52
Manajemen airway dan ventilasi I. Pendahuluan Pada penderita trauma ketidakmampuan untuk mengantar darah yang teroksigenasi ke otak dan struktur –struktur vital lain merupakan pembunuh tercepat. Pencegahan hipoksemia memerlukan airway yang terlindungi, terbuka dan ventilasi yang cukup yang merupakan prioritas yang harus didahulukan dibandingkan keadaan lainnya. Airway harus diamankan oksigen diberikan dan bantuan ventilasi diberikan. Semua penderita trauma memerlukan tambahan oksigen. Kematian karena masalah airway pada trauma disebabkan oleh : 1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway. 2. Ketidakmampuan untuk membuka airway. 3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang keliru. 4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang. 5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi. 6. Aspirasi isi lambung. Ingat ; Airway dan ventilasi merupakan prioritas utama. 1

Manajemen Airway Evy

Embed Size (px)

DESCRIPTION

manajemen airway, anestesi

Citation preview

Manajemen airway dan ventilasi

Manajemen airway dan ventilasi

I. Pendahuluan

Pada penderita trauma ketidakmampuan untuk mengantar darah yang teroksigenasi ke otak dan struktur struktur vital lain merupakan pembunuh tercepat. Pencegahan hipoksemia memerlukan airway yang terlindungi, terbuka dan ventilasi yang cukup yang merupakan prioritas yang harus didahulukan dibandingkan keadaan lainnya. Airway harus diamankan oksigen diberikan dan bantuan ventilasi diberikan. Semua penderita trauma memerlukan tambahan oksigen.Kematian karena masalah airway pada trauma disebabkan oleh :

1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway.2. Ketidakmampuan untuk membuka airway.

3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang keliru.

4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang.

5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi.

6. Aspirasi isi lambung.

Ingat ; Airway dan ventilasi merupakan prioritas utama.

II. AIRWAYII.1 Pengenalan gangguan jalan nafas.

Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan sebagian dan progresif atau berulang. Takipneu walaupun dapat disebabkan nyeri dan ketakutan namun harus selalu diingat kemungkinan jalan nafas yang dini. Karena itu penilaian jalan nafas serta pernafasan sangat penting.

Penderita dengan penurunan kesadaran mempunyai resiko terhadap gangguan airway dan seringkali membutuhkan pemasangan airway definitif. Penderita dengan cedera kepala dan tidak sadar , penderita yang berubah kesadarannya karena alkohol atau obat-obatan lain dan penderita-penderita dengan cedera thorak mungkin mengalami gangguan pernafasan. Pada penderita seperti ini, pemasangan intubasi endotrakeal dimaksudkan untuk :

1. Membuka airway.2. Memberikan tambahan oksigen.

3. Menunjang ventilasi.

4. Mencegah aspirasi.

Menjaga oksigenasi serta mencegah hiperkarbia sangat penting pada trauma kapitis. Dokter harus dapat memperkirakan kemungkinan timbulnya muntah pada semua penderita cedera dan sudah siap untuk kemungkinan itu. Adanya isi lambung di dalam orofaring menandakan adanya resiko aspirasi. Pada keadaan ini harus segera dilakukan penghisapan dan rotasi seluruh tubuh penderita ke posisi lateral.Pada trauma maksilofasial (wajah) membutuhkan pengelolaan airway yang agresif. Contoh mekanisme penyebab cedera ini adalah penumpang/pengemudi kendaraan yang tidak menggunakan sabuk pengaman dan kemudian terlempar mengenai kaca depan dan dashboard. Trauma pada daerah tengah wajah (midface) dapat menyebbakan fraktur dislokasi dengan gangguan pada nasofaring dan orofaring. Fraktur-fraktur pada wajah mungkin menyebabkan sekresi yang meningkat atau gigi yang tercabut yang menambah masalah-masalah dalam mempertahankan airway yang terbuka.Luka tembus pada leher dapat menyebabkan kerusakan vaskuler dengan perdarahan yang berat. Ini dapat mengakibatkan perubahan posisi dan sumbatan airway. Apabila perubahan posisi dan sumbatan ini tidak memungkinkan intubasi endotrakeal maka akan diperlukan suatu pemasangan airway dengan cara pembedahan secara urgen.Cedera tumpul atau tajam pada leher dapat menyebabkan kerusakan pada laring atau trakea yang kemudian menyebabkan sumbatan airway atau perdarahan hebat pada sistem trakeobronkhial sehingga segera memerlukan airway definitif.Trauma laring merupakan cedera yang jarang terjadi , namun dapat meyebabkan sumbatan airway akut. Fraktur laring ditandai dengan adanya trias yaitu:

Suara parau. Emfisema subkutan.

Teraba fraktur.

