133
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU SPLIT PT. INDONESIA PUTRA PRATAMA CILEGON TAHUN 2015 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) DISUSUN OLEH: NABILA DEWI ICHSANI 1111101000067 PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2015

NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS

VITAL PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU SPLIT PT.

INDONESIA PUTRA PRATAMA CILEGON

TAHUN 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan

Masyarakat (SKM)

DISUSUN OLEH:

NABILA DEWI ICHSANI

1111101000067

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1437 H/ 2015

Page 2: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf
Page 3: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

ii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

Skripsi, Desember 2015

Nabila Dewi Ichsani, NIM: 1111101000067

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja

Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

xvii + 89 halaman, 19 tabel, 14 gambar, 1 bagan, 5 lampiran

ABSTRAK

Penurunan kapasitas vital paru (KVP) dapat berupa restriksi, obstruksi

atau keduanya (gabungan restriksi dan obstruksi). Sejumlah faktor baik faktor

non-pekerjaan dan lingkungan kerja dapat memengaruhi turunnya KVP. Debu

merupakan salah satu faktor di lingkungan kerja yang dapat mengakibatkan

penurunan KVP pada pekerja seperti pada pekerja pengolahan batu split PT.

Indonesia Putra Pratama.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. Penelitian dilakukan pada Juni-

Oktober 2015. Faktor-faktor yang diteliti adalah kadar debu PM1,0 dan PM2,5,

suhu udara, kelembaban udara, masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker.

Sampel penelitian ini sebanyak 24 pekerja. Metode penelitian yang digunakan

adalah cross sectional. Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian

berupa spirometer, EPAM 5000, thermohygrometer digital, kuesioner dan lembar

observasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami penurunan

KVP sebanyak 20,8%. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui variabel yang

berhubungan dengan KVP adalah variabel penggunaan masker (Pvalue = 0,01).

Untuk menurunkan risiko penurunan KVP pada pekerja pengolahan batu

split, disarankan agar pekerja segera meninggalkan lingkungan kerja apabila

pekerjaan telah selesai, menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja, dan

melakukan olahraga secara rutin.

Daftar bacaan : 85 (1978 – 2015)

Kata kunci : pekerja pengolahan batu split, kapasitas vital paru, paparan debu

Page 4: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

iii

STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH

DEPARTEMENT OF ENVIRONMENTAL HEALTH

Undergraduate Thesis, December 2015

Nabila Dewi Ichsani, NIM: 1111101000067

Factors Associated to Worker’s Vital Capacity at Split Stone Processing PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon 2015

xvii + 89 pages, 19 tables, 14 pictures, 1 schema, 5 attachments

ABSTRACT

The decrease level of vital capacity can be restriction, obstruction or both

of them. Some factors, like non jobs and environment can lead the decrease level

of vital capacity. Dust is one of environment factors which can causes the

decrease level of worker’s vital capacity like all split stone workers at PT.

Indonesia Putra Pratama.

The goals of this research is knowing all factors that have associated with

vital capacity in split stone processing workers of PT. Putra Pratama Indonesia

Cilegon 2015. The research was conducted on June-October 2015. The factors of

this research are dust level of PM1,0, and PM2,5, temperature, jumidity, work

period, exposure period and mask utilization. The total sample of this research are

24 workers. The method of this research was cross sectional. Data was collected

by using research instruments such as spirometers, EPAM 5000, digital

thermohygrometer, questionnaires and observation sheets.

The results showed the percentage of workers that had the decrease level

of vital capacity are 20,8%. Based on the results of statistical test, the variable that

known as associated with vital capacity is mask utilization (Pvalue = 0,01).

To reduce the decrease level of stone split worker’s vital capacity, it is

recommended that workers are leave the workplace right after the job is done, use

mask at work site all the time and have some workout or exercise.

References : 85 (1978 – 2015)

Keywords : split stone processing workers, vital capacity, dust exposure

Page 5: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf
Page 6: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf
Page 7: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS PRIBADI

Nama : Nabila Dewi Ichsani

Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 26 Maret 1994

Alamat Asal : Jalan Haji Djiran No. 11 RT 003 RW 001

Kelurahan Pinang, Tangerang

Alamat Sekarang : Jl. Kertamukti Gang Buni (Lap. Rohama) No. 88E

RT. 005/09, Ciputat Timur, Tangerang Selatan,

Banten.

Agama : Islam

No. Telp : 082123187858

Email : [email protected]

RIWAYAT PENDIDIKAN

2011- 2015 : Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2008-2011 : SMA Budi Luhur Tangerang

2005-2008 : SMP Budi Luhur Tangerang

1999-2005 : SDN Pinang 3 Tangerang

Page 8: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

vii

PENGALAMAN ORGANISASI

2010-2011 : Pengurus OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah)

SMA Budi Luhur Tangerang

2013-2014 : Anggota Environmental Health Student

Association (ENVIHSA) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

PENGALAMAN KERJA

1. Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Ciputat Timur, Tangerang

Selatan

2. Pengalaman Orientasi Kerja di RS Antam Medika Pulo Gadung

3. Pengalaman Orientasi Kerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Soekarno

Hatta

Page 9: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu”

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat, hidayah dan nikmat yang berlimpah, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Kondisi Lingkungan Yang Berhubungan

Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015”. Sholawat serta salam penulis

haturkan kepada Rasulullah SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di

akhirat nanti. Aamiin.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga ingin

mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes selaku Kepala Program Studi Kesehatan

Masyarakat.

3. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Bapak dr. Yuli Prapanca Satar,

MARS selaku Dosen Pembimbing I dan II atas segala dukungan, saran, kritik,

semangat, dan kepercayaannya yang telah diberikan kepada penulis selama

penyusunan skripsi ini.

4. Dosen-dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat dan Peminatan Kesehatan

Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu

yang bermanfaat.

5. Keluarga yang selalu memberikan dukungan, nasehat serta doa demi

kelancaran penyusunan skripsi ini. Ayah, Mama, Uda Yopie, Abang Reno,

Uni Ratih, Uda Bayu, Kak Ira dan Bang Ijal. Terima kasih banyak!

6. PT. Indonesia Putra Pratama yang telah mengizinkan penulis melakukan

penelitian disana. Pak Cui, Pak Narno dan para staf yang telah membantu

penelitian ini.

Page 10: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

ix

7. Teman-teman seperjuangan kesling 2011 (Efri, Onoy, Fia, Lifi, Mba Feela,

Shela, Ika, Ikoh, Rahmatika, Sarjeng, Awal, Eka, Pewe, Rois, Almen dan

Hari) dan terutama untuk Ayu, Betti, Niken, Tika, Cepol, Caca, dan Inu yang

telah membantu selama proses penyusunan skripsi.

8. Kak Ami yang telah membantu dalam pengambilan data di lapangan.

9. Para alien, Erin, Kiki dan Kadek, sahabat tersayang yang selalu memberi

semangat dan tidak berhenti mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Terakhir, Ilham Eka Praditya atas semangat, dorongan, saran, perhatian dan

kesabarannya dalam menghadapi keluh kesah penulis selama proses

penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna. Oleh

karena itu, penulis sangat mengharapkan saran perbaikan dari pembaca.

“Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu”

Jakarta, November 2015

Penulis

Page 11: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i

ABSTRAK .............................................................................................................. ii

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... iv

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... vi

KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi

DAFTAR BAGAN ............................................................................................. xvii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian .................................................................................. 8

1.4 Tujuan ......................................................................................................... 9

1.4.1 Umum ......................................................................................................... 9

1.4.2 Khusus ........................................................................................................ 9

1.5 Manfaat Penelitan...................................................................................... 11

1.5.1 Bagi Perusahaan ........................................................................................ 12

1.5.2 Bagi Pekerja .............................................................................................. 11

1.5.3 Bagi Peneliti .............................................................................................. 11

1.6 Ruang Lingkup .......................................................................................... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 12

2.1 Kapasitas Vital Paru .................................................................................. 12

2.1.1 Pengukuran Kapasitas Paru ....................................................................... 14

2.2 Pencemaran Udara .................................................................................... 17

2.3 Batu Split ................................................................................................... 19

2.4 Debu .......................................................................................................... 20

2.4.1 Sifat-Sifat Debu ......................................................................................... 21

2.4.2 Mekanisme Penimbunan Debu dalam Paru-Paru ...................................... 22

Page 12: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

xi

2.4.3 Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Pengendapan Partikel Debu

di Paru ....................................................................................................... 26

2.4.4 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kadar Debu PM1,0 dan PM2,5 ............ 26

2.5 Faktor Karakteristik Individu Yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru . 28

2.5.1 Masa Kerja ................................................................................................ 28

2.5.2 Lama Paparan ............................................................................................ 29

2.5.3 Riwayat Penyakit ...................................................................................... 30

2.5.4 Riwayat Pekerjaan ..................................................................................... 30

2.5.5 Penggunaan Masker .................................................................................. 31

2.5.6 Kebiasaan Merokok .................................................................................. 32

2.5.7 Kebiasaan Olahraga .................................................................................. 33

2.6 Kondisi Lingkungan Yang Memengaruhi Pemajanan Debu .................... 33

2.7 Pencegahan Terhadap Gangguan Kesehatan dan Daya Kerja .................. 37

2.8 Kerangka Teori.......................................................................................... 40

BAB III KERANGKA KONSEP ......................................................................... 42

3.1 Kerangka Konsep ...................................................................................... 42

3.2 Definisi Operasional.................................................................................. 44

3.3 Hipotesis .................................................................................................... 46

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 47

4.1 Desain Studi .............................................................................................. 47

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 47

4.2.1 Lokasi Penelitian ....................................................................................... 47

4.2.2 Waktu Penelitian ....................................................................................... 47

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................ 47

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ..................................................................... 49

4.4.1.Kriteria Inklusi .......................................................................................... 49

4.4.2.Kriteria Eksklusi........................................................................................ 49

4.5 Instrumen Penelitian.................................................................................. 49

4.6 Sumber Data .............................................................................................. 50

4.7 Pengumpulan Data .................................................................................... 50

4.8 Pengolahan Data........................................................................................ 52

4.9 Analisis Data ............................................................................................. 54

Page 13: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

xii

BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 55

5.1 Gambaran Umum PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon.......................... 55

5.1.1 Visi dan Misi PT. Indonesia Putra Pratama .............................................. 55

5.1.2 Gambaran Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama

Cilegon ...................................................................................................... 56

5.2 Analisis Univariat...................................................................................... 60

5.2.1 Gambaran Kapasitas Vital Paru (KVP) Pada Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 60

5.2.2 Gambaran Kadar Debu PM1,0 Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 61

5.2.3 Gambaran Kadar Debu PM2,5 Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 61

5.2.4 Gambaran Suhu Udara Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indon56esia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ...................................... 62

5.2.5 Gambaran Kelembaban Udara Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 63

5.2.6 Gambaran Masa Kerja Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia

Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................................... 63

5.2.7 Gambaran Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 64

5.2.8 Gambaran Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 64

5.3 Analisis Bivariat ........................................................................................ 65

5.3.1 Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 65

5.3.2 Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 65

5.3.3 Hubungan Lama Paparan Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ................................... 66

5.3.4 Hubungan Penggunaan Masker Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 67

BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 68

Page 14: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

xiii

6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 68

6.2 Kapasitas Vital Paru .................................................................................. 68

6.3 Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 72

6.4 Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 77

6.5 Hubungan Lama Paparan Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ................................... 80

6.6 Hubungan Penggunaan Masker Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 83

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 86

7.1 Simpulan ................................................................................................... 86

7.2 Saran .......................................................................................................... 87

7.2.1 Bagi Pekerja .............................................................................................. 87

7.2.2 Bagi Perusahaan ........................................................................................ 88

7.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya ...................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 15: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Penilaian Kapasitas Paru..................................................... 15

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Andesit ..................................................................... 20

Tabel 2.3 Nilai Ambang Batas .............................................................................. 28

Tabel 2.4 Jenis dan Gambar Masker ..................................................................... 32

Tabel 2.5 Jenis dan Gambar Nozzle ...................................................................... 39

Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 44

Tabel 5.1 Tipe Batu Hasil Produksi Hasil PT. Indonesia Putra Pratama .............. 57

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ................... 60

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM1,0 Pada Proses Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .................... 61

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM2,5 Pada Proses Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .................... 62

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Suhu Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015 ............................. 62

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Kelembaban Udara Pada Proses Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .................... 63

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pada Pekerja Pengolahan Batu Split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ............................... 64

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ............................... 64

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ..................... 65

Tabel 5.10 Hubungan Kadar Debu PM1,0 dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ...................... 65

Tabel 5.11 Hubungan Masa Kerja dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ............................ 66

Tabel 5.12Hubungan Lama Paparan dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ............................. 66

Page 16: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

xv

Tabel 5.13Hubungan Penggunaan Masker dan KVP pada pekerja Pengolahan

Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ......... 67

Page 17: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru...................................... 22

Gambar 2.2 Single-strap dust masks ..................................................................... 32

Gambar 2.3 Masker debu ...................................................................................... 32

Gambar 2.4 Respirator setangah wajah ................................................................. 32

Gambar 2.5 Respirator seluruh wajah ................................................................... 32

Gambar 2.6 Solid-cone nozzle ............................................................................... 39

Gambar 2.7 Hollow-cone nozzle ........................................................................... 39

Gambar 2.8 Flat-spray nozzle ............................................................................... 39

Gambar 2.9 Fogging nozzle .................................................................................. 39

Gambar 2.10 Kerangka Teori ................................................................................ 41

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 42

Gambar 5.1Penyiraman Pada Proses Pemecahan Batu ........................................ 59

Gambar 5.2 flat-spray nozzles ............................................................................. 60

Gambar 5.3 wet dust suppression systems ........................................................... 60

Page 18: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

xvii

DAFTAR BAGAN

Bagan 5.1Proses Pengolahan Batu Split di PT. Indonesia Putra Pratama ............ 58

Page 19: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor yang memegang

peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Indonesia

mempunyai potensi berbagai jenis bahan tambang yang cukup melimpah salah

satunya adalah batuan bahan konstruksi dan industri. Pendayagunaan secara

bijak segala jenis bahan tambang dapat meningkatkan pendapatan dan

perekonomian nasional ataupun daerah (Kusuma, 2012). Pembangunan yang

berwawasan lingkungan telah diterima sebagai suatu prinsip Pembangunan

Nasional dengan berbagai peraturan pelaksanaannya. Walaupun demikian,

dalam prakteknya mekanisme yang ditetapkan belum berjalan sebagaimana yang

diharapkan. Isu tentang pencemaran sering dijumpai di media massa akibat dan

dampak dari suatu kegiatan (Sucipto, 2007).

Kapasitas vital paru (KVP) adalah total jumlah udara maksimum yang

dapat dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum. Kapasitas vital paru

didapatkan dari penambahan tidak volume (TV), volume cadangan inspirasi

(VCI) dan volume cadangan ekspirasi (Tarwoto, 2009). Pengukuran KVP dapat

memberikan informasi menegani besarnya penyimpangan atau penurunan nilai

yang dapat menentukan paru seseorang dalam keadaan normal atau tidak (PDPI,

2013). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor 25 Tahun 2008, penurunan KVP dapat berupa restriksi yaitu

terjadinya keterbatasan ekspansi paru (West, 2003), obstruksi yaitu penyempitan

Page 20: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

2

jalus pernapasan (PDPI, 2013), atau bisa keduanya (gabungan restriksi dan

obstruksi).

Kapasitas paru akan berkurang pada penyakit paru-paru, penyakit jantung

(yang menimbulkan kongesti paru) dan kelemahan otot pernapasan (Pearce,

2008). Menurut Gill (2003), fungsi paru dapat dipengaruhi akibat sejumlah

faktor non-pekerjaan antara lain usia, kelamin, ukuran paru, ras, tinggi badan,

dan kebiasaan merokok. Beberapa hasil penelitian juga membuktikan bahwa ada

beberapa faktor yang berhubungan dengan KVP.

Penelitian yang dilakukan oleh Anugrah (2014), menjelaskan bahwa

terdapat hubungan antara masa kerja dan kapasitas vital paru pada pekerja

penggilingan divisi batu putih di PT. Sinar Utama Karya. Hal ini dapat terjadi

karena semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut

mempunyai risiko yang besar mengalami penurunan kapasitas vital paru

(Tamuntuan, 2013).

Faktor lainnya adalah lama paparan. Berdasarkan penelitan yang dilakukan

oleh Asna (2013), ditemukan bahwa adanya hubungan antara lama paparan

dengan penurunan kapasitas vital paru. Hal ini membuktikan bahwa lama

paparan berpengaruh negatif bagi seseorang yang bekerja karena semakin lama

terpapar, bahaya yang ditimbulkan oleh tempat kerja dapat mempengaruhi

kesehatan terutama saluran pernapasan.

Berdasarkan penelitian Ningrum (2009), diketahui bahwa penggunaan

masker berhubungan dengan terjadi gangguan fungsi paru (KVP di bawah

normal) pada pekerja unit II pengolahan NPK di industri PT. Petrokimia Gresik.

Masker berfungsi untuk mengurangi polutan yang masuk lewat rongga

Page 21: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

3

pernafasan. Masker yang ideal adalah masker yang mampu meminimalkan udara

kotor yang masuk ke tubuh dan tidak mengganggu pernapasan (Mukono, 2003).

Lingkungan kerja juga dapat memengaruhi kapasitas vital paru.

Lingkungan kerja sering dijumpai penuh dengan debu, uap, gas, dan lainnya

yang merupakan hasil dari proses industri dan dapat menyebabkan pencemaran

udara sehingga mengganggu kesehatan pekerja terutama kesehatan paru.

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup

No. 02/MENKLH/1988, pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya

makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke udara dan atau

berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara

menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Debu sebagai salah satu zat pencemar merupakan partikel benda padat

yang terjadi karena proses mekanis dan merupakan hasil sampingan dari proses

industri yang menggunakan bahan baku batuan seperti halnya pengolahan batu

split yang dilakukan oleh PT. Indonesia Putra Pratama. Debu industri yang

terdapat dalam udara terbagi dua, yaitu pertama deposit particulate matter

atau partikel debu yang hanya berada sementara di udara, dan akan segera

mengendap karena daya tarik bumi. Kedua adalah suspended particulate

matter atau debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap

(Sintorini, 2002).

Adapun proses pengolahan batu oleh PT. Indonesia Putra Pratama adalah

pemecahan, baik primer maupun sekunder, penyortiran, dan pengiriman. Proses

pengolahan batu split tersebut khususnya proses pemecahan berpotensi

Page 22: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

4

meningkatkan kadar debu sehingga menurunkan kualitas udara di lingkungan

kerja dan dapat berdampak terhadap kesehatan paru pekerja.

Debu termasuk ke dalam substansi yang bersifat toksik (racun). Menurut

WHO (1993), debu menyebabkan refleks batuk atau spasme laring (penghentian

bernapas). Apabila debu menembus ke dalam paru, dapat mengakibatkan

bronkitis toksis, edema paru atau pneumonitis. Hasil penelitian secara medis

menunjukkan bahwa partikel debu yang berukuran 0,1 – 5 µm dapat tetap berada

dalam alveolis sebagai debu respirabel, sedangkan partikel yang berukuran lebih

besar akan tertahan membran mukosa dari hidung, tenggorokan, trakhea, dan

bronkus yang selanjutnya akan dikeluarkan melalui mekanisme kerja jantung

(Riyadina, 1996).

Dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan penumpukan

debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan seperti

penurunan kapasitas paru yang disebut obstruksi dan pneumoconiosis. Salah satu

bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah berkurangnya elastisitas paru

yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas vital paru. Partikel debu dapat

menimbulkan penurunan kapasitas vital paru, sehingga akan mengurangi

penggunaan optimal alat pernapasan untuk mengambil oksigen pada proses

respirasi (Sukarman, 1978).

Di Indonesia, angka sakit mencapai 70% dari pekerja yang sering

terpapar debu. Sebagian besar penyakit paru akibat kerja mempunyai akibat

serius yaitu terjadinya penurunan kapasitas paru, dengan gejala utama yaitu

sesak napas (Hesti, 2012). Hasil pemeriksaan kapasitas paru yang dilakukan di

balai HIPERKES dan Kesehatan Kerja Sulawesi selatan pada tahun 1999

Page 23: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

5

terhadap 200 tenaga kerja di 8 perusahaan, diperoleh hasil sebesar 45%

responden yang mengalami restriktif, 1% responden yang mengalami obstruktif

dan 1% responden yang mengalami Combination (gabungan antara restriktif dan

obstruktif) (Sirait, 2010).

