3
Menyoal Peran Media dalam Pembangunan 02/01/2013 · by Dhoni Zustiyantoro Berita, hampir-hampir menjadi kebutuhan pokok tiap individu. Kebutuhan untuk selalu mengakses informasi telah jadi bagian tak terpisahkan manusia. Mulai media berbayar -biasanya cetak- seperti koran, majalah, buletin, hingga tak berbayar seperti televisi nasional tak pernah sepi peminat. Siapa pun ingin mengikuti perkembangan informasi, baik lokal maupun internasional melalui peranti itu. Namun, seberapa berpengaruhkah media massa di Indonesia terhadap kondisi kekinian? Sudahkah berperan dalam pemecahan masalah dan ikut memajukan pembangunan? Pada sebuah forum diskusi yang diselenggarakan oleh sebuah badan penerbitan, dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Triyono Lumantoro menyatakan kekesalan kepada media massa di tanah air. Dia menganggap media terlalu sering mengabarkan hal-hal negatif. Kabar seperti tindakan kriminal, korupsi, hingga skandal ranjang pejabat ditelan mentah-mentah, tanpa diimbangi dengan pemberitaan yang positif. “Padahal masih banyak hal-hal baik di negeri ini yang bisa dikabarkan,” ungkapnya. Menurut Lukmantoro, berita merupakan sebuah fakta, namun tidak semua fakta harus diberitakan. Media sekarang telah terhegemoni oleh kelompok yang berkepentingan, sehingga hanya mengejar sensasi dan menuruti pasar. “Seringnya media televisi menampilkan adegan kekerasan menyebabkan trauma dan efek buruk, terutama bagi anak di bawah umur,” tandasnya (Unnes.ac.id, 13/11/2011). Sementara itu, sastrawan senior Jawa Suparto Brata dalam sebuah kesempatan diskusi, awal tahun 2012 di Surakarta mengatakan, perilaku sehari-hari kita akan meniru media. Apa yang disuguhkan (dalam hal ini televisi) benar-benar telah menjadi trendsetter, utamanya oleh kaum muda. Termasuk dia geram karena kurangnya minat pada kesastraan, yang pada akhirnya menurunnya kualitas maupun kuantitas sastrawan muda berbakat. “Mungkin perhatian mereka beralih kepada televisi dan sajian yang mengedepankan popularitas.” Sedangkan di sisi lain, di banyak media, setiap hari berita korupsi dan karut-marut politik negeri ini masih selalu

Menyoal Peran Media Dalam Pembangunan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Menyoal Peran Media Dalam Pembangunan

Menyoal Peran Media dalam Pembangunan02/01/2013 · by Dhoni Zustiyantoro

Berita, hampir-hampir menjadi kebutuhan pokok tiap individu. Kebutuhan

untuk selalu mengakses informasi telah jadi bagian tak terpisahkan

manusia. Mulai media berbayar -biasanya cetak- seperti koran, majalah,

buletin, hingga tak berbayar seperti televisi nasional tak pernah sepi

peminat. Siapa pun ingin mengikuti perkembangan informasi, baik lokal

maupun internasional melalui peranti itu. Namun, seberapa

berpengaruhkah media massa di Indonesia terhadap kondisi kekinian?

Sudahkah berperan dalam pemecahan masalah dan ikut memajukan

pembangunan?

Pada sebuah forum diskusi yang diselenggarakan oleh sebuah badan

penerbitan, dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Triyono Lumantoro menyatakan

kekesalan kepada media massa di tanah air. Dia menganggap media

terlalu sering mengabarkan hal-hal negatif. Kabar seperti tindakan

kriminal, korupsi, hingga skandal ranjang pejabat ditelan mentah-mentah,

tanpa diimbangi dengan pemberitaan yang positif. “Padahal masih banyak

hal-hal baik di negeri ini yang bisa dikabarkan,” ungkapnya.

Menurut Lukmantoro, berita merupakan sebuah fakta, namun tidak semua

fakta harus diberitakan. Media sekarang telah terhegemoni oleh kelompok

yang berkepentingan, sehingga hanya mengejar sensasi dan menuruti

pasar. “Seringnya media televisi menampilkan adegan kekerasan

menyebabkan trauma dan efek buruk, terutama bagi anak di bawah

umur,” tandasnya (Unnes.ac.id, 13/11/2011).

Sementara itu, sastrawan senior Jawa Suparto Brata dalam sebuah

kesempatan diskusi, awal tahun 2012 di Surakarta mengatakan, perilaku

sehari-hari kita akan meniru media. Apa yang disuguhkan (dalam hal ini

televisi) benar-benar telah menjadi trendsetter, utamanya oleh kaum

muda. Termasuk dia geram karena kurangnya minat pada kesastraan,

yang pada akhirnya menurunnya kualitas maupun kuantitas sastrawan

muda berbakat. “Mungkin perhatian mereka beralih kepada televisi dan

sajian yang mengedepankan popularitas.”

Sedangkan di sisi lain, di banyak media, setiap hari berita korupsi dan

karut-marut politik negeri ini masih selalu menjadi headline. Bila pun tidak,

kabar itu kadang tergeser oleh kabar musibah atau bencana alam, semisal

jatuhnya pesawat, atau banjir. Semua itu agaknya telah menjadi

romantisme tersendiri.

Terbeli?

Page 2: Menyoal Peran Media Dalam Pembangunan

Melihat “pergeseran fungsi” itu, kemudian muncul pertanyaan; apakah

media benar-benar telah menjadi alat politik dan hanya menuruti

percaturan adikuasa? Atau, mungkinkah independensi peranti itu telah

terbeli?

Sepanjang pengetahuan saya, para pencari berita (wartawan) sangat sulit

untuk menghindari amplop -maaf jika ada teman yang benar-benar masih

setia untuk tidak melakukannya. Hal itu telah menjadi rahasia umum bagi

para pekerja pers. Bahkan dapat dikatakan, ketika sebuah media makin

punya nama, ia semakin sulit untuk tidak terbeli oleh orang atau pihak

yang berkepentingan. Hal ini sangat ironis manakala jurnalis selalu

dituntut untuk jujur, objektif, tanpa prasangka, dan tidak memihak ketika

mewartakan.

Sebagai contoh, wartawan dan penyair senior yang punya reputasi

internasional Goenawan Mohamad pun pernah terlibat dalam percaturan

politik. Andreas Harsono dalam bukunya Agama Saya Adalah

Jurnalismebanyak menguak permasalahan di seputar media dan indutri

media di Indonesia, salah satunya perihal tersebut. Kala itu, Goenawan

Mohamad yang juga pendiri majalah Tempo bergabung dengan kampanye

Amien Rais. Kurang lebih ia mengatakan hal ini sebagai pembelaan, “Saya

adalah warga negara biasa yangingin melihat terjadinya perubahan politik

secara demokratis di Indonesia”.

Selain dia, ada pula salah satu pemimpin Jawa Pos, Alwi Hamu, yang

ternyata ikut menyukseskan Jusuf Kalla bersanding dengan Susilo

Bambang Yudhoyono dalam pemilihan umum waktu itu.

Yang paling kentara, menurut saya, adalah beberapa media besar

berpengaruh yang telah dipolitisasi. Sebut saja Metro TV dan harianMedia

Indonesia. Dulu, media ini digadang-gadang menjadi media yang

independen menyuarakan kejujuran dan jadi kiblat bagi portal berita lain.

Namun, semenjak Surya Paloh, pemilik kedua media ini masuk dalam

percaturan politik, hampir tak ada kabar menggembirakan lagi tersiar.

Kita tahu, tiap pagi Metro TV menayangkan editorial untuk Media

Indonesia. Isinya? Bukan hal lain, pemerintah seakan jadi bahan untuk

selalu dikorek keburukannya tiap saat. Lagi-lagi ajang ini menjadi ladang

kekecewaan. Publik dengan bebas berkomentar dengan melakukan

telepon interaktif. Celakanya, ini dianggap sebagai opini publik. Padahal

kita tahu, untuk memutuskan atau menimbang suatu perkara harus benar-

benar objektif dengan responden yang terpilih atau bahkan teruji

kompetensi dalam hal itu.

Page 3: Menyoal Peran Media Dalam Pembangunan

Dari berbagai kenyataan tersebut, kita kini meyakini bahwa makin banyak

media tidak memosisikan diri sebagai alat yang menyuarakan kepentingan

khalayak, apalagi berpihak pada kejujuran, meski tidak semua seperti itu.

Semua dapat terbeli. Independensi hampir tak ada lagi. Yang ada hanya

kabar negatif yang menyesaki, tanpa kontribusi nyata untuk pembaruan

menuju arah lebih baik. Inikah demokrasi?