapasitas vital paru, paparan debu
iii
STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH
DEPARTEMENT OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergraduate Thesis, December 2015
Nabila Dewi Ichsani, NIM: 1111101000067
Factors Associated to Worker’s Vital Capacity at Split Stone Processing PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon 2015
xvii + 89 pages, 19 tables, 14 pictures, 1 schema, 5 attachments
ABSTRACT
The decrease level of vital capacity can be restriction, obstruction or both
of them. Some factors, like non jobs and environment can lead the decrease level
of vital capacity. Dust is one of environment factors which can causes the
decrease level of worker’s vital capacity like all split stone workers at PT.
Indonesia Putra Pratama.
The goals of this research is knowing all factors that have associated with
vital capacity in split stone processing workers of PT. Putra Pratama Indonesia
Cilegon 2015. The research was conducted on June-October 2015. The factors of
this research are dust level of PM1,0, and PM2,5, temperature, jumidity, work
period, exposure period and mask utilization. The total sample of this research are
24 workers. The method of this research was cross sectional. Data was collected
by using research instruments such as spirometers, EPAM 5000, digital
thermohygrometer, questionnaires and observation sheets.
The results showed the percentage of workers that had the decrease level
of vital capacity are 20,8%. Based on the results of statistical test, the variable that
known as associated with vital capacity is mask utilization (Pvalue = 0,01).
To reduce the decrease level of stone split worker’s vital capacity, it is
recommended that workers are leave the workplace right after the job is done, use
mask at work site all the time and have some workout or exercise.
References : 85 (1978 – 2015)
Keywords : split stone processing workers, vital capacity, dust exposure
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS PRIBADI
Nama : Nabila Dewi Ichsani
Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 26 Maret 1994
Alamat Asal : Jalan Haji Djiran No. 11 RT 003 RW 001
Kelurahan Pinang, Tangerang
Alamat Sekarang : Jl. Kertamukti Gang Buni (Lap. Rohama) No. 88E
RT. 005/09, Ciputat Timur, Tangerang Selatan,
Banten.
Agama : Islam
No. Telp : 082123187858
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
2011- 2015 : Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2008-2011 : SMA Budi Luhur Tangerang
2005-2008 : SMP Budi Luhur Tangerang
1999-2005 : SDN Pinang 3 Tangerang
vii
PENGALAMAN ORGANISASI
2010-2011 : Pengurus OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah)
SMA Budi Luhur Tangerang
2013-2014 : Anggota Environmental Health Student
Association (ENVIHSA) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
PENGALAMAN KERJA
1. Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Ciputat Timur, Tangerang
Selatan
2. Pengalaman Orientasi Kerja di RS Antam Medika Pulo Gadung
3. Pengalaman Orientasi Kerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Soekarno
Hatta
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu”
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, hidayah dan nikmat yang berlimpah, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Kondisi Lingkungan Yang Berhubungan
Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015”. Sholawat serta salam penulis
haturkan kepada Rasulullah SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di
akhirat nanti. Aamiin.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes selaku Kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat.
3. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Bapak dr. Yuli Prapanca Satar,
MARS selaku Dosen Pembimbing I dan II atas segala dukungan, saran, kritik,
semangat, dan kepercayaannya yang telah diberikan kepada penulis selama
penyusunan skripsi ini.
4. Dosen-dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat dan Peminatan Kesehatan
Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu
yang bermanfaat.
5. Keluarga yang selalu memberikan dukungan, nasehat serta doa demi
kelancaran penyusunan skripsi ini. Ayah, Mama, Uda Yopie, Abang Reno,
Uni Ratih, Uda Bayu, Kak Ira dan Bang Ijal. Terima kasih banyak!
6. PT. Indonesia Putra Pratama yang telah mengizinkan penulis melakukan
penelitian disana. Pak Cui, Pak Narno dan para staf yang telah membantu
penelitian ini.
ix
7. Teman-teman seperjuangan kesling 2011 (Efri, Onoy, Fia, Lifi, Mba Feela,
Shela, Ika, Ikoh, Rahmatika, Sarjeng, Awal, Eka, Pewe, Rois, Almen dan
Hari) dan terutama untuk Ayu, Betti, Niken, Tika, Cepol, Caca, dan Inu yang
telah membantu selama proses penyusunan skripsi.
8. Kak Ami yang telah membantu dalam pengambilan data di lapangan.
9. Para alien, Erin, Kiki dan Kadek, sahabat tersayang yang selalu memberi
semangat dan tidak berhenti mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Terakhir, Ilham Eka Praditya atas semangat, dorongan, saran, perhatian dan
kesabarannya dalam menghadapi keluh kesah penulis selama proses
penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran perbaikan dari pembaca.
“Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu”
Jakarta, November 2015
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i
ABSTRAK .............................................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
DAFTAR BAGAN ............................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 7
1.3 Pertanyaan Penelitian .................................................................................. 8
1.4 Tujuan ......................................................................................................... 9
1.4.1 Umum ......................................................................................................... 9
1.4.2 Khusus ........................................................................................................ 9
1.5 Manfaat Penelitan...................................................................................... 11
1.5.1 Bagi Perusahaan ........................................................................................ 12
1.5.2 Bagi Pekerja .............................................................................................. 11
1.5.3 Bagi Peneliti .............................................................................................. 11
1.6 Ruang Lingkup .......................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 12
2.1 Kapasitas Vital Paru .................................................................................. 12
2.1.1 Pengukuran Kapasitas Paru ....................................................................... 14
2.2 Pencemaran Udara .................................................................................... 17
2.3 Batu Split ................................................................................................... 19
2.4 Debu .......................................................................................................... 20
2.4.1 Sifat-Sifat Debu ......................................................................................... 21
2.4.2 Mekanisme Penimbunan Debu dalam Paru-Paru ...................................... 22
xi
2.4.3 Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Pengendapan Partikel Debu
di Paru ....................................................................................................... 26
2.4.4 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kadar Debu PM1,0 dan PM2,5 ............ 26
2.5 Faktor Karakteristik Individu Yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru . 28
2.5.1 Masa Kerja ................................................................................................ 28
2.5.2 Lama Paparan ............................................................................................ 29
2.5.3 Riwayat Penyakit ...................................................................................... 30
2.5.4 Riwayat Pekerjaan ..................................................................................... 30
2.5.5 Penggunaan Masker .................................................................................. 31
2.5.6 Kebiasaan Merokok .................................................................................. 32
2.5.7 Kebiasaan Olahraga .................................................................................. 33
2.6 Kondisi Lingkungan Yang Memengaruhi Pemajanan Debu .................... 33
2.7 Pencegahan Terhadap Gangguan Kesehatan dan Daya Kerja .................. 37
2.8 Kerangka Teori.......................................................................................... 40
BAB III KERANGKA KONSEP ......................................................................... 42
3.1 Kerangka Konsep ...................................................................................... 42
3.2 Definisi Operasional.................................................................................. 44
3.3 Hipotesis .................................................................................................... 46
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 47
4.1 Desain Studi .............................................................................................. 47
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 47
4.2.1 Lokasi Penelitian ....................................................................................... 47
4.2.2 Waktu Penelitian ....................................................................................... 47
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................ 47
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ..................................................................... 49
4.4.1.Kriteria Inklusi .......................................................................................... 49
4.4.2.Kriteria Eksklusi........................................................................................ 49
4.5 Instrumen Penelitian.................................................................................. 49
4.6 Sumber Data .............................................................................................. 50
4.7 Pengumpulan Data .................................................................................... 50
4.8 Pengolahan Data........................................................................................ 52
4.9 Analisis Data ............................................................................................. 54
xii
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 55
5.1 Gambaran Umum PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon.......................... 55
5.1.1 Visi dan Misi PT. Indonesia Putra Pratama .............................................. 55
5.1.2 Gambaran Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama
Cilegon ...................................................................................................... 56
5.2 Analisis Univariat...................................................................................... 60
5.2.1 Gambaran Kapasitas Vital Paru (KVP) Pada Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 60
5.2.2 Gambaran Kadar Debu PM1,0 Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 61
5.2.3 Gambaran Kadar Debu PM2,5 Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 61
5.2.4 Gambaran Suhu Udara Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indon56esia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ...................................... 62
5.2.5 Gambaran Kelembaban Udara Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 63
5.2.6 Gambaran Masa Kerja Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia
Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................................... 63
5.2.7 Gambaran Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 64
5.2.8 Gambaran Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 64
5.3 Analisis Bivariat ........................................................................................ 65
5.3.1 Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 65
5.3.2 Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 65
5.3.3 Hubungan Lama Paparan Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ................................... 66
5.3.4 Hubungan Penggunaan Masker Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 67
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 68
xiii
6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 68
6.2 Kapasitas Vital Paru .................................................................................. 68
6.3 Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 72
6.4 Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 77
6.5 Hubungan Lama Paparan Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ................................... 80
6.6 Hubungan Penggunaan Masker Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 83
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 86
7.1 Simpulan ................................................................................................... 86
7.2 Saran .......................................................................................................... 87
7.2.1 Bagi Pekerja .............................................................................................. 87
7.2.2 Bagi Perusahaan ........................................................................................ 88
7.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya ...................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Penilaian Kapasitas Paru..................................................... 15
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Andesit ..................................................................... 20
Tabel 2.3 Nilai Ambang Batas .............................................................................. 28
Tabel 2.4 Jenis dan Gambar Masker ..................................................................... 32
Tabel 2.5 Jenis dan Gambar Nozzle ...................................................................... 39
Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 44
Tabel 5.1 Tipe Batu Hasil Produksi Hasil PT. Indonesia Putra Pratama .............. 57
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ................... 60
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM1,0 Pada Proses Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .................... 61
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM2,5 Pada Proses Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .................... 62
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Suhu Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015 ............................. 62
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Kelembaban Udara Pada Proses Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .................... 63
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pada Pekerja Pengolahan Batu Split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ............................... 64
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ............................... 64
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ..................... 65
Tabel 5.10 Hubungan Kadar Debu PM1,0 dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ...................... 65
Tabel 5.11 Hubungan Masa Kerja dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ............................ 66
Tabel 5.12Hubungan Lama Paparan dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ............................. 66
xv
Tabel 5.13Hubungan Penggunaan Masker dan KVP pada pekerja Pengolahan
Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ......... 67
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru...................................... 22
Gambar 2.2 Single-strap dust masks ..................................................................... 32
Gambar 2.3 Masker debu ...................................................................................... 32
Gambar 2.4 Respirator setangah wajah ................................................................. 32
Gambar 2.5 Respirator seluruh wajah ................................................................... 32
Gambar 2.6 Solid-cone nozzle ............................................................................... 39
Gambar 2.7 Hollow-cone nozzle ........................................................................... 39
Gambar 2.8 Flat-spray nozzle ............................................................................... 39
Gambar 2.9 Fogging nozzle .................................................................................. 39
Gambar 2.10 Kerangka Teori ................................................................................ 41
Gambar 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 42
Gambar 5.1Penyiraman Pada Proses Pemecahan Batu ........................................ 59
Gambar 5.2 flat-spray nozzles ............................................................................. 60
Gambar 5.3 wet dust suppression systems ........................................................... 60
xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan 5.1Proses Pengolahan Batu Split di PT. Indonesia Putra Pratama ............ 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor yang memegang
peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Indonesia
mempunyai potensi berbagai jenis bahan tambang yang cukup melimpah salah
satunya adalah batuan bahan konstruksi dan industri. Pendayagunaan secara
bijak segala jenis bahan tambang dapat meningkatkan pendapatan dan
perekonomian nasional ataupun daerah (Kusuma, 2012). Pembangunan yang
berwawasan lingkungan telah diterima sebagai suatu prinsip Pembangunan
Nasional dengan berbagai peraturan pelaksanaannya. Walaupun demikian,
dalam prakteknya mekanisme yang ditetapkan belum berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Isu tentang pencemaran sering dijumpai di media massa akibat dan
dampak dari suatu kegiatan (Sucipto, 2007).
Kapasitas vital paru (KVP) adalah total jumlah udara maksimum yang
dapat dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum. Kapasitas vital paru
didapatkan dari penambahan tidak volume (TV), volume cadangan inspirasi
(VCI) dan volume cadangan ekspirasi (Tarwoto, 2009). Pengukuran KVP dapat
memberikan informasi menegani besarnya penyimpangan atau penurunan nilai
yang dapat menentukan paru seseorang dalam keadaan normal atau tidak (PDPI,
2013). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2008, penurunan KVP dapat berupa restriksi yaitu
terjadinya keterbatasan ekspansi paru (West, 2003), obstruksi yaitu penyempitan
2
jalus pernapasan (PDPI, 2013), atau bisa keduanya (gabungan restriksi dan
obstruksi).
Kapasitas paru akan berkurang pada penyakit paru-paru, penyakit jantung
(yang menimbulkan kongesti paru) dan kelemahan otot pernapasan (Pearce,
2008). Menurut Gill (2003), fungsi paru dapat dipengaruhi akibat sejumlah
faktor non-pekerjaan antara lain usia, kelamin, ukuran paru, ras, tinggi badan,
dan kebiasaan merokok. Beberapa hasil penelitian juga membuktikan bahwa ada
beberapa faktor yang berhubungan dengan KVP.
Penelitian yang dilakukan oleh Anugrah (2014), menjelaskan bahwa
terdapat hubungan antara masa kerja dan kapasitas vital paru pada pekerja
penggilingan divisi batu putih di PT. Sinar Utama Karya. Hal ini dapat terjadi
karena semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut
mempunyai risiko yang besar mengalami penurunan kapasitas vital paru
(Tamuntuan, 2013).
Faktor lainnya adalah lama paparan. Berdasarkan penelitan yang dilakukan
oleh Asna (2013), ditemukan bahwa adanya hubungan antara lama paparan
dengan penurunan kapasitas vital paru. Hal ini membuktikan bahwa lama
paparan berpengaruh negatif bagi seseorang yang bekerja karena semakin lama
terpapar, bahaya yang ditimbulkan oleh tempat kerja dapat mempengaruhi
kesehatan terutama saluran pernapasan.
Berdasarkan penelitian Ningrum (2009), diketahui bahwa penggunaan
masker berhubungan dengan terjadi gangguan fungsi paru (KVP di bawah
normal) pada pekerja unit II pengolahan NPK di industri PT. Petrokimia Gresik.
Masker berfungsi untuk mengurangi polutan yang masuk lewat rongga
3
pernafasan. Masker yang ideal adalah masker yang mampu meminimalkan udara
kotor yang masuk ke tubuh dan tidak mengganggu pernapasan (Mukono, 2003).
Lingkungan kerja juga dapat memengaruhi kapasitas vital paru.
Lingkungan kerja sering dijumpai penuh dengan debu, uap, gas, dan lainnya
yang merupakan hasil dari proses industri dan dapat menyebabkan pencemaran
udara sehingga mengganggu kesehatan pekerja terutama kesehatan paru.
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
No. 02/MENKLH/1988, pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke udara dan atau
berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga
kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara
menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Debu sebagai salah satu zat pencemar merupakan partikel benda padat
yang terjadi karena proses mekanis dan merupakan hasil sampingan dari proses
industri yang menggunakan bahan baku batuan seperti halnya pengolahan batu
split yang dilakukan oleh PT. Indonesia Putra Pratama. Debu industri yang
terdapat dalam udara terbagi dua, yaitu pertama deposit particulate matter
atau partikel debu yang hanya berada sementara di udara, dan akan segera
mengendap karena daya tarik bumi. Kedua adalah suspended particulate
matter atau debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap
(Sintorini, 2002).
Adapun proses pengolahan batu oleh PT. Indonesia Putra Pratama adalah
pemecahan, baik primer maupun sekunder, penyortiran, dan pengiriman. Proses
pengolahan batu split tersebut khususnya proses pemecahan berpotensi
4
meningkatkan kadar debu sehingga menurunkan kualitas udara di lingkungan
kerja dan dapat berdampak terhadap kesehatan paru pekerja.
Debu termasuk ke dalam substansi yang bersifat toksik (racun). Menurut
WHO (1993), debu menyebabkan refleks batuk atau spasme laring (penghentian
bernapas). Apabila debu menembus ke dalam paru, dapat mengakibatkan
bronkitis toksis, edema paru atau pneumonitis. Hasil penelitian secara medis
menunjukkan bahwa partikel debu yang berukuran 0,1 – 5 µm dapat tetap berada
dalam alveolis sebagai debu respirabel, sedangkan partikel yang berukuran lebih
besar akan tertahan membran mukosa dari hidung, tenggorokan, trakhea, dan
bronkus yang selanjutnya akan dikeluarkan melalui mekanisme kerja jantung
(Riyadina, 1996).
Dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan penumpukan
debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan seperti
penurunan kapasitas paru yang disebut obstruksi dan pneumoconiosis. Salah satu
bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah berkurangnya elastisitas paru
yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas vital paru. Partikel debu dapat
menimbulkan penurunan kapasitas vital paru, sehingga akan mengurangi
penggunaan optimal alat pernapasan untuk mengambil oksigen pada proses
respirasi (Sukarman, 1978).
Di Indonesia, angka sakit mencapai 70% dari pekerja yang sering
terpapar debu. Sebagian besar penyakit paru akibat kerja mempunyai akibat
serius yaitu terjadinya penurunan kapasitas paru, dengan gejala utama yaitu
sesak napas (Hesti, 2012). Hasil pemeriksaan kapasitas paru yang dilakukan di
balai HIPERKES dan Kesehatan Kerja Sulawesi selatan pada tahun 1999
5
terhadap 200 tenaga kerja di 8 perusahaan, diperoleh hasil sebesar 45%
responden yang mengalami restriktif, 1% responden yang mengalami obstruktif
dan 1% responden yang mengalami Combination (gabungan antara restriktif dan
obstruktif) (Sirait, 2010).
Tingginya angkat sakit akibat terpapar debu dapat terjadi karena minim
pelayanan kesehatan bagi pekerja. Menurut WHO, akses terhadap pelayanan
kesehatan kerja yang memadai di negara berkembang hanya mencakup 5–10%
pekerja sedangkan di negara industri 20–50% pekerja, dimana mayoritas pekerja
di negara-negara Asia belum memiliki sistem yang baik untuk menjamin hak
pekerjanya, terutama mengenai perlindungan penyakit akibat kerja, padahal
pekerja sebagai sumber daya manusia memegang peranan utama dalam proses
pembangunan industri sehingga peranan sumber daya manusia perlu mendapat
perhatian khusus baik kemampuan, keselamatan, maupun kesehatan kerjanya
(Hesti, 2012).
Selain terpapar oleh debu, kondisi lingkungan pada pengolahan batu split
seperti kelembaban dan suhu udara juga berdampak terhadap kapasitas vital paru
pekerja. Kelembaban udara bergantung pada berapa banyak uap air (dalam %)
yang terkandung di udara. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja secara
tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara dan merupakan penyebab
meningkatnya keluhan sesak napas yang merupakan gejala utama terjadinya
penurunan kapasitas vital paru. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu
kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran
(Suma’mur, 1996).
6
Ketika pekerja berada dan menghirup udara panas juga dapat
memperburuk gangguan pernapasan seperti PPOK dan meningkatkan
peradangan saluran napas. Paparan panas dapat memicu respon pernapasan
seperti terjadinya bronkospasme karena menghirup udara panas sehingga
menyebabkan kesulitan bernapas dan sesak napas. Menghirup udara panas juga
dapat memperburuk infeksi pernapasan, beberapa di antaranya dapat disebabkan
oleh serbuk sari atau jamur (Healthcommunities, 2013).
Penjelasan mengenai kelembaban dan suhu didukung penelitian yang
dilakukan oleh Sinurat (2013), yang menjelaskan bahwa adanya hubungan
antara kelembaban udara dan kapasitas vital paru pada pekerja Di PTP
Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2012) juga menyatakan bahwa adanya
hubungan antara suhu udara dengan kelainan faal paru (KVP dibawah normal)
pada pekerja penggilingan padi.
