22
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 19 No. 1 Januari 2019: 62–83 p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280 62 Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan Ketergantungan Spasial Indonesia’s Economic Growth Model: The Role of Spatial Dependence Aspiansyah a,* , & Arie Damayanti b a Badan Pusat Statistik b Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia [diterima: 12 Januari 2018 — disetujui: 31 Juli 2018 — terbit daring: 12 Maret 2019] Abstract This study aims to examine the role of spatial dependence on Indonesia’s regional economic growth based on panel data of all provinces in Indonesia during 1990–2015. By using spatial durbin model, the authors found that spatial dependence plays an important role in achieving regional economic growth in Indonesia. Indonesia’s regional economic growth model that controls spatial dependence, yields better estimates than growth model that does not control spatial dependence. The researchers also found positive spatial spillover to Indonesia’s regional economic growth sourced from other region’s economic growth and initial per capita incomes, as well as population growth in other regions. Keywords: regional economic growth; spatial dependence; Spatial Durbin Model; spatial spillover Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peranan ketergantungan spasial terhadap pertumbuhan ekonomi regional Indonesia berdasarkan data panel seluruh provinsi di Indonesia selama tahun 1990–2015. Dengan menggunakan model durbin spasial, penulis menemukan bahwa ketergantungan spasial berperan penting dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Model pertumbuhan ekonomi regional Indonesia yang mengontrol ketergantungan spasial menghasilkan estimasi yang lebih baik daripada model pertumbuhan ekonomi regional Indonesia yang tidak mengontrol ketergantungan spasial. Peneliti juga menemukan terjadinya spatial spillover yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional Indonesia yang bersumber dari pertumbuhan ekonomi wilayah lain, pendapatan per kapita awal dari wilayah lain dan pertumbuhan penduduk wilayah lain. Kata kunci: ketergantungan spasial; pertumbuhan ekonomi regional; Spatial Durbin Model; spatial spillover Kode Klasifikasi JEL: C31; R11 Pendahuluan Ketergantungan spasial (spatial dependence) meru- pakan salah satu faktor penting yang perlu diper- timbangkan dalam menganalisa pertumbuhan eko- nomi suatu wilayah. Hal tersebut berdasarkan pada pandangan bahwa suatu wilayah tidak dapat di- perlakukan sebagai unit yang berdiri sendiri, yang * Alamat Korespondensi: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupa- ten Tabalong, Kalimantan Selatan. Jln. Jaksa Agung Soeprapto No.82, Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. E- mail: [email protected]. disebabkan oleh adanya interaksi sosial ekonomi an- tarwilayah di antaranya melalui perdagangan, alir- an modal, migrasi, difusi teknologi, dan pertukaran informasi (Nijkamp dan Poot, 1998). Interaksi sosial ekonomi antarwilayah itu akan memunculkan ke- tergantungan spasial pada pertumbuhan ekonomi yang disebut juga oleh Lesage (1999) sebagai terja- dinya spatial spillover. Tselios (2009) menambahkan bahwa ketergantungan spasial tersebut akan se- makin kuat pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah-wilayah yang bertetanggaan, ka- rena interaksi sosial ekonomi antarwilayah yang JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan IndonesiaVol. 19 No. 1 Januari 2019: 62–83

p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-928062

Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan KetergantunganSpasial

Indonesia’s Economic Growth Model: The Role of Spatial Dependence

Aspiansyaha,∗, & Arie Damayantib

aBadan Pusat StatistikbDepartemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia

[diterima: 12 Januari 2018 — disetujui: 31 Juli 2018 — terbit daring: 12 Maret 2019]

Abstract

This study aims to examine the role of spatial dependence on Indonesia’s regional economic growth based on paneldata of all provinces in Indonesia during 1990–2015. By using spatial durbin model, the authors found that spatialdependence plays an important role in achieving regional economic growth in Indonesia. Indonesia’s regional economicgrowth model that controls spatial dependence, yields better estimates than growth model that does not control spatialdependence. The researchers also found positive spatial spillover to Indonesia’s regional economic growth sourced fromother region’s economic growth and initial per capita incomes, as well as population growth in other regions.Keywords: regional economic growth; spatial dependence; Spatial Durbin Model; spatial spillover

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengkaji peranan ketergantungan spasial terhadap pertumbuhan ekonomiregional Indonesia berdasarkan data panel seluruh provinsi di Indonesia selama tahun 1990–2015. Denganmenggunakan model durbin spasial, penulis menemukan bahwa ketergantungan spasial berperan pentingdalam pencapaian pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Model pertumbuhan ekonomi regionalIndonesia yang mengontrol ketergantungan spasial menghasilkan estimasi yang lebih baik daripada modelpertumbuhan ekonomi regional Indonesia yang tidak mengontrol ketergantungan spasial. Peneliti jugamenemukan terjadinya spatial spillover yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional Indonesia yangbersumber dari pertumbuhan ekonomi wilayah lain, pendapatan per kapita awal dari wilayah lain danpertumbuhan penduduk wilayah lain.Kata kunci: ketergantungan spasial; pertumbuhan ekonomi regional; Spatial Durbin Model; spatial spillover

Kode Klasifikasi JEL: C31; R11

Pendahuluan

Ketergantungan spasial (spatial dependence) meru-pakan salah satu faktor penting yang perlu diper-timbangkan dalam menganalisa pertumbuhan eko-nomi suatu wilayah. Hal tersebut berdasarkan padapandangan bahwa suatu wilayah tidak dapat di-perlakukan sebagai unit yang berdiri sendiri, yang

∗Alamat Korespondensi: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupa-ten Tabalong, Kalimantan Selatan. Jln. Jaksa Agung SoepraptoNo.82, Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. E-mail: [email protected].

disebabkan oleh adanya interaksi sosial ekonomi an-tarwilayah di antaranya melalui perdagangan, alir-an modal, migrasi, difusi teknologi, dan pertukaraninformasi (Nijkamp dan Poot, 1998). Interaksi sosialekonomi antarwilayah itu akan memunculkan ke-tergantungan spasial pada pertumbuhan ekonomiyang disebut juga oleh Lesage (1999) sebagai terja-dinya spatial spillover. Tselios (2009) menambahkanbahwa ketergantungan spasial tersebut akan se-makin kuat pengaruhnya terhadap pertumbuhanekonomi wilayah-wilayah yang bertetanggaan, ka-rena interaksi sosial ekonomi antarwilayah yang

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 2: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Aspiansyah & Damayanti, A. 63

bertetanggaan tersebut relatif tidak ada hambatan.

Dengan demikian, suatu model yang menjelas-kan tentang pertumbuhan ekonomi suatu wilayahharus memasukkan aspek ketergantungan spasial.Adanya interaksi sosial ekonomi antarwilayah yangmengakibatkan terjadinya ketergantungan spasialperlu dipertimbangkan dalam model pertumbuhanekonomi untuk menghindari kemungkinan terja-dinya variable omitted bias (Goetzke dan Andrade,2010). Pengabaian terhadap peranan ketergantung-an spasial dalam model pertumbuhan ekonomiakan mengakibatkan estimasi parameter dari mo-del pertumbuhan ekonomi menjadi tidak efisienbahkan menjadi bias, sehingga mengakibatkan terja-dinya missleading dalam menganalisis pertumbuhanekonomi suatu wilayah (Anselin, 1988).

Meskipun aspek ketergantungan spasial sudahdipertimbangkan dalam penelitian pertumbuhanekonomi, namun kebanyakan berbagai penelitiantersebut hanya berlandaskan pada teknik ekonome-trika semata. Le Gallo dan Fingleton (2014) menya-takan bahwa adanya saling ketergantungan antar-wilayah membuat sebagian besar penelitian regio-nal menggunakan teknik ekonometrika spasial un-tuk menganalisis pertumbuhan ekonomi regional.Secara spesifik, Abreu et al. (2004) telah mengum-pulkan informasi lebih dari 50 penelitian tentangpertumbuhan ekonomi yang menggunakan tek-nik ekonometrika spasial yang 92% di antaranyamemasukkan peranan ketergantungan spasial. Na-mun, berbagai penelitian terkait dengan pengaruhketergantungan spasial terhadap pertumbuhan eko-nomi masih banyak yang belum berlandaskan teoriekonomi, sehingga mengakibatkan mis-spesifikasimodel yang digunakan (Behrens dan Thisse, 2007).

Model pertumbuhan neoklasik dapat dikem-bangkan menjadi model pertumbuhan ekonomiyang mempertimbangkan peranan ketergantunganspasial. Ertur dan Koch (2007) telah memulainyadengan mengembangkan model Solow. MenurutErtur dan Koch (2007), keterkaitan teknologi an-

tarwilayah merupakan fenomena yang tidak bisadiabaikan dalam mengkaji pertumbuhan ekono-mi, karena adanya spillover stok pengetahuan darisuatu wilayah ke wilayah lain. Dengan adanyaketerkaitan teknologi antarwilayah tersebut, yangmana teknologi tersebut melekat pada determinanpertumbuhan ekonomi suatu wilayah, maka me-nurut Ertur dan Koch (2007), model pertumbuhanekonomi harus memasukkan secara eksplisit ke-tergantungan spasial. Hampir sama dengan yangdilakukan oleh Ertur dan Koch (2007), Fischer (2011)mengembangkan model Mankiw Romer Weil (MRW)dengan memperhatikan adanya keterkaitan tekno-logi antarwilayah, dan menyebutnya sebagai modelMRW spasial. Kesimpulannya, pertumbuhan eko-nomi suatu wilayah tidak hanya dipengaruhi olehdeterminan di wilayah itu sendiri, tapi juga olehdeterminan dari wilayah lain serta pertumbuhanekonomi wilayah lain (Ertur dan Koch, 2007; Fischer,2011).

Beberapa penelitian pertumbuhan ekonomi diberbagai negara di dunia telah menggunakan lan-dasan model pertumbuhan neoklasik dengan mem-pertimbangkan peranan ketergantungan spasial.Dall’erba dan Llamosas-Rosas (2014) serta Alvarezdan Barbero (2016) menggunakan model MRW spa-sial untuk melakukan penelitian empiris terhadappengaruh ketergantungan spasial pada pertumbuh-an ekonomi regional masing-masing di AmerikaSerikat dan Spanyol. Sementara itu, Sun et al. (2017)menggunakan model pertumbuhan ekonomi yangdiinisiasi oleh Ertur dan Koch (2007) untuk mela-kukan penelitian pertumbuhan ekonomi regional diCina. Secara umum, penelitian-penelitian yang dila-kukan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhanekonomi wilayah lain serta determinan pertumbuh-an ekonomi dari wilayah lain berpengaruh terhadappertumbuhan ekonomi suatu wilayah, yang mem-buktikan bahwa ketergantungan spasial berperanpenting dalam pertumbuhan ekonomi suatu wila-yah.

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 3: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia...64

Adapun penelitian terpublikasi tentang penga-ruh ketergantungan spasial terhadap pertumbuhanekonomi regional Indonesia masih jarang dilaku-kan. Sepengetahuan penulis, penelitian terpublikasitentang pengaruh ketergantungan spasial terhadappertumbuhan ekonomi regional Indonesia hanya di-lakukan oleh Takeda (2013) dan Vidyattama (2014).Penelitian yang dilakukan oleh Takeda (2013) tidakmenemukan adanya ketergantungan spasial padapertumbuhan ekonomi regional Indonesia. Semen-tara penelitian yang dilakukan oleh Vidyattama(2014) menghasilkan kesimpulan bahwa pertum-buhan ekonomi wilayah lain berpengaruh negatifterhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah diIndonesia, yang menurut Vidyattama (2014) sendi-ri, hal tersebut mengindikasikan terjadi kekeliruanpada estimasi.

