Upload
maruv-rulbe-hazcah
View
188
Download
48
Embed Size (px)
DESCRIPTION
manajemen risiko
Citation preview
MANAJEMEN RISIKO PADA BANK CENTURY,Tbk
Oleh :
IKA MAYA RAHMAWATI
NIM: 0801120092
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NIAGA
JURUKUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
U N I V E R S I T A S R I A U 2011
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risikorisiko yang berkaitan erat
dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Pesatnya perkembangan lingkungan
eksternal dan internal perbankan juga menyebabkan semakin kompleksnya risiko kegiatan usaha
perbankan. Oleh karena itu agar mampu beradaptasi dalam lingkungan bisnis perbankan, Bank
dituntut untuk menerapkan manajemen risiko.
Situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami perkembangan pesat
yang diikuti dengan semakin kompleksnya risiko kegiatan usaha perbankan sehingga
meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola Bank yang sehat (good corporate governance) dan
penerapan manajemen risiko yang meliputi pengawasan aktif pengurus Bank, kebijakan,
prosedur dan penetapan limit risiko, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, sistem
informasi, dan pengendalian risiko, serta sistem pengendalian intern.
Sebelum krisis moneter (7 Juli 1997), hampir seluruh bank swasta dikendalikan oleh
pemiliknya merangkap pengurus komisaris/direksi. Bankbank milik negara pun dikendalikan
oleh oknum pejabat. Manajemen risiko kurang dikembangkan. Pemilik bank leluasa
meminjamkan dana ke kelompok usahanya sendiri/kolega sehingga menghancurkan pondasi
industri perbankan nasional. BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) lagilagi disalahgunakan
konglomerat.
Salah satu aspek penting dalam Good Corporate Governance adalah perlu diterapkannya
manajemen risiko terlebih dalam dunia perbankan. Bank sebagai lembaga keuangan memegang
aspek krusial dalam mendukung perekonomian nasional sehingga perlu suatu pengaturan yang
sistematis dan menyeluruh dalam menyikapi berbagai risiko perbankan yang muncul dan yang
akan muncul setiap saat. Untuk menentukan berhasil atau tidaknya penerapan manajemen risiko
dalam suatu bank, mutlak diperlukan peranan secara aktif oleh Dewan Komisaris dan Direksi
sebaga pengawas dan penyelenggara pelaksanaan pengelolaan Bank tersebut.
Manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder value, memberikan gambaran kepada
pengelola Bank mengenai kemungkinan kerugian Bank di masa datang, meningkatkan metode
dan proses pengambilan keputusan yang sistematis yang didasarkan atas ketersediaan informasi,
digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja Bank, digunakan untuk
menilai risiko yang melekat pada instrumen atau kegiatan usaha Bank yang relatif kompleks
serta menciptakan infrastruktur manajemen risiko yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya
saing Bank. Bagi otoritas pengawasan Bank, penerapan manajemen risiko akan mempermudah
penilaian terhadap kemungkinan kerugian yang dihadapi Bank yang dapat mempengaruhi
permodalan Bank dan sebagai salah satu dasar penilaian dalam menetapkan strategi dan fokus
pengawasan Bank.
Manajemen risiko dimulai dengan adanya kesadaran Manajemen menyadari bahwa risiko
pasti ada di dalam suatu perusahaan, oleh karena itu risiko tersebut harus dapat dikendalikan.
Tidak mungkin dalam menjalankan kinerjanya suatu perusahaan tidak menemui risiko, karena
risiko erat kaitannya dengan keberhasilan juga kegagalan. Disinilah perlu kesadaran dari pihak
manajemen suatu perusahaan untuk dapat mengenali, memantau dan mengendalikan risiko
tersebut.
Esensi dari penerapan manajemen risiko adalah kecukupan prosedur dan metodologi
pengelolaan risiko sehingga kegiatan usaha Bank tetap dapat terkendali (manageable) pada
batas/limit yang dapat diterima serta menguntungkan Bank. Namun demikian mengingat
perbedaan kondisi pasar dan struktur, ukuran serta kompleksitas usaha Bank, maka tidak terdapat
satu sistem manajemen risiko yang universal untuk seluruh Bank sehingga setiap Bank harus
membangun sistem manajemen risiko sesuai dengan fungsi dan organisasi manajemen risiko
pada Bank.
Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat
diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak diperkirakan (unanticipated) yang berdampak
negatif terhadap pendapatan dan permodalan Bank. Untuk dapat menerapkan proses manajemen
risiko, maka pada tahap awal Bank harus secara tepat mengidentifikasi risiko dengan cara
mengenal dan memahami seluruh risiko yang sudah ada (inherent risks) maupun yang mungkin
timbul dari suatu bisnis baru Bank, termasuk risiko yang bersumber dari perusahaan terkait dan
afiliasi lainnya.
Manajemen Risiko merupakan gabungan dua kata yang cukup mengemuka dan banyak
dibahas setelah terjadi berbagai kejadian yang tidak terantisipasi sehingga menimbulkan
kerugian. Dalam beberapa tahun terakhir, manajemen risiko menjadi headlineutama baik dalam
media masa, diskusi, praktik, pelatihan, maupun riset di bidang keuangan, tidak terkecuali di
dunia pendidikan. Bahkan perbankan diharuskan memberi kesempatan bagi para stafnya untuk
menempuh pendidikan dan sertifikasi manajemen risiko menurut levelnya masingmasing. Hal
ini secara konkret menunjukkan pentingnya manajemen risiko dalam kegiatan usaha.
Risiko merupakan kerugian akibat kejadian yang tidak dikehendaki muncul. Dikalangan
umum, risiko memiliki konotasi negatif, sesuatu yang tidak disukai sehingga perlu dihindari.
Namun, dalam situasi tertentu risiko justru memberikan gambaran bahwa disitu ada
kemungkinan memperoleh keuntungan. Risiko berkonotasi negatif disebabkan oleh halhal yang
sulit atau bahkan tidak dapat diprediksi terjadinya. Misalnya gempa, kebakaran, tsunami,
putingbeliung, dan lain sebagainya. Risiko ini disebut risiko murni dimana dalam risiko ini
terdapat kerugian dan tidak ada kemungkinan memperoleh keuntungan. Risiko lainnya adalah
risiko spekulatif, yaitu kondisi dimana kemungkinan terdapat kerugian dan juga terdapat
keuntungan.
Manajemen Risiko dapat diartikan sebagai suatu seni dan ilmu yang memiliki
kemampuan untuk mengelola risiko. Dibidang pendidikan sekarang ini manajemen risiko telah
berkembang sesuai dengan kompleksitas pemahaman menjadi Enterprise Risk Manajemen
(ERM). ERM merupakan suatu pendekatan pengelolaan risiko terintegrasi. Dikatakan
terintegrasi karena bilamana sebuah risiko tidak dikelola dengan baik akan memunculkan risiko
lain yang justru dampaknya lebih besar. Seperti halnya Kasus di Bank Century (BC), begitu
banyak risiko yang terjadi diantaranya yaitu risiko sistemik, risiko kredit macet, risiko likuiditas,
risiko hukum, risiko reputasi.
Pasti masyarakat saat ini sudah mengetahui apa yang terjadi terhadap bank century,
namun dibalik berita itu semua, kami merasa bahwa bank century menjadi bangkrut karna terjadi
kesalahan didalam memanajemen resiko institusi perbankan mereka, belum lagi ada bantuan dari
dalam bank century sendiri untuk menggembosi bank century sendiri setelah terjadi fasilitas
pinjaman jangka pendek (FPJP) ataupun bail out / dana pinjaman.
Secara global bank century adalah contoh nyata terjadinya ketidak patuhan terhadap
hukum perbankan yang berlaku, khususnya hukum manajemen resiko dan manajemen perbankan
pada umumnya, sehingga mudah sekali terjadi kehancuran sedikit demi sedikit, secara jujur
manajemen bank century adalah salah satu contoh dimana ketidak patuhan terhadap hukum
perbankan dari manajemen resiko dan manajemen perbankan akan berujung pada kebangkrutan
dan kehancuran yang nyata.
Dulunya Bank Century bernama PT Bank CIC Internasional Tbk (Bank CIC) yang
pertama kali didirikan pada Mei 1989. Mulai beroperasi sebagai Bank Umum pada tahun 1990
dan kemudian meningkatkan statusnya sebagai Bank Devisa pada tahun 1993. Bank secara resmi
menjadi Bank Publik pada 25 Juni 1997 pada saat melakukan Penawaran Offering (IPO) dan
mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Dalam rangka
memperkuat struktur permodalan, selanjutnya Bank telah melakukan penawaran Umum Terbatas
atau Rights Issue I, II, III, IV dan V pada Maret 1999, Juli 2000, Maret 2003, Juni 2003 dan Juni
2007.