Dari studi pendahuluan menggunakan spirometri yang dilakukan pada 10
pekerja PT. Indonesia Putra Pratama di Cilegon, diketahui bahwa pekerja yang
mengalami restriksi ringan sebanyak 2 orang atau sebesar 20%, pekerja yang
mengalami obstruksi dan restriksi ringan (combination) sebanyak 1 orang atau
sebesar 10% dan pekerja 2 orang pekerja atau sebesar 20% mengalami keluhan
sesak napas dan batuk yang merupakan gejala utama terjadinya penurunan
kapasitas vital paru. Hasil pengamatan di lapangan pun menunjukkan rata-rata
pekerja tidak menggunakan masker saat berada di lokasi pengolahan batu.
Berdasarkan hasil pengukuran debu di lapangan yang dilakukan selama 1
jam, didapatkan dua jenis ukuran partikel debu yakni ukuran 1 mikron dan 2,5
7
mikron. Adapun kadar debu di udara didapatkan hasil sebesar 2,513 mg/m3
untuk partikel debu berukuran 1 mikron dan 6,526 mg/m3
untuk partikel debu
berukuran 2,5 mikron. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang
Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja, partikel debu berukuran
1 dan 2,5 mikron telah melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan yaitu
sebesar 2 mg/m3.
Dari fakta-fakta yang telah dijelaskan maka perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas
vital paru pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama, sehingga
diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dilakukan tindakan preventif
untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja dan akibat hubungan kerja pada
pekerja pengolahan batu.
1.2 Rumusan Masalah
Penurunan nilai KVP dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti
masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker. Selain itu, lingkungan kerja
juga berpengaruh terhadap penurunan KVP yang disebabkan oleh kadar debu,
suhu dan kelembaban.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja, terdapat 5
pekerja yang mengalami restriksi ringan, obstruksi dan combination serta, keluhan
sesak nafas serta batuk yang merupakan gejala utama terjadinya penurunan
kapasitas vital paru. Hasil pengukuran debu di lapangan yang dilakukan selama 1
jam, didapatkan dua jenis ukuran partikel debu yakni ukuran 1 mikron dan 2,5
mikron. Adapun kadar debu di udara didapatkan hasil sebesar 2,513 mg/m3 untuk
8
partikel debu berukuran 1 mikron dan 6,526 mg/m3
untuk partikel debu berukuran
2,5 mikron sehingga menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja, partikel debu berukuran 1 dan 2,5
mikron telah melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan yaitu sebesar 2
mg/m3
Dari fakta-fakta yang telah dijelaskan maka perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas
vital paru pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu
split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?
2. Bagaimana gambaran kadar debu PM1,0 pada proses pengolahan batu split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?
3. Bagaimana gambaran kadar debu PM2,5 pada proses pengolahan batu split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?
4. Bagaimana gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?
5. Bagaimana gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?
6. Bagaimana gambaran masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?
7. Bagaimana gambaran lama paparan pada pekerja pengolahan batu split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?
9
8. Bagaimana gambaran penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu
split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?
9. Apakah ada hubungan antara kadar debu PM1,0 dan kapasitas vital paru
pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon
tahun 2015?
10. Apakah ada hubungan antara masa kerja dan kapasitas vital paru pada
pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun
2015?
11. Apakah ada hubungan antara lama paparan dan kapasitas vital paru pada
pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun
2015?
12. Apakah ada hubungan antara penggunaan masker dan kapasitas vital paru
pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon
tahun 2015?
1.4 Tujuan
1.4.1 Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru
pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun
2015.
1.4.2 Khusus
1. Mengetahui gambaran kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu
split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
2. Mengetahui gambaran kadar debu PM1,0 pada proses pengolahan batu split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
10
3. Mengetahui gambaran kadar debu PM2,5 pada proses pengolahan batu split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
4. Mengetahui gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
5. Mengetahui gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu
split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
6. Mengetahui gambaran masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
7. Mengetahui gambaran lama paparan pada pekerja pengolahan batu split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
8. Mengetahui gambaran penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu
split di PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
9. Mengetahui hubungan antara kadar debu PM1,0 dan kapasitas vital paru
pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon
tahun 2015.
10. Mengetahui hubungan antara masa kerja dan kapasitas vital paru pada
pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun
2015.
11. Mengetahui hubungan antara lama paparan dan kapasitas vital paru pada
pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun
2015.
12. Mengetahui hubungan antara penggunaan masker dan kapasitas vital paru
pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon
tahun 2015.
11
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Perusahaan
Penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan pemilik perusahaan untuk
melakukan penanggulangan cemaran udara yang dihasilkan selama proses
pengolahan dan dapat memperhatikan kesehatan pekerja dan lingkungan.
1.5.2 Bagi Pekerja
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada pekerja mengenai
bahaya kesehatan yang ditimbulkan dari aktivitas pekerjaannya.
1.5.3 Bagi peneliti
Aplikasi teori dan keterampilan ilmu kesehatan masyarakat dan
mengembangkan ilmu Kesehatan Lingkungan serta dapat dijadikan bahan acuan
untuk penelitian selanjutnya.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini tertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia
Putra Pratama Cilegon tahun 2015. Sasaran penelitian ini adalah pekerja yang
beraktivitas langsung dengan proses pengolahan batu split yang berada di
wilayah tersebut dengan jumlah sampel sebanyak 24 orang.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi cross
sectional. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan kuesioner dan
lembar observasi untuk mengetahui data karakteristik pekerja. Alat-alat yang
digunakan adalah spirometer untuk mengetahui kapasitas vital paru, alat
pengukur suhu dan kelembaban udara, yaitu thermohygrometer digital HTC-2
dari laboratorium HEN FKIK UIN Jakarta, alat pengukur debu yaitu
Environmental Particulate Air Monitor (EPAM) 5000 Primer dari laboratorium
OHS FKIK UIN Jakarta.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kapasitas Vital Paru
Paru-paru mempunyai fungsi untuk melakukan pertukaran gas oksigen dan
karbon dioksida. Oksigen yang bersenyawa dengan karbon dan hidrogen dari
jaringan, memungkinkan setiap sel melangsungkan proses metabolisme dan hasil
proses yang berupa karbon dioksida dapat dikeluarkan dari dalam tubuh (Pearce,
2008). Kapasitas vital paru adalah total jumlah udara maksimum yang dapat
dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum. Kapasitas vital paru
didapatkan dari penambahan tidak volume (TV), volume cadangan inspirasi (VCI)
dan volume cadangan ekspirasi. Jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan
seseorang setelah mengisi paru secara maksimum dan dikeluarkan sebanyak-
banyaknya adalah 4.600 ml (Tarwoto, 2009).
Pengukuran KVP dapat memberikan informasi yang berguna mengenai
kekuatan otot-otot pernapasan dan aspek fungsi paru lainnya. Besarnya
penyimpangan atau penurunan nilai yang di dapat dari pemerikasaan dapat
menentukan paru seseorang dalam keadaan normal atau tidak (PDPI, 2013).
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor PER.25/MEN/XII/2008 Tentang Pedoman Diagnosis Dan Penilaian Cacat
Karena Kecelakaan Dan Penyakit Akibat Kerja, penurunan kapasitas vital paru
mengakibatkan:
13
1. Restriksi
Restriksi adalah gangguan pengembangan paru oleh sebab apapun. Paru
menjadi kaku, daya tarik ke dalam lebih kuat sehingga dinding dada
mengecil, iga menyempit dan volume paru mengecil. Volume statis paru
mengecil yaitu KV (kapasitas vital), KPT (kapasitas paru total), VR
(volume residu), VCE (volume cadangan ekspirasi) dan KRF (kapasitas
residu fungsional). Sebagai parameter pada spirometri diukur KV yang
nilainya <80% nilai prediksi (Normal 80-120% sedangkan bila nilainya >
120% disebut over/hiperinflasi). VEP1/KVP nilainya masih di atas 75%.
(PDPI, 2013).
Menurut West (2003), restriksi adalah keterbatasan ekspansi paru, baik
karena perubahan pada perenkim paru maupun karena penyakit pada
pleura, dinding dada, atau alat neuromuscular. Tanda-tandanya adalah
penurunan kapasitas vital dan volume paru istirahat yang kecil, tetapi
resistensi jalan napas (berhubungan dengan volume paru) tidak meningkat.
2. Obstruksi
Obstruksi adalah gangguan paru yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel
parsial. Obstruksi terdiri atas bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan
keduanya. Obstruksi saluran napas bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis,
metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi
jalan napas (PDPI, 2013).
14
2.1.1 Pengukuran Kapasitas Paru
Pengukuran kapasitas paru berguna untuk mengevaluasi kemampuan paru,
menentukan adanya gangguan dan derajat gangguan fungsi paru (Djojodibroto,
2009). Menurut National Heart Lung Blood Institute, tes yang dilakukan pada
paru digunakan untuk mengukur:
1. Banyaknya udara yang dapat masuk ke dalam paru
2. Banyak dan cepatnya udara yang dapat dikeluarkan dari paru
3. Kondisi paru dalam mengirimkan oksigen ke dalam darah
4. Kekuatan otot-otot pernapasan
Pengukuran kapasitas paru terdiri dari berbagai macam metode. Berikut
adalah metode pengukuran yang sering digunakan untuk mengukur kapasitas
paru:
1. Spirometri
Spirometri merupakan tes fungsi paru yang umum digunakan serta
berguna untuk mengetahui volume paru, kapasitas paru dan kecepatan aliran
udara (Giuliodori, 2004). Spirometri digunakan untuk menentukan fungsi
paru, mendeteksi penyakit paru, mengevaluasi gangguan pernapasan, dan
melakukan pengawasan terhadap penyakit paru terkait pekerjaan (McCarthy,
2015). Cara pemakaian spirometri yaitu pasien diminta untuk melakukan
inspirasi maksimal kemudian lakukan ekspirasi maksimal ke dalam pipa yang
tersambung dengan spirometer. Pengukuran dilakukan berulang hingga
beberapa kali sampai didapatkan hasil yang sesuai (National Jewish Health,
2013).
15
Dalam pengukuran kapasitas paru dengan menggunakan spirometri, fungsi
respirasi yang diukur adalah:
a. Kapasitas vital paksa (KVP) (forced vital capcity, FCV) yaitu jumlah
total udara yang dapat dengan paksa diekspirasikan dari paru.
b. Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (VEP1) (forced expiratory
volume in 1 second, FEV1) yaitu jumlah udara yang dapat dengan
paksa diekspirasikan dalam satu detik (Francis, 2011).
Adapun klasifikasi penilaian kapasitas paru adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Penilaian Kapasitas Paru
Restriksi
(KVP % atau KVP/prediksi %)
Obstruksi
(VEP1/ KVP) % atau VEP1 %
(VEP1/ prediksi)
Normal > 80 % > 75 %
Ringan 60-79 % 60-74 %
Sedang 30-59 % 30-59 %
Berat < 30 % < 30 %
Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor PER.25/MEN/XII/2008.
2. Plethysmography paru
Plethysmography paru adalah tes yang digunakan untuk mengukur
banyaknya udara yang dapat disimpan dalam paru-paru. Plethysmography
paru membantu penyedia pelayanan kesehatan untuk menilai pasien dengan
penyakit paru yang sering dikaitkan dengan kapasitas total paru. Pengukuran
plethymosgraphy didasarkan pada prinsip Hukum Boyle yang
menggambarkan hubungan antara tekanan dan volume gas.
Cara pemakaian plethysmography paru yaitu pasien dimasukkan ke dalam
ruang kedap udara dengan posisi berdiri atau duduk. Klip akan dipasangkan ke
hidung pasien agar udara tidak masuk ke dalam lubang hidung. Pasien diminta
16
untuk bernapas melalui corong saat corong terbuka dan tertutup. Terjadinya
pergerakan dada saat bernapas akan merubah tekanan dan jumlah udara dalam
ruang dan corong. Dari perubahan ini, didapatkan hasil yang akurat tentang
jumlah udara di paru atau kapasitas total paru (Stang, 2014).
3. Peak Flow Meter
Peak Flow Meter adalah instrumen kecil yang mudah digunakan,
berfungsi untuk mengetahui seberapa baik paru-paru seseorang bekerja. Hal
ini dilakukan dengan mengukur aliran puncak ekspirasi untuk mengetahui
seberapa cepat pasien mengeluarkan udara setalah inspirasi maksimal. Peak
Flow Meter digunakan untuk membantu mengindentifikasi pola kerja paru dan
memberikan informasi untuk tindakan pencegahan terhadap asma.
Pengukuran peak flow meter dilakukan dengan cara pasien diminta untuk
melakukan inspirasi maksimal dalam keadaan berdiri atau duduk secara tegak,
kemudian udara dikeluarkan dengan ekspirasi maksimal ke dalam pipa. Ulangi
proses hingga 2 -3 kali lalu pilih nilai tertinggi dari hasil pengukuran dan catat
pada lembar pengukuran. Pengukuran ini sebaiknya dilakukan secara rutin
untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada paru-paru pasien (National
Jewish Health, 2012).
Berdasarkan metode pengukuran yang telah dijelaskan, spirometri dipilih
sebagai metode pengukuran kapasitas paru pada penelitian ini. Alasan pemilihan
spirometri yaitu alat mudah dioperasikan dan hasil pengukuran cepat diketahui
serta biaya operasional yang relatif murah.
17
2.2 Pencemaran Udara
Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya
tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan
sekitarnya. Sebagian besar udara dalam lapisan troposfer selalu berputar-putar dan
terus bergerak, menjadi panas oleh sinar matahari, kemudian bergerak lagi diganti
oleh udara dingin yang akan menjadi panas kembali, begitu seterusnya. Proses
fisik tersebut menyebabkan terjadinya pergerakan udara dalam lapisan troposfer,
dan merupakan faktor utama untuk mendeteksi iklim dan cuaca di permukaan
bumi. Di samping itu pergerakan udara tersebut juga dapat mendistribusikan
bahan kimia pencemar dalam lapisan troposfer (Mengkidi, 2006).
Bila udara bersih bergerak di atas permukaan bumi, udara tersebut akan
membawa sejumlah bahan kimia yang dihasilkan oleh proses alamiah dan aktifitas
manusia. Sekali bahan kimia pencemar masuk ke dalam lapisan troposfer, bahan
pencemar tersebut bercampur dengan udara dan terbawa secara vertikal dan
horizontal serta bereaksi secara kimiawi dengan bahan lainnya di dalam atmosfer.
Dalam mengikuti gerakan udara, polutan tersebut menyebar, tetapi polutan yang
dapat tahan lama akan terbawa dalam jarak yang jauh dan jatuh ke permukaan
bumi menjadi partikel-partikel padat dan larut dalam butiran-butiran air serta
mengembun jatuh ke permukaan bumi (Mengkidi,2006).
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan
Hidup Nomor: KEP-02/MENKLH/I/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku
Mutu Lingkungan, pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan
udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun
18
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak
dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa setiap pembebasan bahan
atau zat di udara dikatakan mencemari udara apabila berpotensi mengganggu
stabilitas udara dan melewati nilai ambang batas yang telah ditetapkan.
Menurut Sumantri (2010), pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh
sumber-sumber alami maupun kegiatan manusia yang dapat berupa gangguan
fisik seperti polusi suara, panas, radiasi atau polusi cahaya. Pengertian ini sejalan
dengan yang diungkapkan Yulaekah (2007) bahwa pencemaran udara luar ruang
berasal dari proses – proses alam (letusan gunung berapi, kebakaran hutan) serta
akibat kegiatan manusia, meliputi sumber bergerak (transportasi) dan tidak
bergerak (industri, limbah rumah tangga).
Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam, yaitu:
1. Karena faktor internal (secara alamiah), seperti:
a. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin.
b. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas-
gas vulkanik.
c. Proses pembusukan sampah organik, dll.
2. Karena faktor eksternal (karena ulah manusia), seperti:
a. Hasil pembakaran bahan bakar fosil.
b. Debu/serbuk dari kegiatan industri.
c. Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara
19
2.3 Batu Split
Batu split merupakan hasil pemecahan batu andesit yaitu batuan primer/
vulkanis karena proses pembentukannya yang terjadi akibat pembekuan lava yang
dihasilkan oleh letusan gunung berapi. Batu andesit termasuk golongan batuan
effusif, memiliki kualitas yang tinggi dengan volume beratnya 2,2 – 2,7 gr/cm3
dan kuat tekannya 600 – 2400 kg/cm3 (Mardianingsih, 2000). Batu andesit
merupakan batuan sub-alkalik peralihan yang mengandung SiO2 berkisar antara
57 – 63 % dan Na2O + K2O berkisar 5%. Batuan peralihan juga memiliki
kandungan CaO yang lebih tinggi dibandingkan batuan asam (Huraiová dan
Ondrejka, 2013). Mineral-mineral penyusun andesit yang utama terdiri dari
plagioclase feldspar dan juga terdapat mineral pyroxene (clinopyroxene dan
orthopyroxene) dan hornblende dalam jumlah yang kecil (Nouval, 2009).
Komposisi kimia dalam batuan andesit terdiri dari unsur-unsur, silikat,
alumunium, besi, kalsium, magnesium, natrium, kalium, titanium, mangan, dan
fosfor. Presentase kandungan unsur-unsur tersebut sangat berbeda di beberapa
tempat. Sebagai contoh, berikut adalah komposisi kimia andesit di Šiatorská
Bukovinka, Republik Slowakia:
20
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Andesit
Senyawa Komposisi (%)
Silika krtistal (kwarsa) 61,62
Titanium dioksida 0,56
Alumunium oksida 17,65
Ferri oksida 6,43
Ferro oksida 0,00
Mangan oksida 0,15
Magnesium oksida 2,03
Kalsium oksida 6,09
Dinatrium oksida 3,18
Kalium oksida 2,03
Fosfor pentaoksida 0,18
Sumber : Huraiová dan Ondrejka, Department of Mineralogy and
Petrology, Comenius University of Bratislava, Slovakia (2013).
2.4 Debu
Debu adalah bagian padat yang dihasilkan oleh penanganan,
penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan bahan-bahan
organik dan inorganik seperti batu, batu bara, bijih besi, dll (Nedved, 1991). Debu
merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang
di udara (Suspended Particulate Matter/ SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai
dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara, debu sering dijadikan salah
satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukan tingkat bahaya baik
terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Partikel
debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan
melayang layang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernapasan (Pudjiastuti, 2002).
EPA (2015) membagi ukuran debu menjadi dua kategori, yaitu:
21
1. Inhalable Dust
Inhalable dust adalah debu yang dapat masuk kedalam tubuh akan tetapi
terperangkap atau tertahan di hidung, tenggorokan atau sistem pernapasan
bagian atas. Inhalable dust memiliki ukuran diameter lebih dari 2,5 mikron
hingga 10 mikron.
2. Respirable Dust
Respirable dust (debu terhirup) atau sering disebut fine particles adalah
debu dengan diameter berukuran kurang dari sama dengan 2,5 mikron yang
dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem pernapasan bagian atas
dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam.
2.4.1 Sifat-Sifat Debu
Sifat-sifat debu tidak berflokulasi kecuali oleh gaya tarik elektris, tidak
berdifusi dan turun karena tarikan gaya tarik bumi. Debu di atmosfer lingkungan
keja biasanya berasal dari bahan baku atau hasil produksi (Depkes RI, 1994).
Sifat-sifat debu adalah sebagai berikut (Pudjiastuti, 2002):
1. Mengendap
Debu cenderung mengendap karena gaya gravitasi bumi namun karena
ukurannya relatif kecil debu dapat berada di udara.
2. Permukaan cenderung selalu bersih
Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena
adanya lapisan air sangat tipis yang selalu melapisi permukaan debu.
22
3. Menggumpal
Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah
sehingga memungkinkan debu menempel satu sama lain dan membentuk
gumpalan.
4. Listrik statis (elektrostatik)
Debu dapatt menarik partikel lain yang berlawanan sehingga
mempercepat terjadinya proses penggumpalan karena adanya partikel yang
masuk ke dalam debu.
5. Opsis
Opsis adalah debu yang dapat memancarkan sinar pada ruangan gelap.