Apabila airway penderita tersumbat total atau penderita berada dalam keadaan gawat (distress) nafas berat, diperlukan usaha intubasi. Intubasi dengan tuntunan endoskop fleksibel mungkin menolong pada situasi ini, tetapi hanya kalau dapat dilakukan segera. Apabila intubasi tidak berhasil, diperlukan trakeostomi darurat dan kemudian diikuti pembenahan dengan pembedahan. Namun trakeostomi apabila dilakukan pada keadaan darurat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan mungkin membutuhkan waktu lama. Krikotiroidotomi surgikal meskipun bukan merupakan pilihan lebih disukai untuk situasi ini, mungkin merupakan cara yang dapat menyelamatkan penderita. II.2 Tanda-tanda objektif pada sumbatan airway1. Look (lihat) :

Lihat apakah penderita mengalami agitasi atau tampak bodoh. Agitasi member kesan adanya hipoksia dan tampak bodoh member kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh karena kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat kuku-kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot nafas tambahan yang apabila ada merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway.2. Listen ( Listen) :

Dengar adanya suara-suara yang abnormal. Pernafasan yang berbunyi (suara nafas tambahan) adalah pernafasan yang tersumbat. Sumbatan parsial pada jalan nafas :

Suara mendengkur (snoring) : lidah jatuh ke belakang. Suara berkumur ( gurgling) : ada darah, cairan/secret, aspirasi lambung dsb.

Suara bersiul (crowing sound, stridor) : obstruksi parsial pada faring atau laring.

Suara parau (hoarseness, dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring.

3. Feel (raba) :Rasakan pergerakan udara ekspirasi dan tentukan apakah trakea terletak di garis tengah atau tidak.

Gambar 1. Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan. Cara ini dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan.III. VentilasiIII.1 Pengenalan masalah ventilasi

Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting pertama untuk pemberian oksigen pada penderita. Langkah kedua adalah memastikan bahwa ventilasi cukup. Ventilasi dapat terganggu karena sumbatan jalan nafas, tetapi juga dapat terganggu oleh mekanika pernafasan atau depresi susunan saraf pusat (SSP). Bila pernafasan tidak bertambah baik dengan perbaikan jalan nafas , penyebab lain dari gangguan ventilasi harus dicari. Trauma langsung ke thorak dapat mematahkan iga dan menyebabkan rasa nyeri saat bernafas sehingga pernafasan menjadi dangkal dan selanjutnya hipoksemia. Perlukaan intrakranial dapat menyebabkan pola pernafasan yang berubah sehingga mengganggu ventilasi. Kerusakan vertebra servikal dapat menyebabkan pernafasan diafragma sehingga dibutuhkan bantuan ventilasi.III.2 Tanda-tanda objektif- ventilasi yang tidak adekuat.

1. Look (lihat) :

Lihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat. Bila asimetris pikirkan kelainan intratorakal atau flail chest. Setiap pernafasan yang sesak (labored breathing) harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi penderita. 2. Listen (dengar) :

Dilakukan auskultasi pada kedua paru (adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada). Penurunan atau tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau kedua hemithorak.merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernafasan yang cepat- takipneu mungkin menunjukkan kekurangan oksigen.

3. Gunakan pulse oxymeter :

Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perider penderita , tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang adekuat.IV. Manajemen Airway-ventilasiPenilaian bebasnya airway dan baik tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Pulse oxymeter penting digunakan. Bila ditemukan masalah atau dicurigai adanya masalah, tindakan-tindakan sebaiknya dimulai secepatnya untuk memperbaiki oksigenasi dan mengurangi resiko bahaya pernafasan lebih lanjut. Ini berupa teknik-teknik mempertahankan mempertahankan airway , tindakan-tindakan airway definitif (termasuk surgical airway) dan cara-cara untuk memberikan tambahan ventilasi. Semua tindakan tersebut mengakibatkan pergerakan pada leher, maka perlindungan terhadap servikal (cervical spine) harus dilakukan pada semua penderita terutama bila diketahui adanya cedera servikal yang tidak stabil atau penderita belum sempat dilakukan evaluasi lengkap serta beresiko. Servikal harus dilindungi sampai kemungkinan cedera spinal telah disingkirkan dengan penilaian klinis dan pemeriksaan foto rontgen yang sesuai.Penderita yang memakai helm dan membutuhkan tindakan terhadap jalan nafasnya, kepala dan leher harus dijaga dalam posisi netral sampai helm dapat dilepaskan. Ini adalah prosedur yang harus dilakukan 2 orang. Satu orang melakukan imobilisasi segaris in line dari arah leher, sedangkan petugas satu lagi menarik kedua sisi helm kearah lateral, sambil menarik helm kearah kranial. Kemudian imobilisasi segaris diambil alih dari petugas yang berada di kepala dan kemudian dilakukan proteksi servikal. Bila diketahui ada cedera servikal, maka membuka helm memakai alat pemotong gips akan mengurangi pergerakan leher. Pemberian oksigen harus dilakukan sebelum dan segera setelah pengelolaan jalan nafas. Alat suction yang kaku (rigid) harus senantiasa tersedia. Penderita dengan fraktur tulang wajah mungkin disertai fraktur lamina kribrosa dan pemakaian kateter suction yang lunak mungkin akan menyebabkannya masuk ke rongga tengkorak.