Terdapat gap yang akan penulis isi dari peneliti-an Takeda (2013) dan Vidyattama (2014) tersebut.Penelitian Takeda (2013) dan Vidyattama (2014)menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi hanyadipengaruhi oleh faktor-faktor (karakteristik) di wi-layah itu sendiri, pertumbuhan ekonomi wilayahlain, dan shock dari wilayah lain. Penelitian Takeda(2013) dan Vidyattama (2014) belum melihat secaraeksplisit pengaruh dari determinan pertumbuhanekonomi dari wilayah lain. Padahal sebagaimanaErtur dan Koch (2007), determinan pertumbuhanekonomi dari wilayah lain seperti pendapatan perkapita awal, investasi modal fisik, investasi modalmanusia, dan pertumbuhan penduduk dari wilayahlain, juga diduga berpengaruh terhadap pertum-buhan ekonomi suatu wilayah di Indonesia. Untukmengisi gap tersebut, penulis akan menggunakanlandasan teori pertumbuhan ekonomi MRW spasialyang dikembangkan oleh Fischer (2011), sehing-ga mengarahkan pada penggunaan model empirisyang tepat untuk melihat berbagai sumber keter-gantungan spasial pertumbuhan ekonomi suatuwilayah di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengonfirmasi

penelitian sebelumnya terkait dengan ketiadaanpengaruh ketergantungan spasial terhadap pertum-buhan ekonomi regional di Indonesia, maupunyang terkait dengan adanya pengaruh negatif daripertumbuhan ekonomi wilayah lain terhadap per-tumbuhan ekonomi suatu wilayah di Indonesia.Dalam mencapai tujuan tersebut, penulis menggu-nakan teknik analisis ekonometrika spasial denganmemilih model spasial Durbin untuk mengakomo-dasi model teoretis MRW spasial. Penulis meng-hasilkan temuan bahwa ternyata ketergantunganspasial pertumbuhan ekonomi terbukti terjadi diIndonesia, dengan pertumbuhan ekonomi wilayahlain, pendapatan per kapita awal wilayah lain, danpertumbuhan penduduk wilayah lain berpenga-ruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatuwilayah di Indonesia.

Tinjauan Literatur

Landasan teori yang penulis gunakan sebagai ke-rangka konseptual pada penelitian ini adalah mo-del MRW spasial (spatial MRW model) yang dikem-bangkan oleh Fischer (2011) dari model MRW stan-dar. Diasumsikan setiap wilayah memiliki fungsiproduksi berbentuk Cobb-Douglas. Sejumlah N wi-layah diasumsikan mempunyai fungsi produksiCobb-Douglas sepanjang T periode:

Yit = AitKαKit HαH

it L1−αK−αHit (1)

dengan Yit adalah output dari wilayah i saat peri-ode t, sementara Kit, Hit, dan Lit masing-masingmenyatakan level dari modal fisik, modal manusia,dan tenaga kerja untuk wilayah i saat periode t,sedangkan Ait merupakan level dari technologicalknowledge. Persamaan (1) tersebut dapat dirubah kedalam bentuk persamaan output per pekerja denganmembagi kedua sisi dengan Lit:

yit = AitkαKit hαH

it (2)

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 4: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Aspiansyah & Damayanti, A. 65

dengan yit, kit, dan hit masing-masing adalah outputper pekerja, modal fisik per pekerja, dan modalmanusia per pekerja.

Mengikuti Alvarez dan Barbero (2016), techno-logical knowledge merupakan fungsi dari seluruhstok pengetahuan, faktor produksi di wilayah itusendiri, dan faktor produksi dari wilayah lain yangdinyatakan dengan:

Ait = Ωkθithγit

N∏j=1

kθρwi j

jt hγρwi j

jt (3)

dengan Ω merefleksikan “the exogenous commonknowledge”, sementara θ dan γ merefleksikan para-meter teknologi dengan 0 < θ, γ < 1. Adapun wi j

adalah struktur konektivitas antarwilayah dan ρmenunjukkan interdependensi teknologi antarwila-yah dengan 0 < ρ < 1.

Dengan memasukkan Persamaan (3) ke (2) dida-pat:

yit = ΩkαK+θit hαH+γ

it

N∏j=1

kθρwi j

jt hγρwi j

jt (4)

Persamaan (4) menyatakan bahwa output perpekerja suatu wilayah tergantung dari faktor pro-duksi di wilayah itu sendiri dan faktor produksidari wilayah lain.

Model pertumbuhan ekonomi neoklasik menga-sumsikan bahwa tenaga kerja di wilayah i tumbuhsebesar ni. Sementara bagian dari pendapatan yangdiinvestasikan untuk modal fisik dan modal manu-

sia diasumsikan konstan masing-masing sebesar sKi

dan sHi dengan tingkat pertumbuhan investasi yang

eksogen, sedangkan modal diasumsikan terdepre-siasi pada tingkat yang sama sebesar δ. Perubahanmodal fisik per pekerja dan modal manusia perpekerja dinyatakan sebagai:

9kit = sKi yit − (ni + δ)kit (5)

9hit = sHi yit − (ni + δ)hit (6)

Saat steady state, modal fisik per pekerja dan mo-dal manusia per pekerja tumbuh pada tingkat kon-stan g:

9kit

kit= g (7)

9hit

hit= g (8)

Dengan mensubstitusi Persamaan (5) ke (7) danPersamaan (6) ke (8), didapatkan rasio kapital ter-hadap output:

k∗ity∗it

=sK

i

ni + g + δ(9)

h∗ity∗it

=sH

i

ni + g + δ(10)

dengan tanda (*) menunjukkan kondisi sa-at steady state. Persamaan (9) dan (10) di-masukkan ke dalam fungsi produksi perpekerja (Persamaan (4)), sehingga didapat:

y∗i = Ω1

1−η

sK

i

ni + g + δ

αK+θ1−η

sH

i

ni + g + δ

αH+γ1−η N∏

j=1

sK

j

n j + g + δy∗j

θρwij1−η

sH

j

n j + g + δy∗j

γρwij1−η

(11)

dengan η = αK + αH + θ + γ.

Persamaan (11) juga dapat ditulis menjadi:

y∗i = Ω1

1−η

sK

i

αK+θ sHi

αH+γ

(ni + g + δ)η

11−η N∏

j=1

sKj

θ sH

j

γ(n j + g + δ)θ+γ

(y∗j)θ+γ

ρwij1−η

(12)

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 5: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia...66

Persamaan (12) dibuat ke dalam bentuk ln:

ln y∗i =1

1 − ηln Ω +

αK + θ1 − η

ln sKi +

αH + γ

1 − ηln sH

i −η

1 − ηln(ni + g + δ) +

θ1 − η

ρN∑

j=1

wi j ln sKj

1 − ηρ

N∑j=1

Wi j ln sHj −

θ + γ

1 − ηρ

N∑j=1

wi j ln(n j + g + δ) +θ + γ

1 − ηρ

N∑j=1

wi j ln y∗j (13)

Sebagaimana karakteristik dari model pertum-buhan neoklasik konvensional, maka output perpekerja diprediksi akan konvergen menuju kondisisteady state. Jika y∗i adalah kondisi steady state dan yit

adalah nilai aktual output per pekerja pada tahun t,maka:

d ln yit

dt= −λ[ln yit − ln y∗i ] (14)

dengan λ adalah kecepatan konvergensi. Denganmenyelesaikan Persamaan (14) dan mengurangi

kedua sisi dengan output per pekerja pada awalperiode ln yit−T, maka didapat:

ln yit − ln yit−T

T= −

1 − e−λτ

Tln yit−T +

1 − e−λτ

Tln y∗i

(15)

Kemudian dengan mensubstitusi pro-duksi per pekerja saat steady state, makaPersamaan (15) dapat dituliskan menjadi:

ln yit − ln yit−T

T= −

(1 − e−λτ)T

ln yit−T +(1 − e−λτ)

T1

1 − ηln Ω +

(1 − e−λτ)T

αK + θ1 − η

ln sKi

+(1 − e−λτ)

TαH + γ

1 − ηln sH

i −(1 − e−λτ)

1 − ηln(ni + g + δ) +

(1 − e−λτ)T

θ + γ

1 − ηρ

N∑j=1

wi j ln y jt−T

+(1 − e−λτ)

1 − ηρ

N∑j=1

wi j ln sKj +

(1 − e−λτ)T

γ

1 − ηρ

N∑j=1

wi j ln sHj

−(1 − e−λτ)

Tθ + γ

1 − ηρ

N∑j=1

wi j ln(n j + g + δ) +θ + γ

1 − ηρ

N∑j=1

wi j ln yit − ln yit−TT (16)

Di dalam suatu perekonomian, keseluruhan jum-lah output yang diproduksi oleh suatu wilayah da-pat didekati dengan data Produk Domestik Regio-nal Bruto (PDRB) yang nilainya sama dengan ke-seluruhan jumlah pendapatan di wilayah tersebut(Mankiw, 2012). Dengan demikian, dari Persamaan(16) tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuh-an ekonomi suatu wilayah bukan saja dipengaruhioleh pendapatan per kapita awal, investasi modalfisik, investasi modal manusia, dan pertumbuhan

penduduk di wilayah itu sendiri, tapi juga dipenga-ruhi oleh pendapatan per kapita awal dari wilayahlain, investasi modal fisik dan modal manusia dariwilayah lain, pertumbuhan penduduk dari wilayahlain, serta pertumbuhan ekonomi dari wilayah lain.

Analisis konvergensi pertumbuhan ekonomi me-rupakan implikasi dari analisis pertumbuhan eko-nomi neoklasik, tidak terkecuali untuk analisis per-tumbuhan ekonomi neoklasik yang melibatkanaspek ketergantungan spasial. Arbia et al. (2008)

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 6: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Aspiansyah & Damayanti, A. 67

menyatakan bahwa penelitian yang memasukkanautokorelasi spasial pada model konvergensi diini-siasi oleh Lopez-Bazo et al. (2004), Vaya et al. (2004),dan Ertur dan Koch (2007). Pada Persamaan (16)tersebut juga dapat diketahui seberapa besar lajukonvergensi yang terjadi. Jika dimisalkan β = 1−e−λτ

T ,maka laju konvergensi (λ) adalah sebesar − ln(1+τβ)

T .Laju konvergensi (λ) menunjukkan seberapa cepatoutput per kapita suatu perekonomian mendekatinilai steady state, dan berimplikasi pada situasi dimana wilayah yang miskin akan mengalami per-tumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding-kan wilayah yang kaya (Barro dan Sala-I-Martin,1992). Lebih lanjut, Barro dan Sala-I-Martin (2004)menunjukkan the half-life of convergence yaitu jum-lah waktu yang dibutuhkan dengan ln yit sudahmencapai setengah perjalanan antara ln yit−T danln y∗i yang memenuhi kondisi e−λτ = 1/2, sehinggaτ∗ = ln 2

λ = 0,69λ .

Untuk melihat peranan ketergantungan spasialterhadap pertumbuhan ekonomi, berbagai peneli-tian empiris memerlukan penggunaan teknik eko-nometrika spasial. Dengan menggunakan teknikekonometrika spasial, pengaruh interaksi suatu wi-layah dengan wilayah yang lain dapat ditangkap(Abreu et al., 2004). Menurut Lesage dan Fischer(2008), paling tidak ada tiga hal yang perlu diperha-tikan dalam melakukan penelitian empiris pertum-buhan ekonomi yang melibatkan aspek ketergan-tungan spasial, yaitu (a) pemilihan variabel-variabelpenjelas, (b) pemilihan struktur konektivitas spasial,dan (c) pemilihan model regresi.

Pemilihan variabel-variabel penjelas dalam mo-del pertumbuhan ekonomi secara umum berpe-gang pada hasil penelitian Mankiw et al. (1992)yang menyimpulkan bahwa determinan pertum-buhan ekonomi adalah modal fisik, modal manusia,penduduk, dan teknologi. Determinan tersebut dija-dikan sebagai variabel kontrol oleh Ertur dan Koch(2007) dan Fischer (2011,2016) dalam meneliti penga-ruh ketergantungan spasial terhadap pertumbuhan

ekonomi. Selain dari alasan teoritis, pembatasan de-terminan pertumbuhan ekonomi tersebut bertujuanuntuk mengurangi dispersi dari koefisien-koefisienyang diestimasi (Lesage dan Fischer, 2008).