2.4.2 Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru-Paru
Berikut ini adalah mekanisme penimbunan debu dalam paru-paru yang
dijelaskan pada gambar 2.1 dibawah ini:
Gambar 2.1
Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru
Debu yang dihasilkan dari kegiatan industri seperti penanganan,
penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan bahan-bahan
organik dan inorganik dapat menyebabkan timbulnya gangguan pada sistem
pernapasan. Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada
saluran pernapasan. Inhalasi adalah satu-satunya jalur paparan yang memiliki
hubungan dengan efek langsung partikel debu dengan kesehatan manusia
(WHO, 2000). Dengan menarik napas, udara yang mengandung debu masuk ke
dalam paru-paru.
Debu
Industri
Inhalasi Penimbunan
dalam paru
Penurunan
KVP
23
Dari hasil penelitian, debu-debu berukuran di antara 5-10 mikron akan
ditahan oleh bagian pernapasan bagian atas sedangkan debu ukuran 3-5 mikron
ditahan oleh bagian tengah jalan pernapasan. Partikel-partikel yang besarnya 1-3
mikron merupakan ukuran paling berbahaya karena akan ditempatkan langsung
ke permukaan alveoli paru-paru (Pudjiastuti, 2002). Debu-debu yang ukuran
partikelnya kurang dari 0,1 mikron bermassa terlalu kecil sehingga tidak hinggap
di permukaan alveoli atau selaput lendir dikarenakan adanya gerakan Brown
yang menyebabkan debu bergerak keluar dari alveoli (Suma’mur, 1996).
Beberapa mekanisme dapat dikemukakan sebagai sebab hinggap dan
tertimbunnya debu dalam paru-paru. Menurut WHO (1997), terdapat lima
mekanisme penimbunan yaitu sedimentasi, inersia impaksi, difusi (hanya untuk
partiker yang sangat kecil < 0,5 m), intersepsi dan pengendapan elektrostatis.
Sedimentasi dan impaksi adalah mekanisme terpenting yang berhubungan
dengan penimbunan debu di dalam paru.
Sedimentasi adalah penimbunan yang terjadi karena kecepatan udara
pernapasan sangat rendah pada bronchi dan bronchioli sehingga gaya tarik bumi
dapat bekerja terhadap partikel-pertikel debu dan menimbunkannya. Sedangkan
impaksi atau inertia atau kelambanan dari partikel-partikel debu yang bergerak,
yaitu pada waktu udara membelok ketika melalui jalan pernapasan yang tidak
lurus, maka partikel-partikel debu yang bermassa cukup besar tidak dapat
membelok mengikuti aliran udara, melainkan terus lurus dan akhirnya
menimbun pada selaput lendir (Suma’mur, 1996).
Menurut Price (1995), mekanisme penimbunan debu dalam paru bermula
dari debu diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan
24
asap. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan
dilembabkan. Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran
pernapasan yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung
sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat
pada lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam
lapisan mukosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke
rongga hidung dan kearah superior menuju faring.
Partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan
berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh
magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang
terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terus-
menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan
pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada
parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat intertestial (Price,
1995).
Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru
(pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan pengembangan paru.
Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru
yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan
menurunnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian
tubuh lainnya (Price, 1995).
Mukono (2003) menjelaskan paparan debu terhadap saluran pernapasan
dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada saluran pernapasan. Hal ini dapat
menyebabkan pergerakan silia menjadi lambat, bahkan dapat terhenti sehingga
25
tidak dapat membersihkan saluran pernapasan. Akibat iritasi terjadi pula
peningkatan produksi lendir, pembengkakan saluran pernapasan dan merangsang
pertumbuhan sel sehingga dapat menyebabkan penyempitan saluran pernapasan.
Selain itu, dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan
penumpukan debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan
kerusakan seperti penurunan kapasitas paru yang disebut obstruksi dan
pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah
berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas
vital paru. Partikel debu dapat menimbulkan penurunan kapasitas vital paru,
sehingga akan mengurangi penggunaan optimal alat pernapasan untuk
mengambil oksigen pada proses respirasi (Sukarman, 1978).
Penimbunan partikel akan merusak epitel dan pergerakan sel fagosit di
dekat tempat penimbunan atau dapat menstimulasi sekresi cairan. Partikel yang
tertimbun dapat berdifusi ke dalam dan melalui permukaan cairan dan sel dan
dengan cepat diangkut oleh aliran darah ke seluruh tubuh (ILO). EPA juga
menjelaskan adanya hubungan partikel debu terutama respirable dust dengan
serangkaian masalah kesehatan yang signifikan yaitu:
1. Memperberat asma
2. Gejala pernapasan akut, termasuk memperberat batuk dan kesulitan atau
sakit ketika bernapas
3. Bronkitis kronis
4. Penurunan fungsi paru yang diawali dengan sesak napas
26
2.4.3 Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Penimbunan Partikel Debu Di
Paru
WHO (2000) menjelaskan bahwa penimbunan partikel di paru-paru
ditentukan oleh karakteristik partikel, anatomi saluran pernapasan, volume tidal
dan pola pernapasan. Di antara karakteristik partikel yang paling mempengaruhi
adalah ukuran, bentuk, muatan listrik, kepadatan dan higroskopisitas. Ukuran
paru-paru, pola cabang saluran napas, diameter saluran napas, dan panjang,
frekuensi, kedalaman dan laju aliran juga mempengaruhi pengendapan partikel.
Begitu menimbun di paru-paru, sebagian besar partikel dikeluarkan oleh
berbagai mekanisme clearance. Partikel yang tidak dapat larut yang menimbun
pada saluran udara bersilia umumnya dibersihkan dari saluran pernapasan
oleh aktivitas mukosiliar dalam 24-48 jam. Clearance pada paru dapat terjadi
melalui aksi makrofag alveolar atau mekanisme alternatif. Makrofag alveolar
merupakan sel fagositik dan dapat bermigrasi. Partikel debu akan dibawa oleh
makrofag ke pembuluh limfa atau bronkiolus dan akhirnya dikeluarkan oleh
eskalator mukosiliaris (Mukono, 2003).
Penyerapan penimbunan partikel oleh makrofag dapat berlangsung cepat,
tetapi untuk menghilangkan makrofag dari paru-paru membutuhkan waktu
beberapa minggu. Secara keseluruhan, partikel yang mengendap di paru dapat
dibersihkan namun dalam jangka waktu yang berbeda-beda, baik dalam
hitungan minggu, bulan bahkan tahun.
2.4.4 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kadar Debu PM1,0 dan PM2,5
NAB adalah kadar yang dapat diterima oleh tubuh pekerja dengan tidak
menunjukkan penyakit atau kelainan dalam pekerjaan sehari-hari dalam kurun
waktu 8 jam perhari dan 40 jam perminggu (Suma’mur, 1996). Paparan debu
27
yang melebihi NAB akan meningkatkan risiko terjadinya penurunan kapasitas
vital paru. Hal ini juga berlaku pada paparan dengan kadar debu rendah apabila
lama paparan terjadi dalam waktu yang lama sehingga dapat menyebabkan
penurunan kapasitas vital paru.
Respirable dust (debu terhirup) atau sering disebut fine particles yang
merupakan debu dengan diameter berukuran kurang dari sama dengan 2,5
mikron yang dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem pernapasan
bagian atas dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam. Respirable dust dapat
menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti memperberat asma dan gejala
pernapasan akut, termasuk memperberat batuk dan kesulitan atau sakit ketika
bernapas, bronkitis kronis, dan penurunan fungsi paru yang diawali dengan
sesak napas.
Berdasarkan komposisi kimia yang terdapat pada batu split mengacu pada
tabel 2.2 maka, didapatkan nilai ambang batas menurut Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011
Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja
sebagai berikut:
28
Tabel 2.3
Nilai Ambang Batas
No Senyawa NAB (mg/m3)
1. Silika kristal (kwarsa) 0,1
2. Alumunium oksida 10
3. Kalsium oksida 2
4. Ferri oksida 5
5. Magnesium oksida 10
6. Fosfor pentaoksida 0,85
Berdasarkan tabel 2.3, peneliti menggunakan NAB kalsium oksida sebesar
2 mg/m3. Hal ini dikarenakan respirabel partikulat tidak boleh melampaui 2
mg/m3.
2.5 Faktor Karakteristik Individu Yang Memengaruhi Kapasitas Vital
Paru
2.5.1 Masa Kerja
Masa kerja adalah semua perhitungan jumlah tahun masa kerja dalam
periode kerja, semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang
tersebut mempunyai resiko yang besar mengalami penurunan kapasitas vital
paru (Tamuntuan, 2013). Dalam penelitian Anugrah (2014), diketahui bahwa
masa kerja dapat mempengaruhi kapasitas vital paru pada pekerja. Apabila
kondisi paru terpapar dengan berbagai komponen pencemar, fungsi fisiologis
paru sebagai organ utama pernapasan akan mengalami beberapa gangguan
sebagai akibat dari pemaparan secara terus menerus dari berbagai komponen
pencemar. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak
terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Dalam
lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan
menurunkan kapasitas fungsi paru pada karyawan (Suma’mur, 1996).
Semakin lama seseorang bekerja pada tempat yang mengandung debu
akan semakin tinggi resiko terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan
29
saluran pernafasan. Debu yang terhirup dalam konsentrasi dan jangka waktu
yang cukup lama akan membahayakan. Akibat penghirupan debu, yang langsung
dirasakan adalah sesak, bersin, dan batuk karena adanya gangguan pada saluran
pernapasan. Paparan debu untuk beberapa tahun pada kadar yang rendah tetapi
diatas batas limit paparan menunjukkan efek toksik yang jelas. Tetapi hal ini
tergantung pada pertahanan tubuh dari masing-masing pekerja (Sirait, 2010).
Khumaidah (2009) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai kecenderungan
sebagai faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru seperti obstruksi
saluran pernapasan pada pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai
masa kerja 5 tahun.
2.5.2 Lama Paparan
Lama paparan adalah waktu yang dihabiskan seseorang berada dalam
lingkungan kerja dalam waktu sehari (Mengkidi, 2006). Lamanya seseorang
bekerja pada umumnya berkisar 6 – 8 jam dalam sehari, apabila waktu kerja
diperpanjang maka akan menimbulkan ketidakefisienan yang tinggi bahkan
menimbulkan penyakit diakibatkan lamanya seseorang terpapar polutan seperti
debu yang berada di lingkungan kerja. Bila pekerja terpapar cukup lama oleh
debu yang diatas NAB kemungkinan besar akan timbul gangguan saluran
pernapasan (Suma’mur, 1996). Namun, menurut Harrington dan Gill (2003),
penurunan kapasitas paru tidak hanya disebabkan oleh faktor pekerjaan maupun
lingkungan kerja, namun ada sejumlah faktor non-pekerjaan yang dapat menjadi
faktor yang mempengaruhi, yaitu lain usia, kelamin, ukuran paru, ras, tinggi
badan, dan kebiasaan merokok.
30
Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Asna (2013), ditemukan bahwa
adanya hubungan antara lama paparan dengan penurunan kapasitas vital paru.
Hal ini membuktikan bahwa lama paparan berpengaruh negatif bagi seseorang
yang bekerja karena semakin lama terpapar, bahaya yang ditimbulkan oleh
tempat kerja dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernapasan.
Mengkidi (2006) juga menjelaskan, lama paparan berkaitan dengan jumlah
jam kerja yang dihabiskan pekerja di area kerja. Semakin lama pekerja
menghabiskan waktu untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula
paparan debu di terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru
juga akan lebih besar, tetapi hal itu juga tergantung dari konsentrasi debu yang
ada di area kerja dan mekanisme clearance dari masing-masing individu, kadar
partikel debu dan kerentanan individu
2.5.3 Riwayat Penyakit
Guyton & Hall dalam Anugrah (2014) menyatakan bahwa keadaan seperti
tuberkulosis, emfisema, asma, kanker paru dan pleuritis fibrosa semuanya dapat
menurunkan kapasitas vital paru. Riwayat penyakit meliputi antara lain
permulaan timbul gejala-gejala, gejala sewaktu penyakit dini, perkembangan
penyakit selanjutnya, hubungan dengan pekerjaan, dll (Suma’mur, 1996).
2.5.4 Riwayat Pekerjaan
Riwayat kerja dapat digunakan untuk mengetahui adanya kemungkinan
bahwa salah satu faktor di tempat kerja atau dalam pekerjaan dapat
mengakibatkan penyakit seperti adanya debu yang dihasilkan oleh penanganan,
penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan (Suma’mur,
1996). Riwayat pekerjaan dapat menggambarkan apakah pekerja pernah terpapar
31
dengan pekerjaan berdebu, hobi, pekerjaan pertama, pekerjaan pada musim-
musim tertentu, dll (Ikhsan, 2002).
2.5.5 Penggunaan Masker
Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat,
peralatan dan lingkungan kerja sangat perlu diutamakan (Suma’mur, 1996). Alat
pelindung diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk
melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja
dari bahaya di tempat kerja (Nedved, 1991). Sebagai usaha terakhir dalam usaha
melindungi tenaga kerja, APD haruslah enak dipakai, tidak mengganggu kerja
dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap bahaya (Nedved, 1991).
Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu
memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel
yang kemungkinan dapat terhirup. Pekerja yang taat menggunakan masker saat
bekerja akan meminimalkan jumlah paparan partikel yang dapat terhirup
(Budiono, 2007).
Suma’mur (1996) menjelaskan, penggunaan alat pelindung diri masker
berkaitan dengan banyaknya partikulat yang tertimbun di dalam organ paru
akibat pencemaran yang dapat mengurangi kemampuan fungsi paru, dengan
menggunakan alat pelindung diri masker maka dapat mencegah menumpuknya
partikulat pencemar dalam organ paru sehingga akan mengurangi terjadinya
penurunan fungsi paru.
Adapun masker yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan
kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah (OSHA, 2007):
32
Tabel 2.4
Jenis dan Gambar Masker
No. Jenis Masker Gambar
1.
Single-strap dust masks, tidak dapat digunakan
untuk melindung dari bahaya lingkungan.
Namun, dapat digunakan untuk melindungi
dari serbuk sari atau allergen lainnya.
Gambar 2.2
Single-strap dust masks
Sumber: www.osha.gov
2.
Approved filtering facepieces (masker debu),
dapat digunakan untuk debu, uap, asap
pengelasan, dll.
Gambar 2.3
Masker debu
Sumber: www.osha.gov
3.
Respirator setengah wajah, dapat digunakan
untuk perlindungan terhadap sebagian besar
uap, gas asam, debu atau asap pengelasan.
Cartridge / filter harus sesuai kontaminan dan
diganti secara berkala.
Gambar 2.4
Respirator setangah wajah
Sumber: www.osha.gov
4.
Respirator seluruh wajah, lebih protektif dari
respirator setengah wajah. Dapat digunakan
untuk perlindungan terhadap sebagian besar
uap, gas asam, debu atau asap pengelasan.
Pelindung wajah untuk melindungi wajah dan
mata dari iritasi dan kontaminan. Cartridge /
filter harus sesuai kontaminan dan diganti
secara berkala.
Gambar 2.5
Respirator seluruh wajah
Sumber: www.osha.gov
2.5.6 Kebiasaan Merokok
Merokok adalah salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi paru, salah
satunya adalah kapasitas vital paru. Merokok dapat menyebabkan perubahan
struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru-paru. Pada saluran
napas besar, sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah banyak. Pada
saluran pernapasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat
bertambahnya sel penumpukan lendir. Pada jaringan paru terjadi peningkatan
jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran
33
napas, pada perokok akan timbul perubahan fungsi paru-paru dan segala macam
perubahan klinisnya (Depkes RI, 2003).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi (2006), menyatakan
bahwa ada hubungan yang bermakana antara kebiasaan merokok dengan
gangguan fungsi paru pada seluruh pekerja di PT. Semen Tonasa Pangkep
Sulawesi Selatan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Prasetyo (2010) yang
menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok
dengan penurunan kapasitas vital paru. Berdasarkan penelitian Bajentri AL, dkk
(2003), membuktikan bahwa merokok dengan jangka waktu 2-5 tahun dengan
rata-rata 10 batang per hari terdapat hasil yang signifikan terhadap penurunan
fungsi paru salah satunya adalah kapasitas vital paru dan cenderung
menyebabkan penyempitan pada saluran udara.
2.5.7 Kebiasaan Olahraga
Adanya hubungan timbal balik antara kapasitas paru dan olahraga.
Gangguan pada paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga sebaliknya
olahraga yang teratur dapat meningkatkan kapasitas paru (Sahab, 1997).
Olahraga dapat meningkatkan aliran darah melalui paru-paru sehingga
menyebabkan oksigen dapat berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume
yang lebih besar atau maksimum (Prasetyo, 2010).
2.6 Kondisi Lingkungan Yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru
Variabel kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi pemajanan debu
adalah sebagai berikut:
34
1. Suhu Udara
Suhu yang menurun pada permukaan bumi dapat menyebabkan
peningkatan kelembaban udara relatif sehingga akan meningkatkan efek
korosif bahan pencemar di daerah yang udaranya tercemar. Pada suhu yang
meningkat akan meningkat pula kecepatan reaksi suatu bahan kimia (Mukono,
2003). Pernyataan ini sesuai dengan Permenkes (2012) yang menjelaskan
bahwa suhu udara yang lebih tinggi dapat meningkatkan pembentukan polutan
udara. Selain berpengaruh terhadap polutan, suhu juga memengaruhi paru.
Ikhsan, dkk (2010) menjelaskan bahwa suhu yang ekstrim baik dingin maupun
panas saat terjadinya perubahan polusi udara, perubahan alergen dan hujan
debu berpotensi menyebabkan penyakit respirasi baik jangka pendek maupun
jangka panjang.
Menurut Donaldson dkk (1999), penurunan fungsi paru-paru dapat
disebabkan oleh peningkatan peradangan saluran napas ketika suhu rendah.
Suhu lingkungan rendah dapat bertindak secara langsung melalui aktivasi
sitokin untuk menginduksi perubahan inflamasi (peradangan) saluran napas.
Faktor mekanik juga dapat terlibat sebagai suhu dingin yang akan
menyebabkan peningkatan vasokonstriksi dan perpindahan perifer darah pusat
sehingga dapat mengurangi kapasitas paru-paru. Penelitian ini telah
menunjukkan bahwa lingkungan yang dingin dikaitkan dengan penurunan
nilai spirometri. Penurunan fungsi paru akan semakin memburuk selama cuaca
dingin dan dapat menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
35
Suhu tinggi juga dapat memperburuk sistem pernapasan. Menurut
Healthcommunities (2013), menghirup udara panas dapat memperburuk
gangguan pernapasan seperti PPOK dan meningkatkan peradangan saluran
napas. Paparan panas dapat memicu respon pernapasan seperti terjadinya
bronkospasme karena menghirup udara panas sehingga menyebabkan
kesulitan bernapas dan sesak napas. Menghirup udara panas juga dapat
memperburuk infeksi pernafasan, beberapa di antaranya dapat disebabkan oleh
serbuk sari atau jamur.
Para peneliti menunjukkan bahwa gangguan termoregulasi juga mungkin
memainkan peran parsial dalam menanggapi respon panas pada pernapasan
Ketika tubuh tidak dapat mendinginkan diri, hasilnya adalah hipertermia, yang
mencakup berbagai penyakit panas seperti heat stress, heat exhaustion dan
heat stroke. Hipertermia dapat menyebabkan denyut jantung yang cepat dan
meningkatkan aliran darah ke kulit. Akibatnya tubuh menuntut lebih banyak
oksigen karena bekerja untuk tetap dingin yang dapat menyebabkan
penurunan kapasitas paru-paru. Hal ini dapat mengakibatkan pernapasan
abnormal cepat atau dalam yang disebut hiperpnea (Healthcommunities,
2013).
Namun, apabila seseorang tinggal di daerah dengan suhu rata-rata tinggi
respon termoregulasi orang tsb dapat menyesuaikan diri dengan cuaca panas.
Hal ini disebabkan karena kemampuan tubuh untuk termogulasi membaik
dengan paparan panas berulang, sedangkan orang-orang tidak terbiasa dengan
suhu tinggi akan sulit beradaptasi sehingga dapat mengalami gangguan
pernapasan (Healthcommunities, 2013).
36
2. Kelembaban Udara
Kelembaban udara menyatakan banyaknya uap air di dalam udara. Dalam
klimatologi untuk menunjukkan kelembaban udara adalah kelembaban relatif.
