54
MAKALAH DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN “NEFROSKLEROSIS” Guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Perkemihan Dosen Pembimbing: Ns. Ana Fitria Nusantara S,Kep. KELOMPOK 5 Anggota Kelompok: 1. MOH. KHOLIL SIDIK (14201.05.13014) 2. MOH INDRA WIBAWA (14201.05.13015) 3. NUR HIDAYATI (14201.05.13021) 4. KHUSWATUN KHASANAH (14201.05.13011) 5. RADHA NIKMATUL MAULA (14201.05.13025) 6. SAIFUL BAHRI (14201.05.13033) 7. SULI ASTRIA NUNGSIH (12.01.030)

MAKALAH NEFROSKLEROSIS KHOLIL

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ayo belajar

Citation preview

MAKALAH DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN “NEFROSKLEROSIS”

Guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Perkemihan

Dosen Pembimbing: Ns. Ana Fitria Nusantara S,Kep.

KELOMPOK 5Anggota Kelompok:

1. MOH. KHOLIL SIDIK (14201.05.13014)

2. MOH INDRA WIBAWA (14201.05.13015)

3. NUR HIDAYATI (14201.05.13021)

4. KHUSWATUN KHASANAH (14201.05.13011)

5. RADHA NIKMATUL MAULA (14201.05.13025)

6. SAIFUL BAHRI (14201.05.13033)

7. SULI ASTRIA NUNGSIH (12.01.030)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HAFSHAWATY

ZAINUL HASAN GENGGONG

PROBOLINGGO

TAHUN 2016

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, tuhan yang Maha

Pengasih lagi Maha Penyayang. Atas bimbingan dan pertolongannya sehingga

makalah ini dapat tersusun dengan berdasarkan berbagai sumber pengetahuan

yang bertujuan untuk membantu proses belajar mengajar mahasiswa agar

dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Sehingga dapat di terbitkan

sesuai dengan yang di harapkan dan dapat di jadikan pedoman dalam

melaksanakan kegiatan keperawatan dan sebagai panduan dalam

melaksanakan makalah dengan judul “Makalah dan Asuhan Keperawatan

pada Pasien NEFROSKLEROSIS”

Sebagai pembuka, kami mengucapkan terimakasih kepada :

1. KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah S.H., M.M. selaku ketua

yayasan STIKES Zainul Hasan Genggong.

2. Ibu Ns. Iin Aini Isnawati,M.Kes selaku ketua STIKES Zainul Hasan

Genggong.

3. Ibu Ns. Achmad Kusyairi, S.Kep. M.Kep. selaku pembimbing

akademik S1 Keperawatan.

4. Bapak Ns. Ana Fitria Nusantara S.Kep. Selaku pembimbing mata

kuliah Sistem Perkemihan yang telah meluangkan waktu, tenaga dan

pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam

rangka penyelesaian penyusunan makalah ini

Penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan

kesalahan,namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih

baik lagi.Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua

pembaca.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Penyusun

22 Februari 2016

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................

KATA PENGANTAR ...............................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................................

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................

1.2 Rumusan masalah..................................................................

1.3 Tujuan.....................................................................................

1.4 Manfaat...................................................................................

BAB 2. TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian...............................................................................

2.2 Etiologi....................................................................................

2.3 Klasifikasi dan Tanda Gejala...............................................

2.4 Patofisiologi............................................................................

2.5 Pemeriksaan Penunjang dan Dignostik...............................

2.6 Penatalaksanaan....................................................................

2.7 Komplikasi..............................................................................

2.8 Pencegahan.............................................................................

BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian..............................................................................

3.2 Diagnosa..................................................................................

3.3 Perencanaan ..........................................................................

3.4 Pelaksanaan ...........................................................................

3.5 Evaluasi...................................................................................

BAB 4. PENUTUP .....................................................................................

4.1 Kesimpulan ............................................................................

4.2 Saran.......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi merupakan faktor resiko utama bagi terjadinya serangan

penyakit pembuluh darah lainnya. Namun sebagian besar masyarakat belum

menyadari bahwa hipertensi juga memiliki kaitan erat dengan kesehatan ginjal.

Penyakit ginjal merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia.

Saat ini hipertensi diderita oleh lebih dari 800 juta orang di seluruh dunia.

Sekitar 10-30% penduduk dewasa di hampir semua negara mengalami

hipertensi. Dari 4.000 penderita hipertensi, sekitar 17 persen di antaranya juga

menyumbang penyakit gagal ginjal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Nurlaili Farida Muhajir 2010, seseorang dengan hipertensi mempunyai

kemungkinan untuk sakit Gagal Ginjal Kronik 16,000 kali lebih besar

dibandingkan dengan orang yang tidak hipertensi.Untuk penyakit ginjal kronik,

peningkatan terjadi sekitar 2-3 kali lipat dari tahun sebelumnya.

Penyakit ginjal yang disebabkan karena hipertensi disebut nefrosklerosis

hipertensi adalah penyakit ginjal yang disebabkan karena terjadinya kerusakan

vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkatan tekanan darah akut maupun

kronik. Nefropati hipertensi terbagi menjadi dua yakni nefropati hipertensi

benigna (Neproskelerosis benigna) dan nefropati hipertensi maligna

(nefrosklerosis maligna).

Untuk memperlambat progresifitas kerusakan ginjal akibat hipertensi,

penatalaksanaan perlu dilakukan dengan cermat. Pemakaian obat antihipertensi,

disamping untuk memperkecil risiko kardiovaskuler juga sangat penting

memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi

intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa,

pengendalian tekanan darah mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan

pembatasan asupan protein dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan

hipertrofi glomerulus.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi nefrosklerosis?

2. Bagaimana etiologi nefrosklerosis?

3. Bagaimana patofisiologi nefrosklerosis?

4. Bagaimana klasifikasi dan manifestasi klinis nefrosklerosis?

5. Bagaimana pemeriksaaan penunjang nefrosklerosis?

6. Bagaimana penatalaksanaan nefrosklerosis?

7. Apa komplikasi nefrosklerosis?

8. Bagaimana pencegahan nefrosklerosis?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan UmumMengetahui apa yang dimaksud dengan penyakit nefrosklerosis

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan definisi nefrosklerosis

2. Menjelaskan etiologi nefrosklerosis

3. Menjelaskan patofisiologi nefrosklerosis

4. Menjelaskan klasifikasi dan manifestasi klinis nefrosklerosis

5. Menjelaskan pemeriksaaan penunjang nefrosklerosis

6. Menjelaskan penatalaksanaan nefrosklerosis

7. Menjelaskan komplikasi nefrosklerosis

8. Menjelaskan pencegahan nefrosklerosis

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi Mahasiswa

Dapat di jadikan salah satu refrensi untuk belajar, selain itu makalah ini dapat

di jadikan sebagai salah satu refrensi dalam melakukan asuhan keperawatan

dalam ruang lingkup Nefrosklerosis

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan

Dapat di jadikan salah satu karya tulis ilmiah dapat di jadikan referensi dalam

acuan belajar.