Sementara struktur konektivitas spasial yang di-gunakan dalam model pertumbuhan ekonomi spa-sial tergambarkan dari spatial weight matrix, yaitumatriks yang berdimensi sebanyak jumlah wilayahyang menjadi objek penelitian yang setiap elemen-nya menunjukkan konektivitas suatu wilayah. Seca-ra umum, ada dua pendekatan yang sering diguna-kan dalam menggambarkan konektivitas wilayah,yaitu jarak dan contiguity. Asumsi yang mendasaripenggunaan data jarak sebagai dasar menentukankonektivitas wilayah adalah semakin dekat jarakantarwilayah, maka semakin kuat interaksi eko-nominya, sebagaimana pernyataan Tobler (1970):“everything depends on everything else, but near thingsare more related than distant things”. Penelitian yangmenggunakan data jarak sebagai dasar menentukankonektivitas antarwilayah dalam meneliti pengaruhketergantungan spasial pada pertumbuhan ekono-mi di antaranya dilakukan oleh Fingleton (1999).Ertur dan Koch (2007) menyatakan bahwa struk-tur konektivitas wilayah itu harus bersifat eksogen,sehingga Ertur dan Koch menggunakan data jaraksebagai dasar menggambarkan struktur konektivi-tas wilayah. Adapun contiguity menyatakan bahwakonektivitas terjadi pada wilayah-wilayah yang ber-singgungan batas wilayahnya. Asumsi penggunaancontiguity sebagai dasar menentukan konektivitaswilayah adalah interaksi ekonomi antara wilayahyang bersinggungan lebih kuat daripada wilayahyang tidak bersinggungan (Sun et al., 2017). Peneli-tian yang menggunakan dasar contiguity untuk me-nyatakan konektivitas antarwilayah dalam menelitipengaruh ketergantungan spasial pada pertumbuh-an ekonomi di antaranya dilakukan oleh Rey danMontouri (1999), Lopez-Bazo et al. (2004), Vaya et al.(2004), dan Fischer (2016).

Kekuatan pengaruh ketergantungan spasial di-

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 7: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia...68

gambarkan oleh besarnya parameter interaksi spasi-al yang dihasilkan oleh model regresi yang diguna-kan di antaranya: spatial lag model, spatial error model,dan spatial cross regressive. Spatial lag model dalamanalisa pertumbuhan ekonomi menggambarkanbahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah selaindipengaruhi oleh karakteristik wilayah itu sendi-ri juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomiwilayah lain. Spatial error model menggambarkanbahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah selaindipengaruhi oleh karakteristik wilayah itu sendirijuga dipengaruhi oleh random shock yang terjadi dariwilayah lain. Spatial cross regresive menggambarkanbahwa pertumbuhan ekonomi selain dipengaruhioleh karakteristik wilayah itu sendiri juga dipenga-ruhi oleh karakteristik wilayah lain. Namun selainketiga model di atas, terdapat model umum yaituspatial durbin model yang memenuhi model teoretispada Persamaan (16), yang menggambarkan bahwapertumbuhan ekonomi suatu wilayah dipengaruhioleh karakteristik wilayah itu sendiri, pertumbuhanekonomi wilayah lain, dan karakteristik wilayahlain. Rey dan Montouri (1999) menggunakan spatiallag model, spatial error model, dan spatial cross regresivedalam meneliti pengaruh ketergantungan spasialpada pertumbuhan ekonomi. Sementara Ertur danKoch (2007) menggunakan spatial durbin model da-lam meneliti pengaruh ketergantungan spasial padapertumbuhan ekonomi.

Ertur dan Koch (2007) yang menginisiasi spatially-extended neoclassical Solow growth model pertamakali melakukan pengujian empiris dengan meng-gunakan sampel 91 negara di dunia selama periode1960–1995. Ertur dan Koch (2007) menggunakanteknik ekonometrika spasial dengan menerapkanspatial durbin model dan menggunakan spatial wei-ght matrix berdasarkan jarak antarnegara. Berdasar-kan hasil pengujian empirisnya, Ertur dan Koch(2007) menunjukkan bahwa ketergantungan spa-sial antarnegara berperan terhadap pertumbuhanekonomi suatu negara, bahwa kebertetanggaan de-

ngan negara-negara yang kaya akan meningkatkanpertumbuhan ekonomi, peningkatan investasi yangdilakukan oleh negara-negara lain berdampak ne-gatif pada pertumbuhan ekonomi suatu negara, pe-ningkatan pertumbuhan penduduk negara-negaralain berdampak positif pada pertumbuhan ekonomisuatu negara, dan pertumbuhan ekonomi negara-negara lain berdampak positif pada pertumbuhanekonomi suatu negara. Pada pengujian empirisnya,Ertur dan Koch (2007) juga menunjukkan bahwadengan mengontrol ketergantungan spasial antar-negara ke dalam model, konvergensi pertumbuhanekonomi diprediksi akan terjadi dengan kecepatankonvergensi berkisar antara 1,5% sampai dengan1,7% per tahun.

Sun et al. (2017) menggunakan spatially-extendedneoclassical Solow growth model yang diinisiasi olehErtur dan Koch (2007) untuk mengkaji pertumbuh-an ekonomi di Cina dalam periode 1992 sampai2010. Sebagaimana Ertur dan Koch (2007) yangmenggunakan variabel pendapatan per kapita awal,investasi modal fisik, dan pertumbuhan penduduksebagai variabel independen, Sun et al. (2017) jugamenggunakan variabel tersebut serta mengguna-kan spatial weight matrix berdasarkan contiguity dandistance. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwaspatial spillover terjadi bukan hanya dari pertum-buhan ekonomi wilayah lain, tapi juga terjadi daripendapatan per kapita awal wilayah lain. MenurutSun et al. (2017), spatial durbin model yang berbasispada spatially-extended neoclassic growth model theorydapat menjelaskan dengan baik mekanisme penga-ruh spatial spillover terhadap pertumbuhan ekonomiregional di Cina.

Sebagaimana model pertumbuhan Solow yangdikembangkan menjadi model MRW, spatially-extended neoclassical Solow growth model juga dapatdikembangkan lagi. Fischer (2011) mengembang-kan model spatially-extended neoclassical Solow growthmodel yang diinisiasi oleh Ertur dan Koch (2007)dengan menambahkan variabel human capital dan

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 8: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Aspiansyah & Damayanti, A. 69

secara eksplisit menyebutnya sebagai model MRWspasial. Namun demikian, Fischer (2011) belummelakukan pengujian secara empiris model MRWspasial tersebut pada pertumbuhan ekonomi dankonvergensi. Fischer (2011) hanya menerapkan se-cara empiris model MRW spasial untuk melihatperanan ketergantungan spasial pada level penda-patan per kapita pada sampel 198 wilayah di 22negara-negara Eropa selama periode 1995 sampai2004. Hasil pengujian empirisnya menunjukkanbahwa output per kapita dari daerah lain, investasimodal fisik dari daerah lain, investasi modal manu-sia dari daerah lain, serta pertumbuhan pendudukdari daerah lain berpengaruh terhadap pendapatanper kapita suatu daerah.

Alvarez dan Barbero (2016) menggunakan mo-del MRW spasial untuk melihat peranan ketergan-tungan spasial terhadap pertumbuhan ekonomidan konvergensi pertumbuhan ekonomi regionaldi Spanyol. Alvarez dan Barbero (2016) menggu-nakan data 47 provinsi di Spanyol dari tahun 1980sampai 2011 dengan spatial panel durbin model danspatial weight matrix berdasarkan contiguity. Hasilpenelitiannya menunjukkan bahwa pertumbuhanekonomi wilayah lain dan determinan pertumbuh-an ekonomi dari wilayah lain seperti pendapatanper kapita awal, investasi modal fisik, investasimodal manusia, dan pertumbuhan penduduk ber-pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatuwilayah di Spanyol. Penelitian empiris yang dila-kukan oleh Alvarez dan Barbero (2016) juga me-nunjukkan bahwa ketika ketergantungan spasialdikontrol, konvergensi pertumbuhan ekonomi re-gional di Spanyol diprediksi akan terjadi dengankecepatan sekitar 4% per tahun.

Adapun penelitian terpublikasi yang mengkajiketergantungan spasial pada pertumbuhan ekono-mi regional Indonesia, sepengetahuan penulis ha-nya dilakukan oleh Takeda (2013) dan Vidyattama(2014) dengan kesimpulan bahwa ketergantung-an spasial tidak berpengaruh pada pertumbuhan

ekonomi regional Indonesia. Takeda (2013) meng-gunakan model spatial autocorrelation (yang manapertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukanoleh karakteristik wilayah itu sendiri, pertumbuhanekonomi wilayah lain, dan random shock dari wila-yah lain) dengan spatial weight matrix berdasarkanjarak antarprovinsi. Variabel kontrol yang diguna-kan adalah rata-rata lama sekolah untuk pendudukyang berumur 15 tahun ke atas dan rasio dari popu-lasi penduduk perkotaan. Berdasarkan spesifikasitersebut dan dengan menggunakan data 26 pro-vinsi dari tahun 1990 sampai 2010, Takeda (2013)menyimpulkan bahwa ketergantungan spasial ti-dak memengaruhi pertumbuhan ekonomi regionalIndonesia.

Sementara itu, Vidyattama (2014) menggunakanspatial lag model (menganggap spatial spillover terjadibersumber dari variabel lag dependent) dan spati-al error model (menganggap spatial spillover terjadimelalui variabel error) dengan spatial weight matrixberdasarkan jarak, biaya transportasi, dan migra-si. Data yang digunakan oleh Vidyattama (2014)adalah data 26 provinsi tahun 1985–2005 ditambahdengan variabel kontrol yaitu pendapatan per ka-pita awal, investasi fisik, populasi, rata-rata lamasekolah dari penduduk usia 10 tahun ke atas, pan-jang jalan per populasi, rasio ekspor dan importerhadap PDRB, rasio total deposit dan kredit bankkomersial terhadap PDRB, rasio nilai tambah sektorpertanian terhadap PDRB, rasio nilai tambah sektorindustri terhadap PDRB, dan rasio nilai tambahsektor jasa terhadap PDRB. Berdasarkan spesifikasitersebut, pengaruh ketergantungan spasial hanyaterkonfirmasi pada spatial lag model berdasarkanjarak 1.000 km, namun dengan koefisien yang ber-nilai negatif yang mengindikasikan terjadi masalahpada estimasi, dan selebihnya dapat disimpulkanbahwa ketergantungan spasial tidak memengaruhipertumbuhan ekonomi regional Indonesia.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan olehTakeda (2013) dan Vidyattama (2014), penulis meng-

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 9: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia...70

gunakan landasan teori MRW spasial dalam pene-litian ini seperti yang telah diinisiasi oleh Fischer(2011). Menurut Fischer (2011), pengujian empirisMRW spasial harus dilakukan dengan mengguna-kan spatial durbin model. Hal ini senada dengan yangdiklaim oleh Sun et al. (2017) bahwa kebanyakanpenelitian empiris yang dilakukan terhadap per-tumbuhan ekonomi di Cina dengan menggunakanteknik ekonometrika spasial tidak berdasarkan pa-da formulasi teori ekonomi yang tepat. Namundemikian, penelitian yang dilakukan oleh Sun etal. (2017) tersebut belum memasukkan perananmodal manusia terhadap pertumbuhan ekonomi.Padahal sebagaimana yang dijelaskan oleh Mankiwet al. (1992), jika peranan modal manusia diabai-kan, maka akan mengarahkan kepada kesimpulan

yang kurang tepat. Oleh sebab itu, penulis memi-lih MRW spasial sebagai landasan teori penelitianini, yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan eko-nomi suatu wilayah dipengaruhi oleh determinandari wilayah itu sendiri, determinan wilayah lain,dan pertumbuhan ekonomi wilayah lain, sehinggamengarahkan kepada penggunaan spatial durbin mo-del untuk melihat peranan ketergantungan spasialdalam model pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Metode

Model ekonomi pada Persamaan (16) dapat ditrans-formasi ke dalam model ekonometrika, sehinggamenjadi bentuk spatial durbin model sebagai berikut:

[ln yit − ln yit−T]T

= β0 + β1 ln yit−T + β2 ln sKit + β3 ln sH

it + β4 ln(nit + g + δ) + ρ1

N∑j=1

wi j ln y jt−T + ρ2

N∑j=1

wi j ln sKjt

+ρ3

N∑j=1

wi j ln sHjt + ρ4

N∑j=1

wi j ln(n jt + g + δ) + ρ5

N∑j=1

wi j[ln y jt − ln y jt−T]

T+ εit (17)

dengan:β0 =

(1−e−λτ)T

11−η lnω;

β1 = −(1−e−λτ)

T ;β2 =

(1−e−λτ)T

αK+θ1−η ;

β3 =(1−e−λτ)

TαH+γ1−η ;

β4 = −(1−e−λτ)

1−η ;

ρ1 =(1−e−λτ)

Tθ+γ1−η ρ;

ρ2 =(1−e−λτ)

1−ηρ;

ρ3 =(1−e−λτ)

1−ηρ;

ρ4 = −(1−e−λτ)

Tθ+γ1−η ρ;

ρ5 =θ+γ1−η ρ.

yit adalah pendapatan per kapita wilayah i padasaat t atau akhir setiap periode; yit−T adalah penda-patan per kapita wilayah i pada saat kondisi awalsetiap periode; T adalah jumlah interval years; y jt

adalah pendapatan per kapita wilayah lain pada

saat akhir periode t; y jt−T adalah pendapatan perkapita wilayah lain pada awal periode (t − T); sK

it

adalah investasi modal fisik wilayah sendiri; sHit

adalah investasi modal manusia wilayah sendiri; nit

adalah pertumbuhan penduduk wilayah sendiri; sKjt

adalah investasi modal fisik wilayah lain; sHjt adalah

investasi modal manusia wilayah lain; n jt adalahpertumbuhan penduduk wilayah lain; g + δ adalahpertumbuhan teknologi dan depresiasi; wi j adalahelemen spatial weight matrix yang menunjukkanstruktur konektivitas spasial; β0 adalah intersep; β1

adalah koefisien dari pendapatan per kapita awalwilayah i; β2 adalah koefisien dari investasi modalfisik wilayah i; β3 adalah koefisien dari investasimodal manusia wilayah i; β4 adalah koefisien daripertumbuhan penduduk, teknologi, dan depresiasiwilayah i; ρ1 adalah koefisien dari pendapatan per

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 10: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Aspiansyah & Damayanti, A. 71

kapita wilayah lain pada saat kondisi awal peneli-tian; ρ2 adalah koefisien dari investasi modal fisikwilayah lain; ρ3 adalah koefisien dari investasi mo-dal manusia wilayah lain; ρ4 adalah koefisien daripertumbuhan penduduk, teknologi dan depresiasiwilayah lain; ρ5 adalah koefisien dari pertumbuhanekonomi wilayah lain; dan εit adalah random shock.

Variabel yang terdapat pada Persamaan (17) ter-sebut didefinisikan secara operasional sebagai beri-kut:

• yit adalah variabel yang mewakili pendapat-an per kapita wilayah i pada saat t atau akhirsetiap periode. Pendapatan per kapita diprok-si menggunakan data PDRB atas dasar har-ga konstan dibagi dengan jumlah penduduk.Menurut Mankiw (2012), di dalam suatu per-ekonomian, keseluruhan jumlah output yangdiproduksi oleh suatu wilayah dapat didekatidengan data PDRB yang nilainya sama dengankeseluruhan jumlah pendapatan di wilayahtersebut.

• yit−T adalah variabel yang mewakili pendapat-an per kapita awal wilayah i yang diproksimenggunakan data PDRB atas dasar hargakonstan dibagi dengan jumlah penduduk padaawal periode.

• sKit adalah variabel yang mewakili tingkat in-

vestasi modal fisik wilayah i yang diproksimenggunakan data rasio Pembentukan Mo-dal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) terhadapPDRB sebagaimana Mankiw et al. (1992) danIslam (1995). Menurut Solow (1956), tabunganmerupakan sumber dari investasi yang menun-jukkan besaran akumulasi kapital. Semakintinggi tingkat tabungan, maka semakin besarakumulasi kapital. Besaran akumulasi kapitaltersebut digambarkan oleh PMTDB (gross capi-tal formation) yang merupakan fraksi dari totaloutput dan diukur dalam periode tahunan.

• sHit adalah variabel yang mewakili investasi

modal manusia wilayah i yang diproksi meng-

gunakan data tingkat partisipasi sekolah. Seba-gaimana penelitian Mankiw et al. (1992) yangmenggunakan data tingkat partisipasi seko-lah untuk mendapatkan rasio jumlah pendu-duk yang sedang bersekolah di secondary scho-ol sebagai proksi untuk mengukur investasimodal manusia sH

it , penulis akan mengguna-kan data rasio jumlah penduduk yang sedangsekolah SMA/sederajat. Tingkat pendidikanSMA/sederajat penulis anggap relatif sama de-ngan tingkat secondary school yang digunakanMankiw et al. (1992). Di samping itu, adanyawajib belajar sembilan tahun di Indonesia mem-buat tingkat pendidikan mulai SMA/sederajatlebih bervariasi yang menunjukkan perbeda-an investasi antarprovinsi. Menurut Benhabibdan Spiegel (1994), enrollment ratio tersebutmerepresentasikan investasi pada modal ma-nusia. Konsep bahwa investasi modal manu-sia penting bagi proses produksi pertama kalidiperkenalkan oleh Schultz (1961) yang me-nyatakan bahwa pengetahuan dan keahlianmerupakan modal bagi proses produksi yangnantinya tambahan ilmu dan keahlian dapatmengubah cara berproduksi, sehingga akanmeningkatkan output.

• nit adalah variabel yang mewakili pertumbuh-an populasi wilayah i. Penulis menggunakandata jumlah penduduk untuk memperoleh ang-ka pertumbuhan populasi sebagaimana yangdigunakan oleh Islam (1995).

• g + δ adalah variabel yang mewakili tingkatpertumbuhan teknologi dan tingkat depresiasikapital yang diasumsikan bernilai konstan dansama untuk seluruh wilayah yaitu sebesar 0,05sebagaimana Mankiw et al. (1992) dan Islam(1995).

Penelitian ini menggunakan metode analisis pa-nel spasial. Penulis menggunakan analisis data pa-nel karena menurut Baltagi (2005) analisis datapanel memiliki beberapa kelebihan yaitu (a) dapat

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 11: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia...72

mengontrol heterogenitas individu, (b) memberi-kan informasi yang lebih lengkap dengan derajatbebas yang lebih besar, dan (c) lebih handal da-lam mengidentifikasi efek individu dan efek waktuyang tidak dapat dilakukan oleh analisis time seriesdan cross section. Dengan demikian, model panelspasial mempunyai kelebihan karena dapat meng-ontrol heterogenitas individu dan spatial dependencesecara bersamaan (Arbia et al., 2005).

Analisis pertumbuhan ekonomi bersifat jangkapanjang, sehingga menurut Islam (1995), minimalpanjang data yang dibutuhkan adalah 25 tahun.Berdasarkan model empiris pada Persamaan (17),data yang digunakan dalam penelitian ini adalahdata seluruh provinsi di Indonesia dari tahun 1990sampai 2015 yang bersumber dari BPS, yakni (a)PDRB atas dasar harga konstan; (b) PembentukanModal Tetap Domestik Bruto (PMTDB); (c) Jum-lah penduduk; (d) Jumlah penduduk yang sedangsekolah SMA/sederajat. Selain itu, penulis meng-gunakan peta Indonesia untuk membentuk spatialweight matrix berdasarkan contiguity dan distance.

Jumlah provinsi di Indonesia tahun 2015 seba-nyak 34 provinsi, sementara pada 1990 sebanyak 26provinsi (setelah dikurangi dengan Provinsi TimorTimur). Dengan demikian, sejak 1990 ada sebanyak7 provinsi baru yang terbentuk sampai tahun 2015.Dalam analisis penelitian ini, sebanyak 7 provin-si tambahan tersebut akan digabungkan datanyadengan provinsi induknya sesuai dengan kondisitahun 1990 untuk menjaga konsistensi dan keter-bandingan data.

Mengikuti Islam (1995) yang melakukan analisispertumbuhan ekonomi dengan mengelompokkandata menjadi periode 5 tahunan untuk memper-halus pengaruh dari siklus jangka pendek dalamperekonomian, maka penulis juga akan mengelom-pokkan data tahunan setiap provinsi menjadi data5 tahunan. Menurut Barro (1991), model pertum-buhan ekonomi tidak dirancang untuk fluktuasibisnis jangka pendek (short run business fluctuation)

tetapi untuk jangka panjang. Periode lima tahunanmerupakan interval yang umum dipakai dalampenelitian empiris pertumbuhan, misalnya dalamIslam (1995), Easterly dan Levine (1998), Kruegerdan Lindahl (2001), dan Barro (2003). Dengan de-mikian, periode dalam penelitian ini terdiri dari 5kelompok yaitu 1990–1995, 1995–2000, 2000–2005,2005–2010, dan 2010–2015.

Untuk menunjukkan ada atau tidaknya penga-ruh ketergantungan spasial pada model pertum-buhan ekonomi regional Indonesia, penulis akanmenunjukkan terlebih dahulu hasil regresi modelpertumbuhan ekonomi tanpa aspek ketergantung-an spasial. Kemudian model tersebut akan penulisbandingkan dengan model pertumbuhan ekonomiregional Indonesia yang melibatkan aspek keter-gantungan spasial. Dari kedua model tersebut akandilihat dampak dari masing-masing determinan ter-hadap pertumbuhan ekonomi regional Indonesiadan implikasinya.

Model regresi spasial tidak bisa terlepas daripenggunaan matriks penimbang spasial (spatial we-ight matrix) di dalamnya. Spatial weight matrix padadasarnya merupakan matriks yang menggambar-kan kedekatan hubungan antarwilayah. Untuk ob-servasi sebanyak N, ukuran matriks W adalah NxNdengan elemen diagonalnya bernilai 0 dan elemenlainnya wi j yang merepresentasikan intensitas efekantara dua daerah i dan j (Anselin dan Bera, 1998).Terdapat berbagai jenis spatial weight matrix yangdapat digunakan di dalam model regresi spasial diantaranya spatial weight matrix berdasarkan contigu-ity, spatial weight matrix berdasarkan jarak (distance),spatial weight matrix berdasarkan biaya transporta-si, spatial weight matrix berdasarkan arus migrasi,dan sebagainya (Lesage dan Fischer, 2008). Namundemikian, penelitian ini membatasi penggunaanspatial weight matrix hanya berdasarkan contiguitydan distance dengan alasan bahwa spatial weightmatrix yang digunakan untuk menganalisis per-tumbuhan ekonomi harus bersifat eksogen yang

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 12: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Aspiansyah & Damayanti, A. 73

tidak bervariasi antarwaktu atau harus bersifat timeinvariant (Ertur dan Koch, 2007).

Spatial weight matrix berdasarkan contiguity me-rupakan matriks pembobot spasial berdasarkanpersinggungan batas wilayah (contiguity). Matriksini menggambarkan bahwa interaksi spasial terjadiantarwilayah yang bertetangga yaitu yang memi-liki persentuhan batas wilayah (common boundary).Anselin (1988) menyatakan persinggungan antarwi-layah yang berdekatan digambarkan dengan kodebiner dalam matriks untuk menyatakan hubunganketerkaitan antar-unit spasial. Jika berbatasan lang-sung diberi nilai 1 dan 0 untuk lainnya. MenurutLesage (1999), terdapat berbagai tipe interaksi darimatriks contiguity yaitu:

• Linear contiguity (persinggungan tepi), spatialweight matrix ini mendefinisikan kode 1 untuksuatu wilayah yang berada di tepi (edge) kirimaupun kanan wilayah tetangga, dan kode 0untuk wilayah lainnya.

• Rook contiguity (persinggungan sisi), spatial we-ight matrix ini mendefinisikan kode 1 untuksuatu wilayah yang bersisian (common side)dengan wilayah tetangga dan kode 0 untukwilayah lainnya.• Bishop contiguity (persinggungan sudut), spatial

weight matrix ini mendefinisikan kode 1 untukdaerah yang titik sudutnya (common vertex)bertemu dengan sudut wilayah tetangganyadan kode 0 untuk wilayah lainnya.