Kelembaban relatif adalah tekanan parsial dari uap air dalam udara dibagi
dengan tekanan uap air pada suhu yang sama, dinyatakan sebagai persentase
(Young, 2002). Menurut Mukono (2003), kelembaban udara relatif rendah
(<60%) di daerah tercemar SO2, akan mengurangi efek korosif dari bahan
kimia tsb. Pada kelembaban relatif lebih atau sama dengan 80% di daerah
tercemar SO2, akan terjadi peningkatan efek korosif SO2 tsb.
Udara yang lembab menyebabkan bahan pencemar berbentuk partikel
dapat berikatan dengan air di udara sehingga membentuk partikel yang
berukuran lebih besar. Partikel tersebut mudah mengendap. Kelembaban yang
tinggi di lingkungan kerja secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi
udara. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat
menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban
yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan
formaldehid dari material bangunan (Suma’mur, 1996).
Menurut Heatlhcare Inc. (2005), kelembaban tinggi merupakan penyebab
meningkatnya keluhan sesak napas yang merupakan gejala terjadinya
penurunan kapasitas vital paru. Ada beberapa kemungkinan penjelasan untuk
fenomena ini. Pertama, karena kelembaban udara meningkat maka densitas
atau massa jenis udara meningkat dan menggangu sirkulasi udara atau
menyebabkan sedikitnya aliran yang terjadi di udara. Hal ini kemudian
mengakibatkan peningkatan saluran dan kerja napas sehingga menimbulkan
37
sesak napas sehingga dapat menurunkan kapasitas vital paru. Penjelasan
lainnya adalah ketika kelembaban udara meningkat maka jumlah alergen
udara ikut meningkat sehingga dapat mempengaruhi sistem pernapasan.
Menurut Suma’mur (1996) kelembaban lingkungan kerja yang tidak
memberikan pengaruh kepada kesehatan pekerja berkisar antara 40%-60%.
2.7 Pencegahan Terhadap Gangguan Kesehatan dan Daya Kerja
Menurut Suma’mur (1996), gangguan kesehatan dan daya tahan kerja
akibat berbagai faktor pekerjaan bisa dihindari apabila pekerja dan pimpinan
perusahaan ada kemauan baik untuk mencegahnya. Tentu perundang-undangan
tidak akan ada faedahnya apabila pimpinan perusahaan tidak melaksanakan
ketetapan perundang-undangan yang berlaku dan juga para pekerja tidak
mengambil peranan penting dalam menghindarkan gangguan tersebut:
Cara-cara mencegah gangguan tersebut adalah:
1. Substitusi, yaitu mengganti bahan berbahaya dengan bahan yang kurang
berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali.
2. Ventilasi umum, yaitu mengalirkan udara berdasarkan perhitungan dalam
ruang kerja agar kadar dari bahan-bahan berbahaya seperti debu menjadi
lebih rendah dari kadar nilai ambang batas (NAB).
3. Isolasi, yaitu megisolasi operasi atau proses yang merupakan sumber debu
agar tidak tersebar.
4. Alat pelindung diri, yaitu upaya perlindungan kepada pekerja agar
terlindung dari risiko dan bahaya kerja seperti terpapar debu. Misalnya:
masker, kacamata, sarung tangan, sepatu, topi, dll.
38
5. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, yaitu pemeriksaan kesehatan
kepada calon pekerja untuk mengetahui cocok atau tidaknya pekerjaan
yang diberikan baik secara fisik maupun mentalnya.
6. Pemeriksaan kesehatan berkala, digunakan sebagai evaluasi untuk
mengetahui debu di lingkungan kerja yang dapat menimbulkan
gangguan/kelainan pada pekerja atau tidak.
7. Pengarahan sebelum kerja, agar pekerja mengetahui dan menaati peraturan
sehingga lebih berhati-hati dalam bekerja.
8. Pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kepada pekerja secara
kontinu, agar pekerja tetap waspada dalam menjalankan pekerjaannya.
Setelah semua usaha pencegahan dilakukan secara maksimal, dan jika
masih terdapat debu dari proses tersebut, maka barulah dilakukan pengendalian
atau pengontrolan terhadap debu tersebut. HSP (2011) menjelaskan beberapa
teknik pengendalian yang dapat dilakukan adalah seperti
1. Dust collection systems, yaitu menggunakan prinsip ventilasi untuk
menangkap debu dari sumbernya. Debu disedot dari udara dengan
menggunakan pompa dan dialirkan kedalam dust collector, kemudian
udara bersih dialirkan keluar.
2. Wet Dust Suppression Systems, yaitu dengan menggunakan cairan untuk
membasahi bahan yang dapat menghasilkan debu tersebut sehingga bahan
tersebut tidak cenderung menghasilkan debu. Cairan yang banyak
digunakan adalah air atau bahan kimia yang dapat mengikat debu.
3. Airborne Dust Capture Through Water Sprays, yaitu menyemprot debu-
debu yang timbul pada saat proses dengan menggunakan air atau bahan
39
kimia pengikat. Semprotan harus membentuk partikel cairan yang kecil
(droplet) sehingga bisa menyebar di udara dan mengikat debu yang
berterbangan sehingga debu dapat mengendap atau turun ke bawah.
Pada pengendalian yang menggunakan cairan atau melakukan penyiraman
pada sumber debu, penggunaan nozzle sangat penting untuk mengoptimalkan
proses penyiraman. Berikut adalah jenis nozzle menurut OSHA (1987):
Tabel 2.5
Jenis dan Gambar Nozzle
No. Jenis Nozzle Gambar
1.
Solid-cone nozzle, menghasilkan daya semprot
dengan kecepatan tinggi ketika nozzle terletak
jauh dari lokasi pengontrolan debu
Gambar 2.6
Solid-cone nozzle
Sumber: www.osha.gov
2.
Hollow-cone nozzle, menghasilkan daya
semprot dalam bentuk cincin melingkat.
Nozzle ini berguna untuk proses yang
menghasilkan debu yang tersebar luas.
Gambar 2.7
Hollow-cone nozzle
Sumber: www.osha.gov
3.
Flat-spray nozzle, menghasilkan butiran relatif
besar. Nozzle ini biasa digunakan pada wet
dust suppression systems.
Gambar 2.8
Flat-spray nozzle
Sumber: www.osha.gov
4.
Fogging nozzle, menghasilkan uap yang
sangat halus. Nozzle ini biasa digunakan pada
airborne dust control systems.
Gambar 2.9
Fogging nozzle
Sumber: www.osha.gov
40
2.8 Kerangka Teori
Kerangka teori diperoleh dari hasil modifikasi berbagai sumber.
Pudjiastuti (2002), Suma’mur (1996), Price (1995), Mukono (2003), dan
Sukarman (1978) menyatakan bahwa debu dapat tertimbun dalam paru-paru dan
berpengaruh terhadap kapasitas vital paru. Untuk faktor karakteristik individu
diketahui bahwa masa kerja (Suma’mur (1996) dan Sirait (2010)), lama paparan
(Mengkidi, 2006), penggunaan masker (Budiono (2007) dan Suma’mur (1996)),
riwayat peyakit dan riwayat pekerjaan (Suma’mur, 1996), kebiasaan merokok
(Depkes RI, 2003), dan kebiasaan olahraga (Sahab, 1997) juga memengaruhi
terjadinya penurunan kapasitas vital paru.
Kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi pemajanan debu yaitu suhu
udara (Donaldson (1999) dan Healthcommunitties (2013)), kelembaban udara
(Heatlhcare Inc. (2005) dan Suma’mur (1996)).Berdasarkan hasil dari modifikasi
tersebut dapat digambarkan sebuah kerangka teori sebagai berikut:
41
Gambar 2.10
Kerangka Teori
Sumber : 1Donaldson (1999),
2Healthcommunitties (2013),
3Heatlhcare
Inc. (2005), 4Pudjiastuti (2002),
5Suma’mur (1996),
6Price (1995),
7Mukono
(2003), 8Sukarman (1978),
9Sirait (2010),
10Mengkidi (2006),
11Budiono (2007),
12Depkes RI (2003),
13Sahab (1997).
Kondisi lingkungan:
1. Kelembaban udara1,2
2. Suhu udara2,3
Kadar debu PM1,0 dan
PM2,54,3,5,6,7
Karakteristik individu:
1. Masa kerja5,9
2. Lama paparan10
3. Riwayat penyakit5
4. Riwayat pekerjaan5
5. Penggunaan masker5, 11
6. Kebiasaan merokok12
7. Kebiasaan olahraga13
Kapasitas vital paru
42
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Gambar 3.1
Kerangka Konsep
Dalam kerangka konsep penelitian ini, peneliti ingin mengetahui kondisi
lingkungan yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja
pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. Pada
penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah kadar debu PM1,0 dan
PM2,5, suhu udara, kelembaban udara, masa kerja, lama paparan, dan penggunaan
masker, sedangkan variabel dependennya adalah kapasitas vital paru pada pekerja
pengolahan batu split. Variabel yang tidak diteliti adalah kebiasaan merokok
karena merokok otomatis menurunkan kapasitas vital paru, kebiasaan olahraga
karena seluruh pekerja rutin melakukan olahraga setiap seminggu sekali sehingga
akan bersifat homegen, riwayat pekerjaan karena sudah terwakili oleh masa kerja
Kondisi lingkungan:
1. Suhu udara
2. Kelembaban udara
3.
Kadar debu PM1,0 dan PM2,5
Karakteristik individu:
1. Masa kerja
2. Lama paparan
3. Penggunaan masker
Kapasitas vital paru
43
dimana sebagian pekerja baru mulai pertama kali bekerja sehingga tidak memiliki
riwayat pekerjaan, riwayat penyakit karena sudah dilakukan screening terlebih
dahulu kepada pekerja yang akan menjadi sampel sebab seseorang yang
mengalami penyakit saluran pernapasan secara otomatis menurunkan nilai KVP.
44
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala
ukur
1. Kapasitas
vital paru
Total jumlah udara
maksimum yang dapat
dikeluarkan dengan kuat
setelah inspirasi
maksimum
Pengukuran
menggunakan alat
spirometer oleh
badan teknis khusus
dan kuesioner
Spirometer
1. Tidak normal (adanya
Restriktif, Obstruktif,
Mixed)
2. Normal
(Permenaker No.
25/MEN/XII/2008)
Ordinal
2. Kadar debu
PM1,0
Partikel padat berukuran
1,0 mikron yang dihasilkan
dari kegiatan pengolahan
baru split
Pengukuran
menggunakan alat
EPAM pada 3 lokasi
pengolahan selama
45 menit berdasarkan
interval waktu
EPAM-5000 1. Tidak memenuhi
syarat NAB (> 2
mg/m3)
2. Memenuhi syarat
NAB (≤ 2 mg/m3)
(Permenaker No.
13/MEN/X/2011)
Ordinal
3. Kadar debu
PM2,5
Partikel padat berukuran
2,5 mikron yang dihasilkan
dari kegiatan pengolahan
baru split
Pengukuran
menggunakan alat
EPAM pada 3 lokasi
pengolahan selama
45 menit berdasarkan
interval waktu
EPAM-5000 mg/m3
Rasio
4. Suhu udara Derajat panas atau dingin
di lingkungan kerja
Pengukuran
menggunakan alat
thermohygrometer
digital
Thermohygro
meter digital
HTC-2
oC Rasio
45
5. Kelembaban
udara
Derajat basah udara
berbentuk gas di
lingkungan kerja yang
dinyatakan dalam persen
(%)
Pengukuran
menggunakan alat
thermohygrometer
digital
Thermohygro
meter digital
HTC-2
% Rasio
6. Masa kerja Lamanya pekerja bekerja,
yaitu mulai bekerja sampai
saat wawancara dilakukan.
Kuesioner Kuesioner 1. > 5 tahun
2. ≤ 5 tahun
(Khumaidah, 2009)
Ordinal
7. Lama
paparan
Lamanya seseorang berada
di lingkungan kerja dalam
sehari
Kuesioner Kuesioner 1. > 8 jam/hari
2. ≤ 8 jam/hari
(UU No. 13 Tahun 2003)
Ordinal
8. Penggunaan
masker
Penggunaan bahan penutup
hidung berupa masker
sebagai alat pelindung diri
dari debu terhirup.
Observasi Lembar
observasi
1. Tidak menggunakan
2. Menggunakan
Ordinal
46
3.3 Hipotesis
1. Adanya hubungan antara kadar debu PM1,0 terhadap kapasitas vital paru
pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon
tahun 2015.
2. Adanya hubungan antara masa kerja terhadap kapasitas vital paru pada
pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun
2015.
3. Adanya hubungan antara lama paparan terhadap kapasitas vital paru pada
pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun
2015.
4. Adanya hubungan antara penggunaan masker terhadap kapasitas vital paru
pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon
tahun 2015.
47
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain studi
Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional yaitu suatu
penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan
efek melalui pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu
saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2010). Artinya, data yang menyangkut
variabel bebas dan variabel terikat akan dikumpulkan dalam waktu yang
bersamaan. Variabel bebas yang diteliti adalah kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu
udara, kelembaban udara, masa kerja, lama paparan, dan penggunaan masker
sedangkan variabel terikat yang diteliti yaitu kapasitas vital paru pada pekerja
tambang batu split.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini di pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama
Cilegon.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Juni-Oktober 2015.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek atau obyek
dengan kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan, sedangkan sampel adalah bagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sangadji, Etta Mamang,
48
2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja pengolahan batu PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon sebanyak 62 pekerja.
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah total populasi yang
merupakan teknik penentuan sampel dimana seluruh anggota populasi digunakan
sebagai sampel sehingga didapatkan sampel sebesar 24 pekerja berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi. Dibawah ini adalah perhitungan kekuatan uji yang
dihitung berdasarkan rumus uji hipotesis beda dua proporsi:
[ ⁄ √
√
]
Keterangan:
n : Jumlah besar sampel = 24 sampel
P1 : Proporsi pada variabel kadar debu total dengan gangguan fungsi paru
sebesar 0,654 dari penelitian terdahulu (Budiono, 2007)
P2 : Proporsi pada variabel kadar debu total dengan gangguan fungsi paru
sebesar 0,211 dari penelitian terdahulu (Budiono, 2007)
Q1 : 1-P1
Q2 : 1-P2
P : Rata-rata proporsi [
]
Q : 1-P
⁄ : Derajat kemaknaan, α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5% = 1,96
: Kekuatan uji 1-β, didapatkan hasil yaitu 88,55%
Berdasarkan perhitungan uji hipotesis beda dua proporsi, didapatkan
kekuatan uji 1-β sebesar 88,55%.
49
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.4.1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah syarat yang harus dipenuhi responden agar dapat
menjadi sampel penelitian. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
1. Pekerja dalam keadaan sehat dan terbebas dari penyakit pernapasan dan
paru seperti asma, emfisema, bronkitis, pneumonia, alergi saluran
pernapasan, dll.
2. Pekerja tidak merokok atau merokok namun tidak melebihi jangka waktu
5 tahun.
4.4.2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah mengeluarkan responden yang memenuhi kriteria
inklusi dari penelitian karena alasan tertentu. Kriteria eksklusi pada penelitian ini
adalah pekerja menolak berpartisipasi dalam penelitian.
4.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
spirometer, EPAM-5000, thermohygrometer digital HTC-2, dan kuesioner.
1. Spirometer digunakan untuk mengukur fungsi paru pekerja.
2. EPAM-5000 untuk mengukur kadar debu di lingkungan pekerja.
3. Thermohygrometer digital untuk mengukur kelembaban dan suhu udara
di lingkungan pekerja.
4. Kuesioner digunakan untuk mendapatkan data pribadi pekerja.
5. Lembar observasi digunakan untuk mendapatkan data penggunaan masker
pada pekerja.
50
4.5 Sumber Data
Data yang dikumpulkan bersumber dari data primer yang diperoleh dari
hasil pengukuran terhadap variabel yang akan diteliti langsung. Data primer yang
dikumpulkan adalah kapasitas vital paru, kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu,
kelembaban, masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker.
4.6 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang diperoleh langsung
melalui:
1. Pengukuran kapasitas vital paru
Pengukuran kapasitas vital paru pada pekerja dilakukan dengan
menggunakan alat spirometer. Adapun cara pengukuran kapasitas paru adalah
sebagai berikut:
a. Hidupkan spirometer dengan menekan tombol ON
b. Lakukan kalibrasi untuk menjamin validitas hasil pengukuran
c. Masukan nama dan data pekerja (tanggal lahir, jenis kelamin, berat
badan, tinggi badan dan ras).
d. Tekan tombol START untuk memulai pengukuran
e. Pekerja diminta untuk melakukan inspirasi maksimal kemudian
lakukan ekspirasi maksimal ke dalam spirometer
f. Tekan tombol STOP untuk menghentikan pengukuran
g. Hasil pengukuran dapat dilihat dari spirogram yang telah di cetak
(BTL-08 Spiro Instruction Manual)
2. Pengukuran kadar debu PM1,0 dan PM2,5 di lingkungan kerja
Pengukuran debu dilakukan dengan menggunakan EPAM-5000 yaitu
monitor partikulat portabel berbasis mikroprosesor yang menggunakan
51
hamburan cahaya untuk mengukur konsentrasi partikel dan memberikan
langsung real-time penentuan dan rekaman data konsentrasi partikel udara
dalam miligram per meter kubik (mg/m3). Pengukuran kadar debu dilakukan
di tiga lokasi pengolahan batu split.
Untuk pengambilan sampel debu dilakukan secara representatif dari
standar pengukuran yang ditetapkan oleh NIOSH Manual of Analytical
Methods (NMAM) tahun 1998 yaitu 45 menit – 8 jam. Waktu pengukuran
dilakukan selama 45 menit pada setiap interval waktu pengukuran sebagai
berikut:
a. Siang : 10.00 – 14.00
b. Sore : 14.00 – 18.00
c. Malam : 18.00 – 22.00
(Permen LH No. 12 Tahun 2010)
Langkah pengukuran dengan menggunakan EPAM-5000 adalah sebagai
berikut:
a. Menekan tombol ON/OFF untuk menyalakan monitor EPAM
b. Mengecek kondisi baterai
c. Melakukan kalibrasi dengan menggunakan Flow Audit Meter atau tes
laju alir udara dengan menunjukkan hasik 4 Lpm
d. Melakukan pengaturan alat untuk waktu, alarm, ukuran partikulat,
dll.
e. Melakukan manual zero
f. Menekan tombol Run untuk pengambilan sampling
g. Hasil pengukuran dapat dilihat di monitor
52
(Standar Operasional Prosedur, Laboratorium HOC FKIK UIN
Jakarta)
3. Pengukuran suhu dan kelembaban udara di lingkungan kerja
Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan menggunakan
alat thermohygrometer digital. Adapun cara pengukuran suhu dan
kelembaban udara adalah sebagai berikut:
a. Masukan baterai dan alat akan hidup secara otomatis
b. Letakkan alat pada lokasi pengukuran dengan keadaan berdiri
c. Alat akan otomatis mengukur suhu dan kelembaban udara di lokasi
pengukuran
d. Tunggu kurang lebih 10 menit hingga pengukuran konstan
e. Hasil pengukuran dapat dilihat di monitor
4. Kuesioner
Kuesioner mencakup daftar pertanyaan untuk memperoleh data
pendukung dari pekerja.
5. Lembar observasi
Lembar observasi berupa lembar checklist untuk memperoleh data
penggunaan masker pada pekerja.
4.6 Pengolahan Data
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengolah data primer dari
variabel dependen dan variabel independen adalah sebagai berikut:
1. Data Editing
Penyuntingan data terlebih dahulu setelah data terkumpul untuk
memastikan kelengkapan data hasil pengukuran debu, kelembaban, suhu,
53
hasil pemeriksaan spirometri, kuesioner dan lembar observasi sehingga
apabila data belum lengkap dapat ditelusuri kembali kepada responden yang
bersangkutan.