IV.ITeknik-teknik mempertahankan airway.

Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin-lift maneuver) atau dengan mendorong rahang bawah kearah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharyngeal airway). Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan maneuver jaw thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.

1. Teknik memeriksa jalan nafas.

Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah.

Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari (finger sweep) Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas (apnea)

Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada sumbatan pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich.

Gambar 2. Pemeriksaan sumbatan jalan nafas di daerah mulut dengan menggunakanteknik cross fingerTanda-tanda adanya sumbatan jalan nafas (ditandai adanya suara nafas tambahan) :

Mendengkur (snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara mengatasi : chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal.

Berkumur (gargling), penyebab : ada cairan di daerah hipofaring. Cara mengatasi : finger sweep, pengisapan/suction.

Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi : cricotirotomi, trakeostomi.

2. Membersihkan jalan nafasDilakukan dengan sapuan jari (finger sweep) bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya sehingga hembusan nafas hilang.

Cara melakukannya :

Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver emaresi). Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan sarung tangan/kassa/kain untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan menyapu.

Gambar 3. Teknik finger sweep3. Mengatasi sumbatan nafas parsialDapat digunakan teknik manual thrust :a. Abdominal thrust (Manuver Heimlich).Dapat dilakukan dalam posisi berdiri dan terlentang. Caranya berikan hentakan mendadak pada ulu hati (daerah subdiafragma abdomen).

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi berdiri atau duduk :Caranya : penolong harus berdiri di belakang korban, lingkari pinggang korban dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas.Gambar 4. Abdominal thrust dalam posisi berdiri.

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (tidak sadar)Caranya : korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke atas. Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan kedua diletakkan di atas tangan pertama. Penolong menekan ke arah perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas.

Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP).Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada yang dilakukan sendiriPertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas.

Caranya : kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum, genggam kepalan itu dengan kuat, beri tekanan ke atas kea rah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika tidk berhasil dapat dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi

b. Chest thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil).Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukan chest thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan.c. Back blow (untuk bayi).Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae)

Gambar 5. Back blow pada bayiJika sumbatan tidak teratasi, maka penderita akan :

Gelisah oleh karena hipoksia

Gerak otot nafas tambahan (retraksi sela iga, tracheal tug)

Gerak dada dan perut paradoksal

Sianosis

Kelelahan dan meninggal

Prioritas utama dalam manajemen jalan nafas adalah JALAN NAFAS BEBAS!

Pasien sadar, ajak bicara. Bicara jelas dan lancar berarti jalan nafas bebas

Beri oksigen bila ada 6 liter/menit

Jaga tulang leher : baringkan penderita di tempat datar, wajah ke depan, posisi leher netral

Nilai apakah ada suara nafas tambahan.

Gambar 6. Pasien tidak sadar dengan posisi terlentang, perhatikan jalan nafasnya!Pangkal lidah tampak menutupi jalan nafasLakukan teknik chin lift atau jaw thrust untuk membuka jalan nafas. Ingat tempatkan korban pada tempat yang datar! Kepala dan leher korban jangan terganjal! 1. Chin lift

Memakai jari-jari satu tangan yang diletakkan di bawah mandibula untuk kemudian mendorong dagu ke anterior. Ibu jari tangan yang sama sedikit menekan bibir bawah untuk membuka mulut. Bila diperlukan ibu jari dapat diletakkan di dalam mulut di belakang gigi seri untuk mengangkat dagu. Tindakan chin lift ini tidak boleh mengakibatkan hiperekstensi leher. Tindakan chin lift ini bermanfaat pada penderita trauma karena tidak mengakibatkan kelumpuhan bila ada fraktur servikal.Gambar 7. tangan kanan melakukan Chin lift ( dagu diangkat). dan tangan kiri melakukan head tilt. Pangkal lidah tidak lagi menutupi jalan nafas2. Jaw thrustTindakan ini dilakukan dengan memakai 2 tangan masing-masing 1 tangan di belakang angulus mandibula dan menarik rahang ke depan. Bila tindakan ini dilakukan memakai face mask akan dicapai penutupan sempurna dari mulut sehingga dapat dilakukan ventilasi yang baik.

