Upload
agustin-poncowati
View
118
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Masalah pendidikan di Indonesia saat ini sangat banyak.
Citation preview
1
Masalah Pendidikan Di Indonesia
Disusun Oleh :
Agustin Poncowati (K1513004)
Davizar Rukman Arrumy (K1513024)
Dwi Sarono (K1513028)
Supriyono (K1513070)
Yesi Nurrismasani (K1513076)
PENDIDIKAN TEKNIK BANGUNAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini
dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari
peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang
menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu
pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Pendidikan memang telah
menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk
pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan
sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya
manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di
berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal.
Salah satu faktor rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah karena
lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali
memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan
bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah
menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan
kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang
nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan
memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada
dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa,
kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram.
Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan
3
kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan
lulusan yang kreatif.
Penyebab lain rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah
masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran.
Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada
umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sistem pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
3. Apa sajakah permasalahan pendidikan di Indonesia?
4. Apa sajakah penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
5. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-
permasalahan pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan sistem pendidikan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
3. Mendeskripsikan permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini.
4. Mendeskripsikan penyebab rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia.
5. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-
permasalahan pendidikan di Indonesia.
4
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia.
2. Bagi Guru
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta
didiknya dapat berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.
3. Bagi Mahasiswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka
meningkatkan prestasi diri pada khususnya dan meningkatkan kualitas
pendidikan pada umumnya.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan-permasalahan
pendidikan di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu
sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan
berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan
(ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.1 Sedangkan
pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia,
peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi
sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan
sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman
Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita
memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan
penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan
dunianya.2
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat
pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir
hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan
lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di
dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena
manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan.
1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2 (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
6
Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung
jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa
manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal
yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi.
Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk
“ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung
jawab.Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada
subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana
demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi
mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu
tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek
perkembangan jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam
relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu
berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar
diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan
lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar
tradisinya.
7
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sistem Pendidikan di Indonesia
1. Pengertian sistem pendidikan
Kata sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu systema yang berarti adalah
“cara atau strategi”. Dalam bahasa Inggris sistem berarti “system, jaringan,
susunan, cara”. Sistem juga diartikan sebagai “suatu strategi atau cara berpikir”.
Sedangkan kata pendidikan itu berasal dari kata “Pedagogi”, kata tersebut berasal
dari bahasa yunani kuno, yang jika dieja menjadi 2 kata yaitu Paid yang artinya
anak dan Agagos yang artinya membimbing.
Dengan demikian Pendidikan bisa di artikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan proses pembelajaran dan suasana belajar agar para
pelajar di didik secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya yang
diperlukan untuk dirinya dan masyarakat.
Jadi, bisa di simpulkan bahwa sistem pendidikan adalah suatu strategi atau
cara yang akan di pakai untuk melakukan proses belajar mengajar untuk mencapai
tujuan agar para pelajar tersebut dapat secara aktif mengembangkan potensi di
dalam dirinyayang sangat diperlukan untuk dirinya sendiri dan masyarakat.
2. Sistem pendidikan yang dianut Indonesia saat ini
Indonesia sekarang menganut sistem pendidikan nasional. Namun sistem
pendidikan nasional masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ada
beberapa sistem di Indonesia yang telah dilaksanakan, di antaranya:
Sistem Pendidikan Indonesia yang berorientasi pada nilai.
Sistem pendidikan ini telah diterapkan sejak sekolah dasar. Disini peserta
didik diberi pengajaran kejujuran, tenggang rasa, kedisiplinan, dsb. Nilai ini
disampaikan melalui pelajaran Pkn, bahkan nilai ini juga disampaikan di
tingkat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Indonesia menganut sistem pendidikan terbuka.
8
Menurut sistem pendidikan ini, peserta didik di tuntut untuk dapat
bersaing dengan teman, berfikir kreatif dan inovatif.
Sistem pendidikan beragam.
Di Indonesia terdiri dari beragam suku, bahasa, daerah, budaya, dll. Serta
pendidikan Indonesia yang terdiri dari pendidikan formal, non-formal dan
informal.
Sistem pendidikan yang efisien dalam pengelolaan waktu.
Di dalam KBM, waktu di atur sedemikian rupa agar peserta didik tidak
merasa terbebani dengan materi pelajaran yang disampaikan karena waktunya
terlalu singkat atau sebaliknya.
Sistem pendidikan yang disesuaikan dengan perubahan zaman.
Dalam sistem ini, bangsa Indonesia harus menyesuaikan kurikulum
dengan keadaan saat ini. Oleh karena itu, kurikulum di Indonesia sering
mengalami perubahan atau pergantian dari waktu ke waktu, hingga sekarang
Indonesia menggunakan kurikulum 2013.
Dalam Sistem Pendidikan di Indonesia ada yang namanya Pendidikan
karakter, yakni karakter merupakan kunci keberhasilan individu. Pendidikan
karakter ini sangat penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter
akan menjadi dasar atau basic dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa,
yang tak hanya mengabaikan nilai-nilai sosial seperti kebersamaan, toleransi,
gotong royong, saling membantu, saling menghormati, saling membantu, saling
menghormati, dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi
unggul yang tak hanya mempunyai kemampuan kognitif saja namun juga
mempunyai karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.
Menurut penelitian di Harvard University AS, ternyata kesuksesan
seseorang semata-mata tidak ditentukan oleh kemampuan teknis (hard skill)
pengetahuan dan kognisinya saja, tapi lebih oleh kemampuan mengelola diri &
orang lain. Penelitian ini mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya ditentukan
sekitar 20 % hard skill dan sisanya oleh soft skill 80 %. Kecakapan soft skill ini
terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik.
9
B. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari
tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini
ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa
Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui
pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui
ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-
asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio,
surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan
berintegrasi dalam rohani para siswa dan mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau
perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka
pelajari. Pikiran para siswa dan atau mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-
soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
C. Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan
menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”.
Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya
membuat manusia menjadi manusia seutuhnya, tetapi dalam kenyataannya
seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia.
Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia,
menghasilkan “manusia robot”. Dikatakan demikian karena pendidikan yang
diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan
ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir
(kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi
cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak
hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang
belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati,
10
membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang
sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan
instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering
digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap
pakai”. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang
dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.
Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini
manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu
berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi
sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut
pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak
lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke
bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari
Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak
membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang
tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid
untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai
pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit
box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila
sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid
hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek.
Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid.
Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan
sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan
apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan
bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah
11
wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang
dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar
budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat
bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau
Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam
“strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu
kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan
politik internasional.
Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan
justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah
tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga
pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang
sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga
mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi
masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
D. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan
peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat
tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik
(dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan
keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi
pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya
adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran
dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal”
apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam
12
proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita
menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai
jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal
dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia
Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang
terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat
dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan
efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai
kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil
pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh
orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang
mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA
akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan
peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan
minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya
masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas
pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan
dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik
jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan
proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan
di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat
meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di Indonesia adalah mahalnya
biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar
dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di
Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia
Indonesia yang lebih baik.
13
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia
umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah
jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost
education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup
mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia
cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara
tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau
informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung
seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat
sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang
benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik
tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis,
seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh
pendidik yang bersangkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang
mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk
pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya
adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa
pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara
lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang
jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul
16.00. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik
yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu
tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain
seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses
pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya
mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai
kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah
mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta
14
didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil
pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang
mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar
pendidikan di bidang bahasa, namun dia mengajarkan keterampilan, yang
sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita
melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik
tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga tidak
mudah dimengerti dan kurang membuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan
efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita
berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem
pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi
yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga
kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara
pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang
juga menambah cost/biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu
sering mengganti kurikulum yang dianggap kurang efektif lalu langsung
menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat
dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relatif tetap, atau jika
masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal.
Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis.
Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik
sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis
tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas
merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat
dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan
dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung
15
ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaan sumber-sumber pendidikan
yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program
yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan
sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami
hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah
melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh
masyarakat terus-menerus berubah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam
dunia modern dalam era globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki
oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam
pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar
dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standar dan kompetensi di
dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk
melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu
pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengungkapan adanya bahaya yang
tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar
kompetensi saja sehingga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar
mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang
diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar
memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpenting
adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti
kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas
salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
16
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidak hanya
sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali
lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar
permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga
jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut
ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi
kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah,
buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih
banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan,
tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat
146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258
ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12%
berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak
201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI
diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk
daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA,
dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru
belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20 th 2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan
melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia
17
bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan
mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD
yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP
54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru
itu sendiri. Tingkat pendidikan guru merupakan salah satu indikator
profesionalisme tenaga pendidik. Data berasal dari kuesioner nasional tahun 2000
yang dilaksanakan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengab Departemen Pendidikan Nasional. Hasil analisis
menunjukkan babwa guru yang berpendidikan di bawab standar yang ditetapkan
pemerintab cukup tinggi yaitu 64,09% untuk SLTP, 61,5% untuk SMU dan
10,14% untuk SMK.
Berdasarkan pengamatan dan hasil survey pada tahun 2010 yang kami
kutip dari www.edukasi.kompasiana.com, kriteria kelayakan seorang guru di mata
siswa ternyata cukup sederhana.
Ada tiga jenis penilaian siswa yang merupakan indikator keberhasilan guru
dalam mengelola pembelajaran di kelas. Pertama, Guru mampu menguasai kelas.
Saat guru memasuki ruang kelas, guru harus bisa mengalihkan perhatian semua
siswa agar terfokus dengan kehadirannya. Ada sosok guru yang selalu ditunggu
kehadirannya, sebaliknya ada yang sejak awal kemunculan guru sudah membuat
tegang siswa dan adapula guru yang diacuhkan siswa meskipun sudah berada di
depan kelas. Selama proses pembelajaran , guru harus cerdik untuk menyiasati
berbagai ulah siswa yang kadang tidak terkontrol. Ibarat seorang pemusik, guru
harus menguasai ritme kelas, ada waktu dimana harus bersikap akrab dan
menyenangkan tapi ada saat guru mesti bersikap tegas untuk menjaga
kewibawaan. Bagi guru pemula atau mereka yang jam terbangnya masih rendah
pasti akan menemui banyak kesulitan dalam segi penguasaan kelas. Tapi jika para
guru mau bersabar, hal ini justru bermanfaat untuk memperbaiki pencitraan
18
dirinya di mata siswa. Sekitar 28,57 % siswa menilai atau berpendapat bahwa
kemampuan guru dalam penguasaan kelas menentukan kriteria kelayakan seorang
guru.
Kedua, Guru mampu menyampaikan materi pembelajaran. Guru harus
menguasai materi pembelajaran terlebih dahulu secara luas dan mendalam.
Setelah itu guru dituntut untuk dapat menyampaikan materi dengan cara yang bisa
dipahami oleh siswanya. Perlu diketahui bahwa tiap kelas memiliki karakter yang
berbeda. Kelas yang mayoritas berisi siswa aktif, daya tangkap kuat, dan bagus
interaksi sosialnya akan memudahkan guru membimbing siswa memperoleh
kompetensi yang ditetapkan. Sedangkan kelas yang kemampuan siswanya
bervariasi atau kelas dengan karakter siswa kurang aktif, tidak disiplin, dan
prestasi rendah membutuhkan kesabaran tinggi dan kerja keras dari gurunya.
Siswa yang menilai kelayakan seorang guru ditinjau dari kemampuan guru
menyampaikan materi berjumlah 60 %.
Indikator ketiga yang menentukan kelayakan guru di mata siswa adalah
guru memiliki kualifikasi akademik yang memadai. Hanya 11,43 % siswa yang
berpendapat bahwa guru harus bergelar sarjana (S1) sesuai dengan bidang
tugasnya. Hal ini mungkin disebabkan mayoritas siswa tidak tahu atau tidak
terlalu mempersoalkan latar belakang pendidikan gurunya. Yang terpenting bagi
siswa adalah seorang guru diharapkan mampu mengantarkan mereka ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi dan membuat mereka menjadi manusia yang cerdas
dan berakhlak mulia.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Permasalahan kesejahteraan guru sebenarnya tidak perlu dipertanyakan,
karena pemerintah telah menaikkan dana alokasi umum untuk pendidikan, yakni
20% dari APBN. Hal ini menyebabkan naiknya gaji guru PNS. Kenaikan
19
tunjungan profesi guru tercatat mencapai besaran 56 persen, dari sebelumnya Rp
6,1 triliun pada APBN-P 2010, naik menjadi Rp 17,1 triliun, dan terus naik hingga
saat ini anggaran tahun 2013 menjadi sekitar Rp 43 triliun.
Dengan data tersebut, sepertinya tidak perlu dipertanyakan lagi mengenai
kesejahteraan guru PNS, karena pemerintah telah menjaminnya dan semakin baik
setiap tahunnya. Namun, yang perlu dipertanyakan adalah guru non-PNS atau
guru honorer yang belum mendapatkan balasan yang sesuai atas jasanya.
Umumnya guru honorer tiap bulannya hanya menerima gaji ala kadarnya
yang jauh dari Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten
(UMK) di daerah ngajarnya masing-masing. Sehingga kesejahteraan mereka
sangat kurang.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dalam beberapa tahun terakhir memang prestasi siswa-siswi Indonesia di
kancah Internasional membaik. Bahkan, sering kali medali emas dari berbagai
olimpiade, seperti fisika, kimia, matematika, biologi, astronomi, dan komputer,
selalu digenggam wakil Indonesia atau bahkan menjadi juara umum kejuaraan-
kejuaraan internasional. Namun, apakah ini merupakan cerminan dari kemajuan
mutu pendidikan di Indonesia?
Kita tidak boleh hanya melihat prestasi dari segelintir siswa tersebut, tapi
haruslah melihat secara keseluruhan siswa-siswi di Indonesia. Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) pun mengakui bahwa siswa Indonesia yang
unggul di bidang sains selama ini hanya sekitar dua persen. Mereka inilah yang
kerap menjuarai olimpiade sains nasional dan internasional. Bagaimana dengan
anak-anak yang 98 persen lagi? (http://e-smartschool.co.id).
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Dalam hal pemerataan pendidikan, dapat diketahui melalui Angka Partisipasi
Murni (APM) didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa kelompok
usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah yang
sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Indikator APM ini digunakan untuk
mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang
pendidikan yang sesuai.Angka Partisipasi Kasar (APK) didefinisikan sebagai
20
perbandingan antara jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP,
SLTA dan sebagainya) dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan
dinyatakan dalam persentase. Hasil perhitungan APK ini digunakan untuk
mengetahui banyaknya anak yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan tertentu
pada wilayah tertentu.
Partisipasi ditingkat SD (APM) sebesar 95,23%. Ditingkat SMP angka
partisipasi murni (APM) sebesar 74,52%. Ditingkat sekolah menengah (SM)
angka partisipasi murni (APM) sebesar 55,73% sedangkan angka parisipasi kasar
(APK) sekolah menengah (SM) sebesar 69,60% dan ditingkat perguruan tinggi
angka partisipasi kasar (APK) sebesar 18,33% (Badan Pusat Statistik Pendidikan).
Padahal untuk SD dan SMP pemerintah menargetkan 100%. Belum lagi
ketimpangan antar daerah yang terjadi di Indonesia. Daerah-daerah terbelakang
dan belum mendapatkan akses infrastruktur dasar masih tersebar diberbagai
pelosok daerah. Tentunya hal ini menyulitkan untuk mewujudkan tujuan
pemerataan pendidikan yang telah Indonesia sepakati.
Belum lagi untuk jenjang pendidikan SMA dan perguruan tinggi.
Ketimpangan sangat terasa dilevel ini. Akses yang sangat sulit didapat masyarakat
membuktikan rendahnya APK pada level ini. Hal ini terbukti dari rendahnya APK
untuk SM yakni sebesar 69,60% dan PT 18,33%. Tidak dapat dipungkiri, biaya
untuk mengakses pendidikan di level ini masih sangat tinggi dan sulit untuk
dijangkau oleh penduduk miskin yang saat ini berjumlah 30,02 juta orang dengan
pendapatan yang minim dan hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka di
Indonesia per Agustus 2013 mencapai 7,39 juta orang. Angka itu lebih tinggi dari
data Februari 2013 dengan angka pengangguran terbuka 7,17 juta orang.
Berdasarkan data BPS, 6 November 2013, tingkat partisipasi angkatan
kerja 66,9 persen, sedangkan tingkat pengangguran terbuka mencapai 6,25 persen.
Pengangguran terbuka terbanyak berasal dari lulusan sekolah menegah kejuruan,
sekitar 11,19 persen. Kemudian lulusan sekolah menengah atas sebanyak 9,74
persen dan lulusan sekolah menengah pertama 7,6 persen (www.tempo.co).
21
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan
yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Biaya pendidikan masih terbilang mahal, sehingga hanya masyarakat yang
memiliki uang yang cukup yang hanya bisa menikmati pendidikan. Sedangkan
nasib rakyat yang berekonomi rendah, patut dipertanyakan. Seharusnya biaya
pendidikan selama 9 tahun itu dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, namun hal
itu belum terdapat disemua sekolah di Indonesia. Hanya di beberapa tempat
tertentu saja, namun itu juga masih belum dapat dikatakan baik, ada saja biaya
tambahan ini dan itu.
Masyarakat yang tergolong kurang mampu, jangankan untuk biaya
pendidikan, untuk makan sehari-hari saja sangat susah, mereka cenderung untuk
bekerja yang langsung menghasilkan uang. Uang itu digunakan untuk makan dan
juga pendidikan mereka kelak, namun entah sampai kapan. Kerjaan yang mereka
lakukan juga terbatas, pekerjaan yang tidak membutuhkan pendidikan secara
khusus, seperti mengamen, membersihkan kaca mobil, berjualan koran, ataupun
mengemis. Tetap saja uang itu masih belum cukup digunakan untuk biaya
pendidikan yang tergolong mahal itu. Seharusnya anak-anak kecil seperti itu
jangan dibiarkan untuk bekerja keras seperti itu, seharusnya mereka duduk
dibangku sekolah dan mengecam pendidikan. Dan hal ini semua dikarenakan oleh
kurangnya biaya untuk pendidikan.
Banyak juga rakyat miskin yang terpaksa harus putus sekolah dikarenakan
tidak sanggup lagi membayar uang sekolah. Padahal pendidikan merupakan hak
untuk setiap warga negara. Apabila ada seorang warga negara yang terpaksa harus
berhenti mengecam pendidikan karena kurangnya biaya, apa makna pendidikan
wajib 9 tahun itu masih berlaku? Bagaimana nasib masa depan bangsa apabila
banyak rakyatnya yang tidak bisa mengecam pendidikan karena kurangnya biaya?
Padahal, Indonesia memiliki banyak warga negara yang miskin, bahkan banyak
22
yang berada dibawah garis kemiskinan. Apabila mereka semua tidak bisa
mengecam pendidikan, bagaimana nasib bangsa ini?
Di Indonesia memang diwajibkan untuk wajib belajar selama 9 tahun,
namun 9 tahun itu tidaklah cukup. Kita bisa ambil contoh, seorang lulusan SMA
saja, sekarang ini susah untuk mencari pekerjaan yang layak. Dan bahkan sampai
jenjang S-1 sekalipun masih banyak yang menjadi pengangguran, apalagi yang
hanya sampai pada tingkat SMP saja. Sedangkan untuk melanjutkan pendidikan
sampai ke jenjang SMA membutuhkan biaya yang relatif tidak sedikit. Apalagi
yang sampai pada tingkat pendidikan di perguruan tinggi, membutuhkan biaya
yang bisa dibilang mahal. Namun apabila mendapatkan perguruan tinggi negeri,
biasanya biayanya relatif lebih murah daripada perguruan tinggi swasta,
sedangkan untuk dapat melanjutkan ke perguruan tinggi negeri kita harus
menjalani persaingan yang ketat dengan banyak orang, dan kita membutuhkan
pendidikan yang memadai. Begitu pula untuk mendapatkan beasiswa, dibutuhkan
prestasi yang baik.
Kita harus akui, bahwa terutama di Indonesia, mereka yang beruang akan
lebih mudah untuk mengecam pendidikan, karena biaya bukan masalah bagi
mereka, mereka bisa mengecam pendidikan dimana saja tanpa harus ada batasan-
batasan dari masalah biaya. Namun, bagi mereka yang berekonomi rendah,
katakanlah rakyat miskin, biaya akan menjadi penghalang utama bagi mereka
untuk dapat menikmati pendidikan. Namun, masih ada harapan bagi mereka yang
sungguh-sungguh ingin mengecam pendidikan, mereka harus belajar dengan giat
agar mereka mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat
yang lebih tinggi. Namun, tidak banyak orang yang seperti ini. Kebanyakan dari
mereka akan lebih memilih untuk bekerja saja, padahal untuk menjadi orang yang
sukses, terlebih di era globalisasi seperti sekarang ini dibutuhkan pendidikan yang
baik. Dan seharusnya, biaya bukanlah yang menjadi halangan seseorang untuk
dapat menikmati pendidikan yang sesungguhnya itu adalah hak mereka.
(http://edukasi.kompasiana.com)
23
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak
harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin
setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah
untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah
justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat
dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
E. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua
solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem
sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem
pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem
pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi
kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan
peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan
pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang
menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan
guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem
ekonomi yang ada.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang
berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan
masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-
upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas
guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi
solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
24
Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan
kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-
sarana pendidikan, dan sebagainya.