2. Data Coding
Proses pengklasifikasian data melalui tahap coding sesuai dengan tujuan
dikumpulkannya data sehingga mempermudah proses pengolahan data
selanjutnya. Data yang akan di coding yaitu:
a. Kapasitas vital paru: data responden yang memiliki kapasitas vital
paru yang tidak normal diberi kode (1) dan normal diberi kode (2).
b. Kadar debu PM1,0: kadar debu yang tidak memenuhi syarat NAB (> 2
mg/m3) diberi kode (1) dan memenuhi syarat NAB (≤ 2 mg/m
3) diberi
kode (2).
c. Masa kerja: data repsponden yang > 5 tahun diberi kode (1) dan ≤ 5
tahun diberi kode (2).
d. Lama paparan: data responden yang > 8 jam diberi kode (1) dan ≤ 8
jam diberi kode (2).
e. Penggunaan masker: data observasi pekerja yang tidak menggunakan
masker diberi kode (1) dan menggunakan masker yang diberi kode
(2).
3. Data Entry
Memasukkan data dari masing-masing responden yang sudah berbentuk
kode pada tiap variabel ke software statistik yang digunakan untuk
selanjutnya dilakukan analisis data.
4. Data Cleaning
54
Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk melihat tidak
adanya kesalahan atau ketidaklengkapan pada data sehingga data dapat di
olah dan di analisis.
4.7 Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini
hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan presentasi dari tiap variabel.
Variabel dependen pada penelitian ini yaitu kapasitas vital paru, sedangkan
variabel independen pada penelitian ini adalah adalah lama paparan, masa
kerja, suhu udara, kelembaban udara, penggunaan masker, kadar debu PM1,0
dan PM2,5.
2. Analisis Bivariat
Digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen dalam penelitian. Analisis bivariat ini menggunakan uji chi
square. Uji chi square digunakan untuk melihat hubungan antara kadar debu
PM1,0, masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker dengan kapasitas
vital paru. Jika nilai p<0,05 maka dinyatakan terdapat hubungan yang
signifikan antara variabel tersebut.
55
BAB V
HASIL
5.1 Gambaran Umum PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon
PT. Indonesia Putra Pratama didirikan tanggal 9 November 2005
berdasarkan akte notaris Sumpayo, SH dan telah diratifikasi oleh Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor C-006682HT.01.01 tahun 2006. Sebagai
aktivator dan kontributor dalam membangun infrastruktur dan ekonomi Indonesia,
PT. IPP fokus kepada penambangan batu andesit kelas C dan memiliki izin usaha
pertambangan (IUP) nomor 540/Kep.28/IUP/BPTPM/2012 dengan lokasi
pertambangan di Desa Margasari, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten
Bojonegoro-Cilegon, Provinsi Banten.
Kebutuhan akan batu split yang semakin meningkat sebagai bahan baku
pembangunan seperti pembangunan pelabuhan, bandara, gedung, rumah, kantor,
jalan dan lainnya mendorong perusahaan untuk meningkatkan produksi hingga
1.000.000 m3 baru split per tahun dengan memperhatikan kualitas batu sesuai
dengan standar kualitas nasional yang telah ditetapkan. Lokasi pertambangan di
Desa Margasari, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten Bojonegoro-Cilegon,
Provinsi Banten dengan luas sekitar 152 hektar.
5.1.1 Visi dan Misi PT. Indonesia Putra Pratama
1. Visi
Membangun dan mewujudkan infrastuktur dan fasilitas yang berguna
untuk bangsa dan negara. (Realizing and development useful facilities and
intrastructure for nation and state).
2. Misi
56
Menjadi perusahaan pertambangan dan pengolahan serta penyedia agregat
dengan mengandalkan bahan batu konstruksi yang memenuhi syarat untuk
berpartisipasi dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa. (Becoming
cruscher plant, quarry and aggregate supplier company with relied on
qualified construction raw material in order to participate and play active
role in nation development).
5.1.2 Gambaran Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra
Pratama Cilegon
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980, batu andesit
termasuk ke dalam golongan bahan galian C atau dikenal dengan bahan galian
industri yaitu semua jenis bahan galian yang biasanya dipakai sebagai bahan
baku oeh perusahaan industri dan pembuatan bangunan-bangunan konstruksi.
PT. Indonesia Putra Pratama memiliki tiga lokasi pengolahan (plant) dengan
masing-masing luas sebesar 800 m3, 1.000 m
3, dan 1.200 m
3 yang dapat
memroduksi batu split sekitar 3.000 m3 per hari. Adapun proses pengolahan
batu split di PT. Indonesia Putra Pratama adalah sebagai berikut:
Material awal berupa bongkahan batu andesit/ boldes dengan ukuran
relatif besar dimasukkan ke dalam suatu corong yang kemudian batu dialirkan
ke pemecahan primer dengan menggunakan conveyor belt. Pada pemecahan
primer, batu dipecah menjadi batu dengan ukuran yang lebih kecil
menggunakan alat jaw crusher. Setelah dipecah, batu dialirkan kembali
menggunakan conveyor belt ke pemecahan sekunder. Pada proses ini, batu
kembali dipecah menggunakan jaw crusher sehingga menghasilkan batu
berukuran kecil. Selanjutnya, dilakukan proses penyortiran dengan
menggunakan mesin pengayak sehingga dihasilkan batu dengan berbagai tipe.
57
Tipe batu yang dihasilkan oleh PT. Indonesia Putra Pratama adalah sebagai
berikut:
Tabel 5.1
Tipe Batu Hasil Produksi PT. Indonesia Putra Pratama
Tipe Batu Ukuran Batu
Abu batu 0 -5 mm
Screening 1.1 6 -12 mm
Split 1.2 13 – 23 mm
Split 2.3 24 – 31 mm
Split 3.5 32 – 50 mm
Split 5.7 51 – 70 mm
Base Coarse A/B tergantung permintaan
Bolder stone 100 mm
Sirdam Ex crusher
Setelah proses pemecahan selesai, batu split dikirim kepada pelanggan
tanpa proses pengemasan dengan menggunakan kapal/ tongkang.
58
Bagan 5.1
Proses Pengolahan Batu Split di PT. Indonesia Putra Pratama
Adapun proses yang banyak menghasilkan debu adalah proses pemecahan
batu, baik pemecahan primer dan sekunder. Debu yang dihasilkan dari proses
pengolahan ini merupakan debu yang melayang di udara (suspended particulate
matter). Hal ini terjadi karena adanya proses pengolahan yang menjadikan batu
menjadi abu batu dengan ukuran 0-5 mm. Debu yang dihasilkan dari proses
pengolahan tentu berbahaya bagi pekerja. Oleh karena itu, PT. Indonesia Putra
Pratama melakukan pengendalian berupa wet dust suppression systems dengan
Proses Pengolahan Keterangan
Material dasar adalah batu andesit/
boldes
Batu dipecah menggunakan jaw crusher
Batu dipecah lagi menjadi ukuran lebih
kecil menggunakan jaw crusher
Batu disortir menggunakan mesin
pengayak
Batu split dengan berbagai ukuran
Pengiriman batu split ke pelanggan
Material awal
Pemecahan primer
Pemecahan
sekunder
Penyortiran
Hasil batu
Pengiriman
59
kategori plain water sprays yaitu dengan menggunakan air untuk membasahi
bahan yang dapat menghasilkan debu sehingga bahan tersebut cenderung tidak
menghasilkan debu.
Batu pada proses pemecahan dibasahi menggunakan air untuk
meminimalisir debu yang dihasilkan. Penyiraman ini dilakukan pada proses
pemecahan batu, baik pemecahan primer dan sekunder, yang berlangsung
selama proses pemecahan berjalan. Berdasarkan penuturan pekerja dilapangan,
penyiraman yang dilakukan cukup efektif untuk meminimaliris debu yang ada
dibandingkan ketika tidak dilakukan penyiraman. Hal ini dikaitkan dengan
berkurangnya keluhan batuk dan sesak napas yang dialami pekerja saat
dilakukannya penyiraman dibandingkan dengan tidak dilakukannya penyiraman.
Gambar 5.1
Penyiraman Pada Proses Pemecahan Batu
Namun, dari hasil pengamatan diketahui bahwa penyiraman yang
dilakukan belum optimal dikarenakan tidak adanya nozzle pada ujung selang
yang digunakan untuk penyiraman. Nozzle sangat penting pada sistem
penyiraman. Nozzle yang biasa digunakan pada wet dust suppression systems
adalah flat-spray nozzles karena dapat menghasilkan butiran air lebih besar
60
sehingga penyiraman lebih optimal. Oleh karena itu, perusahaan disarankan
untuk menggunakan nozzle pada ujung selang yang digunakan untuk melakukan
penyiraman sehingga penyiraman lebih optimal dan dapat lebih meminimalisir
debu yang dihasilkan.
Gambar 5.2 Gambar 5.3
flat-spray nozzles wet dust suppression systems
Sumber: www.osha.gov Sumber: www.osha.gov
5.2 Analisis Univariat
5.2.1 Gambaran Kapasitas Vital Paru (KVP) Pada Pekerja Pengolahan
Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Kapasitas vital paru pada pekerja dalam penelitian ini diketahui melalui
hasil pengukuran spirometri dari Laboratorium Biomed Cilegon. Berikut ini
adalah gambaran pengukuran kapasitas vital paru pekerja PT. Indonesia Putra
Pratama:
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Kapasitas Vital Paru Jumlah Presentase (%)
Tidak normal 5 20,8
Normal 19 79,2
Total 24 100
Berdasarkan tabel 5.2 diperoleh hasil distribusi kapasitas vital paru dari 24
pekerja pengolahan batu split yang memiliki KVP tidak normal sebanyak 5
pekerja (20,8%).
61
5.2.2 Gambaran Kadar Debu PM1,0 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Kadar debu PM1,0 diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di area
pengolahan batu split. Area pengolahan terdiri dari tiga tempat, yaitu plant 1,
plant 2 dan plant 3. Pengukuran kadar debu PM1,0 dilakukan selama 45 menit
dengan menggunakan interval waktu, yaitu siang (10.00-14.00), sore (14.00-
18.00) dan malam (18.00-22.00). Berikut ini adalah gambaran kadar debu PM1,0
pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama:
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM1,0 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015
Kadar Debu PM1,0 Jumlah Presentase (%)
Tidak memenuhi syarat
NAB (> 2 mg/m3)
17 70,8
Memenuhi syarat NAB (≤
2 mg/m3)
7 29,2
24 100
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa 17 pekerja (70,8) dari 24 pekerja
pengolahan batu split berada pada lingkungan kerja dengan kadar debu yang tidak
memenuhi NAB.
5.2.3 Gambaran Kadar Debu PM2,5 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Kadar debu PM2,5 diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di area
pengolahan batu split. Area pengolahan terdiri dari tiga tempat, yaitu plant 1,
plant 2 dan plant 3. Pengukuran kadar debu PM1,0 dilakukan selama 45 menit
dengan menggunakan interval waktu, yaitu siang (10.00-14.00), sore (14.00-
18.00) dan malam (18.00-22.00). Berikut ini adalah gambaran kadar debu PM2,5
pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama:
62
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM2,5 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015
Area pengolahan Kadar debu
PM2,5 (mg/m3)
Jumlah Pekerja Persentase (%)
Plant 1 2,76 9 37,5
Plant 2 2,67 7 29,2
Plant 3 2,16 8 33,3
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa kadar debu PM2,5 yang ada di plant 1, 2
dan 3 sudah melebihi syarat NAB sehingga berisiko untuk menurunkan
kapasitas vital paru. Kadar debu PM2,5 yang paling tinggi berada pada plant 1
dan pekerja yang terpapar debu paling banyak juga berada pada plant 1.
Pengukuran kadar debu PM2,5 menunjukkan hasil yang homogen sehingga
variabel kelembaban udara tidak dapat di analisis lebih lanjut.
5.2.4 Gambaran Suhu Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Suhu udara diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di area pengolahan
batu split dengan menggunakan alat thermohygrometer. Berikut ini adalah
gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra
Pratama:
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Suhu Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015
Area pengolahan Suhu Udara (oC) Jumlah Pekerja Persentase (%)
Plant 1 36,3 9 37,5
Plant 2 34,3 7 29,2
Plant 3 34,7 8 33,3
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa suhu udara di plant 1, 2 dan 3 sudah
melebihi syarat kesehatan yang ditentukan sehingga berisiko menurunkan
kapasitas vital paru. suhu udara paling tinggi berada pada plant 1 dan pekerja
paling banyak terpapar suhu tinggi juga berada di plant 1. Pengukuran suhu udara
63
menunjukkan hasil yang homogen sehingga variabel kelembaban udara tidak
dapat di analisis lebih lanjut.
5.2.5 Gambaran Kelembaban Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Kelembaban udara diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di area
pengolahan batu split dengan menggunakan alat thermohygrometer. Berikut ini
adalah gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu split PT.
Indonesia Putra Pratama:
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Kelembaban Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015
Area pengolahan Kelembaban
Udara (%) Jumlah Pekerja Persentase (%)
Plant 1 57 9 37,5
Plant 2 55 7 29,2
Plant 3 60 8 33,3
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa kelembaban udara pada plant 1, 2 dan 3
relatif rendah sehingga tidak berisiko untuk menurunkan kapasitas vital paru.
Pengukuran kelembaban udara menunjukkan hasil yang homogen sehingga
variabel kelembaban udara tidak dapat di analisis lebih lanjut.
5.2.6 Gambaran Masa Kerja Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra
Pratama Cilegon tahun 2015 dikategorikan menjadi lebih dari 5 tahun dan kurang
dari 5 tahun. Berikut ini adalah gambaran masa kerja pada pekerja pekerja
pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015:
64
Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia
Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Masa Kerja Jumlah Presentase (%)
> 5 tahun 7 29,2
≤ 5 tahun 17 70,8
Total 24 100
Tabel 5.7 menunjukkan 7 pekerja (29,2) memiliki masa kerja lebih dari 5
tahun.
5.2.7 Gambaran Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Lama paparan pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra
Pratama Cilegon tahun 2015 dikategorikan menjadi kurang dari 8 jam dan lebih
dari 8 jam. Berikut ini adalah gambaran lama paparan pada pekerja pekerja
pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015:
Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Lama Paparan n Persentase (%)
> 8 jam 21 87,5
≤ 8 jam 3 12,5
Total 24 100
Tabel 5.8 menunjukkan, 21 pekerja (87,5%) dari 24 pekerja pengolahan
batu split terpapar lebih dari 8 jam.
5.2.8 Gambaran Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu Split
PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia
Putra Pratama Cilegon tahun 2015 dikategorikan menjadi menggunakan dan
tidak menggunakan. Berikut adalah gambaran penggunaan masker pada pekerja
pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015:
65
Tabel 5.9
Distribusi Frekuensi Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Penggunaan Masker n Persentase (%)
Tidak Menggunakan 11 45,8
Menggunakan 13 54,2
Total 24 100
Tabel 5.9 menunjukkan 11 pekerja (45,8%) dari 24 pekerja pengolahan
batu split tidak menggunakan masker.
5.3 Analisis Bivariat
5.3.1 Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan
Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Untuk mengetahui hubungan antara kadar debu PM1,0 di area pengolahan
batu split dengan KVP dilakukan analisis uji statistik chi square dengan hasil
sebagai berikut:
Tabel 5.10
Hubungan Kadar Debu PM1,0 dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Kadar Debu PM1,0
KVP Total
Pvalue Tidak Normal Normal
n % n % N %
Tidak memenuhi
syarat NAB (> 2
mg/m3)
3 17,6 14 82,4 17 100
0,61 Memenuhi syarat
NAB (≤ 2 mg/m3)
2 28,6 5 71,4 7 100
Total 5 20,8 19 79,2 24 100
Tabel 5.10 menunjukkan bahwa 3 pekerja (17,6%) yang terpapar debu
melebihi NAB memiliki KVP tidak normal. Berdasarkan hasil uji statistik
didapatkan nilai p sebesar 0,61 yaitu lebih dari 0,05 sehingga dapat diartikan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar debu PM1,0 dengan
KVP.
66
5.3.2 Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Untuk mengetahui hubungan antara masa kerja dengan KVP dilakukan
analisis menggunakan uji chi square dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 5.11
Hubungan Masa Kerja dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Masa Kerja
KVP Total
Pvalue Tidak Normal Normal
n % n % N %
> 5 tahun 3 42,9 4 57,1 7 100
0,13 ≤ 5 tahun 2 11,8 15 88,2 17 100
Total 5 20,8 19 79,2 24 100
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa 3 pekerja (42,9%) yang memiliki masa
kerja lebih dari 5 tahun memiliki KVP tidak normal. Berdasarkan hasil uji
statistik didapatkan nilai p sebesar 0,13 yaitu lebih dari 0,05 sehingga tidak ada
hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan KVP.
5.3.3 Hubungan Lama Paparan dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Untuk mengetahui hubungan antara lama paparan dengan KVP dilakukan
analisis menggunakan uji chi square dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 5.12
Hubungan Lama Paparan dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Lama Paparan
KVP Total
Pvalue Tidak Normal Normal
n % n % N %
> 8 jam 5 23,8 16 76,2 21 100
1 ≤ 8 jam 0 0 3 100 3 100
Total 5 20,8 19 79,2 24 100
Tabel 5.14 menunjukkan sebanyak 5 pekerja (23,8%) dari 24 pekerja
terpapar lebih dari 8 jam dan memiliki KVP tidak normal. Berdasarkan hasil uji
statistik didapatkan nilai p sebesar 1 yaitu lebih dari 0,05 sehingga dapat
67
dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama paparan
dengan KVP.
5.3.4 Hubungan Penggunaan Masker dan KVP pada pekerja Pengolahan
Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Hubungan antara penggunaan masker dengan KVP diketahui dengan
melakukan analisis uji statistik chi square. Berikut ini adalah hasil analisis
statistik yang telah dilakukan:
Tabel 5.13
Hubungan Penggunaan Masker dan KVP pada pekerja Pengolahan Batu Split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Penggunaan
Masker
KVP
Total Pvalue OR 95% CI
Tidak
Normal Normal
n % N % n %
Tidak
Menggunakan 5 45,5 6 54,5 11 100
0,01 22,85 1,09-
478,83 Menggunakan 0 0 13 100 13 100
Total 5 20,8 19 79,2 24 100
Berdasarkan tabel 5.15, sebanyak 5 pekerja (45,5) tidak menggunakan
masker dan memiliki KVP tidak normal. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan
nilai p sebesar 0,01 yaitu kurang dari 0,05. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara penggunaan masker dengan KVP. Dari hasil
analisis diperoleh juga nilai OR=22,85, artinya pekerja yang tidak menggunakan
masker berisiko 22,85 kali memiliki KVP tidak normal dibandingkan pekerja
yang menggunakan masker. 95% CI yang didapatkan sebesar 1,09-478,83.
Rentang 95% CI yang lebar terjadi dikarenakan jumlah sampel pada penelitian
sedikit.
68
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti memiliki beberapa keterbatasan yaitu:
1. Pengukuran kondisi lingkungan (kadar debu, suhu, dan kelembaban) tidak
dilakukan pada pagi hari. Hal ini terkait dengan jam kerja pada perusahaan
yang tidak memungkinkan peneliti untuk melakukan pengukuran di pagi
hari.
2. Terjadinya hujan saat pengukuran kadar debu sehingga mempengaruhi
kadar debu yang diukur. Hujan cenderung melarutkan bahan polutan yang
terdapat dalam udara sehingga dapat membersihkan atmosfer karena
polutan mengendap lebih cepat.
3. Peneliti tidak meneliti kesesuaian jenis masker yang digunakan oleh
pekerja saat berada dilingkungan kerja sehingga keefektifan penggunaan
masker tidak dapat diteliti lebih lanjut.
6.2 Kapasitas Vital Paru
Paru-paru mempunyai fungsi untuk melakukan pertukaran gas oksigen dan
karbon dioksida. Oksigen yang bersenyawa dengan karbon dan hidrogen dari
jaringan, memungkinkan setiap sel melangsungkan proses metabolisme dan hasil
proses yang berupa karbon dioksida dapat dikeluarkan dari dalam tubuh (Pearce,
2008). Kapasitas vital paru adalah total jumlah udara maksimum yang dapat
dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum. Kapasitas vital paru
didapatkan dari penambahan tidal volume (TV), volume cadangan inspirasi (VCI)
dan volume cadangan ekspirasi (Tarwoto, 2009). Pengukuran KVP dapat
69
memberikan informasi yang berguna mengenai kekuatan otot-otot pernapasan dan
aspek fungsi paru lainnya. Besarnya penyimpangan atau penurunan nilai yang di
dapat dari pemeriksaan dapat menentukan paru seseorang dalam keadaan normal
atau tidak (PDPI, 2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 24 orang pekerja pengolahan
batu split PT. Indonesia Putra Pratama terdapat 20,8% pekerja memiliki KVP
tidak normal dan sebanyak 79,2% pekerja memiliki KVP normal. Standar yang
digunakan untuk menentukan tidak normalnya KVP ditentukan dari adanya
restriksi, obstruksi atau campuran restriksi dan obstruksi pada paru. Hal ini sejalan
dengan penelitian Agustanti (2003) yang menunjukkan bahwa kapasitas fungsi
paru normal (72,42%) lebih banyak dibandingkan kapasitas fungsi paru tidak
normal (27,59%) pada pekerja industri peleburan timah hitam di lingkungan
industri kecil di Bugangan Baru Semarang.
Selain itu, hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Aryuni dan
Russeng (2014) yang menjelaskan bahwa pekerja di bagian Cement Mill
PT.Semen Bosowa Maros memiliki kapasitas paru normal yaitu 63,6% lebih besar
dibandingkan pekerja dengan kapasitas paru tidak normal sebanyak 36,4%. Hasil
pengukuran yang didapatkan tidak bisa mendiagnosis penyakit yang berhubungan
dengan paru, namun hasil tersebut dapat menjadi acuan untuk menjaga kesehatan
terkait KVP. Hasil yang diperoleh dapat menjadi saran bagi pekerja untuk mulai
menjaga kesehatan diri.
Pada penelitian ini penurunan KVP dapat disebabkan oleh berbagai
macam faktor. Faktor-faktor yang terkait dengan penurunan KVP antara lain
70
kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu udara, kelembaban udara, masa kerja, lama
paparan dan penggunaan masker dengan penjelasan dibawah ini.
Hasil pengukuran kadar debu PM2,5, suhu udara dan kelembaban udara
pada plant 1, 2 dan 3 hampir sama. Kadar debu PM2,5 dan suhu udara memiliki
nilai tertinggi pada plant 1 dan kelembaban udara tertinggi berada di plant 3.
Diketahui juga faktor yang berisiko menurunkan KVP yaitu kadar debu PM1,0
dengan hasil sebanyak 17 pekerja (70,8%) terpapar debu dengan NAB yang tidak
memenuhi syarat. Faktor lainnya adalah banyaknya pekerja yang memiliki
paparan lebih dari 8 jam dan berdasarkan hasil observasi, masih adanya pekerja
yang tidak menggunakan masker saat berada di lingkungna kerja.
Berdasarkan hasil pengukuran, dapat diketahui bahwa plant 1 memiliki
kadar debu paling tinggi dibandingkan plant lainnya. Hal ini dapat disebabkan
karena plant 1 memiliki suhu udara paling tinggi sebesar 36,3 oC dibandingkan
suhu udara pada plant lainnya sehingga memepengaruhi kadar debu yang ada.
Simaela (2000) menjelaskan bahwa semakin tinggi suhu udara, maka potensi debu
untuk berada di udara semakin besar pula. Jenis debu yang ada di lokasi
pengolahan batu split adalah SPM (Suspended Partikulate Matter) atau partikel
debu yang melayang dan tetap berada di udara sehingga dengan tingginya suhu
udara maka akan berbanding lurus dengan tinggi kadar debu di udara.
Tidak adanya pohon di plant 1 juga menjadi penyebab tingginya kadar
debu di plant tsb dibandingkan dengan plant 2 dan plant 3 karena masih terdapat
pohon di sekitar plantnya. Konsentrasi debu dalam suatu lingkungan tergantung
pada jumlah pohon. Semakin banyak pohon, maka semakin rendah
konsentrasinya. Hal ini disebabkan karena debu terserap dan terjerap secara
71
intensif oleh jumlah pohon yang banyak. Konsentrasi debu di bawah tajuk pohon
lebih rendah daripada konsentrasi debu di luar tajuk pohon pada lingkungan yang
jumlah pohonnya banyak. Sebaliknya konsentrasi debu tertinggi pada lingkungan
dengan sedikit pohon terdapat di tempat pohon tersebut berada (Nurjazuli, 2010).
Kecepatan angin juga dapat menjadi penyebab tingginya kadar debu. Pada
plant 1, kecepatan angin cukup kencang dibandingkan dua plant lainnya. Hal ini
dapat menjadikan debu-debu yang bersifat SPM (Suspended Partikulate Matter)
atau partikel debu melayang yang ada di lokasi pengolahan batu split akan tetap
berada di udara dalam waktu yang relatif lama.
Gambaran suhu udara pada plant selama proses pengolahan batu split
cenderung memiliki suhu yang tinggi. Suhu tinggi dapat terjadi karena penelitian
berada pada musim peralihan antara musim kemarau dan musim hujan sehingga
suhu udara masih cenderung tinggi. Dari hasil pengukuran suhu udara, diketahui
terdapat perbedaan suhu di tiap plant. Menurut Ahrens (2008) variasi suhu udara
dipengaruhi oleh ketinggian suatu tempat. Pada plant 2 dan plant 3 memiliki suhu
udara yang lebih rendah dibandingkan plant 1. Hal ini dikarenakan lokasi
pengolahan plant 1 lebih rendah dibandingkan dua plant lainnya sehingga
memengaruhi suhu udara walaupun perbedaannya relatif kecil.
Selain perbedaan ketinggian, pohon juga dapat memengaruhi suhu udara.
Diketahui bahwa suhu udara plant 1 lebih tinggi dibandingkan plant lainnya.
Tidak adanya pohon di sekitar plant 1 dapat menjadi penyebab tingginya suhu
udara di plant tsb. Menurut NCSU, pohon dapat mengurangi suhu udara dengan
menghalangi sinar matahari. Pendinginan lebih lanjut terjadi ketika air menguap
dari permukaan daun dengan cara konversi air menjadi uap melalui proses kimia
72
untuk menghilangkan energi panas dari udara. Keadaan suhu yang tinggi,
tentunya akan berkaitan dengan keadaan kelembaban di lokasi pengolahan batu
split. Tingkatan suhu yang tinggi menjadikan keadaan kelembaban menjadi
berkurang, begitu pun sebaliknya.
Berdasarkan hasil observasi, diketahui masih banyaknya pekerja yang
tidak menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja. Hal ini dapat
menyebabkan penurunan KVP karena pekerja terpapar debu dalam waktu paparan
yang lama tanpa perlindungan. Dari penuturan pekerja, alasan pekerja tidak
menggunakan masker karena keengganan dari pekerja untuk mengunakan masker
meskipun sudah diimbau oleh perusahaan untuk menggunakan masker saat berada
di lingkungan kerja. Selain itu, menurut pekerja masker yang disediakan kurang
nyaman untuk dipakai dan mengganggu komunikasi antar pekerja.
6.3 Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja
Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun
2015
Dalam kasus pencemaran udara, debu sering dijadikan salah satu indikator
pencemaran yang digunakan untuk menunjukan tingkat bahaya baik terhadap
lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Partikel debu akan
berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang layang di
udara kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan (Pudjiastuti,
2002). Debu berukuran 1 mikron yang diukur pada penelitian ini termasuk
kedalam debu respirabel yaitu debu dengan diameter berukuran kurang dari sama
dengan 2,5 mikron yang dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem
pernapasan bagian atas dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam (EPA, 2015).
73
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan
Faktor Kimia Di Tempat Kerja, NAB kadar debu di lingkungan industri sebesar 2
mg/m3. Berdasarkan analisis univariat, didapatkan hasil bahwa 17 pekerja
(70,8%) berada di lingkungan kerja dengan kadar debu tidak memenuhi syarat
NAB dan 7 pekerja (29,2%) berada di lingkungan kerja dengan kadar debu
memenuhi syarat NAB. Adapun jumlah pekerja dengan paparan debu tidak
memenuhi syarat NAB dan KVP tidak normal sebanyak 3 pekerja (17,6%)
sedangkan yang memiliki KVP normal sebanyak 14 pekerja (82,4%).
Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan nilai p sebesar 0,61 yaitu lebih
dari 0,05 sehingga dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan hubungan yang
signifikan antara kadar debu PM1,0 dengan KVP. Hasil penelitian ini didukung
penelitian oleh Caesar (2011) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
paparan debu dengan kapasitas vital paru pada pekerja bagian produksi kawasan
industri peleburan logam Pesarean Tegal. Selain itu, penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Syahriany (2002) yang menjelaskan bahwa tidak
ada hubungan antara kadar debu dengan gangguan paru (KVP dibawah normal)
pada pekerja unit produksi tablet industri farmasi x.
Menurut Pudjiastuti (2002), partikel-partikel yang besarnya 1 sampai 3
mikron merupakan ukuran paling berbahaya karena akan ditempatkan langsung ke
permukaan alveoli paru-paru. Penimbunan partikel akan merusak epitel dan
pergerakan sel fagosit di dekat tempat penimbunan atau dapat menstimulasi
sekresi cairan. Partikel yang tertimbun dapat berdifusi ke dalam dan melalui
74
permukaan cairan dan sel dan dengan cepat diangkut oleh aliran darah ke seluruh
tubuh (ILO).
Menurut Price (1995), penimbunan debu dalam paru bermula dari debu
diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap. Udara
masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga
fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan yang terdiri
dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu
yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang hidung,
sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan mukosa. Gerakan
silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung dan kearah
superior menuju faring.
Partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan
berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh
magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang
terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terus-
menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan
pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim
paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat intertestial (Price, 1995).
Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru
(pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan pengembangan paru.
Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru
yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan
menurunnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian
tubuh lainnya (Price, 1995).
75
Berdasarkan paparan debu yang diterima, diketahui bahwa 2 pekerja
(28,6%) yang terpapar debu dengan NAB memenuhi syarat memiliki KPV tidak
normal. Hal ini dapat terjadi karena pekerja tersebut memiliki masa kerja lebih
dari 5 tahun. Khumaidah (2009) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai
kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru
salah satunya obstruksi saluran pernapasan pada pekerja industri yang berdebu
sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun sehingga tidak ada hubungan yang
signifikan antara kadar debu PM1,0 dan KVP.
Pekerja yang memiliki KVP tidak normal namun terpapar debu dengan
NAB memenuhi syarat juga diketahui tidak menggunakan masker saat berada
dilingkungan kerja. Penggunaan masker berkaitan dengan banyaknya partikulat
yang tertimbun di dalam organ paru akibat pencemaran yang dapat mengurangi
kemampuan fungsi paru, dengan menggunakan alat pelindung diri masker maka
dapat mencegah menumpuknya partikulat pencemar dalam organ paru sehingga
akan mengurangi terjadinya penurunan fungsi paru (Suma’mur, 1996).
Berdasarkan penjelasan diatas, walaupun kadar debu masih memenuhi
NAB masih terdapat pekerja yang memiliki KVP tidak normal. Maka dari itu,
sebaiknya pekerja segera meninggalkan lingkungan kerja apabila pekerjaan telah
selesai dan selalu menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja. Bagi
perusahaan sebaiknya menyediakan masker debu seperti masker N95 karena dapat
menyaring partikel debu halus di udara hingga ukuran 0,1 mikron sehingga lebih
efektif menahan debu yang dapat terhirup oleh pekerja dan melakukan
pengawasan terkait penggunaan masker pada pekerja.
76
Selain itu, pekerja yang terpapar debu dengan NAB memenuhi syarat juga
memiliki paparan lebih dari 8 jam sehingga semakin lama pekerja menghabiskan
waktu untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula paparan debu di
terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru (KVP dibawah
normal) juga akan lebih besar.
Selain itu, kadar debu yang sudah melebihi NAB pun akan sangat
berbahaya bagi kesehatan paru pekerja. Dampak paparan debu yang terus menerus
mengakibatkan penumpukan debu yang tinggi di paru yang menyebabkan
kelainan dan kerusakan seperti penurunan kapasitas paru yang disebut obstruksi
dan pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap
adalah berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada
kapasitas vital paru. Partikel debu dapat menimbulkan penurunan kapasitas vital
paru, sehingga akan mengurangi penggunaan optimal alat pernapasan untuk
mengambil oksigen pada proses respirasi (Sukarman, 1978).
Maka dari itu, perlu dilakukan suatu pengendalian pada kadar debu yang
sudah melebihi NAB. Dari hasil observasi dilapangan, sudah terdapat
pengendalian terhadap debu yang dihasilkan selama proses pengolahan.
Pengendalian yang diterapkan berupa wet dust suppression systems dengan
kategori plain water sprays yaitu dengan menggunakan air untuk membasahi
bahan yang dapat menghasilkan debu sehingga bahan tersebut cenderung tidak
menghasilkan debu. Batu pada proses pemecahan dibasahi menggunakan air
untuk meminimalisir debu yang dihasilkan. Penyiraman ini dilakukan pada proses
pemecahan batu, baik pemecahan primer dan sekunder, yang berlangsung selama
proses pemecahan berjalan.
77
Berdasarkan observasi lebih lanjut diketahui bahwa penyiraman yang
dilakukan belum optimal dikarenakan tidak adanya nozzle pada ujung selang yang
digunakan untuk penyiraman. Nozzle sangat penting pada sistem penyiraman.
Nozzle yang biasa digunakan pada wet dust suppression systems adalah flat-spray
nozzles karena dapat menghasilkan butiran air lebih besar sehingga penyiraman
lebih optimal. Oleh karena itu, perusahaan disarankan untuk menggunakan nozzle
pada ujung selang yang digunakan untuk melakukan penyiraman sehingga
penyiraman lebih optimal dan dapat lebih meminimalisir debu yang dihasilkan.
Tidak adanya hubungan antara kadar debu PM1,0 dengan KVP dapat terjadi
karena adanya mekanisme clearance pada paru. WHO (2000) menjelaskan ketika
partikel debu mengendap di paru-paru, sebagian besar partikel dikeluarkan oleh
berbagai mekanisme clearance. Partikel debu yang mengendap pada saluran udara
bersilia umumnya dibersihkan dari saluran pernapasan oleh aktivitas mukosiliar
dalam 24-48 jam. Clearance pada paru dapat terjadi melalui aksi makrofag
alveolar. Makrofag alveolar merupakan sel fagositik dan dapat bermigrasi.
Partikel debu akan dibawa oleh makrofag ke pembuluh limfa atau bronkiolus dan
akhirnya dikeluarkan oleh eskalator mukosiliaris (Mukono, 2003).
6.4 Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Masa kerja adalah semua perhitungan jumlah tahun masa kerja dalam
periode kerja. Semakin lama masa kerja seseorang, kemungkinan orang tersebut
mempunyai resiko terkena penyakit paru juga semakin besar (Tamuntuan, 2013).
Apabila kondisi paru terpapar dengan berbagai komponen pencemar, fungsi
fisiologis paru sebagai organ utama pernapasan akan mengalami beberapa
78
gangguan sebagai akibat dari pemaparan secara terus menerus dari berbagai
komponen pencemar (Anugrah, 2014).
Berdasarkan analisis univariat diketahui bahwa 7 pekerja (29,2%) dari 24
pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon memiliki masa
kerja lebih dari 5 tahun dengan 3 pekerja (42,9%) memiliki KVP tidak normal
sedangkan 4 pekerja (57,1%) memiliki KVP normal. Berdasarkan analisis
bivariat, didapatkan nilai p sebesar 0,13 yaitu lebih dari 0,05 sehingga tidak ada
hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan KVP. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ilhaq dan Kawatu (2014) yang menemukan hasil
yaitu tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kapasitas vital paru pada
penambang emas di wilayah pertambangan rakyat Tatelu Kecamatan Dimembe.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Yulaekah (2007) pada pekerja industri batu
kapur menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan
fungsi paru (KVP dibawah normal).
Khumaidah (2009) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai
kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru
salah satunya obstruksi saluran pernapasan pada pekerja industri yang berdebu
sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun. Adapun terdapat 2 pekerja (11,8%)
pekerja yang memiliki masa kerja kurang dari 5 tahun namun memiliki KVP tidak
normal. Hal ini dapat terjadi karena paparan debu pada pekerja telah melebihi
NAB. Dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan penumpukan
debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan yang bersifat
menetap yaitu berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada
kapasitas vital paru (Sukarman, 1978).
79
Selain itu, diketahui pula 2 pekerja tsb tidak menggunakan masker saat
berada dilingkungan kerja dan memiliki waktu kerja lebih dari 8 jam sehingga
terpapar debu lebih dari 8 jam. Tidak adanya perlindungan terhadap debu dengan
lama paparan yang lama sehingga semakin lama pekerja menghabiskan waktu
untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula paparan debu di
terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru (KVP dibawah
normal) juga akan lebih besar. Adanya pekerja yang memiliki masa kerja lebih
dari 5 tahun dan mempunyai KVP normal terjadi karena pekerja tsb menggunakan
masker selama berada di lingkungan kerja walaupun juga terpapar debu yang
melebihi NAB.
Berdasarkan penjelasan diatas, untuk mencegah terjadinya penurunan
kapasitas vital paru, sebaiknya pekerja selalu menggunakan masker saat berada di
lingkungan kerja untuk melindungi diri dari potensi paparan debu dan perusahaan
sebaiknya melakukan pengawasan yang intensif terhadap pekerja mengenai
penggunaan masker selama bekerja.
Menurut Suma’mur (1996), semakin lama seseorang dalam bekerja maka
semakin banyak terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.
Dalam lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan
menurunkan kapasitas fungsi paru pada karyawan. Semakin lama seseorang
bekerja pada tempat yang mengandung debu akan semakin tinggi resiko terkena
gangguan kesehatan, terutama gangguan saluran pernafasan. Debu yang terhirup
dalam konsentrasi dan jangka waktu yang cukup lama akan membahayakan.
Akibat penghirupan debu, yang langsung dirasakan adalah sesak, bersin, dan
batuk karena adanya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan debu untuk
80
beberapa tahun pada kadar yang rendah tetapi diatas batas limit paparan
menunjukkan efek toksik yang jelas. Tetapi hal ini tergantung pada pertahanan
tubuh dari masing-masing pekerja (Sirait, 2010).
6.5 Hubungan Lama Paparan Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu
Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Lama paparan adalah waktu yang dihabiskan seseorang berada dalam
lingkungan kerja dalam waktu sehari (Mengkidi, 2006). Lamanya seseorang
bekerja pada umumnya berkisar 6 – 8 jam dalam sehari, apabila waktu kerja
diperpanjang maka akan menimbulkan ketidakefisienan yang tinggi bahkan
menimbulkan penyakit diakibatkan lamanya seseorang terpapar polutan seperti
debu yang berada di lingkungan kerja (Suma’mur, 1996).
Menurut UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dijelaskan bahwa
waktu kerja yang diperbolehkan untuk pekerja yaitu 8 jam/hari. Pada
kenyataannya masih banyak ditemukan pekerja yang terpapar lebih dari 8
jam/hari. Hal ini didukung oleh penelitian Hamzah (2013) yang mengemukakan
bahwa sebagian besar pekerja tambang kapur tradisional di Kelurahan Buliide,
Kecamatan Kota Barat (94,3%) terpapar lebih dari 8 jam/hari. Selain itu, hasil
penelitian ini juga didukung oleh penelitian Irjayanti dan Nurjazuli (2012), yang
menyatakan bahwa 90% pekerja mebel kayu di Kota Jayapura terpapar lebih dari
8 jam/hari. Berdasarkan analisis univariat diketahui bahwa pekerja yang terpapar
lebih dari 8 jam/hari lebih banyak jumlahnya (87,5%) dibanding dengan pekerja
yang terpapar kurang dari 8 jam/hari (12,5%).
Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan nilai p sebesar 1 yaitu lebih dari
0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
lama paparan dengan KVP. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
81
Mengkidi (2006) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara lama
paparan dengan gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal) pada karyawan PT.
Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan. Penelitian lain yang mendukung adalah
penelitian yang dilakukan oleh Rantung dan Umboh (2013) pada tenaga kerja
mebel di CV. Mariska dan CV. Mercusuar Desa Leilem Kecamatan Sonder
Kabupaten Minahasa yaitu tidak adanya hubungan antara lama paparan dengan
gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal).
Menurut Asna (2013), lama paparan berpengaruh negatif bagi seseorang
yang bekerja karena semakin lama terpapar, bahaya yang ditimbulkan oleh tempat
kerja dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernapasan. Mengkidi
(2006) juga menjelaskan, lama paparan berkaitan dengan jumlah jam kerja yang
dihabiskan pekerja di area kerja. Semakin lama pekerja menghabiskan waktu
untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula paparan debu di
terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru (KVP dibawah
normal) juga akan lebih besar, tetapi hal itu juga tergantung dari konsentrasi debu
yang ada di area kerja dan mekanisme clearance dari masing-masing individu,
kadar partikel debu dan kerentanan individu.
Tidak adanya hubungan antara dua variabel ini dapat dijelaskan karena
lamanya waktu kerja tidak berarti bahwa paparannya juga semakin besar. Hasil
pengukuran di lapangan menunjukkan, meskipun memiliki waktu kerja relatif
sama, antara pekerja satu dengan pekerja lainnya mempunyai dosis paparan debu
yang berbeda sesuai dengan lokasi pekerja tersebut bekerja. Hal ini disebabkan
karena pengukuran debu yang dilakukan pada penelitian ini berfokus pada
pengukuran debu lingkungan bukan pengukuran debu pada pekerja. Tidak adanya
82
hubungan juga dikaitkan dengan penggunaan masker pada pekerja. Diketahui
bahwa 11 pekerja (52,4%) dari 21 pekerja yang memiliki paparan lebih dari 8 jam
menggunakan masker. Maka dari itu, paparan debu dapat diminimalisir dengan
adanya penggunaan masker pada pekerja.
Dari penjelasan diatas, pekerja disarankan untuk menggunakan masker
selama berada di lingkungan karena seringnya pekerja terpapar debu. Sedangkan
perusahaan sebaiknya melakukan upaya promosi kesehatan dengan mengadakan
penyuluhan mengenai bahaya kerja yang berhubungan dengan kesehatan paru
bagi pekerja dan melakukan pemeriksaan kesehatan berkala secara periodik
dilakukan untuk memantau perkembangan kesehatan pekerja selama bekerja di
perusahaan.
Adanya kebiasaan olahraga pada pekerja juga dapat menjadi faktor tidak
berhubungannya lama paparan dengan KVP pekerja. Olahraga yang dilakukan
oleh pekerja adalah futsal yang menurut teori merupakan olahraga dengan tingkat
kebugaran sangat baik (Guam, 1996). Menurut Sahab (1997), terdapat hubungan
timbal balik antara kapasitas paru dan olahraga. Gangguan pada paru dapat
mempengaruhi kemampuan olahraga sebaliknya olahraga yang teratur dapat
meningkatkan kapasitas paru. Olahraga dapat meningkatkan aliran darah melalui
paru-paru sehingga menyebabkan oksigen dapat berdifusi ke dalam kapiler paru
dengan volume yang lebih besar atau maksimum (Prasetyo, 2010). Maka dari itu,
pekerja sebaiknya melakukan olahraga secara rutin untuk menjaga kebugaran
badan dan meningkatkan kapasitas paru.
Selain itu, banyaknya pekerja yang tidak mempunyai kebiasaan merokok
juga menjadi salah satu faktor normalnya kapasitas vital paru pekerja. Hal ini
83
sejalan dengan Harrington dan Gill (2003), yang menjelaskan bahwa penurunan
kapasitas paru tidak hanya disebabkan oleh faktor pekerjaan maupun lingkungan
kerja, namun ada sejumlah faktor non-pekerjaan yang dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi, salah satunya adalah kebiasaan merokok.
6.6 Hubungan Penggunaan Masker Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan
Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat,
peralatan dan lingkungan kerja sangat perlu diutamakan (Suma’mur, 1996). Alat
pelindung diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi
seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja dari bahaya
di tempat kerja (Nedved, 1991). Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak
terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk
mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Pekerja yang taat
menggunakan masker saat bekerja akan meminimalkan jumlah paparan partikel
yang dapat terhirup (Budiono, 2007).
Berdasarkan analisis univariat diketahui bahwa pekerja yang
menggunakan masker lebih banyak jumlahnya (54,2%) dibanding dengan pekerja
yang tidak menggunakan masker (45,8%). Berdasarkan analisis bivariat,
didapatkan nilai p sebesar 0,01 yaitu kurang dari 0,05 sehingga dapat dikatakan
adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan masker dengan KVP.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2012) yang
menyatakan bahwa adanya hubungan penggunaan masker dengan gangguan
fungsi paru (KVP dibawah normal) pada pekerja di PT. KS. Selain itu penelitian
ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cahyana (2012) pada
pekerja tambang batubara PT. Indominco Mandiri Kalimantan Timur yaitu adanya
84
hubungan penggunaan masker dengan gangguan fungsi paru (KVP dibawah
normal).
Menurut Suma’mur (1996), penggunaan alat pelindung diri masker
berkaitan dengan banyaknya partikulat yang tertimbun di dalam organ paru akibat
pencemaran yang dapat mengurangi kemampuan fungsi paru, dengan
menggunakan alat pelindung diri masker maka dapat mencegah menumpuknya
partikulat pencemar dalam organ paru sehingga akan mengurangi terjadinya
penurunan fungsi paru.
Nedved (1991) menjelaskan bahwa APD haruslah enak dipakai, tidak
mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap bahaya.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, masih banyaknya pekerja yang tidak
menggunakan masker saat bekerja terjadi karena keengganan dari pekerja untuk
mengunakan masker meskipun sudah diimbau oleh perusahaan untuk
menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja. Selain itu, menurut pekerja
masker yang disediakan kurang nyaman untuk dipakai dan mengganggu
komunikasi antar pekerja. Oleh karena itu, sebaiknya perusahaan melakukan
pengawasan terhadap pekerja mengenai penggunaan masker selama bekerja.
Berdasarkan teori, APD harus diperiksa, dibersihkan dan dirawat oleh
pekerja secara berkala sehingga dapat dibuang, diganti dan /atau didekontaminasi
jika dianggap perlu. Elemen dasar dari setiap program manajemen untuk APD
harus di evaluasi secara mendalam mengenai peralatan yang dibutuhkan untuk
melindungi pekerja terhadap bahaya di tempat kerja. Evaluasi harus digunakan
untuk menetapkan prosedur operasi standar untuk personil, kemudian melatih
pekerja pada keterbatasan pelindung dari APD, dan pada penggunaan dan
85
pemeliharaan yang tepat. Menggunakan APD membutuhkan kesadaran bahaya
dan pelatihan pada bagian pengguna. Pekerja harus menyadari bahwa peralatan
tidak menghilangkan bahaya. Jika peralatan gagal, paparan akan terjadi. Untuk
mengurangi kemungkinan kegagalan, peralatan harus dipasang dengan benar dan
dipelihara dalam kondisi bersih dan berguna (OSHA, 2015).
Untuk melakukan kegiatan pengawasan (inspeksi, penggantian, dll)
diperlukan seseorang untuk melakukan kegiatan tersebut. PT. Indonesia Putra
Pratama belum mempunyai pekerja yang bertugas untuk mengawasi penggunaan
APD terutama masker. Maka dari itu, perusahaan perlu menunjuk pekerja sebagai
penanggung jawab atau pengawas terhadap penggunaan masker dan APD lainnya
dengan sebelumnya memberikan pelatihan mengenai penggunaan dan
pemeliharaan yang baik dan benar sehingga masker atau APD lainnya digunakan
dengan tepat dan meminimalisir pekerja dari bahaya kerja.
Pada penelitian ini, peneliti tidak meneliti tentang kesesuaian jenis masker
yang digunakan pekerja saat berada di lingkungan kerja. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kesesuaian jenis masker yang
digunakan di lingkungan kerja karena bisa jadi efektifitas masker sangat
berpengaruh terhadap jenis masker yang digunakan.
86
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pekerja pengolahan batu
split PT. Indonesia Putra Pratama, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Gambaran KVP pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra
Pratama Cilegon tahun 2015 yang memiliki KVP tidak normal sebanyak 5
pekerja (20,8%) dan 19 pekerja (79,2%) memiliki KVP normal.
2. Gambaran kadar debu PM1,0 pada proses pengolahan batu split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang tidak memenuhi NAB
sebanyak 17 pekerja (70,8%) dan 7 pekerja (29,2%) memenuhi NAB.
3. Gambaran kadar debu PM2,5 pada proses pengolahan batu split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 memiliki rata-rata sebesar 2,53
mg/m3 dengan nilai terendah sebesar 2,42 mg/m
3 dan nilai tertinggi sebesar
2,65 mg/m3.
4. Gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra
Pratama Cilegon tahun 2015 memiliki nilai terendah sebesar 34,3 o
C dan
nilai tertinggi sebesar 36,3 oC.
5. Gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 memiliki nilai terendah sebesar
55% dan nilai tertinggi sebesar 60%.
87
6. Gambaran masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia
Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang memiliki masa kerja lebih dari 5
tahun sebesar 7 pekerja (29,2%) dan 17 pekerja (70,9%) memiliki masa
kerja kurang dari 5 tahun.
7. Gambaran lama paparan pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia
Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang terpapar lebih dari 8 jam sebanyak
21 pekerja (87,5%) dan 3 pekerja (12,5%) terpapar kurang dari 8 jam.
8. Gambaran penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu split PT.
Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang menggunakan masker
sebanyak 13 pekerja (54,2%) dan 11 pekerja (45,8%) tidak menggunakan
masker.
9. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar debu PM1,0 dan KVP
pekerja. Hasil uji chi square didapatkan nilai p=0,61 (p>0,05).
10. Tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dan KVP pekerja.
Hasil uji mann-whitney didapatkan nilai p=0,13 (p>0,05).
11. Tidak ada hubungan yang signifikan antara lama paparan dan KVP pekerja.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p=1 (p>0,05).
12. Ada hubungan yang signifikan antara penggunaan masker dan KVP pekerja.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p=0,01 (p<0,05).
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Perusahaan
1. Menggunakan nozzle pada ujung selang yang digunakan untuk melakukan
penyiraman. Nozzle yang biasa digunakan pada wet dust suppression
systems adalah flat-spray nozzles karena dapat menghasilkan butiran air
88
lebih besar sehingga penyiraman lebih optimal dan dapat lebih
meminimalisir debu yang dihasilkan.
2. Melakukan upaya promosi kesehatan dengan mengadakan penyuluhan
mengenai bahaya kerja yang berhubungan dengan kesehatan paru bagi
pekerja untuk meminimalisir terjadinya penurunan KVP pada pekerja.
3. Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala (periodical examination)
khususnya pemeriksaan paru secara periodik untuk memantau
perkembangan kesehatan pekerja selama bekerja di perusahaan.
4. Menunjuk pekerja sebagai penanggung jawab atau pengawas terhadap
penggunaan masker dan APD lainnya dan sebelumnya diberikan pelatihan
pada pekerja mengenai penggunaan dan pemeliharaan yang baik dan benar
sehingga masker atau APD lainnya digunakan dengan tepat dan
meminimalisir pekerja dari bahaya kerja.
5. Melakukan pengawasan yang intensif terhadap pekerja mengenai
penggunaan masker selama bekerja.
6. Meskipun perusahaan telah menyediakan masker bagi pekerja namun
sebaiknya perusahaan menyediakan masker debu seperti masker N95.
Masker jenis ini dapat menyaring partikel debu halus di udara hingga
ukuran 0,1 mikron sehingga lebih efektif menahan debu yang dapat
terhirup oleh pekerja.
7.2.2 Bagi Pekerja
1. Untuk meminimalisir paparan debu, pekerja diharapkan untuk segera
meninggalkan lingkungan kerja apabila pekerjaan telah selesai.
89
2. Pekerja selalu menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja untuk
meminimalisir terjadinya paparan debu atau lainnya yang berbahaya bagi
kesehatan pekerja.
3. Melakukan olahraga secara rutin untuk menjaga kebugaran badan dan
meningkatkan kapasitas paru.
7.2.3 Bagi penelitian selanjutnya
1. Meneliti lebih lanjut mengenai kesesuaian jenis masker yang digunakan di
lingkungan kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Tjandra Yoga. Hastuti, Tri. 2002. Kesehatan Dan Keselamatan Kerja.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Agustansi, Lilis. 2003. Hubungan Antara Tingkat Pemaparan Partikel Debu Udara
Dengan Kapasitas Fungsi Paru (Studi Pada Pekerja Industri Oeleburan
Timah Hitam Di Lingkungan Industri Kecil Bugangan Baru Semarang).
Semarang: Universitas Diponegoro.
Ahrens, C. Donald. 2008. Essentials of Meteorology: An Invitation to the
Atmosphere. USA : Thomson Higher Education.
Anugrah, Yuma. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital
Paru Pada Pekerja Penggilingan Divisi Batu Putih Di PT. Sinar Utama
Karya. Semarang: Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu
Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Anurogo, Dito, Ari Wulandari. 2012. 45 Penyakit yang Banyak Ditemukan di
Masyarakat. Yogyakarta: ANDI.
Aryuni, Sri, dkk. 2014. Hubungan Kadar Debu Dengan Kapasitas Paru Pada
Tenaga Kerja Di Bagian Cement Mill Pt.Semen Bosowa Maros. Makassar:
Universitas Hasanuddin.
Asna, Alfiyan Sayyidah. 2013. Hubungan Antara Lama Paparan Kadar Debu Batu
Bara Dengan Penurunan Kapasitas Fungsi Paru Pada Tenaga Kerja Di
Unit Boiler Batu Bara PT. Indo Acidatama Tbk. Kemiri, Kebakkramat,
Karanganyar. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Bajentri AL, Veeranna N, Dixit PD, Kulkarni SB. 2003. Effect of 2-5 years of
tobacco smoking on ventilatory function tests. J Indian Med Assoc. Feb
2003;101(2):96-7, 108.
Budiono, Irwan, 2007. Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja
Pengecatan Mobil (Studi Pada Bengkel Pengecatan Mobil Di Kota
Semarang). Semarang: Universitas Diponegoro.
Caesar, David Laksamana. 2011. Hubungan Paparan Debu dengan Kapasitas Vital
Paru pada Pekerja Bagian Produksi Kawasan Industri Peleburan Logam
Pesarean Tegal. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Cahyana, Asrina, dkk. 2012. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Tambang Batubara Pt. Indominco
Mandiri Kalimantan Timur Tahun 2012. Makassar: Bagian Kesehatan dan
Keselamatan Kerja FKM Universitas Hasanuddin.
Depkes RI. 2003. Modul Pelatihan Bagi Fasilitator Kesehatan Kerja. Jakarta.
Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC.
Donaldson, G.C. dkk. 1999. Effect of temperature on lung function and symptoms
in chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 1999; 13: 844±849.
Printed in UK ± all rights reserved. Opyright ERS Journals Ltd 1999
European Respiratory Journal #ISSN 0903-1936
Enviromental Protection Agency (EPA). 1997. Health Effects of Particulate
Matter. Diakses tanggal 31 Agustus dari
http://www.epa.gov/region07/air/quality/pmhealth.htm jam 09:45 WIB.
Environmental Protection Agency (EPA). 2015. Particulate Matters (PM).
Diakses tanggal 24 November 2015 dari
http://www3.epa.gov/airquality/particlepollution/index.html jam 01:28
WIB.Fardiaz, Srikandi. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.
Francis, Caia. 2011. Perawatan Respirasi. Jakarta: Erlangga.
Giuliodori, Mauricio J., dkk. 2004. Simple, Inexpensive Model Spirometer For
Understanding Ventilation Volumes. Advan in Physiol Edu 28:33, 2004.
doi:10.1152/advan.00034.2003
Hamzah, Sutamin. 2013. Pengaruh Paparan Debu Dan Masa Kerja Terhadap
Kapasitas Paru Pekerja Tambang Kapur Tradisional Di Kelurahan Buliide,
Kecamatan Kota Barat Tahun 2013. Gorontalo: Jurusan Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas
Negeri Gorontalo.
Harrington, J.M, and F.S. Gill. 2003. Buku Saku Kesehatan Kerja. Jakarta: EGC.
Hastono, Sutanto Priyo, Luknis Sabri. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali
Pers.
Hasty, Karbella Kuantanades. 2011. Hubungan Lingkungan Tempat Kerja Dan
Karakteristik Pekerja Terhadap Kapasitas Vital Paru (KVP) Pada Pekerja
Bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah.
Healthcommunities. 2013. Warm Weather & Respiratory Problems. Diakses
tanggal 22 Desember 2015 dari
http://www.healthcommunities.com/evaluating-lung-problems/warm-
weather-respiratory-illness.shtml jam 15:48 WIB.
Health Safety Protection (HSP). 2011. Mengenal Debu (Dust) dan
Pengendaliannya (Dust Control). Diakses tanggal 24 November 2015 dari
http://healthsafetyprotection.com/mengenal-debu-dust-dan-
pengendaliannya-dust-control/ jam 01:26 WIB.
Hesti, Leli. 2012. Penyakit Akibat Kerja. Diakses tanggal 12 Oktober 2014 jam
21.17 dari http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2012/08/11/penyakit-
akibat-kerja-485112.html
Huraiová, Monika dan Ondrejka, Martin. 2013. Andesite. Department of
Mineralogy and Petrology, Comenius University of Bratislava, Slovakia.
Diakses tanggal 30 Agustus 2015 dari http://www.atlas-
hornin.sk/en/record/62/andesite jam 20:58 WIB.
Ikhsan, Mukhtar. 2002. Penatalaksanaan Penyakit Paru Akibat Kerja. Jakarta: UI
Press.
Ikhsan M, dkk. 2010. Perubahan Iklim dan Kesehatan Paru. departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI – RS Persahabatan,
Jakarta. J Respir Indo Vol. 30, No. 4 Oktober 2010
Ilhaq, Angriani J, Kawatu, Paul A., dkk. 2014. Hubungan Antara Umur, Masa
Kerja, Dan Status Gizi Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Penambang
Emas Di Wilayah Pertambangan Rakyat Tatelu Kecamatan Dimembe.
Manado: Universitas Sam Ratulangi.
International Labour Office (ILO). Encyclopaedia of Occupational Health and
Safety. Diakses tanggal 1 Desember 2015 dari
http://www.ilocis.org/documents/chpt10e.htm jam 16:08 WIB.
Irjayanti, Apriyana, dkk. 2012. Hubungan Kadar Debu Terhirup (Respirable)
Dengan Kapasitas Vital Paksa Paru Pada Pekerja Mebel Kayu di Kota
Jayapura. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11 No. 2 / Oktober
2012.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta:
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1405/MENKES/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja Perkantoran Dan Industri
Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup Nomor: KEP-
02/MENKLH/I/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu
Lingkungan
Kusuma, Adang P. 2012. Menambang Tanpa Merusak Lingkungan. Badan
Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
Laboratorium HOC. 2013. Standar Operasional Pemakaian Environmental
Particulate Monitor. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
McCarthy, Kevin, dkk.2015. Pulmonary Function Testing. Medscape. Diakses
tanggal 31 Agustus dari http://emedicine.medscape.com/article/303239-
overview jam 00:29 WIB.
Mengkidi, Nurjazuli, dan Sulistiyani. 2006. Gangguan Fungsi Paru dan Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Pada Karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep
Sulawesi Selatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Volume 5.
Nomor 2. Oktober 2006. Semarang.
Mukono, H.J. 2003. Pencemaran Udara Dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan
Saluran Pernapasan. Surabaya: Airlangga University Press.
National Heart Lung Blood Institute. What Are Lung Function Tests?. USA:
Department Of Health and Human Services. Diakses tanggal 30 Agustus
2015 dari http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/lft jam
23.18 WIB.
National Jewish Health. 2012. General Tools – Peak Flow Meter. Diakses dari
http://www.nationaljewish.org/healthinfo/conditions/asthma/lifestyle-
management/tools/peak-flow-meter tanggal 31 Agustus jam 01.45 WIB.
National Jewish Health. 2013. Spirometry Testing (Lung Function Testing).
Diakses dari http://www.nationaljewish.org/programs/tests/pulmonary-
physiology/pulmonary-function/spirometry/ tanggal 31 Agustus 2015 jam
00:16 WIB.
Nasar, I Made, dkk. 2010. Buku Ajar Patologi II (Khusus) Edisi Ke-1. Jakarta:
CV. Sagung Seto.
NC State University. Trees of Strength. College of agriculture & life sciences,
department of horticultural science. Diakses dari
https://www.ncsu.edu/project/treesofstrength/benefits.htm tanggal 6
Januari 2016 jam 12.44 WIB.
Nedved, Milos. 1991. Keselamatan Kerja Bidang Kimia dan Pengendalian Bahaya
Besar. Jakarta: ILO.
Ningrum, Prehatin Trirahayu. 2009. Hubungan Antara Perilaku Dengan Gangguan
Fungsi Paru Pada Pekerja Unit II Pengolahan NPK Di Industri PT.
Petrokimia Gresik. Jember: Universitas Jember. Jurnal Ikesma Volume 8
Nomor 1 Maret 2012
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nouval, Naafiakra. 2009. Andesit. Fakultas Teknologi Mineral Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta diakses tanggal 30 Agustus
2015 dari http://petrolab-upn.tripod.com/Andesit.htm jam 20:25 WIB.
Nugroho, Antonius Sardjanto Setyo. 2012. Hubungan Konsentrasi Debu Total
Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Di PT. KS Tahun 2010.
Depok: Universitas Indonesia.
Nurjazuli dkk. 2010. Analisis Perbedaan Kapasitas Fungsi Paru Pada Pedangang
Kaki Lima Berdasarkan Kadar Debu Tatal Di Jalan Nasional Kota
Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro. J Kesehat Masy Indones
Vol 6 No 1 Th 2010
Occupational Safety and Health Administration (OSHA). 2007. Respirator.
Diakses tanggal 6 Desember 2015 dari
https://www.osha.gov/Publications/3280-10N-05-english-06-27-2007.html
jam 19:16 WIB.
Occupational Safety and Health Administration (OSHA). 1987. Dust Control
Handbook For Minerals Processing. Martin Marietta Corporation. Martin
Marietta Laboratories Contract No. J0235005. Diakses dari
https://www.osha.gov/dsg/topics/silicacrystalline/dust/dust_control_handb
ook.html
Occupational Safety and Health Administration (OSHA). 2015. Hazard
Prevention and Control. Diaskes dari
https://www.osha.gov/SLTC/etools/safetyhealth/comp3.html#Personal%2
0Protective%20Equipment%20%28PPE%29 tanggal 6 Januari 2016 jam
13.34 WIB.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara Di Daerah
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia
Di Tempat Kerja.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
PER.25/MEN/XII/2008 Tentang Pedoman Diagnosis Dan Penilaian Cacat
Karena Kecelakaan Dan Penyakit Akibat Kerja
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2013. Gangguan Faal Paru. Diakses tanggal
29 Januari 2015 dari www.klikparu.com jam 17:00 WIB.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2013. Nilai Normal Faal Paru Indonesia.
Diakses tanggal 26 Agustus 2015 dari www.klikparu.com
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2013. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Diakses tanggal 29 Januari 2015 dari www.klikparu.com
Prasetyo, Dian Rawar. 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas
Vital Paru Pada Pekerja Bengkel Las Di Pisangan Ciputat Tahun 2010.
Jakarta: Universitas Syarif Hidayatullah.
Price, S. A. and Wilson, L. McCarty., 1995. Fisiologi proses-proses penyakit.
Alih bahasa Peter Anugrah. EGC. Jakarta.
Rantung, Fernando, Umboh, Jootje M.L, dkk. 2013. Hubungan Lama Paparan
Debu Kayu Dan Kebiasaan Merokok Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada
Tenaga Kerja Mebel di CV. Mariska Dan CV. Mercusuar Desa Leilem
Kecamatan Sonder Kabupaten Minahasa. Manado: Universitas Sam
Ratulangi.
Riyadina, Woro. 1996. Efek Biologis Dari Paparan Debu. Pusat Penelitian
Penyakit Tidak Menular, Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI.
Sangadji, Etta Mamang. 2010. Metodologi Penelitian – Pendekatan Praktis dalam
Penelitian. Yogyakarta: ANDI.
Setiawan, Aris, dkk. 2009. Fisiologi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa
Kebidanan. Jakarta: CV. Trans Info Media
Setyaningsih, Yuliani, dkk. 2010. Analisis Potensi Bahaya dan Upaya
Pengendalian Risiko Bahaya Pada Pekerja Pemecah Batu. Semarang: Staf
Pengajar Bagian K3 Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP. Media
Kesehat. Masy. Indones., Vol. 9 No. 1, April 2010.
Simaela, Steven L. 2000. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas
Maksimal Paru Pekerja Perusahaan Pemecah Batu Pada PT. P Di Daerah
Bogor Jawa Barat Tahun 2000. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sintorini M, 2002, Hubungan Antara Kadar PM10 Udara Ambien Dengan
Kejadian Gejala Penyakit Saluran Pernafasan, Thesis, PS-UI,Jakarta
Sinurat, Ridwan. 2013. Pengaruh Karakteristik Pekerja Dan Paparan Debu Serta
Kondisi Fisik Lingkungan Kerja Terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja Di
PTP Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai
Tahun 2013. Medan: Universitas Sumateran Utara.
Sirait, Manna. 2010. Hubungan Karakteristik Pekerja Dengan Faal Paru Di Kilang
Padi Kecamatan Porsea Tahun 2010. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sirait, Ridwan. 2013. Pengaruh Karakteristik Pekerja Dan Paparan Debu Serta
Kondisi Fisik Lingkungan Kerja Terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja Di
PTP Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai
Tahun 2013. Medan: Universitas Sumateran Utara.
Stang, Debra. 2014. Lung plethysmography. Diakses tanggal 30 Agustus 2015
dari http://www.healthline.com/health/lung-plethysmography#Overview1
jam 23:48 WIB.
Sucipto, Edy. 2007. Hubungan Pemaparan Partikel Debu Pada Pengolahan Batu
Kapur Terhadap Penurunan Kapasitas Fungsi Paru. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Sukarman. 1978. Kapasitas Pernafasan untuk Evaluasi Faal Paru. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Suma’mur, P.K. 1991. Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Haji
Masagung
Syahriany, Yetti. 2002. Hubungan Kadar Debu Dan Karakteriktik Pekerja Dengan
Gangguan Paru Pekerja Pada Unit Produksi Tablet Industri Farmasi X
Tahun 2002. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Tamuntuan, Marianti L., dkk. 2013. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan
Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Di Bagian Pengecatan Mobil Di CV.
Kombos Manado. Bidang Minat Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado.
Tarwoto, dkk. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan.
Jakarta: TIM.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan
West, John B. 2003. Patofisiologi Paru Esensial, Ed. 6. Alih bahasa, Cindy H.
Nasrani; editor edisi bahasa Indonesia, Husny Muttaqin, Andrea Rubiana,
Yoavita. Jakarta: EGC.
World Heatlh Organization. 1993. Deteksi dini penyakit akibat kerja. Penerbit
buku kedokteran EGC
. 2000. Air Quality Guidelines - Second Edition. WHO Regional Office
for Europe, Copenhagen, Denmark.
. 1997. Hazard Prevention and Control in the Work Environment:
Airborne Dust WHO/SDE/OEH/99.14
Young, Hugh D, dkk. 2002. Fisika Universitas. Jakarta: Erlangga.
Yulaekah, Siti. 2007. Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Paru Pada
Pekerja Industri Batu Kapur (Studi Di Desa Mrisi Kecamatan
Tanggungharjo Kabupaten Grobogan). Tesis. Semarang: Universitas
Diponegoro.
No. Respoden Tanggal
KUESIONER PENELITIAN
Kondisi Lingkungan Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pada
Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Assalamualaikum. Wr. Wb.
Saya Nabila Dewi Ichsani, mahasiswi Kesehatan Masyarakat Peminatan
Kesehatan Lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat
ini saya sedang melakukan pengumpulan data sebagai salah satu bahan dalam
penyusunan tugas akhir (skripsi). Semua data dan informasi yang saudara berikan
akan dijaga kerahasiaannya dan kuesioner ini akan dimusnahkan apabila tidak
digunakan lagi. Atas perhatian dan kerjasama saudara, saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Form Kesediaan Responden Penelitian
Apakah saudara bersedia?
(beri tanda silang (Х) pada pilihan dibawah ini)
a. Ya
b. Tidak
Cilegon, Oktober 2015
Tanda Tangan Responden
( …………………………. )
A. Karakteristik Responden
A1 Nama
A2 Umur
A3 Tempat dan Tanggal Lahir
A4 No. Telp/ HP
B. Masa Kerja (Diisi oleh
peneliti)
B1 Sudah berapa lama anda bekerja di penambangan batu ini
……… tahun.
Sejak usia berapa?
……… tahun.
C. Lama Paparan
C1 Berapa jam anda bekerja dalam satu hari?
1. Lebih dari 8 jam
2. Kurang dari 8 jam
[ ]
C2 Berapa hari anda bekerja dalam satu minggu?
……… hari/minggu
LEMBAR OBSERVASI PENGGUNAAN MASKER
No Nama pekerja Pemakaian masker
Pakai Tidak pakai
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
LAMPIRAN HASIL PEMERIKSAAN KAPASITAS VITAL PARU PADA
PEKERJA PENGOLAHAN BATU SPLIT PT. INDONESIA PUTRA
PRATAMA
No Pekerja Kapasitas vital paru
1. Pekerja -1 Restiriksi
2. Pekerja -2 Obstruksi-restriksi
3. Pekerja -3 Normal
4. Pekerja -4 Restriksi
5. Pekerja -5 Restriksi
6. Pekerja -6 Restriksi
7. Pekerja -7 Normal
8. Pekerja -8 Normal
9. Pekerja -9 Normal
10. Pekerja -10 Normal
11. Pekerja -11 Normal
12. Pekerja -12 Normal
13. Pekerja -13 Normal
14. Pekerja -14 Normal
15. Pekerja -15 Normal
16. Pekerja -16 Normal
17. Pekerja -17 Normal
18. Pekerja -18 Normal
19. Pekerja -19 Normal
20. Pekerja -20 Normal
21. Pekerja -21 Normal
22. Pekerja -22 Normal
23. Pekerja -23 Normal
24. Pekerja -24 Normal
LAMPIRAN OUTPUT SPSS
UJI NORMALITAS
Tes Shapiro-wilk
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
KVP 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%
Descriptives
Statistic Std. Error
KVP Mean 1.17 .078
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 1.01
Upper Bound 1.33
5% Trimmed Mean 1.13
Median 1.00
Variance .145
Std. Deviation .381
Minimum 1
Maximum 2
Range 1
Interquartile Range 0
Skewness 1.910 .472
Kurtosis 1.792 .918
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
KVP .503 24 .000 .454 24 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Uji normalitas setelah di transform
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
trans_KVP 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%
Descriptives
Statistic Std. Error
trans_KVP Mean .0502 .02339
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .0018
Upper Bound .0986
5% Trimmed Mean .0390
Median .0000
Variance .013
Std. Deviation .11460
Minimum .00
Maximum .30
Range .30
Interquartile Range .00
Skewness 1.910 .472
Kurtosis 1.792 .918
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
trans_KVP .503 24 .000 .454 24 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Selanjutnya menggunakan uji mann-whitney
ANALISIS UNIVARIAT
1. Gambaran Kapasitas Vital Paru
KVP
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak normal 5 20.8 20.8 20.8
normal 19 79.2 79.2 100.0
Total 24 100.0 100.0
2. Gambaran Lama Paparan
lama_paparan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid > 8 jam 21 87.5 87.5 87.5
< 8 jam 3 12.5 12.5 100.0
Total 24 100.0 100.0
3. Gambaran Pemakaian Masker
masker
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak pakai 11 45.8 45.8 45.8
pakai 13 54.2 54.2 100.0
Total 24 100.0 100.0
4. Gambaran Masa Kerja
masa_kerja
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid > 5 tahun 7 29.2 29.2 29.2
< 5 tahun 17 70.8 70.8 100.0
Total 24 100.0 100.0
5. Gambaran Kadar Debu PM1,0
debu_PM1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid > 2 17 70.8 70.8 70.8
<2 7 29.2 29.2 100.0
Total 24 100.0 100.0
6. Gambaran Kadar Debu PM2,5
Statistics
ave ave1 max2
N Valid 3 3 3
Missing 0 0 0
Mean 2.75533 2.67000 9.62467
Median 2.13400 1.82500 9.89200
Mode 1.394a 1.687
a 6.887
a
Std. Deviation 1.756452E
0
1.584597E
0
2.614272E
0
Minimum 1.394 1.687 6.887
Maximum 4.738 4.498 12.095
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
Descriptives
Statistic Std. Error
ave Mean 2.75533 1.014088
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound -1.60794
Upper Bound 7.11860
5% Trimmed Mean .
Median 2.13400
Variance 3.085
Std. Deviation 1.756452E
0
Minimum 1.394
Maximum 4.738
Range 3.344
Interquartile Range .
Skewness 1.393 1.225
Kurtosis . .
ave1 Mean 2.67000 .914868
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound -1.26636
Upper Bound 6.60636
5% Trimmed Mean .
Median 1.82500
Variance 2.511
Std. Deviation 1.584597E
0
Minimum 1.687
Maximum 4.498
Range 2.811
Interquartile Range .
Skewness 1.717 1.225
Kurtosis . .
ave2 Mean 2.15967 .417318
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .36409
Upper Bound 3.95524
5% Trimmed Mean .
Median 2.33600
Variance .522
Std. Deviation .722816
Minimum 1.365
Maximum 2.778
Range 1.413
Interquartile Range .
Skewness -1.032 1.225
Kurtosis . .
Statistics
ave_25
N Valid 3
Missing 0
Mean 2.52833
Median 2.67000
Mode 2.160a
Std. Deviation .321805
Minimum 2.160
Maximum 2.755
a. Multiple modes exist. The smallest
value is shown
Descriptives
Statistic Std. Error
ave_25 Mean 2.52833 .185794
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 1.72893
Upper Bound 3.32774
5% Trimmed Mean .
Median 2.67000
Variance .104
Std. Deviation .321805
Minimum 2.160
Maximum 2.755
Range .595
Interquartile Range .
Skewness -1.597 1.225
Kurtosis . .
Lokasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid plant 1 9 37.5 37.5 37.5
plant 2 7 29.2 29.2 66.7
plant 3 8 33.3 33.3 100.0
Total 24 100.0 100.0
debu_PM2_5
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 2.16 8 33.3 33.3 33.3
2.67 7 29.2 29.2 62.5
2.755 9 37.5 37.5 100.0
Total 24 100.0 100.0
7. Gambaran Suhu Udara
Statistics
rata2_suhu
N Valid 3
Missing 0
Mean 35.100
Median 34.700
Mode 34.3a
Std. Deviation 1.0583
Minimum 34.3
Maximum 36.3
Statistics
rata2_suhu
N Valid 3
Missing 0
Mean 35.100
Median 34.700
Mode 34.3a
Std. Deviation 1.0583
Minimum 34.3
Maximum 36.3
a. Multiple modes exist. The smallest
value is shown
Descriptives
Statistic Std. Error
rata2_suhu Mean 35.100 .6110
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 32.471
Upper Bound 37.729
5% Trimmed Mean .
Median 34.700
Variance 1.120
Std. Deviation 1.0583
Minimum 34.3
Maximum 36.3
Range 2.0
Interquartile Range .
Skewness 1.458 1.225
Kurtosis . .
lokasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid plant 1 9 37.5 37.5 37.5
plant 2 7 29.2 29.2 66.7
plant 3 8 33.3 33.3 100.0
Total 24 100.0 100.0
Suhu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 34.3 7 29.2 29.2 29.2
34.7 8 33.3 33.3 62.5
36.3 9 37.5 37.5 100.0
Total 24 100.0 100.0
8. Gambaran Kelembaban Udara
Statistics
rata2_kelembaban
N Valid 3
Missing 0
Mean 57.33
Median 57.00
Mode 55a
Std. Deviation 2.517
Minimum 55
Maximum 60
a. Multiple modes exist. The smallest
value is shown
Descriptives
Statistic Std. Error
rata2_kelembaban Mean 57.33 1.453
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 51.08
Upper Bound 63.58
5% Trimmed Mean .
Median 57.00
Variance 6.333
Std. Deviation 2.517
Minimum 55
Maximum 60
Range 5
Interquartile Range .
Skewness .586 1.225
Kurtosis . .
lokasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid plant 1 9 37.5 37.5 37.5
plant 2 7 29.2 29.2 66.7
plant 3 8 33.3 33.3 100.0
Total 24 100.0 100.0
lokasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid plant 1 9 37.5 37.5 37.5
plant 2 7 29.2 29.2 66.7
plant 3 8 33.3 33.3 100.0
Total 24 100.0 100.0
ANALISIS BIVARIAT
1. Hubungan Kadar Debu PM1,0 dengan KVP
debu_PM1 * KVP Crosstabulation
KVP
Total tidak normal normal
debu_PM1 > 2 Count 3 14 17
% within debu_PM1 17.6% 82.4% 100.0%
<2 Count 2 5 7
% within debu_PM1 28.6% 71.4% 100.0%
Total Count 5 19 24
% within debu_PM1 20.8% 79.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .359a 1 .549
Continuity Correctionb .002 1 .963
Likelihood Ratio .344 1 .558
Fisher's Exact Test .608 .462
Linear-by-Linear Association .344 1 .558
N of Valid Casesb 24
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.46.
b. Computed only for a 2x2 table
2. Hubungan Masa Kerja dengan KVP
masa_kerja * KVP Crosstabulation
KVP
Total tidak normal normal
masa_kerja > 5 tahun Count 3 4 7
% within masa_kerja 42.9% 57.1% 100.0%
< 5 tahun Count 2 15 17
% within masa_kerja 11.8% 88.2% 100.0%
Total Count 5 19 24
% within masa_kerja 20.8% 79.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 2.906a 1 .088
Continuity Correctionb 1.327 1 .249
Likelihood Ratio 2.688 1 .101
Fisher's Exact Test .126 .126
Linear-by-Linear Association 2.785 1 .095
N of Valid Casesb 24
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.46.
b. Computed only for a 2x2 table
3. Hubungan Lama Paparan dengan KVP
lama_paparan * KVP Crosstabulation
KVP
Total tidak normal normal
lama_paparan > 8 jam Count 5 16 21
% within lama_paparan 23.8% 76.2% 100.0%
< 8 jam Count 0 3 3
% within lama_paparan .0% 100.0% 100.0%
Total Count 5 19 24
% within lama_paparan 20.8% 79.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .902a 1 .342
Continuity Correctionb .036 1 .849
Likelihood Ratio 1.511 1 .219
Fisher's Exact Test 1.000 .479
Linear-by-Linear Association .865 1 .352
N of Valid Casesb 24
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .63.
b. Computed only for a 2x2 table
4. Hubungan Penggunaan Masker dengan KVP
masker * KVP Crosstabulation
KVP
Total tidak normal normal
masker tidak pakai Count 5 6 11
% within masker 45.5% 54.5% 100.0%
pakai Count 0 13 13
% within masker .0% 100.0% 100.0%
Total Count 5 19 24
% within masker 20.8% 79.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.464a 1 .006
Continuity Correctionb 4.963 1 .026
Likelihood Ratio 9.405 1 .002
Fisher's Exact Test .011 .011
Linear-by-Linear Association 7.153 1 .007
N of Valid Casesb 24
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.29.
b. Computed only for a 2x2 table
Perhitungan OR dan 95% CI dilakukan dengan menggunakan software yang
diakses dari https://www.medcalc.org/calc/odds_ratio.php
LAMPIRAN FOTO
Kondisi debu di area pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama
Pengukuran debu di area pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama