Upload
dhiyyah-ailbielsya
View
115
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hukum perkawinan beda agama
Citation preview
MAKALAH
HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam
KATA PENGANTAR
Segala puji kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
Makalah Hukum Perdata Islam yang berjudul “HUKUM PERKAWINAN
BEDA AGAMA”.
Bersama ini kami juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu hingga terselesaikannya tugas ini, Semoga segala yang telah
kita kerjakan merupakan bimbingan yang lurus dari Yang Maha Kuasa.
Dalam penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu
segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan
tugas ini dan untuk pelajaran bagi kita semua dalam pembuatan tugas-tugas yang
lain di masa mendatang. Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar
bersama demi kemajuan kita dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Negara Indonesia. . 3
B. Perkawinan Beda Agama Menurut Islam ................................. 5
C. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama......... 7
D. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama.............. 8
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ..................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai hakekat manusia yang membedakannya dengan mahluk hidup
lainnya, sudah menjadi kodrat alam sejak dilahirkan manusia selalu hidup
bersama dengan manusia lainnya didalam suatu pergaulan hidup. Hidup
bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang
bersifat jasmani maupun bersifat rohani.
Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di
Indonesia. Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia
yang majemuk, khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan
hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan,
tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja
misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain
sebagainya.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang
berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si
pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau
agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria
non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang
yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak
sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang
mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam.
Paham liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan
tidaklah jadi masalah.
Pada masyarakat sekarang, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah
mendapat pengakuan dari negara. Cara untuk mendapatkan pengakuan itu
sering berbeda-beda diantara negara yang satu dengan negara yang lain. Di
dalam Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila,
dimana sila yang pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka
perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama
1
atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau
jasmani tetapi juga mengandung unsur batin atau rohani, disamping itu pula
perkawinan mempunyai peranan yang penting, terlebih-lebih sejak berlakunya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana didalam
pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian peranan agama dan
kepercayaan semakin lebih diteguhkan didalam hukum positif kita. Dengan
adanya pasal 2 ayat (1) tersebut pelaksanaan menurut agama dan kepercayaan
masing-masing telah merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah atau
tidaknya suatu perkawinan. Tidak ada persoalan apabila perkawinan hanya
dilakukan antara orang-orang yang seagama atau sekepercayaan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkawinan beda agama menurut hukum negara Indonesia ?
2. Bagaimana perkawinan berbeda agama menurut islam ?
3. Bagaimana perbedaan pandangan tentang perkawinan beda agama ?
4. Bagaimana pendapat hukum terhadap perkawinan beda agama ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Negara Indonesia
Dalam menghadapi masyarakat kompleks baik dalam segi budaya maupun
agama, maka penting bagi pemerintah mengatur atau memayungi suatu
kepentingan umum dengan hukum diantaranya masalah pernikahan. Untuk
menghindari konflik atau ketidak selarasan dimasyarakat, maka pemerintah
membuat perundang-undangan tentang pernikahan khususnya mengenai
perbedaan agama. Diantara peraturan-peraturan mengenai pernikahan beda
agama yang masih berlaku diantaranya:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar
pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c
dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44
dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang
menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak
ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama
jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam.
Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam
untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar
agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan
3
tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam
peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi
perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974,
dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat
diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak
diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon
suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal
2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975
dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan
menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang
Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang
berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap
UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan
antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam
perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan
campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan
antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang
yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama
sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66
UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada
peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang
perkawinan.
4
B. Perkawinan berbeda Agama Menurut Islam
Menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tidak boleh
diutak-atik. Semua perangkat syari'ah dikerahkan untuk menjaga
eksistensinya. Bahkan kalau perlu nyawa harus direlakan. Dalam ushul fiqh
dijelaskan, term ini disebut hifdz al-din, yang menempati rangking satu dalam
urutan hal-hal yang sangat dipelihara Islam.
Barangkali, persoalan nikah beda agama dapat dipahami dalam segmen
ini. Islam tidak mau menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Karena itu,
Islam sama sekali tidak mentolelir pernikahan dengan kaum atheis (orang
yang tidak bertuhan). Larangan ini sangat tegas dan jelas karena menikah
dengan orang musyrik atau musyrikah akan menuntun pada jalan neraka
sebagaimana firman Allah dalam surat Albaqarah ayat 221 :
Artinya : "Mereka (orang musyrik dan musyrikah) mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".1 (QS. Al-Baqarah : 221)
Mayoritas ulama yang memberikan qayyid (catatan) bahwa keharaman
pernikahan beda agama tidaklah mutlak akan tetapi tetap diperbolehkan bagi
pria muslim dengan wanita ahlu kitab. Dalam hal ini para ulama melakukan
kajian tafsir yang mendalam kaitannya dengan ayat tersebut. Menurut para
ahli tafsir, yang disebut dengan musyrik/musyrikah adalah mereka yang
mengingkari wujud Tuhan (atheis), tidak percaya pada nabi dan hari kiamat.
Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan atheis?2 Untuk mengklarifikasi
masalah ini, maka dapat dilihat surat al-Bayyinah ayat 1 sebagai berikut:
Artinya : "Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata". (QS. AL-Bayyinah : 1)
Ayat ini memberi informasi, bahwa orang kafir ada dua macam, yakni
orang musyrik dan ahlu kitab. Yang disebut ahlu kitab adalah mereka yang
berpedoman pada agama (kitab) samawi. Sedangkan yang disebut musyrik
adalah mereka yang tidak mengakui Tuhan, nabi, hari akhir, dan berbagai
doktrin agama samawi. Dengan kata lain, musyrik adalah mereka yang tidak
5
bertuhan. Atau, mereka masih mengakui Tuhan, akan tetapi tidak berdasar
pada agama samawi.