25
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem pendidikan di Indonesia sangat dinamis menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Saat ini Indonesia menggunakan kurikulum 2013 yang
menekankan pada pendidikan karakter.
Ciri-ciri pendidikan di Indonesia yakni aspek ketuhanan sudah
dikembangkan dan Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-
sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang
mereka pelajari.
Permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini, diantaranya adalah:
Pendidikan di Indonesia berat sebelah, sistem pendidikan yang top-down,
manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan
zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya
Penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan,
dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut
perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing
secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa
26
Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah
dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia
yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini
bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
27
DAFTAR PUSTAKA
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
http://forum.detik.com. Diakses pada 2 November 2013
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-
anggaran. Diakses pada 2 November 2013
http://www.detiknews.com. Diakses pada 2 November 2013
http://www.sib-bangkok.org. Diakses pada 2 November 2013
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia. Diakses
pada 11 November 2013
http://panduanguru.com/wajah-sistem-pendidikan-di-indonesia/ Diakses pada 11
November 2013
http://sistempendidikannegarakita.blogspot.com/ Diakses pada 11 November 2013
http://meilanikasim.wordpress.com/2009/03/08/makalah-masalah-pendidikan-di-
indonesia/ Diakses pada 11 November 2013
http://www.tempo.co/read/news/2013/11/06/090527565/Pengangguran-Naik-Jadi-
739-Juta-Orang diakses 17 November 2013.
http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/17/dilematika-biaya-pendidikan-di-
indonesia-602443.html. diakses 17 November 2013.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/02/menentukan-kelayakan-seorang-guru-
344595.html. diakses 17 November 2013.
http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=132:perse
ntase-guru-yang-memiliki-ijazah-minimal-s1-menurut-tingkat-
pendidikan&catid=105:tabel&Itemid=119. diakses 17 November 2013.
http://formatnews.com/v1/view.php?newsid=50907. diakses 17 November 2013.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/21944. diakses 17 November 2013
28
LAMPIRAN
TANYA JAWAB PRESENTASI
1. Pertanyaan Mochammad Sahrul Aripin (K1513052)
Apa sajakah contoh solusi sistemik dan solusi teknis?
Jawaban Pertanyaan 1 oleh Agustin poncowati
Solusi Sistemik, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti
rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya
pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada.
Sedangkan solusi teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru,
misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi
solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan
kualitas guru.
2. Pertanyaan Ahmad Bayu Pamungkas (K1513006)
Cara mengajar guru yang telah sertifikasi sama dengan guru yang belum
sertifikasi, sama-sama kurang baik. Lalu apakah yang menyebabkan hal
tersebut?
Jawaban Pertanyaan 2 oleh
Hal ini disebabkan karena kurangnya motivasi dari diri guru untuk
membenahi dirinya. Sebaiknya guru yang seperti ini diberikan motivasi
agar dapat menaikkan semangatnya dalam mengajar.
3. Pertanyaan Anisak Nurrahmah (K1513014)
Bagaimana cara agar kreatifitas siswa dapat berkebang dengan baik?
Bagaimana dengan siswa yang tertutup?
Jawaban Pertanyaan 3 oleh Supriyono
1. Pertama adalah memberi stimuli agar peserta didik mengetahui
masing-masing potensi yang ada pada dirinya.
29
2. Kemudian dengan memberikan fasilitas yang dibutuhkan peserta didik
tersebut diberi kebebasan untuk berkembang sesuai kemauannya,
namun tetap ada pengawasan khusus.
4. Pertanyaan N. Afif (K1513060)
Apa sajakah langkah nyata solusi permasalahan pendidikan di Indonesia
oleh Pemerintah?
Jawaban Pertanyaan 4 oleh Davizar
Melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan memberikan
berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru,misalnya PLPG.
Pemberian beasiswa kepada siswa dan atau mahasiswa yang kurang
mampu namun berpotensi, dan sebagainya.
5. Pertanyaan Mesiyar (K1513054)
Bagaimana tindakan mahasiswa terhadap dosen yang jarang mengajar dan
sulit dihubungi?
Jawaban pertanyaan 5 oleh
1.Sebelum jam kuliah dimulai sebaiknya menghubungi dosen yang
bersangkutan untuk mengingatkan bahwa pada hari dan jam yang telah
ditentukan ada mata kuliah tersebut.
2.Jika dosen yang bersangkutan tetap tidak dapat hadir,maka sistem
pengajaran dapat dilakukan dengan sintem online.