Tingginya angkat sakit akibat terpapar debu dapat terjadi karena minim

pelayanan kesehatan bagi pekerja. Menurut WHO, akses terhadap pelayanan

kesehatan kerja yang memadai di negara berkembang hanya mencakup 5–10%

pekerja sedangkan di negara industri 20–50% pekerja, dimana mayoritas pekerja

di negara-negara Asia belum memiliki sistem yang baik untuk menjamin hak

pekerjanya, terutama mengenai perlindungan penyakit akibat kerja, padahal

pekerja sebagai sumber daya manusia memegang peranan utama dalam proses

pembangunan industri sehingga peranan sumber daya manusia perlu mendapat

perhatian khusus baik kemampuan, keselamatan, maupun kesehatan kerjanya

(Hesti, 2012).

Selain terpapar oleh debu, kondisi lingkungan pada pengolahan batu split

seperti kelembaban dan suhu udara juga berdampak terhadap kapasitas vital paru

pekerja. Kelembaban udara bergantung pada berapa banyak uap air (dalam %)

yang terkandung di udara. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja secara

tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara dan merupakan penyebab

meningkatnya keluhan sesak napas yang merupakan gejala utama terjadinya

penurunan kapasitas vital paru. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu

kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran

(Suma’mur, 1996).

Page 24: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

6

Ketika pekerja berada dan menghirup udara panas juga dapat

memperburuk gangguan pernapasan seperti PPOK dan meningkatkan

peradangan saluran napas. Paparan panas dapat memicu respon pernapasan

seperti terjadinya bronkospasme karena menghirup udara panas sehingga

menyebabkan kesulitan bernapas dan sesak napas. Menghirup udara panas juga

dapat memperburuk infeksi pernapasan, beberapa di antaranya dapat disebabkan

oleh serbuk sari atau jamur (Healthcommunities, 2013).

Penjelasan mengenai kelembaban dan suhu didukung penelitian yang

dilakukan oleh Sinurat (2013), yang menjelaskan bahwa adanya hubungan

antara kelembaban udara dan kapasitas vital paru pada pekerja Di PTP

Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai. Selain itu,

penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2012) juga menyatakan bahwa adanya

hubungan antara suhu udara dengan kelainan faal paru (KVP dibawah normal)

pada pekerja penggilingan padi.

Dari studi pendahuluan menggunakan spirometri yang dilakukan pada 10

pekerja PT. Indonesia Putra Pratama di Cilegon, diketahui bahwa pekerja yang

mengalami restriksi ringan sebanyak 2 orang atau sebesar 20%, pekerja yang

mengalami obstruksi dan restriksi ringan (combination) sebanyak 1 orang atau

sebesar 10% dan pekerja 2 orang pekerja atau sebesar 20% mengalami keluhan

sesak napas dan batuk yang merupakan gejala utama terjadinya penurunan

kapasitas vital paru. Hasil pengamatan di lapangan pun menunjukkan rata-rata

pekerja tidak menggunakan masker saat berada di lokasi pengolahan batu.

Berdasarkan hasil pengukuran debu di lapangan yang dilakukan selama 1

jam, didapatkan dua jenis ukuran partikel debu yakni ukuran 1 mikron dan 2,5

Page 25: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

7

mikron. Adapun kadar debu di udara didapatkan hasil sebesar 2,513 mg/m3

untuk partikel debu berukuran 1 mikron dan 6,526 mg/m3

untuk partikel debu

berukuran 2,5 mikron. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang

Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja, partikel debu berukuran

1 dan 2,5 mikron telah melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan yaitu

sebesar 2 mg/m3.

Dari fakta-fakta yang telah dijelaskan maka perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas

vital paru pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama, sehingga

diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dilakukan tindakan preventif

untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja dan akibat hubungan kerja pada

pekerja pengolahan batu.

1.2 Rumusan Masalah

Penurunan nilai KVP dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti

masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker. Selain itu, lingkungan kerja

juga berpengaruh terhadap penurunan KVP yang disebabkan oleh kadar debu,

suhu dan kelembaban.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja, terdapat 5

pekerja yang mengalami restriksi ringan, obstruksi dan combination serta, keluhan

sesak nafas serta batuk yang merupakan gejala utama terjadinya penurunan

kapasitas vital paru. Hasil pengukuran debu di lapangan yang dilakukan selama 1

jam, didapatkan dua jenis ukuran partikel debu yakni ukuran 1 mikron dan 2,5

mikron. Adapun kadar debu di udara didapatkan hasil sebesar 2,513 mg/m3 untuk

Page 26: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

8

partikel debu berukuran 1 mikron dan 6,526 mg/m3

untuk partikel debu berukuran

2,5 mikron sehingga menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor

Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja, partikel debu berukuran 1 dan 2,5

mikron telah melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan yaitu sebesar 2

mg/m3

Dari fakta-fakta yang telah dijelaskan maka perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas

vital paru pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu

split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

2. Bagaimana gambaran kadar debu PM1,0 pada proses pengolahan batu split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

3. Bagaimana gambaran kadar debu PM2,5 pada proses pengolahan batu split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

4. Bagaimana gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

5. Bagaimana gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

6. Bagaimana gambaran masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

7. Bagaimana gambaran lama paparan pada pekerja pengolahan batu split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

Page 27: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

9

8. Bagaimana gambaran penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu

split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

9. Apakah ada hubungan antara kadar debu PM1,0 dan kapasitas vital paru

pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon

tahun 2015?

10. Apakah ada hubungan antara masa kerja dan kapasitas vital paru pada

pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun

2015?

11. Apakah ada hubungan antara lama paparan dan kapasitas vital paru pada

pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun

2015?

12. Apakah ada hubungan antara penggunaan masker dan kapasitas vital paru

pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon

tahun 2015?

1.4 Tujuan

1.4.1 Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru

pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun

2015.

1.4.2 Khusus

1. Mengetahui gambaran kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu

split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

2. Mengetahui gambaran kadar debu PM1,0 pada proses pengolahan batu split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

Page 28: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

10

3. Mengetahui gambaran kadar debu PM2,5 pada proses pengolahan batu split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

4. Mengetahui gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

5. Mengetahui gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu

split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

6. Mengetahui gambaran masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

7. Mengetahui gambaran lama paparan pada pekerja pengolahan batu split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

8. Mengetahui gambaran penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu

split di PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

9. Mengetahui hubungan antara kadar debu PM1,0 dan kapasitas vital paru

pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon

tahun 2015.

10. Mengetahui hubungan antara masa kerja dan kapasitas vital paru pada

pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun

2015.

11. Mengetahui hubungan antara lama paparan dan kapasitas vital paru pada

pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun

2015.

12. Mengetahui hubungan antara penggunaan masker dan kapasitas vital paru

pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon

tahun 2015.

Page 29: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

11

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Perusahaan

Penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan pemilik perusahaan untuk

melakukan penanggulangan cemaran udara yang dihasilkan selama proses

pengolahan dan dapat memperhatikan kesehatan pekerja dan lingkungan.

1.5.2 Bagi Pekerja

Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada pekerja mengenai

bahaya kesehatan yang ditimbulkan dari aktivitas pekerjaannya.

1.5.3 Bagi peneliti

Aplikasi teori dan keterampilan ilmu kesehatan masyarakat dan

mengembangkan ilmu Kesehatan Lingkungan serta dapat dijadikan bahan acuan

untuk penelitian selanjutnya.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini tertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan

dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia

Putra Pratama Cilegon tahun 2015. Sasaran penelitian ini adalah pekerja yang

beraktivitas langsung dengan proses pengolahan batu split yang berada di

wilayah tersebut dengan jumlah sampel sebanyak 24 orang.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi cross

sectional. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan kuesioner dan

lembar observasi untuk mengetahui data karakteristik pekerja. Alat-alat yang

digunakan adalah spirometer untuk mengetahui kapasitas vital paru, alat

pengukur suhu dan kelembaban udara, yaitu thermohygrometer digital HTC-2

dari laboratorium HEN FKIK UIN Jakarta, alat pengukur debu yaitu

Environmental Particulate Air Monitor (EPAM) 5000 Primer dari laboratorium

OHS FKIK UIN Jakarta.

Page 30: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kapasitas Vital Paru

Paru-paru mempunyai fungsi untuk melakukan pertukaran gas oksigen dan

karbon dioksida. Oksigen yang bersenyawa dengan karbon dan hidrogen dari

jaringan, memungkinkan setiap sel melangsungkan proses metabolisme dan hasil

proses yang berupa karbon dioksida dapat dikeluarkan dari dalam tubuh (Pearce,

2008). Kapasitas vital paru adalah total jumlah udara maksimum yang dapat

dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum. Kapasitas vital paru

didapatkan dari penambahan tidak volume (TV), volume cadangan inspirasi (VCI)

dan volume cadangan ekspirasi. Jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan

seseorang setelah mengisi paru secara maksimum dan dikeluarkan sebanyak-

banyaknya adalah 4.600 ml (Tarwoto, 2009).

Pengukuran KVP dapat memberikan informasi yang berguna mengenai

kekuatan otot-otot pernapasan dan aspek fungsi paru lainnya. Besarnya

penyimpangan atau penurunan nilai yang di dapat dari pemerikasaan dapat

menentukan paru seseorang dalam keadaan normal atau tidak (PDPI, 2013).

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia

Nomor PER.25/MEN/XII/2008 Tentang Pedoman Diagnosis Dan Penilaian Cacat

Karena Kecelakaan Dan Penyakit Akibat Kerja, penurunan kapasitas vital paru

mengakibatkan:

Page 31: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

13

1. Restriksi

Restriksi adalah gangguan pengembangan paru oleh sebab apapun. Paru

menjadi kaku, daya tarik ke dalam lebih kuat sehingga dinding dada

mengecil, iga menyempit dan volume paru mengecil. Volume statis paru

mengecil yaitu KV (kapasitas vital), KPT (kapasitas paru total), VR

(volume residu), VCE (volume cadangan ekspirasi) dan KRF (kapasitas

residu fungsional). Sebagai parameter pada spirometri diukur KV yang

nilainya <80% nilai prediksi (Normal 80-120% sedangkan bila nilainya >

120% disebut over/hiperinflasi). VEP1/KVP nilainya masih di atas 75%.

(PDPI, 2013).

Menurut West (2003), restriksi adalah keterbatasan ekspansi paru, baik

karena perubahan pada perenkim paru maupun karena penyakit pada

pleura, dinding dada, atau alat neuromuscular. Tanda-tandanya adalah

penurunan kapasitas vital dan volume paru istirahat yang kecil, tetapi

resistensi jalan napas (berhubungan dengan volume paru) tidak meningkat.

2. Obstruksi

Obstruksi adalah gangguan paru yang ditandai oleh hambatan aliran

udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel

parsial. Obstruksi terdiri atas bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan

keduanya. Obstruksi saluran napas bersifat ireversibel dan terjadi karena

perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis,

metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi

jalan napas (PDPI, 2013).

Page 32: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

14

2.1.1 Pengukuran Kapasitas Paru

Pengukuran kapasitas paru berguna untuk mengevaluasi kemampuan paru,

menentukan adanya gangguan dan derajat gangguan fungsi paru (Djojodibroto,

2009). Menurut National Heart Lung Blood Institute, tes yang dilakukan pada

paru digunakan untuk mengukur:

1. Banyaknya udara yang dapat masuk ke dalam paru

2. Banyak dan cepatnya udara yang dapat dikeluarkan dari paru

3. Kondisi paru dalam mengirimkan oksigen ke dalam darah

4. Kekuatan otot-otot pernapasan

Pengukuran kapasitas paru terdiri dari berbagai macam metode. Berikut

adalah metode pengukuran yang sering digunakan untuk mengukur kapasitas

paru:

1. Spirometri

Spirometri merupakan tes fungsi paru yang umum digunakan serta

berguna untuk mengetahui volume paru, kapasitas paru dan kecepatan aliran

udara (Giuliodori, 2004). Spirometri digunakan untuk menentukan fungsi

paru, mendeteksi penyakit paru, mengevaluasi gangguan pernapasan, dan

melakukan pengawasan terhadap penyakit paru terkait pekerjaan (McCarthy,

2015). Cara pemakaian spirometri yaitu pasien diminta untuk melakukan

inspirasi maksimal kemudian lakukan ekspirasi maksimal ke dalam pipa yang

tersambung dengan spirometer. Pengukuran dilakukan berulang hingga

beberapa kali sampai didapatkan hasil yang sesuai (National Jewish Health,

2013).

Page 33: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

15

Dalam pengukuran kapasitas paru dengan menggunakan spirometri, fungsi

respirasi yang diukur adalah:

a. Kapasitas vital paksa (KVP) (forced vital capcity, FCV) yaitu jumlah

total udara yang dapat dengan paksa diekspirasikan dari paru.

b. Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (VEP1) (forced expiratory

volume in 1 second, FEV1) yaitu jumlah udara yang dapat dengan

paksa diekspirasikan dalam satu detik (Francis, 2011).

Adapun klasifikasi penilaian kapasitas paru adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi Penilaian Kapasitas Paru

Restriksi

(KVP % atau KVP/prediksi %)

Obstruksi

(VEP1/ KVP) % atau VEP1 %

(VEP1/ prediksi)

Normal > 80 % > 75 %

Ringan 60-79 % 60-74 %

Sedang 30-59 % 30-59 %

Berat < 30 % < 30 %

Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor PER.25/MEN/XII/2008.

2. Plethysmography paru

Plethysmography paru adalah tes yang digunakan untuk mengukur

banyaknya udara yang dapat disimpan dalam paru-paru. Plethysmography

paru membantu penyedia pelayanan kesehatan untuk menilai pasien dengan

penyakit paru yang sering dikaitkan dengan kapasitas total paru. Pengukuran

plethymosgraphy didasarkan pada prinsip Hukum Boyle yang

menggambarkan hubungan antara tekanan dan volume gas.

Cara pemakaian plethysmography paru yaitu pasien dimasukkan ke dalam

ruang kedap udara dengan posisi berdiri atau duduk. Klip akan dipasangkan ke

hidung pasien agar udara tidak masuk ke dalam lubang hidung. Pasien diminta

Page 34: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

16

untuk bernapas melalui corong saat corong terbuka dan tertutup. Terjadinya

pergerakan dada saat bernapas akan merubah tekanan dan jumlah udara dalam

ruang dan corong. Dari perubahan ini, didapatkan hasil yang akurat tentang

jumlah udara di paru atau kapasitas total paru (Stang, 2014).

3. Peak Flow Meter

Peak Flow Meter adalah instrumen kecil yang mudah digunakan,

berfungsi untuk mengetahui seberapa baik paru-paru seseorang bekerja. Hal

ini dilakukan dengan mengukur aliran puncak ekspirasi untuk mengetahui

seberapa cepat pasien mengeluarkan udara setalah inspirasi maksimal. Peak

Flow Meter digunakan untuk membantu mengindentifikasi pola kerja paru dan

memberikan informasi untuk tindakan pencegahan terhadap asma.

Pengukuran peak flow meter dilakukan dengan cara pasien diminta untuk

melakukan inspirasi maksimal dalam keadaan berdiri atau duduk secara tegak,

kemudian udara dikeluarkan dengan ekspirasi maksimal ke dalam pipa. Ulangi

proses hingga 2 -3 kali lalu pilih nilai tertinggi dari hasil pengukuran dan catat

pada lembar pengukuran. Pengukuran ini sebaiknya dilakukan secara rutin

untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada paru-paru pasien (National

Jewish Health, 2012).

Berdasarkan metode pengukuran yang telah dijelaskan, spirometri dipilih

sebagai metode pengukuran kapasitas paru pada penelitian ini. Alasan pemilihan

spirometri yaitu alat mudah dioperasikan dan hasil pengukuran cepat diketahui

serta biaya operasional yang relatif murah.

Page 35: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

17

2.2 Pencemaran Udara

Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya

tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan

sekitarnya. Sebagian besar udara dalam lapisan troposfer selalu berputar-putar dan

terus bergerak, menjadi panas oleh sinar matahari, kemudian bergerak lagi diganti

oleh udara dingin yang akan menjadi panas kembali, begitu seterusnya. Proses

fisik tersebut menyebabkan terjadinya pergerakan udara dalam lapisan troposfer,

dan merupakan faktor utama untuk mendeteksi iklim dan cuaca di permukaan

bumi. Di samping itu pergerakan udara tersebut juga dapat mendistribusikan

bahan kimia pencemar dalam lapisan troposfer (Mengkidi, 2006).

Bila udara bersih bergerak di atas permukaan bumi, udara tersebut akan

membawa sejumlah bahan kimia yang dihasilkan oleh proses alamiah dan aktifitas

manusia. Sekali bahan kimia pencemar masuk ke dalam lapisan troposfer, bahan

pencemar tersebut bercampur dengan udara dan terbawa secara vertikal dan

horizontal serta bereaksi secara kimiawi dengan bahan lainnya di dalam atmosfer.

Dalam mengikuti gerakan udara, polutan tersebut menyebar, tetapi polutan yang

dapat tahan lama akan terbawa dalam jarak yang jauh dan jatuh ke permukaan

bumi menjadi partikel-partikel padat dan larut dalam butiran-butiran air serta

mengembun jatuh ke permukaan bumi (Mengkidi,2006).

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan

Hidup Nomor: KEP-02/MENKLH/I/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku

Mutu Lingkungan, pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk

hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan

udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun

Page 36: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

18

sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak

dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa setiap pembebasan bahan

atau zat di udara dikatakan mencemari udara apabila berpotensi mengganggu

stabilitas udara dan melewati nilai ambang batas yang telah ditetapkan.

Menurut Sumantri (2010), pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh

sumber-sumber alami maupun kegiatan manusia yang dapat berupa gangguan

fisik seperti polusi suara, panas, radiasi atau polusi cahaya. Pengertian ini sejalan

dengan yang diungkapkan Yulaekah (2007) bahwa pencemaran udara luar ruang

berasal dari proses – proses alam (letusan gunung berapi, kebakaran hutan) serta

akibat kegiatan manusia, meliputi sumber bergerak (transportasi) dan tidak

bergerak (industri, limbah rumah tangga).

Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam, yaitu:

1. Karena faktor internal (secara alamiah), seperti:

a. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin.

b. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas-

gas vulkanik.

c. Proses pembusukan sampah organik, dll.

2. Karena faktor eksternal (karena ulah manusia), seperti:

a. Hasil pembakaran bahan bakar fosil.

b. Debu/serbuk dari kegiatan industri.

c. Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara

Page 37: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

19

2.3 Batu Split

Batu split merupakan hasil pemecahan batu andesit yaitu batuan primer/

vulkanis karena proses pembentukannya yang terjadi akibat pembekuan lava yang

dihasilkan oleh letusan gunung berapi. Batu andesit termasuk golongan batuan

effusif, memiliki kualitas yang tinggi dengan volume beratnya 2,2 – 2,7 gr/cm3

dan kuat tekannya 600 – 2400 kg/cm3 (Mardianingsih, 2000). Batu andesit

merupakan batuan sub-alkalik peralihan yang mengandung SiO2 berkisar antara

57 – 63 % dan Na2O + K2O berkisar 5%. Batuan peralihan juga memiliki

kandungan CaO yang lebih tinggi dibandingkan batuan asam (Huraiová dan

Ondrejka, 2013). Mineral-mineral penyusun andesit yang utama terdiri dari

plagioclase feldspar dan juga terdapat mineral pyroxene (clinopyroxene dan

orthopyroxene) dan hornblende dalam jumlah yang kecil (Nouval, 2009).

Komposisi kimia dalam batuan andesit terdiri dari unsur-unsur, silikat,

alumunium, besi, kalsium, magnesium, natrium, kalium, titanium, mangan, dan

fosfor. Presentase kandungan unsur-unsur tersebut sangat berbeda di beberapa

tempat. Sebagai contoh, berikut adalah komposisi kimia andesit di Šiatorská

Bukovinka, Republik Slowakia:

Page 38: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

20

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Andesit

Senyawa Komposisi (%)

Silika krtistal (kwarsa) 61,62

Titanium dioksida 0,56

Alumunium oksida 17,65

Ferri oksida 6,43

Ferro oksida 0,00

Mangan oksida 0,15

Magnesium oksida 2,03

Kalsium oksida 6,09

Dinatrium oksida 3,18

Kalium oksida 2,03

Fosfor pentaoksida 0,18

Sumber : Huraiová dan Ondrejka, Department of Mineralogy and

Petrology, Comenius University of Bratislava, Slovakia (2013).

2.4 Debu

Debu adalah bagian padat yang dihasilkan oleh penanganan,

penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan bahan-bahan

organik dan inorganik seperti batu, batu bara, bijih besi, dll (Nedved, 1991). Debu

merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang

di udara (Suspended Particulate Matter/ SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai

dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara, debu sering dijadikan salah

satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukan tingkat bahaya baik

terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Partikel

debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan

melayang layang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui

pernapasan (Pudjiastuti, 2002).

EPA (2015) membagi ukuran debu menjadi dua kategori, yaitu:

Page 39: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

21

1. Inhalable Dust

Inhalable dust adalah debu yang dapat masuk kedalam tubuh akan tetapi

terperangkap atau tertahan di hidung, tenggorokan atau sistem pernapasan

bagian atas. Inhalable dust memiliki ukuran diameter lebih dari 2,5 mikron

hingga 10 mikron.