Gambar 8 dan 9. manuver Jaw thrust dikerjakan oleh orang yang terlatih

3. Airway orofarigeal / oropharyngeal airway ( Guedel).Oropharyngeal airway dimasukkan ke dalam mulut dan diletakkan di belakang lidah. Cara terbaik adalah dengan menekan lidah memakai tong-spatel dan memasukkan alat kearah posterior. Alat ini tidak boleh mendorong lidah ke belakang dan malah menyumbat faring. Alat ini tidak boleh dipakai pada penderita sadar karena akan menyebabkan muntah dan kemudian aspirasi.Cara lain adalah dengan memasukkan alat secara terbalik sampai menyentuh palatum molle, lalu alat diputar 180o dan diletakkan di belakang lidah. Teknik ini tidak boleh dipakai pada anak kecil karena mungkin mematahkan gigi.

Gambar 10. Oropharyngeal airway (Guedel/mayo)

Bermacam ukuran, dewasa : No.4

Diukur: - dari ujung mulut ke ujung telinga. - dari hidung ke mandibula.4. Airway nasofaringeal / Nasopharyngeal airwayAlat ini dimasukkan salah satu lubang hidung lalu secara perlahan dimasukkan sehingga ujungnya terletak di faring. Alat ini lebih baik daripada oropharyngeal airway pada penderita sadar karena tidak akan menyebabkan muntah dan lebih di tolerir oleh penderita. Alat ini harus dilumas dengan baik dan dimasukkan ke dalam lubang hidung yang tampak tidak tersumbat. Bila pada pemasangan ditemui hambatan, berhenti dan pindah ke lubang hidung yang lain. Bila ujung alat ini tampak di orofaring, mungkin akan dapat dipasang naso-gastric-tube (NGT) pada penderita dengan fraktur tulang wajah.5. Multilumen esophageal airway deviceAlat ini dipakai oleh paramedik di pra rumah sakit sebagai alternatif untuk pemasangan airway definitif. Satu cabang akan berhubungan dengan esofagus, satu cabang lainnya akan berhubungan dengan jalan nafas . Petugas yang memasang alat ini sudah terlatih untuk menentukan cabang yang mana yang berhubungan dengan trakea dan yang mana dengan esofagus. Cabang yang berhubungan dengan esofagus akan di tutup dan cabang yang berhubungan dengan trakea akan dilakukan ventilasi. Pemakaian detektor CO2 akan meningkatkan akurasi pemasangan alat ini. Bila penderita terpasang alat ini, maka setelah penilaian penderita, alat ini harus dibuka dan diganti dengan airway definitif.6. Laryngeal mask airway (LMA)LMA bukan airway definitif. Pemasangan alat ini cukup sulit dan memerlukan latihan yang cukup. Peran alat ini dalam resusitasi penderita belum jelas. Bila penderita terpasang alat ini, maka setelah penilaian penderita, harus dipertimbangkan untuk membuka dan diganti dengan airway definitif atau membiarkan alat ini ditempatnya.Gambar 11. Laryngeal Mask Airway

IV.2Airway Definitif

Pada airway definitif maka ada pipa di dalam trakea dengan balon (cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu pernafasan yang diperkaya dengan oksigen dan airway tersebut dipertahankan ditempatnya dengan plester. Terdapat 3 macam airway definitif :1. Pipa orotrakeal.

2. Pipa nasotrakeal.

3. Airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi).

Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain:

1. Adanya apnea.

2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara yang lain.

3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah dan vomitus.4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway sebagai akibat lanjut dari cedera inhalasi, patah tulang wajah, hematoma retrofaringeal atau kejang-kejang yang berkepanjangan.5. Adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan nafas (GCS < 8).

6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah.Tabel 1. Indikasi airway definitif

Kebutuhan untuk perlindungan airwayKebutuhan untuk ventilasi

Tidak sadarApnea :

Paralisis neuromuskuler.

Tidak sadar

Fraktur maksilofasialUsaha nafas yang tidak adekuat :

Takipnea

Hipoksia

Hiperkarbia

Sianosis

Bahaya aspirasi :

Perdarahan

Muntah- muntahCedera kepala tertutup berat yang membutuhkan hiperventilasi singkat bila terjadi penurunan keadaan neurologis.

Bahaya sumbatan : Hematoma leher

Cedera laring/trakea

Stridor

1. Intubasi Endotrakeal

Pada setiap pasien tidak sadar dengan trauma kapitis tentukanlah perlunya intubasi. Ingat, control servikal dulu pada trauma.Bila penderita dalam keadaan apnea, intubasi dilakukan oleh 2 orang, dengan satu petugas melakukan imobilisasi segaris. Setelah pemasangan orotrakheal tube, balon dikembangkan dan mulai ventilasi assisted. Penempatan ETT ya ng tepat dapat diperiksa dengan auskultasi kedua paru. Bila terdengar bunyi pernafasan pada kedua paru tanpa borborigmi dapat diduga bahwa penempatan ETT sudah benar. Terdengarnya suara dalam daerah lambung terutama pada inspirasi, memperkuat dugaan bahwa ETT terpasang dalam esophagus dan menuntut intubasi ulang.

Malposisi ETT harus dipertimbangkan pada semua penderita yang datang dengan sudah terpasang ETT. Malposisi dapat dengan ETT terdorong lebih jauh masuk ke bronchus atau tercabut selama transport. Kembungnya daerah epigastrium harus diwaspadai akan kemungkinan malposisi ETT. Foto thorak dapat membantu diagnosis letak ETT yang benar, namun tidak menyingkirkan kemungkinan intubasi esophagus.

Ket : Gambar 12. Peralatan intubasi ; Gambar 13. Endotrakheal Tube (ETT) yang terbuat dari poliphinyl ; Gambar 14. LaringoskopLangkah-langkah intubasi orotrakheal dewasa :a) Pastikan bahwa ventilasi yang adekuat dan oksigenasi tetap berjalan dan peralatan penghisap berada pada tempat yang dekat sebagai kesiagaan bila penderita muntah.b) Kembangkan balon pipa endotrakeal untuk memastikan bahwa balon tidak bocor, kemudian kempiskan balon.c) Sambungkan daun laringoskop pada pemegangnya dan periksa terangnya lampu.d) Minta seorang asisten mempertahankan kepala dan leher dengan tangan . Leher penderita tidak boleh hiperekstensi atau di hiperfleksi selama prosedur ini.e) Pegang laringoskop dengan tangan kiri.

f) Masukkan laringoskop pada bagian kanan mulut penderita dan menggeser lidah ke sebelah kiri.

g) Secara visual identifikasi epiglotis dan kemudian pita suara.

h) Dengan hati-hati, masukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea tanpa menekan gigi atau jaringan-jaringan di mulut.

i) Kembangkan balon dengan udara secukupnya agar tidak bocor. Jangan mengembangkan balon secara berlebihan.

j) Periksa penempatan pipa endotrakeal dengan cara memberi ventilasi dengan bag-valve-tube.

k) Secara visual perhatikan pengembangan dada dengan ventilasi.

l) Auskultasi dada dan abdomen dengan stetoskop untuk memastikan letak pipa.

m) Amankan pipa (dengan plester ). Apabila penderita dipindahkan, letak pipa harus dinilai ulang.

n) Apabila intubasi endotrakeal tidak bisa diselesaikan dalam beberapa detik atau selama waktu yang diperlukan untuk menahan nafas sebelum ekshalasi, hentikan percobaan intubasinya, ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask dan coba lagi.

o) Penempatan pipa harus diperiksa dengan teliti. Foto thoraks berguna untuk menilai letak pipa, tetapi tidak dapat menyingkirkan intubasi esophageal.

p) Hubungkan alat kolorimetris CO2 ke pipa endotrakeal antara adaptor dengan alat ventilasi. Penggunaan alat kolorimetrik merupakan suatu cara yang dapat diandalkan untuk memastikan bahwa letak pipa endotrakeal berada dalam airway.q) Pasang alat pulse oxymeter pada salah satu jari penderita (perfusi perifer harus masih ada) untuk mengukur atau memantau tingkat saturasi oksigen penderita. Pulse oxymeter berguna untuk memantau tingkat saturasi oksigen secara terus-menerus dan sebagai cara menilai segera tindakan intervensi.

Gambar 13. Pemasangan endotrakeal tube (ETT)

2. Intubasi Nasotrakeal

Intubasi nasotrakheal bermanfaat pada fraktur servikal pada keadaan urgensi pengelolaan airway yang tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas spontan. Keadaan apnea merupakan kontraindikasi pemasangan intubasi nasotrakeal. Kontraindikasi yang lain adalah fraktur tulang wajah yang berat atau fraktur basis cranii anterior. Perhatian akan adanya fraktur servikal adalah sama seperti pada intubasi orotrakheal.

Pemilihan jenis intubasi terutama tergantung pada pengalaman dokter. Kedua teknik diatas adalah aman bila dipraktekkan semestinya. Oklusi kartilago krikoid oleh seorang asisten bermanfaat untuk mencegah aspirasi dan visualisasi jalan nafas yang lebih baik.

Bila keadaan penderita memungkinkan dapat dipakai teknik endoskopi fiberoptik dalam pemasangan ETT. Ini terutama diindikasikan pada fraktur maksilofasial dan fraktur servikal dan penderita dengan leher pendek. Bila keadaan-keadaan di atas menghambat intubasi oro atau nasotrakheal dokter dapat langsung ke surgical airway : needle atau surgical-thiroidotomy.