1.4.3 Bagi Tenaga Kesehatan

Sebagai pedoman dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan di klinik

pada pasien dengan kasus Nefrosklerosis

1.4.4 Bagi Pembaca

Sebagai buku acuan belajar dan memahami tentang penyakit Nefrosklerosis

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Sistem perkemihan merupakan organ vital dalam melakukan ekskresi dan

melakukan eliminasi sisa-sisa hasil metabolisme tubuh. Selain mempunyai fungsi

eliminasi, sistem perkemihan juga mempunyai fungsi lainnya, yaitu sebagai

berikut:

1. Meregulasi volume darah dan tekanan darah dengan mengeluarkan

sejumlah cairan ke dalam urine dan melepaskan eritropoietin, serta

melepaskan renin.

2. Meregulasi konsentrasi plasma dari sodium, potasium, klorida, dan

mengontrol kuantitas kehilangan ion-ion lainnya ke dalam urine, serta

menjaga batas ion kalsium dengan menyintesis kalsitrol.

3. Mengonstribusi stabilisasi ph darah dengan mengontrol jumlah keluarnya

ion hydrogen dan ion bikarbonat ke dalam urine.

4. Menghemat pengeluaran nutrisi dengan memelihara ekskresi pengeluaran

nutrisi tersebut pada saat proses eliminasi produk sisa, terutama pada saat

pembuangan nitrogen seperti urea dan asam urat.

5. Membantu organ hati dalam mendetoksikasi racun selama kelaparan,

deaminasi asam amino yang dapat merusak jaringan.

Aktivitas sistem perkemihan dilakukan secara hati-hati untuk menjaga

komposisi darah dalam batas yang bisa diterima. Setiap adanya gangguan dari

fisiologis di atas akan memberikan dampak yang fatal.

Sistem perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra.

Untuk menjaga fungsi ekskresi, sistem perkemihan memiliki dua ginjal. Organ

ini memproduksi urine yang berisikan air, ion-ion, dan senyawa-senyawa solute

yang kecil. Urine meninggalkan kedua ginjal dan melewati sepasang ureter

menuju dan ditampung sementara pada kandung kemih. Proses ekskresi urine

dinamakan miksi, terjadi ketika adanya kontraksi dari otot-otot kandung kemih

menekan urine untuk keluar melewati uretra dan keluar dari tubuh.

1. Ginjal

Secara anatomi, kedua ginjal terletak pada setiap sisi dari kolumna tulang

belakang antara T12 dan L3. Ginjal kiri terletak agak lebih superior dibanding

ginjal kanan. Permukaan anterior ginjal kiri diselimuti oleh lambung, pancreas,

jejunum, dan sisi fleksi kolon kiri. Permukaan superior setiap ginjal terdapat

kelenjar adrenal.

Posisi dari kedua ginjal di dalam rongga abdomen dipelihara oleh (1)

dinding peritoneum, (2) kontak dengan organ-organ visceral, dan (3) dukungan

jaringan penghubung. Ukuran setiap ginjal orang dewasa adalah panjang 10 cm;

5,5 cm pada sisi lebar; dan 3 cm pada sisi sempit dengan berat setiap ginjal

berkisar 150 gr.

Lapisan kapsul ginjal terdiri atas jaringan fibrous bagian dalam dan bagian

luar. Bagian dalam memperlihatkan anatomis dari ginjal. Pembuluh-pembuluh

darah ginjal dan drainase ureter melewati hilus dan cabang sinus renal. Bagian

luar berupa lapisan tipis yang menutup kapsul ginjal dan menstabilisasi struktur

ginjal. Korteks ginjal merupakan lapisan bagian dalam sebelah luar yang

bersentuhan dengan kapsul ginjal. Medula ginjal terdiri atas 6-18 piramid ginjal.

Bagian dasar piramid bersambungan dengan korteks dan di antara pyramid

dipisahkan oleh jaringan kortikal yang disebut kolum ginjal.

a. Nefron

Ada sekitar 1 juta nefron pada setiap ginjal dimana apabila dirangkai akan

mencapai panjang 145 km. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh

karena itu pada keadaan trauma ginjal atau proses penuaan akan terjadi

penurunan jumlah nefron secara bertahap dimana jumlah nefron yang berfungsi

akan menurun sekitar 10% setiap 10 tahun, jadi pada usia 80 tahun jumlah nefron

yang berfungsi 40% lebih sedikit daripada usia 40 tahun. Penurunan fungsi ini

tidak mengancam jiwa karena perubahan adaptif sisa nefron dalam mengeluarkan

produk sisa yang tepat (Guyton, 1997 dalam buku Arif Muttaqin & Kumala Sari,

2012).

Nefron terdiri atas glomerulus yang akan dilalui sejumlah cairan untuk

difiltrasi dari darah dan tubulus yang panjang dimana cairan yang difiltrasi

diubah menjadi urine dalam perjalanannya menuju pelvis ginjal.

Perkembangan segmen-segmen tubulus dari glomerulus ke duktus

pengumpul. Setiap tubulus pengumpul menyatu dengan tubulus-tubulus

pengumpul lain untuk membentuk duktus yang lebih besar.

Glomerulus tersusun dari suatu jaringan kapiler glomerulus yang bercabang

dan beranastomosis, mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60 mmHg)

bila dibandingkan dengan jaringan kapiler lainnya. Kapiler glomerulus dilapisi

oleh sel-sel epitel dan seluruh glomerulus dibungkus dalam kapsula Bowman.

Cairan yang difiltrasi dari kapiler gromerulus mengalir ke dalam kapsula

Bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks

ginjal. Dari tubulus proksimal, cairan mengalir ke ansa Henle yang masuk ke

dalam medulla renal. Setiap lengkung terdiri atas cabang desenden dan asenden.

Binding/ikatan cabang desenden dan ujung cabang asenden yang paling rendah

sangat tipis, oleh karena itu, disebut bagian tipis dari ansa Henle. Ujung cabang

asenden tebal merupakan bagian tebal yang pendek, yang sebenarnya merupakan

plak pada dindingnya, dan dikenal sebagai macula densa. Setelah macula densa,

cairan memasuki tubulus distal, yang terletak pada korteks renal, seperti tubulus

proksimal.

Tubulus ini kemudian dilanjutkan dengan tubulus rektus dan tubulus

koligentes kortikal, yang menuju ke duktus koligentes tunggal besar yang turun

ke medulla dan bergabung membentuk duktus yang lebih besar secara progresif

yang akhirnya mengalir menuju pelvis renal melalui ujung papilla renal.