2. Respirable Dust

Respirable dust (debu terhirup) atau sering disebut fine particles adalah

debu dengan diameter berukuran kurang dari sama dengan 2,5 mikron yang

dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem pernapasan bagian atas

dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam.

2.4.1 Sifat-Sifat Debu

Sifat-sifat debu tidak berflokulasi kecuali oleh gaya tarik elektris, tidak

berdifusi dan turun karena tarikan gaya tarik bumi. Debu di atmosfer lingkungan

keja biasanya berasal dari bahan baku atau hasil produksi (Depkes RI, 1994).

Sifat-sifat debu adalah sebagai berikut (Pudjiastuti, 2002):

1. Mengendap

Debu cenderung mengendap karena gaya gravitasi bumi namun karena

ukurannya relatif kecil debu dapat berada di udara.

2. Permukaan cenderung selalu bersih

Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena

adanya lapisan air sangat tipis yang selalu melapisi permukaan debu.

Page 40: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

22

3. Menggumpal

Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah

sehingga memungkinkan debu menempel satu sama lain dan membentuk

gumpalan.

4. Listrik statis (elektrostatik)

Debu dapatt menarik partikel lain yang berlawanan sehingga

mempercepat terjadinya proses penggumpalan karena adanya partikel yang

masuk ke dalam debu.

5. Opsis

Opsis adalah debu yang dapat memancarkan sinar pada ruangan gelap.

2.4.2 Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru-Paru

Berikut ini adalah mekanisme penimbunan debu dalam paru-paru yang

dijelaskan pada gambar 2.1 dibawah ini:

Gambar 2.1

Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru

Debu yang dihasilkan dari kegiatan industri seperti penanganan,

penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan bahan-bahan

organik dan inorganik dapat menyebabkan timbulnya gangguan pada sistem

pernapasan. Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada

saluran pernapasan. Inhalasi adalah satu-satunya jalur paparan yang memiliki

hubungan dengan efek langsung partikel debu dengan kesehatan manusia

(WHO, 2000). Dengan menarik napas, udara yang mengandung debu masuk ke

dalam paru-paru.

Debu

Industri

Inhalasi Penimbunan

dalam paru

Penurunan

KVP

Page 41: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

23

Dari hasil penelitian, debu-debu berukuran di antara 5-10 mikron akan

ditahan oleh bagian pernapasan bagian atas sedangkan debu ukuran 3-5 mikron

ditahan oleh bagian tengah jalan pernapasan. Partikel-partikel yang besarnya 1-3

mikron merupakan ukuran paling berbahaya karena akan ditempatkan langsung

ke permukaan alveoli paru-paru (Pudjiastuti, 2002). Debu-debu yang ukuran

partikelnya kurang dari 0,1 mikron bermassa terlalu kecil sehingga tidak hinggap

di permukaan alveoli atau selaput lendir dikarenakan adanya gerakan Brown

yang menyebabkan debu bergerak keluar dari alveoli (Suma’mur, 1996).

Beberapa mekanisme dapat dikemukakan sebagai sebab hinggap dan

tertimbunnya debu dalam paru-paru. Menurut WHO (1997), terdapat lima

mekanisme penimbunan yaitu sedimentasi, inersia impaksi, difusi (hanya untuk

partiker yang sangat kecil < 0,5 m), intersepsi dan pengendapan elektrostatis.

Sedimentasi dan impaksi adalah mekanisme terpenting yang berhubungan

dengan penimbunan debu di dalam paru.

Sedimentasi adalah penimbunan yang terjadi karena kecepatan udara

pernapasan sangat rendah pada bronchi dan bronchioli sehingga gaya tarik bumi

dapat bekerja terhadap partikel-pertikel debu dan menimbunkannya. Sedangkan

impaksi atau inertia atau kelambanan dari partikel-partikel debu yang bergerak,

yaitu pada waktu udara membelok ketika melalui jalan pernapasan yang tidak

lurus, maka partikel-partikel debu yang bermassa cukup besar tidak dapat

membelok mengikuti aliran udara, melainkan terus lurus dan akhirnya

menimbun pada selaput lendir (Suma’mur, 1996).

Menurut Price (1995), mekanisme penimbunan debu dalam paru bermula

dari debu diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan

Page 42: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

24

asap. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan

dilembabkan. Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran

pernapasan yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung

sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat

pada lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam

lapisan mukosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke

rongga hidung dan kearah superior menuju faring.

Partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan

berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh

magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang

terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terus-

menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan

pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada

parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat intertestial (Price,

1995).

Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru

(pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan pengembangan paru.

Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru

yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan

menurunnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian

tubuh lainnya (Price, 1995).

Mukono (2003) menjelaskan paparan debu terhadap saluran pernapasan

dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada saluran pernapasan. Hal ini dapat

menyebabkan pergerakan silia menjadi lambat, bahkan dapat terhenti sehingga

Page 43: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

25

tidak dapat membersihkan saluran pernapasan. Akibat iritasi terjadi pula

peningkatan produksi lendir, pembengkakan saluran pernapasan dan merangsang

pertumbuhan sel sehingga dapat menyebabkan penyempitan saluran pernapasan.

Selain itu, dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan

penumpukan debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan

kerusakan seperti penurunan kapasitas paru yang disebut obstruksi dan

pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah

berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas

vital paru. Partikel debu dapat menimbulkan penurunan kapasitas vital paru,

sehingga akan mengurangi penggunaan optimal alat pernapasan untuk

mengambil oksigen pada proses respirasi (Sukarman, 1978).

Penimbunan partikel akan merusak epitel dan pergerakan sel fagosit di

dekat tempat penimbunan atau dapat menstimulasi sekresi cairan. Partikel yang

tertimbun dapat berdifusi ke dalam dan melalui permukaan cairan dan sel dan

dengan cepat diangkut oleh aliran darah ke seluruh tubuh (ILO). EPA juga

menjelaskan adanya hubungan partikel debu terutama respirable dust dengan

serangkaian masalah kesehatan yang signifikan yaitu:

1. Memperberat asma

2. Gejala pernapasan akut, termasuk memperberat batuk dan kesulitan atau

sakit ketika bernapas

3. Bronkitis kronis

4. Penurunan fungsi paru yang diawali dengan sesak napas

Page 44: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

26

2.4.3 Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Penimbunan Partikel Debu Di

Paru

WHO (2000) menjelaskan bahwa penimbunan partikel di paru-paru

ditentukan oleh karakteristik partikel, anatomi saluran pernapasan, volume tidal

dan pola pernapasan. Di antara karakteristik partikel yang paling mempengaruhi

adalah ukuran, bentuk, muatan listrik, kepadatan dan higroskopisitas. Ukuran

paru-paru, pola cabang saluran napas, diameter saluran napas, dan panjang,

frekuensi, kedalaman dan laju aliran juga mempengaruhi pengendapan partikel.

Begitu menimbun di paru-paru, sebagian besar partikel dikeluarkan oleh

berbagai mekanisme clearance. Partikel yang tidak dapat larut yang menimbun

pada saluran udara bersilia umumnya dibersihkan dari saluran pernapasan

oleh aktivitas mukosiliar dalam 24-48 jam. Clearance pada paru dapat terjadi

melalui aksi makrofag alveolar atau mekanisme alternatif. Makrofag alveolar

merupakan sel fagositik dan dapat bermigrasi. Partikel debu akan dibawa oleh

makrofag ke pembuluh limfa atau bronkiolus dan akhirnya dikeluarkan oleh

eskalator mukosiliaris (Mukono, 2003).

Penyerapan penimbunan partikel oleh makrofag dapat berlangsung cepat,

tetapi untuk menghilangkan makrofag dari paru-paru membutuhkan waktu

beberapa minggu. Secara keseluruhan, partikel yang mengendap di paru dapat

dibersihkan namun dalam jangka waktu yang berbeda-beda, baik dalam

hitungan minggu, bulan bahkan tahun.

2.4.4 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kadar Debu PM1,0 dan PM2,5

NAB adalah kadar yang dapat diterima oleh tubuh pekerja dengan tidak

menunjukkan penyakit atau kelainan dalam pekerjaan sehari-hari dalam kurun

waktu 8 jam perhari dan 40 jam perminggu (Suma’mur, 1996). Paparan debu

Page 45: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

27

yang melebihi NAB akan meningkatkan risiko terjadinya penurunan kapasitas

vital paru. Hal ini juga berlaku pada paparan dengan kadar debu rendah apabila

lama paparan terjadi dalam waktu yang lama sehingga dapat menyebabkan

penurunan kapasitas vital paru.

Respirable dust (debu terhirup) atau sering disebut fine particles yang

merupakan debu dengan diameter berukuran kurang dari sama dengan 2,5

mikron yang dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem pernapasan

bagian atas dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam. Respirable dust dapat

menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti memperberat asma dan gejala

pernapasan akut, termasuk memperberat batuk dan kesulitan atau sakit ketika

bernapas, bronkitis kronis, dan penurunan fungsi paru yang diawali dengan

sesak napas.

Berdasarkan komposisi kimia yang terdapat pada batu split mengacu pada

tabel 2.2 maka, didapatkan nilai ambang batas menurut Peraturan Menteri

Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011

Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja

sebagai berikut:

Page 46: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

28

Tabel 2.3

Nilai Ambang Batas

No Senyawa NAB (mg/m3)

1. Silika kristal (kwarsa) 0,1

2. Alumunium oksida 10

3. Kalsium oksida 2

4. Ferri oksida 5

5. Magnesium oksida 10

6. Fosfor pentaoksida 0,85

Berdasarkan tabel 2.3, peneliti menggunakan NAB kalsium oksida sebesar

2 mg/m3. Hal ini dikarenakan respirabel partikulat tidak boleh melampaui 2

mg/m3.

2.5 Faktor Karakteristik Individu Yang Memengaruhi Kapasitas Vital

Paru

2.5.1 Masa Kerja

Masa kerja adalah semua perhitungan jumlah tahun masa kerja dalam

periode kerja, semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang

tersebut mempunyai resiko yang besar mengalami penurunan kapasitas vital

paru (Tamuntuan, 2013). Dalam penelitian Anugrah (2014), diketahui bahwa

masa kerja dapat mempengaruhi kapasitas vital paru pada pekerja. Apabila

kondisi paru terpapar dengan berbagai komponen pencemar, fungsi fisiologis

paru sebagai organ utama pernapasan akan mengalami beberapa gangguan

sebagai akibat dari pemaparan secara terus menerus dari berbagai komponen

pencemar. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak

terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Dalam

lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan

menurunkan kapasitas fungsi paru pada karyawan (Suma’mur, 1996).

Semakin lama seseorang bekerja pada tempat yang mengandung debu

akan semakin tinggi resiko terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan

Page 47: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

29

saluran pernafasan. Debu yang terhirup dalam konsentrasi dan jangka waktu

yang cukup lama akan membahayakan. Akibat penghirupan debu, yang langsung

dirasakan adalah sesak, bersin, dan batuk karena adanya gangguan pada saluran

pernapasan. Paparan debu untuk beberapa tahun pada kadar yang rendah tetapi

diatas batas limit paparan menunjukkan efek toksik yang jelas. Tetapi hal ini

tergantung pada pertahanan tubuh dari masing-masing pekerja (Sirait, 2010).

Khumaidah (2009) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai kecenderungan

sebagai faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru seperti obstruksi

saluran pernapasan pada pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai

masa kerja 5 tahun.

2.5.2 Lama Paparan

Lama paparan adalah waktu yang dihabiskan seseorang berada dalam

lingkungan kerja dalam waktu sehari (Mengkidi, 2006). Lamanya seseorang

bekerja pada umumnya berkisar 6 – 8 jam dalam sehari, apabila waktu kerja

diperpanjang maka akan menimbulkan ketidakefisienan yang tinggi bahkan

menimbulkan penyakit diakibatkan lamanya seseorang terpapar polutan seperti

debu yang berada di lingkungan kerja. Bila pekerja terpapar cukup lama oleh

debu yang diatas NAB kemungkinan besar akan timbul gangguan saluran

pernapasan (Suma’mur, 1996). Namun, menurut Harrington dan Gill (2003),

penurunan kapasitas paru tidak hanya disebabkan oleh faktor pekerjaan maupun

lingkungan kerja, namun ada sejumlah faktor non-pekerjaan yang dapat menjadi

faktor yang mempengaruhi, yaitu lain usia, kelamin, ukuran paru, ras, tinggi

badan, dan kebiasaan merokok.

Page 48: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

30

Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Asna (2013), ditemukan bahwa

adanya hubungan antara lama paparan dengan penurunan kapasitas vital paru.

Hal ini membuktikan bahwa lama paparan berpengaruh negatif bagi seseorang

yang bekerja karena semakin lama terpapar, bahaya yang ditimbulkan oleh

tempat kerja dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernapasan.

Mengkidi (2006) juga menjelaskan, lama paparan berkaitan dengan jumlah

jam kerja yang dihabiskan pekerja di area kerja. Semakin lama pekerja

menghabiskan waktu untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula

paparan debu di terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru

juga akan lebih besar, tetapi hal itu juga tergantung dari konsentrasi debu yang

ada di area kerja dan mekanisme clearance dari masing-masing individu, kadar

partikel debu dan kerentanan individu

2.5.3 Riwayat Penyakit

Guyton & Hall dalam Anugrah (2014) menyatakan bahwa keadaan seperti

tuberkulosis, emfisema, asma, kanker paru dan pleuritis fibrosa semuanya dapat

menurunkan kapasitas vital paru. Riwayat penyakit meliputi antara lain

permulaan timbul gejala-gejala, gejala sewaktu penyakit dini, perkembangan

penyakit selanjutnya, hubungan dengan pekerjaan, dll (Suma’mur, 1996).

2.5.4 Riwayat Pekerjaan

Riwayat kerja dapat digunakan untuk mengetahui adanya kemungkinan

bahwa salah satu faktor di tempat kerja atau dalam pekerjaan dapat

mengakibatkan penyakit seperti adanya debu yang dihasilkan oleh penanganan,

penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan (Suma’mur,

1996). Riwayat pekerjaan dapat menggambarkan apakah pekerja pernah terpapar

Page 49: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

31

dengan pekerjaan berdebu, hobi, pekerjaan pertama, pekerjaan pada musim-

musim tertentu, dll (Ikhsan, 2002).

2.5.5 Penggunaan Masker

Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat,

peralatan dan lingkungan kerja sangat perlu diutamakan (Suma’mur, 1996). Alat

pelindung diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk

melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja

dari bahaya di tempat kerja (Nedved, 1991). Sebagai usaha terakhir dalam usaha

melindungi tenaga kerja, APD haruslah enak dipakai, tidak mengganggu kerja

dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap bahaya (Nedved, 1991).

Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu

memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel

yang kemungkinan dapat terhirup. Pekerja yang taat menggunakan masker saat

bekerja akan meminimalkan jumlah paparan partikel yang dapat terhirup

(Budiono, 2007).

Suma’mur (1996) menjelaskan, penggunaan alat pelindung diri masker

berkaitan dengan banyaknya partikulat yang tertimbun di dalam organ paru

akibat pencemaran yang dapat mengurangi kemampuan fungsi paru, dengan

menggunakan alat pelindung diri masker maka dapat mencegah menumpuknya

partikulat pencemar dalam organ paru sehingga akan mengurangi terjadinya

penurunan fungsi paru.

Adapun masker yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan

kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah (OSHA, 2007):

Page 50: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

32

Tabel 2.4

Jenis dan Gambar Masker

No. Jenis Masker Gambar

1.

Single-strap dust masks, tidak dapat digunakan

untuk melindung dari bahaya lingkungan.

Namun, dapat digunakan untuk melindungi

dari serbuk sari atau allergen lainnya.

Gambar 2.2

Single-strap dust masks

Sumber: www.osha.gov

2.

Approved filtering facepieces (masker debu),

dapat digunakan untuk debu, uap, asap

pengelasan, dll.

Gambar 2.3

Masker debu

Sumber: www.osha.gov

3.

Respirator setengah wajah, dapat digunakan

untuk perlindungan terhadap sebagian besar

uap, gas asam, debu atau asap pengelasan.

Cartridge / filter harus sesuai kontaminan dan

diganti secara berkala.

Gambar 2.4

Respirator setangah wajah

Sumber: www.osha.gov

4.

Respirator seluruh wajah, lebih protektif dari

respirator setengah wajah. Dapat digunakan

untuk perlindungan terhadap sebagian besar

uap, gas asam, debu atau asap pengelasan.

Pelindung wajah untuk melindungi wajah dan

mata dari iritasi dan kontaminan. Cartridge /

filter harus sesuai kontaminan dan diganti

secara berkala.

Gambar 2.5

Respirator seluruh wajah

Sumber: www.osha.gov

2.5.6 Kebiasaan Merokok

Merokok adalah salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi paru, salah

satunya adalah kapasitas vital paru. Merokok dapat menyebabkan perubahan

struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru-paru. Pada saluran

napas besar, sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah banyak. Pada

saluran pernapasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat

bertambahnya sel penumpukan lendir. Pada jaringan paru terjadi peningkatan

jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran

Page 51: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

33

napas, pada perokok akan timbul perubahan fungsi paru-paru dan segala macam

perubahan klinisnya (Depkes RI, 2003).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi (2006), menyatakan

bahwa ada hubungan yang bermakana antara kebiasaan merokok dengan

gangguan fungsi paru pada seluruh pekerja di PT. Semen Tonasa Pangkep

Sulawesi Selatan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Prasetyo (2010) yang

menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok

dengan penurunan kapasitas vital paru. Berdasarkan penelitian Bajentri AL, dkk

(2003), membuktikan bahwa merokok dengan jangka waktu 2-5 tahun dengan

rata-rata 10 batang per hari terdapat hasil yang signifikan terhadap penurunan

fungsi paru salah satunya adalah kapasitas vital paru dan cenderung

menyebabkan penyempitan pada saluran udara.

2.5.7 Kebiasaan Olahraga

Adanya hubungan timbal balik antara kapasitas paru dan olahraga.

Gangguan pada paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga sebaliknya

olahraga yang teratur dapat meningkatkan kapasitas paru (Sahab, 1997).

Olahraga dapat meningkatkan aliran darah melalui paru-paru sehingga

menyebabkan oksigen dapat berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume

yang lebih besar atau maksimum (Prasetyo, 2010).

2.6 Kondisi Lingkungan Yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru

Variabel kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi pemajanan debu

adalah sebagai berikut:

Page 52: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

34

1. Suhu Udara

Suhu yang menurun pada permukaan bumi dapat menyebabkan

peningkatan kelembaban udara relatif sehingga akan meningkatkan efek

korosif bahan pencemar di daerah yang udaranya tercemar. Pada suhu yang

meningkat akan meningkat pula kecepatan reaksi suatu bahan kimia (Mukono,

2003). Pernyataan ini sesuai dengan Permenkes (2012) yang menjelaskan

bahwa suhu udara yang lebih tinggi dapat meningkatkan pembentukan polutan

udara. Selain berpengaruh terhadap polutan, suhu juga memengaruhi paru.

Ikhsan, dkk (2010) menjelaskan bahwa suhu yang ekstrim baik dingin maupun

panas saat terjadinya perubahan polusi udara, perubahan alergen dan hujan

debu berpotensi menyebabkan penyakit respirasi baik jangka pendek maupun

jangka panjang.

Menurut Donaldson dkk (1999), penurunan fungsi paru-paru dapat

disebabkan oleh peningkatan peradangan saluran napas ketika suhu rendah.

Suhu lingkungan rendah dapat bertindak secara langsung melalui aktivasi

sitokin untuk menginduksi perubahan inflamasi (peradangan) saluran napas.

Faktor mekanik juga dapat terlibat sebagai suhu dingin yang akan

menyebabkan peningkatan vasokonstriksi dan perpindahan perifer darah pusat

sehingga dapat mengurangi kapasitas paru-paru. Penelitian ini telah

menunjukkan bahwa lingkungan yang dingin dikaitkan dengan penurunan

nilai spirometri. Penurunan fungsi paru akan semakin memburuk selama cuaca

dingin dan dapat menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada

penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Page 53: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

35

Suhu tinggi juga dapat memperburuk sistem pernapasan. Menurut

Healthcommunities (2013), menghirup udara panas dapat memperburuk

gangguan pernapasan seperti PPOK dan meningkatkan peradangan saluran

napas. Paparan panas dapat memicu respon pernapasan seperti terjadinya

bronkospasme karena menghirup udara panas sehingga menyebabkan

kesulitan bernapas dan sesak napas. Menghirup udara panas juga dapat

memperburuk infeksi pernafasan, beberapa di antaranya dapat disebabkan oleh

serbuk sari atau jamur.