Melalui Rapat Umum pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada tanggal 22 Oktober
2004, Bank memperoleh persetujuan dari pemegang saham untuk melakukan penggabungan
usaha (merger), melalui peleburan PT Bank Danpac Tbk (Bank Danpac), PT Bank Pikko Tbk
(Bank Pikko) untuk bergabung ke dalam Bank CIC, serta berubah nama menjadi PT Bank
Century Tbk. Penggabungan usaha ini telah mendapat persetujuan Bank Indonesia melalui
Keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 6/87/KEP.GBI/2004 tanggal 6 Desember 2004.
Selanjutnya Bank Indonesia juga telah memberikan persetujuan perubahan penggunaan
izin usaha dari PT Bank CIC Internasional Tbk (Bank CIC) menjadi PT bank Century Tbk
(Century Bank) melalui Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 6/92/KEP.GBI/2004
tanggal 28 Desember 2004.
PEMBAHASAN
Kasus Bank Century yang kini berubah nama menjadi Bank Mutiara terus bergulir
kencang padahal awalnya tampak biasa saja. Namun, kini kasus itu menggelinding memasuki
ranah politik segera setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk Panitia Khusus
(Pansus) Hak Angket Bank Century.
Setelah setahun bailout LPS masuk ke Bank Century, hasil audit BPK akhirnya
membongkar adanya ‘patgulipat’ dalam pengelolaannya. Kasus ini diharapkan bisa terbongkar
dengan transparan demi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Gagal mengikuti
kliring pada tanggal 13 November 2008 menjadi awal dari terbongkarnya berbagai penipuan di
Bank Century. Walau obat penawar sudah dikucurkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
melalui dana talangan (bailout), namun hingga setahun berselang, bank ini belum juga sembuh.
Uang nasabah tetap tidak kembali, uang negara malah ikut raib
Gagal kliring itu sendiri karena Bank Century kekurangan dana di Bank Indonesia (BI)
sebagai syarat mengikuti kliring. Sementara penyebab awal persoalan keuangan di bank ini
menurut hasil pemeriksaan, adalah adanya surat berharga valuta asing (valas) bank ini yang
bermasalah. Surat berharga yang dibeli pada 2003 yang seluruhnya (sekitar US$203,4 juta)
diterbitkan oleh bank asing itu tergolong macet karena tidak memiliki rating.
Diketahuilah bahwa dana cadangan bank ini di BI sudah di bawah saldo minimal. Di
samping itu, selama ini bank ini ternyata melakukan penjualan reksadana walau tidak
mempunyai izin. Bahkan, salah satu reksadana itu merupakan reksadana ‘bodong’. Alias, dibuat
tanpa seizin Badan Pengawas Penanaman Modal (Bapepam). Reksadana tersebut dijual dengan
nama Investasi Dana Tetap Terproteksi dan dikeluarkan oleh PT. Antaboga Delta Sekuritas.
Sekitar Rp 1 triliun 1,5 triliun uang nasabah terkena masalah seputar produk yang dikabarkan
sudah dijual sejak tahun 2001 itu. Uang itu diberitakan mengalir ke rekening Robert Tantular
sebagai pemilik bank dan rekannya di Antaboga.
Modus kasus yang boleh disebut pembobolan secara sistematis ini adalah dengan cara
mengimingimingi para nasabah dengan bunga tinggi di atas bunga deposito yang berlaku saat
itu. Nasabah yang percaya, akhirnya memindahkan dananya dari Bank Century ke rekening
Antaboga yang ada di Century juga. Setelah dana masuk ke rekening Antaboga, uang itu
kemudian ditarik oleh Robert. Selain melalui cara itu, pembobolan dengan modus pinjaman juga
dilakukan Robert. Yaitu, beberapa kredit dikucurkan manajemen lama ke berbagai nama yang
ternyata ujungnya ke Robert juga.
Kasus bailout berawal dari masalah kesulitan likuiditas dan modal Bank Century. Untuk
mengatasi masalah keuangan itu, pada tanggal 15 Oktober 2008, bank central sebenarnya telah
memerintahkan tiga pemegang saham mayoritas bank ini, yakni Robert Tantular, Rafat Ali Rizfi,
dan Hesyam Al Waraq menandatangani letter of commitment yang isinya memuat janji
ketiganya untuk membayar surat berharga yang jatuh tempo dan menambah modal bank. Selain
itu, mereka juga berjanji mencari investor baru untuk menyelesaikan permasalahan bank paling
lambat 31 Maret 2009. Namun, mereka tidak menepati janjinya sehingga Bank Century tidak
bisa memenuhi kewajibannya pada nasabah.
Melihat kenyataan demikian, BI akhirnya memberikan fasilitas pendanaan jangka pendek
pada bank ini sebesar Rp502 miliar pada 14 November 2008. Seiring dengan itu, BI juga
kembali memerintahkan Robert, Hesyam dan Rafat menepati komitmennya yang dituangkan
kemudian dalam letter of commitment pada 16 November 2008. Surat itu antara lain berisi
komitmen untuk memindahkan surat berharga Bank Century ke bank kustodian di Indonesia,
mengembalikan hasil pembayaran surat berharga yang jatuh tempo dan tidak akan menjaminkan
surat berharga ke pihak lain. Tapi, letter of commitment ini juga tidak ditepati. BI pun kembali
mengucurkan fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar Rp187 miliar pada 18 November 2008.
Lantaran kondisi Bank Century makin memburuk, pada 21 November 2008 penanganan
bank itu pun akhirnya diserahkan pada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pada saat itu juga,
LPS menyuntikkan dana Rp2,77 triliun agar kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio
(CAR) Bank Century 10 persen. Kemudian pada 5 Desember 2008, LPS kembali menyuntikkan
dana Rp2,20 triliun untuk memenuhi tingkat kesehatan bank. Ketiga, pada 3 Februari 2009 LPS
memberi lagi dana sebesar Rp1,15 triliun. Dan keempat, pada 21 Juli 2009 LPS kembali
menyuntikkan dana sebesar Rp630 miliar. Jadi, total LPS telah menyuntikkan dana Rp6,7 triliun
kepada Bank Century setelah pengelolaan bank tersebut diambil alih.
Alasan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Menkeu, BI, dan LPS
melakukan penyertaan modal sementara di bank ini melalui LPS, selain mengganti manajemen
bank, karena BI menilai kondisi yang dialami Bank Century saat itu bisa berdampak sistemik
yang bisa menimbulkan penyebaran masalah ke bank lainnya.
DPR meminta BPK melakukan audit investigasi atas penyertaan modal pemerintah
melalui LPS ke Bank Century yang membengkak menjadi Rp6,7 triliun. Mulai dari proses
merger tiga bank menjadi Bank Century, tidak tegasnya BI terhadap pelanggaran Bank Century
selama tahun 20052008, hingga pengucuran dana bailout. Sesuai hasil audit BPK yang
diserahkan ke DPR tertanggal 23 Nov 2009 menunjukkan adanya paling tidak lima bagian
dugaan pelanggaran di dalam kasus Bank Century yang dilakukan oleh pemilik lama, BI, hingga
KKSK.
Selain itu munculnya risiko sistemik dari sisi fiskal akibat kebijakan pengetatan fiskal
atau perlambatan pengeluaran atau belanja pemerintah yang dilakukan oleh Menteri Keuangan
Sri Mulyani. Langkah kebijakan inilah yang justru telah menciptakan risiko sistemik pada
perbankan nasional.
Bank Century adalah kasus kriminal individu dari bank kecil yang pengaruhnya tidak
akan signifikan terhadap industri perbankan. Semestinya yang dilakukan Bank Indonesia dan
KSSK adalah menutup dan meyakinkan publik bahwa kasus Bank Century murni kasus kriminal
dan tidak terkait dengan krisis global maupun kondisi makroekonomi dan perbankan nasional.
Pemerintah melalui Bank Indonesia dan Departemen Keuangan berpendapat bahwa
penyelamatan Bank Century melalui suntikan dana tersebut sudah tepat dengan alasan untuk
menghindari risiko sistemik yang mungkin timbul dari ditutupnya Bank tersebut sehingga
dikhawatirkan terulangnya kembali krisis keuangan seperti tahun 1998 lalu. Atas keputusan ini,
banyak pihak menilai bahwa keputusan menyelamatkan Bank Century tidak tepat. Selain
menggunakan uang Negara yang merupakan uang rakyat, alasan mengenai kemungkinan
terjadinya risiko sistemik kurang bisa dipertanggungjawabkan. Menurut pihak yang tidak setuju
dengan penyelamatan Bank ini, ditutupnya Bank ini tidak akan mengganggu kestabilan sistem
perbankan Negara kita karena secara market share Bank Century hanya mempunyai mencakup
0,1 % jumlah nasabah perbankan di Indonesia. Selain itu asset Bank Century hanya berjumlah
0,3 % dari total asset perbankan Indonesia.