Langkah-langkah intubasi nasotrakeal :a) Apabial dicurigai ada fraktur ruas tulang leher, berikan cervical collar ditempatnya untuk membantu menjaga immobilisasi leher.b) Pastikan bahwa ventilasi dan oksigenasi yang cukup tetap berjalan.

c) Kembangkan balon pipa endotrakeal untuk memastikan bahwa balon tidak bocor kemudian kempiskan.d) Apabila penderita sadar, semprot lorong lubang hidung dengan anestetika dan vasokonstriktor untuk mematirasakan dan mengempiskan mukosa. Apabila penderita tidak cukup sadar,cukup menyemprot dengan vasokonstriktor saja.

e) Minta asisten menjaga immobilisasi kepala dan leher secara manual.

f) Lumasi pipa nosatrakeal dengan gel anastetika lokal dan masukan pipa kedalam lubang hidung.

g) Dorong pipa pelan-pelan tetapi pasti kedalam lorong lubang hidung, kearah atas hidung (untuk menghindari concha inferior yang besar) dan kemudian kebelakang dan kebawah ke nosafaring. Lengkungan pipa harus sesuai untuk memudahkan masuknya kelorong yang melengkung.h) Sewaktu pipa melewati hidung dan ke nasofaring ,harus dibelokkan ke bawah untuk masuk kedalam faring.

i) Begitu pipa telah masuk ke faring, dengarkan aliran udara yang berasal dari pipa endotrakeal. Dorong pipa sampai suara aliran udara maksimal, yang memberi kesan ujung pipa berada pada mulut trakea. Sambil mendengarkan gerakan udara, pastikan saat inhalasi dan dorong pipa dengan cepat. Apabila penempatan pipa tidak berhasil, ulangi prosedur dengan memberikan tekanan ringan pada cartilago thyroidea. Ingat untuk melakukan ventilasi dan oksigenasi penderita secara berkala.j) Kembangkan balon secukupnya sehingga tidak bocor. Cegah pengembangan yang berlebihan.

k) Periksa letak pipa endotrakeal dengan cara memberi ventilasi bag-valve-tube.l) Perhatikan secara visual pengembangan dada dengan ventilasi.

m) Auskultasi dada dan abdomen dengan stetoskop untuk memastikan letak pipa,

n) Amankan pipa. Apabila penderita dipindahkan posisinya, letak pipa harus dinilai ulang.

o) Apabila intubasi endotrakeal tidak bisa diselesaikan dalam 30 detik atau selama waktu yang diperlukan untuk menahan nafas sebelum ekshalasi, hentikan percobaan intubasinya, ventilasi penderita dengan bag-valve-mask dan coba lagi.

p) Penempatan pipa harus diperiksa dengan teliti. Foto thoraks berguna untuk menilai letak pipa, tetapi tidak dapat menyingkirkan intubasi esophageal.

q) Hubungkan alat kolorimetris CO2 ke pipa endotrakeal antara adaptor dengan alat ventilasi. Penggunaan alat kolorimetrik merupakan suatu cara yang dapat diandalkan untuk memastikan bahwa letak pipa endotrakeal berada dalam airway.

r) Pasang alat pulse oxymeter pada salah satu jari penderita (perfusi perifer harus masih ada) untuk mengukur atau memantau tingkat saturasi oksigen penderita. Pulse oxymeter berguna untuk memantau tingkat saturasi oksigen secara terus-menerus dan sebagai cara menilai segera tindakan intervensi.

3. Airway surgical

Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk membuat airway surgical. Apabila terdapat edema pada glottis, fraktur laring atau perdarahan orofaringeal berat yang menghambat intubasi dapat dipertimbangkan surgical airway. Pada sebagian besar penderita yang memerlukan airway surgical, krikotiroidotomi surgical lebih dianjurkan daripada trakeostomi. Krikotiroidotomi surgical lebih mudah dilakukan, perdarahannya lebih sedikit dan lebih cepat dikerjakan daripada trakeostomi.1. Jet insufflation pada airway.

Jet insufflation dapat memberikan 45 menit tambahan menunggu intubasi dilakukan. Jet insuflation dilakukan memakai jarum ukuran 12 atau 14 ( anak 16 sampai 18) melalui membran cricothyroid. Jarum kemudian dihubungkan dengan oksigen pada flow 15 liter/menit (40-50 psi) dengan suatu y-connector atau dengan tube yang dilubangi diantara sumber oksigen dan kanula plastik. Insuflasi intermiten dilakukan dengan cara menutup lubang y-connector atau lubang pada selang selama 1 detik dan membukanya selama 4 detik dengan memakai ibu jari.

Penderita dapat dioksigenasi secara adekuat selama 30-45 menit dengan cara ini, tetapi ini terbatas hanya pada penderita dengan fungsi paru normal yang tidak mendapat cedera dada yang berarti. Selama 4 detik dimana O2 tidak diberikan dengan tekanan, terjadi sedikit ekshalasi. Karena ekshalasi yang tidak adekuat, CO2 secara perlahan akan menumpuk dan ini merupakan keterbatasan penggunaan teknik ini, terutama pada penderita cedera kepala.

Jet insufflation harus digunakan secara hati-hati bila dicurigai terjadi sumbatan total daerah glottis dengan benda asing. Meskipun tekanan tinggi mungkin dapat melontarkan benda tersebut ke hipofaring dan kemudian mudah dikeluarkan, namun dapat menimbulkan barotrauma yang cukup berat termasuk ruptur paru dengan tension pneumothorak. Bila terdapat pembuntuan glottis digunakan O2 dengan aliran yang rendah.2. Krikotiroidotomi surgikal.

Krikotiroidotomi surgical dilakukan dengan membuat irisan kulit menembus membrana krikotiroid. Suatu hemostat bengkok dapat diselipkan untuk melebarkan lubang tersebut dan pipa endotrakeal atau kanul trakeostomi kecil (lebih baik diameter 5 sampai 7 mm) dapat disisipkan. Apabila digunakan pipa endotrakeal, cervical collar dapat dipasang kembali sesudahnya. Harus diwaspadai kemungkinan pipa endotrakeal dapat berubah tempat. Terutama pada anak-anak harus berhati-hati melakukan krikotiroidotomi, untuk mencegah kerusakan kartilago krikotiroidea yang merupakan satu-satunya penyangga trakea bagian atas. Karena itu, krikotiroidotomi surgical tidak dianjurkan untuk anak yang berumur di bawah 12 tahun.

Pada tahun-tahun terakhir ini, trakeostomi perkutan telah dilaporkan sebagai pilihan lain dari trakeostomi surgical. Teknik ini bukan merupakan prosedur yang aman pada situasi trauma akut karena leher penderita harus di hiperekstensi untuk menempatkan kepala pada posisi yang tepat agar prosedur dapat dilakukan secara aman. Trakeostomi perkutan memerlukan penggunaan guidewire besar dan dilator yang tajam atau guidewire dengan beberapa dilator. Hal ini mungkin dapat berbahaya atau memerlukan banyak waktu tergantung dari macam alat yang digunakan.IV.3Skema Penentuan Jenis Airway

Skema penetuan jenis airway hanya berlaku pada penderita yang berada dalam distress pernafasan akut (apnea) dan dalam keadaan memerlukan airway segera serta dalam keadaan dimana dicurigai cedera servikal dengan melihat mekanisme cederanya dan pemeriksaan fisik. Prioritas pertama adalah memastikan oksigenasi bersamaan dengan menjaga imobilisasi servikal. Ini dilakukan mula-mula dengan mengatur posisi (yaitu chin lift atau jaw thrust) dan teknik-teknik airway pendahuluan (yaitu arway orofaringeal atau nasofaringeal).

Algoritme AirwayKeperluan Segera Airway Definitif

Kecurigaan cedera servikal

Oksigenasi/ventilasi

Apneic BernafasIntubasi orotrakeal intubasi Nasotrakeal dengan imobilisasi atau orotrakeal

servikal segaris dengan imobilisasi

servikal segaris*

Cedera maksilofasial beratTidak dapat intubasi tidak dapat intubasi Tidak dapat intubasi Tambahan farmakologik

Intubasi orotrakeal Tidak dapat intubasi Airway surgical

Ket : * Kerjakan sesuai pertimbangan klinis dan tingkat keterampilan/pengalaman.IV.4Oksigenasi

Cara pemberian oksigen dapat dengan :

a. Kanul hidung (nasal canule).

Kanul hidung lebih dapat ditolerir pada anak-anak, face mask akan ditolak karena merasa dicekik. Orang dewasa juga kadang-kadang menolak facemask karena dianggap mencekik. Kekurangan kanul hidung adalah dalam konsentrasi oksigen yang dihasilkannya.

Pemberian O2 malalui kanul tidak bisa lebih dari 6 liter/menit.b. Face mask (rebreathing mask).

Masker dengan lubang pada sisinya. Pemakaian facemask dalam pemberian oksigen lebih baik dibandingkan kanul hidung karena konsentrasi O2 yang dihasilkannya lebih tinggi.c. Non rebreathing mask.Pada facemask dipasang reservoir O2 yang mempunyai katup. Bila diinginkan konsentrasi oksigen yang tinggi, maka non rebreathing mask paling baik.Tabel 2. Konsentrasi O2 menurut cara pemberian :

Cara PemberianKonsentrasi

Udara bebas21%

Kanul hidung dengan O2 2 liter/menit (LPM)24%

Kanul hidung dengan O2 6 LPM44%

Face mask (rebreathing 6-10 LPM)35-60%

Non rebreathing mask (8-12 LPM)80-90%

Cara terbaik memberikan oksigen adalah dengan cara menggunakan masker wajah yang melekat ketat dengan reservoir oksigen (tight- fitting oxygen reservoir face mask) dengan aliran 11 liters/menit. . Karena perubahan oksigenasi dapat terjadi dengan cepat dan tidak mungkin dideteksi secara klinis, pulse oxymeter sebaiknya digunakan bila intubasi atau ventilasi yang diperkirakan akan sulit.

Termasuk pula dalam hal ini pengangkutan penderita cedera yang berada dalam kondisi kritis. Pulse oxymeter adalah metoda yang noninvasif untuk mengukur saturasi O2 (O2 sat) darah arterial secara terus menerus. Alat ini tidak mengukur tekanan parsial O2 (Pa O2) dan tergantung dari letak pada oxyhemoglobin dissociation curve, PaO2 dapat jauh berbeda. Saturasi 95% atau lebih yang terukur dengan pulse oxymeter merupakan bukti kuat oksigenasi arterial perifer yang adekuat (sesuai dengan PaO2 >70 mmHg atau 9,3 Kpa).

Pulse oxymeter memerlukan perfusi perifer yang intak dan tidak mampu membedakan oxyhemoglobin dari carboxyhemoglobin maupun methemoglobin sehingga tidak berguna pada penderita yang mengalami vasokonstriksi hebat dan penderita dengan keracunan karbonmonoksida. Anemia berat ( hemoglobin < 5 g/dL) dan hipotermia ( < 30OC) menurunkan keandalan teknik ini. Bagaimanapun juga, pada kebanyakan penderita trauma, pulse oxymeter tidak saja berguna, tetapi pemantauan saturasi O2 secara terus-menerus memberi kesempatan untuk menilai tindakan terapeutik dengan tepat.IV.5Ventilasi

Ventilasi yang efektif dapat dicapai dengan teknik bag-valve-facemask. Menurut penelitian, teknik ventilasi satu orang menggunakan bag-valve mask, kurang efektif dibandingkan teknik dua-orang dimana kedua tangan dari satu petugas dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik.Intubasi pada penderita yang mengalami hipoventilasi atau apnea mungkin pada awalnya tidak berhasil dan mungkin memerlukan beberapa kali usaha. Pada usaha intubasi yang berkepanjangan , penderita harus secara periodik diberi ventilasi. Setelah selesai melakukan intubasi trakea dianjurkan diikuti bantuan ventilasi dengan menggunakan teknik pernafasan tekanan positif (positive-pressure breathing). Respirator volume atau pressure-regulated dapat digunakan tergantung tersedianya alat. Dokter harusnya waspada terhadap penyulit-penyulit sekunder akibat perubahan-perubahan di tekanan intratorakal yang dapat mengubah pneumothorak sederhana menjadi tension pneumothorak atau bahkan timbul pneumothoraks yang sekunder akibat barotrauma.V. Ringkasana) Sumbatan nafas atau kemungkinan sumbatan airway harus dicurigai pada semua penderita dengan trauma.

b) Pada segala tindakan mengenai airway, servikal harus dilindungi dengan imobilisasi segaris (In-Line Immobilization).c) Tanda-tanda klinis yang mengarah ke bahaya terhadap airway dianjurkan untuk dikelola dengan membuka airway dan memberikan ventilasi yang adekuat dengan udara yang diperkaya dengan O2.

d) Suatu airway definitif harus dipasang apabila terdapat kecurigaan dokter akan integritas airway penderita.

e) Suatu airway definitif dianjurkan untuk dipasang secara dini setelah penderita diberi ventilasi dengan udara yang diperkaya dengan oksigen. Periode apnea yang berkepanjangan harus di cegah.f) Pengelolaan airway memerlukan penilaian dan penilaian ulang atas terbukanya airway, posisi pipa dan efektivitas ventilasi.

g) Pemilihan rute orotrakheal atau nasotrakheal untuk intubasi didasarkan pada pengalaman dan tingkat keterampilan dokter.

h) Airway surgical merupakan indikasi apabila diperlukan airway dan intubasi ternyata tidak berhasil.

DAFTAR PUSTAKA

American college of surgeon committe. Advanced Trauma Life Support. Seventh edition. United states : Saint clair St.2004. Buku Panduan Basic Trauma-Cardiac Life Support.

www.google.com . pengelolaan jalan nafas

12.

13.

14.

32