Para peneliti menunjukkan bahwa gangguan termoregulasi juga mungkin

memainkan peran parsial dalam menanggapi respon panas pada pernapasan

Ketika tubuh tidak dapat mendinginkan diri, hasilnya adalah hipertermia, yang

mencakup berbagai penyakit panas seperti heat stress, heat exhaustion dan

heat stroke. Hipertermia dapat menyebabkan denyut jantung yang cepat dan

meningkatkan aliran darah ke kulit. Akibatnya tubuh menuntut lebih banyak

oksigen karena bekerja untuk tetap dingin yang dapat menyebabkan

penurunan kapasitas paru-paru. Hal ini dapat mengakibatkan pernapasan

abnormal cepat atau dalam yang disebut hiperpnea (Healthcommunities,

2013).

Namun, apabila seseorang tinggal di daerah dengan suhu rata-rata tinggi

respon termoregulasi orang tsb dapat menyesuaikan diri dengan cuaca panas.

Hal ini disebabkan karena kemampuan tubuh untuk termogulasi membaik

dengan paparan panas berulang, sedangkan orang-orang tidak terbiasa dengan

suhu tinggi akan sulit beradaptasi sehingga dapat mengalami gangguan

pernapasan (Healthcommunities, 2013).

Page 54: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

36

2. Kelembaban Udara

Kelembaban udara menyatakan banyaknya uap air di dalam udara. Dalam

klimatologi untuk menunjukkan kelembaban udara adalah kelembaban relatif.

Kelembaban relatif adalah tekanan parsial dari uap air dalam udara dibagi

dengan tekanan uap air pada suhu yang sama, dinyatakan sebagai persentase

(Young, 2002). Menurut Mukono (2003), kelembaban udara relatif rendah

(<60%) di daerah tercemar SO2, akan mengurangi efek korosif dari bahan

kimia tsb. Pada kelembaban relatif lebih atau sama dengan 80% di daerah

tercemar SO2, akan terjadi peningkatan efek korosif SO2 tsb.

Udara yang lembab menyebabkan bahan pencemar berbentuk partikel

dapat berikatan dengan air di udara sehingga membentuk partikel yang

berukuran lebih besar. Partikel tersebut mudah mengendap. Kelembaban yang

tinggi di lingkungan kerja secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi

udara. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat

menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban

yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan

formaldehid dari material bangunan (Suma’mur, 1996).

Menurut Heatlhcare Inc. (2005), kelembaban tinggi merupakan penyebab

meningkatnya keluhan sesak napas yang merupakan gejala terjadinya

penurunan kapasitas vital paru. Ada beberapa kemungkinan penjelasan untuk

fenomena ini. Pertama, karena kelembaban udara meningkat maka densitas

atau massa jenis udara meningkat dan menggangu sirkulasi udara atau

menyebabkan sedikitnya aliran yang terjadi di udara. Hal ini kemudian

mengakibatkan peningkatan saluran dan kerja napas sehingga menimbulkan

Page 55: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

37

sesak napas sehingga dapat menurunkan kapasitas vital paru. Penjelasan

lainnya adalah ketika kelembaban udara meningkat maka jumlah alergen

udara ikut meningkat sehingga dapat mempengaruhi sistem pernapasan.

Menurut Suma’mur (1996) kelembaban lingkungan kerja yang tidak

memberikan pengaruh kepada kesehatan pekerja berkisar antara 40%-60%.

2.7 Pencegahan Terhadap Gangguan Kesehatan dan Daya Kerja

Menurut Suma’mur (1996), gangguan kesehatan dan daya tahan kerja

akibat berbagai faktor pekerjaan bisa dihindari apabila pekerja dan pimpinan

perusahaan ada kemauan baik untuk mencegahnya. Tentu perundang-undangan

tidak akan ada faedahnya apabila pimpinan perusahaan tidak melaksanakan

ketetapan perundang-undangan yang berlaku dan juga para pekerja tidak

mengambil peranan penting dalam menghindarkan gangguan tersebut:

Cara-cara mencegah gangguan tersebut adalah:

1. Substitusi, yaitu mengganti bahan berbahaya dengan bahan yang kurang

berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali.

2. Ventilasi umum, yaitu mengalirkan udara berdasarkan perhitungan dalam

ruang kerja agar kadar dari bahan-bahan berbahaya seperti debu menjadi

lebih rendah dari kadar nilai ambang batas (NAB).

3. Isolasi, yaitu megisolasi operasi atau proses yang merupakan sumber debu

agar tidak tersebar.

4. Alat pelindung diri, yaitu upaya perlindungan kepada pekerja agar

terlindung dari risiko dan bahaya kerja seperti terpapar debu. Misalnya:

masker, kacamata, sarung tangan, sepatu, topi, dll.

Page 56: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

38

5. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, yaitu pemeriksaan kesehatan

kepada calon pekerja untuk mengetahui cocok atau tidaknya pekerjaan

yang diberikan baik secara fisik maupun mentalnya.

6. Pemeriksaan kesehatan berkala, digunakan sebagai evaluasi untuk

mengetahui debu di lingkungan kerja yang dapat menimbulkan

gangguan/kelainan pada pekerja atau tidak.

7. Pengarahan sebelum kerja, agar pekerja mengetahui dan menaati peraturan

sehingga lebih berhati-hati dalam bekerja.

8. Pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kepada pekerja secara

kontinu, agar pekerja tetap waspada dalam menjalankan pekerjaannya.

Setelah semua usaha pencegahan dilakukan secara maksimal, dan jika

masih terdapat debu dari proses tersebut, maka barulah dilakukan pengendalian

atau pengontrolan terhadap debu tersebut. HSP (2011) menjelaskan beberapa

teknik pengendalian yang dapat dilakukan adalah seperti

1. Dust collection systems, yaitu menggunakan prinsip ventilasi untuk

menangkap debu dari sumbernya. Debu disedot dari udara dengan

menggunakan pompa dan dialirkan kedalam dust collector, kemudian

udara bersih dialirkan keluar.

2. Wet Dust Suppression Systems, yaitu dengan menggunakan cairan untuk

membasahi bahan yang dapat menghasilkan debu tersebut sehingga bahan

tersebut tidak cenderung menghasilkan debu. Cairan yang banyak

digunakan adalah air atau bahan kimia yang dapat mengikat debu.

3. Airborne Dust Capture Through Water Sprays, yaitu menyemprot debu-

debu yang timbul pada saat proses dengan menggunakan air atau bahan

Page 57: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

39

kimia pengikat. Semprotan harus membentuk partikel cairan yang kecil

(droplet) sehingga bisa menyebar di udara dan mengikat debu yang

berterbangan sehingga debu dapat mengendap atau turun ke bawah.

Pada pengendalian yang menggunakan cairan atau melakukan penyiraman

pada sumber debu, penggunaan nozzle sangat penting untuk mengoptimalkan

proses penyiraman. Berikut adalah jenis nozzle menurut OSHA (1987):

Tabel 2.5

Jenis dan Gambar Nozzle

No. Jenis Nozzle Gambar

1.

Solid-cone nozzle, menghasilkan daya semprot

dengan kecepatan tinggi ketika nozzle terletak

jauh dari lokasi pengontrolan debu

Gambar 2.6

Solid-cone nozzle

Sumber: www.osha.gov

2.

Hollow-cone nozzle, menghasilkan daya

semprot dalam bentuk cincin melingkat.

Nozzle ini berguna untuk proses yang

menghasilkan debu yang tersebar luas.

Gambar 2.7

Hollow-cone nozzle

Sumber: www.osha.gov

3.

Flat-spray nozzle, menghasilkan butiran relatif

besar. Nozzle ini biasa digunakan pada wet

dust suppression systems.

Gambar 2.8

Flat-spray nozzle

Sumber: www.osha.gov

4.

Fogging nozzle, menghasilkan uap yang

sangat halus. Nozzle ini biasa digunakan pada

airborne dust control systems.

Gambar 2.9

Fogging nozzle

Sumber: www.osha.gov

Page 58: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

40

2.8 Kerangka Teori

Kerangka teori diperoleh dari hasil modifikasi berbagai sumber.

Pudjiastuti (2002), Suma’mur (1996), Price (1995), Mukono (2003), dan

Sukarman (1978) menyatakan bahwa debu dapat tertimbun dalam paru-paru dan

berpengaruh terhadap kapasitas vital paru. Untuk faktor karakteristik individu

diketahui bahwa masa kerja (Suma’mur (1996) dan Sirait (2010)), lama paparan

(Mengkidi, 2006), penggunaan masker (Budiono (2007) dan Suma’mur (1996)),

riwayat peyakit dan riwayat pekerjaan (Suma’mur, 1996), kebiasaan merokok

(Depkes RI, 2003), dan kebiasaan olahraga (Sahab, 1997) juga memengaruhi

terjadinya penurunan kapasitas vital paru.

Kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi pemajanan debu yaitu suhu

udara (Donaldson (1999) dan Healthcommunitties (2013)), kelembaban udara

(Heatlhcare Inc. (2005) dan Suma’mur (1996)).Berdasarkan hasil dari modifikasi

tersebut dapat digambarkan sebuah kerangka teori sebagai berikut:

Page 59: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

41

Gambar 2.10

Kerangka Teori

Sumber : 1Donaldson (1999),

2Healthcommunitties (2013),

3Heatlhcare

Inc. (2005), 4Pudjiastuti (2002),

5Suma’mur (1996),

6Price (1995),

7Mukono

(2003), 8Sukarman (1978),

9Sirait (2010),

10Mengkidi (2006),

11Budiono (2007),

12Depkes RI (2003),

13Sahab (1997).

Kondisi lingkungan:

1. Kelembaban udara1,2

2. Suhu udara2,3

Kadar debu PM1,0 dan

PM2,54,3,5,6,7

Karakteristik individu:

1. Masa kerja5,9

2. Lama paparan10

3. Riwayat penyakit5

4. Riwayat pekerjaan5

5. Penggunaan masker5, 11

6. Kebiasaan merokok12

7. Kebiasaan olahraga13

Kapasitas vital paru

Page 60: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

42

BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Gambar 3.1

Kerangka Konsep

Dalam kerangka konsep penelitian ini, peneliti ingin mengetahui kondisi

lingkungan yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja

pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. Pada

penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah kadar debu PM1,0 dan

PM2,5, suhu udara, kelembaban udara, masa kerja, lama paparan, dan penggunaan

masker, sedangkan variabel dependennya adalah kapasitas vital paru pada pekerja

pengolahan batu split. Variabel yang tidak diteliti adalah kebiasaan merokok

karena merokok otomatis menurunkan kapasitas vital paru, kebiasaan olahraga

karena seluruh pekerja rutin melakukan olahraga setiap seminggu sekali sehingga

akan bersifat homegen, riwayat pekerjaan karena sudah terwakili oleh masa kerja

Kondisi lingkungan:

1. Suhu udara

2. Kelembaban udara

3.

Kadar debu PM1,0 dan PM2,5

Karakteristik individu:

1. Masa kerja

2. Lama paparan

3. Penggunaan masker

Kapasitas vital paru

Page 61: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

43

dimana sebagian pekerja baru mulai pertama kali bekerja sehingga tidak memiliki

riwayat pekerjaan, riwayat penyakit karena sudah dilakukan screening terlebih

dahulu kepada pekerja yang akan menjadi sampel sebab seseorang yang

mengalami penyakit saluran pernapasan secara otomatis menurunkan nilai KVP.

Page 62: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

44

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala

ukur

1. Kapasitas

vital paru

Total jumlah udara

maksimum yang dapat

dikeluarkan dengan kuat

setelah inspirasi

maksimum

Pengukuran

menggunakan alat

spirometer oleh

badan teknis khusus

dan kuesioner

Spirometer

1. Tidak normal (adanya

Restriktif, Obstruktif,

Mixed)

2. Normal

(Permenaker No.

25/MEN/XII/2008)

Ordinal

2. Kadar debu

PM1,0

Partikel padat berukuran

1,0 mikron yang dihasilkan

dari kegiatan pengolahan

baru split

Pengukuran

menggunakan alat

EPAM pada 3 lokasi

pengolahan selama

45 menit berdasarkan

interval waktu

EPAM-5000 1. Tidak memenuhi

syarat NAB (> 2

mg/m3)

2. Memenuhi syarat

NAB (≤ 2 mg/m3)

(Permenaker No.

13/MEN/X/2011)

Ordinal

3. Kadar debu

PM2,5

Partikel padat berukuran

2,5 mikron yang dihasilkan

dari kegiatan pengolahan

baru split

Pengukuran

menggunakan alat

EPAM pada 3 lokasi

pengolahan selama

45 menit berdasarkan

interval waktu

EPAM-5000 mg/m3

Rasio

4. Suhu udara Derajat panas atau dingin

di lingkungan kerja

Pengukuran

menggunakan alat

thermohygrometer

digital

Thermohygro

meter digital

HTC-2

oC Rasio

Page 63: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

45

5. Kelembaban

udara

Derajat basah udara

berbentuk gas di

lingkungan kerja yang

dinyatakan dalam persen

(%)

Pengukuran

menggunakan alat

thermohygrometer

digital

Thermohygro

meter digital

HTC-2

% Rasio

6. Masa kerja Lamanya pekerja bekerja,

yaitu mulai bekerja sampai

saat wawancara dilakukan.

Kuesioner Kuesioner 1. > 5 tahun

2. ≤ 5 tahun

(Khumaidah, 2009)

Ordinal

7. Lama

paparan

Lamanya seseorang berada

di lingkungan kerja dalam

sehari

Kuesioner Kuesioner 1. > 8 jam/hari

2. ≤ 8 jam/hari

(UU No. 13 Tahun 2003)

Ordinal

8. Penggunaan

masker

Penggunaan bahan penutup

hidung berupa masker

sebagai alat pelindung diri

dari debu terhirup.

Observasi Lembar

observasi

1. Tidak menggunakan

2. Menggunakan

Ordinal

Page 64: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

46

3.3 Hipotesis

1. Adanya hubungan antara kadar debu PM1,0 terhadap kapasitas vital paru

pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon

tahun 2015.

2. Adanya hubungan antara masa kerja terhadap kapasitas vital paru pada

pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun

2015.

3. Adanya hubungan antara lama paparan terhadap kapasitas vital paru pada

pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun

2015.

4. Adanya hubungan antara penggunaan masker terhadap kapasitas vital paru

pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon

tahun 2015.

Page 65: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

47

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain studi

Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional yaitu suatu

penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan

efek melalui pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu

saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2010). Artinya, data yang menyangkut

variabel bebas dan variabel terikat akan dikumpulkan dalam waktu yang

bersamaan. Variabel bebas yang diteliti adalah kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu

udara, kelembaban udara, masa kerja, lama paparan, dan penggunaan masker

sedangkan variabel terikat yang diteliti yaitu kapasitas vital paru pada pekerja

tambang batu split.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini di pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama

Cilegon.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Juni-Oktober 2015.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek atau obyek

dengan kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan, sedangkan sampel adalah bagian dari

jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sangadji, Etta Mamang,

Page 66: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

48

2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja pengolahan batu PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon sebanyak 62 pekerja.

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah total populasi yang

merupakan teknik penentuan sampel dimana seluruh anggota populasi digunakan

sebagai sampel sehingga didapatkan sampel sebesar 24 pekerja berdasarkan

kriteria inklusi dan eksklusi. Dibawah ini adalah perhitungan kekuatan uji yang

dihitung berdasarkan rumus uji hipotesis beda dua proporsi:

[ ⁄ √

]

Keterangan:

n : Jumlah besar sampel = 24 sampel

P1 : Proporsi pada variabel kadar debu total dengan gangguan fungsi paru

sebesar 0,654 dari penelitian terdahulu (Budiono, 2007)

P2 : Proporsi pada variabel kadar debu total dengan gangguan fungsi paru

sebesar 0,211 dari penelitian terdahulu (Budiono, 2007)

Q1 : 1-P1

Q2 : 1-P2

P : Rata-rata proporsi [

]

Q : 1-P

⁄ : Derajat kemaknaan, α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5% = 1,96

: Kekuatan uji 1-β, didapatkan hasil yaitu 88,55%

Berdasarkan perhitungan uji hipotesis beda dua proporsi, didapatkan

kekuatan uji 1-β sebesar 88,55%.

Page 67: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

49

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

4.4.1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah syarat yang harus dipenuhi responden agar dapat

menjadi sampel penelitian. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah

1. Pekerja dalam keadaan sehat dan terbebas dari penyakit pernapasan dan

paru seperti asma, emfisema, bronkitis, pneumonia, alergi saluran

pernapasan, dll.

2. Pekerja tidak merokok atau merokok namun tidak melebihi jangka waktu

5 tahun.

4.4.2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah mengeluarkan responden yang memenuhi kriteria

inklusi dari penelitian karena alasan tertentu. Kriteria eksklusi pada penelitian ini

adalah pekerja menolak berpartisipasi dalam penelitian.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

spirometer, EPAM-5000, thermohygrometer digital HTC-2, dan kuesioner.

1. Spirometer digunakan untuk mengukur fungsi paru pekerja.

2. EPAM-5000 untuk mengukur kadar debu di lingkungan pekerja.

3. Thermohygrometer digital untuk mengukur kelembaban dan suhu udara

di lingkungan pekerja.

4. Kuesioner digunakan untuk mendapatkan data pribadi pekerja.

5. Lembar observasi digunakan untuk mendapatkan data penggunaan masker

pada pekerja.

Page 68: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

50

4.5 Sumber Data

Data yang dikumpulkan bersumber dari data primer yang diperoleh dari

hasil pengukuran terhadap variabel yang akan diteliti langsung. Data primer yang

dikumpulkan adalah kapasitas vital paru, kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu,

kelembaban, masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker.

4.6 Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang diperoleh langsung

melalui:

1. Pengukuran kapasitas vital paru

Pengukuran kapasitas vital paru pada pekerja dilakukan dengan

menggunakan alat spirometer. Adapun cara pengukuran kapasitas paru adalah

sebagai berikut:

a. Hidupkan spirometer dengan menekan tombol ON

b. Lakukan kalibrasi untuk menjamin validitas hasil pengukuran

c. Masukan nama dan data pekerja (tanggal lahir, jenis kelamin, berat

badan, tinggi badan dan ras).

d. Tekan tombol START untuk memulai pengukuran

e. Pekerja diminta untuk melakukan inspirasi maksimal kemudian

lakukan ekspirasi maksimal ke dalam spirometer

f. Tekan tombol STOP untuk menghentikan pengukuran

g. Hasil pengukuran dapat dilihat dari spirogram yang telah di cetak

(BTL-08 Spiro Instruction Manual)

2. Pengukuran kadar debu PM1,0 dan PM2,5 di lingkungan kerja

Pengukuran debu dilakukan dengan menggunakan EPAM-5000 yaitu

monitor partikulat portabel berbasis mikroprosesor yang menggunakan

Page 69: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

51

hamburan cahaya untuk mengukur konsentrasi partikel dan memberikan

langsung real-time penentuan dan rekaman data konsentrasi partikel udara

dalam miligram per meter kubik (mg/m3). Pengukuran kadar debu dilakukan

di tiga lokasi pengolahan batu split.

Untuk pengambilan sampel debu dilakukan secara representatif dari

standar pengukuran yang ditetapkan oleh NIOSH Manual of Analytical

Methods (NMAM) tahun 1998 yaitu 45 menit – 8 jam. Waktu pengukuran

dilakukan selama 45 menit pada setiap interval waktu pengukuran sebagai

berikut:

a. Siang : 10.00 – 14.00

b. Sore : 14.00 – 18.00

c. Malam : 18.00 – 22.00

(Permen LH No. 12 Tahun 2010)

Langkah pengukuran dengan menggunakan EPAM-5000 adalah sebagai

berikut:

a. Menekan tombol ON/OFF untuk menyalakan monitor EPAM

b. Mengecek kondisi baterai

c. Melakukan kalibrasi dengan menggunakan Flow Audit Meter atau tes

laju alir udara dengan menunjukkan hasik 4 Lpm

d. Melakukan pengaturan alat untuk waktu, alarm, ukuran partikulat,

dll.

e. Melakukan manual zero

f. Menekan tombol Run untuk pengambilan sampling

g. Hasil pengukuran dapat dilihat di monitor

Page 70: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

52

(Standar Operasional Prosedur, Laboratorium HOC FKIK UIN

Jakarta)

3. Pengukuran suhu dan kelembaban udara di lingkungan kerja

Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan menggunakan

alat thermohygrometer digital. Adapun cara pengukuran suhu dan

kelembaban udara adalah sebagai berikut:

a. Masukan baterai dan alat akan hidup secara otomatis

b. Letakkan alat pada lokasi pengukuran dengan keadaan berdiri

c. Alat akan otomatis mengukur suhu dan kelembaban udara di lokasi

pengukuran

d. Tunggu kurang lebih 10 menit hingga pengukuran konstan

e. Hasil pengukuran dapat dilihat di monitor

4. Kuesioner

Kuesioner mencakup daftar pertanyaan untuk memperoleh data

pendukung dari pekerja.