Meskipun setiap nefron mempunyai semua komponen seperti yang

digambarkan di atas, tetapi tetap terdapat perbedaan, bergantung pada berapa

dalamnya letak nefron pada massa ginjal. Nefron yang memiliki glomerulus dan

terletak di luar korteks disebut nefron kortikal; nefron tersebut mempunyai ansa

Henle pendek yang hanya menembus ke dalam medulla dengan jarak dekat.

Setiap segmen-segmen distal nefron bertanggung jawab terhadap (1) reabsorpsi

seluruh substrat organik yang masuk tubulus, (2) reabsorpsi 90% lebih dari air

yang difiltrasi, dan (3) sekresi air dan produk sisa ke tubulus yang hilang pada

saat proses filtrasi.

Kira-kira 20-30% nefron mempunyai gromerulus yang terletak di korteks

renal sebelah dalam dekat medulla dan disebut nefron jukstamedular. Nefron ini

mempunyai ansa Henle yang panjang dan masuk sangat dalam ke medulla. Pada

beberapa tempat semua berjalan menuju ujung papilla renal.

Struktur vaskular yang menyuplai nefron jukstamedular juga berbeda dengan

yang menyuplai nefron kortikal. Pada nefron kortikal, seluruh sitem tubulus

dikelilingi oleh jaringan kapiler peritubular yang luas. Pada nefron

jukstamedular, arteriol eferen panjang akan meluas dari gromerulus turun ke

bawah menuju medulla bagian luar dan kemudian membagi diri menjadi kapiler-

kapiler peritubulus khusus yang disebut vasa rekta, yang meluas ke bawah

menuju medulla dan terletak berdampingan dengan ansa Henle. Seperti ansa

Henle, vasa rekta kembali menuju korteks dan mengalirkan isinya ke dalam vena

kortikal.

b. Aliran Darah Ginjal

Ginjal menerima sekitar 1200 ml darah per menit atau 21% dari curah

jantung. Aliran darah yang sangat besar ini tidak ditujukan untuk memenuhi

kebutuhan energi yang berlebihan, tetapi agar ginjal dapat secara terus menerus

menyesuaikan komposisi darah. Dengan menyesuaikan komposisi darah, ginjal

mampu mempertahankan volume darah, memastikan keseimbangan natrium,

klorida, kalium, kalsium, fosfat, dan ph, serta membuang produk-produk

metabolisme sebagai urea.

Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum bersama dengan ureter dan

vena renalis, kemudian bercabang-cabang secara progresif membentuk arteri

interlobaris, arteri skuata, asteri interlobularis (juga disebut arteri radialis), dan

arteriol aferen, yang menuju ke kapiler glomerulus dalam gromerulus dimana

sejumlah besar cairan dan zat terlarut (kecuali protein plasma) difiltrasi untuk

memulai pembentukan urine.

Ujung distal kapiler dari setiap gromerulus bergabung untuk membentuk

arteriol aferen, yang menuju jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler peritubular

yang mengelilingi tubulus ginjal.

Sirkulasi ginjal ini bersifat unik karena memiliki dua bentuk kapiler, yaitu

kapiler glomerulus dan kapiler peritubulus, yang diatur dalam suatu rangkaian

dan dipisahkan oleh arteriol eferen yang membantu untuk mengatur tekanan

hidrostatik dalam kedua perangkat kapiler. Tekanan hidrostatik yang tinggi pada

kapiler gromerulus (kira-kira 60 mmHg) menyebabkan filtrasi cairan yang cepat,

sedangkan tekanan hidrostatik yang lebih jauh lebih rendah pada kapiler

peritubulus (kira-kira 13 mmHg) menyebabkan reabsorpsi cairan yang cepat.

Dengan mengatur resistensi arteriol aferen dan eferen, ginjal dapat mengatur

tekanan hidrostatik kapiler glomerulus dan kapiler peritubulus, dengan demikian

mengubah laju filtrasi glomerulus dan/atau reabsorpsi tubulus sebagai respons

terhadap kebutuhan homeostatic tubuh (Guyton, 1997 dalam buku Arif Muttaqin

& Kumala Sari, 2012)

Kapiler peritubulus mengosongkan isinya ke dalam pembuluh sistem vena,

yang berjalan secara parallel dengan pembuluh arteriol dan secara progresif

membentuk vena interlobularis, vena arkuata, vena interlobaris, dan vena renalis

yang meninggalkan ginjal di samping arteri renalis dan ureter.

c. Pembentukan Urine

Kecepatan ekskresi berbagai zat dalam urine menunjukkan jumlah ketiga

proses ginjal, yaitu (1) filtrasi gromerulus, (2) reabsorpsi zat dari tubulus renal ke

dalam darah, dan (3) sekresi zat dari darah ke tubulus renal.

Pembentukan urine dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang bebas

protein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam

plasma, kecuali untuk protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya

pada filtrat glomerulus dalam kapsula Bowman hampir sama dengan dalam

plasma. Ketika cairan yang telah difiltrasi ini meninggalkan kapsula Bowman

dan mengalir melewati tubulus, cairan diubah oleh reabsorpsi air dan zat terlarut

spesifik yang kembali ke dalam darah atau oleh sekresi zat-zat lain dari kapiler

peritubulus ked lam tubulus.

Produksi urine akan memelihara homeostasis tubuh dengan meregulasi

volume dan komposisi dari darah. Proses ini berupa ekskresi dan eliminasi dari

berbagai larutan, terutama hasil sisa metabolisme yang meliputi Urea, Kreatinin,

Asam Urat.

Produk sisa harus diekskresi dalam larutan sehingga proses eliminasi juga

akan mengalami kehilangan air. Kedua ginjal mampu memproduksi konsentrasi

urine dengan konsentrasi osmotik 1200 sampai 1400 mOsm/L, melebihi empat

kali konsentrasi plasma. Apabila kedua ginjal tidak mampu untuk

mengonsentrasikan produk filtrasi dan filtrasi gromerulus, kehilangan cairan

yang banyak akan berakibat fatal dimana terjadi dehidrasi pada beberapa jam

kemudian. Untuk memenuhi hal tersebut, ginjal memerlukan tiga proses berbeda,

yaitu sebagai berikut:

1) Filtrasi. Pada saat filtrasi, tekanan darah akan menekan air untuk

menembus membrane filtrasi. Pada ginjal, membran filtrasi terdiri atas

glomerulus, endothelium, lamina densa, dan celah filtrasi.

2) Reabsorpsi. Reabsorpsi adalah perpindahan air dan larutan dari filtrate,

melintasi epitel tubulus dan ke dalam cairan peritubular. Kebanyakan

material yang diserap kembali adalah nutrient gizi yang diperlukan tubuh.

Dengan kata lain, elektrolit, seperti ion natrium, klorida, dan bikarbonat,

direabsorpsi dengan sangat baik sehingga hanya sejumlah kecil saja yang

tampak dalam urine. Zat nutrisi tertentu, seperti asam amino dan glukosa,

direabsorpsi secara lengkap dari tubulus dan tidak muncul dalam urine

meskipun sejumlah besar zat tersebut difiltrasi oleh kapiler glomerulus.

