22
MAKALAH HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam

Makalah Perdata Islam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hukum perkawinan beda agama

Citation preview

Page 1: Makalah Perdata Islam

MAKALAH

HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam

Page 2: Makalah Perdata Islam

KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas

Makalah Hukum Perdata Islam yang berjudul “HUKUM PERKAWINAN

BEDA AGAMA”.

Bersama ini kami juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak

yang telah membantu hingga terselesaikannya tugas ini, Semoga segala yang telah

kita kerjakan merupakan bimbingan yang lurus dari Yang Maha Kuasa.

Dalam penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu

segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan

tugas ini dan untuk pelajaran bagi kita semua dalam pembuatan tugas-tugas yang

lain di masa mendatang. Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar

bersama demi kemajuan kita dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Penulis

ii

Page 3: Makalah Perdata Islam

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Negara Indonesia. . 3

B. Perkawinan Beda Agama Menurut Islam ................................. 5

C. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama......... 7

D. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama.............. 8

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ..................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 12

iii

Page 4: Makalah Perdata Islam

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai hakekat manusia yang membedakannya dengan mahluk hidup

lainnya, sudah menjadi kodrat alam sejak dilahirkan manusia selalu hidup

bersama dengan manusia lainnya didalam suatu pergaulan hidup. Hidup

bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang

bersifat jasmani maupun bersifat rohani.

Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di

Indonesia. Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia

yang majemuk, khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan

hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan,

tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja

misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain

sebagainya.

Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang

berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si

pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau

agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria

non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang

yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak

sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang

mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam.

Paham liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan

tidaklah jadi masalah.

Pada masyarakat sekarang, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah

mendapat pengakuan dari negara. Cara untuk mendapatkan pengakuan itu

sering berbeda-beda diantara negara yang satu dengan negara yang  lain. Di

dalam Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila,

dimana sila yang pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka

perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama

1

Page 5: Makalah Perdata Islam

atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau

jasmani tetapi juga mengandung unsur batin atau rohani, disamping itu pula

perkawinan mempunyai peranan yang penting, terlebih-lebih sejak berlakunya

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana didalam

pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian peranan agama dan

kepercayaan semakin lebih diteguhkan didalam hukum positif kita. Dengan

adanya pasal 2 ayat (1) tersebut pelaksanaan menurut agama dan kepercayaan

masing-masing telah merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah atau

tidaknya suatu perkawinan. Tidak ada persoalan apabila perkawinan hanya

dilakukan antara orang-orang yang seagama atau sekepercayaan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkawinan beda agama menurut hukum negara Indonesia ?

2. Bagaimana perkawinan berbeda agama menurut islam ?

3. Bagaimana perbedaan pandangan tentang perkawinan beda agama ?

4. Bagaimana pendapat hukum terhadap perkawinan beda agama ?

2

Page 6: Makalah Perdata Islam

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Negara Indonesia

Dalam menghadapi masyarakat kompleks baik dalam segi budaya maupun

agama, maka penting bagi pemerintah mengatur atau memayungi suatu

kepentingan umum dengan hukum diantaranya masalah pernikahan. Untuk

menghindari konflik atau ketidak selarasan dimasyarakat, maka pemerintah

membuat perundang-undangan tentang pernikahan khususnya mengenai

perbedaan agama. Diantara peraturan-peraturan mengenai pernikahan beda

agama yang masih berlaku diantaranya:

1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata

2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan

3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama

4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974

5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia

Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar

pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c

dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria

dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44

dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan

dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang

menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak

ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.

Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama

jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam.

Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam

untuk melaksanakan perkawinan antar agama.

Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar

agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan

3

Page 7: Makalah Perdata Islam

tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam

peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi

perkawinan antar agama.

Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang

mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974,

dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia

Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat

diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak

diatur dalam UU No. 1/1974.

Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon

suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal

2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975

dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai

pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan

menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.

Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang

Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang

berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap

UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan

antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam

perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan

campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk

pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan

antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang

yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama

sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66

UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada

peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang

perkawinan.

4

Page 8: Makalah Perdata Islam

B. Perkawinan berbeda Agama Menurut Islam

Menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tidak boleh

diutak-atik. Semua perangkat syari'ah dikerahkan untuk menjaga

eksistensinya. Bahkan kalau perlu nyawa harus direlakan. Dalam ushul fiqh

dijelaskan, term ini disebut hifdz al-din, yang menempati rangking satu dalam

urutan hal-hal yang sangat dipelihara Islam.

Barangkali, persoalan nikah beda agama dapat dipahami dalam segmen

ini. Islam tidak mau menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Karena itu,

Islam sama sekali tidak mentolelir pernikahan dengan kaum atheis (orang

yang tidak bertuhan). Larangan ini sangat tegas dan jelas karena menikah

dengan orang musyrik atau musyrikah akan menuntun pada jalan neraka

sebagaimana firman Allah dalam surat Albaqarah ayat 221 :   

Artinya : "Mereka (orang musyrik dan musyrikah) mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".1 (QS. Al-Baqarah : 221)

Mayoritas ulama yang memberikan qayyid (catatan) bahwa keharaman

pernikahan beda agama tidaklah mutlak akan tetapi tetap diperbolehkan bagi

pria muslim dengan wanita ahlu kitab. Dalam hal ini para ulama melakukan

kajian tafsir yang mendalam kaitannya dengan ayat tersebut. Menurut para

ahli tafsir, yang disebut dengan musyrik/musyrikah adalah mereka yang

mengingkari wujud Tuhan (atheis), tidak percaya pada nabi dan hari kiamat.

Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan atheis?2 Untuk mengklarifikasi

masalah ini, maka dapat dilihat surat al-Bayyinah ayat 1 sebagai berikut:

Artinya : "Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata". (QS. AL-Bayyinah : 1)

Ayat ini memberi informasi, bahwa orang kafir ada dua macam, yakni

orang musyrik dan ahlu kitab. Yang disebut ahlu kitab adalah mereka yang

berpedoman pada agama (kitab) samawi. Sedangkan yang disebut musyrik

adalah mereka yang tidak mengakui Tuhan, nabi, hari akhir, dan berbagai

doktrin agama samawi. Dengan kata lain, musyrik adalah mereka yang tidak

5

Page 9: Makalah Perdata Islam

bertuhan. Atau, mereka masih mengakui Tuhan, akan tetapi tidak berdasar

pada agama samawi.

Dengan pemahaman ini, kita bisa memilih agama-agama yang ada di

belahan bumi. Sejarah mengatakan, yang termasuk agama samawi –tentunya

mempunyai kitab samawi - adalah Yahudi dan nasrani. Dengan demikian

hanya mereka yang berhak menyandang gelar ahlu kitab. Di luar itu, termasuk

musyrikin.

Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan

ahlu kitab ada dasar yang membolehkan yakni al-Qur'an surat al-Maidah ayat

5 :

Artinya : "Wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".5 (Q.S. Al-Maaidah : 5).

Menyikapi ayat ini para ulama berbeda pendapat, Ibnu Umar mengatakan

bahwa kebolehan menikahi ahlu kitab adalah rukhsah karena saat itu jumlah

wanita muslimah relatif sedikit. Ketika jumlah mereka sudah imbang, bahkan

jumlah kaum wanita lebih banyak, maka rukhsah itu tidak berlaku lagi.

Alasan lain untuk melarang ahlu kitab adalah kata min qablikum (sebelum

kamu). Maksudnya sebelum turunnya al-Qur'an. Dengan qayyid (catatan) ini,

maka yang boleh dinikahi adalah wanita ahlu kitab yang memeluk agama

Yahudi atau Nasrani sebelum al-Qur'an diturunkan.

Sedangkan untuk Kristen Protestan dan Katolik, ada kemungkinan. Kita

sebut ada kemungkinan, sebab ada yang mensyaratkan nenek moyang mereka

memeluk Kristen sebelum dinasakh. Persyaratan ini untuk konteks Indonesia,

sulit dilacak, kalau tidak dikatakan mustahil. Sebab agama Kristen baru datang

belakangan. Sebelum itu, warga Indonesia sudah memeluk Hindu, Buda, dan

Islam. Dengan kata lain, Kristen yang ada sekarang adalah keturunan mereka

yang 'murtad' dari Hindu, Buda, dan Islam. Jika persyaratan ini bisa diterima,

peluang untuk menikah dengan orang Kristen dan Katolik tertutup rapat-rapat.

6

Page 10: Makalah Perdata Islam

Jika mengikuti alur jumhur, peluang itu tetap ada, sebab persyaratan itu

tidak ditemukan dalam ayat. Ayat kelima surat Al-Maidah memperbolehkan

menikahi ahlu kitab dengan tanpa catatan. Bahkan Syekh Nawawi

menyatakan, boleh menikah dengan ahlu kitab, sekalipun nenek moyang

mereka masuk Kristen dan Katolik setelah agama itu dinasakh. Ada

sinyalemen kuat bahwa kitab orang Kristen dan Katolik telah berubah.

Apakah hal ini menghalangi kebolehan menikah dengan mereka? Yusuf

Qardlawi dengan tegas mengatakan tidak menghalangi. Dari deskripsi di atas,

maka jelaslah bahwa pernikahan beda agama diperbolehkan tetapi hanya bagi

laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab.

C. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama

Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan

pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi

baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan

beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang

menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU

ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada

perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut

hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang

juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin

S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam

tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.,

demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.

Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan

dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran,

dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang

menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang

berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.

7

Page 11: Makalah Perdata Islam

Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa

perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di

Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya

perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada

beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.

Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi

antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda

golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan

campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya.

Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara

orang-orang yang berlainan asal daerahnya.

Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali

tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU

No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada

peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang

perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan

yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No.

1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan

Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa

ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No.

1/1974.

D. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama

Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan

bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di

Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan

kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama

di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya

pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor

Catatan Sipil dapat ditolak.

8

Page 12: Makalah Perdata Islam

Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang

perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum

masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua

calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama

atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua

hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali

menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut

hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.

Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan

menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami

atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau

menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan

pasangannya.

Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak

secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung

sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada

tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.

Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat

suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri

merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal

27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di

dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan

sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-

undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk

perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945

tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk

memeluk agama masing-masing.

Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan

dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip

maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua

ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi

kekosongan hukum.

9

Page 13: Makalah Perdata Islam

Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia

yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi

perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa tidak dapat dibenarkan

terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika

dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan

dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa

penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum

positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.

Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan

antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima

permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang

berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri

tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar

agama.

Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi,

namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi

kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No.

1/1974.

Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan

sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan

antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari

sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk

melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor

Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu

pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara

Islam.

10

Page 14: Makalah Perdata Islam

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama

diatur dalam kompilasi hukum Islam dan tidak diatur dalam UUD di Negara

Indonesia sehingga dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan antara KHI dengan

peraturan UUD Negara Indonesia, yang mana keduanya saling bertentangan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk

agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa

dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita

yang tidak beragama Islam.

Sedangkan menurut hukum Islam Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak

diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab ada dasar yang membolehkan yakni al-

Qur'an surat al-Maidah ayat 5, Dalam hal ini pernikahan dengan ahlu kitab bisa

ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan

prinsip-prinsip agama banyak persamaan. Hanya saja perlu diingat bahwa

kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim dengan

wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya. Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab,

lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan

akan terperdaya ke agama lain.

Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk

melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan

Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan

tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan

dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan

tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal

8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan

perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama

Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima

permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai

mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan

salah satu calon pasangannya.

11

Page 15: Makalah Perdata Islam

DAFTAR PUSTAKA

Ichtiyanto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2003.

Kartohadprojo, Sudirman, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka Rakyat, 1959.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.

Siddik, Mr. Haji Abdullah, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: 1983.

www.wikipedia.com

www.google.com

12