5. Lembar observasi

Lembar observasi berupa lembar checklist untuk memperoleh data

penggunaan masker pada pekerja.

4.6 Pengolahan Data

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengolah data primer dari

variabel dependen dan variabel independen adalah sebagai berikut:

1. Data Editing

Penyuntingan data terlebih dahulu setelah data terkumpul untuk

memastikan kelengkapan data hasil pengukuran debu, kelembaban, suhu,

Page 71: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

53

hasil pemeriksaan spirometri, kuesioner dan lembar observasi sehingga

apabila data belum lengkap dapat ditelusuri kembali kepada responden yang

bersangkutan.

2. Data Coding

Proses pengklasifikasian data melalui tahap coding sesuai dengan tujuan

dikumpulkannya data sehingga mempermudah proses pengolahan data

selanjutnya. Data yang akan di coding yaitu:

a. Kapasitas vital paru: data responden yang memiliki kapasitas vital

paru yang tidak normal diberi kode (1) dan normal diberi kode (2).

b. Kadar debu PM1,0: kadar debu yang tidak memenuhi syarat NAB (> 2

mg/m3) diberi kode (1) dan memenuhi syarat NAB (≤ 2 mg/m

3) diberi

kode (2).

c. Masa kerja: data repsponden yang > 5 tahun diberi kode (1) dan ≤ 5

tahun diberi kode (2).

d. Lama paparan: data responden yang > 8 jam diberi kode (1) dan ≤ 8

jam diberi kode (2).

e. Penggunaan masker: data observasi pekerja yang tidak menggunakan

masker diberi kode (1) dan menggunakan masker yang diberi kode

(2).

3. Data Entry

Memasukkan data dari masing-masing responden yang sudah berbentuk

kode pada tiap variabel ke software statistik yang digunakan untuk

selanjutnya dilakukan analisis data.

4. Data Cleaning

Page 72: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

54

Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk melihat tidak

adanya kesalahan atau ketidaklengkapan pada data sehingga data dapat di

olah dan di analisis.

4.7 Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini

hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan presentasi dari tiap variabel.

Variabel dependen pada penelitian ini yaitu kapasitas vital paru, sedangkan

variabel independen pada penelitian ini adalah adalah lama paparan, masa

kerja, suhu udara, kelembaban udara, penggunaan masker, kadar debu PM1,0

dan PM2,5.

2. Analisis Bivariat

Digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan

variabel dependen dalam penelitian. Analisis bivariat ini menggunakan uji chi

square. Uji chi square digunakan untuk melihat hubungan antara kadar debu

PM1,0, masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker dengan kapasitas

vital paru. Jika nilai p<0,05 maka dinyatakan terdapat hubungan yang

signifikan antara variabel tersebut.

Page 73: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

55

BAB V

HASIL

5.1 Gambaran Umum PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon

PT. Indonesia Putra Pratama didirikan tanggal 9 November 2005

berdasarkan akte notaris Sumpayo, SH dan telah diratifikasi oleh Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor C-006682HT.01.01 tahun 2006. Sebagai

aktivator dan kontributor dalam membangun infrastruktur dan ekonomi Indonesia,

PT. IPP fokus kepada penambangan batu andesit kelas C dan memiliki izin usaha

pertambangan (IUP) nomor 540/Kep.28/IUP/BPTPM/2012 dengan lokasi

pertambangan di Desa Margasari, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten

Bojonegoro-Cilegon, Provinsi Banten.

Kebutuhan akan batu split yang semakin meningkat sebagai bahan baku

pembangunan seperti pembangunan pelabuhan, bandara, gedung, rumah, kantor,

jalan dan lainnya mendorong perusahaan untuk meningkatkan produksi hingga

1.000.000 m3 baru split per tahun dengan memperhatikan kualitas batu sesuai

dengan standar kualitas nasional yang telah ditetapkan. Lokasi pertambangan di

Desa Margasari, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten Bojonegoro-Cilegon,

Provinsi Banten dengan luas sekitar 152 hektar.

5.1.1 Visi dan Misi PT. Indonesia Putra Pratama

1. Visi

Membangun dan mewujudkan infrastuktur dan fasilitas yang berguna

untuk bangsa dan negara. (Realizing and development useful facilities and

intrastructure for nation and state).

2. Misi

Page 74: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

56

Menjadi perusahaan pertambangan dan pengolahan serta penyedia agregat

dengan mengandalkan bahan batu konstruksi yang memenuhi syarat untuk

berpartisipasi dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa. (Becoming

cruscher plant, quarry and aggregate supplier company with relied on

qualified construction raw material in order to participate and play active

role in nation development).

5.1.2 Gambaran Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra

Pratama Cilegon

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980, batu andesit

termasuk ke dalam golongan bahan galian C atau dikenal dengan bahan galian

industri yaitu semua jenis bahan galian yang biasanya dipakai sebagai bahan

baku oeh perusahaan industri dan pembuatan bangunan-bangunan konstruksi.

PT. Indonesia Putra Pratama memiliki tiga lokasi pengolahan (plant) dengan

masing-masing luas sebesar 800 m3, 1.000 m

3, dan 1.200 m

3 yang dapat

memroduksi batu split sekitar 3.000 m3 per hari. Adapun proses pengolahan

batu split di PT. Indonesia Putra Pratama adalah sebagai berikut:

Material awal berupa bongkahan batu andesit/ boldes dengan ukuran

relatif besar dimasukkan ke dalam suatu corong yang kemudian batu dialirkan

ke pemecahan primer dengan menggunakan conveyor belt. Pada pemecahan

primer, batu dipecah menjadi batu dengan ukuran yang lebih kecil

menggunakan alat jaw crusher. Setelah dipecah, batu dialirkan kembali

menggunakan conveyor belt ke pemecahan sekunder. Pada proses ini, batu

kembali dipecah menggunakan jaw crusher sehingga menghasilkan batu

berukuran kecil. Selanjutnya, dilakukan proses penyortiran dengan

menggunakan mesin pengayak sehingga dihasilkan batu dengan berbagai tipe.

Page 75: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

57

Tipe batu yang dihasilkan oleh PT. Indonesia Putra Pratama adalah sebagai

berikut:

Tabel 5.1

Tipe Batu Hasil Produksi PT. Indonesia Putra Pratama

Tipe Batu Ukuran Batu

Abu batu 0 -5 mm

Screening 1.1 6 -12 mm

Split 1.2 13 – 23 mm

Split 2.3 24 – 31 mm

Split 3.5 32 – 50 mm

Split 5.7 51 – 70 mm

Base Coarse A/B tergantung permintaan

Bolder stone 100 mm

Sirdam Ex crusher

Setelah proses pemecahan selesai, batu split dikirim kepada pelanggan

tanpa proses pengemasan dengan menggunakan kapal/ tongkang.

Page 76: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

58

Bagan 5.1

Proses Pengolahan Batu Split di PT. Indonesia Putra Pratama

Adapun proses yang banyak menghasilkan debu adalah proses pemecahan

batu, baik pemecahan primer dan sekunder. Debu yang dihasilkan dari proses

pengolahan ini merupakan debu yang melayang di udara (suspended particulate

matter). Hal ini terjadi karena adanya proses pengolahan yang menjadikan batu

menjadi abu batu dengan ukuran 0-5 mm. Debu yang dihasilkan dari proses

pengolahan tentu berbahaya bagi pekerja. Oleh karena itu, PT. Indonesia Putra

Pratama melakukan pengendalian berupa wet dust suppression systems dengan

Proses Pengolahan Keterangan

Material dasar adalah batu andesit/

boldes

Batu dipecah menggunakan jaw crusher

Batu dipecah lagi menjadi ukuran lebih

kecil menggunakan jaw crusher

Batu disortir menggunakan mesin

pengayak

Batu split dengan berbagai ukuran

Pengiriman batu split ke pelanggan

Material awal

Pemecahan primer

Pemecahan

sekunder

Penyortiran

Hasil batu

Pengiriman

Page 77: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

59

kategori plain water sprays yaitu dengan menggunakan air untuk membasahi

bahan yang dapat menghasilkan debu sehingga bahan tersebut cenderung tidak

menghasilkan debu.

Batu pada proses pemecahan dibasahi menggunakan air untuk

meminimalisir debu yang dihasilkan. Penyiraman ini dilakukan pada proses

pemecahan batu, baik pemecahan primer dan sekunder, yang berlangsung

selama proses pemecahan berjalan. Berdasarkan penuturan pekerja dilapangan,

penyiraman yang dilakukan cukup efektif untuk meminimaliris debu yang ada

dibandingkan ketika tidak dilakukan penyiraman. Hal ini dikaitkan dengan

berkurangnya keluhan batuk dan sesak napas yang dialami pekerja saat

dilakukannya penyiraman dibandingkan dengan tidak dilakukannya penyiraman.

Gambar 5.1

Penyiraman Pada Proses Pemecahan Batu

Namun, dari hasil pengamatan diketahui bahwa penyiraman yang

dilakukan belum optimal dikarenakan tidak adanya nozzle pada ujung selang

yang digunakan untuk penyiraman. Nozzle sangat penting pada sistem

penyiraman. Nozzle yang biasa digunakan pada wet dust suppression systems

adalah flat-spray nozzles karena dapat menghasilkan butiran air lebih besar

Page 78: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

60

sehingga penyiraman lebih optimal. Oleh karena itu, perusahaan disarankan

untuk menggunakan nozzle pada ujung selang yang digunakan untuk melakukan

penyiraman sehingga penyiraman lebih optimal dan dapat lebih meminimalisir

debu yang dihasilkan.

Gambar 5.2 Gambar 5.3

flat-spray nozzles wet dust suppression systems

Sumber: www.osha.gov Sumber: www.osha.gov

5.2 Analisis Univariat

5.2.1 Gambaran Kapasitas Vital Paru (KVP) Pada Pekerja Pengolahan

Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Kapasitas vital paru pada pekerja dalam penelitian ini diketahui melalui

hasil pengukuran spirometri dari Laboratorium Biomed Cilegon. Berikut ini

adalah gambaran pengukuran kapasitas vital paru pekerja PT. Indonesia Putra

Pratama:

Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Kapasitas Vital Paru Jumlah Presentase (%)

Tidak normal 5 20,8

Normal 19 79,2

Total 24 100

Berdasarkan tabel 5.2 diperoleh hasil distribusi kapasitas vital paru dari 24

pekerja pengolahan batu split yang memiliki KVP tidak normal sebanyak 5

pekerja (20,8%).

Page 79: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

61

5.2.2 Gambaran Kadar Debu PM1,0 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Kadar debu PM1,0 diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di area

pengolahan batu split. Area pengolahan terdiri dari tiga tempat, yaitu plant 1,

plant 2 dan plant 3. Pengukuran kadar debu PM1,0 dilakukan selama 45 menit

dengan menggunakan interval waktu, yaitu siang (10.00-14.00), sore (14.00-

18.00) dan malam (18.00-22.00). Berikut ini adalah gambaran kadar debu PM1,0

pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama:

Tabel 5.3

Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM1,0 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015

Kadar Debu PM1,0 Jumlah Presentase (%)

Tidak memenuhi syarat

NAB (> 2 mg/m3)

17 70,8

Memenuhi syarat NAB (≤

2 mg/m3)

7 29,2

24 100

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa 17 pekerja (70,8) dari 24 pekerja

pengolahan batu split berada pada lingkungan kerja dengan kadar debu yang tidak

memenuhi NAB.

5.2.3 Gambaran Kadar Debu PM2,5 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Kadar debu PM2,5 diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di area

pengolahan batu split. Area pengolahan terdiri dari tiga tempat, yaitu plant 1,

plant 2 dan plant 3. Pengukuran kadar debu PM1,0 dilakukan selama 45 menit

dengan menggunakan interval waktu, yaitu siang (10.00-14.00), sore (14.00-

18.00) dan malam (18.00-22.00). Berikut ini adalah gambaran kadar debu PM2,5

pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama:

Page 80: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

62

Tabel 5.4

Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM2,5 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015

Area pengolahan Kadar debu

PM2,5 (mg/m3)

Jumlah Pekerja Persentase (%)

Plant 1 2,76 9 37,5

Plant 2 2,67 7 29,2

Plant 3 2,16 8 33,3

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa kadar debu PM2,5 yang ada di plant 1, 2

dan 3 sudah melebihi syarat NAB sehingga berisiko untuk menurunkan

kapasitas vital paru. Kadar debu PM2,5 yang paling tinggi berada pada plant 1

dan pekerja yang terpapar debu paling banyak juga berada pada plant 1.

Pengukuran kadar debu PM2,5 menunjukkan hasil yang homogen sehingga

variabel kelembaban udara tidak dapat di analisis lebih lanjut.

5.2.4 Gambaran Suhu Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Suhu udara diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di area pengolahan

batu split dengan menggunakan alat thermohygrometer. Berikut ini adalah

gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra

Pratama:

Tabel 5.5

Distribusi Frekuensi Suhu Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015

Area pengolahan Suhu Udara (oC) Jumlah Pekerja Persentase (%)

Plant 1 36,3 9 37,5

Plant 2 34,3 7 29,2

Plant 3 34,7 8 33,3

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa suhu udara di plant 1, 2 dan 3 sudah

melebihi syarat kesehatan yang ditentukan sehingga berisiko menurunkan

kapasitas vital paru. suhu udara paling tinggi berada pada plant 1 dan pekerja

paling banyak terpapar suhu tinggi juga berada di plant 1. Pengukuran suhu udara

Page 81: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

63

menunjukkan hasil yang homogen sehingga variabel kelembaban udara tidak

dapat di analisis lebih lanjut.

5.2.5 Gambaran Kelembaban Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Kelembaban udara diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di area

pengolahan batu split dengan menggunakan alat thermohygrometer. Berikut ini

adalah gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu split PT.

Indonesia Putra Pratama:

Tabel 5.6

Distribusi Frekuensi Kelembaban Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015

Area pengolahan Kelembaban

Udara (%) Jumlah Pekerja Persentase (%)

Plant 1 57 9 37,5

Plant 2 55 7 29,2

Plant 3 60 8 33,3

Tabel 5.6 menunjukkan bahwa kelembaban udara pada plant 1, 2 dan 3

relatif rendah sehingga tidak berisiko untuk menurunkan kapasitas vital paru.

Pengukuran kelembaban udara menunjukkan hasil yang homogen sehingga

variabel kelembaban udara tidak dapat di analisis lebih lanjut.

5.2.6 Gambaran Masa Kerja Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra

Pratama Cilegon tahun 2015 dikategorikan menjadi lebih dari 5 tahun dan kurang

dari 5 tahun. Berikut ini adalah gambaran masa kerja pada pekerja pekerja

pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015:

Page 82: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

64

Tabel 5.7

Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia

Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Masa Kerja Jumlah Presentase (%)

> 5 tahun 7 29,2

≤ 5 tahun 17 70,8

Total 24 100

Tabel 5.7 menunjukkan 7 pekerja (29,2) memiliki masa kerja lebih dari 5

tahun.

5.2.7 Gambaran Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Lama paparan pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra

Pratama Cilegon tahun 2015 dikategorikan menjadi kurang dari 8 jam dan lebih

dari 8 jam. Berikut ini adalah gambaran lama paparan pada pekerja pekerja

pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015:

Tabel 5.8

Distribusi Frekuensi Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Lama Paparan n Persentase (%)

> 8 jam 21 87,5

≤ 8 jam 3 12,5

Total 24 100

Tabel 5.8 menunjukkan, 21 pekerja (87,5%) dari 24 pekerja pengolahan

batu split terpapar lebih dari 8 jam.

5.2.8 Gambaran Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu Split

PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia

Putra Pratama Cilegon tahun 2015 dikategorikan menjadi menggunakan dan

tidak menggunakan. Berikut adalah gambaran penggunaan masker pada pekerja

pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015:

Page 83: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

65

Tabel 5.9

Distribusi Frekuensi Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Penggunaan Masker n Persentase (%)

Tidak Menggunakan 11 45,8

Menggunakan 13 54,2

Total 24 100

Tabel 5.9 menunjukkan 11 pekerja (45,8%) dari 24 pekerja pengolahan

batu split tidak menggunakan masker.

5.3 Analisis Bivariat

5.3.1 Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan

Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Untuk mengetahui hubungan antara kadar debu PM1,0 di area pengolahan

batu split dengan KVP dilakukan analisis uji statistik chi square dengan hasil

sebagai berikut:

Tabel 5.10

Hubungan Kadar Debu PM1,0 dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Kadar Debu PM1,0

KVP Total

Pvalue Tidak Normal Normal

n % n % N %

Tidak memenuhi

syarat NAB (> 2

mg/m3)

3 17,6 14 82,4 17 100

0,61 Memenuhi syarat

NAB (≤ 2 mg/m3)

2 28,6 5 71,4 7 100

Total 5 20,8 19 79,2 24 100

Tabel 5.10 menunjukkan bahwa 3 pekerja (17,6%) yang terpapar debu

melebihi NAB memiliki KVP tidak normal. Berdasarkan hasil uji statistik

didapatkan nilai p sebesar 0,61 yaitu lebih dari 0,05 sehingga dapat diartikan

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar debu PM1,0 dengan

KVP.

Page 84: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

66

5.3.2 Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Untuk mengetahui hubungan antara masa kerja dengan KVP dilakukan

analisis menggunakan uji chi square dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 5.11

Hubungan Masa Kerja dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Masa Kerja

KVP Total

Pvalue Tidak Normal Normal

n % n % N %

> 5 tahun 3 42,9 4 57,1 7 100

0,13 ≤ 5 tahun 2 11,8 15 88,2 17 100

Total 5 20,8 19 79,2 24 100

Tabel 5.11 menunjukkan bahwa 3 pekerja (42,9%) yang memiliki masa

kerja lebih dari 5 tahun memiliki KVP tidak normal. Berdasarkan hasil uji

statistik didapatkan nilai p sebesar 0,13 yaitu lebih dari 0,05 sehingga tidak ada

hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan KVP.

5.3.3 Hubungan Lama Paparan dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Untuk mengetahui hubungan antara lama paparan dengan KVP dilakukan

analisis menggunakan uji chi square dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 5.12

Hubungan Lama Paparan dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Lama Paparan

KVP Total

Pvalue Tidak Normal Normal

n % n % N %

> 8 jam 5 23,8 16 76,2 21 100

1 ≤ 8 jam 0 0 3 100 3 100

Total 5 20,8 19 79,2 24 100

Tabel 5.14 menunjukkan sebanyak 5 pekerja (23,8%) dari 24 pekerja

terpapar lebih dari 8 jam dan memiliki KVP tidak normal. Berdasarkan hasil uji

statistik didapatkan nilai p sebesar 1 yaitu lebih dari 0,05 sehingga dapat

Page 85: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

67

dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama paparan

dengan KVP.

5.3.4 Hubungan Penggunaan Masker dan KVP pada pekerja Pengolahan

Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Hubungan antara penggunaan masker dengan KVP diketahui dengan

melakukan analisis uji statistik chi square. Berikut ini adalah hasil analisis

statistik yang telah dilakukan:

Tabel 5.13

Hubungan Penggunaan Masker dan KVP pada pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Penggunaan

Masker

KVP

Total Pvalue OR 95% CI

Tidak

Normal Normal

n % N % n %

Tidak

Menggunakan 5 45,5 6 54,5 11 100

0,01 22,85 1,09-

478,83 Menggunakan 0 0 13 100 13 100

Total 5 20,8 19 79,2 24 100

Berdasarkan tabel 5.15, sebanyak 5 pekerja (45,5) tidak menggunakan

masker dan memiliki KVP tidak normal. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan

nilai p sebesar 0,01 yaitu kurang dari 0,05. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa

ada hubungan yang signifikan antara penggunaan masker dengan KVP. Dari hasil

analisis diperoleh juga nilai OR=22,85, artinya pekerja yang tidak menggunakan

masker berisiko 22,85 kali memiliki KVP tidak normal dibandingkan pekerja

yang menggunakan masker. 95% CI yang didapatkan sebesar 1,09-478,83.

Rentang 95% CI yang lebar terjadi dikarenakan jumlah sampel pada penelitian

sedikit.

Page 86: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

68

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti memiliki beberapa keterbatasan yaitu:

1. Pengukuran kondisi lingkungan (kadar debu, suhu, dan kelembaban) tidak

dilakukan pada pagi hari. Hal ini terkait dengan jam kerja pada perusahaan

yang tidak memungkinkan peneliti untuk melakukan pengukuran di pagi

hari.

2. Terjadinya hujan saat pengukuran kadar debu sehingga mempengaruhi

kadar debu yang diukur. Hujan cenderung melarutkan bahan polutan yang

terdapat dalam udara sehingga dapat membersihkan atmosfer karena

polutan mengendap lebih cepat.