Penutupan Bank Century diperkirakan akan mengakibatkan kepanikan pada nasabahnya.
Kepanikan ini mendorong nasabahnasabah lain akan berbondongbondong menarik uangnya
pada banyak bank terutama Bankbank kecil sekelas Century dan memindahkan ke bankbank
yang lebih besar. Penarikan besarbesaran ini mengakibatkan bankbank yang pada awalnya
sehat menjadi ikut bermasalah dan mengalami masalah likuiditas, disini terjadi risiko likuiditas.
Sebagai akibatnya bankbank ini akan berusaha mencari pendanaan dengan meminjam dana dari
Bankbank besar melalui pinjaman antar bank.
Dalam hal ini bankbank besar cenderung lebih berhatihati dalam mengucurkan dananya
sehingga bankbank kecil semakin terdesak karena kesulitan memperoleh likuiditas. Dalam
keadaan seperti inilah banyak bank akan berjatuhan. Sistem perbankan akan mengalami rush dan
mengakibatkan naiknya suku bunga pinjaman secara tajam. Selain itu akan banyak terjadi kredit
macet sehingga nasabah akan mengalami kerugian dan sektor industri juga akan terkena
dampaknya. Sebagai akibatnya, bankbank besarpun akan terkena dampaknya dan terjadilah
kelumpuhan sistem perbankan. Akibat lebih jauh adalah merosotnya kredibilitas sistem
perbankan nasional sehingga akan terjadi capital outflows secara besarbesaran. Hal ini akan
berpengaruh terhadap investasi nasional, country risk dan sistem ekonomi Indonesia secara
keseluruhan.
Selain terjadinya risiko likuiditas, kredit macet dan risiko sistemik, Bank Century juga
tersengat risiko reputasi. Namun sebelumnya, simak dulu penerapan manajemen risiko di
perbankan nasional. Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Nomor 5/8/PB1/2003 tanggal 13 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum. Ini merupakan simbol sejarah anyar dalam perbankan nasional dengan berbasis
manajemen risiko. PBI ini bertujuan untuk mengantisipasi risiko sejalan dengan pesatnya
perkembangan bisnis perbankan dan perubahan lingkungan bisnis.
Namun, pada PBI Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum, bank umum konvensional wajib menerapkan manajemen risiko untuk seluruh jenis risiko
sejak 1 luli 2010. Dengan bahasa manajemen risiko, setiap produk, jasa, dan aktivitas bisnis
perbankan wajib berbasis manajemen risiko.
Terkait dengan kasus Bank Century, risiko yang layak diamati dengan cermat adalah
risiko reputasi. Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku
kepentingan (stakeholders) yang bersumber dari persepsi negatif terhadap suatu bank. Risiko
tersebut muncul antara lain karena adanya pemberitaan dan atau rumor mengenai bank yang
bersifat negatif serta strategi komunikasi bank yang kurang efektif.
Kalau pembeberan kasus Bank Century ini berlangsung lama tanpa memperhatikan
kehatihatian, maka sangat mungkin Bank Mutiara akan kian menderita risiko reputasi. Karena
kian lama berarti akan kian lama pula warta negatif akan menusuk Bank ini.
Riset EIU menunjukkan bahwa risiko reputasi memiliki ancaman paling tinggi (52%). Ini
disusul risiko regulasi (masalah mencuat garagara ketentuan 41%), SDM (lemahnya
keterampilan, isu suksesi, kaburnya pegawai unggul 41%), jaringan IT (gagal sistem 35%), pasar
(turunnya nilai aset di pasar 32%), kredit (kredit macet 29%), negara (geger di kawasan tertentu
22%), finansial (sulit mencari dana 21%), terorisme (19%), nilai tukar (18%), bencana alam
(18%), politik (heboh pergantian pemerintahan 18%) dan kriminal dan keamanan (15%).
Bagaimana menekan risiko reputasi Bank Mutiara?
1. Pansus. Sepak terjang Pansus sangat memengaruhi laju risiko reputasi. Adalah sangat
berisiko ketika niat untuk mengupas kasus Bank Century kian tinggi tanpa memedulikan
kehatihatian sama sekali. Dengan bahasa lebih bening, hal ini sekaligus menegaskan
bahwa hukum adalah panglima dalam setiap langkah. Selain itu, kasus ini pun menjadi
pelajaran yag sangat mahal dan berharga bagi perbankan nasional untuk tidak ditiru.
2. Risiko finansial. Ingarbingar tuntutan agar wakil presiden dan menteri keuangan untuk
menonaktifkan diri sungguh bisa memicu risiko finansial. Selama ini, figur mereka
dianggap sebagai matahari kembar yang bersinar dalam dunia finansial nasional. Dalam
bahasa finansial, mereka dipercaya pasar.
3. Rancangan UndangUndang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU (PSK). Sudah
sepatutnya, pemerintah segera mengajukan kembali RUU [PSK kepada DPR untuk
dibahas. UU IPSK bakal menjadi payung hukum untuk membendung banjir risiko dalam
sistem keuangan mengingat jalan di depan kian terjal.
PENUTUP
KESIMPULAN
Kasus Bank Century mencerminkan lemahnya pengawasan Bank Indonesia (BI) sebagai
Bank sentral terhadap bank umum. Bank – Bank umumnya hendaknya mendapat pengawasan
ketat dari Bank Central.
Masalah yang terjadi pada Bank Century merupakan pengelolaan risiko yang tidak
terintegrasi. Apabila manajerial Bank Century benarbenar menerapkan GCG (Good Corporate
Governance), seharusnya rush tidak muncul. Namun yang terjadi justru sikap pasrah atau
pembiaran terhadap risiko.
Hal yang lebih buruk lagi adalah penemuan kasus penipuan bank terhadap klien adalah
investasi fiktif penjualan kepada nasabah bank. Penemuan kasus ini mengakibatkan hilangnya
kepercayaan nasabah ke bank. Jadi, jika dikaitkan dengan etika bisnis, kasus Bank Century
adalah contoh pelanggaran terhadap perlindungan konsumen untuk produk.
Oleh karena itu, jangan sampai upaya mengupas kasus Bank Century justru melahirkan
potensi risiko lainnya, yakni merusak ketahanan pasar finansial termasuk iklim investasi. Dengan
bahasa terang benderang, keringnya banjir investasi ke Indonesia bisa menyurutkan pasokan
dollar AS yang kemudian membuat rupiah loyo. Padahal, selama ini Indonesia merupakan surga
investasi internasional.
SARAN
Dalam menghadapi kasus Bank Century perlunya kerjasama dengan baik antara
pemerintah, DPRRI dan Bank Indonesia. Pemerintah harus bertanggung jawab kepada nasabah
Bank Century agar bisa uangnya dicairkan. Harusnya ada transparansi publik dalam
menyelesaikan kasus Bank Century sehingga tidak terjadi korupsi. Audit yang dilakukan BPK
harus dilakukan dengan tuntas dan dibantu oleh polri, Kejaksaan, Pemerintah Bank Indonesia.
Manajer harus memprioritaskan kepentingan konsumen nasabah Bank Century. Karena
perusahaan diperlukan untuk memastikan produk yang aman (produk) untuk dijual. Pelanggan
(nasabah) harus lebih hatihati dan kritis seleksi ulang produk yang mereka beli. Bank Indonesia
dan Bappepam lebih tegas dalam penanganan dan pemantauan kasus ini. Seharusnya BI,
Bappepam dan otoritas tertinggi di bankbank nasional, tidak saling tuduh menuduh tanggung
jawab untuk satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
http://bataviase.co.id/detailberita-10540399.html
http://www.ukdw.ac.id
http://news.okezone.com/BeritaAnda/index.php/ReadStory/2009/11/23/230/278390/kasus-century-
bank-dan-keuangan-negara
http://bambangsoesatyo.com/content/centuryrisiko
Masyhud Ali, Manajemen Risiko (Strategi Perbankan dan Dunia Usaha Menghadapi Tantangan Globalisasi Bisnis, Jakarta: (PT RajaGrafindo Persada, 2006)
Husein Umar, Manajemen Risiko Bisnis (Pendekatan Finansial dan Non Finansial), (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998)