Dengan pemahaman ini, kita bisa memilih agama-agama yang ada di
belahan bumi. Sejarah mengatakan, yang termasuk agama samawi –tentunya
mempunyai kitab samawi - adalah Yahudi dan nasrani. Dengan demikian
hanya mereka yang berhak menyandang gelar ahlu kitab. Di luar itu, termasuk
musyrikin.
Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan
ahlu kitab ada dasar yang membolehkan yakni al-Qur'an surat al-Maidah ayat
5 :
Artinya : "Wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".5 (Q.S. Al-Maaidah : 5).
Menyikapi ayat ini para ulama berbeda pendapat, Ibnu Umar mengatakan
bahwa kebolehan menikahi ahlu kitab adalah rukhsah karena saat itu jumlah
wanita muslimah relatif sedikit. Ketika jumlah mereka sudah imbang, bahkan
jumlah kaum wanita lebih banyak, maka rukhsah itu tidak berlaku lagi.
Alasan lain untuk melarang ahlu kitab adalah kata min qablikum (sebelum
kamu). Maksudnya sebelum turunnya al-Qur'an. Dengan qayyid (catatan) ini,
maka yang boleh dinikahi adalah wanita ahlu kitab yang memeluk agama
Yahudi atau Nasrani sebelum al-Qur'an diturunkan.
Sedangkan untuk Kristen Protestan dan Katolik, ada kemungkinan. Kita
sebut ada kemungkinan, sebab ada yang mensyaratkan nenek moyang mereka
memeluk Kristen sebelum dinasakh. Persyaratan ini untuk konteks Indonesia,
sulit dilacak, kalau tidak dikatakan mustahil. Sebab agama Kristen baru datang
belakangan. Sebelum itu, warga Indonesia sudah memeluk Hindu, Buda, dan
Islam. Dengan kata lain, Kristen yang ada sekarang adalah keturunan mereka
yang 'murtad' dari Hindu, Buda, dan Islam. Jika persyaratan ini bisa diterima,
peluang untuk menikah dengan orang Kristen dan Katolik tertutup rapat-rapat.
6
Jika mengikuti alur jumhur, peluang itu tetap ada, sebab persyaratan itu
tidak ditemukan dalam ayat. Ayat kelima surat Al-Maidah memperbolehkan
menikahi ahlu kitab dengan tanpa catatan. Bahkan Syekh Nawawi
menyatakan, boleh menikah dengan ahlu kitab, sekalipun nenek moyang
mereka masuk Kristen dan Katolik setelah agama itu dinasakh. Ada
sinyalemen kuat bahwa kitab orang Kristen dan Katolik telah berubah.
Apakah hal ini menghalangi kebolehan menikah dengan mereka? Yusuf
Qardlawi dengan tegas mengatakan tidak menghalangi. Dari deskripsi di atas,
maka jelaslah bahwa pernikahan beda agama diperbolehkan tetapi hanya bagi
laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab.
C. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan
pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi
baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan
beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang
menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU
ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada
perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut
hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang
juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin
S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam
tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.,
demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan
dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran,
dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang
menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang
berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
7
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa
perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya
perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada
beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi
antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda
golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan
campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya.
Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali
tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU
No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada
peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang
perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan
yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No.
1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa
ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No.
1/1974.
D. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan
bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama
di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya
pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor
Catatan Sipil dapat ditolak.
8
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang
perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum
masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua
calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama
atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua
hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali
menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut
hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan
menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami
atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau
menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan
pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak
secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung
sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada
tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat
suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri
merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal
27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan
sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-
undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk
perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945
tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk
memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan
dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip
maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua
ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi
kekosongan hukum.
9
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia
yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi
perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa tidak dapat dibenarkan
terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika
dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan
dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa
penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum
positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan
antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima
permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang
berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri
tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar
agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi,
namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi
kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No.
1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan
sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan
antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari
sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk
melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor
Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu
pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara
Islam.
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama
diatur dalam kompilasi hukum Islam dan tidak diatur dalam UUD di Negara
Indonesia sehingga dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan antara KHI dengan
peraturan UUD Negara Indonesia, yang mana keduanya saling bertentangan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk
agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa
dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
yang tidak beragama Islam.
Sedangkan menurut hukum Islam Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak
diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab ada dasar yang membolehkan yakni al-
Qur'an surat al-Maidah ayat 5, Dalam hal ini pernikahan dengan ahlu kitab bisa
ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan
prinsip-prinsip agama banyak persamaan. Hanya saja perlu diingat bahwa
kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim dengan
wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya. Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab,
lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan
akan terperdaya ke agama lain.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk
melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan
Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan
tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan
dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan
tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal
8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan
perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama
Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima
permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai
mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan
salah satu calon pasangannya.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2003.
Kartohadprojo, Sudirman, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka Rakyat, 1959.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Siddik, Mr. Haji Abdullah, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: 1983.
www.wikipedia.com
www.google.com
12