• Queen contiguity (persinggungan sisi sudut),spatial weight matrix ini mendefinisikan kode 1untuk wilayah yang bersisian atau titik sudut-nya bertemu dengan wilayah tetangganya dankode 0 untuk wilayah lainnya.

Dalam penelitian ini, tipe contiguity yang akanpenulis pilih adalah queen contiguity karena lebihmasuk akal dalam menjelaskan interaksi spasialantarwilayah dalam konteks pertumbuhan ekono-mi, sebagaimana yang digunakan oleh berbagaipenelitian pertumbuhan ekonomi yang melibatkan

aspek ketergantungan spasial di antaranya olehErtur dan Koch (2007), Alvarez dan Barbero (2016),dan Sun et al. (2017). Spatial weight matrix akandinormalisasikan, sehingga setiap barisnya akanberjumlah 1 (row-normalized). Elemen pada spatialweight matrix tipe contiguity yang penulis gunakandalam penelitian ini akan bernilai 0 ketika suatuwilayah berbatasan dengan laut.

Sementara itu, spatial weight matrix berdasarkanjarak (distance) merupakan matriks yang mendefi-nisikan interaksi kebertetanggaan ditentukan olehjarak antar-dua wilayah. Hal ini sesuai denganhukum gravitasi bahwa pendekatan jarak menga-sumsikan semakin dekat jarak antar-observasi, akanmemiliki hubungan yang lebih kuat dan sebaliknya,semakin jauh jarak antar-dua wilayah, maka sema-kin lemah interaksinya (Arbia et al., 2005). Spatialweight matrix berdasarkan jarak (distance) ini dapatmenggunakan penghitungan di antaranya:

• inverse distance matrix, yaitu: wi j = 1di j

dengandi j adalah jarak antara titik tengah (centroid)suatu wilayah i dengan j.

• k-nearest neighbors, metode ini menentukan se-banyak n wilayah di sekitar suatu wilayahyang terdekat dengan wilayah tetangga. Ma-triks wi j(k) didefinisikan sebagai elemen darimatriks W dalam baris i dan kolom j, yaitu:

Wi j(k) =w∗i j(k)∑j w∗i j(k) dengan:

w∗i j(k) = 0 jika i = j dan jika di j ≥ di(k) w∗i j(k) = 1 jika di j ≤ di(k)

dengan di j adalah jarak antara titik tengah (cen-troid) antara wilayah i dengan j. Peneliti dapatmenentukan sendiri k lokasi j yang merupakanlokasi di sekitar i. Lokasi j dihitung sebagai klokasi yang terdekat dari lokasi i.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakanspatial weight matrix bertipe inverse distance matrix se-bagaimana yang dilakukan di antaranya oleh Erturdan Koch (2007), Alvarez dan Barbero (2016), Sunet al. (2017), atau Vidyattama (2014) untuk kasuspenelitian pertumbuhan ekonomi regional Indone-

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 13: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia...74

sia. Spatial weight matrix tersebut akan dinormalisa-sikan, sehingga setiap barisnya akan berjumlah 1(row-normalized).

Penulis menggunakan teknik estimasi data pa-nel dengan metode Maximum Likelihood Estimation(MLE). MLE lebih dipilih daripada InstrumentalVariable/Generalized Method of Moments (IV/GMM)karena metode IV/GMM memasukkan spatially lag-ged independent variable yang tidak diizinkan untukmenguji pengaruh spatial spillovers (Ramos et al.,2010). Dengan demikian untuk keterbandingan an-tara model spasial dan non-spasial, model randomeffect dipilih untuk dianalisis. Model random effectberbeda dengan common effect dan fixed effect, kare-na model ini tidak menggunakan prinsip OrdinaryLeast Square (OLS), melainkan menggunakan prin-sip MLE atau General Least Square (GLS). Selain itu,pemilihan model random effect didasarkan pada ke-mampuannya dalam menggeneralisir kesimpulan(Bell dan Jones, 2015). Sebagaimana Baltagi (2005)yang menyatakan bahwa model random effect meng-asumsikan error term tidak berkorelasi dengan vari-abel independen, sehingga memungkinkan untuktime-invariant variables berperan sebagai variabelpenjelas, maka variabel seperti contiguity dan dis-tance yang lazim digunakan dalam analisis spasialdapat digunakan dalam model random effect.

Hasil dan Analisis

Hasil estimasi dalam penelitian ini menunjukkanbahwa pengaruh determinan pertumbuhan ekono-mi yang berasal dari wilayah itu sendiri yaitu pen-dapatan per kapita awal, investasi fisik, investasimanusia, dan pertumbuhan penduduk menunjuk-kan arah yang sesuai ekspektasi. Determinan per-tumbuhan ekonomi yang berasal dari wilayah sen-diri tersebut merupakan determinan yang menjadipenelitian pertumbuhan ekonomi berbagai negaradi dunia di antaranya oleh Mankiw et al. (1992),Islam (1995), dan Caselli et al. (1996) yang meng-

hasilkan estimasi dengan arah yang sama sepertidalam penelitian ini. Secara teori sebagaimana Man-kiw et al. (1992) yang juga dibuktikan secara empirisdalam penelitian ini, determinan dari wilayah itusendiri yang berpengaruh positif terhadap pertum-buhan ekonomi adalah investasi fisik dan investasimanusia, sementara yang berpengaruh negatif ada-lah pendapatan per kapita awal dan pertumbuhanpenduduk.

Model pertumbuhan ekonomi regional Indonesiayang mempertimbangkan aspek ketergantunganspasial menghasilkan estimasi yang lebih baik dari-pada model pertumbuhan ekonomi konvensional(model non-spasial). Hal ini ditunjukkan dari hasiluji Likelihood-Ratio yang menunjukkan penolakanH0 dengan H0: Model Non-Spasial, baik untuk mo-del spasial yang menggunakan spatial weight matrixberdasarkan contiguity maupun pada model spasialyang menggunakan spatial weight matrix berdasar-kan jarak. Hal tersebut menunjukkan bahwa aspekketergantungan spasial berperan penting dalammenjelaskan pertumbuhan ekonomi regional Indo-nesia. Sebagaimana Fischer (2011, 2016) dan Sun etal. (2017) yang menggunakan metode MLE untukmengestimasi model pertumbuhan ekonomi spasi-al, penelitian ini juga menggunakan metode MLEdan menghasilkan nilai log-likehood yang lebih besarserta nilai Akaike Information Criterion (AIC) yanglebih kecil daripada model pertumbuhan ekonomikonvensional. MLE adalah metode estimasi para-meter yang memaksimumkan fungsi likelihood yangjuga akan memaksimumkan fungsi log-likelihood,sehingga model yang paling baik adalah modelyang menghasilkan log-likehood yang paling besar(Burnham dan Anderson, 2002; Greene, 2003), se-dangkan AIC adalah ukuran yang menunjukkankualitas suatu model secara relatif dibandingkandengan model yang lain, bahwa semakin kecil nilaiAIC suatu model akan semakin baik dibandingkanmodel lainnya (Burnham dan Anderson, 2002).

Adapun hasil estimasi model pertumbuhan eko-

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 14: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Aspiansyah & Damayanti, A. 75

Tabel 1: Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional Indonesia Tahun 1990–2015

[ln yit−ln yit−T ]T

Standard MRW Model MRW Spatial Model withContiguity Spatial Weight Matrix Distance Spatial Weight Matrix

(1) (2) (3) (4)Konstanta 0,3522*** 0,2724*** 0,2606**

(0,105) (0,105) (0,106)ln yit−T -0,0183*** -0,0172*** -0,0169***

(0,004) (0,003) (0,003)ln sK

it 0,0084 0,005 0,0064*(0,005) (0,004) (0,004)

ln sHit 0,0263*** 0,0178*** 0,0155**

(0,009) (0,007) (0,007)ln(nit + g + δ) -0,0307* -0,0397** -0,0388*

(0,018) (0,019) (0,022)W ln yt−T 0,0057*** 0,0070**

(0,002) (0,003)W ln sK

t 0,0011 -0,004(0,005) (0,006)

W ln sHt -0,0027 -0,0017

(0,010) (0,012W ln(nt + g + δ) 0,0421*** 0,0505**

(0,015) (0,023)W [ln yt−ln yt−T ]

T 0,4818*** 0,4942***(0,061) (0,076)

speed of convergence (λ) 0,0192 0,0179 0,0176the half-life of convergence 36 38 39N 130 130 130Log-Likelihood 316 331 330AIC -618 -639 -637

Sumber: Hasil Pengolahan PenulisKeterangan: * signifikan pada taraf 10%

** signifikan pada taraf 5%*** signifikan pada taraf 1%Angka dalam kurung ( ) menunjukkan nilai standard error

nomi regional Indonesia tahun 1990 sampai 2015 di-tampilkan pada Tabel 1. Pengaruh investasi modalfisik menjadi signifikan pada pertumbuhan ekono-mi regional Indonesia ketika aspek ketergantunganspasial dikontrol. Hal ini ditunjukkan oleh hasilestimasi pada Tabel 1 terutama pada model yangmenggunakan jarak sebagai matriks penimbangspasial (spatial weight matrix). Meskipun pengaruhinvestasi modal fisik yang ditunjukkan oleh modelpertumbuhan non-spatial memiliki besaran (magni-tude) yang lebih besar daripada model pertumbuh-an spasial, namun pengaruhnya tidak signifikan.Fenomena ini mirip dengan yang disampaikan olehMankiw et al. (1992) bahwa ketika investasi modalmanusia yang sebelumnya omitted, dimasukkan kedalam model pertumbuhan Solow (1956), maka be-saran (magnitude) pengaruh investasi modal fisik

menjadi berkurang.

Wilayah-wilayah di Indonesia perlu meningkat-kan investasi modal fisik untuk meningkatkan per-tumbuhan ekonominya. Pentingnya peranan inves-tasi modal fisik terhadap pertumbuhan ekonomitelah diformulasikan sejak lama di antaranya olehHarrod (1939), Domar (1946), dan Solow (1956)yang juga dibuktikan secara empiris di regionalIndonesia oleh penelitian yang dilakukan oleh Re-sosudarmo dan Vidyattama (2006) dan dalam pe-nelitian ini. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayahakan positif ketika jumlah investasi melebihi jum-lah kapital yang terdepresiasi, dan pertumbuhanekonomi suatu wilayah akan stagnan bahkan ne-gatif ketika jumlah investasi tidak bisa menutupijumlah kapital yang terdepresiasi. Menurut Harrod(1939), Domar (1946), dan Solow (1956), investa-

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 15: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia...76

si merupakan manifestasi dari tabungan. Itulahyang menjelaskan mengapa jumlah tabungan daninvestasi menjadi salah satu faktor penting yang me-mengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah(Ray, 1998).

Investasi modal manusia berperan penting da-lam peningkatan pertumbuhan ekonomi regionalIndonesia. Hal ini terlihat dari pengaruhnya yangsenantiasa signifikan, baik pada saat aspek keterka-itan wilayah diabaikan maupun saat aspek keterka-itan wilayah dimasukkan ke dalam model pertum-buhan ekonomi (lihat Tabel 1). Hal ini juga sesuaidengan penelitian empiris yang dilakukan oleh Bar-ro (1991) dan Mankiw et al. (1992) yang membukti-kan pengaruh signifikan modal manusia terhadappertumbuhan ekonomi. Penurunan besaran (magni-tude) pengaruh investasi modal manusia terhadappertumbuhan ekonomi regional Indonesia dari mo-del konvensional (saat aspek keterkaitan wilayahdiabaikan) ke model spasial (saat aspek keterkaitanwilayah diperhatikan) menunjukkan hal yang logis,sebagaimana Mankiw et al. (1992) memasukkan pe-ngaruh investasi modal manusia ke model Solow(1956). Saat aspek keterkaitan wilayah diabaikan (ti-dak dikontrol) pada model konvensional, pengaruhinvestasi modal manusia terlihat lebih besar karenamasih mengandung pengaruh dari variabel lainyang omitted (dalam hal ini keterkaitan wilayah).Namun ketika aspek keterkaitan wilayah dikontrol,maka pengaruh investasi modal manusia sudahbersih dari pengaruh ketergantungan wilayah.

Upaya untuk meningkatkan investasi modal ma-nusia perlu dilakukan oleh wilayah-wilayah di In-donesia agar pertumbuhan ekonominya dapat di-tingkatkan. Hal tersebut didasarkan pada temuandalam penelitian ini yang menunjukkan arah yangpositif pada estimasi parameter investasi modalmanusia (lihat Tabel 1). Menurut Schultz (1961),peningkatan investasi modal manusia yang dila-kukan melalui pendidikan dan pelatihan akan me-ningkatkan cara berproduksi yang selanjutnya akan

meningkatkan output perekonomian. Sebenarnyainvestasi modal manusia tidak hanya terbatas padaaspek pendidikan saja, tapi juga pada aspek lainyang dapat meningkatkan produktivitas manusiaseperti kesehatan (Mankiw et al., 1992; Knowles danOwen, 1997). Menurut Nelson dan Phelps (1966),modal manusia yang tinggi dapat memberikan ke-mudahan dalam mengabsorbsi ide serta ilmu pe-ngetahuan dan teknologi yang ada, sehingga dapatmendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih ting-gi.

Pertumbuhan populasi penduduk suatu wilayahdi Indonesia juga memiliki pengaruh penting dalampertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, bahkansaat aspek keterkaitan wilayah dipertimbangkan.Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien ln(nit + g+δ)yang signifikan pada Tabel 1. Pengaruh pertum-buhan populasi penduduk terhadap pertumbuhanekonomi yang signifikan ini juga dibuktikan seca-ra empiris di antaranya oleh Mankiw et al. (1992),Ertur dan Koch (2007), Ulasan (2011), Alvarez danBarbero (2016), dan Sun et al. (2017).

Suatu wilayah di Indonesia harus mengendali-kan laju pertumbuhan penduduknya agar pertum-buhan ekonominya tidak stagnan atau negatif. Haltersebut berdasarkan pada hasil empiris yang ditun-jukkan oleh tanda negatif pada koefisien ln(nit+g+δ)pada Tabel 1. Sebagaimana yang dikemukakan Mal-thus dalam Kuznets (1967) bahwa dengan jumlahmodal yang tetap, maka produktivitas tenaga kerjadan suplai output per kapita akan berkurang seiringdengan pertumbuhan penduduk. Coale dan Hoover(1958) mengidentifikasi bahwa tingkat pertumbuh-an penduduk yang tinggi (terutama yang melebihitingkat kematian) mengarahkan pada proporsi ang-katan kerja yang rendah (sehingga meningkatkanrasio ketergantungan/dependency ratio) yang padaakhirnya akan menurunkan pendapatan per kapi-ta (Headey dan Hodge, 2009). Lebih jauh Barlow(1994) menjelaskan bahwa pertumbuhan pendudukberdampak negatif terhadap pertumbuhan ekono-

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 16: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Aspiansyah & Damayanti, A. 77

mi disebabkan oleh (a) peningkatan langsung padadenominator dari rasio pendapatan per kapita, (b)pengurangan pada tingkat tabungan (yang mung-kin disebabkan oleh beban ketergantungan yangtinggi), dan (c) pengurangan pada tingkat partisi-pasi angkatan kerja wanita.

Pendapatan per kapita awal wilayah lain ternyataberpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sua-tu wilayah di Indonesia. Hal ini ditunjukkan olehkoefisien W ln yt−T yang signifikan pada Tabel 1. Pe-nelitian empiris yang dilakukan terhadap berbagainegara di dunia oleh Ertur dan Koch (2007) jugamenghasilkan temuan serupa bahwa pendapatanper kapita awal wilayah lain berpengaruh signifi-kan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wila-yah. Lebih khusus dalam skala regional, Alvarezdan Barbero (2016) yang meneliti kasus Spanyoldan Sun et al. (2017) yang meneliti kasus Cina jugamenemukan hal yang sama akan adanya pengaruhyang signifkan dari pendapatan per kapita awalwilayah lain terhadap pertumbuhan ekonomi suatuwilayah di negara tersebut.

Pendapatan per kapita awal dari wilayah lainyang signifikan tersebut menunjukkan terjadinyaspatial spillover pendapatan per kapita terhadap per-tumbuhan ekonomi suatu wilayah di Indonesia.Lebih khusus lagi, spatial spillover pendapatan perkapita terhadap pertumbuhan ekonomi tersebutbersifat positif (lihat Tabel 1). Moreno dan Trehan(1997) menganggap bahwa hal ini berhubungandengan kedekatan dengan daerah yang kaya yangtergambarkan oleh level dari pendapatan per kapitaawal. Hal ini memperkuat temuan Mossi et al. (2003)bahwa wilayah yang bertetangga dengan wilayahyang lebih kaya memiliki kesempatan yang lebihbesar untuk meningkatkan pendapatannya. Hal inidapat dijelaskan dengan fakta bahwa ketika sua-tu wilayah bertetangga dengan wilayah lain yanglebih kaya, maka akan menguntungkan aktivitasperekonomian wilayah tersebut karena akan terjadihubungan komersial yang intensif antarwilayah

tersebut (Alvarez dan Barbero, 2016).

Pertumbuhan ekonomi regional Indonesia tidakmengalami dampak dari spillover yang bersumberdari investasi modal fisik wilayah lain. Hal ini di-tunjukkan oleh hasil estimasi yang tidak signifikanpada koefisien W ln sK

t (lihat Tabel 1). Ertur dan Ko-ch (2007) juga menemukan ketiadaan spillover dariinvestasi modal fisik yang dilakukan wilayah lainterhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah de-ngan lingkup berbagai negara di dunia. Pada levelregional, Alvarez dan Barbero (2016) juga mene-mukan ketiadaan spillover dari investasi modal fisikyang dilakukan wilayah lain terhadap pertumbuh-an ekonomi regional di Spanyol. Namun demikian,Sun et al. (2017) menemukan adanya spillover in-vestasi model fisik dari wilayah lain yang bersifatpositif terhadap pertumbuhan ekonomi regional diCina, yang bisa jadi menjadi salah satu alasan meng-apa pertumbuhan ekonomi Cina tumbuh sangatpesat.

Ketiadaan spatial spillover investasi modal fisikpada pertumbuhan ekonomi regional Indonesia bo-leh jadi disebabkan oleh terbatasnya barang modalyang dapat disediakan oleh wilayah-wilayah di In-donesia atau hanya sedikit wilayah tertentu yangmenyediakan barang modal untuk ditransaksikankepada wilayah-wilayah lain. Peningkatan permin-taan akan barang modal yang diakibatkan olehpeningkatan investasi modal fisik suatu wilayah a-kan mendorong terjadinya impor barang modal jikabarang modal tersebut tidak dapat disediakan olehwilayah itu sendiri. Wilayah-wilayah lain hanyaakan mendapatkan keuntungan dari permintaanbarang modal suatu wilayah tersebut jika mam-pu menyediakan barang modal yang dibutuhkan(Capello, 2009). Dengan dugaan bahwa komposisibarang modal (selain tanah) di Indonesia masihdidominasi oleh barang impor, dan dengan meli-hat dari besarnya persentase barang modal yangdiimpor oleh Indonesia sebagaimana data dari BPS(2015), kemungkinan wilayah-wilayah Indonesia

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 17: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia...78

untuk mendapatkan manfaat dari investasi modalfisik yang dilakukan oleh wilayah lain menjadisangat kecil.

Investasi modal manusia yang dilakukan olehsuatu wilayah di Indonesia ternyata juga tidak ber-dampak terhadap pertumbuhan ekonomi regionalwilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Hal terse-but ditunjukkan oleh koefisien W ln sH

t yang tidaksignifikan (lihat Tabel 1). Temuan yang sama ju-ga ditunjukkan oleh Ertur dan Koch (2006) untukkasus negara-negara di dunia. Sementara untukkasus regional, hal yang berbeda ditunjukkan olehAlvarez dan Barbero (2016) di Spanyol. Dengan de-mikian belum ada konsensus mengenai signifikansi,arah (sign), dan besaran (magnitude) mengenai spa-tial spillover modal manusia (Sanso-Navarro et al.,2016).

Ketiadaan spatial spillover yang berasal dari inves-tasi modal manusia terhadap pertumbuhan ekono-mi regional di Indonesia diduga disebabkan olehketiadaan channel transmisi yang dapat memenga-ruhi pertumbuhan ekonomi wilayah lain. Hal inibisa disebabkan karena investasi modal manusiayang dilakukan oleh suatu wilayah hanya dinikmatioleh wilayah itu dengan pertumbuhan ekonominyayang meningkat (yang ditunjukkan oleh koefisienln sH

it yang signifikan), sebagaimana Nelson danPhelps (1966) yang menyatakan bahwa modal ma-nusia yang tinggi dapat memberikan kemudahandalam mengabsorbsi ide serta ilmu pengetahuandan teknologi yang ada, sehingga dapat mendorongpertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Namunpeningkatan modal manusia tersebut tidak dinik-mati oleh wilayah lain karena hasil investasi modalmanusia tersebut (berupa tenaga kerja terdidik)tidak bermigrasi ke wilayah lain (Olejnik, 2008).

Pertumbuhan penduduk dari wilayah lain memi-liki pengaruh penting dalam pertumbuhan ekono-mi suatu wilayah di Indonesia. Hal ini ditunjukkanoleh koefisien W ln(nt + g + δ) yang signifikan, ba-ik pada model yang menggunakan spatial weight

matrix berdasarkan contiguity maupun model yangmenggunakan spatial weight matrix berdasarkan dis-tance (lihat Tabel 1). Ertur dan Koch (2007) jugamenemukan bukti bahwa pertumbuhan penduduksuatu wilayah berpengaruh terhadap pertumbuhanekonomi wilayah lain untuk kasus berbagai negaradi dunia. Alvarez dan Barbero (2016) juga mene-mukan adanya pengaruh dari pertumbuhan pendu-duk wilayah-wilayah lain terhadap pertumbuhanekonomi regional di Spanyol. Hal yang sama jugaditemukan oleh Sun et al. (2017) pada pertumbuhanekonomi regional di Cina.

Peningkatan pertumbuhan penduduk suatu wi-layah, ternyata berpengaruh positif terhadap pe-ningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah lain diIndonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bah-wa terjadi spatial spillover yang positif dari pertum-buhan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomiregional di Indonesia. Fenomena spatial spilloverpertumbuhan penduduk yang positif terhadap per-tumbuhan ekonomi suatu wilayah ini sangat kon-tradiktif dengan pengaruh pertumbuhan pendudukwilayah itu sendiri, meskipun berbagai penelitianseperti yang telah dilakukan oleh Ertur dan Koch(2007), Alvarez dan Barbero (2016), dan Sun et al.(2017) juga menemukan hal yang sama. Fenomenaspatial spillover pertumbuhan penduduk yang posi-tif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayahini mungkin terjadi melalui channel perdaganganantarwilayah. Peningkatan populasi penduduk a-kan meningkatkan permintaan dan market size (Ray,1998). Adanya peningkatan permintaan dan pe-ningkatan market size dari wilayah yang populasipenduduknya bertambah itu memberikan kesem-patan bagi wilayah lain untuk memanfaatkannyamelalui perdagangan antarwilayah yang akan me-ningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomidi wilayah lain (Sen, 2010).

Sesuai dengan ekspektasi, penelitian ini mene-mukan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah lainternyata memang berpengaruh terhadap pertum-

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 18: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Aspiansyah & Damayanti, A. 79

buhan ekonomi suatu wilayah di Indonesia. Hal iniditunjukkan oleh koefisien dari W [ln yt−ln yt−T]

T yangsignifikan, baik pada model pertumbuhan ekonomispasial dengan spatial weight matrix berdasarkan con-tiguity maupun pada model pertumbuhan ekonomispasial dengan spatial weight matrix berdasarkandistance. Temuan tentang adanya pengaruh pertum-buhan ekonomi suatu wilayah terhadap pertum-buhan ekonomi wilayah lain ini juga sama sepertitemuan berbagai penelitian seperti Ertur dan Ko-ch (2007) untuk kasus berbagai negara di dunia,Alvarez dan Barbero (2016) untuk kasus regionalSpanyol, maupun Sun et al. (2017) untuk kasus regio-nal Cina, yang sama-sama menghasilkan koefisienyang positif. Temuan ini berbeda dengan penelitianVidyattama (2014) untuk kasus regional Indonesiayang menghasilkan koefisien negatif pada spatiallag dalam estimasi model empirisnya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terja-di spatial spillover yang positif pada pertumbuhanekonomi regional Indonesia yang berasal dari per-tumbuhan ekonomi wilayah lain. Adanya interaksiantarwilayah seperti perdagangan, aliran uang, danmodal, serta migrasi sebagaimana yang disampai-kan oleh Nijkamp dan Poot (1998), yang didugamenjadi channel bagi pertumbuhan ekonomi sua-tu wilayah memengaruhi pertumbuhan ekonomiwilayah lain di Indonesia. Sebagai contoh, ketikasuatu wilayah mengalami pertumbuhan ekonomiatau pendapatan yang meningkat, maka akan me-ningkatkan permintaan yang bisa menjadi peluangbagi wilayah-wilayah lainnya untuk meningkat-kan intensitas perdagangan (Capello, 2009). Sebagaiilustrasi lain, peningkatan pertumbuhan ekonomiatau pendapatan per kapita di suatu wilayah bisajadi akan meningkatkan aliran transfer uang olehpenduduknya ke wilayah lain yang merupakanwilayah asalnya (Trifan, 2015).

Konvergensi pertumbuhan ekonomi regional diIndonesia diprediksi akan terjadi. Hal ini ditun-jukkan oleh koefisien pendapatan per kapita awal

(ln yit−T) yang bernilai negatif dan signifikan, ba-ik pada model non-spasial maupun model spasial.Namun demikian, koefisien pendapatan per kapitaawal (ln yit−T) pada model non-spasial lebih kecildaripada model spasial. Hal ini berimplikasi pa-da kecepatan konvergensi yang ditunjukkan olehmasing-masing model yaitu 1,9% per tahun un-tuk model non-spasial dan 1,8% per tahun untukmodel spasial. Implikasi selanjutnya adalah waktuyang dibutuhkan untuk menutupi separuh kesen-jangan yang ditunjukkan oleh model non-spasialadalah selama 36 tahun, sementara waktu yangdibutuhkan untuk menutupi separuh kesenjanganyang ditunjukkan oleh model spasial adalah selama39 tahun.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keter-gantungan spasial atau keterkaitan antarwilayahdi Indonesia mendukung terjadinya konvergensipertumbuhan ekonomi regional. Hal tersebut di-tunjukkan oleh koefisien pendapatan per kapitaawal (ln yit−T) yang bernilai negatif, baik pada mo-del spasial yang menggunakan spatial weight matrixberdasarkan contiguity maupun jarak (lihat Tabel1). Penjelasan substantif mengenai ketergantunganspasial dapat mendukung terjadinya konvergensiantarwilayah adalah adanya mekanisme spilloverteknologi antarwilayah, yang ketika keterkaitan an-tarwilayah berjalan dengan baik, maka transfer tek-nologi akan terjadi, sehingga wilayah-wilayah yangsebelumnya tertinggal bisa mengejar dengan cepatteknologi wilayah lain yang sudah maju, sementarawilayah yang sudah maju tersebut kecepatan per-tumbuhan ekonominya sudah melambat (Barro danSala-I-Martin, 1992; Ertur dan Koch, 2007; Alvarezdan Barbero, 2016).

Secara umum, dapat dikatakan bahwa fenomenaketergantungan spasial pada pertumbuhan ekono-mi regional Indonesia ini menunjukkan terjadinyaspatial spillover yang positif. Spatial spillover yangpositif ini bersumber dari pendapatan per kapitaawal wilayah lain, pertumbuhan penduduk wila-

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 19: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia...80

yah lain, dan pertumbuhan ekonomi dari wilayahlain. Adanya spatial spillover yang positif terhadappertumbuhan ekonomi suatu wilayah ini perlu di-manfaatkan melalui proses internalisasi dengankebijakan yang tepat dari pemerintah pusat mau-pun daerah (Barro dan Sala-I-Martin, 2004; Lesagedan Fischer, 2008). Pemerintah dapat melakukaninternalisasi spatial spillover yang positif itu denganpeningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan pra-sarana penunjang konektivitas antarwilayah, ka-rena ketersediaan sarana dan prasarana tersebutakan menurunkan biaya transportasi antarwilayahdalam menjangkau input produksi, pasar, dan mo-bilitas faktor produksi (Easterly dan Levine, 1998;Puga, 2002; Alcidi et al., 2015).

Kesimpulan

Penelitian ini mencoba untuk mengkaji perananketergantungan spasial terhadap pertumbuhan eko-nomi regional Indonesia. Penelitian ini dilakukandengan landasan model teoretis MRW spasial yangmengarahkan pada penggunaan spatial durbin modelpada tataran empiris, dengan temuan sebagai beri-kut: (a) semua determinan pertumbuhan ekonomiyang berasal dari wilayah itu sendiri sebagaimanapada model MRW konvensional seperti pendapat-an per kapita awal, investasi modal fisik, investa-si modal manusia, dan pertumbuhan pendudukberpengaruh signifikan dengan arah yang sesuaidengan teori pertumbuhan ekonomi MRW; (b) per-tumbuhan ekonomi wilayah lain, pendapatan perkapita awal wilayah lain, dan pertumbuhan pen-duduk wilayah lain ternyata berpengaruh positifterhadap pertumbuhan ekonomi regional Indone-sia; dan (c) ketergantungan spasial berperan dalammendukung terjadinya konvergensi pertumbuhanekonomi regional Indonesia.

Dengan demikian, dalam melakukan penelitianproses pertumbuhan ekonomi regional Indonesia,peranan ketergantungan spasial harus diperhatikan.

Karena jika peranan ketergantungan spasial diabai-kan dalam menganalisis pertumbuhan ekonomiregional Indonesia, maka estimasi dari parametermodel pertumbuhan ekonomi bisa menjadi bias, se-hingga kesimpulan yang dihasilkan akan misleading.Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah di Indonesiatidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yangberasal dari dalam wilayah itu sendiri, tapi jugadipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dariwilayah lain. Hal tersebut terjadi karena adanyainteraksi antarwilayah di Indonesia, di antaranyamelalui perdagangan antarwilayah, mobilitas fak-tor produksi, migrasi, dan transfer teknologi.

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis mere-komendasikan dua hal sebagai berikut: (a) penulismenyarankan untuk memasukkan peranan keter-gantungan spasial dalam melakukan penelitian per-tumbuhan ekonomi regional Indonesia. Hal terse-but bertujuan agar estimasi parameter dari modelpertumbuhan ekonomi yang dihasilkan bisa lebihbaik dan kesimpulan yang dihasilkan tidak misle-ading dan (b) adanya temuan spatial spillover yangpositif terhadap pertumbuhan ekonomi regional In-donesia yang ditunjukkan dalam penelitian ini per-lu dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai salah satubahan pertimbangan dalam program peningkatanpertumbuhan ekonomi regional dan pengurangankesenjangan pendapatan antarwilayah.

Penelitian ini masih memiliki kekurangan yaitutidak melihat pengaruh dari ketergantungan spasialterhadap pertumbuhan ekonomi regional Indone-sia yang bersumber dari random shock wilayah lain.Random shock wilayah lain merupakan faktor-faktorselain pertumbuhan ekonomi, pendapatan per ka-pita awal, investasi modal fisik, investasi modal ma-nusia, dan pertumbuhan penduduk yang berasaldari wilayah lain, di antaranya seperti faktor cuacaatau bencana alam dari wilayah lain, serta faktorlainnya yang bisa saja memengaruhi pertumbuhanekonomi suatu wilayah (Neibuhr, 2001). Pengaruhdari ketergantungan spasial yang bersumber dari

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 20: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Aspiansyah & Damayanti, A. 81

random shock wilayah lain itu dapat ditangkap de-ngan menggunakan model spatial error (Rey danMontouri, 1999). Apabila pertumbuhan ekonomisuatu wilayah mendapatkan pengaruh yang kuatdari random shock wilayah lain, maka penggunaanmodel spatial error patut dipertimbangkan kare-na akan menghasilkan estimasi parameter yanglebih efisien (Glass et al., 2012). Penelitian ini ju-ga masih menggunakan asumsi bahwa error tidakberkorelasi dengan variabel independen, padahalmasih banyak berbagai hal yang memengaruhi per-tumbuhan ekonomi namun belum tercakup dalammodel pada penelitian ini, sehingga masuk ke da-lam error term. Korelasi antara error term denganvariabel independen merupakan hal yang sulit di-hindari dalam penelitian pertumbuhan ekonomi,sehingga perlu dikontrol menggunakan fixed effectmodel sebagaimana penelitian yang dilakukan olehVidyattama (2014).

Daftar Pustaka

[1] Abreu, M., de Groot, H. L., & Florax, R. J. G. M.(2004). Space and growth: A survey of empirical eviden-ce and methods. Tinbergen Institute Discussion Paper, TI04-129/3. https://www.tinbergen.nl/discussion-paper/1208/

04-129-3-space-and-growth.[2] Alcidi, C., Maattanen, N., & Thirion, G. (2015). Cross-

country spillover effects and fiscal policy coordination in EMU.Fiscal Rules and Strategies under Externalities and Uncer-tainties (Firstrun). http://www.firstrun.eu/files/2015/12/D1.1 literature review.pdf.

[3] Alvarez, I. C., & Barbero, J. (2016). The public sector andconvergence with spatial interdependence: Empirical evi-dence from Spain. Applied Economics, 48(24), 2238–2252. doi:https://doi.org/10.1080/00036846.2015.1117048.

[4] Anselin, L. (1988). Spatial econometrics: Methods and models.Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

[5] Anselin, L., & Bera, A. K. (1998). Spatial dependence inlinear regression models with an introduction to spatialeconometrics. In A. Ullah & D. E.A. Giles (Eds.), Handbookof Applied Economic Statistics, 155, pp. 237–289.

[6] Arbia, G., Basile, R., & Piras, G. (2005). Using spatial paneldata in modelling regional growth and convergence. ISAEWorking Papers, 55. Institute for Studies and Economic

Analyses (ISAE). https://ebiblio.istat.it/digibib/Working%20Papers/WP 55 2005 Arbia Piras Basile.pdf.

[7] Arbia, G., Le Gallo, J., & Piras, G. (2008). Does evidenceon regional economic convergence depend on the estima-tion strategy? Outcomes from analysis of a set of NUTS2EU regions. Spatial Economic Analysis, 3(2), 209-224. doi:https://doi.org/10.1080/17421770801996664.

[8] BPS. (2015, Desember 15). Ekspor November 2015Mencapai US$11,16 Miliar [Perkembangan Ekspordan Impor Indonesia]. Berita Resmi Statistik No.111/12/Th. XVIII, 15 Desember 2015. Badan Pusat Sta-tistik. https://www.bps.go.id/pressrelease/2015/12/15/1207/

ekspor-november-2015-mencapai-us-11-16-miliar.html.[9] Baltagi, B. H. (2005). Econometric analysis of panel data. West

Sussex: John Wiley & Sons.[10] Barlow, R. (1994). Population growth and economic growth:

Some more correlations. Population and Development Review,20(1), 153–165. doi: 10.2307/2137634.

[11] Barro, R. J. (1991). Economic growth in a cross section ofcountries. The Quarterly Journal of Economics, 106(2), 407–443.doi: https://doi.org/10.2307/2937943.

[12] Barro, R. J. (2003). Determinants of economic growth in apanel of countries. Annals of Economics and Finance, 4(2),231–274.

[13] Barro, R. J., & Sala-i-Martin, X. (1992). Convergence.Journal of Political Economy, 100(2), 223–251. doi: ht-tps://doi.org/10.1086/261816.

[14] Barro, R. J., & Sala-i-Martin, X. (2004). Economic growth, 2nded. Cambridge: The MIT Press.

[15] Behrens, K., & Thisse, J-F. (2007). Regional economi-cs: A new economic geography perspective. RegionalScience and Urban Economics, 37(4), 457-465. doi: ht-tps://doi.org/10.1016/j.regsciurbeco.2006.10.001.

[16] Bell, A., & Jones, K. (2015). Explaining fixed effects: Randomeffects modeling of time-series cross-sectional and paneldata. Political Science Research and Methods, 3(1), 133–153.doi: https://doi.org/10.1017/psrm.2014.7.

[17] Benhabib, J., & Spiegel, M. M. (1994). The role of humancapital in economic development evidence from aggregatecross-country data. Journal of Monetary economics, 34(2),143–173. doi: https://doi.org/10.1016/0304-3932(94)90047-7.

[18] Burnham, K. P., & Anderson, D. R. (2002). Model selection andmultimodel inference: A practical information-theoretic approach(2nd ed.). Colorado: Springer.

[19] Capello, R. (2009). Spatial spillovers and regional growth:a cognitive approach. European Planning Studies, 17(5), 639–658. doi: https://doi.org/10.1080/09654310902778045.

[20] Caselli, F., Esquivel, G., & Lefort, F. (1996). Reopening theconvergence debate: A new look at cross-country growthempirics. Journal of Economic Growth, 1(3), 363–389. doi:https://doi.org/10.1007/BF00141044.

[21] Coale, A., & Hoover, E. (1958). Population growth and econo-

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 21: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia...82

mic development in low-income countries: A case study of India’sprospects. Princeton: Princeton University Press.

[22] Dall’erba, S., & Llamosas-Rosas, I. (2014). The impact ofprivate, public and human capital on the US States’ eco-nomies: Theory, extensions and evidence. In C. Karlsson,M. Andersson, & T. Norman (Eds.), Handbook of ResearchMethods and Applications in Economic Geography, pp. 436–467.

[23] Domar, E. D. (1946). Capital expansion, rate of growth, andemployment. Econometrica: Journal of the Econometric Society,14(2), 137–147. doi: 10.2307/1905364.

[24] Easterly, W., & Levine, R. (1998). Troubles with theneighbours: Africa’s problem, Africa’s opportunity. Jo-urnal of African Economies, 7(1), 120–142. doi: ht-tps://doi.org/10.1093/oxfordjournals.jae.a020941.

[25] Ertur, C., & Koch, W. (2006). Convergence, human capitaland international spillovers. LEG - Document de travail -Economie 2006-03. Laboratoire d’Economie et de Gestion(LEG), CNRS, Universite de Bourgogne.

[26] Ertur, C., & Koch, W. (2007). Growth, technological interde-pendence and spatial externalities: Theory and evidence.Journal of Applied Econometrics, 22(6), 1033–1062. doi: ht-tps://doi.org/10.1002/jae.963.

[27] Fingleton, B. (1999). Estimates of time to economic con-vergence: An analysis of regions of the European Union.International Regional Science Review, 22(1), 5–34. doi: ht-tps://doi.org/10.1177%2F016001769902200102.

[28] Fischer, M. M. (2011). A spatial Mankiw–Romer–Weil mo-del: Theory and evidence. The Annals of Regional Science,47(2), 419–436. doi: https://doi.org/10.1007/s00168-010-0384-6.

[29] Fischer, M. M. (2016). Spatial externalities and growthin a Mankiw-Romer-Weil world: Theory and evidence.International Regional Science Review, 41(1), 45–61.

[30] Glass, A. J., Kenjegalieva, K., & Sickles, R. (2012). Theeconomic case for the spatial error model with an application tostate vehicle usage in the U.S. https://pdfs.semanticscholar.org/40ff/8eeaae7f1326813e500253adc3eaff0490a9.pdf.

[31] Goetzke, F., & Andrade, P. M. (2010). Walkability as asummary measure in a spatially autoregressive mode choicemodel: an instrumental variable approach. In A. Paez, J.Gallo, R. Buliung, & S. Dall’erba (eds.), Progress in SpatialAnalysis, pp. 217–229. Springer, Berlin, Heidelberg.

[32] Greene, W. H. (2003). Econometric analysis (5th ed.). NewJersey: Prentice Hall.

[33] Harrod, R. F. (1939). An essay in dynamic theory. TheEconomic Journal, 49(193), 14–33. doi: 10.2307/2225181.

[34] Headey, D. D., & Hodge, A. (2009). The effect of populationgrowth on economic growth: A meta-regression analysis ofthe macroeconomic literature. Population and DevelopmentReview, 35(2), 221–248. doi: https://doi.org/10.1111/j.1728-4457.2009.00274.x.

[35] Islam, N. (1995). Growth empirics: a panel data approa-

ch. The Quarterly Journal of Economics, 110(4), 1127–1170.doi:https://doi.org/10.2307/2946651.

[36] Knowles, S., & Owen, P. D. (1997). Education and healthin an effective-labour empirical growth model. EconomicRecord, 73(223), 314–328. doi:https://doi.org/10.1111/j.1475-4932.1997.tb01005.x.

[37] Krueger, A. B., & Lindahl, M. (2001). Education for growth:Why and for whom?. Journal of Economic Literature, 39(4),1101–1136. doi:10.1257/jel.39.4.1101.

[38] Kuznets, S. (1967). Population and economic growth. Proce-edings of the American Philosophical Society, 111(3), 170–193.

[39] Le Gallo, J., & Fingleton, B. (2014). Regional growth andconvergence empirics. In M. Fischer & P. Nijkamp (eds),Handbook of Regional Science, (pp. 291-315). Berlin, Heidel-berg: Springer.

[40] Lesage, J. P. (1999). The theory and practice of spatial econo-metrics. Toledo: Department of Economics University ofToledo.

[41] Lesage, J. P., & Fischer, M. M. (2008). Spatial grow-th regressions: model specification, estimation and in-terpretation. Spatial Economic Analysis, 3(3), 275–304.doi:https://doi.org/10.1080/17421770802353758.

[42] Lopez-Bazo, E., Vaya, E., & Artis, M. (2004). Regio-nal externalities and growth: evidence from Europe-an regions. Journal of Regional Science, 44(1), 43–73.doi:https://doi.org/10.1111/j.1085-9489.2004.00327.x.

[43] Mankiw, N. G. (2012). Macroeconomics (8th ed.). New York:Worth Publisher.

[44] Mankiw, N. G., Romer, D., & Weil, D. N. (1992).A contribution to the empirics of economic grow-th. The Quarterly Journal of Economics, 107(2), 407–437.doi:https://doi.org/10.2307/2118477.

[45] Moreno, R., & Trehan, B. (1997). Location and the grow-th of nations. Journal of Economic Growth, 2(4), 399–418.doi:https://doi.org/10.1023/A:1009741426524.

[46] Mossi, M. B., Aroca, P., Fernandez, I. J., & Azzo-ni, C. R. (2003). Growth dynamics and space in Bra-zil. International Regional Science Review, 26(3), 393–418.doi:https://doi.org/10.1177%2F0160017603255976.

[47] Neibuhr, A. (2001). Convergence and the Effects of SpatialInteraction. HWWA Discussion Paper, 110. Hamburg: Ham-burg Institute of International Economics (HamburgischesWelt-Wirtschafts-Archiv/HWWA).

[48] Nelson, R. R., & Phelps, E. S. (1966). Investment in humans,technological diffusion, and economic growth. The AmericanEconomic Review, 56(1/2), 69–75.

[49] Nijkamp, P., & Poot, J. (1998). Spatial perspectives on newtheories of economic growth. The Annals of Regional Science,32(1), 7–37. doi:https://doi.org/10.1007/s001680050061.

[50] Olejnik, A. (2008). Using the spatial autoregressively dis-tributed lag model in assessing the regional convergen-ce of per-capita income in the EU25. Papers in Regional

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83

Page 22: Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan

Aspiansyah & Damayanti, A. 83

Science, 87(3), 371–384. doi:https://doi.org/10.1111/j.1435-5957.2008.00190.x.

[51] Puga, D. (2002). European regional policies in light ofrecent location theories. Journal of Economic Geography, 2(4),373–406. doi:https://doi.org/10.1093/jeg/2.4.373.

[52] Ramos, R., Surinach, J., & Artıs, M. (2010). Human ca-pital spillovers, productivity and regional convergen-ce in Spain. Papers in Regional Science, 89(2), 435–447.doi:https://doi.org/10.1111/j.1435-5957.2010.00296.x.

[53] Ray, D. (1998). Development economics. New Jersey: PrincetonUniversity Press.

[54] Resosudarmo, B. P., & Vidyattama, Y. (2006). Regional inco-me disparity in Indonesia: A panel data analysis. ASEANEconomic Bulletin, 23(1), 31–44.

[55] Rey, S. J., & Montouri, B. D. (1999). US re-gional income convergence: a spatial econome-tric perspective. Regional Studies, 33(2), 143–156.doi:https://doi.org/10.1080/00343409950122945.

[56] Sanso-Navarro, M., Vera-Cabello, M., & Ximenez-De-Embun, D. P. (2017). Human capital spillovers and regionaldevelopment. Journal of Applied Econometrics, 32(4), 923–930.doi:https://doi.org/10.1002/jae.2541.

[57] Schultz, T. W. (1961). Investment in human capital. TheAmerican Economic Review, 51(1), 1–17.

[58] Sen, S. (2010). International trade theory and policy: Areview of the literature. The Levy Economics Institute WorkingPaper Collection, 635. New York: Levy Economics Instituteof Bard College. http://www.levyinstitute.org/pubs/wp 635.pdf.

[59] Solow, R. M. (1956). A contribution to the theory of economicgrowth. The Quarterly Journal of Economics, 70(1), 65–94.doi:https://doi.org/10.2307/1884513.

[60] Sun, X., Chen, F., & Hewings, G. J. (2017). Spa-tial perspective on regional growth in China: Evi-dence from an extended neoclassic growth model.Emerging Markets Finance and Trade, 53(9), 2063–2081.doi:https://doi.org/10.1080/1540496X.2016.1275554.

[61] Takeda, T. (2013). Structural changes and regional incomedisparity in Indonesia: 1990-2010. Tesis. Program Pascasarja-na Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UniversitasIndonesia.

[62] Tobler, W. R. (1970). A computer movie simulating urbangrowth in the Detroit region. Economic Geography, 46(sup1),234–240. doi:10.2307/143141.

[63] Trifan, R. (2015). The contribution of circular migration toeconomic growth in developing countries. In J. Velencei(ed.), Proceedings of FIKUSZ Symposium for Young Researchers(pp. 241–250). Budapest: Obuda University Keleti KarolyFaculty of Economics.

[64] Tselios, V. (2009). Growth and convergence in inco-me per capita and income inequality in the regionsof the EU. Spatial Economic Analysis, 4(3), 343–370.

doi:https://doi.org/10.1080/17421770903114711.[65] Ulasan, B. (2011). Augmented neoclassical growth model:

A replication over the 1960-2000 period. Central Bank ofThe Republic of Turkey Working Paper, 11/01. Central Bankof The Republic of Turkey. http://www.tcmb.gov.tr/wps/wcm/connect/3c0a7252-1044-4689-8df0-e60e97586493/

WP1101.pdf?MOD=AJPERES&CACHEID=

ROOTWORKSPACE-3c0a7252-1044-4689-8df0-e60e97586493-m3fw5V3.

[66] Vaya, E., Lopez-Bazo, E., Moreno, R., & Surinach, J. (2004).Growth and externalities across economies: an empiricalanalysis using spatial econometrics. In: L. Anselin, R. J. G.M. Florax, & S. J. Rey (eds), Advances in Spatial Econometrics(pp. 433-455). Berlin, Heidelberg: Springer.

[67] Vidyattama, Y. (2014). Issues in applying spatial autocorre-lation on Indonesia’s provincial income growth analysis.Australasian Journal of Regional Studies, The, 20(2), 375–402.

JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 62–83