3) Sekresi. Sekresi adalah transportasi larutan dari peritubulus ke epitel

tubulus dan menuju cairan tubulus. Sekresi merupakan proses penting

sebab filtrasi tidak mengeluarkan seluruh material yang dibuang dari

plasma. Sekresi menjadi metode penting untuk membuang beberapa

material, seperti berbagai jenis obat yang dikeluarkan ke dalam urine.

Pada saat yang sama, kedua ginjal akan memastikan cairan yang hilang tidak

berisi substrat organik yang bermanfaat, seperti glukosa, asam amino yang

banyak terdapat di dalam plasma darah. Material yang berharga ini harus diserap

kembali dan ditahan untuk digunakan oleh jaringan lain.

Setiap proses filtrasi gromerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus

diatur menurut kebutuhan tubuh. Sebagai contoh, jika terdapat kelebihan natrium

dalam tubuh, laju filtrasi natrium meningkat dan sebagian kecil natrium hasil

filtrasi akan direabsorpsi, menghasilkan peningkatan ekskresi dalam urine.

Pada banyak zat, laju filtrasi dan reabsorpsi relatif sangat tinggi terhadap laju

ekskresi. Oleh karena itu, pengaturan yang lemah terhadap filtrasi atau reabsorpsi

dapat menyebabkan perubahan yang relatif besar dalam ekskresi ginjal. Sebagai

contoh, kenaikan laju filtrasi gromerulus (GFR) yang hanya 10% (dari 180

menjadi 198 liter/hari) akan menaikan volume urine 13 kali lipat (dari 1,5

menjadi 19,5 liter/hari) jika reabsorpsi tubulus tetap konstan.

d. Filtrasi Gromerulus

Filtrasi glomerulus adalah proses dimana sekitar 20% plasma yang masuk ke

kapiler glomerulus menembus kapiler untuk masuk ke ruang intertisium,

kemudian ke dalam kapsula Bowman. Pada ginjal yang sehat, sel darah merah

atau protein plasma hampir tidak ada yang mengalami filtrasi.

Proses filtrasi menembus glomerulus serupa dengan yang terjadi pada proses

filtrasi di seluruh kapiler lain. Hal yang berbeda pada ginjal adalah bahwa kapiler

glomerulus sangat permeable terhadap air dan zat-zat terlarut yang berukuran

kecil. Tidak seperti kapiler lain, gaya yang mendorong filtrasi plasma menembus

kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman lebih besar daripada gaya yang

mendorong reabsorpsi cairan kembali ke kapiler. Dengan demikian, terjadi

filtrasi bersih cairan ke dalam ruang Bowman. Cairan ini kemudian masuk dan

berdifusi ke dalam kapsula Bowman dan memulai perjalanannya ke seluruh

nefron. Pada glomerulus, adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotatik

koloid pada kedua sisi kapiler menyebabkan terjadinya perpindahan cairan.

2. Ureter

Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi

mengalirkan urine dari pielum ginjal ke dalam kandung kemih. Pada orang

dewasa, panjangnya kurang lebih 20 cm. Dindingnya terdiri atas mukosa yang

dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot polos sirkuler dan longitudinal yang

dapat melakukan gerakan peristaltik (berkontraksi) guna mengeluarkan urine ke

kandung kemih.

Jika karena sesuatu sebab terjadi sumbatan pada aliran urine, terjadi

kontraksi otot polos yang berlebihan yang bertujuan untuk

mendorong/mengeluarkan sumbatan tersebut dari saluran kemih. Kontraksi itu

dirasakan sebagai nyeri kolik yang datang secara berkala, sesuai dengan irama

peristaltik ureter.

Ureter memasuki kandung kemih menembus otot detrusor di daerah

trigonum kandung kemih. Normalnya ureter berjalan secara oblique sepanjang

beberapa sentimenter menembus kandung kemih yang disebut dengan ureter

intramural kemudian berlanjut pada ureter submukosa. Tonus normal dari otot

detrusor pada dinding kandung kemih cenderung menekan ureter, dengan

demikian mencegah aliran balik urine dari kandung kemih saat terjadi tekanan di

kandung kemih. Setiap gelombang peristaltik yang terjadi sepanjang ureter akan

meningkatkan tekanan dalam ureter sehingga bagian yang menembus kandung

kemih membuka dan memberi kesempatan kandung urine mengalir ke dalam

kandung kemih.

3. Kandung Kemih

Kandung kemih berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian

mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam

menampung urine, kandung kemih mempunyai kapasitas maksimal, dimana pada

orang dewasa besarnya adalah ±300-450 ml. Pada saat kosong, kandung kemih

terletak di belakang simfisis pubis dan pada saat penuh berada di atas simfisis

sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi.

Kandung kemih adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor

yang saling beranyaman. Pada dinding kandung kemih terdapat 2 bagian yang

besar. Ruangan yang berdinding otot polos adalah sebagai berikut:

a) Badan (korpus) merupakan bagian utama kandung kemih dimana urine

berkumpul.

b) Leher (kolum), merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk corong,

berjalan secara inferior dan anterior ke dalam daerah segitiga urogenital

dan berhubungan dengan uretra. Bagian yang lebih rendah dari leher

kandung kemih disebut uretra posterior karena hubungannya dengan

uretra.

Serat-seratnya meluas ke segala arah dan bila berkontraksi dapat

meningkatkan tekanan dalam kandung kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg,

dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting untuk

mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot detrusor terangkai

satu sama lain sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah dari satu sel otot

ke sel yang lain. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot

detrusor, dari satu sel otot ke sel otot yang berikutnya sehingga terjadi kontraksi

seluruh kandung kemih.

Pada dinding posterior kandung kemih, tepat di atas bagian leher dari

kandung kemih, terdapat daerah segitiga kecil yang disebut trigonum. Bagian

terendah dari apeks trigonum adalah bagian kandung kemih yang membuka

menuju leher masuk ke dalam uretra posterior dan kedua ureter memasuki

kandung kemih pada sudut tertinggi di trigonum.

Trigonum sangat dikenal dengan mukosanya, yaitu lapisan paling dalam

kandung kemih yang memiliki testur paling lembut dibandingkan dengan

lapisan-lapisan lainnya yang berlipat-lipat berbentuk rugae. Masing-masing

ureter pada saat memasuki kandung kemih, berjalan secara oblique melalui otot

detrusor dan kemudian melewati 1 sampai 2 sentimeter lagi di bawah mukosa

kandung kemih sebelum mengosongkan diri ke dalam kandung kemih.

Leher kandung kemih (uretra posterior) panjangnya 2 sampai tiga sentimeter,

dan dindingnya terdiri atas otot detrusor yang bersilangan dengan sejumlah besar

jaringan elastis. Otot pada daerah ini disebut sfingter internal. Sifat tonusnya

secara normal mempertahankan leher kandung kemih dan uretra posterior agar

kosong dari urine, dan oleh karena itu mencegah pengosongan kandung kemih

sampai pada saat tekanan puncak yang dilakukan oleh otot-otot kandung kemih

dalam mendorong urine keluar melalui uretra.

Setelah uretra posterior, uretra berjalan melewati diafragma urogenital, yang

mengandung lapisan otot yang disebut sfingter eksterna kandung kemih. Otot ini

merupakan otot lurik yang berbeda dengan otot pada badan dan leher kandung

kemih, yang hanya terdiri atas otot polos. Otot sfingter eksterna bekerja di bawah

kendali sistem saraf volunter dan dapat digunakan secara sadar untuk menahan

miksi (berkemih) bahkan bila kendali involunter berusaha untuk mengosongkan

kandung kemih.

Persarafan utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang berhubungan

dengan medulla spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan

medulla spinalis segmen S2 dan S3. Berjalan melalui nervus pelvikus ini adalah

serat saraf motorik. Serta sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding

kandung kemih. Tanda-tanda regangan dari uretra posterior bersifat sangat kuat

dan terutama bertanggung jawab untuk mencetuskan reflex yang menyebabkan

kandung kemih melakukan kontraksi pada proses miksi.

Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat

parasimpatis. Serat ini berakhir pada sel ganglion yang terletak dalam dinding

kandung kemih, saraf postganglion pendek, kemudian mempersarafi otot

detrusor.

Selain nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang penting untuk

fungsi kandung kemih. Hal yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan

melalui nervus pudendal menuju sfingter eksternus kandung kemih, yang

mempersarafi dan mengontrol sfingter otot lurik pada sfingter. Selain itu,

kandung kemih juga menerima saraf simpatis dari rangkaian simpatis melalui

nervus hipogastrikus, terutama hubungan dengan segmen L2 medula spinalis.

Serat simpatis ini mungkin terutama merangsang pembuluh darah dan sedikit

memengaruhi kontraksi kandung kemih. Beberapa serat saraf sensorik juga

berjalan melalui saraf simpatis dan mungkin penting dalam menimbulkan sensasi

rasa penuh dan pada beberapa keadaan terasa nyeri.

4. Uretra

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari kandung kemih

melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu

uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam

menyalurkan cairan mani.

Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada

perbatasan kandung kemih dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak

pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas

otot polos yang dipersarafi oleh system simpatik sehingga pada saat kandung

kemih penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot

bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai dengan

keinginan seseorang. Pada saat BAK, sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada

saat menahan urine.

Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa

kurang lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan

hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria. Uretra posterior pada

pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh

kelenjar prostat dan uretra pars membranasea. Pada bagian posterior lumen uretra

prostatika, terdapat suatu tonjolan veromontanum, dan di sebelah proksimal dan

distal dari verumontanum ini terdapat Krista uretralis. Bagian akhir dari vas

deferens yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat di pinggir kiri dan kanan

verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus

prostatikus yang terbesar di uretra prostatika.

2.1 Definisi

Menurut Suyono 2001, Secara sederhana, nefrosklerosis diartikan sebagai

pengerasan ginjal. Kata ini diperkenalkan oleh Theodor Fahr lebih dari satu abad

yang lalu. Secara terminologi, nefrosklerosis hipertensif diartikan sebagai

nefrosklerosis benigna, dengan ditemukannya kerusakan pada arteriola arkuata,

interlobular, serta arteriola aferen dan eferen. Gambaran histopatologi ditandai

adanya hialinoisis arteriolar dan hipertrofi otot vaskular.

Nefrosklerosis adalah pengerasan atau sklerosis arteri ginjal akibat

hipertensi yang lama. Penyakit ini menyebabkan penurunan aliran darah ke

ginjal dan bercak nekrosis parenkim renal. Kadang-kadang terjadi fibrosis dan

kerusakan glomerulus.

Istilah nefrosklerosis hipertensif sebenarnya telah lama digunakan untuk

menggambarkan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya riwayat

hipertensi esensial lama, retinopati hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri,

proteinuria minimal, dan insufi siensi renal yang progresif.

Nefrosklerosis hipertensi adalah penyakit ginjal yang disebabkan karena

terjadinya kerusakan vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkatan tekanan

darah. Nefrosklerosis yang terjadi akibat hipertensi (nefrosklerosis hipertensive)

terbagi menjadi dua yakni Neproskelerosis benigna dan nefrosklerosis maligna.

2.2 Etiologi

Nefrosklerosis merupakan suatu keadaan yang lebih berat, yang terjadi

bersamaan dengan hipertensi maligna. Hipertensi maligna paling sering terjadi

akibat tekanan darah tinggi yang tidak terkendali, tetapi juga bisa terjadi akibat :

- Glomerulonefritis

- Gagal ginjal kronis

- Penyempitan arteri renalis (hipertensi vaskuler renalis)

- Peradangan pembuluh darah ginjal (vaskulitis renalis)

Nefrosklerosis benigna biasanya ditemukan pada dewasa lanjut.

Penyebabnya dikarenakan nefrosklerosis benigna ini sering dihubungkan dengan

arterisklerosis/usia tua dan hipertensi.

2.3 Patofisiologi

Tekanan glumerular dipengaruhi oleh tiga faktor yakni tekanan arteri rerata

(mean arterial pressure – MAP) atau tekanan perfusi, dan kedua arteriol aferen

dan arteriol eferen. Kondisi normal tekanan darah sistemik yang mengalami

peningkatan secara kontinyu tidak berakibat banyak pada mikrovaskular

glomerular. Hal ini karena adanya perlindungan oleh suatu mekanisme

autoregulasi dengan vasokontriksi arteriol aferen untuk mempertahankan “renal

blod flow” dan agar tekanan hidrostatik intraglomerular dalam keadaan relative

konstan. Respon peningkatan MAP (Mekanisme Autoregulasi Kapiler) adalah

peningkatan resistensi arteriol aferen untuk mencegah tekanan sistemik yang

tinggi dalam kapiler. Sedangkan pada resistensi arteriol eferen dapat

menurunkan dan menyebabkan dekompresi pada glumerulus. Hal ini berguna

untuk membatasi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler glumerular, guna

mempertahankan aliran plasma renal agar dalam kondisi konstan.

Jika MAP berada sedikit diatas batas autoregulasi, yang terjadi adalah

nefrosklerosis benigna, namun jika terjadi peningkkatan akselerasi tekanan darah

yang mendadak dapat mengakibatkan terjadinya nefrosklerosis maligna.

Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan resistensi

arteriol aferen dan eferen yang menyempit akibat perubahan struktur

mikrovaskuler. Pada kondisi ini akan menyebabkan iskemi glomerular dan

mengaktivasi respon inflamsi. Hasilnya, akan terjadi pelepasan mediator

inflamasi, dan aktivasi angiotensin II intrarenal. Kondisi ini pada akhirnya akan

mengaktivasi apoptosis guna meningkatkan produksi matriks dan deposit pada

mikrovaskular glumerulus dan terjadilah sklerosis glomerulus atau

nefrosklerosis.

2.4 Klasifikasi dan manifestasi klinis

Terdapat dua bentuk nefrosklerosis :

a. Nefrosklerosis maligna

Nefrosklerosis ganas terjadi pada hipertensi maligna. Komplikasi ini

terjadi pada sekitar 5% pasien hipertensi. Sering dihubungkan dengan

hipertensi maligna (tekanan darah diastolik > 130 mm Hg). Hal ini biasanya

terjadi pada dewasa muda,dan pria terkena dua kali lipat lebih sering dari

pada wanita. Proses penyakit berkembang cepat dan lebih dari 50% pasien

meninggal akibat uremia dalam beberapa tahun.

Ginjal berukuran normal atau sedikit membesar dan mempunyai

permukaan yang licin dengan banyak perdarahan petekia kecil. Secara

mikroskopis, terdapat nekrosis fibrinoid (nekrosis fibrinoid tampak sebagai

bahan granular merah muda yang tampak dengan imunofluoresen) arteriol

dan glomerulus. Arteri interlobus memperlihatkan proliferasi selular intimal

dan fibrosis yang berlapis-lapis (kulit bawang). Penyempitan lumen

menyebabkan iskemia.

Secara klinis, nefrosklerosis ganas bermanifestasi sebagai proteinuria

dan hematuria,yang kemudian dengan cepat diikuti oleh gagal ginjal akut.

Tanpa pengobatan, 90% pasien meninggal dalam satu tahun. Dengan

pengobatan anti hipertensi modern, lebih dari 60% pasien dapat bertahan

hidup selama 5 tahun setelah diagnosis.

b. Nefrosklerosis benigna

Nefroskelerosis benigna adalah kerusakan vaskularisasi pada ginjal

yang disebabkan karena peningkatan tekanan darah yang menetap

(hipertensi stage 2) baik primer maupun sekunder dalam kurun waktu lebih

dari 3 bulan dengan LFG < 60 mL/menit/1,73m2 .

Nefrosklerosis jinak terjadi pada sebagian besar pasien hipertensi

esensial. Perubahan serupa tampak pada autopsi pasien usia lanjut tanpa

hipertensi, akibat proses penuaan. Terdapat pengurangan ukuran ginjal yang

simetris bilateral. Permukaan ginjal bergranular merata halus dan terjadi

penipisan yang seragam pada korteks ginjal. Secara mikroskopis, terdapat

penebalan hialin dinding arteri kecil dan arteriol (penyempitan lumen

pembuluh darah ini menyebabkan iskemia glomerulus kronis), sklerosis

global pada glomerulus, dan atrofi nefron dengan fibrosis intertisial.

Dengan imunofloresensi dan mikroskop elektron tidak tampak adanya bukti

deposit imun. Perubahan nefrosklerosis jinak biasanya ringan. Gagal ginjal

kronis terjadi kurang dari 5% kasus.

Manifestasi klinis pasien dengan nefrosklerosis benigna jarang

mengeluh gejala renal, gejala yang muncul:

- Proteinuria ringan

- Nokturia

- Gejala lainnya seperti:

Gelisah.

Linglung.

Mengantuk.

Penglihatan kabur.

Sakit kepala.

Mual.

Muntah.

Hematuria makroskopik.

Proteinuria berat.

Peningkatan kreatinin plasma

2.5 Pemeriksaan penunjang

Biopsi ginjal pada nefroskleroris hipertensif serupa dengan kondisi pada

nefropati diabetic. Biopsi ginjal hanya dilakukan pada keadaan tertentu saja

yakni pada penderita yang tidak mengalami askselerasi hipertensi atau riwayat

hipertensi yang lama disertai dengan kadar serum kreatinin kurang dari 2,5

mg/dL dan proteinuria lebih dari 1.500 mg per 24 jam meski ada juga yang

menyebutkan proteinuria dapat kurang dari 500 mg/ 24 jam.

2.6 Penatalaksanaan

A. FARMAKOLOGI

Hingga saat ini, penatalaksanaan NH masih mengacu pada penelitian

AASK (African American Study of Kidney Disease and Hypertension).

AASK meneliti 1094 orang ras Afrika-Amerika yang hipertensi kronik

dengan gangguan fungsi ginjal yang tidak dapat dijelaksan sebabnya serta

adanya proteinuria ringan berkisar 500-600 mg per hari. Digunakan tiga obat

antihipertensi yakni ramipril, metoprolol dan amlodipin. Target penurunan

tekanan darah adalah 125/75 mmHg atau 140/90 mmHg. Sasaran primer pada

akhir penelitian ini adalah perubahan LFG yakni saat pertama terjadi

penurunan LFG 50% atau LFG 25 ml/menit/1,73 m2, saat terjadi gagal ginjal

atau saat kematian. Penelitian ini selama 4 tahun, didapatkan rerata penuruan

tekanan darah tertinggi adalah 141/85 mmHg dan rerata penurunan tekanan

darah terendah adalah 128/78 mmHg. Sasaran primer ternyata tidak berbeda

bermakna pada kelompok dengan target 140/90 mmHg atau 125/75 mmHg.

Hal ini menunjukkan bahwa target tekanan darah kurang 140/90 mmHg tidak

memberikan hasil lebih baik. Dari segi kelompok jenis obat, ramipril

menunjukkan hasil sasaran primer yang lebih baik dibandingkan dengan

metoprolol atau berbeda bermaknadengan amlodipin. Namun setelah 10 tahun

penelitian, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara ketiga jenis

antihipertensi maupun penurunan tekanan darah serendah mungkin terhadap

progesi penurunan LFG.

Dari hasil penelitian jurnal yang dilakukan oleh Siewer-Delle dkk di

Swedia, diteliti 23 pasien pria dengan hipertensi primer baru dan 11 pasien

pria dengan normotensi dengan usia yang sama. Antihipertensi yang dipakai

adalah penyekat beta dan penambah hidroklorotiazid jika diperlukan. lFG

dinilai pada saat awal, saat 7 tahun dan saat 14 tahun. Setelah 7 tahun

penelitian, ternyata didapatkan penurunan LFG dari 103 ml/menit/1,73m2

menjadi 84ml/menit/ 1,73m2. Namun setelah itu tidak terjadi penurunan LFG

sampai dengan tahun ke 14. Selama 14 tahun penelitian, didapatkan rerata

tekanan darah berkisar 139/88 mmHg. Siewert menyimpulkan bahwa pada

pasien Swedia (ras kulit putih), pengendalian hipertensi dengan obat

konvensional dapat mencegah penurunan fungsi ginjal selama 14 tahun.

Jadi dapat disimpulkan bahwa target (1) penurunan tekanan darah pada

pasien dengan nefrosklerosis hipertensif adalah <140/90 mmHg. Dan target

(2) semua jenis antihipertensi menunjukkan hasil yang tidak berbeda dalam

mencegah progesi penurunan LFG.

B. NON FARMAKOLOGI

Penatalaksaan lain dengan operasi bypass rekontruksi vascular. Dimana

tujuan operasi adalah untuk menghilangkan hipertensi dan memperbaiki

perfusi/atrofi ginjal lebih lanjut. Dan sebagai hasil dari tindakan operasi

rekontruksi vascular salah satu komplikasinya yakni perdarahan, thrombosis

arterial, thrombosis V.renalis, restenosis dan gagal ginjal akut. Penyebab

utama kematian adalah uremia pasca bedah, perdarahan dan infark jantung.

Serta tidak membaiknya hipertensi pasca bedah adalah thrombosis dalam

arteri yang diperbaiki. Apabila tidak ada komplikasi yang berhubngan dengan

teknik operasi, hasil rekontruksi lebih baik.

Pengobatan terhadap nefrosklerosis berfokus pada deteksi awal terhadap

hipertensi dan pengobatannya. Faktor penyebab harus dicari dan dilakukan

tindakan untuk menurunkan hipertensi. Apabila terjadi kerusakan ginjal yang

berarti, pemulihan kesehatan umum pasien dan perlambatan laju kerusakan

ginjal dapat menjadi tujuan pengobatan. Pengendalian hipertensi tetap

dilaksanakan. Untuk menangani kedaruratan hipertensif, vasodilator yang

poten, missal diazoksid dan natrium nitroprusid, perludipakai. Obat ini

diberikan secara drip IV dan dapat menurunkan tekanan darah dengan cepat.

Pemantauan terhadap hipotensi, takikardia, kegelisahan, sakitkepala,

kejangotot, dan nyeri retrosternum atau abdominal dilakukan secaraterus-

menerus. Perawatan untuk pasien dengan nefrosklerosis sama dengan gagal

ginjal kronik.

2.7 Komplikasi

Hipertensi merupakan penyebab kedua terjadinya penyakit ginjal tahap

akhir. Sekitar 10% individu pengidap hipertensi esensial akan mengalami

penyakit ginjal tahap akhir. Pada nefrosklerosis benigna, pembuluh darah arteri

ginjal tampak tebal, lumen menyempit, dan ada kapiler glomerular yang

sklerotik dan kempis. Perubahan vascular ini dapat menyebabkan suplai darah

keginjal berkurang. Tubulus ginjal juga mengalami atrofi. Pada nefrosklerosis

benigna, tanda dan gejalanya juga ringan seperti proteinuria ringan. Nokturia

dapat terjadi karena kemampuan tubula mengonsentrasi urine juga berkurang.

Walaupun insufisiensi ginjal yang terjadi ringan, pasien ini memiliki risiko

tinggi untuk mengalami gagal ginjal akut.

Pada nefrosklerosis maligna, perubahan besarnya adalah nekrosis dan

penebalan arteriola, kapiler glomerular, serta artrofi tubula yang tersebar. Selain

itu terjadi hematuria makroskopik proteinuria berat dan peningkatan kreatinin

plasma. Nefrosklerosis maligna adalah kondisi kedaruratanmedis. Tekanan darah

yang tinggi harus diturunkan untuk menghindari kerusakan ginjal yang

permanen dan kerusakan organ tubuh yang vital, misalnya otak dan jantung.

Tanda dan gejalanya sama dengan gagal ginjal kronik.

2.8 Pencegahan

Pencegahan yang baik adalah penapisan rutin untuk mendeteksi hipertensi,

pengobatan hipertensi, dan perawatan lanjut. Strategi pencegahan yang efektif

dalam mengidentifikasi individu yang beresiko tinggi (usia, obesitas, diabetes

mellitus, riwayat keluarga positif, perokok, dan tidak melakukan gerak badan)

dan menerapkan modifikasi hidup yang sesuai. Pasien dengan nefrosklerosis

perlu juga mengetahui jenis obat, modifikasi diet, dan perawatan lanjut. Ia perlu

diberi pengetahuan dan keterampilan memantau tekanan darahnya serta

mengukur asupan dan haluaran cairan.

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

A. Identitas  Klien

Nama pasien, Umur (biasanya pasien yang berumur 40 >), pendidikan,

pekerjaan, alamat, suku/bangsa, agama

B. Keluhan Utama                 

urine berwarna merah/pekat,

C. Riwayat Penyakit Sekarang    :

Pasien mengeluh, urine berwarna merah saat berkemih. Sebelumnya

pasien juga, sering berkemih dimalam hari. Pasien memiliki penyakit

hipertensi bertahun-tahun.

D. Riwayat Penyakit Dahulu      :

Biasanya pasien dahulu pernah mengalami riwayat Hipertensi lama

(derajat I atau II)

E. Pemeriksaan fisik

1. Sirkulasi

Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat

Tanda :

- Hipertensi, nadi kuat

- Disritmia jantung.

2. Eliminasi

Gejala : Penurunan frekuensi urin,nokturia, proteinuria.

Tanda :

- Perubahan warna urin, kemerahan.

F. Pemeriksaan Penunjang

1. USG ginjal menunjukkan ginjal mengecil dan bentuk iregular dapat

membantu mengarahkan ke diagnosis NH.

2. Biopsi ginjal hanya dilakukan pada keadaan tertentu saja yakni pada

penderita yang tidak mengalami akselerasi hipertensi atau riwayat

hipertensi yang lama disertai dengan kadar serum kreatinin kurang dari

2,5 mg/dL dan proteinuria lebih dari 1.500 mg per 24 jam meski ada

juga yang menyebutkan proteinuria dapat kurang dari 500 mg/24 jam.

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi pada srtuktur

urinarius.

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urine,

retensi cairan dan natrium sekunder.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan produksi energi

metabolic, anemia, retensi produksi sampah dan prosedur dialisa.

4. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan

pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

3.3 Intervensi

Dx.1 : Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi pada

srtuktur urinarius

Tujuan    : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, gangguan

eliminasi urine dapat teratasi.

Kriteria Hasil

Pola eliminasi membaik,

Tidak terjadi gangguan berkemih.

Intervensi Rasional

1. Awasi pemasukan dan

pengeluaran karakteristik urin.

2. Observasi perubahan status

mental: perilaku atau tingkat

kesadaran.

3. Anjurkan klien untuk

meningkatkan pemasukan

cairan.

4. Informasikan kepada klien dan

keluarga klien mengenai

penyakit serta pengobatannya.

5. Kolaborasi awasi pemeriksaan

laboratorium; elektrolit, BUN,

kreatinin.

1. Memberikan informasi tentang

fungsi ginjal dan adanya

komplikasi.