3. Peneliti tidak meneliti kesesuaian jenis masker yang digunakan oleh

pekerja saat berada dilingkungan kerja sehingga keefektifan penggunaan

masker tidak dapat diteliti lebih lanjut.

6.2 Kapasitas Vital Paru

Paru-paru mempunyai fungsi untuk melakukan pertukaran gas oksigen dan

karbon dioksida. Oksigen yang bersenyawa dengan karbon dan hidrogen dari

jaringan, memungkinkan setiap sel melangsungkan proses metabolisme dan hasil

proses yang berupa karbon dioksida dapat dikeluarkan dari dalam tubuh (Pearce,

2008). Kapasitas vital paru adalah total jumlah udara maksimum yang dapat

dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum. Kapasitas vital paru

didapatkan dari penambahan tidal volume (TV), volume cadangan inspirasi (VCI)

dan volume cadangan ekspirasi (Tarwoto, 2009). Pengukuran KVP dapat

Page 87: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

69

memberikan informasi yang berguna mengenai kekuatan otot-otot pernapasan dan

aspek fungsi paru lainnya. Besarnya penyimpangan atau penurunan nilai yang di

dapat dari pemeriksaan dapat menentukan paru seseorang dalam keadaan normal

atau tidak (PDPI, 2013).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 24 orang pekerja pengolahan

batu split PT. Indonesia Putra Pratama terdapat 20,8% pekerja memiliki KVP

tidak normal dan sebanyak 79,2% pekerja memiliki KVP normal. Standar yang

digunakan untuk menentukan tidak normalnya KVP ditentukan dari adanya

restriksi, obstruksi atau campuran restriksi dan obstruksi pada paru. Hal ini sejalan

dengan penelitian Agustanti (2003) yang menunjukkan bahwa kapasitas fungsi

paru normal (72,42%) lebih banyak dibandingkan kapasitas fungsi paru tidak

normal (27,59%) pada pekerja industri peleburan timah hitam di lingkungan

industri kecil di Bugangan Baru Semarang.

Selain itu, hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Aryuni dan

Russeng (2014) yang menjelaskan bahwa pekerja di bagian Cement Mill

PT.Semen Bosowa Maros memiliki kapasitas paru normal yaitu 63,6% lebih besar

dibandingkan pekerja dengan kapasitas paru tidak normal sebanyak 36,4%. Hasil

pengukuran yang didapatkan tidak bisa mendiagnosis penyakit yang berhubungan

dengan paru, namun hasil tersebut dapat menjadi acuan untuk menjaga kesehatan

terkait KVP. Hasil yang diperoleh dapat menjadi saran bagi pekerja untuk mulai

menjaga kesehatan diri.

Pada penelitian ini penurunan KVP dapat disebabkan oleh berbagai

macam faktor. Faktor-faktor yang terkait dengan penurunan KVP antara lain

Page 88: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

70

kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu udara, kelembaban udara, masa kerja, lama

paparan dan penggunaan masker dengan penjelasan dibawah ini.

Hasil pengukuran kadar debu PM2,5, suhu udara dan kelembaban udara

pada plant 1, 2 dan 3 hampir sama. Kadar debu PM2,5 dan suhu udara memiliki

nilai tertinggi pada plant 1 dan kelembaban udara tertinggi berada di plant 3.

Diketahui juga faktor yang berisiko menurunkan KVP yaitu kadar debu PM1,0

dengan hasil sebanyak 17 pekerja (70,8%) terpapar debu dengan NAB yang tidak

memenuhi syarat. Faktor lainnya adalah banyaknya pekerja yang memiliki

paparan lebih dari 8 jam dan berdasarkan hasil observasi, masih adanya pekerja

yang tidak menggunakan masker saat berada di lingkungna kerja.

Berdasarkan hasil pengukuran, dapat diketahui bahwa plant 1 memiliki

kadar debu paling tinggi dibandingkan plant lainnya. Hal ini dapat disebabkan

karena plant 1 memiliki suhu udara paling tinggi sebesar 36,3 oC dibandingkan

suhu udara pada plant lainnya sehingga memepengaruhi kadar debu yang ada.

Simaela (2000) menjelaskan bahwa semakin tinggi suhu udara, maka potensi debu

untuk berada di udara semakin besar pula. Jenis debu yang ada di lokasi

pengolahan batu split adalah SPM (Suspended Partikulate Matter) atau partikel

debu yang melayang dan tetap berada di udara sehingga dengan tingginya suhu

udara maka akan berbanding lurus dengan tinggi kadar debu di udara.

Tidak adanya pohon di plant 1 juga menjadi penyebab tingginya kadar

debu di plant tsb dibandingkan dengan plant 2 dan plant 3 karena masih terdapat

pohon di sekitar plantnya. Konsentrasi debu dalam suatu lingkungan tergantung

pada jumlah pohon. Semakin banyak pohon, maka semakin rendah

konsentrasinya. Hal ini disebabkan karena debu terserap dan terjerap secara

Page 89: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

71

intensif oleh jumlah pohon yang banyak. Konsentrasi debu di bawah tajuk pohon

lebih rendah daripada konsentrasi debu di luar tajuk pohon pada lingkungan yang

jumlah pohonnya banyak. Sebaliknya konsentrasi debu tertinggi pada lingkungan

dengan sedikit pohon terdapat di tempat pohon tersebut berada (Nurjazuli, 2010).

Kecepatan angin juga dapat menjadi penyebab tingginya kadar debu. Pada

plant 1, kecepatan angin cukup kencang dibandingkan dua plant lainnya. Hal ini

dapat menjadikan debu-debu yang bersifat SPM (Suspended Partikulate Matter)

atau partikel debu melayang yang ada di lokasi pengolahan batu split akan tetap

berada di udara dalam waktu yang relatif lama.

Gambaran suhu udara pada plant selama proses pengolahan batu split

cenderung memiliki suhu yang tinggi. Suhu tinggi dapat terjadi karena penelitian

berada pada musim peralihan antara musim kemarau dan musim hujan sehingga

suhu udara masih cenderung tinggi. Dari hasil pengukuran suhu udara, diketahui

terdapat perbedaan suhu di tiap plant. Menurut Ahrens (2008) variasi suhu udara

dipengaruhi oleh ketinggian suatu tempat. Pada plant 2 dan plant 3 memiliki suhu

udara yang lebih rendah dibandingkan plant 1. Hal ini dikarenakan lokasi

pengolahan plant 1 lebih rendah dibandingkan dua plant lainnya sehingga

memengaruhi suhu udara walaupun perbedaannya relatif kecil.

Selain perbedaan ketinggian, pohon juga dapat memengaruhi suhu udara.

Diketahui bahwa suhu udara plant 1 lebih tinggi dibandingkan plant lainnya.

Tidak adanya pohon di sekitar plant 1 dapat menjadi penyebab tingginya suhu

udara di plant tsb. Menurut NCSU, pohon dapat mengurangi suhu udara dengan

menghalangi sinar matahari. Pendinginan lebih lanjut terjadi ketika air menguap

dari permukaan daun dengan cara konversi air menjadi uap melalui proses kimia

Page 90: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

72

untuk menghilangkan energi panas dari udara. Keadaan suhu yang tinggi,

tentunya akan berkaitan dengan keadaan kelembaban di lokasi pengolahan batu

split. Tingkatan suhu yang tinggi menjadikan keadaan kelembaban menjadi

berkurang, begitu pun sebaliknya.

Berdasarkan hasil observasi, diketahui masih banyaknya pekerja yang

tidak menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja. Hal ini dapat

menyebabkan penurunan KVP karena pekerja terpapar debu dalam waktu paparan

yang lama tanpa perlindungan. Dari penuturan pekerja, alasan pekerja tidak

menggunakan masker karena keengganan dari pekerja untuk mengunakan masker

meskipun sudah diimbau oleh perusahaan untuk menggunakan masker saat berada

di lingkungan kerja. Selain itu, menurut pekerja masker yang disediakan kurang

nyaman untuk dipakai dan mengganggu komunikasi antar pekerja.

6.3 Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja

Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun

2015

Dalam kasus pencemaran udara, debu sering dijadikan salah satu indikator

pencemaran yang digunakan untuk menunjukan tingkat bahaya baik terhadap

lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Partikel debu akan

berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang layang di

udara kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan (Pudjiastuti,

2002). Debu berukuran 1 mikron yang diukur pada penelitian ini termasuk

kedalam debu respirabel yaitu debu dengan diameter berukuran kurang dari sama

dengan 2,5 mikron yang dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem

pernapasan bagian atas dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam (EPA, 2015).

Page 91: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

73

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan

Faktor Kimia Di Tempat Kerja, NAB kadar debu di lingkungan industri sebesar 2

mg/m3. Berdasarkan analisis univariat, didapatkan hasil bahwa 17 pekerja

(70,8%) berada di lingkungan kerja dengan kadar debu tidak memenuhi syarat

NAB dan 7 pekerja (29,2%) berada di lingkungan kerja dengan kadar debu

memenuhi syarat NAB. Adapun jumlah pekerja dengan paparan debu tidak

memenuhi syarat NAB dan KVP tidak normal sebanyak 3 pekerja (17,6%)

sedangkan yang memiliki KVP normal sebanyak 14 pekerja (82,4%).

Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan nilai p sebesar 0,61 yaitu lebih

dari 0,05 sehingga dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan hubungan yang

signifikan antara kadar debu PM1,0 dengan KVP. Hasil penelitian ini didukung

penelitian oleh Caesar (2011) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara

paparan debu dengan kapasitas vital paru pada pekerja bagian produksi kawasan

industri peleburan logam Pesarean Tegal. Selain itu, penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Syahriany (2002) yang menjelaskan bahwa tidak

ada hubungan antara kadar debu dengan gangguan paru (KVP dibawah normal)

pada pekerja unit produksi tablet industri farmasi x.

Menurut Pudjiastuti (2002), partikel-partikel yang besarnya 1 sampai 3

mikron merupakan ukuran paling berbahaya karena akan ditempatkan langsung ke

permukaan alveoli paru-paru. Penimbunan partikel akan merusak epitel dan

pergerakan sel fagosit di dekat tempat penimbunan atau dapat menstimulasi

sekresi cairan. Partikel yang tertimbun dapat berdifusi ke dalam dan melalui

Page 92: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

74

permukaan cairan dan sel dan dengan cepat diangkut oleh aliran darah ke seluruh

tubuh (ILO).

Menurut Price (1995), penimbunan debu dalam paru bermula dari debu

diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap. Udara

masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga

fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan yang terdiri

dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu

yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang hidung,

sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan mukosa. Gerakan

silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung dan kearah

superior menuju faring.

Partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan

berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh

magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang

terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terus-

menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan

pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim

paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat intertestial (Price, 1995).

Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru

(pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan pengembangan paru.

Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru

yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan

menurunnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian

tubuh lainnya (Price, 1995).

Page 93: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

75

Berdasarkan paparan debu yang diterima, diketahui bahwa 2 pekerja

(28,6%) yang terpapar debu dengan NAB memenuhi syarat memiliki KPV tidak

normal. Hal ini dapat terjadi karena pekerja tersebut memiliki masa kerja lebih

dari 5 tahun. Khumaidah (2009) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai

kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru

salah satunya obstruksi saluran pernapasan pada pekerja industri yang berdebu

sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun sehingga tidak ada hubungan yang

signifikan antara kadar debu PM1,0 dan KVP.

Pekerja yang memiliki KVP tidak normal namun terpapar debu dengan

NAB memenuhi syarat juga diketahui tidak menggunakan masker saat berada

dilingkungan kerja. Penggunaan masker berkaitan dengan banyaknya partikulat

yang tertimbun di dalam organ paru akibat pencemaran yang dapat mengurangi

kemampuan fungsi paru, dengan menggunakan alat pelindung diri masker maka

dapat mencegah menumpuknya partikulat pencemar dalam organ paru sehingga

akan mengurangi terjadinya penurunan fungsi paru (Suma’mur, 1996).

Berdasarkan penjelasan diatas, walaupun kadar debu masih memenuhi

NAB masih terdapat pekerja yang memiliki KVP tidak normal. Maka dari itu,

sebaiknya pekerja segera meninggalkan lingkungan kerja apabila pekerjaan telah

selesai dan selalu menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja. Bagi

perusahaan sebaiknya menyediakan masker debu seperti masker N95 karena dapat

menyaring partikel debu halus di udara hingga ukuran 0,1 mikron sehingga lebih

efektif menahan debu yang dapat terhirup oleh pekerja dan melakukan

pengawasan terkait penggunaan masker pada pekerja.

Page 94: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

76

Selain itu, pekerja yang terpapar debu dengan NAB memenuhi syarat juga

memiliki paparan lebih dari 8 jam sehingga semakin lama pekerja menghabiskan

waktu untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula paparan debu di

terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru (KVP dibawah

normal) juga akan lebih besar.

Selain itu, kadar debu yang sudah melebihi NAB pun akan sangat

berbahaya bagi kesehatan paru pekerja. Dampak paparan debu yang terus menerus

mengakibatkan penumpukan debu yang tinggi di paru yang menyebabkan

kelainan dan kerusakan seperti penurunan kapasitas paru yang disebut obstruksi

dan pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap

adalah berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada

kapasitas vital paru. Partikel debu dapat menimbulkan penurunan kapasitas vital

paru, sehingga akan mengurangi penggunaan optimal alat pernapasan untuk

mengambil oksigen pada proses respirasi (Sukarman, 1978).

Maka dari itu, perlu dilakukan suatu pengendalian pada kadar debu yang

sudah melebihi NAB. Dari hasil observasi dilapangan, sudah terdapat

pengendalian terhadap debu yang dihasilkan selama proses pengolahan.

Pengendalian yang diterapkan berupa wet dust suppression systems dengan

kategori plain water sprays yaitu dengan menggunakan air untuk membasahi

bahan yang dapat menghasilkan debu sehingga bahan tersebut cenderung tidak

menghasilkan debu. Batu pada proses pemecahan dibasahi menggunakan air

untuk meminimalisir debu yang dihasilkan. Penyiraman ini dilakukan pada proses

pemecahan batu, baik pemecahan primer dan sekunder, yang berlangsung selama

proses pemecahan berjalan.

Page 95: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

77

Berdasarkan observasi lebih lanjut diketahui bahwa penyiraman yang

dilakukan belum optimal dikarenakan tidak adanya nozzle pada ujung selang yang

digunakan untuk penyiraman. Nozzle sangat penting pada sistem penyiraman.

Nozzle yang biasa digunakan pada wet dust suppression systems adalah flat-spray

nozzles karena dapat menghasilkan butiran air lebih besar sehingga penyiraman

lebih optimal. Oleh karena itu, perusahaan disarankan untuk menggunakan nozzle

pada ujung selang yang digunakan untuk melakukan penyiraman sehingga

penyiraman lebih optimal dan dapat lebih meminimalisir debu yang dihasilkan.

Tidak adanya hubungan antara kadar debu PM1,0 dengan KVP dapat terjadi

karena adanya mekanisme clearance pada paru. WHO (2000) menjelaskan ketika

partikel debu mengendap di paru-paru, sebagian besar partikel dikeluarkan oleh

berbagai mekanisme clearance. Partikel debu yang mengendap pada saluran udara

bersilia umumnya dibersihkan dari saluran pernapasan oleh aktivitas mukosiliar

dalam 24-48 jam. Clearance pada paru dapat terjadi melalui aksi makrofag

alveolar. Makrofag alveolar merupakan sel fagositik dan dapat bermigrasi.

Partikel debu akan dibawa oleh makrofag ke pembuluh limfa atau bronkiolus dan

akhirnya dikeluarkan oleh eskalator mukosiliaris (Mukono, 2003).

6.4 Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Masa kerja adalah semua perhitungan jumlah tahun masa kerja dalam

periode kerja. Semakin lama masa kerja seseorang, kemungkinan orang tersebut

mempunyai resiko terkena penyakit paru juga semakin besar (Tamuntuan, 2013).

Apabila kondisi paru terpapar dengan berbagai komponen pencemar, fungsi

fisiologis paru sebagai organ utama pernapasan akan mengalami beberapa

Page 96: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

78

gangguan sebagai akibat dari pemaparan secara terus menerus dari berbagai

komponen pencemar (Anugrah, 2014).

Berdasarkan analisis univariat diketahui bahwa 7 pekerja (29,2%) dari 24

pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon memiliki masa

kerja lebih dari 5 tahun dengan 3 pekerja (42,9%) memiliki KVP tidak normal

sedangkan 4 pekerja (57,1%) memiliki KVP normal. Berdasarkan analisis

bivariat, didapatkan nilai p sebesar 0,13 yaitu lebih dari 0,05 sehingga tidak ada

hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan KVP. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Ilhaq dan Kawatu (2014) yang menemukan hasil

yaitu tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kapasitas vital paru pada

penambang emas di wilayah pertambangan rakyat Tatelu Kecamatan Dimembe.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Yulaekah (2007) pada pekerja industri batu

kapur menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan

fungsi paru (KVP dibawah normal).

Khumaidah (2009) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai

kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru

salah satunya obstruksi saluran pernapasan pada pekerja industri yang berdebu

sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun. Adapun terdapat 2 pekerja (11,8%)

pekerja yang memiliki masa kerja kurang dari 5 tahun namun memiliki KVP tidak

normal. Hal ini dapat terjadi karena paparan debu pada pekerja telah melebihi

NAB. Dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan penumpukan

debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan yang bersifat

menetap yaitu berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada

kapasitas vital paru (Sukarman, 1978).

Page 97: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

79

Selain itu, diketahui pula 2 pekerja tsb tidak menggunakan masker saat

berada dilingkungan kerja dan memiliki waktu kerja lebih dari 8 jam sehingga

terpapar debu lebih dari 8 jam. Tidak adanya perlindungan terhadap debu dengan

lama paparan yang lama sehingga semakin lama pekerja menghabiskan waktu

untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula paparan debu di

terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru (KVP dibawah

normal) juga akan lebih besar. Adanya pekerja yang memiliki masa kerja lebih

dari 5 tahun dan mempunyai KVP normal terjadi karena pekerja tsb menggunakan

masker selama berada di lingkungan kerja walaupun juga terpapar debu yang

melebihi NAB.

Berdasarkan penjelasan diatas, untuk mencegah terjadinya penurunan

kapasitas vital paru, sebaiknya pekerja selalu menggunakan masker saat berada di

lingkungan kerja untuk melindungi diri dari potensi paparan debu dan perusahaan

sebaiknya melakukan pengawasan yang intensif terhadap pekerja mengenai

penggunaan masker selama bekerja.

Menurut Suma’mur (1996), semakin lama seseorang dalam bekerja maka

semakin banyak terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.

Dalam lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan

menurunkan kapasitas fungsi paru pada karyawan. Semakin lama seseorang

bekerja pada tempat yang mengandung debu akan semakin tinggi resiko terkena

gangguan kesehatan, terutama gangguan saluran pernafasan. Debu yang terhirup

dalam konsentrasi dan jangka waktu yang cukup lama akan membahayakan.

Akibat penghirupan debu, yang langsung dirasakan adalah sesak, bersin, dan

batuk karena adanya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan debu untuk

Page 98: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

80

beberapa tahun pada kadar yang rendah tetapi diatas batas limit paparan

menunjukkan efek toksik yang jelas. Tetapi hal ini tergantung pada pertahanan

tubuh dari masing-masing pekerja (Sirait, 2010).

6.5 Hubungan Lama Paparan Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu

Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Lama paparan adalah waktu yang dihabiskan seseorang berada dalam

lingkungan kerja dalam waktu sehari (Mengkidi, 2006). Lamanya seseorang

bekerja pada umumnya berkisar 6 – 8 jam dalam sehari, apabila waktu kerja

diperpanjang maka akan menimbulkan ketidakefisienan yang tinggi bahkan

menimbulkan penyakit diakibatkan lamanya seseorang terpapar polutan seperti

debu yang berada di lingkungan kerja (Suma’mur, 1996).

Menurut UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dijelaskan bahwa

waktu kerja yang diperbolehkan untuk pekerja yaitu 8 jam/hari. Pada

kenyataannya masih banyak ditemukan pekerja yang terpapar lebih dari 8

jam/hari. Hal ini didukung oleh penelitian Hamzah (2013) yang mengemukakan

bahwa sebagian besar pekerja tambang kapur tradisional di Kelurahan Buliide,

Kecamatan Kota Barat (94,3%) terpapar lebih dari 8 jam/hari. Selain itu, hasil

penelitian ini juga didukung oleh penelitian Irjayanti dan Nurjazuli (2012), yang

menyatakan bahwa 90% pekerja mebel kayu di Kota Jayapura terpapar lebih dari

8 jam/hari. Berdasarkan analisis univariat diketahui bahwa pekerja yang terpapar

lebih dari 8 jam/hari lebih banyak jumlahnya (87,5%) dibanding dengan pekerja

yang terpapar kurang dari 8 jam/hari (12,5%).

Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan nilai p sebesar 1 yaitu lebih dari

0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara

lama paparan dengan KVP. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Page 99: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

81

Mengkidi (2006) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara lama

paparan dengan gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal) pada karyawan PT.

Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan. Penelitian lain yang mendukung adalah

penelitian yang dilakukan oleh Rantung dan Umboh (2013) pada tenaga kerja

mebel di CV. Mariska dan CV. Mercusuar Desa Leilem Kecamatan Sonder

Kabupaten Minahasa yaitu tidak adanya hubungan antara lama paparan dengan

gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal).

Menurut Asna (2013), lama paparan berpengaruh negatif bagi seseorang

yang bekerja karena semakin lama terpapar, bahaya yang ditimbulkan oleh tempat

kerja dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernapasan. Mengkidi

(2006) juga menjelaskan, lama paparan berkaitan dengan jumlah jam kerja yang

dihabiskan pekerja di area kerja. Semakin lama pekerja menghabiskan waktu

untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula paparan debu di

terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru (KVP dibawah

normal) juga akan lebih besar, tetapi hal itu juga tergantung dari konsentrasi debu

yang ada di area kerja dan mekanisme clearance dari masing-masing individu,

kadar partikel debu dan kerentanan individu.

Tidak adanya hubungan antara dua variabel ini dapat dijelaskan karena

lamanya waktu kerja tidak berarti bahwa paparannya juga semakin besar. Hasil

pengukuran di lapangan menunjukkan, meskipun memiliki waktu kerja relatif

sama, antara pekerja satu dengan pekerja lainnya mempunyai dosis paparan debu

yang berbeda sesuai dengan lokasi pekerja tersebut bekerja. Hal ini disebabkan

karena pengukuran debu yang dilakukan pada penelitian ini berfokus pada

pengukuran debu lingkungan bukan pengukuran debu pada pekerja. Tidak adanya

Page 100: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

82

hubungan juga dikaitkan dengan penggunaan masker pada pekerja. Diketahui

bahwa 11 pekerja (52,4%) dari 21 pekerja yang memiliki paparan lebih dari 8 jam

menggunakan masker. Maka dari itu, paparan debu dapat diminimalisir dengan

adanya penggunaan masker pada pekerja.

Dari penjelasan diatas, pekerja disarankan untuk menggunakan masker

selama berada di lingkungan karena seringnya pekerja terpapar debu. Sedangkan

perusahaan sebaiknya melakukan upaya promosi kesehatan dengan mengadakan

penyuluhan mengenai bahaya kerja yang berhubungan dengan kesehatan paru

bagi pekerja dan melakukan pemeriksaan kesehatan berkala secara periodik

dilakukan untuk memantau perkembangan kesehatan pekerja selama bekerja di

perusahaan.

Adanya kebiasaan olahraga pada pekerja juga dapat menjadi faktor tidak

berhubungannya lama paparan dengan KVP pekerja. Olahraga yang dilakukan

oleh pekerja adalah futsal yang menurut teori merupakan olahraga dengan tingkat

kebugaran sangat baik (Guam, 1996). Menurut Sahab (1997), terdapat hubungan

timbal balik antara kapasitas paru dan olahraga. Gangguan pada paru dapat

mempengaruhi kemampuan olahraga sebaliknya olahraga yang teratur dapat

meningkatkan kapasitas paru. Olahraga dapat meningkatkan aliran darah melalui

paru-paru sehingga menyebabkan oksigen dapat berdifusi ke dalam kapiler paru

dengan volume yang lebih besar atau maksimum (Prasetyo, 2010). Maka dari itu,

pekerja sebaiknya melakukan olahraga secara rutin untuk menjaga kebugaran

badan dan meningkatkan kapasitas paru.

Selain itu, banyaknya pekerja yang tidak mempunyai kebiasaan merokok

juga menjadi salah satu faktor normalnya kapasitas vital paru pekerja. Hal ini

Page 101: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

83

sejalan dengan Harrington dan Gill (2003), yang menjelaskan bahwa penurunan

kapasitas paru tidak hanya disebabkan oleh faktor pekerjaan maupun lingkungan

kerja, namun ada sejumlah faktor non-pekerjaan yang dapat menjadi faktor yang

mempengaruhi, salah satunya adalah kebiasaan merokok.

6.6 Hubungan Penggunaan Masker Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan

Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat,

peralatan dan lingkungan kerja sangat perlu diutamakan (Suma’mur, 1996). Alat

pelindung diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi

seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja dari bahaya

di tempat kerja (Nedved, 1991). Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak

terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk

mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Pekerja yang taat

menggunakan masker saat bekerja akan meminimalkan jumlah paparan partikel

yang dapat terhirup (Budiono, 2007).

Berdasarkan analisis univariat diketahui bahwa pekerja yang

menggunakan masker lebih banyak jumlahnya (54,2%) dibanding dengan pekerja

yang tidak menggunakan masker (45,8%). Berdasarkan analisis bivariat,

didapatkan nilai p sebesar 0,01 yaitu kurang dari 0,05 sehingga dapat dikatakan

adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan masker dengan KVP.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2012) yang

menyatakan bahwa adanya hubungan penggunaan masker dengan gangguan

fungsi paru (KVP dibawah normal) pada pekerja di PT. KS. Selain itu penelitian

ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cahyana (2012) pada

pekerja tambang batubara PT. Indominco Mandiri Kalimantan Timur yaitu adanya

Page 102: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

84

hubungan penggunaan masker dengan gangguan fungsi paru (KVP dibawah

normal).

Menurut Suma’mur (1996), penggunaan alat pelindung diri masker

berkaitan dengan banyaknya partikulat yang tertimbun di dalam organ paru akibat

pencemaran yang dapat mengurangi kemampuan fungsi paru, dengan

menggunakan alat pelindung diri masker maka dapat mencegah menumpuknya

partikulat pencemar dalam organ paru sehingga akan mengurangi terjadinya

penurunan fungsi paru.

Nedved (1991) menjelaskan bahwa APD haruslah enak dipakai, tidak

mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap bahaya.

Berdasarkan hasil observasi di lapangan, masih banyaknya pekerja yang tidak

menggunakan masker saat bekerja terjadi karena keengganan dari pekerja untuk

mengunakan masker meskipun sudah diimbau oleh perusahaan untuk

menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja. Selain itu, menurut pekerja

masker yang disediakan kurang nyaman untuk dipakai dan mengganggu

komunikasi antar pekerja. Oleh karena itu, sebaiknya perusahaan melakukan

pengawasan terhadap pekerja mengenai penggunaan masker selama bekerja.

Berdasarkan teori, APD harus diperiksa, dibersihkan dan dirawat oleh

pekerja secara berkala sehingga dapat dibuang, diganti dan /atau didekontaminasi

jika dianggap perlu. Elemen dasar dari setiap program manajemen untuk APD

harus di evaluasi secara mendalam mengenai peralatan yang dibutuhkan untuk

melindungi pekerja terhadap bahaya di tempat kerja. Evaluasi harus digunakan

untuk menetapkan prosedur operasi standar untuk personil, kemudian melatih

pekerja pada keterbatasan pelindung dari APD, dan pada penggunaan dan

Page 103: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

85

pemeliharaan yang tepat. Menggunakan APD membutuhkan kesadaran bahaya

dan pelatihan pada bagian pengguna. Pekerja harus menyadari bahwa peralatan

tidak menghilangkan bahaya. Jika peralatan gagal, paparan akan terjadi. Untuk

mengurangi kemungkinan kegagalan, peralatan harus dipasang dengan benar dan

dipelihara dalam kondisi bersih dan berguna (OSHA, 2015).

Untuk melakukan kegiatan pengawasan (inspeksi, penggantian, dll)

diperlukan seseorang untuk melakukan kegiatan tersebut. PT. Indonesia Putra

Pratama belum mempunyai pekerja yang bertugas untuk mengawasi penggunaan

APD terutama masker. Maka dari itu, perusahaan perlu menunjuk pekerja sebagai

penanggung jawab atau pengawas terhadap penggunaan masker dan APD lainnya

dengan sebelumnya memberikan pelatihan mengenai penggunaan dan

pemeliharaan yang baik dan benar sehingga masker atau APD lainnya digunakan

dengan tepat dan meminimalisir pekerja dari bahaya kerja.

Pada penelitian ini, peneliti tidak meneliti tentang kesesuaian jenis masker

yang digunakan pekerja saat berada di lingkungan kerja. Oleh karena itu, perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kesesuaian jenis masker yang

digunakan di lingkungan kerja karena bisa jadi efektifitas masker sangat

berpengaruh terhadap jenis masker yang digunakan.

Page 104: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

86

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pekerja pengolahan batu

split PT. Indonesia Putra Pratama, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Gambaran KVP pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra

Pratama Cilegon tahun 2015 yang memiliki KVP tidak normal sebanyak 5

pekerja (20,8%) dan 19 pekerja (79,2%) memiliki KVP normal.

2. Gambaran kadar debu PM1,0 pada proses pengolahan batu split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang tidak memenuhi NAB

sebanyak 17 pekerja (70,8%) dan 7 pekerja (29,2%) memenuhi NAB.

3. Gambaran kadar debu PM2,5 pada proses pengolahan batu split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 memiliki rata-rata sebesar 2,53

mg/m3 dengan nilai terendah sebesar 2,42 mg/m

3 dan nilai tertinggi sebesar

2,65 mg/m3.

4. Gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra

Pratama Cilegon tahun 2015 memiliki nilai terendah sebesar 34,3 o

C dan

nilai tertinggi sebesar 36,3 oC.

5. Gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 memiliki nilai terendah sebesar

55% dan nilai tertinggi sebesar 60%.

Page 105: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

87

6. Gambaran masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia

Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang memiliki masa kerja lebih dari 5

tahun sebesar 7 pekerja (29,2%) dan 17 pekerja (70,9%) memiliki masa

kerja kurang dari 5 tahun.

7. Gambaran lama paparan pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia

Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang terpapar lebih dari 8 jam sebanyak

21 pekerja (87,5%) dan 3 pekerja (12,5%) terpapar kurang dari 8 jam.

8. Gambaran penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang menggunakan masker

sebanyak 13 pekerja (54,2%) dan 11 pekerja (45,8%) tidak menggunakan

masker.

9. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar debu PM1,0 dan KVP

pekerja. Hasil uji chi square didapatkan nilai p=0,61 (p>0,05).

10. Tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dan KVP pekerja.

Hasil uji mann-whitney didapatkan nilai p=0,13 (p>0,05).

11. Tidak ada hubungan yang signifikan antara lama paparan dan KVP pekerja.

Hasil uji chi square didapatkan nilai p=1 (p>0,05).

12. Ada hubungan yang signifikan antara penggunaan masker dan KVP pekerja.

Hasil uji chi square didapatkan nilai p=0,01 (p<0,05).

7.2 Saran

7.2.1 Bagi Perusahaan

1. Menggunakan nozzle pada ujung selang yang digunakan untuk melakukan

penyiraman. Nozzle yang biasa digunakan pada wet dust suppression

systems adalah flat-spray nozzles karena dapat menghasilkan butiran air

Page 106: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

88

lebih besar sehingga penyiraman lebih optimal dan dapat lebih

meminimalisir debu yang dihasilkan.

2. Melakukan upaya promosi kesehatan dengan mengadakan penyuluhan

mengenai bahaya kerja yang berhubungan dengan kesehatan paru bagi

pekerja untuk meminimalisir terjadinya penurunan KVP pada pekerja.

3. Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala (periodical examination)

khususnya pemeriksaan paru secara periodik untuk memantau

perkembangan kesehatan pekerja selama bekerja di perusahaan.

4. Menunjuk pekerja sebagai penanggung jawab atau pengawas terhadap

penggunaan masker dan APD lainnya dan sebelumnya diberikan pelatihan

pada pekerja mengenai penggunaan dan pemeliharaan yang baik dan benar

sehingga masker atau APD lainnya digunakan dengan tepat dan

meminimalisir pekerja dari bahaya kerja.

5. Melakukan pengawasan yang intensif terhadap pekerja mengenai

penggunaan masker selama bekerja.

6. Meskipun perusahaan telah menyediakan masker bagi pekerja namun

sebaiknya perusahaan menyediakan masker debu seperti masker N95.

Masker jenis ini dapat menyaring partikel debu halus di udara hingga

ukuran 0,1 mikron sehingga lebih efektif menahan debu yang dapat

terhirup oleh pekerja.

7.2.2 Bagi Pekerja

1. Untuk meminimalisir paparan debu, pekerja diharapkan untuk segera

meninggalkan lingkungan kerja apabila pekerjaan telah selesai.

Page 107: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

89

2. Pekerja selalu menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja untuk

meminimalisir terjadinya paparan debu atau lainnya yang berbahaya bagi

kesehatan pekerja.

3. Melakukan olahraga secara rutin untuk menjaga kebugaran badan dan

meningkatkan kapasitas paru.

7.2.3 Bagi penelitian selanjutnya

1. Meneliti lebih lanjut mengenai kesesuaian jenis masker yang digunakan di

lingkungan kerja.

Page 108: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Tjandra Yoga. Hastuti, Tri. 2002. Kesehatan Dan Keselamatan Kerja.

Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

Agustansi, Lilis. 2003. Hubungan Antara Tingkat Pemaparan Partikel Debu Udara

Dengan Kapasitas Fungsi Paru (Studi Pada Pekerja Industri Oeleburan

Timah Hitam Di Lingkungan Industri Kecil Bugangan Baru Semarang).

Semarang: Universitas Diponegoro.

Ahrens, C. Donald. 2008. Essentials of Meteorology: An Invitation to the

Atmosphere. USA : Thomson Higher Education.

Anugrah, Yuma. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital

Paru Pada Pekerja Penggilingan Divisi Batu Putih Di PT. Sinar Utama

Karya. Semarang: Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu

Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.

Anurogo, Dito, Ari Wulandari. 2012. 45 Penyakit yang Banyak Ditemukan di

Masyarakat. Yogyakarta: ANDI.

Aryuni, Sri, dkk. 2014. Hubungan Kadar Debu Dengan Kapasitas Paru Pada

Tenaga Kerja Di Bagian Cement Mill Pt.Semen Bosowa Maros. Makassar:

Universitas Hasanuddin.

Asna, Alfiyan Sayyidah. 2013. Hubungan Antara Lama Paparan Kadar Debu Batu

Bara Dengan Penurunan Kapasitas Fungsi Paru Pada Tenaga Kerja Di

Unit Boiler Batu Bara PT. Indo Acidatama Tbk. Kemiri, Kebakkramat,

Karanganyar. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Bajentri AL, Veeranna N, Dixit PD, Kulkarni SB. 2003. Effect of 2-5 years of

tobacco smoking on ventilatory function tests. J Indian Med Assoc. Feb

2003;101(2):96-7, 108.

Budiono, Irwan, 2007. Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja

Pengecatan Mobil (Studi Pada Bengkel Pengecatan Mobil Di Kota

Semarang). Semarang: Universitas Diponegoro.

Caesar, David Laksamana. 2011. Hubungan Paparan Debu dengan Kapasitas Vital

Paru pada Pekerja Bagian Produksi Kawasan Industri Peleburan Logam

Pesarean Tegal. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Cahyana, Asrina, dkk. 2012. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian

Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Tambang Batubara Pt. Indominco

Mandiri Kalimantan Timur Tahun 2012. Makassar: Bagian Kesehatan dan

Keselamatan Kerja FKM Universitas Hasanuddin.

Depkes RI. 2003. Modul Pelatihan Bagi Fasilitator Kesehatan Kerja. Jakarta.

Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC.

Donaldson, G.C. dkk. 1999. Effect of temperature on lung function and symptoms

in chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 1999; 13: 844±849.

Page 109: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

Printed in UK ± all rights reserved. Opyright ERS Journals Ltd 1999

European Respiratory Journal #ISSN 0903-1936

Enviromental Protection Agency (EPA). 1997. Health Effects of Particulate

Matter. Diakses tanggal 31 Agustus dari

http://www.epa.gov/region07/air/quality/pmhealth.htm jam 09:45 WIB.

Environmental Protection Agency (EPA). 2015. Particulate Matters (PM).

Diakses tanggal 24 November 2015 dari

http://www3.epa.gov/airquality/particlepollution/index.html jam 01:28

WIB.Fardiaz, Srikandi. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.

Francis, Caia. 2011. Perawatan Respirasi. Jakarta: Erlangga.

Giuliodori, Mauricio J., dkk. 2004. Simple, Inexpensive Model Spirometer For

Understanding Ventilation Volumes. Advan in Physiol Edu 28:33, 2004.

doi:10.1152/advan.00034.2003

Hamzah, Sutamin. 2013. Pengaruh Paparan Debu Dan Masa Kerja Terhadap

Kapasitas Paru Pekerja Tambang Kapur Tradisional Di Kelurahan Buliide,

Kecamatan Kota Barat Tahun 2013. Gorontalo: Jurusan Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas

Negeri Gorontalo.

Harrington, J.M, and F.S. Gill. 2003. Buku Saku Kesehatan Kerja. Jakarta: EGC.

Hastono, Sutanto Priyo, Luknis Sabri. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali

Pers.

Hasty, Karbella Kuantanades. 2011. Hubungan Lingkungan Tempat Kerja Dan

Karakteristik Pekerja Terhadap Kapasitas Vital Paru (KVP) Pada Pekerja

Bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011. Jakarta:

UIN Syarif Hidayatullah.

Healthcommunities. 2013. Warm Weather & Respiratory Problems. Diakses

tanggal 22 Desember 2015 dari

http://www.healthcommunities.com/evaluating-lung-problems/warm-

weather-respiratory-illness.shtml jam 15:48 WIB.

Health Safety Protection (HSP). 2011. Mengenal Debu (Dust) dan

Pengendaliannya (Dust Control). Diakses tanggal 24 November 2015 dari

http://healthsafetyprotection.com/mengenal-debu-dust-dan-

pengendaliannya-dust-control/ jam 01:26 WIB.

Hesti, Leli. 2012. Penyakit Akibat Kerja. Diakses tanggal 12 Oktober 2014 jam

21.17 dari http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2012/08/11/penyakit-

akibat-kerja-485112.html

Huraiová, Monika dan Ondrejka, Martin. 2013. Andesite. Department of

Mineralogy and Petrology, Comenius University of Bratislava, Slovakia.

Diakses tanggal 30 Agustus 2015 dari http://www.atlas-

hornin.sk/en/record/62/andesite jam 20:58 WIB.

Page 110: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

Ikhsan, Mukhtar. 2002. Penatalaksanaan Penyakit Paru Akibat Kerja. Jakarta: UI

Press.

Ikhsan M, dkk. 2010. Perubahan Iklim dan Kesehatan Paru. departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI – RS Persahabatan,

Jakarta. J Respir Indo Vol. 30, No. 4 Oktober 2010

Ilhaq, Angriani J, Kawatu, Paul A., dkk. 2014. Hubungan Antara Umur, Masa

Kerja, Dan Status Gizi Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Penambang

Emas Di Wilayah Pertambangan Rakyat Tatelu Kecamatan Dimembe.

Manado: Universitas Sam Ratulangi.

International Labour Office (ILO). Encyclopaedia of Occupational Health and

Safety. Diakses tanggal 1 Desember 2015 dari

http://www.ilocis.org/documents/chpt10e.htm jam 16:08 WIB.

Irjayanti, Apriyana, dkk. 2012. Hubungan Kadar Debu Terhirup (Respirable)

Dengan Kapasitas Vital Paksa Paru Pada Pekerja Mebel Kayu di Kota

Jayapura. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11 No. 2 / Oktober

2012.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta:

Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1405/MENKES/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan

Kerja Perkantoran Dan Industri

Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup Nomor: KEP-

02/MENKLH/I/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu

Lingkungan

Kusuma, Adang P. 2012. Menambang Tanpa Merusak Lingkungan. Badan

Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

Laboratorium HOC. 2013. Standar Operasional Pemakaian Environmental

Particulate Monitor. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

McCarthy, Kevin, dkk.2015. Pulmonary Function Testing. Medscape. Diakses

tanggal 31 Agustus dari http://emedicine.medscape.com/article/303239-

overview jam 00:29 WIB.

Mengkidi, Nurjazuli, dan Sulistiyani. 2006. Gangguan Fungsi Paru dan Faktor-

Faktor Yang Mempengaruhi Pada Karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep

Sulawesi Selatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Volume 5.

Nomor 2. Oktober 2006. Semarang.

Mukono, H.J. 2003. Pencemaran Udara Dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan

Saluran Pernapasan. Surabaya: Airlangga University Press.

