44
233. MANAQIB MBAH KHOLIL BANGKALAN (KH. MUHAMMAD KHOLIL) A. Masa Kecil Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil. KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya. Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya. Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu. B. Belajar ke Pesantren Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa

Manaqib mbah kholil bangkalan

Embed Size (px)

Citation preview

233. MANAQIB MBAH KHOLIL BANGKALAN (KH. MUHAMMAD KHOLIL)

A. Masa Kecil

Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten

Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang

sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.

KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan

mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.

Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak

dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya

kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar

biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai

ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

B. Belajar ke Pesantren

Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren

Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi.

Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.

Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan

ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa

membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.

C. Orang yang Mandiri Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai

Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi

perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.

Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di

Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-

Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).

D. Ke Mekkah

Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua

santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua

orangtuanya. Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia

memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di

Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi,

mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.

Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah

dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.

Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi,

sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih

mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.

Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid

Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima

dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).

Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai

madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.

Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka

ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani.

Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.

Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.

Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH.

Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.

Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja

mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang)

menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak

ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu. Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah.

Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah

diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.

E. Ke Tanah Air

Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan

serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1

Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya. Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun,

setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya.

Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa

kelahirannya.

Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.

Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan

sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.

F. Geo Sosio Politika

Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat;

meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat

sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau tidak?

Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi,

dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan. Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil

mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan

dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.

Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih

banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil

pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian. Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para

pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti

tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.

Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian

tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.

Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar

benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.

Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai

dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya.

Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi

beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah

Kholil.

Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul

Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok

Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).

G. Karomah Mbah Kholil

Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah

belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah

perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.

Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:

1. Lebah Gaib

Kekeramatan Mbah Kholil, yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10

November 1945 di Surabaya.

KH. Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November 1945, Mbah Kholil, bersama Kyai-Kyai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara

Sekutu.

Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern.

Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan Kyai-Kyai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu

dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Disaat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar. Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan.

“Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang

senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” Papar KH. Ghozi, cucu KH. Wahab Chasbullah ini.

2. Membelah Diri

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau

mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.

Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa.

Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut,

langsung ditolong Mbah Kholil. ”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil

dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si

nelayan itu,” Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.

3. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika

Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis

buku tersebut sebagai berikut:

“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke

Madura yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.

Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah

Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan

membawa pedang seraya berkata: "Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian." Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia

sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang

tersebut sering ziarah ke makam beliau.

4. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk

Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka diputuskan

untuk sowan ke Mbah Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama

Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.

Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”

“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.

Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil

menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.

“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.

“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.

“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan. Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah

mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.

Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang

selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun

hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.

Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat

penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.

Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur.

Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren

dipenuhi dengan timun.

5. Kisah Ketinggalan Kapal Laut

Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju

Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,”

Ucap istrinya dengan memelas. “Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,”

Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.

Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga.

Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah

sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.

Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Mbah Kholil

Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya dengan tenang. “Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong

ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.

“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.

Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada keperluan

apa?” Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang

ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”

Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya:

”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”

“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa. “Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa

ragu.

Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil berucap: “Baik kalau

begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”

“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.

“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil. “Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.

Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan

sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.

“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.

“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.

Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di

atas kapal tadi yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya

di salah satu ruang kapal.

“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.

Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia baru menyadarinya

bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.

6. Belajar Secara Gaib

Mbah Kholil adalah guru utama yang mencetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara

gaib dengan Mbah Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salah satunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau.

Seperti pernah dikisahkan KH. Anwar Siradj, pengasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab Alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal, kitab

yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.

KH. Anwar Siradj sudah mencoba berguru kepada Kyai-Kyai besar di hampir semua

penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan Ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), KH. Anwar Siradj dapat petunjuk, agar

mempelajari kitab Alfiyah di makam Mbah Kholil.

Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh KH. Anwar Siradj ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab Alfiyah. ”Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal Alfiyah,” Jelas Ustadz Salim.

Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan

lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.

7. Berguru dalam Mimpi Pada waktu Mbah Kholil masih muda, ada seorang Kyai yang terkenal di daerah

Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura.

Mbah Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah

Mbah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu. Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di

Pesantren Wilungan, ternyata Kyai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kyai Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Mbah Kholil muda segera sowan ke makam

Kyai Abu Darrin.

Setibanya di makam Abu Darrin, Mbah Kholil muda lalu mengucapkan salam lalu berkata: “Bagaimana saya ini Kyai, saya masih ingin berguru pada Kyai, tetapi Kyai sudah meninggal,” desah Mbah Kholil muda sambil menangis.

Mbah Kholil muda lalu mengambil sebuah mushaf Al-Quran. Kemudian bertawassul

dengan membaca Al-Quran terus-menerus sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kyai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kyai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Mbah Kholil muda. Setelah dia bangun dari

tidurnya, lalu Mbah Kholil muda serta-merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.

8. Didatangi Macan

Suatu hari di bulan Syawal. Mbah Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. “Anak-anakku,

sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini,” Kata Mbah

Kholil agak serius.

Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan

angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus, tidak berapa tinggi, berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.

Sesampainya di depan pintu rumah Mbah Kholil, lalu mengucap salam. Mendengar

salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kyai malah berteriak memanggil santrinya: “Hei santri semua, ada macan....macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok,” Seru Mbah Kholil bak seorang komandan di medan perang.

Mendengar teriakan Kyai kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil

membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah.

Namun karena tekad ingin nyantri ke Mbah Kholil begitu menggelora, maka keesokan

harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam

pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.

Secara tidak diduga, tengah malam Mbah Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah

Mbah Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Mbah Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab

Chasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Chasbullah, seorang Kyai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Chasbullah di

mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Mbah Kholil.

9. Santri Mimpi dengan Wanita

Pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah,

dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa shalat Shubuh berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar shalat Shubuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan

Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Mbah Kholil, gurunya.

Menjelang subuh, terdengar Mbah Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap: “Santri kurang ajar.., santri kurang ajar....!”

Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda

tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.

Shubuh itu Bahar memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai shalat Shubuh berjamaah, Mbah Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya: “Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap

Mbah Kholil dengan nada menyelidik.

Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Mbah Kholil memerintahkan mencari Bahar

dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid.

Mbah Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata: “Bahar, karena kamu tidak hadir shalat Shubuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini,” Perintah Mbah Kholil.

Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu,

segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan

dengan baik.

“Alhamdulillah, sudah selesai Kyai,” Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati. “Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis!”

Perintah Kyai kepada Bahar.

Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Mbah Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri

Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Mbah Kholil seraya berucap: “Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh

orang ini,” Ucap Mbah Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Mbah

Kholil menuju kampung halamannya. Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Mbah Kholil itu, menjadi Kyai yang sangat alim, yang

memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kyai beruntung itu bernama Kyai Bahar, seorang Kyai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.

10. Orang Arab dan Macan Tutul

Suatu hari menjelang shalat Maghrib, seperti biasanya Mbah Kholil mengimami jamaah shalat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Mbah Kholil mengimami

shalat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan shalat, Mbah Kholil menemui tamunya, termasuk orang Arab yang

baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab, Habib menghampiri Mbah

Kholil seraya berucap: “Kyai, bacaan Al-Fatihah Antum (Anda) kurang fasih,” Tegur Habib.

Setelah berbasa-basi beberapa saat, Habib dipersilahkan mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat Maghrib. Tempat wudhu ada di sebelah masjid itu. “Silakan ambil

wudhu di sana,” Ucap Mbah Kholil sambil menunjukkan arah tempat wudhu.

Baru saja selesai wudhu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya yang fasih, untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan bahasa Arab sangat fasih

untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.

Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudhu Mbah Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Mbah Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat

yang dilontarkan Mbah Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, sang Habib paham bahwa sebetulnya Mbah Kholil

bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.

11. Jawaban Mbah Kholil kepada Tamunya Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama,

manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maaliki yaumiddin’, Maliki-nya dibaca ‘Maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘Maliki’ (tanpa alif). Setelah

berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kyai Keramat, Mbah Kholil Bangkalan.

Ketika itu Kyai yang jadi maha guru para Kyai pulau Jawa itu sedang duduk di dalam mushala. Saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushala sontak saja Mbah Kholil

berteriak: “Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib,” Teriak Kyai Kholil Bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.

Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki Yaumiddin ataukah Maaliki Yaumiddin itu.

Demikian yang diceritakan Habib Luthfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir ath-Thabari.

12. Tongkat Mbah Kholil dan Sumber Mata Air

Suatu hari Mbah Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Mbah Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan

serta-merta Mbah Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah.

Dari arah lobang bekas tancapan Mbah Kholil tadi, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang

bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah Selatan kompleks pemakaman Mbah Kholil

Bangkalan.

H. Silsilah Nasab Mbah Kholil

Mbah Kholil (KH. Muhammad Kholil Bangkalan Al-Maduri) adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga “Azmatkhan” dan bersambung pada

Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-

Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath Al-Alawi Al-Husaini. KH. Muhammad Kholil bin KH. Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai Abdul Karim

bin Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif

Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayyid Ali Nurul Alam bin Sayyid Jamaluddin Al-Kubra.

Berikut ini adalah silsilah nasab Mbah Kholil. Terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Sunan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam

menggunakan nama belakang (marga/fam) “Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.

• Jalur Sunan Kudus

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan. 2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan. 3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.

4. Kyai Abdul Karim. 5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.

6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan. 7. Kyai Sulasi. Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.

8. Kyai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan. 9. Kyai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.

10. Kyai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan. 11. Kyai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.

12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal). Dimakamkan di Sumenep. 13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya. 14. Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus). Dimakamkan di Kudus.

15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Dimakamkan di Kudus. 16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di

Gresik. 17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban. 18. Sayyid Husain Jamaluddin. Dimakamkan di Bugis.

19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India. 20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India.

21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India. 22. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman. 23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.

24. Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman. 25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.

26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman. 27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman. 28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.

29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman. 30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.

31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq. 32. Al-Imam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah. 33. Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.

34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah. 35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.

36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq. 37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulullah. Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah

Maka, dari jalur Sunan Kudus, Mbah Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah Saw.

• Jalur Sunan Ampel

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan. 2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.

3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan. 4. Kyai Abdul Karim. 5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.

6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan. 7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.

8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan. 9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.

10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik. 11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam

sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis. 12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.

13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya. 14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kyai Sulasi bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Mbah Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.

• Jalur Sunan Giri

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan. 2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.

3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan. 4. Kyai Abdul Karim. 5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.

6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan. 7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.

8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan. 9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan. 10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.

11. Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik. 12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.

13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai. 14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Di sini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Giri, Mbah Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.

• Jalur Sunan Gunung Jati

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan. 2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.

3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan. 4. Kyai Asror Karomah. 5. Sayyid Abdullah.

6. Sayyid Ali Al-Akbar. 7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.

8. Syarifah Khadijah. 9. Maulana Hasanuddin. Dimakamkan di Banten. 10. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.

11. Sayyid Abdullah Umdatuddin. 12. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.

13. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Di sini nasab Nyai Khadijah dan Kyai Hamim Kholil bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Mbah Kholil adalah generasi ke-32 dari

Rasulullah Saw.

• Jalur Basyaiban 1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.

2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan. 3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.

4. Kyai Asror Karomah. 5. Sayyid Abdullah. 6. Sayyid Ali Al-Akbar.

7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang. 8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).

9. Sayyid Umar. 10. Sayyid Muhammad. 11. Sayyid Abdul Wahhab.

12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban. 13. Sayyid Muhammad.

14. Sayyid Hasan At-Turabi 15. Sayyid Ali. 16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.

17. Sayyid Ali. 18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Di sini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban

bertemu. Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Mbah Kholil adalah generasi ke-32

dari Rasulullah Saw.

Demikianlah nasab Mbah Kholil dengan berbagai jalur yang saya dapatkan sampai saat ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan nama-nama baru daripada istri-istri jalur laki-laki yang ada itu.

Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang cukup membanggakan bagi Kyai-Kyai

Jawa dan Madura. Berkat gabungan antara adat Arab dalam menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, akhirnya Kyai-Kyai Jawa/Madura banyak yang memiliki silsilah lengkap dari berbagai jalur.

Hal ini pernah ditunjukkan kepada seorang Syeikh dari Yaman, beliau merasa kagum

karena banyak jalur perempuan yang juga dicatat dalam silsilah itu selain jalur laki-laki, karena pada umumnya, orang Arab tidak tahu nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu atau jalur nenek, mereka hanya mengenal yang jalur ayah ke atas dengan garis laki-

laki.

I. Kiprahnya dalam Pembentukan NU

Peran Mbah Kholil dalam melahirkan NU pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi. Hal

ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi

bahwa Mbah Kholil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada KH. Hasyim Asy’ari sendiri.

Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar

(potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang Kyai muda yang cukup ternama pada waktu itu: KH. Wahab Chasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai

praktik-praktik keagamaan maupun dalam bidang pendidikan dan politik.

Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kyai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk

mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari KH. Hasyim Asy’ari, Kyai yang

paling berpengaruh pada saat itu. Namun, KH. Hasyim Asy’ari awalnya tidak serta-merta menerima dan merestui ide

tersebut. Terbilang hari dan bulan, KH. Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.

Sementara itu, Mbah Kholil, guru KH. Hasyim Asy’ari, yang juga guru KH. Wahab Chasbullah, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan

meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.

“Saat ini Kyai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya!” Kata Mbah Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.

“Baik, Kyai,” Jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.

“Bacakanlah kepada Kyai Hasyim ayat-ayat ini: Wamaa tilka biyamiinika yaa Muusaa, Qaala hiya ‘ashaaya atawakka-u ‘alaihaa wa abusyyu bihaa ‘alaa ghanami waliya fiihaa

ma-aaribu ukhraa. Qaala alqihaa yaa Muusa. Fa-alqahaa faidzaa hiya hayyatun tas’aa. Qaala Khudzhaa wa laa takhaf sanu’iiduhaa shirathal uulaa wadhumm yadaka ila

janaahika takhruj baidhaa-a min ghairi suu-in aayatan ukhraa linuriyaka min aayatil kubraa,” Pesan Mbah Kholil.

As’ad segera pergi ke Tebu Ireng, ke kediaman Kyai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kyai Hasyim. Mendengar ada utusan Mbah Kholil datang,

Kyai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya.

“Kyai, saya diutus Kyai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kyai,” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah

tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.

“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kyai Hasyim. “Ada Kyai,” Jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Mbah

Kholil.

Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kyai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Mbah Kholil yang tua dan bijak. Kyai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan

Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.

“Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” Kata As’ad. “Kyai juga diminta untuk mengamalkan Yaa Jabbaar, Yaa Qahhaar (lafadz Asma’ul Husna)

setiap waktu,” Tambah As’ad. Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap

untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Mbah Kholil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.

Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang

bayi itu pun menjadi “raksasa”.

Tapi, bagaimana Kyai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Mbah Kholil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Mbah Kholil, seorang Kyai alim yang diyakini

sebagai salah satu Wali Allah.

J. Tarekat dan Fiqh Mbah Kholil adalah salah satu Kyai yang belajar lebih daripada satu madzhab saja. Akan

tetapi, di antara madzhab-madzhab yang ada, ia lebih mendalami madzhab Syafi’i di dalam ilmu fiqh.

Pada masa kehidupan Mbah Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu.

Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah,

Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain.

Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Mbah Kholil dalam tarekat, terbukti bahwa Mbah Kholil dikenal pertama kali dikarenakan kelebihannya dalam hal

tarekat, dan juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.

Di sisi lain, Mbah Kholil pun diakui sebagai salah satu Kyai yang dapat menggabungkan tarekat dan fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang

notabene seangkatan dengan Mbah Kholil.

Memang, Mbah Kholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Mbah Kholil. Namun demikian, perbedaan antara Mbah Kholil

dengan kebanyakan Kyai yang lainnya, bahwa Mbah Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Mbah

Kholil justru meletakkan dan menggabungkan antara keduanya (tarekat dan fiqh). Dalam penggabungan dua hal ini, Mbah Kholil mendudukkan tarekat di bawah fiqh,

sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang

cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Mbah Kholil tersebut.

K. Peninggalan

Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Mbah Kholil. akan tetapi Mbah Kholil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang

tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Mbah Kholil di antaranya:

Pertama: Mbah Kholil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar

itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Mbah Kholil yang setelah lulus,

mendirikan pesantren. Seperti Kyai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebu Ireng), Kyai Wahab Chasbullah (Pendiri Pesantren Tambak Beras), Kyai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kyai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-

murid Mbah Kholil, banyak muridnya yang di kemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.

Kedua: Selain Pesantren yang Mbah Kholil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya

menjadi pemimpin-pemimpin umat.

Mbah Kholil (KH. Muhammad Kholil Bangkalan Al-Maduri), adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian

besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Mbah Kholil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Mbah Kholil.

Beliau wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadhan 1341 H/14 Mei 1923

M.

Diedit ulang seperlunya oleh Sya’roni As-Samfuriy, Indramayu 7 Rabi’ul Awwal 1434 H dari:

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=217600928341868&set=a.103356559766306.3234.100002758869620&type=1&ref=nf dan berbagai sumber yang lain.

31748143Suka · · Bagikan

234.

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib mengubah foto sampulnya.

19 Januari

104833Suka · · Bagikan

235.

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib

19 Januari

MUHAMMADIYAH TIDAK IDENTIK DENGAN WAHABI

Oleh: Prof. Dr. H. A. Athaillah, M.Ag

I. Pendahuluan

Kita selaku umat Islam patut bersyukur kepada Allah Swt. yang telah memberikan kemampuan kepada organisasi Islam yang bernama Muhammadiyah untuk memelihara kemurnian ajaran Islam dan sekaligus melaksanakan pembaruan di kalangan masyarakat

Muslim Indonesia. Selama 100 tahun atau satu abad sejak didirikannya oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 yang lalu, Muhammadiyah tidak pernah ...Lihat Selengkapnya

SEJARAH AWAL MUHAMMADIYAH YANG TERLUPAKAN

Perkumpulan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 dan baru mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta pada tanggal 22 Agustus

1914. Sayyid Abdullah bin Alwi Alatt...Lihat Selengkapnya

246110144Suka · · Bagikan

237.

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib bersama Intaha Intaha dan 2 orang lain.

18 Januari

341Suka · · Bagikan

238.

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib bersama Cah Metalan dan 6 orang lain.

18 Januari

1713617Suka · · Bagikan

240.

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib

17 Januari

NKRI Harga MATI Oleh: Maulana Al-Habib M. Luthfi bin Yahya

Bangsa kita telah 64 tahun merdeka. Waktu yang cukup lama, agaknya kita perlu merenungkan kembali arti kemerdekaan, agar kita dapat memaknai kembali ucapan

terima kasih secara lebih dalam. Kata ini mudah diucapkan, kedua kata ini sama-sama terdiri dari dua susunan kata; terima kasih, matur nuwun, dalam bahasa jawa, tapi

tanggung jawab dari dua susunan kata tersebut amat besar dan dalam sekali. Jadi kalau kita ucapka...Lihat Selengkapnya

2284161Suka · · Bagikan

241.

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib

17 Januari

Manaqib Al-Quthb Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman Assegaf

Nasab beliau yang mulia Beliau adalah Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin Umar bin

Segaf bin Muhammad dan terus bersambung nasabnya hingga sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Beliu dilahirkan di kota Sewun, Hadramaut, pada bulan Jumadil Akhir Tahun 1331 H. Beliau dibesarkan oleh kedua orangtuanya yang sholeh sehingga sejak kecil beliau telah

dihiasi dengan hidayah dan ketakwaa...Lihat Selengkapnya

Dalam banyak hadits diriwayatkan, bahwa Nabi sering duduk-duduk di sini dan

memanfaatkan airnya, sehingga pernah pada suatu hari Beliau saw. menyiram bagian betis kakinya sambil menggosok-gosoknya, dan ini tampak jelas sekali terlihat oleh Abi

Musa rhodiyallahu anhu. Kemudian nama sumur ini terkenal pu...Lihat Selengkapnya

2472771Suka · · Bagikan

243.

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib

16 Januari

Cerita Karomah (Kemuliaan) Guru Mulia Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa

1. Al-Habib Munzir al-Musawa Tidak Memiliki Rumah Seseorang pernah bertanya kepada Habib Munzir: “Wahai Habib, bukankah Rasul Saw.

juga punya rumah walau sederhana?” Beliau Habib Munzir tertegun dan menangis, beliau berkata: “Iya betul, tapi kan Rasul

Saw. juga tidak beli tanah, beliau diberi tanah oleh kaum Anshar, lalu bersama-sama membangun rumah, saya takut dipertanyakan Allah kalau ada orang mu...Lihat Selengkapnya

Berikut penggalan dalam kitab Siyarul Alam Wan Nubalaa' karya Imam Adzahabi ketika menulis biografi paman nabi Sayyidina Abbas rodhiyallahu anhu:

سن غ أحد هذه ال ل ب م ي نة ، ول س ون مان ست وث ه هجرة ، ول ين من ال الث ين وث ت ن نة اث س ي ت ف ان ك

ع ي ق ب ال بره ب لى ق قة ع شاه يمة بة عظ ه ق فاء ، ول ل خ ته ال من أوالده ، وال أوالدهم ، وال ذري Beliau meninggal pada tahun 32 H, dalam usia 86 tahun.

Tidak ada seorangpun dari anak anaknya, cucu-cucunya dan juga keturunan beliau yang hingga mencapai usia ini (86...Lihat Selengkapnya

1893052Suka · · Bagikan

245.

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib

15 Januari

Keteladanan Tiga Serangkai Tokoh NU

Inilah kisah-kisah tiga tokoh pilar penting Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan keterkaitan di

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib

15 Januari

Kisah Al-Habib Abubakar bin Hasan Alattas Az-Zabidi dengan Alm. Gus Dur

Sejak berada di Mesir, Habib Abu Bakar bin Hasan al-Atthas az-Zabidi berteman baik dengan Gus Dur. Jarak dan rasa sungkan sudah lama putus di antara keduanya.

Suatu h...Lihat Selengkapnya

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib

15 Januari

PEMBERITAHUAN.....

Assalamu'alaykum wr. wb.

bersama ini kami memberitahukan kepada khayalak umum bahwa akun Mading Hidayah Lirboyo (https://www.facebook.com/mading.lirboyo?ref=ts&fref=ts) BUKAN milik Mading Hidayah yang berada di bawah naungan lembaga M3HM (majelis Musyawarah

Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien) Lirboyo, melainkan milik PRIBADI yang mengatasnamakan sekaligus menggoshob nama Mading H...Lihat Selengkapnya

881116Suka · · Bagikan

248.

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib

15 Januari

هللا على طه رسول هللا صالة هللا سالم

صالة هللا سالم هللا على يس حبيب هللا httamars amailsr la maArassmmaAy la amalassA..

y a amaA iy ym ia`h aia sas a taia d ylatyla lAstst s ssl hhlana in inhLh.

dsdmaA d dmaea lalss ia`h mams taia rd` d`hamla tiy ym-tiy ym haA massm imara ia`h

y ma ss`la amdA dmyas la y idAA y h sma ba ym httdhae amar Landmyt

Aamalas`ia rala tld ytd`ha`t taiaes rs`Asm s ssl rdr sas tia ym ia`h tdmsea. tsla dmralts s ssl rdr sas... Lihat Selengkapnya

2552660Suka · · Bagikan

249.

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib

14 Januari

Duta Besar AS bertemu Pemimpin Spiritual Habib Munzir bin Fuad al-Musawa untuk Berdiskusi mengenai Toleransi Beragama dan Dialog Lintas Agama Duta Besar Amerika Serikat

Duta Besar AS bertemu Pemimpin Spiritual Habib Munzir bin Fuad al-Musawa untuk Berdiskusi mengenai Toleransi Beragama dan Dialog Lintas Agama

Duta Besar Amerika Serikat, Scot Marciel bertemu dengan pemimpin keagamaan yang sangat terkenal, Habib Munzir bin Fuad al-Musawa di kediaman beliau pada tanggal 9

Ja...Lihat Selengkapnya

2441847Suka · · Bagikan

251.

Kumpulan Foto Ulama dan Habaib

14 Januari

Profil Al-Habib Muhammad Al-Bagir bin Alwi Bin Yahya

(https://www.facebook.com/muhammadalbagir.binyahya?ref=ts&fref=ts)