2. Akumulasi sisa uremik dan

ketidakseimbangan elektrolit

dapat menjadi toksik pada

susunan saraf pusat

3. Peningkatan hidrasi membilas

bakteri

4. Untuk meningkatkan kepatuhan

klien terhadap pengobatannya.

5. Pengawasan terhadap disfungsi

ginjal.

Dx.2 : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan

haluran urine, retensi cairan dan natrium sekunder.

Tujuan : setelah di lakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam kekurangan

volume cairan teratasi.

Kriteria hasil :

Klien menunjukkan keseimbangan intake dan output

Turgor kulit baik

Membrane mukosa lembab

Nadi perifer teraba

BB dan TTV dalam batas normal

Elektrolit dalam batas normal

Intervensi Rasional

1. Ukur intake & output

cairan, hitung IWL yang

akurat.

2. Berikan cairan sesuai

indikasi.

3. Awasi tekanan darah,

perubahan frekuansi

jantung, perhatikan

tanda-tanda dehidrasi.

4. Kontrol suhu

lingkungan.

5. Awasi hasil Lab :

elektrolit Na.

1. Membantu memperkirakan

kebutuhan penggantian

cairan. Pemasukan cairan

harus memperkirakan

kehilangan melalui urine,

nasogastrik/drainase luka,

dan kehilangan tak kasat

mata.

2. Fase diuretik GGA dapat

berlanjut pada fase oliguria

bila pemasukan cairan tidak

dipertambahkan atau terjadi

dehidrasi nokturnal.

3. Hipotensi ortostatik dan

takikardia indikasi

hipovolemia. Kekurangan

volume cairan ekstraselular

menyebabkan haus menetap

tidak hilang dengan minum

air.

4. Menurunkan diaforesis

yang memperberat

kehilangan cairan.

5. Memantau perubahan status

cairan dan elektrolit.

Dx.3 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan produksi

energi metabolic, anemia, retensi produksi sampah dan prosedur dialisa.

Tujuan : setelah di lakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam intoleransi

aktivitas dapat teratasi

Kriteria Hasil :

Intervensi Rasional

1. Kaji tingkat kelelahan, tidur,

istirahat.

2. Kaji kemampuan toleransi

aktivitas.

3. Identifikasi faktor yang

menimbulkan keletihan.

4. Rencanakan periode istirahat

adekuat.

5. Berikan bantuan ADL dan

ambulasi.

1. Menentukan derajat

(berlanjutna/perbaikan) dari efek

ketidakmampuan.

2. Mengidentifikasi kebutuhan

individual dan membantu

pemilihan intervensi.

3. Mungkin mempunyai efek

akumulatif (sepanjang faktor

psikologis) yang dapat diturunkan

bila masalah dan takut

diakui/dietahui.

4. Mencegah kelelahan berlebihan

dan menyimpan energi untuk

penyembuhan, regenerasi jaringan.

5. Mengubah energi, memungkinkan

berlanjutnya aktivitas yang

dibutuhkan/normal. Memberikan

6. Tingkatkan aktivitas sesuai

toleransi, anjurkan aktifitas

alternative sambil istirahat

keamanan pada pasien.

6. Meningkatkan rasa

membaik/meningkatkan kesehatan,

dan membatasi frustasi.

Dx.4 : Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan

kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber

informasi.

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam pasien

mengetahui tentang penyakitnya.

Kriteria Hasil: Menyatakan mengerti tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik,

rencana pengobatan, dan tindakan perawatan diri preventif.

Intervensi Rasional

1. Kaji ulang proses penyakit

dan harapan yang akan

datang.

2. Berikan informasi tentang:

sumber infeksi, tindakan

untuk mencegah penyebaran,

jelaskan pemberian antibiotik,

pemeriksaan diagnostik:

tujuan, gambaran singkat,

persiapan yang dibutuhkan

sebelum pemeriksaan,

perawatan sebelum

pemeriksaan, perawatan

sesudah pemeriksaan.

3. Pastikan pasien atau orang

1. Memberikan pengetahuan

dasar dimana pasien dapat

membuat pilihan berdasarkan

informasi.

2. Pengetahuan apa yang

diharapkan dapat mengurangi

ansietas dan membantu

mengembangkan kepatuhan

pasien terhadap rencana

terapeutik.

3. Instruksi verbal dapat dengan

mudah untuk dilupakan.

4. pasien sering menghentikan

obat mereka, jika tanda-tanda

penyakit mereda. Cairan

terdekat telah menulis

perjanjian untuk perawatan

lanjut dan instruksi tertulis

untuk perawatan sesudah

pemeriksaan.

4. Instruksikan pasien untuk

menggunakan obat yang

diberikan, minum sebanyak

kurang lebih delapan gelas per

hari khususnya sari buah berri.

5. Berikan kesempatan pada

pasien untuk mengekspresikan

perasaan dan masalah tentang

rencana pengobatan.

menolong membilas ginjal.

Asam piruvat dari sari buah

berri membantu

mempertahankan keadaan

asam urin dan mencegah

pertumbuhan bakteri.

5. Untuk mendeteksi isyarat

indikatif kemungkinan

ketidakpatuhan dan membantu

mengembangkan penerimaan

rencana terapeutik.

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Hipertensi yang lama dapat menyebabkan nefrosklerosis. Nefrosklerosis

sendiri dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang serius seperti gagal

ginjal akut. Nefrosklerosis adalah pengerasan atau sklerosis arteri ginjal akibat

hipertensi yang lama. Nefrosklerosis menyebabkan penurunan aliran darah ke

ginjal dan bercak nekrosis parenkim renal.

4.2 Saran

Pada dewasa akhir hendaknya melakukan pengontrolan tekanan darah

dengan cara mengatur pola makan dan gaya hidup supaya tidak sampai

menderita nefrosklerosis, karena usia dewasa akhir rentan akan terjadinya

hipertensi yang dapat menimbulkan terjadinya nefrosklerosis.

DAFTAR PUSTAKAPrabowo, Eko dan Eka, Andi. 2014. Buku ajar asuhan keperawatan sistem

perkemihan pendekatan NANDA, NIC, dan NOC:Jogjakarta; Nuha Medika

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical–surgical

nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli

diterbitkan tahun 1996)

Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa :

Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1999)

Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC;

2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)

Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes.

4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli

diterbitkan tahun 1992)

Suyono, S, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI; 2001

US Renal Data System. USRDS 2004 Annual Data Report: Atlas of End-Stage Renal

Disease in the United States. Bethesda MD, National Institutes of Health,

National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, 2004.

ERA-EDTA Registry. ERA-EDTA Registry 2003 Annual Report. Amsterdam,

Academic Medical Centre, 2005.

Zucchelli P, Zuccala A. Primary hypertension – how does it cause renal failure?

Nephrol Dial Transplant 1994;9:223-5.

Freedman B, Iskandar SS, Appel RG. The link between hypertension and

nephrosclerosis. Am J Kidney Dis 1995;25(2):207

Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006: 581-

5.