National Heart Lung Blood Institute. What Are Lung Function Tests?. USA:

Department Of Health and Human Services. Diakses tanggal 30 Agustus

2015 dari http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/lft jam

23.18 WIB.

Page 111: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

National Jewish Health. 2012. General Tools – Peak Flow Meter. Diakses dari

http://www.nationaljewish.org/healthinfo/conditions/asthma/lifestyle-

management/tools/peak-flow-meter tanggal 31 Agustus jam 01.45 WIB.

National Jewish Health. 2013. Spirometry Testing (Lung Function Testing).

Diakses dari http://www.nationaljewish.org/programs/tests/pulmonary-

physiology/pulmonary-function/spirometry/ tanggal 31 Agustus 2015 jam

00:16 WIB.

Nasar, I Made, dkk. 2010. Buku Ajar Patologi II (Khusus) Edisi Ke-1. Jakarta:

CV. Sagung Seto.

NC State University. Trees of Strength. College of agriculture & life sciences,

department of horticultural science. Diakses dari

https://www.ncsu.edu/project/treesofstrength/benefits.htm tanggal 6

Januari 2016 jam 12.44 WIB.

Nedved, Milos. 1991. Keselamatan Kerja Bidang Kimia dan Pengendalian Bahaya

Besar. Jakarta: ILO.

Ningrum, Prehatin Trirahayu. 2009. Hubungan Antara Perilaku Dengan Gangguan

Fungsi Paru Pada Pekerja Unit II Pengolahan NPK Di Industri PT.

Petrokimia Gresik. Jember: Universitas Jember. Jurnal Ikesma Volume 8

Nomor 1 Maret 2012

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta.

Nouval, Naafiakra. 2009. Andesit. Fakultas Teknologi Mineral Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta diakses tanggal 30 Agustus

2015 dari http://petrolab-upn.tripod.com/Andesit.htm jam 20:25 WIB.

Nugroho, Antonius Sardjanto Setyo. 2012. Hubungan Konsentrasi Debu Total

Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Di PT. KS Tahun 2010.

Depok: Universitas Indonesia.

Nurjazuli dkk. 2010. Analisis Perbedaan Kapasitas Fungsi Paru Pada Pedangang

Kaki Lima Berdasarkan Kadar Debu Tatal Di Jalan Nasional Kota

Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro. J Kesehat Masy Indones

Vol 6 No 1 Th 2010

Occupational Safety and Health Administration (OSHA). 2007. Respirator.

Diakses tanggal 6 Desember 2015 dari

https://www.osha.gov/Publications/3280-10N-05-english-06-27-2007.html

jam 19:16 WIB.

Occupational Safety and Health Administration (OSHA). 1987. Dust Control

Handbook For Minerals Processing. Martin Marietta Corporation. Martin

Marietta Laboratories Contract No. J0235005. Diakses dari

https://www.osha.gov/dsg/topics/silicacrystalline/dust/dust_control_handb

ook.html

Occupational Safety and Health Administration (OSHA). 2015. Hazard

Prevention and Control. Diaskes dari

https://www.osha.gov/SLTC/etools/safetyhealth/comp3.html#Personal%2

Page 112: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

0Protective%20Equipment%20%28PPE%29 tanggal 6 Januari 2016 jam

13.34 WIB.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 Tentang

Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara Di Daerah

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13

Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia

Di Tempat Kerja.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor

PER.25/MEN/XII/2008 Tentang Pedoman Diagnosis Dan Penilaian Cacat

Karena Kecelakaan Dan Penyakit Akibat Kerja

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2013. Gangguan Faal Paru. Diakses tanggal

29 Januari 2015 dari www.klikparu.com jam 17:00 WIB.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2013. Nilai Normal Faal Paru Indonesia.

Diakses tanggal 26 Agustus 2015 dari www.klikparu.com

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2013. Penyakit Paru Obstruktif Kronik

(PPOK). Diakses tanggal 29 Januari 2015 dari www.klikparu.com

Prasetyo, Dian Rawar. 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas

Vital Paru Pada Pekerja Bengkel Las Di Pisangan Ciputat Tahun 2010.

Jakarta: Universitas Syarif Hidayatullah.

Price, S. A. and Wilson, L. McCarty., 1995. Fisiologi proses-proses penyakit.

Alih bahasa Peter Anugrah. EGC. Jakarta.

Rantung, Fernando, Umboh, Jootje M.L, dkk. 2013. Hubungan Lama Paparan

Debu Kayu Dan Kebiasaan Merokok Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada

Tenaga Kerja Mebel di CV. Mariska Dan CV. Mercusuar Desa Leilem

Kecamatan Sonder Kabupaten Minahasa. Manado: Universitas Sam

Ratulangi.

Riyadina, Woro. 1996. Efek Biologis Dari Paparan Debu. Pusat Penelitian

Penyakit Tidak Menular, Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI.

Sangadji, Etta Mamang. 2010. Metodologi Penelitian – Pendekatan Praktis dalam

Penelitian. Yogyakarta: ANDI.

Setiawan, Aris, dkk. 2009. Fisiologi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa

Kebidanan. Jakarta: CV. Trans Info Media

Setyaningsih, Yuliani, dkk. 2010. Analisis Potensi Bahaya dan Upaya

Pengendalian Risiko Bahaya Pada Pekerja Pemecah Batu. Semarang: Staf

Pengajar Bagian K3 Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP. Media

Kesehat. Masy. Indones., Vol. 9 No. 1, April 2010.

Simaela, Steven L. 2000. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas

Maksimal Paru Pekerja Perusahaan Pemecah Batu Pada PT. P Di Daerah

Bogor Jawa Barat Tahun 2000. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sintorini M, 2002, Hubungan Antara Kadar PM10 Udara Ambien Dengan

Kejadian Gejala Penyakit Saluran Pernafasan, Thesis, PS-UI,Jakarta

Page 113: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

Sinurat, Ridwan. 2013. Pengaruh Karakteristik Pekerja Dan Paparan Debu Serta

Kondisi Fisik Lingkungan Kerja Terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja Di

PTP Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai

Tahun 2013. Medan: Universitas Sumateran Utara.

Sirait, Manna. 2010. Hubungan Karakteristik Pekerja Dengan Faal Paru Di Kilang

Padi Kecamatan Porsea Tahun 2010. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sirait, Ridwan. 2013. Pengaruh Karakteristik Pekerja Dan Paparan Debu Serta

Kondisi Fisik Lingkungan Kerja Terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja Di

PTP Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai

Tahun 2013. Medan: Universitas Sumateran Utara.

Stang, Debra. 2014. Lung plethysmography. Diakses tanggal 30 Agustus 2015

dari http://www.healthline.com/health/lung-plethysmography#Overview1

jam 23:48 WIB.

Sucipto, Edy. 2007. Hubungan Pemaparan Partikel Debu Pada Pengolahan Batu

Kapur Terhadap Penurunan Kapasitas Fungsi Paru. Semarang: Universitas

Diponegoro.

Sukarman. 1978. Kapasitas Pernafasan untuk Evaluasi Faal Paru. Surabaya:

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Suma’mur, P.K. 1991. Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Haji

Masagung

Syahriany, Yetti. 2002. Hubungan Kadar Debu Dan Karakteriktik Pekerja Dengan

Gangguan Paru Pekerja Pada Unit Produksi Tablet Industri Farmasi X

Tahun 2002. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Tamuntuan, Marianti L., dkk. 2013. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan

Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Di Bagian Pengecatan Mobil Di CV.

Kombos Manado. Bidang Minat Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado.

Tarwoto, dkk. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan.

Jakarta: TIM.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan

West, John B. 2003. Patofisiologi Paru Esensial, Ed. 6. Alih bahasa, Cindy H.

Nasrani; editor edisi bahasa Indonesia, Husny Muttaqin, Andrea Rubiana,

Yoavita. Jakarta: EGC.

World Heatlh Organization. 1993. Deteksi dini penyakit akibat kerja. Penerbit

buku kedokteran EGC

. 2000. Air Quality Guidelines - Second Edition. WHO Regional Office

for Europe, Copenhagen, Denmark.

. 1997. Hazard Prevention and Control in the Work Environment:

Airborne Dust WHO/SDE/OEH/99.14

Young, Hugh D, dkk. 2002. Fisika Universitas. Jakarta: Erlangga.

Page 114: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

Yulaekah, Siti. 2007. Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Paru Pada

Pekerja Industri Batu Kapur (Studi Di Desa Mrisi Kecamatan

Tanggungharjo Kabupaten Grobogan). Tesis. Semarang: Universitas

Diponegoro.

Page 115: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

No. Respoden Tanggal

KUESIONER PENELITIAN

Kondisi Lingkungan Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pada

Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Saya Nabila Dewi Ichsani, mahasiswi Kesehatan Masyarakat Peminatan

Kesehatan Lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat

ini saya sedang melakukan pengumpulan data sebagai salah satu bahan dalam

penyusunan tugas akhir (skripsi). Semua data dan informasi yang saudara berikan

akan dijaga kerahasiaannya dan kuesioner ini akan dimusnahkan apabila tidak

digunakan lagi. Atas perhatian dan kerjasama saudara, saya ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Form Kesediaan Responden Penelitian

Apakah saudara bersedia?

(beri tanda silang (Х) pada pilihan dibawah ini)

a. Ya

b. Tidak

Cilegon, Oktober 2015

Tanda Tangan Responden

( …………………………. )

Page 116: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

A. Karakteristik Responden

A1 Nama

A2 Umur

A3 Tempat dan Tanggal Lahir

A4 No. Telp/ HP

B. Masa Kerja (Diisi oleh

peneliti)

B1 Sudah berapa lama anda bekerja di penambangan batu ini

……… tahun.

Sejak usia berapa?

……… tahun.

C. Lama Paparan

C1 Berapa jam anda bekerja dalam satu hari?

1. Lebih dari 8 jam

2. Kurang dari 8 jam

[ ]

C2 Berapa hari anda bekerja dalam satu minggu?

……… hari/minggu

Page 117: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

LEMBAR OBSERVASI PENGGUNAAN MASKER

No Nama pekerja Pemakaian masker

Pakai Tidak pakai

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

Page 118: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

LAMPIRAN HASIL PEMERIKSAAN KAPASITAS VITAL PARU PADA

PEKERJA PENGOLAHAN BATU SPLIT PT. INDONESIA PUTRA

PRATAMA

No Pekerja Kapasitas vital paru

1. Pekerja -1 Restiriksi

2. Pekerja -2 Obstruksi-restriksi

3. Pekerja -3 Normal

4. Pekerja -4 Restriksi

5. Pekerja -5 Restriksi

6. Pekerja -6 Restriksi

7. Pekerja -7 Normal

8. Pekerja -8 Normal

9. Pekerja -9 Normal

10. Pekerja -10 Normal

11. Pekerja -11 Normal

12. Pekerja -12 Normal

13. Pekerja -13 Normal

14. Pekerja -14 Normal

15. Pekerja -15 Normal

16. Pekerja -16 Normal

17. Pekerja -17 Normal

18. Pekerja -18 Normal

19. Pekerja -19 Normal

20. Pekerja -20 Normal

21. Pekerja -21 Normal

22. Pekerja -22 Normal

23. Pekerja -23 Normal

24. Pekerja -24 Normal

Page 119: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

LAMPIRAN OUTPUT SPSS

UJI NORMALITAS

Tes Shapiro-wilk

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

KVP 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%

Descriptives

Statistic Std. Error

KVP Mean 1.17 .078

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound 1.01

Upper Bound 1.33

5% Trimmed Mean 1.13

Median 1.00

Variance .145

Std. Deviation .381

Minimum 1

Maximum 2

Range 1

Interquartile Range 0

Skewness 1.910 .472

Kurtosis 1.792 .918

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

KVP .503 24 .000 .454 24 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Uji normalitas setelah di transform

Page 120: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

trans_KVP 24 100.0% 0 .0% 24 100.0%

Descriptives

Statistic Std. Error

trans_KVP Mean .0502 .02339

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound .0018

Upper Bound .0986

5% Trimmed Mean .0390

Median .0000

Variance .013

Std. Deviation .11460

Minimum .00

Maximum .30

Range .30

Interquartile Range .00

Skewness 1.910 .472

Kurtosis 1.792 .918

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

trans_KVP .503 24 .000 .454 24 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Selanjutnya menggunakan uji mann-whitney

Page 121: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

ANALISIS UNIVARIAT

1. Gambaran Kapasitas Vital Paru

KVP

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid tidak normal 5 20.8 20.8 20.8

normal 19 79.2 79.2 100.0

Total 24 100.0 100.0

2. Gambaran Lama Paparan

lama_paparan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid > 8 jam 21 87.5 87.5 87.5

< 8 jam 3 12.5 12.5 100.0

Total 24 100.0 100.0

3. Gambaran Pemakaian Masker

masker

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid tidak pakai 11 45.8 45.8 45.8

pakai 13 54.2 54.2 100.0

Total 24 100.0 100.0

4. Gambaran Masa Kerja

masa_kerja

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid > 5 tahun 7 29.2 29.2 29.2

< 5 tahun 17 70.8 70.8 100.0

Total 24 100.0 100.0

Page 122: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

5. Gambaran Kadar Debu PM1,0

debu_PM1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid > 2 17 70.8 70.8 70.8

<2 7 29.2 29.2 100.0

Total 24 100.0 100.0

6. Gambaran Kadar Debu PM2,5

Statistics

ave ave1 max2

N Valid 3 3 3

Missing 0 0 0

Mean 2.75533 2.67000 9.62467

Median 2.13400 1.82500 9.89200

Mode 1.394a 1.687

a 6.887

a

Std. Deviation 1.756452E

0

1.584597E

0

2.614272E

0

Minimum 1.394 1.687 6.887

Maximum 4.738 4.498 12.095

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

Page 123: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

Descriptives

Statistic Std. Error

ave Mean 2.75533 1.014088

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound -1.60794

Upper Bound 7.11860

5% Trimmed Mean .

Median 2.13400

Variance 3.085

Std. Deviation 1.756452E

0

Minimum 1.394

Maximum 4.738

Range 3.344

Interquartile Range .

Skewness 1.393 1.225

Kurtosis . .

ave1 Mean 2.67000 .914868

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound -1.26636

Upper Bound 6.60636

5% Trimmed Mean .

Median 1.82500

Variance 2.511

Std. Deviation 1.584597E

0

Minimum 1.687

Maximum 4.498

Range 2.811

Interquartile Range .

Skewness 1.717 1.225

Kurtosis . .

ave2 Mean 2.15967 .417318

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound .36409

Upper Bound 3.95524

Page 124: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

5% Trimmed Mean .

Median 2.33600

Variance .522

Std. Deviation .722816

Minimum 1.365

Maximum 2.778

Range 1.413

Interquartile Range .

Skewness -1.032 1.225

Kurtosis . .

Statistics

ave_25

N Valid 3

Missing 0

Mean 2.52833

Median 2.67000

Mode 2.160a

Std. Deviation .321805

Minimum 2.160

Maximum 2.755

a. Multiple modes exist. The smallest

value is shown

Descriptives

Statistic Std. Error

ave_25 Mean 2.52833 .185794

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound 1.72893

Upper Bound 3.32774

5% Trimmed Mean .

Median 2.67000

Variance .104

Std. Deviation .321805

Minimum 2.160

Page 125: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

Maximum 2.755

Range .595

Interquartile Range .

Skewness -1.597 1.225

Kurtosis . .

Lokasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid plant 1 9 37.5 37.5 37.5

plant 2 7 29.2 29.2 66.7

plant 3 8 33.3 33.3 100.0

Total 24 100.0 100.0

debu_PM2_5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 2.16 8 33.3 33.3 33.3

2.67 7 29.2 29.2 62.5

2.755 9 37.5 37.5 100.0

Total 24 100.0 100.0

7. Gambaran Suhu Udara

Statistics

rata2_suhu

N Valid 3

Missing 0

Mean 35.100

Median 34.700

Mode 34.3a

Std. Deviation 1.0583

Minimum 34.3

Maximum 36.3

Page 126: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

Statistics

rata2_suhu

N Valid 3

Missing 0

Mean 35.100

Median 34.700

Mode 34.3a

Std. Deviation 1.0583

Minimum 34.3

Maximum 36.3

a. Multiple modes exist. The smallest

value is shown

Descriptives

Statistic Std. Error

rata2_suhu Mean 35.100 .6110

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound 32.471

Upper Bound 37.729

5% Trimmed Mean .

Median 34.700

Variance 1.120

Std. Deviation 1.0583

Minimum 34.3

Maximum 36.3

Range 2.0

Interquartile Range .

Skewness 1.458 1.225

Kurtosis . .

Page 127: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

lokasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid plant 1 9 37.5 37.5 37.5

plant 2 7 29.2 29.2 66.7

plant 3 8 33.3 33.3 100.0

Total 24 100.0 100.0

Suhu

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 34.3 7 29.2 29.2 29.2

34.7 8 33.3 33.3 62.5

36.3 9 37.5 37.5 100.0

Total 24 100.0 100.0

8. Gambaran Kelembaban Udara

Statistics

rata2_kelembaban

N Valid 3

Missing 0

Mean 57.33

Median 57.00

Mode 55a

Std. Deviation 2.517

Minimum 55

Maximum 60

a. Multiple modes exist. The smallest

value is shown

Page 128: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

Descriptives

Statistic Std. Error

rata2_kelembaban Mean 57.33 1.453

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound 51.08

Upper Bound 63.58

5% Trimmed Mean .

Median 57.00

Variance 6.333

Std. Deviation 2.517

Minimum 55

Maximum 60

Range 5

Interquartile Range .

Skewness .586 1.225

Kurtosis . .

lokasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid plant 1 9 37.5 37.5 37.5

plant 2 7 29.2 29.2 66.7

plant 3 8 33.3 33.3 100.0

Total 24 100.0 100.0

lokasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid plant 1 9 37.5 37.5 37.5

plant 2 7 29.2 29.2 66.7

plant 3 8 33.3 33.3 100.0

Total 24 100.0 100.0

Page 129: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

ANALISIS BIVARIAT

1. Hubungan Kadar Debu PM1,0 dengan KVP

debu_PM1 * KVP Crosstabulation

KVP

Total tidak normal normal

debu_PM1 > 2 Count 3 14 17

% within debu_PM1 17.6% 82.4% 100.0%

<2 Count 2 5 7

% within debu_PM1 28.6% 71.4% 100.0%

Total Count 5 19 24

% within debu_PM1 20.8% 79.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .359a 1 .549

Continuity Correctionb .002 1 .963

Likelihood Ratio .344 1 .558

Fisher's Exact Test .608 .462

Linear-by-Linear Association .344 1 .558

N of Valid Casesb 24

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.46.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 130: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

2. Hubungan Masa Kerja dengan KVP

masa_kerja * KVP Crosstabulation

KVP

Total tidak normal normal

masa_kerja > 5 tahun Count 3 4 7

% within masa_kerja 42.9% 57.1% 100.0%

< 5 tahun Count 2 15 17

% within masa_kerja 11.8% 88.2% 100.0%

Total Count 5 19 24

% within masa_kerja 20.8% 79.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 2.906a 1 .088

Continuity Correctionb 1.327 1 .249

Likelihood Ratio 2.688 1 .101

Fisher's Exact Test .126 .126

Linear-by-Linear Association 2.785 1 .095

N of Valid Casesb 24

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.46.

b. Computed only for a 2x2 table

3. Hubungan Lama Paparan dengan KVP

lama_paparan * KVP Crosstabulation

KVP

Total tidak normal normal

lama_paparan > 8 jam Count 5 16 21

% within lama_paparan 23.8% 76.2% 100.0%

< 8 jam Count 0 3 3

% within lama_paparan .0% 100.0% 100.0%

Total Count 5 19 24

% within lama_paparan 20.8% 79.2% 100.0%

Page 131: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .902a 1 .342

Continuity Correctionb .036 1 .849

Likelihood Ratio 1.511 1 .219

Fisher's Exact Test 1.000 .479

Linear-by-Linear Association .865 1 .352

N of Valid Casesb 24

a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .63.

b. Computed only for a 2x2 table

4. Hubungan Penggunaan Masker dengan KVP

masker * KVP Crosstabulation

KVP

Total tidak normal normal

masker tidak pakai Count 5 6 11

% within masker 45.5% 54.5% 100.0%

pakai Count 0 13 13

% within masker .0% 100.0% 100.0%

Total Count 5 19 24

% within masker 20.8% 79.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 7.464a 1 .006

Continuity Correctionb 4.963 1 .026

Likelihood Ratio 9.405 1 .002

Fisher's Exact Test .011 .011

Linear-by-Linear Association 7.153 1 .007

N of Valid Casesb 24

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.29.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 132: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

Perhitungan OR dan 95% CI dilakukan dengan menggunakan software yang

diakses dari https://www.medcalc.org/calc/odds_ratio.php

Page 133: NABILA DEWI ICHSANI-FKIK.pdf

LAMPIRAN FOTO

Kondisi debu di area pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama

Pengukuran debu di area pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama